Colonization of Coral Communities in the Krakatau Strict Marine Nature Reserve, and Management Implications

KOLONISASI KOMUNITAS KARANG DI CAGAR ALAM
LAUT KRAKATAU, DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

SINGGIH AFIFA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kolonisasi Komunitas
Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014
Singgih Afifa Putra
NIM C252100051

RINGKASAN
SINGGIH AFIFA PUTRA. Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut
Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan
AGUSTINUS M SAMOSIR.
Pada tanggal 26-28 Agustus 1883, setelah tiga bulan menunjukkan akitivitas
vulkanik minor, letusan katastrofis menghancurkan lebih dari dua per tiga Pulau
Krakatau dan menyisakan sebagian kecil di bagian selatan dari Gunung Rakata.
Akibat letusan tersebut cukup untuk men-sterilisasikan ekosistem Pulau Krakatau
(di atas dan bawah permukaan laut); dan pulau-pulau sekitar seperti Pulau Sebesi,
Sebuku dan Legundi. Pulau-pulau Krakatau memiliki dinamika secara
geomorfologi, dan perubahan fisik memberikan efek pada biota, dan pada tingkat
pergantian suksesi cukup menarik untuk diamati. Selain itu, biota-biota tropis
yang dijumpai di Krakatau dapat memberikan kesempatan langka untuk studi
ekologi, khususnya interaksi antar masing-masing komunitas yang berkembang di

kawasan ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan kondisi dan proses
kolonisasi komunitas karang, termasuk status kerusakan komunitas karang dan
disturbansi lingkungan yang mempengaruhinya. Manfaat dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi informasi yang relevan dan terkini tentang kondisi
komunitas karang di Krakatau, serta dapat menjelaskan implikasi terhadap
pengelolaan kawasan terumbu karang di Cagar Alam Laut Krakatau.
Suksesi atau perkembangan komunitas (i.e. kolonisasi) karang yang
dijumpai di Pulau Anak Krakatau masih mengindikasikan tahap awal kolonisasi,
berbeda dengan komunitas karang yang dijumpai di Pulau Rakata dan Panjang.
Diversifikasi komunitas karang di kedua pulau tersebut, menunjukkan dominansi
spesies oportunis dan pioner (i.e. Pocillopora dan Seriatopora) yang umum
dijumpai di Anak Krakatau sudah tergantikan. Kondisi lifeform komunitas karang
dijumpai bervariasi antar stasiun pengamatan, dimana lifeform sub-massive
dijumpai mendominasi di Pulau Anak Krakatau, sedangkan lifefrom massive dan
branching lebih mendominasi di Pulau Rakata dan Panjang. Dominansi dari
beberapa spesies karang telah mengindikasikan terjadinya proses eksklusi
kompetitif di antara komunitas karang. Tiga tipe komunitas karang yang dijumpai
dapat dibedakan menurut karakteristik masing-masing kawasan, yaitu komunitas
kawasan terpapar, semi terpapar/terlindung, dan terlindung.

Kerusakan komunitas karang di Krakatau berdasarkan nilai CMI secara ratarata rendah, namun cukup tinggi dijumpai pada komunitas karang kawasan
terpapar. Sedangkan menurut kriteria CDI, kondisi kerusakan di Krakatau sudah
termasuk kedalam kategori wilayah “hot spot”, dimana sangat memerlukan
perhatian, pengawasan, pengamatan atau restorasi komunitas karang. Pulau-pulau
Krakatau telah diabaikan pengelolaanya walaupun telah dijadikan satu kawasan
dengan Taman Nasional Ujung Kulon pada 1983, karena berada di provinsi yang
berbeda. Meskipun selanjutnya dikelola sendiri oleh BKSDA Lampung sejak
Tahun 1990, tata kelola kawasan Krakatau masih belum sebagaimana mestinya.
Kata kunci: pengelolaan, kolonisasi, komunitas karang, Krakatau, suksesi

SUMMARY
SINGGIH AFIFA PUTRA. Colonization of Coral Communities in the Krakatau
Strict Marine Nature Reserve, and Management Implications. Supervised by
ARIO DAMAR and AGUSTINUS M SAMOSIR.
The eruption and near-total destruction of the volcano Krakatau on the 26 –
28 August 1883 was completely exterminating all ecosystems life in the Krakatau
Islands and surrounding area (i.e. Sebesi, Sebuku and Legundi). After three
months of minor activity, that catastrophic eruption destroyed over two thirds of
Krakatau, only a fraction of Rakata remaining. The islands diversity is
geomorphologically dynamic, and the effects of physical changes on the biota,

and on the rate of successional turnover, are considerable interesting. In addition,
the islands discrete, definable, tropical biota provides a rare opportunity for
ecological studies, particularly of communities interactions that has develop in
this area.
The purposes of this research were to determine the condition and describe
the colonization development of coral communities in the Krakatau Islands after
total destruction, including disturbances from natural environment. Benefit was to
provide amount recent information of composition, distribution, and structure of
coral communities in the Krakatau Islands. Also for explain the extent of coral
damage, and the implications for management of coral reefs in the Krakatau Strict
Nature Reserve.
This study showed that succession or development of coral communities
(i.e. colonization) that found in Anak Krakatau indicated earlier stage of
colonization. Where have different with coral communities that found in Rakata
and Panjang. The diversification of coral communities on both islands, showed
that opportunistic and pioneer species (i.e. Pocillopora and Seriatopora) that
generally found in Anak Krakatau has been replaced. Lifeform of coral
communities found varied between sites, where sub-massive is dominated
lifeform that found in Anak Krakatau, but massive and branching lifeform are
more dominant in Rakata and Panjang. There are indication of dominance may

already take place through competitive exclusion in coral communities. Three
community types were distinguished based on characteristics for each sites, as
follows: communities of wave-exposed habitats, communities of semi- exposed to
sheltered habitats, and communities of sheltered habitats.
The extent of coral damage that found in Krakatau based on CMI value is
low, in average, but high value found in the community of wave-exposed habitat.
While, following CDI criteria, the extent of coral damage covered all six sites.
This suggests that of the all transects were "hot spots'' that required management
action. Although Krakatau Strict Marine Nature Reserve has been declared part of
Ujung Kulon National Park in 1983, it is not managed as such because it falls
under a different province. Furthermore, it has been managed subsequently by
BKSDA Lampung since 1990.
Key words: colonization, coral communities, Krakatau, management, succession

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tujuan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang Mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOLONISASI KOMUNITAS KARANG DI CAGAR ALAM
LAUT KRAKATAU, DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

SINGGIH AFIFA PUTRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

xii


Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc

Judul Tesis
Nama
NIM

: Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut
Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya
: Singgih Afifa Putra
: C252100051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ario Damar, MSi
Ketua

Ir Agustinus M Samosir, MPhil
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 8 Januari 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah
Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi
Pengelolaannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ario Damar MSi dan Ir
Agustinus M Samosir MPhil selaku komisi pembimbing; Dr Ir Isdradjad
Setyobudiandi MSc selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis, dan
Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA selaku ketua program studi ketika ujian tesis
dilaksanakan, serta Dr Ir Luky Adrianto MSc selaku ketua program studi yang
baru; perizinan melakukan riset di kawasan Krakatau dari Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung dan Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia; serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung
Selatan untuk penyediaan peralatan SCUBA Diving. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada M Awaluddin dan Bambang Ari Wibowo (Polisi Hutan
BKSDA Lampung), tujuh orang kru (anak buah kapal) Kapal Patroli BKSDA
Lampung dalam penyediaan logistik dan tranportasi, serta Maulana Sahrin
(Ebeng), Pandu Sedya Mada Putra, dan Santia Gardenia Widyaswari SPi MSi
yang telah membantu sebagai asisten peneliti selama observasi dilakukan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014
Singgih Afifa Putra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xix

DAFTAR GAMBAR

xix

DAFTAR LAMPIRAN

xxi

1 PENDAHULUAN

1


Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan Penelitian

1
3
6
6
6

2 METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Rancangan Penelitian
Rancangan Sampling
Peralatan Penelitian
Pengumpulan Data
Persiapan lapangan
Data komunitas karang
Data lingkungan perairan
Analisis Data
Kolonisasi komunitas karang
Kondisi komunitas karang
Kerusakan komunitas karang
Pengelolaan kawasan terumbu karang
Analisis statistik
3 HASIL
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Geografis kawasan pesisir Pulau-pulau Krakatau
Iklim dan cuaca di Krakatau dan lokasi sekitarnya
Hidro-oseanografi perairan Selat Sunda
Kualitas lingkungan perairan di Krakatau
Aktivitas antropogenik
Kondisi Komunitas Karang
Persen tutupan komponen bentik
Persen tutupan dan kekayaan generik komunitas karang
Biodiversitas komunitas karang
Densitas dan ukuran koloni karang
Komposisi komunitas karang
Kategori komunitas karang
Kerusakan Komunitas Karang
4 PEMBAHASAN
Proses Awal Rekolonisasi Komunitas Karang

8
8
8
10
13
13
13
13
16
16
16
17
18
19
19
21
21
21
26
27
28
31
33
33
38
39
40
45
46
51
53
53

xviii

Disturbansi utama (major) rekolonisasi komunitas karang
Mekanisme sebaran (dispersal) komunitas karang
Perkembangan Temporal Komunitas Karang
Distribusi Komunitas Karang
Kolonisasi Komunitas Karang
Relasi Ekologis
Kompetisi komunitas karang
Dominansi komunitas karang
Kerusakan Komunitas Karang
Pengelolaan Kawasan Konservasi Krakatau
Regulasi pengelolaan kawasan Krakatau
Permasalahan pengelolaan kawasan terumbu karang di Krakatau
Rekomendasi terhadap pengelolaan kawasan Krakatau
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

53
56
56
59
63
67
67
70
72
75
75
77
80
84
84
84

DAFTAR PUSTAKA

85

LAMPIRAN

95

DAFTAR TABEL
1 Stasiun pengamatan komunitas karang dan kondisi lingkungan
perairan di Krakatau
2 Klasifikasi komponen bentik (modifikasi dari English et al. 1994)
3 Klasifikasi kategori lifeform (English et al. 1994)
4 Parameter kualitas lingkungan perairan
5 Kualitas lingkungan perairan pada masing-masing stasiun
pengamatan
6 Persen tutupan (%), kekayaan/jumlah genus (S), indeks
keanekaragaman (H'), evenness (e) dan dominansi (D) komunitas
karang (generik) Scleractinia pada masing-masing stasiun
pengamatan, angka dalam kurung menjelaskan kedalaman
7 Komposisi dan persen tutupan (%) genera karang Octocorallia pada
masing-masing stasiun pengamatan
8 Kategori komponen biotik (persen tutupan) untuk analisis AHC
9 Rangkuman tutupan bentik (%) dan Coral Mortality Index (CMI)
pada masing-masing stasiun pengamatan di Krakatau
10 Kategori substrat dasar (%) untuk kriteria Coral Damage Index
(CDI) disetiap stasiun pengamatan di Krakatau

11
15
15
16
29

39
40
46
51
52

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7

8

Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren
1988)
Diagram alur penelitian
Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan
Ilustrasi beberapa metode observasi kuantitatif ekosistem terumbu
karang (i.e. Point Intercept Transect/PIT, Line Intercept
Transect/LIT, dan Chain Intercept Transect/CIT) (Hill dan
Wilkinson 2004), dimana pada penelitian ini digunakan metode LIT
(dalam kotak).
Entitas Pulau-pulau Krakatau pada Tahun 1985 (Zabka dan Nentwig
2002 modifikasi dari Thornton dan Rosengren 1988)
Morfologi dan Pertumbuhan Gunung Anak Krakatau (Sutawidjaja
2006)
Aktivitas antropogenik yang dijumpai di kawasan Krakatau. (A, B)
kapal nelayan yang sedang berteduh; C) beberapa kapal wisatawan
yang berkunjung; (D) aktivitas wisatawan di Pantai Anak Krakatau;
(E, F) aktivitas wisatawan ketika mendaki puncak Gunung Anak
Krakatau (G) tenda yang digunakan wisatawan untuk menginap (H)
aktivitas wisata snorkelling di kawasan terumbu karang Legon Cabe
Persen tutupan komponen substrat dasar perairan (bentik) pada
masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B)
pada kedalaman 5 m

8
10
11

14
21
23

32

34

xx

9

10

11

12

13

14

15

16
17
18

19

20

21

22

23

Persen tutupan komponen live coral/karang hidup (AC, NA dan SC)
pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,
B) pada kedalaman 5 m
Persen tutupan lifeform karang hidup kategori non-Acropora (NA)
pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,
B) pada kedalaman 5 m
Persen tutupan lifeform karang hidup kategori Acropora (AC) pada
masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B)
pada kedalaman 5 m
Persen tutupan lifeform komponen karang mati (i.e. DC, DCA, R)
pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,
B) pada kedalaman 5 m
Persen tutupan komponen lainnya (i.e. SP, AA, OT) pada masingmasing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B) pada
kedalaman 5 m
Persen tutupan lifeform komponen abiotik (i.e. S, RC, WA) pada
masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B)
pada kedalaman 5 m
Histogram frekuensi densitas koloni karang Scleractinia (tanpa
famili Fungiidae) pada masing-masing stasiun pengamatan, dengan
bin (interval koloni) 5 cm
Total densitas koloni setiap marga karang dari famili Fungiidae (i.e.
kelompok free-living coral) yang dijumpai di lokasi penelitian
Histogram frekuensi densitas koloni free-living coral dari famili
Fungiidae pada masing-masing stasiun pengamatan, dengan bin
(interval koloni) 5 cm
Histogram frekuensi densitas koloni karang Octocorallia pada
masing-masing stasiun pengamatan, dengan bin (interval koloni) 5
cm
Komposisi komunitas karang berdasarkan urutan rangking rata-rata
persentase tutupan (±SD) generik dari 8 transek pengamatan di
lokasi penelitian
Dendrogram pengklusteran 8 titik transek dari 6 stasiun pengamatan.
Analisis Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC) berdasarkan
jarak Sorensen (Bray-Curtis) dan fungsi flexible linkage (β = -0.25).
St: Stasiun. Kluster 1 (St 1; 10 m), St 2; 5,10 m), kluster 2 (St 3, 5,
dan 6; 5 m), dan kluster 3 (St 4; 5, 10 m)
Frekuensi (%) dari masing-masing komponen uji berdasarkan
distribusi nilai centroid masing-masing kluster menurut analisis
AHC
Dokumentasi deskripsi kategori komunitas, A) Komunitas kawasan
terpapar, B) komunitas kawasan semi-terpapar/terlindung, C)
Komunitas kawasan terlindung
Frekuensi jumlah spesies karang keras (Scleractinia) pada beberapa
tahun pasca Letusan 1883 di Krakatau. Data berdasarkan observasi
Sluiter (1890) untuk Tahun 1889; Salm et al. (1982) in Tomascik et
al. (1997a) untuk Tahun 1981-1982; Widiastuti (2002) untuk Tahun
2002; dan penelitian ini untuk Tahun 2013

35

36

36

37

37

38

41
42

43
44

45

49

49

50

58

xxi

24 Interaksi kompetitif antar komunitas karang yang di jumpai di lokasi
penelitian. Kompetisi antara massive Porites sp. dengan branching
Acropora sp. (A), dan Montipora sp. (B); antara branching Porites
sp. dengan Montipora sp. (C); antara massive Porites sp. dengan
spons (D); campuran antar beberapa spesies seperti Porites sp,
encrusting Millepora sp. dan Palythoa sp. (Zoantharia:
Sphenopidae) (E); antara branching Montipora sp. dengan
Heteractis sp. (Actinairia: Stichodactylidae) (F); dan antar beberapa
jenis Octocorallia seperti, famili Xeniidae (G), dan Alcyoniidae (H,
I) dengan beragam karang Scleractinia
25 Dominansi Octocorallia (Famili: Xeniidae) pada komunitas karang
di Pulau Rakata (A), Xeniidae berkembang pada substrat sedimen
(B) dan dead coral / rubble (C)
26 Kerusakan koloni karang yang dijumpai di Krakatau yang
diakibatkan oleh Acanthaster planci (A), tube former (B), predasi
ikan / fish bite (C), overgrowth alga (D), sediment damage (E),
perubahan warna tissue seperti pigmentation response pada koloni
Fungia sp. (F), dan penyakit karang seperti black band disease pada
koloni Montipora sp. (G), serta infeksi tidak teridentifikasi pada
beberapa koloni karang Acropora spp. (H, I, J)
27 Design kawasan konservasi yang diajukan oleh Genolagani (1983),
kemudian disetujui menjadi kawasan suaka alam (i.e. cagar alam)
berdasarkan SK MenHut No. 85/Kpts-II/1990, dengan batasan
sejauh 3 km dari titik terluar Pulau-pulau Krakatau

69

71

74

82

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4
5

6

7

8

Daftar dan distribusi komunitas karang yang dikenali di setiap
Stasiun pengamatan
Persen tutupan komponen komunitas karang di Krakatau
Hasil uji ANOVA (single factor) terhadap data biodiversitas
komunitas karang Scleractinia (i.e. PT, S, H’, e, dan D) antar
kedalaman (i.e. 5 dan 10 m) dan antar pulau (i.e. Pulau Anak
Krakatau, Rakata dan Panjang) di lokasi penelitian (Alpha = 0.05).
Hasil uji ANOVA (single factor) terhadap set data persen tutupan
genera karang Octocorallia di lokasi penelitian. Alpha = 0.05
Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data
stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang
Scleractinia (tanpa famili Fungiidae). Alpha = 0.05
Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data
stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang
Scleractinia famili Fungiidae. Alpha = 0.05
Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data
stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang
Octocorallia. Alpha = 0.05
Analisis Agglomerative hierarchical clustering (AHC)

97
100

101
102

103

104

105
106

xxii

9

Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data
persen tutupan masing-masing lifeform komunitas karang dan
stasiun pengamatan. Alpha = 0.05
110
10 Hasil uji ANOVA (single factor) antara set data persen tutupan
masing-masing komponen karang hidup dan stasiun pengamatan.
Alpha = 0.05
111

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kawasan Krakatau pada awalnya merupakan sebuah pulau vulkanik besar
dengan tiga gunung berapi aktif yaitu Rakata, Danan dan Perbuwatan. Pada
tanggal 26-28 Agustus 1883, setelah tiga bulan menunjukkan akitivitas vulkanik
minor, terjadi letusan katastrofis yang menghancurkan lebih dari dua per tiga
pulau dan menyisakan sebagian kecil di bagian selatan dari badan Gunung Rakata
(Simkin dan Fiske 1983). Selama 18 jam, erupsi menghasilkan deposit material
vulkanik sekitar 14 km3 dalam radius 15 km (Mandeville et al. 1996). Aliran
piroklastik bawah laut memiliki ketebalan rata-rata 20 m (Sigurdsson et al. 1991)
menutupi dasar laut dengan temperatur 475-550 °C (Mandeville et al. 1994), dan
men-sterilisasikan entitas Pulau Krakatau (di atas dan bawah permukaan laut); dan
pulau-pulau sekitar seperti Pulau Sebesi, Sebuku dan Legundi (Hurlbut dan
Verbeek 1887).
Pertanyaan tentang pemusnahan total dari fauna di entitas Pulau-pulau
Krakatau pada tahun 1883 tidak dapat disimpulkan secara absolut, tetapi dari
semua bukti yang pasti diduga 99% dari fauna yang hidup sekarang merupakan
pendatang (invaders) baru (Dammerman 1922). Sebelum Tahun 1929-1930,
kawasan Krakatau terdiri atas Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang. Sebuah pulau
gunung berapi baru yaitu Anak Krakatau muncul di bekas kaldera Pulau Krakatau
sejak Agustus 1930, dan pada 2010 telah berdiri sekitar 450 mdpl. Terumbu
karang tepi (fringing reef) telah terbentuk kemudian di Anak Krakatau, pulaupulau sisa Krakatau (i.e. Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang), dan daerah
sekitarnya yang terkena dampak letusan dan tsunami (Starger et al. 2010), kondisi
ini menyajikan kesempatan unik untuk mempelajari perakitan dan perkembangan
ekosistem bentik setelah pemusnahan total sebelumnya.
Kajian bidang biologi di kawasan Krakatau menyangkut dua eksperimen
alami jangka panjang yang terpisah (nested). Pertama, adalah kondisi yang
disebabkan oleh letusan katastrofis Tahun 1883, dimana diduga telah
menghilangkan biota-biota di Rakata, sisa-sisa Pulau Krakatau, dan pulau-pulau
yang berdekatan (i.e. Pulau Sertung dan Panjang). Survei botani dan zoologi telah
dilakukan secara berjeda (interval) sejak Tahun 1883, dalam upaya untuk
memantau perekrutan ulang (reassembly) dari komunitas hutan hujan tropis
muson di pulau-pulau ini, dari titik awal nol (t0). Kemunculan Pulau Anak
Krakatau pada Tahun 1930 sebagai pulau ke-empat dari entitas Pulau-Pulau
Krakatau adalah kondisi awal dari eksperimen alami jangka panjang yang kedua.
Kolonisasi Anak Krakatau dilakukan baik oleh hewan dan tumbuhan, meskipun
diduga dari sumber populasi yang cukup dekat (pulau-pulau lainnya yang berjarak
3–5 km), namun sampai batas tertentu menyebabkan “ulangan” dari proses yang
telah terjadi, dibandingkan pulau-pulau di sekitar yang lebih tua > 50 tahun (i.e.
Pulau Rakata, Panjang, dan Sertung).
Meskipun untuk sebagian besar diabaikan oleh para ahli biologi dalam 50
tahun pertama, seringnya letusan telah mengatur ulang proeses suksesi, Anak
Krakatau sangat menarik dalam kajian proses kolonisasi awal di daerah tropis,
dari sumber daerah sekitar yang kaya. Pulau-pulau Krakatau memiliki dinamika

2

secara geomorfologi (Bird dan Rosengren 1983, Sumartadipura 1985, Sudradjat
1983, Whittaker et al. 2000, Sutawidjaja 2006), dan perubahan fisik memberikan
efek pada biota, dan pada tingkat pergantian suksesi, cukup menarik untuk
diamati. Selain itu, biota-biota tropis di kepulauan ini dapat memberikan
kesempatan langka untuk studi ekologi, khususnya interaksi tanaman dan hewan
(Thornton dan Rosengren 1988).
Perekrutan dan struktur komunitas karang secara umum telah intensif
dipelajari (Pearson 1981; Huston 1985; Wood 1998), termasuk perbandingan
rekolonisasi karang setelah disturbansi bencana pasut rendah alami (unpredicted)
dengan gangguan akibat manusia (man-made) di Teluk Eilat, Laut Merah (Loya
1976). Perekrutan dan suksesi ekologis komunitas karang pada gunung berapi
pernah diteliti dalam beberapa studi kasus. Grigg dan Maragos (1974) mengamati
hamparan karang pada rendaman lava selama kurang dari dua tahun di Hawaii.
Tomascik et al. (1996) melaporkan komunitas karang yang sangat beragam pada
lava umur lima tahun setelah letusan katastrofis Gunung Api di Laut Banda
(Indonesia bagian timur), yang mana membentuk tempat perlindungan baru dan
sumber larva untuk daerah sekitarnya. Namun, rekolonisasi yang terjadi di
Gunung Api Banda dan Hawaii berasal dari sumber-sumber terdekat yang
langsung berbatasan dengan aliran lava bersangkutan. Sedangkan akibat tingkat
kerusakan di Krakatau, semua proses kolonisasi Krakatau diduga berasal dari
lokasi lain.
Suharsono et al. (2003) kemudian melanjutkan pengamatan suksesi karang
di bekas muntahan lahar Gunung Api di Laut Banda tersebut. Keanekaragaman
jenis karang yang ditemukan relatif rendah jika dibandingkan dengan lokasi lain
yang sama-sama terletak dalam kawasan coral triangle (coral triangle merupakan
pusat dari keanekaragaman jenis karang dunia. 223 jenis yang mewakili 63 genera
dari 17 famili karang dijumpai). Rendahnya keanekaragaman tersebut diduga
akibat rendahnya variasi habitat, pola arus dan karena adanya up welling serta
posisi pulau yang berada di ujung timur laut dari Laut Banda.
Kajian rekolonisasi komunitas karang hermatifik di Pulau Besar Hawaii
oleh Grigg dan Maragos (1974) menjelaskan bahwa terumbu karang di sana dapat
mencapai kematangan suksesi (successional maturity) hanya dalam waktu 50
tahun rekolonisasi. Namun, pada kajian selanjutnya (Grigg 1983) disimpulkan
bahwa proses tersebut biasanya dapat saja terganggu. Kondisi puncak suksesi
hanya dijumpai di daerah yang terlindung dari disturbansi gelombang. Skala
waktu untuk perkembangan fitur morfologi skala besar ada diurutan ribuan hingga
jutaan tahun. Waktu/umur dari dasar (batuan basal) di pulau-pulau yang lebih tua
secara progresif meunjukkan bahwa sistem spur and groove (formasi habitat yang
secara bergantian antar pasir dan karang dimana berorientasi tegak lurus dari
pantai atau beting karang) dapat berkembang setidaknya 6.000 hingga 9.000
tahun, fringing reef (karang tepi) dalam 2.5 juta tahun dan sistem barrier reefatoll (karang penghalang dan atol) sekitar 12 juta tahun.
Recovery atau pemulihan komunitas di daratan Krakatau telah dikaji dengan
sangat lengkap (e.g. Wheeler 1924; Thornton et al. 1988; Partomihardjo et al.
1992; Zabka dan Nentwig 2000). Sedangkan, ekosistem laut telah diabaikan
sampai beberapa tahun terakhir (Barber et al. 2002). Tercatat hanya Sluiter (1890)
yang mengamati perekrutan karang di Krakatau (di sebelah barat Teluk Zwarte
Hoek, Rakata) kurang dari satu dekade setelah letusan katastrofis tahun 1883.

3

Namun, karang-karang pertama ini kemudian juga terkena dampak aktivitas
vulkanik (Dammerman 1922, Umbgrove 1930 in Starger et al. 2010).
Kajian survei genetik terkini di Pulau-pulau Krakatau dari hasil penelitian
Barber et al. (2002), menunjukkan tingkat keanekaragaman haplotypic dan
nukleotida yang sangat tinggi dari 2 populasi udang mantis, Haptosquilla
pulchella dan Haptosquilla glyptocercus (Stomatopoda: Protosquillidae). Tingkat
keanekaragaman tersebut sebanding dengan populasi lain yang tidak terganggu di
seluruh Indo-Pasifik. Sumber larva untuk Krakatau dimana terbatas dari terumbu
karang bagian selatan Jawa dan Laut Flores. Rekolonisasi dan pemulihan yang
cepat dari keanekaragaman genetik dalam populasi Krakatau menunjukkan bahwa
penyebaran larva dari sumber populasi yang berganda dan beragam memberi
kontribusi besar terhadap demografi komunitas lokal pada tahap intermediate,
baik dalam skala waktu (puluhan hingga ratusan tahun) maupun skala spasial
(puluhan hingga ratusan kilometer). Selanjutnya, berdasarkan kajian Starger et al.
(2010), menunjukkan bahwa sebagian besar keanekaragaman genetik karang
Pocillopora damicornis dan Seriatopora hystrix (Scleractinia: Pocilloporidae) di
Krakatau telah pulih. Perhitungan dan perkiraan aliran gen menunjukkan bahwa
rekolonisasi karang tersebut terutama berasal dari sistem terumbu alirah hulu
(upstream) terdekat, yaitu Kepulauan Seribu, dengan catatan masukan larva dari
daerah lain juga dapat terjadi. Hal tersebut menjelaskan bahwa pemulihan
keanekaragaman genetik pada hewan karang pembentuk terumbu (i.e.
Scleractinia) dapat terjadi pada urutan puluhan (decades) dan ratusan tahun
(centuries) daripada jangka waktu ribuan tahun (millenia).
Sejalan dengan itu, menurut Pearson (1981) komunitas karang setidaknya
membutuhkan beberapa dekade untuk pulih dari disturbansi alami utama (i.e.
badai siklon, aktivitas vulkanik, pasang surut katastrofis, disturbansi oleh
manusia, dan serangan Acanthaster planci). Pemulihan dapat berlangsung dengan
regenerasi sebagian dari koloni karang rusak dan fragmen yang dihasilkan oleh
kerusakan mekanis selama terjadinya badai. Namun, dalam hampir setiap studi
kasus pemulihan banyak terjadi dengan rekolonisasi daerah kosong (denuded)
oleh kolonisasi atau settlement larva karang. Kolonisasi karang dipengaruhi oleh
proses suksesi dan disturbansi. Dimana, sebelum larva karang dapat menetap pada
permukaan substrat baru diduga diperlukan periode setidaknya satu tahun dimana
substrat tersebut dapat terkondisikan.

Perumusan Masalah
Terumbu karang umumnya tumbuh di pulau-pulau yang memiliki perairan
pantai yang jernih, kadar oksigen yang tinggi, bebas dari sedimen dan polusi serta
limpasan air tawar yang berlebihan (Dahuri 2003). Berdasarkan Kepmen LH
Nomor 4 Tahun 2001, penyebab kerusakan terumbu karang antara lain adalah
sedimentasi, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan sianida, aliran drainase
yang mengandung limbah, pengumpulan dan pengerukan karang, pencemaran air,
pengelolaan tempat rekreasi yang tidak ramah lingkungan dan pemanasan global.
Secara umum kerusakan ekosistem terumbu karang terutama disebabkan oleh
faktor lingkungan dan antropogenik (Guntur 2011). Faktor-faktor lingkungan
tersebut dapat membatasi penyebaran terumbu karang, antara lain adalah suhu,

4

kedalaman, salinitas dan faktor pengendapan baik di dalam air maupun di atas
permukaan karang yang dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi karang
(Nybakken 1988). Thamrin (2006) menambahkan faktor pembatas lain yaitu
kondisi cahaya, pergerakan air (arus), substrat dan kecerahan perairan.
Lebih detil menurut Bengen (2013) bahwa disturbansi utama terhadap
kerusakan ekosistem terumbu karang berasal dari beragam kegiatan pembangunan
baik langsung dan tidak langsung berpengaruh pada ekosistem terumbu karang,
seperti; konversi lahan atas dan pesisir, pencemaran laut, overfishing
(penangkapan ikan berlebih), destructive fishing (pengkapan ikan dengan cara
merusak), dan perubahan iklim global. Disebutkan juga disturbansi lain yang
cukup menonjol terhadap degradasi ekosistem terumbu karang lebih disebabkan
oleh pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan (ikan-ikan
karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komuditas perdagangan (ikan
hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati). Degradasi akibat
pemanfaatan sebagai sumber pangan dan ikan hias sebagian besar dikarenakan
oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Sebagai obyek wisata,
degradasi ekosistem terumbu karang terlihat dari kerusakan-kerusakan fisik
karang yang disebabkan oleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawa
wisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan juga dapat diakibatkan oleh
perilaku wisatawan, misalnya penginjakan terumbu karang oleh penyelam yang
kurang berpengalaman maupun oleh penyelam yang memburu ikan. Sedangkan
disturbansi akibat perubahan iklim terlihat dari konsekuensi nyata dari perubahan
iklim itu sendiri, diantaranya yaitu dari rata-rata naiknya suhu permukaan laut,
perubahan keasaman laut (Bengen 2013) dan penurunan pH, perubahan pola arus
laut, perubahan curah hujan dan aliran sungai, serta frekuensi dan intensitas cuaca
ekstrim (Jompa 2013), yang pada akhirnya memberikan dampak negatif pada
kehidupan karang, seperti meningkatnya kerentanan karang terhadap tekanan
lingkungan dan menurunnya tutupan karang hidup akibat pemutihan karang
(bleaching) (Bengen 2013). Semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi proses
biologis mulai dari gen, spesies tertentu, kelompok hewan sampai ekosistem laut
skala besar dan pada akhirnya juga mempengaruhi nelayan, penduduk pesisir, dan
ketahanan pangan manusia secara umum (Jompa 2013).
Disturbansi alami yang terjadi di Krakatau utamanya adalah erupsi dengan
frekuensi kejadian yang tinggi. Menurut Sutawidjaja (2006), antara Tahun 19922001 Gunung Anak Krakatau meletus terus menerus setiap hari, dengan rata-rata
15 menit sekali. Mengerupsikan piroklastik lepas jenis skoria berukuran abu,
pasir, lapili sampai bom vulkanik, dan beberapa erupsi diakhiri dengan leleran
lava. Dampak jatuhan awal dari proses erupsi tersebut dapat masuk langsung ke
dalam perairan Krakatau. Jatuhan awal berupa natural aerosol dan abu vulkanik
tersebut dapat mempengaruhi kondisi lingkungan abiotik kawasan perairan.
Keberadaan ekosistem terumbu karang di pesisir entitas Pulau-pulau Krakatau
diduga besar dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan aktivitas vulkanik Anak
Krakatau. Tekanan lainnya yang diduga dapat berpengaruh diantaranya adalah
aktivitas antropogenik berupa pariwisata, pelayaran dan kegiatan penangkapan
ikan. Kegiatan wisata di kawasan ini berpotensi menyebabkan perubahan dan
disturbansi terhadap keberadaan kawasan Krakatau yang secara hukum
merupakan kawasan konservasi suaka alam dengan status cagar alam, apabila
tidak dikelola dan diawasi sesuai dengan peraturan yang seharusnya.

5

Dampak dari polusi daratan, praktik penangkapan ikan yang merusak dan
perubahannya sepanjang waktu di Indonesia menurut Edinger et al. (1998) dapat
menyebabkan degradasi terumbu dan keanekaragaman hayati karang. Tekanan
dari polusi daratan diikuti dengan penurunan (reduction) sekitar 40-70 %
keanekaragamn spesies karang pada setiap kedalaman, dengan pengaruh terbesar
pada perairan dalam (i.e. 10 m) dibandingkan pada perairan dangkal (i.e. 3 m).
Sedangkan kerusakan mekanis terhadap terumbu karang secara umum
mengurangi 50 % keanekaragaman spesies karang pada perairan dangkal, dengan
efek minor pada perairan yang lebih dalam. Pengurangan keanekaragaman pada
kawasan perairan dangkal kurang lebih hampir sama dengan pengurangan yang
disebabkan kerusakan mekanis alami, seperti badai atau bertumbuh pada dasar
substrat yang tidak stabil, tetapi kerusakan mekanis dalam bentuk alamiah ini juga
dapat mengurangi keanekaragaman pada perairan yang lebih dalam.
Selain dari destructive fishing, overfishing, pencemaran, sedimentasi dan
eutrofikasi, serta makroalga yang invasif terhadap karang, Jompa (2013)
menjelaskan penyebab lainnya dari kerusakan karang adalah bencana alam (e.g.
tsunami, gempa bumi, dan badai tropis), penambangan batu karang sebagai bahan
bangunan dan kapur, kerusakan akibat rekreasi, pemangsaan karang oleh bintang
laut berduri (Acanthaster planci) dan Drupella spp., serta infeksi berbagai
penyakit karang. Dampak ekologis dari setiap penyebab kerusakan karang
tersebut juga bervariasi yang pada dasarnya memiliki implikasi penting terhadap
kemampuan terumbu karang tersebut untuk dapat memulihkan diri secara alami.
Huston (1985) menjelaskan bahwa terumbu karang merupakan sistem yang
tidak seimbang (non-equilibrium system), dimana eksklusi kempetitif (i.e.
Gause’s principle) dipengaruhi oleh frekuensi disturbansi, seperti dugaan dari
hipotesis disturbansi menengah atau intermediate. Ditekankan juga bahwa
pentingnya disturbansi (i.e. mortalitas secara periodik) tersebut dalam membatasi
dominansi kompetitif, yang mana selanjutnya dapat mempertahankan
keanekaragaman spesies. Disturbansi yang mempengaruhi terumbu karang
menurut Huston adalah disturbansi abiotik (e.g. paparan pasang surut, aksi
gelombang dan sedimentasi), biotik (e.g. herbivora dan koralivora) dan gradien
kedalaman.
Menurut Huston (1985), asumsi dasar dari pandangan umum atau
paradigma dari sistem non-equilibrium, adalah faktor kompetisi (terhadap
sumberdaya yang relevan seperti ruang, cahaya, plankton, etc) disebutkan intensif,
dan jika interaksi kompetitif memberikan dampak terhadap proses akhir, hasilnya
proses tersebut biasanya akan mengeliminasi hampir setiap spesies dan dominansi
oleh satu atau beberapa spesies, dengan asosiasi pengurangan keanekaragaman.
Faktor-faktor yang dapat menghambat proses eksklusi kompetitif tersebut akan
menghasilkan keanekaragaman yang tinggi. Tingkat pertumbuhan yang cepat
akan mempercepat proses jika kompetisi berhubungan dengan pertumbuhan. Jadi,
keanekaragaman tertinggi diekspektasikan pada tingkat pertumbuhan yang rendah
dimana masih memadai untuk dugaan kelangsungan hidup. Demikian juga,
dengan absennya proses disturbansi yang kompetitif akan mengarah pada
rendahnya keanekaragaman, sehingga keanekaragaman tertinggi diekspektasikan
ketika mortalitas periodik membatasi dominansi beberapa spesies.
Pola suksesi komunitas karang menurut kajian Grigg dan Maragos (1974),
menunjukkan indikasi keanekaragaman meningkat selama proses suksesi, namun

6

komunitas karang mencampai nilai puncak sebelum tahap klimaks tercapai.
Penurunan keanekaragaman saat mendekati klimaks diduga karena kompetisi
interspesifik terhadap ruang, dimana mengarah terhadap monopoli sumberdaya.
Perbandingan struktur komunitas dengan terumbu karang tropis lainnya
mengungkapkan bahwa pola tersebut diduga hanya berlaku untuk komunitas yang
terkendali secara fisik. Disturbansi berselang (intermittent), baik biotik maupun
abiotik yang telah dibahas sebelumnya, dapat menyimpulkan mekanisme
peningkatan kekayaan spesies karang. Menurut Tomascik et al. (1996), hubungan
berlawanan (invers) antara keanekaragaman dan persen tutupan diduga adalah
fungsi dari stabilitas fisik dalam jangka panjang, serta kondisi hidrologi yang
mendukung monopoli sumberdaya oleh beberapa spesies kompetitif superior.
Hasil kajian Tomascik et al. (1996) tersebut menunjukkan komunitas karang pada
tahap awal suksesi ekologi di aliran lava terlindung, yang mana ditandai dengan
tutupan dan kekayaan spesies karang yang tinggi.
Berdasarkan ulasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka indikasi
keberlanjutan komunitas karang di kawasan Krakatau diduga sangat rentan
terhadap disturbansi yang terdapat di sekitar kawasan. Terumbu karang di
Krakatau termasuk ke dalam kelompok fringing reef (Sluiter 1890; Starger et al.
2010; Tomascik et al. 1997b) dimana ekosistem terumbu karang tumbuh di tepitepian pulau atau di sepanjang pantai yang luas menghadap langsung ke laut.
Mempelajari proses suksesi dan kolonisasi komunitas karang setelah pemusnahan
total di entitas Pulau-pulau Krakatau diperlukan sebagai acuan dasar dalam
pengelolaan ekosistem terumbu karang Krakatau.

Tujuan Penelitian
1
2
3

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk:
Menjelaskan proses kolonisasi komunitas karang di Krakatau
Menentukan kondisi komunitas karang di Krakatau
Menilai status kerusakan komunitas karang, dan pengelolaan kawasan
terumbu karang di Krakatau.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang relevan dan terkini tentang kondisi komunitas karang di Krakatau, serta
menjelaskan implikasinya terhadap pengelolaan kawasan konservasi terumbu
karang di Krakatau.

Batasan Penelitian
Penelitian ini telah diupayakan dengan baik. Namun, masih terdapat
beberapa batasan atau masalah yang dihadapi selama penelitian ini berlangsung.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut;

7

1

Keterbatasan data perkembangan komunitas karang selama proses
rekolonisasi pasca letusan katastrofis Tahun 1883. Sehingga, penelitian ini
tidak sampai mengkaji pola sukesi komunitas karang, namun hanya
terbatas hingga deskripsi diversifikasi komunitas.
2 Keterbatasan data hidro-oseanografi yang lebih relevan dan representatif
(e.g. salinitas, aktivitas gelombang, arus permukaan, pasang surut,
sedimentasi, padatan total tersuspensi (TSS), padatan total terlarut (TDS),
dan kedalaman/ batimetri)
3 Keterbatasan data aktivitas antropogenik secara kuantitatif
4 Keterbatasan pengambilan titik stasiun karena kondisi alam.

8

2 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Pulau-pulau Krakatau terletak di kawasan Selat Sunda (i.e. di antara Pulau
Sumatera dan Pulau Jawa), atau secara geografis terletak di antara koordinat
06°03’15” LS - 06°10’30” dan 105°21’15” - 105°25’16.5” BT. Secara umum,
kawasan konservasi di Krakatau terbagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan
konservasi daratan (i.e. cagar alam) dan kawasan konservasi laut (i.e. cagar alam
laut). Terdapat empat pulau yang termasuk ke dalam entitas Pulau-pulau Krakatau
yaitu Pulau Rakata, Panjang, Sertung dan Anak Krakatau. Pada penelitian ini
hanya dapat diobservasi tiga pulau, karena alasan efisiensi waktu, dana, dan
kondisi alam di lapangan. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Anak Krakatau,
Rakata dan Panjang. Komunitas karang yang menjadi fokus dalam penelitian ini
adalah terumbu tepi (fringing reef) yang dijumpai di ketiga pulau tersebut. Lokasi
Pulau-pulau Krakatau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren
1988)

Rancangan Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Keseluruhan langkah metodologis dari penelitian ini dapat dijelaskan
berikut ini. Tahap pertama penelitian adalah persiapan lapangan, dimana

9

sebelumnya telah dilakukan survei untuk deskripsi lokasi penelitian dan
penentuan lokasi stasiun pengamatan. Survei pendahuluan telah dilakukan
sebelumnya (Agustus 2011 dan Oktober 2012) untuk penentuan lokasi stasiun dan
pengumpulan data lainnya (i.e. deskripsi lokasi penelitian). Pengamatan lapangan
telah dilakukan antara tanggal 31 Desember 2012 – 6 Januari 2013.
Penjelasan proses suksesi atau kolonisasi komunitas karang dalam
penelitian ini dirancang menggunakan data temporal dan spasial. Data temporal
didapatkan melalui literatur dan kajian-kajian terdahulu, terutama untuk
mengetahui indikasi rekolonisasi kedua komunitas karang di Pulau Anak
Krakatau pasca timbul Tahun 1929-1930. Sedangkan data spasial merupakan hasil
observasi lapang pada penelitian ini, yang mana digunakan untuk menjelaskan
kondisi komunitas karang terkini / terbaru (recent). Terkait dengan penyebaran
(dispersal) komunitas karang, pemilihan lokasi stasiun pengamatan didasarkan
pada paparan terhadap dugaan habitat sumber populasi komunitas karang, dimana
menurut Starger et al. (2010), berasal dari Kepulauan Seribu, atau dari arah timur
laut Pulau-pulau Krakatau. Stasiun-stasiun yang diduga terpapar langsung berada
di bagian timur Pulau Panjang dan Rakata, sedangkan stasiun yang lebih
terlindung berada di bagian barat pulau Anak Krakatau, dan Rakata. Penjelasan
lebih detil tentang stasiun pengamatan dijelaskan pada subbab rancangan
sampling.
Kajian proses kolonisasi di lakukan pada kawasan dimana diduga terjadi
rekolonisasi awal, yaitu pada daerah-daerah terlindung dan berteluk di Pulau
Rakata dan Panjang. Sedangkan, kolonisasi yang terdapat di Pulau Anak Krakatau
diamati sebagai acuan pembentukan karang yang lebih muda (i.e. tahap awal
proses rekolonisasi yang ke-2). Tahap kolonisasi pertama ditentukan di tiga
stasiun pengamatan Pulau Rakata yaitu di sekitar Pantai Zwarte Hoek, Pasir
Panjang dan Owl Bay, serta dua stasiun pengamatan di Pulau Panjang yaitu Pantai
Karang Ampar dan Tanjung Lesung. Selanjutnya tahap kolonisasi kedua diamati
di sekitar Pantai Legokan pada bagian barat Pulau Anak Krakatau. Sejak
kemunculan pada Tahun 1929-1930, Anak Krakatau telah memberikan tekanan
yang cukup berarti terhadap komunitas biotik yang mengalami perekrutan ulang.
Menurut Sutawidjaja (2006), pembentukan leleran lava padat di sebelah baratselatan (south-west) Pulau Anak Krakatau berkisar antara Tahun 1973-1996.
Sedangkan, leleran lava baru yang teramati pada Tahun 2012 terbentuk pada
bagian selatan Anak Krakatau, dan menutupi sebagian leleran lava Tahun 1993
dari kawah bagian luar ke arah laut.
Kajian kondisi komunitas karang dilakukan dengan mangamati kondisi
komponen bentik, termasuk identifikasi hewan karang dan persentase tutupannya.
Observasi lapangan terhadap komponen bentik dilakukan dengan teknik transek
video pada Line Intercept Transect (LIT). Setiap stasiun pengamatan dilakukan
pengambilan data pada dua kedalaman yaitu pada 5 m dan 10 m, serta pengukuran
parameter kualitas perairan dan pengambilan contoh air untuk keperluan analisis
di laboratorium. Data kualitas perairan merupakan gambaran terhadap kondisi
lingkungan yang diduga dapat berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang di
kawasan Pulau-pulau Krakatau. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan
kajian pustaka. Data sekunder komunitas karang didapatkan dari hasil penelitian
sebelumnya, sebagai tambahan data khususnya untuk Pulau Anak Krakatau dan
Sertung.

10

Analisis statistika deskriptif digunakan untuk melihat deskripsi komunitas
karang, sedangkan siginifikansi antar parameter dianalisis dengan menggunakan
uji Analisis Varian (ANOVA). Selanjutnya, untuk melihat hubungan antar stasiun
pengamatan digunakan analisis kluster dengan teknik Agglomerative Hierarchical
Clustering (AHC). Data-data hasil analisis tersebut kemudian dijadikan acuan
untuk medeskripsikan implikasi terhadap penatakelolaan kawasan konservasi di
lokasi penelitian. Gambar 2 merupakan ringkasan dari rancangan penelitian, dan
proses untuk mengetahui kolonisasi dan proses suksesi, kondisi komunitas karang,
dan implikasi terhadap pengelolaan terumbu karang di Pulau-pulau Krakatau.
Deskripsi lokasi penelitian

Penentuan lokasi
stasiun

Sampling sistematik

Komunitas karang

Lingkungan perairan

Analisis deskriptif dan
uji ANOVA

Hubungan antar lokasi stasiun
dengan analisis kluster

Implikasi bagi pengelolaan
kawasan Krakatau

Gambar 2 Diagram alur penelitian

Rancangan Sampling
Pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan data komunitas karang yang mencakup kekayaan spesies/genera,
keanekaragaman, persentase tutupan, dan data kondisi lingkungan. Lokasi
pengamatan lapangan dirancang untuk mewakili kawasan penelitian dengan
metode purposive sampling (i.e. berdasarkan hasil observasi dan pengamatan

11

terhadap kondisi geomorfologi pesisir dimana ditemukan rataan terumbu karang).
Lokasi pemgamatan terdiri dari enam stasiun, dimana pengamatan kondisi
komunitas karang dilakukan pada kedalaman 5 m dan 10 m. Pengamatan kualitas
air dilakukan pada permukaan perairan, sementara kondisi fisik kawasan (bentuk
pantai, substrat dan geomorfologi terumbu karang) dilakukan secara visual.
Perbedaan kondisi substrat dan bentuk pantai menyebabkan beberapa lokasi
stasiun memiliki titik sampling kedalaman yang berbeda. Peta dan titik stasiun
pengamatan disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 1.

Gambar 3 Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan

Tabel 1 Stasiun pengamatan komunitas karang dan kondisi lingkungan perairan di
Krakatau
Kedalaman
Koordinat
Nomor Stasiun
(m)
(derajat desimal, akurasi ±30 m)
1
Legokan
10
S 06,09136° E 105,41795°
2
Legon Tuan / Zwarte
5 dan 10
S 06,14285° E 105,42282°
Hoek
3
Pasir Panjang
5
S 06,13561° E 105,45014°
4
Legon Cabe / Owl Bay
5 dan 10
S 06,14657° E 105,46241°
5
Tanjung Lesung
5
S 06,09782° E 105,46046°
6
Karang Ampar
5
S 06,09729° E 105,46157°

Deskripsi kondisi stasiun pengamatan pada masing-masing pulau diuraikan
sebagai berikut;

12

1 Pulau Anak Krakatau (Stasiun 1)
Stasiun pengamatan di Anak Krakatau berada di bagian pantai barat pulau
atau dikenal juga oleh penduduk lokal sebagai Legokan, dan diduga hanya
merupakan satu-satunya sisi pulau yang dapat dijumpai terumbu karang. Pantai
yang landai dan datar tidak ditemui di lokasi ini karena kontur berupa tubir
mendominasi dari garis pasang surut. Berliuk-liuk mengikuti bentuk garis pantai
dan substrat berupa batu besar vulkanik sisa letusan. Batu besar vulkanik yang
terdeposit di bagian barat ini diduga merupakan substrat yang baik untuk
kolonisasi komunitas karang di pesisir Anak Krakatau.
2 Pulau Rakata (Stasiun 2, 3 dan 4)
Stasiun 2 diambil pada Teluk Zwarte Hoek atau dikenal juga dengan Legon
Tuan merupakan teluk yang melebar dan terpapar langsung oleh aktivitas Anak
krakatau. Lokasi teluk berada di utara Rakata dengan pantai berpasir sempit,
sedangkan dibelakangnnya merupakan tebing bervegatasi lebat berupa tanjung
(headland) yang menjorok ke utara. Di sebelah barat tanjung berupa tebing terjal
yang melindungi teluk dari pengaruh langsung gelombang, kemudian lebih
terbuka dibagian timur laut. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat
berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang dijumpai hingga
kedalaman 9-11 m. Jika diamati dari letak geografisnya, karang hidup di lokasi ini
diduga dalam keadaan tertekan karena mendapat pengaruh langsung dari aktivitas
vulkanik Anak Krakatau.
Stasiun 3 pada lokasi Pasir Panjang merupakan teluk yang berada disisi lain
Rakata, sekitar 2 km ke arah timur laut dari Stasiun 2. Dijumpai pantai berpasir
sempit sekali di depan stasiun pengamatan, batu besar dan tebing cadas lebih
dominan menutupi garis pantai dengan vegetasinya yang lebat termasuk tanjung
(headland) dikedua sisinya. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat
berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang hanya dijumpai hingga
kedalaman 4-6 m, sedangkan setelahnya hanya hamparan pasir dan beberapa
pecahan karang yang diduga hanyut terbawa arus.
Stasiun 4 pada Owl Bay atau dikenal juga dengan Legon Cabe, merupakan
teluk kecil di bagian selatan dan memanjang (terbuka) ke utara, berada di sisi
timur Rakata dengan pantai pasir yang relatif landai disekitar tanjung. Daerah ini
sering dijadikan tempat turis berwisata, baik snorkelling maupun diving. Terdapat
terrace berpasir sebelum menemui rataan terumbu di depan pantai berpasir dekat
tanjung, sedangkan pada bagian pantai berbatu sedikit ke utara, terumbu karang
dapat dijumpai mulai dari zona intertidal. Rataan terumbu sedikit landai, dan
langsung curam seperti tebing setelah tubir. Substrat berupa pasir, pecahan karang
dan bebatuan lebih dominan semakin ke utara.
3 Pulau Panjang (Stasiun 5 dan 6)
Stasiun 5 pada Tanjung Lesung merupakan pantai yang berada di sisi timur
Pulau Panjang. Hamparan karang hanya dijumpai hingga kedalaman 4-6 m,
dengan substrat dasar berupa pasir dan pecahan karang, dan bebatuan sebagai
substrat dominan penemplen karang. Kondisi rataan terumbu landai hingga
menuju tubir. Tubir tidak terlalu terjal hingga kedalaman 9-12 m, dengan substrat
dominan pasir. Stasiun 6 pada Karang Ampar adalah pantai di sisi yang sama
dengan stasi