Resource Management of Coral Reefs in the Zone Development of Marine Tourism MPAs Dampier Strait Raja Ampat Regency

(1)

PENGELOLAAN SU

DALAM KAWAS

BAHARI

KABU

SYU

SEKO

INSTIT

SUMBERDAYA TERUMBU KARANG

ASAN PENGEMBANGAN WISATA

I KKLD SELAT DAMPIER

UPATEN RAJA AMPAT

ULTJE M. LATUKOLAN

OLAH PASCASARJANA

ITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2012


(2)

ABSTRACT

SYULTJE M. LATUKOLAN. Resource Management of Coral Reefs in the Zone Development of Marine Tourism MPAs Dampier Strait Raja Ampat Regency. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN.

The area of Gam island, Mansuar and Kri of island in the north MPAs of Dampier Strait Raja Ampat regency has potential of coral reef resources for development of marine tourism. The focus management of coral reef to economic rise with management non extractive. The objectives of this research was (a) to analyze the suitability and carrying capacity of coral reef ecosystem for tourism development and (b) to analyze partsipation of stakeholder in management of coral reef resources. The coral reef ecosystem can be used to study its suitability for marine tourism objects of diving. Collected data were life form of coral reef, coral fish, current speed, water transparency and coral reef depth. The formula used to determine tourism suitability is suitability matrix of diving, and Scenic Beauty Estimation (SBE) to judge the quality of landscape. Line intercept transect method showed that islands of Gam, Mansuar and Kri area had a condition of coral reef in the category of “good” with the average coral coverage is 63.75%. However, public participation in the management of coral reefs for the development of marine tourism to has not been done its full potential according to the analysis of community participation.

Keywords: Coral reef, carrying capacity, marine tourism, community participation.


(3)

RINGKASAN

SYULTJE M. LATUKOLAN, Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FACHRUDIN.

Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat menonjol di Kepulauan Raja Ampat. Pengelolaannya difokuskan pada

peningkatan ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah lewat pemanfaatan non ekstraktif yaitu pariwisata. Pengembangan ekowisata bahari Raja Ampat

meliputi pemanfaatan terumbu karang dalam kawasan Daerah Perlindungan Laut dibeberapa gugus pulau yaitu Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri yang berada di sebelah utara KKLD Selat Dampier. Pengembangan kawasan di gugus tiga pulau ini akan terus meningkat dengan ditetapkannya P. Mansuar sebagai basis pengembangan wisata bahari Raja Ampat. Arus kunjungan wisatawan ke lokasi ini akan cenderung meningkat dan kawasan DPL yang ada di lokasi ini akan dipromosikan sebagai lokasi tujuan wisata bahari. Tujuan penelitian ini adalah (a) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan wisata bahari, (b) Menganalisis peran stakeholder dalam pengelolaan wisata bahari.

Untuk mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan ekosistem terumbu karang untuk wisata selam, maka dibutuhkan data-data menyangkut kondisi ekologis dan kualitas perairan. Kondisi ekologis yang menjadi pembatas untuk wisata selam meliputi kondisi tutupan komunitas karang (% cover), jenis life-form, lebar hamparan terumbu karang, keragaman jenis-jenis ikan karang. Kondisi kualitas perairan yang menjadi pembatas yaitu kecepatan arus, kedalaman perairan dan kecerahan perairan.

Penentuan kesesuaian kawasan dilakukan dengan menggunakan Analisis Matriks Kesesuaian Kawasan kategori selam yang mempertimbangkan 6 (enam) parameter antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life- form karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang dengan menggunakan 4 (empat) klasifikasi penilaian. Berdasarkan parameter tersebut diatas didapat nilai Indeks Kesesuaian Wisata (IKW). Hasil IKW selanjutnya dikelompokan dalam 3 kategori yaitu S1 (Sangat sesuai, dengan IKW 83-100 %), S2 (Sesuai, dengan IKW 50-<83 %) dan N (Tidak sesuai, dengan IKW < 50%).

Hasil analisis kesesuaian wisata kategori selam (diving) menunjukkan bahwa DPL Indip (IKW = 94.44), DPL Imburnos (IKW = 85.19) dan DPL Warasmus (IKW = 94.44) adalah lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk wisata diving. Sementara kawasan yang cukup sesuai (S2) untuk lokasi diving adalah DPL Ikwan iba (IKW = 77.78), DPL Yendesner (IKW = 74.07), DPL Tanadi (IKW = 79.63), DPL Mansaswar (IKW = 79.63) dan DPL Kormansiwin (IKW = 74.07)

Analisis daya dukung kawasan menunjukkan bahwa jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung adalah 450 org/hari (DPL Indip Indip), 273 org/hari (DPL Imburnos), 418 org/hari (DPL Warasmus), 7 861 org/hari (DPL


(4)

Ikwan Iba), 570 org/hari (DPL Yendersner), 109 org/hari (DPL Tanadi),32 org/hari (DPL Mansawar) dan 248 org/hari (DPL Kormansiwin. Walaupun demikian partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan delapan kawasan DPL untuk pengembangan wisata bahari kategori selam sebagaimana peruntukkannya belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.

Kata kunci : Terumbu karang, daya dukung kawasan, wisata bahari, partisipasi masyarakat


(5)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG

DALAM KAWASAN PENGEMBANGAN WISATA

BAHARI KKLD SELAT DAMPIER

KABUPATEN RAJA AMPAT

SYULTJE M. LATUKOLAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(6)

(7)

(8)

Judul Tesis : Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat.

Nama : Syultje M. Latukolan.

Nomor Pokok : C252090061.

Program studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : ………….2012


(9)

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat kasih karunia-Nya, sehingga tesis ini dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat” dapat diselesaikan.

Keberhasilan ini tidak luput dari dukungan berbagai pihak kepada penulis sejak proses perkuliahan hingga sampai pada penyelesaian tesis, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang dalam segala kesibukannya masih meluangkan waktu dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan masukan pada penulis sejak proses awal hingga akhir penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar

komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

4. Seluruh Dosen pengajar dan Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Ditjen DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional beserta seluruh jajarannya atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) tahun 2009 yang diberikan kepada penulis.

6. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis.

7. Pimpinan Yayasan Satyabhakti Widya beserta seluruh jajaran atas bantuan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

8. Rektor Universitas Kristen Papua (UKiP) Sorong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB.

9. Keluarga tercinta atas doa dan dukungannya sehingga penulis sampai pada tahap penulisan tesis ini. Kepada kedua orang tuaku tersayang papi John Latukolan dan mami Elizabeth Sahalessy (Alm), kakanda John W. Latukolan sekeluarga, adinda Fonny Latukolan/Pocerattu sekeluarga, adinda Febby Latukolan/Tukiman sekeluarga dan adinda Teddy Latukolan sekeluarga. 10. Bapak Manuel Urbinas (Kadis DKP Kab. Raja Ampat) dan Bapak Jafri

Tuarea (DKP Kab. Raja Ampat), Ibu M. Kasmidi (COREMAP II Kab. Raja Ampat), Bapak Nico Ramandey (Dinkebudpar Kab. Raja Ampat, Bapak Max Ammer (PT. Papua Diving), Bapak Yesaya Mayor, Bapak Hans Sauyai, Sdr. Aris Suryaman dan Sdr. Rusdiando (BPS Kab. Raja Ampat), Sdr. Steward (BAPPEDA Kab. Raja Ampat).

11. Rekan-rekan seangkatan SPL XVI 2009 atas motivasi, dukungan dan bantuan yang diberikan.


(11)

12. Rekan senior Sdr Yar Johan S.Pi, M.Si, SPL angkatan XV 2008 atas dukungan motivasi dan bantuannya. Semoga sukses dalam menyelesaikan studi program doktornya.

13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dari awal sampai pada tahap akhir studi penulis.

14. Perjalanan dalam menempuh studi sampai pada penulisan tesis ini tak luput dari dukungan doa suami dan anak-anakku tercinta. Spesial tesis ini penulis persembahkan buat suamiku yang tercinta Agustinus P. Sawias, dan ke empat anakku tercinta Giovanni Chriselda Sawias, Juan Carlos Rivaldo Sawias, Elzanora Belinda Sawias dan Joy de Angelo Sawias.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terimah kasih.

Bogor, Agustus 2012 Syultje Marie Latukolan


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Amahai, Maluku Tengah pada tanggal 28 Januari 1970 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari ayah John Latukolan dan ibu Elizabeth Sahalessy (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres No. 1 Sorong tahun 1982. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 1 Sorong dan lulus pada tahun 1985. Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 1 Sorong dan lulus pada tahun 1988. Pendidikan Sarjana ditempuh tahun 1988 di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 2005 penulis bekerja sebagai Dosen di Universitas Kristen Papua (UKiP) Sorong dan selanjutnya ditempatkan sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Pertanian UKiP Sorong. Tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari DIKTI serta izin dari Rektor UKiP Sorong untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR GAMBAR ……….... DAFTAR LAMPIRAN ………..

xv xvii xviii

1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 2

1.3 Kerangka Pemikiran ………... 3

1.4 Tujuan Penelitian ……….. 5

1.5 Manfaat Penelitian ……… 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 7

2.1 Ekosistem Terumbu Karang ………. 7

2.2 Ekowisata ………. 10

2.3 Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Wisata Bahari …… 11

2.4 Pengelolaan Ekowisata Bahari ………. 13

2.5 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Kawasan untuk Ekowisata Bahari ………. .. 14

2.6 Aspek Sosial Wisata ………. 18

3. METODE PENELITIAN ……… 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….…… 21

3.2 Pengumpulan Data ………. 21

3.2.1. Data Nilai Objek Wisata Bahari ……….. 24

3.2.2. Data Sosial ………..……… 25

3.3 Analisis Data ………. 25

3.3.1. Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam ……….… 25

3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam ………. 26

3.3.3. Analisis Nilai Visual Objek Wisata Bahari ………. 28

3.3.4. Analisis Keterlibatan Stakeholder ……… 29

3.4.5. Analisis Persepsi Stakeholder ………. 31

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………. 33

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Raja Ampat…. .. 33

4.1.1. Kondisi Topografi, Iklim dan Bathimetri ……… 34

4.1.2. Kondisi Oceanografi ………... 35

4.1.3. Potensi Karang Kepulauan Raja Ampat ……….. 37

4.1.4. Budaya Pemanfaatan Sumberdaya Laut ……….. 38

4.2 Distrik Meosmansar ………... 39


(14)

4.2.2. Penduduk dan Lapangan pekerjaan ………. 39

4.2.3. Sarana dan Prasarana Pendidikan …………..………….. 39

4.2.4. Iklim ………. 41

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 43

5.1 Sumberdaya Karang dan Ikan Karang…… ………... 43

5.1.1. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Indip, Kampung Arborek. ... 47

5.1.2. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Imburnos, Kampung Sauwandarek ……... 49

5.1.3. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Warasmus, Kampung Yenbuba ………... 52

5.1.4. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Ikwan Iba, Kampung Yenbekwan ………... 55

5.1.5. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Yendesner, Kampung Kurkapa ………...…… 58

5.1.6. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Tanadi, Kampung Kapisawar ………... 60

5.1.7. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Mansaswar, Kampung Sawinggrai ………... 63

5.1.8. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Kormansiwin, Kampung Yenwaupnor ………... 65

5.2 Karakteristik Sosial Stakeholder dalam Pengelolaan Terumbu Karang ………....……… 68

5.2.1. Keterlibatan Stakeholder ……… 68

5.2.1.1. Masyarakat Lokal ………. 70

5.2.1.2. COREMAP II Kab. Raja Ampat ……….. 72

5.2.1.3. DKP Kab. Raja Ampat ………. 73

5.2.1.4. PT. Papua Diving ………. 75

5.2.2. Persepsi Stakeholder tentang Terumbu Karang dan PT. Papua Diving Pengelola Wisata Bahari ……… 77

5.3 Sistem Pengelolaan Terumbu Karang ……… 81

5.4 Potensi Terumbu Karang bagi Pengembangan Wisata Bahari 84 5.4.1. Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang………... 86

5.4.2. Kondisi Ikan Karang……….. 88

5.4.3. Kualitas Visual Objek Wisata Bahari (SBE)………... 90

5.4.4. Kesesuaian Kawasan Terumbu Karang untuk Wisata Bahari Kategori Selam……….. 92

5.4.5. Daya Dukung Kawasan Terumbu Karang untuk Wisata Bahari Kategori Selam. ……….... 94

5.5 Strategi Pegelolaan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata Bahari. ………... 96

5.5.1. Mengatasi Kerusakan Terumbu Karang. ……….. 97

5.5.2. Mengoptimalkan Pengelolaan Wisata Bahari …………... 99

6. SIMPULAN DAN SARAN ………... 103

6.1. Simpulan ………..……….... 103


(15)

DAFTAR PUSTAKA ………. 105


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Posisi geografis 8 stasium penelitian ……….. 21

2. Jenis dan sumber data ………... 24

3. Data lain yang dikumpulkan untuk Analisis Keterlibatan Stakeholder………. 25

4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam ... 26

5. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ... 27

6. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam ... 27

7. Jumlah distrik di Kabupaten Raja Ampat tahun 2010 ... 34

8. Jumlah sekolah, guru dan murid di Distrik Meosmansar …………... 40

9. Penyebaran karang di lokasi penelitian ………. 45

10. Kelimpahan ikan karang yang dominan di lokasi penelitian ... 46

11. Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Indip Kampung Arborek ... 48

12. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Indip Kampung Arborek. ... 49

13. Dua puluh jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek... 51

14. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek... 52

15. Dua puluh satu jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba ... 54

16. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba ……….. 55

17. Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan. ... 56

18. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Ikwan iba Kampung Yenbekwan.. ... 57

19. Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa ... 59

20. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa. ... 60


(17)

21. Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi

di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar ... 61 22. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL

Tanadi Kampung Kapisawar. ... 62 23. Dua puluh tiga jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi

di DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. ... 65 24. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL

Mansaswar Kampung Sawinggrai... 66 25. Enam belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi

di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor. ... 68 26. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL

Kormansiwin Kampung Yenwaupnor... 68 27. Nama dan letak homestay di Distrik Meosmansar ……….... 72 28. Kondisi lingkungan di lokasi penelitian. ……….. 85 29. Potensi sumberdaya terumbu karang untuk wisata bahari …………... 88 30 Jumlah suku, spesies dan kelimpahan ikan di lokasi penelitian ... 89 31. Nilai visual objek wisata bahari (SBE) di lokasi penelitian …... 91 32. Pengelompokan nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang

dan rendah. ……… 92

33 Kesesuaian wisata bahari kategori selam... 93 33. Daya dukung kawasan untuk wisata bahari kategori selam. ………… 95


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ………... 6

2. Peta 8 kawasan DPL di Distrik Meosmansar yang menjadi stasiun Penelitian. …….………... 22

3. Letak 8 kawasan DPL Distrik Meosmansar dalam peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir……….. 23

4. Proses penentuan persepsi ……….. 31

5. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Indip Kampung Arborek ... 48

6. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek... 50

7. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba... 53

8. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan ... 56

9. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa. ... 58

10. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar. ... 61

11. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. ... 63

12. Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor ... 66

13. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan DPL sebagai kawasan wisata bahari ………... 69

14. Kunjungan wisatawan ke PT. Papua Diving di Pulau Kri ……... 78

15. Persepsi stakeholder terhadap PT. Papua Diving ………... 79


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Jumlah suku dan jenis karang di lokasi penelitian ……….. 115

2. Jumlah suku dan jenis ikan karang di lokasi penelitian ……….. 117

3. Parameter Indeks Kesesuaian Wisata. Bahari ………. 121

4. Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam ... 122

5. Perhitungan Daya Dukung Kawasan wisata bahari kategori selam ... 123

6. Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) ... 124

7. Tabulasi data hasil pemberian skor pada masing-masing photo untuk Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) ……… 130

8. Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap 24 Photo sebagai objek wisata bahari selam ………...…… 131

9. Kuisioner Analisis Keterlibatan Stakeholder ……… 134

10. Gambar homestay dan tempat wisata di Distrik Meosmansar …... 136

11. Fasilitas dan biaya inap di homestay yang tersebar di Distrik Meosmansar ……….. 138

12. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari ……….. 139


(20)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Kepulauan Raja Ampat terletak di dekat jantung pusat segitiga karang dunia (Coral Triangle) sebuah kawasan yang mencakupi bagian utara Australia, Philipina, Indonesia, dan Papua Nugini yang memiliki keanekaragaman karang tertinggi di dunia (Veron 2000). Berdasarkan hasil penelitian tercatat 537 jenis karang keras terdapat di perairan Kabupaten Raja Ampat (CI, TNC-WWf), 9 diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemik. Jumlah ini merupakan 75 persen dari karang dunia. Berdasarkan indeks kondisi karang, 60 persen terumbu karang di Raja Ampat dalam kondisi baik dan sangat baik sehingga telah diusulkan sebagai Lokasi Warisan Dunia (World Herritage Site) oleh Pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, disebagian wilayah telah terjadi pengrusakan terumbu karang yang disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potassium (Pemda Kab. Raja Ampat 2006).

Tercatat juga bahwa di Raja Ampat telah ditemukan 828 (Cl) dan 899 (TNC-WWF) jenis ikan karang sehingga Raja Ampat diketahui mempunyai 1 104 jenis ikan yang terdiri dari 91 family (McKenna et al. 2002 dan TNC-WWF 2002). Diperkirakan jenis ikan karang tersebut dapat mencapai 1 346 jenis, berdasarkan kesinambungan genetik di wilayah Kepala Burung, sehingga menjadikan kawasan ini sebagai kawasan dengan kekayaan jenis ikan karang tertinggi di dunia (COREMAP II-DKP Kab. Raja Ampat 2007).

Mengingat 80 persen wilayah Raja Ampat didominasi oleh laut dengan kekayaan biodiversity laut yang tinggi maka oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, visi pembangunan kabupaten ini ditujukan pada ’Terwujudnya Kabupaten Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari yang didukung oleh sumber daya kelautan dan perikanan serta pariwisata menuju masyarakat Raja Ampat yang madani’. Dalam hal ini, pariwisata telah dijadikan tulang punggung perekonomian oleh pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Beberapa kawasan di bagian utara KKLD Selat Dampir yaitu Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri yang memiliki potensi sumberdaya terumbu karang akan terus dikembangkan sebagaimana tujuan utama pengelolaan KKLD Selat Dampir yaitu sebagai Kawasan Wisata


(21)

Bahari Raja Ampat (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010).

Berbagai upaya untuk pengembangan wisata bahari Raja Ampat telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat melalui dinas terkait dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Pengelolaan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dilakukan dengan memanfatkan kawasan-kawasan yang terlebih dahulu telah ditetapkan sebagai kawasan DPL. Pengelolaan kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary yang dilakukan bukan saja bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya, tetapi kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata bahari kategori selam terbatas (Tampi 2008).

Mengingat tujuan pengelolaan kawasan diarahkan untuk pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan maka dibutuhkan kesadaran, kerjasama, koordinasi dan integrasi dari para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat aktifitas anthropogenik yang tidak mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono 2007). Dengan demikian untuk mencapai tujuan utama pengelolaan kawasan yang diarahkan untuk pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan sekaligus untuk mendukung tercapainya tujuan pengelolaan KKLD Selat Dampir sebagai kawasan wisata bahari Raja Ampat maka faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan sumberdaya tersebut harus dipertimbangkan. Demikian halnya dengan peran aktif masyarakat dan setiap pemangku kepentingan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Raja Ampat menjadi perhatian dunia ketika hasil survei ekologi 2002 menunjukkan bahwa kekayaan dan keindahan alam bawah lautnya adalah yang terbaik didunia (McKenna et al. 2002 dan Pemda Kab. Raja Ampat et al. 2005). Sehingga tidak mengherankan jika banyak wisatawan yang datang berkunjung ke kabupaten ini untuk menikmati keindahan bawah lautnya dengan melakukan diving. Hal ini nampak dengan adanya arus kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Raja Ampat yang meningkat cukup signifikan


(22)

dalam kurun waktu satu tahun seperti tercatat pada tahun 2010, yaitu 10 000 orang/thn meningkat menjadi 15 000 orang/thn di tahun 2011 dengan jumlah rata-rata wisatawan asing 6 000 orang/thn sisanya 9 000 orang/thn wisatawan nusantara (Dinkebudpar 2010).

Kondisi ini merupakan peluang besar dalam pengembangan wisata bahari Raja Ampat tetapi juga dapat merupakan ancaman bagi sumberdaya yang ada jika pengelolaan tidak dilakukan secara bijaksana. Disisi lain adanya kerentanan masyarakat terhadap pengaruh pengelolaan sumberdaya alam yang menjanjikan nilai ekonomi lebih tinggi walaupun sesaat (COREMAP II - DKP Kab. Raja Ampat 2007).

Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak yang terkait dalam pengelolaan tersebut. Mengingat kelemahan yang ditemukan dalam pengelolaan terumbu karang di Raja Ampat, adalah belum tersedianya informasi yang detail dan akurat yang memperhitungkan daya dukung kawasan terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan dengan melakukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek yang berpengaruh penting terhadap pengelolaan terumbu karang. Demikian pula keterbatasan sumberdaya manusia yang profesional untuk mengelola kawasan-kawasan konservasi laut merupakan kelemahan lainnya. (COREMAP II-DKP Kab. Raja Ampat 2007).

Pemberdayaan masyarakat sebagai stakeholder yang berperan langsung dalam pengelolaan kawasan DPL sebagai bagian dari kawasan pengembangan wisata bahari penting untuk mendapat perhatian. Mengingat terumbu karang sangat peka dan rentan terhadap perubahan eksternal dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memulihkan kondisi tersebut ke kondisi awal.

1.3. Kerangka Pemikiran

Jenis kegiatan wisata yang diprioritaskan pengembangannya di Kabupaten Raja Ampat adalah pengembangan pariwisata kelautan. Berdasarkan survei dan kajian yang pernah dilakukan, pengembangan pariwisata kelautan merupakan kegiatan yang paling selaras dengan kondisi alam Kabupaten Raja Ampat. Oleh karena ini pengembangannya perlu diutamakan (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010).


(23)

teridentifikasi 4 (empat) kawasan yang berpotensi besar untuk pengembangan kegiatan wisata bahari, yaitu (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata 2003 in BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010):

• Kawasan Pulau Wayag hingga gugusan Pulau Kawe di bagian utara Waigeo;

• Kawasan Pulau Gam – Pulau Kri, Mansuar dan Pulau Wai;

• Kawasan Pulau Ketimkerio – Pulau Wagmab dan Pulau Walib dibagian selatan Misool;

• Kawasan gugusan Pulau Kofiau dibagian timur Kabupaten Raja Ampat. Di kawasan ini dapat dikembangkan kegiatan wisata seperti menyelam (Diving), Sea kayaking, Snorkeling, dan Lifeboard, disamping kegiatan wisata riset ekologi seperti penelitian keanekaragaman hayati.

Pulau Gam, Pulau Kri dan Pulau Mansuar merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir (Perbup No. 5 tahun 2009 in Sekda Kab. Raja Ampat 2009) dengan tujuan utama pengelolaannya sebagai Kawasan Wisata Bahari sebagaimana yang telah ditetapkan oleh DKP Raja

Ampat (DKP Kab. Raja Ampat 2009). Dalam kawasan tiga pulau ini telah ditetapkan beberapa kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang

diantaranya ada delapan DPL (COREMAP II-DKP Kab. Raja Ampat 2009) yang oleh masyarakat diperuntukkan sebagai kawasan wisata baharí (diving) terbatas sebagaimana termuat dalam Peraturan Kampung tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di tiap kampung.

Dalam arahan penataan ruang, kawasan yang berada di tiga pulau ini juga telah ditetapkan sebagai zona semi intensif yakni kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan wisatawan dalam skala lebih kecil dengan aktivitas wisata yang terbatas dan bersifat spesifik, seperti pengamatan satwa liar, jelajah hutan, diving, snorkeling, dan kayaking, dengan menyediakan ruang yang cukup seperti resort, maksimum bertingkat dua, dengan jumlah kamar terbatas maupun pengembangan homestay. Disamping itu, kawasan ini juga direkomendasikan sebagai kawasan proteksi multiguna (multipurpose protected area) dengan arahan pengembangan pariwisata berkelanjutan dan perikanan sebagai basis utama kegiatan ekonomi (Kemenbudpar 2003 in BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010).


(24)

wisata terdapat di Pulau Mansuar dan Pulau Kri. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi wisatawan asing yang berkunjung dan menetap di kawasan tersebut. Selain telah ada fasilitas akomodasi yang serasi dengan lingkungan alamnya, posisi pulau ini juga strategis untuk dijadikan salah satu basis awal paket wisata di Kabupaten Raja Ampat (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010).

Berkaitan dengan pengembangan wisata bahari di Raja Ampat, diitemukan beberapa peluang yang mendukung pengembangan ekowisata bahari di Kabupaten Raja Ampat (COREMAP II - DKP Kab. Raja Ampat 2007), yakni:

1. Kawasan terumbu karang telah lama dikenal di dunia internasional

2. Jumlah wisatawan mancanegara yang berwisata bahari cenderung meningkat

3. Arah pengembangan wisata dunia yang berorientasi pada pelestarian lingkungan

4. Adanya daya dukung industri pariwisata bahari

5. Hadirnya lembaga-lembaga non pemerintah dan mancanegara yang serius untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Menjadikan KKLD Selat Dampir sebagai Kawasan Wisata Bahari Raja Ampat dibutuhkan kesadaran dan peran aktif masyarakat, serta kerjasama, koordinasi dan integrasi para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya benturan-benturan kepentingan yang tidak relevan dengan tujuan pengelolaan kawasan sehingga fungsi ekologi sumberdaya terumbu karang sebagai aset pembangunan daerah tetap terjaga dan lestari. Untuk menggambarkan kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan terumbu karang 8 (delapan) kawasan DPL Distrik Meosmansar untuk wisata bahari kategori selam.

2. Menganalisis peran stakeholder dalam pengelolaan kawasan DPL untuk pengembangan wisata bahari.


(25)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Mencegah dan meminimalisasi kerusakan pada terumbu karang akibat kegiatan penyelaman yang tidak terkontrol dalam kawasan DPL lewat pengaturan jumlah kunjungan dan aktifitas diving.

2. Meningkatkan peran aktif masyarakat, kerjasama, koordinasi dan integrasi diantara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.

Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri

Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan

Wisata Bahari Raja Ampat

Pengelolaan Kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Untuk Wisata Bahari Kategori Selam

Potensi Ekologis

Potensi Sosial

Analisis

•Keterlibatan Stakeholder •Persepsi Stakeholder Analisis:

•Kesesuaian Kawasan (Diving) •Daya Dukung Kawasan (Diving) •Scenic Beauty Estimation (SBE)

Strategi Pengembangan Ekowisata Bahari Berkelanjutan


(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Terumbu Karang.

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas dan dapat berkembang

dengan baik di perairan tropis. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (corals) disamping alga berkapur dan hewan-hewan lain (Nybakken 1992). Hewan karang termasuk filum Scnedaria, Kelas Anthozoa, ordo Madrepopraria Ascleractinia. Aristoteles mengklasifikasikan hewan karang ini sebagai hewan-tumbuhan (animal-plant). Tetapi pada tahun 1723 hewan karang diklasifikasikan sebagai binatang dan masuk dalam kelompok besar Coelenterata (hewan berongga) seperti ubur dan anemon laut (Dahuri 2003). Disamping biota tersebut banyak organisme lain seperti ikan, kerang, lobster, penyu yang juga hidup berasosiasi di ekosistem terumbu karang (Dawes 1984).

Secara ekologis ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur, kekeruhan, salinitas. Distribusi terumbu karang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Beda kondisi parameter perairan seperti temperatur, salinitas, aksi gelombang, maka spesies dan keragaman terumbu karang juga akan berbeda (Veron 1986). Dalam hal ini gradient suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang (Jones dan Endean 1973).

Menurut Dahuri (2003) bahwa distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung pada beberapa parameter fisika, yaitu:

1. Kecerahan.

Cahaya matahari berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan akan berpengaruh pada kurangnya kemampuan karang dalam menghasilkan CaCO3. Kebanyakan terumbu dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (kompensasi) yaitu


(27)

kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15-20 persen dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air.

2. Temperatur.

Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25°C - 29°C, namun suhu diluar kisaran tersebut dapat ditolerir oleh jenis tertentu dari jenis karang hermatifik untuk bertumbuh dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu dibawah 20°C selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 36°C. Sedangkan menurut Nybakken (1992) terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 23°C - 25°C, dan dapat mentolerir suhu sampai kira-kira 36°C - 40°C, tetapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18°C.

3. Salinitas.

Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30‰ - 35‰ sedangkan menurut Nybakken (1992) karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran 32‰ - 35‰. Namun demikian ada juga terumbu karang yang mampu berkembang dikawasan perairan dengan salinitas 42‰ seperti di wilayah Timur Tengah. 4. Sirkulasi Arus dan Sedimentasi.

Arus diperlukan dalam pertumbuhan karang dalam menyuplai makanan selain mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi yang berasal dari partikel lumpur padat yang dibawah oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut karena proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu.

Berdasarkan hubungannya dengan daratan, Dahuri (2003) mengemukakan bahwa karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:


(28)

1. Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat

dan sejajar dengan garis pantai. Contohnya di utara dan barat Papua, di Mentawai, Pangandaran dan Parangtritis di Pantai Selatan P. Jawa,

di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Timur.

2. Atol (Atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 m. Contohnya Atol Takabonerate di Sulawesi Selatan.

3. Terumbu penghalang (barrier reff) serupa dengan karang tepi tetapi memiliki jarak yang cukup jauh dari garis pantai dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Contohnya di Kep. Togean, Sulawesi Tengah, beberapa tempat di Kalimantan Timur dan di Selat Makasar.

Menurut Bengen (2001) terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dengan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi energi arus dan ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir. Selain itu terumbu karang berperan utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup diterumbu karang (TERANGI 2005).

Terumbu karang memiliki fungsi biologi dan fisik yang sangat penting

dalam zona pesisir tropis; terumbu karang memproteksi garis batas pesisir sebuah pulau dan benua dari ombak samudera; terumbu karang juga memberikan

kesempatan bagi perkembangan basin bersedimen dangkal dan mangrove yang terkait serta komunitas lamun. Sebagai hasil dari produktivitasnya yang tinggi, terumbu karang telah menjadi basis dari penghidupan, keamanan dan budaya masyarakat pesisir serta komunitas laut pada laut tropis. Selain itu terumbu karang juga merupakan area fokus utama untuk olahraga selam yang berkontribusi pada perkembangan industri pariwisata (Craik et al. 1990).

Sedangkan manfaat terumbu karang bagi masyarakat adalah:

1. Terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kapur bahan konstruksi bangunan, sebagai sumber makanan, sebagai penambatan jangkar perahu, sebagai hiasan, sebagai pembersih alat dapur, sebagai bahan


(29)

dempul, sebagai bahan obat-obatan (anti biotik, anti kanker, anti bakteri), dan secara tidak langsung menyumbangkan peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.

2. Menyediakan lapangan kerja melalui perikanan dan pariwisata, keindahan terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kebutuhan melalui kegiatan pariwisata seperti diving dan snorkeling serta kegiatan fotografi bawah air atau pengumpulan kerang-kerangan untuk cinderamata.

2.2. Ekowisata.

Menurut Ceballos dan Lascurian (1991) in Yulianda (2007), ekowisata adalah pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan disana. Sementara Bruce et al. (2002) berpendapat, ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Ditambahkan pula oleh Nurfatriani dan Evida (2003) bahwa ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat dan tepat dan berdaya guna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami.

Ekowisata sendiri untuk pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh oganisasi The Ecotourisme Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara

kesejahteraan masyarakat setempat (Linberg dan Hawkins 1993 in Yulianda

2007). Buckley (1996) menyatakan bahwa ada empat bentuk perjalanan yang berlabelkan ekowisata dan umumnya dilakukan, yaitu: (1) Wisata berbasis

alamiah (nature based tourism), (2) Kawasan konservasi sebagai pendukung objek wisata (conservation supporting tourisme), (3) Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (4) Wisata yang berkelanjutan (sustainable tourisme).


(30)

Rumusan ekowisata yang disepakati dalam lokakarya nasional ekowisata pada bulan Juli 1996 di Bali yang melahirkan forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI), yaitu kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di

daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan

ekowisata. (Sudarto 1999).

Secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Setiawati 2000).

Menurut Fandeli (2000), sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. 2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan

budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism),

merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

Dalam teori dan prakteknya ekowisata tumbuh dari kritik terhadap pariwisata masal, yang dipandang merusak landasan sumberdaya yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru antara lain adalah pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata yang berbasis komunitas dan ekowisata (Aoyoma 2000). Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang


(31)

termasuk: bukan pariwisata berskala besar atau massal, mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan dan mempererat hubungan antar bangsa.

2.3. Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Wisata Bahari

Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut, dengan tujuan: (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung system kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Menurut Yulianda (2007), konsep untuk mengembangkan ekowisata meliputi delapan hal utama yang meliputi:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat,

2. Pendidikan konservasi dan lingkungan: mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi,

3. Pendapatan langsung untuk kawasan: restribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan,

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan: merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan,

5. Penghasilan bagi masyarakat: masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga mendorong untuk menjaga kelestarian kawasan,

6. Menjaga keharmonisan dengan alam dengan cara kegiatan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam,

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan: daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan,

8. Kontribusi bagi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat). Pengembangan suatu kawasan untuk tujuan ekowisata, hendaknya memperhatikan dua aspek utama, yaitu: (1) Aspek Destinasi: tidak melakukan eskploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk


(32)

memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, psikologis wisatawan atau dengan kata lain bukan menjual destinasi melainkan filosofi dan (2) Aspek Market, yakni konsep produk driven, meskipun market dipertimbangkan namun macam, sifat, perilaku objek dan daya tarik wisata alam-budaya diusahakan untuk kelestarian dan keberlanjutan (Fandeli 2000).

2.4. Pengelolaan Ekowisata Bahari.

Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat lewat pemanfaatan yang berkelanjutan dengan tetap mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya

menggunakan jasa dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata

bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi (Yulianda 2007).

Pengelolaan ekowisata yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan terhadap kelestarian sumberdaya dan keindahan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan ekosistem utama serta jenis-jenis biota yang ada di dalamnya. Menurut Gunn (1994), pengelolaan ekowisata dapat mencapai kondisi optimal dan berkelanjutan, jika pola pengelolaannya dapat memenuhi empat aspek, yaitu:

1. Mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan (alam). 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan tersebut. 3. Menjamin kepuasan penduduk.

4. Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat disekitar kawasan dan zona pengembangannya.

Menurut Nurfatriani dan Evida (2003) dalam pengelolaan ekowisata dipergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan dengan menitikberatkan pada pelestarian dibandingkan pemanfaatan, serta harus sinergi dan berpihak kepada masyarakat. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat lokal akan membantu menjaga keutuhan kawasan ekowisata dan mempertahankan budaya lokal


(33)

masyarakat serta membuka peluang untuk memposisikan masyarakat sebagai bagian dari pengelola bersama dengan stakeholder yang lain.

Berbeda dengan industry tourism umumnya ecotourism memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen ecotourism adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek ekonomi dan ekologi terhadap suatu sumberdaya. Oleh karena itu, manajemen ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upaya-upaya konservasi lingkungan (Nugroho 2004). Ceballos dan Lascuarin (1997) in Dirawan (2003) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian .logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya).

Selanjutnya disebutkan bahwa, sebaiknya, perkembangan wisata rnenerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (Sekartjakrarini 2003).

Dalam konteks ini, yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya adalah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya. Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003).

Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi adalah untuk mewujudkan misi konservasi. Dalam pengembangan ekowisata tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan program-program konservasi dalam produk wisata pengelolaannya. Dimana kegiatan interpretasi lingkungan dalam ekowisata


(34)

merupakan media yang efektif untuk mengkampanyekan program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun masyarakat lokal.

2.5. Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Kawasan untuk Ekowisata Bahari.

Kesesuaian ekologi untuk ekowisata bahari adalah suatu kriteria penilaian untuk sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata bahari. Pengembangan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesuaian secara ekologis. Wisata bahari seperti diving dan snorkeling sangat didukung oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik yang diincar oleh wisatawan (Salm 1986).

Daya dukung didefinisikan oleh Bengen dan Retraubun (2006) sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya atau kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung didalamnya dan memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang berperan di alam. Sedangkan daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawasan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak yang minimal terhadap sumberdaya. Konsep ini memiliki dua konsep utama yang membatasi perilaku pengunjung yang berkaitan dengan daya dukung, yaitu (1) kondisi lingkungan dan (2) kondisi sosial budaya masyarakat (Mc Neely 1994).

Mc Neely (1994) menambahkan juga bahwa daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana objek wisata alam. Jika daya tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui, maka akan terjadi degradasi sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos - Lascurain 1991; Simon et al. 2004).


(35)

Ekosistem terumbu karang sebagai media wisata mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan non-ekstraktif, dalam hal ini pariwisata, maka upaya pelestarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakkan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik, sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan hukum secara terarah dan konsisten (Wiharyanto 2007). Ada enam faktor yang menentukan kapasitas daya dukung terumbu karang, yaitu: (1) Ukuran dan Bentuk Karang (2) Komposisi dan komunitas karang, Kedalaman, Arus dan Kecerahan perairan (4) Tingkat pengalaman snorkeler dan diver (5) Aksesbilitas dan (6) Atraksi (Lim 1998).

Konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas kegiatan pariwisata (Salm 1986) yang ditandai dengan penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang akibat kegiatan penyelaman (Schleyer dan Tomalin 2000). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika pengelolaan kawasan sesuai pemanfaatannya berada di bawah konsep daya dukung, sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung maka akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1997).

Beberapa penelitian tentang daya dukung pengunjung dan dampak penyelam terhadap terumbu karang yang fokus pada SCUBA divers di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan Great Barrier Reef (Australia) (Davis dan Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; Jameson et aI. 1999). Dari hasi penelitian ini didapatkan bahwa daya dukung (carrying capacity) untuk wisata bahari di kawasan terumbu karang tergantung tidak hanya pada jumlah penyelam, tetapi juga tipe penyelaman, latihan, pendidikan mereka, tipe dari bentuk pertumbuhan karang dan struktur komunitas karang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karang dapat dirusak oleh kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penyelam amatir, dan pada berberapa kasus pembangunan


(36)

infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari dapat menyebabkan kerusakan pada lokasi penyelaman itu sendiri.

Pengembangan wisata bahari dan penerapan batas pelestarian (melalui

kapasitas daya dukung atau toleransi batas perubahan) sangat tergantung pada situasi kondisi lingkungan perairan. Dampak yang berpengaruh pada

kualitas lingkungan laut juga akan berdampak pada wisata bahari baik yang berdiri sendiri, maupun yang tidak berhubungan langsung dengan pariwisata, tapi memiliki efek yang mengganggu (Davis dan Tisdell 1996). Selanjutnya

ditambahkan oleh de Vantier dan Turak (2004) bahwa dari perspektif

estetis (sosial/kenyamanan) mengendalikan jumlah penyelam dilakukan

dengan mengatur jumlah rata-rata penyelam sehingga penyelam memperoleh kenyamanan ketika menyelam.

Berbagai aktifitas wisata bahari seperti diving dan snorkeling yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang baik dari peralatan seperti tabung (diving), fin dan kamera underwater. Aktifitas gerakan penyelam seperti kayuhan fin dapat menyebabkan pengadukan sedimen didekat karang (Zakai dan Chadwick 2002). Begitu juga beberapa interaksi dan kontak yang kompleks dari kegiatan penyelam terhadap terumbu karang seperti tipe penyelaman, kondisi alam lokasi (hamparan karang, arus, tipe komunitas karang dan kharakteristik lainnya) yang beragam antara lokasi, pengalaman/ tingkah laku penyelam, tingkat kerusakan karang, konsentrasi penumpukan penyelam, pemisahan aktifitas selam, akses ke lokasi selam, berjalan di karang pada snorkeling, tambatan atau jangkar kapal dan ukuran dari lokasi selam, yang

kesemuanya dapat mempengaruhi daya dukung, dan sangat penting diperhatikan dalam menetapkan jumlah penyelam per lokasi (Barker dan Roberts 2003).

Beberapa penelitian tentang daya dukung (carryng capacity) terumbu karang dan dampak yang diakibatkan oleh penyelam terhadap terumbu karang telah dilakukan di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan di Great Barrier Reef Australia (Davis dan Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; dan Jameson et al. 1999). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa daya dukung untuk wisata bahari, tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penyelam, tapi tergantung juga pada tipe penyelam, latihan dan pendidikan mereka, tipe pertumbuhan karang, dan struktur


(37)

komunitas karang. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa kerusakan karang dapat diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, penyelam amatir dan beberapa kasus pembangunan infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari. Daya dukung kawasan Daerah Perlindungan Laut untuk kegiatan wisata diving dan snorkeling dapat diestimasi dengan menggunakan angka yang direkomendasikan Hawkins dan Robert (1997) yaitu 5 000 – 6 000 penyelam perlokasi pertahun, bergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat digunakan. Sebaliknya Dixon et al. (1993) memberi batasan yaitu 4 000 – 6 000 penyelam perlokasi pertahun, hal ini disebabkan karena penyelaman sebelumnya telah memberi dampak kerusakan pada struktur komunitas karang di Banaire (Laut Karibia).

2.6. Aspek Sosial Wisata Menurut Bater et al. (2001), pembangunan pariwisata berkelanjutan hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai solusi pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata.

Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi, yaitu:

1. Partisipasi.

Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.


(38)

Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihak- pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan pariwisata.

3. Kepemilikan Lokal.

Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dsb. seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterkaitan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan Sumberdaya yang Berkelanjutan.

Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumberdaya yang berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Perlu dukungan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumberdaya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi Tujuan-tujuan Masyarakat.

Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung atau wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran. 6. Daya Dukung.


(39)

daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara reguler sehingga dapat ditentukan penyesuaian/perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas wisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limits of acceptable use).

7. Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal.

8. Akuntabilitas.

Perencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seperti tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan. 9. Pelatihan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program - program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational dan profesional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10.Promosi.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung.


(40)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di bagian utara KKLD Selat Dampir yang terdiri dari Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri pada bulan Maret sampai Mei 2011. Lokasi pengamatan dilakukan pada 8 (delapan) kawasan DPL sebagai stasiun penelitian. Secara administratif kawasan DPL tersebut masuk ke dalam Distrik Meosmansar, yang meliputi kampung Arborek, Sauwandarek, Yenbuba, Yenbekwan, Kurkapa, Kapisawar, Sawinggrai dan Yenwaupnor. Posisi geografis 8 stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan peta stasiun penelitian dan letaknya dalam KKLD Selat Dampier pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 1. Posisi geografis 8 stasium penelitian. Stasiun Nama DPL/

Kampung Luas DPL (Ha) Luas Terumbu Karang (Ha) Posisi geografis

Latitude ( X ) Longitude ( Y ) 1 Indip

(Arborek) 34 13.38

0⁰54’8190 130⁰49’6840 0⁰54’8370 130⁰49’5360 2 Imburnos

(Sawandarek) 35.8 11.01

0⁰59’4933 130⁰60’1783 0⁰58’8150 130⁰60’6333 3 Warasmus

(Yenbuba) 33.6 12.75

0⁰56’5100 130⁰66’4117 0⁰56’5767 130⁰66’9633 4 Ikwan Iba

(Yenbekwan) 289 223.33 0⁰57’8167 130⁰56’8917 5 Yendersner

(Kurkapa) 31.4 19.78 0⁰57’5460 130⁰59’3590 6 Tanadi

(Kapisawar) 66.7 4.25

0⁰51’9600 130⁰55’7560 0⁰51’4480 130⁰55’7390 7 Mansaswar

(Sawnggrai) 17.7 1.09

0⁰55’4330 130⁰56’7620 0⁰55’4590 130⁰56’9710 8 Kormansiwin

(Yenwaupnor) 13.7 10.50

0⁰52’6517 130⁰61’2283 0⁰52’5783 130⁰61’7883 Sumber: COREMAP II – CRITC Kab. Raja Ampat 2009.

3.2. Pengumpulan Data.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian survey dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui pengamatan dan wawancara yang secara garis besar meliputi kondisi ekosistem terumbu karang dan sosial budaya masyarakat.


(41)

(42)

(43)

(44)

(45)

1

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survey dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan sumber data.

No Komponen Jenis Data Sumber Data

1 Biofisik 1.1.Biologi

• Tutupan karang

• Kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang

• Biota lain yang berasosiasi dengan karang

1.2. Fisika

• Kedalaman perairan • Kecerahan perairan • Kecepatan arus • Suhu

1.3. Kimia • Salinitas • Suhu

COREMAP II, DKP Kab. Raja Ampat, CI, WWf dan TNC

2 Sosial Pengaruh tiap stakehoder • Kepentingan tiap stakehoder • Partisipasi stakeholder

• Persepsi tentang terumbu karang • Persepsi masyarakat tentang

pengelolaan terumbu karang

In situ

3.2.1. Data Nilai Objek Wisata Bahari.

Pengumpulan data untuk menentukan nilai keindahan objek wisata bahari

diperoleh dengan menggunakan teknik pengisian kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) oleh 50 responden. Dalam hal ini, teknik penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Responden akan memberi penilaian terhadap 24 foto, yang mewakili 8 stasiun penelitian. Setiap stasiun penelitian diwakili oleh 3 buah foto berupa hamparan karang dan jenis-jenis ikan karang. Responden akan menilai setiap foto dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukkan nilai yang paling tidak disukai sebaliknya skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE)


(46)

dapat dilihat pada Lampiran 6. 3.2.2. Data Sosial.

Pengumpulan data untuk menentukan tingkat keterlibatan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan kawasan DPL dilakukan dengan

menggunakan teknik pengisian kuisioner dan wawancara terhadap 55 responden yang teridentifikasi terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengelolaan terumbu karang yang berada dalam lokasi pengembangan wisata bahari. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan tentang terumbu karang kaitannya dengan pengelolaan yang telah dilakukan serta kondisi lokasi penelitian sebagai kawasan pengembangan ekowisata bahari. Kuisioner Analisis Keterlibatan Masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabe1 3. Data lain yang dikumpulkan untuk Analisis Keterlibatan Stakeholder.

No Data yang dikumpulkan

1 Pengetahuan tentang manfaat dan fungsi terumbu karang

2 Peraturan yang mengatur pengelolaan terumbu karang

3 Partisipasi dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan kawasan terumbu karang

Pengambilan sampel (respoden) dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu, masyarakat, aparat pemerintah daerah dan perusahaan pariwisata yang memiliki pengaruh dan kepentingan dalam pengambilan kebijakan untuk pengembangan ekowisata bahari di daerah setempat. Data lain yang dihimpun untuk melengkapi analisis keterlibatan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3.

3.3. Analisis Data

3.3.1. Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam Kesesuaian lahan wisata bahari kategori selam (diving) mempertimbangkan enam parameter yaitu kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life-from, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang dengan empat klasifikasi penilaian seperti tersaji dalam Tabel 4 (hasil modifikasi dari Yulianda 2007).


(47)

Tabel 4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam. No Parameter Bobot Kategori

S1 Skor

Kategori S2 Skor

Kategori S3 Skor

Kategori N Skor 1

Kecerahan perairan

(%)

5 >80 3 50-80 2 20-<50 1 <20 0 2 Tutupan

Komunitas Karang

(%)

5 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0

3

Jenis lifeform Karang

3 >12 3 <7-12 2 4-7 1 <4 0

4 Jenis Ikan

Karang 3 >100 3 50-100 2 20-<50 1 <20 0 5

Kecepatan Arus (cm/det)

1 0-15 3 >15-30 2 >30-50 1 >50 0

6

Kedalaman Terumbu

Karang (m)

1 6-15 3 >15-20 3-<6 2

>20-30

1 >30 <3 0 Sumber: Yulianda 2007.

Selanjutnya untuk menghitung kesesuaian kawasan untuk wisata bahari kategori selam, menggunakan rumus:

IKW NN x 100 %

Keterangan: IKW = Indeks Kesesuaian Wisata

Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)

Nmax = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata (=54)

Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori selam (modifikasi Yulianda 2007), adalah:

S1 = sangat sesuai dengan nilai IKW 83 – 100 % S2 = cukup sesuai dengan nilai IKW 50 – < 83 % N = tidak sesuai dengan nilai IKW < 50 %

3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam. Analisis daya dukung kawasan digunakan untuk memprediksi kemampuan suatu kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata untuk jenis


(48)

kegiatan tertentu dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan. DDK sendiri adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan daya dukung kawasan untuk pengembangan wisata bahari kategori selam, menggunakan rumus menurut Yulianda (2007), yaitu:

Keterangan: Lt

K Lp Lt Wt Wp

= Daya dukung kawasan

= Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu

= Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan.

Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan, dengan mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir aktivitas pengunjung sehingga keaslian alam terjaga. Potensi ekologis pengunjung dengan luas area kegiatan dan prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)

Jenis kegiatan ∑ Pengunjung (org) Unit Area (Lt) Keterangan

Selam 2 2000 m2 Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m Sumber: Yulianda 2007.

Tabel 6. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam.

Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp-Jam) Total Waktu 1 hari Wt-(Jam)


(49)

Sumber: Yulianda 2007.

3.3.3. Analisis Nilai Visual Objek Wisata Bahari

Analisis spasial dilakukan dalam bentuk penilaian visual objek wisata bahari suatu kawasan dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Penentukan nilai visual objek wisata bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (Daniel dan Bostes 1976). Tahapan penentuan nilai SBE meliputi:

1. Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto.

Titik pengamatan yaitu stasiun pengamatan yang memiliki nilai kesesuaian wisata diving kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai). Pengambilan foto dilakukan pada masing-masing jenis terumbu karang dalam berbagai sudut pengamatan, serta biota-biota yang khas dari setiap stasiun.

2. Seleksi foto.

Foto-foto yang kan diperlihatkan pada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat dari tiap stasiun. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cahaya perairan, maka khusus untuk foto dilakukan editing dengan menggunakan software ACDSee, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan memiliki kualitas gambar yang sama dengan aslinya. 3. Penilaian oleh responden.

Responden yang dipilih adalah wisatawan asing atau lokal, pelaku wisata selam atau penyelam yang memiliki sertifikat selam minimal A1. Jumlah responden yang dipilih sebayak 50 orang, penilaian oleh responden dalam bentuk penilaian melalui kuisioner dengan memperlihatkan foto yang telah dipilih. Dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai.

4. Perhitungan nilai SBE.

Bock dan Jones (1968) in Khakim (2009) mengemukakan bahwa perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data,


(50)

perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel z, ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1 / (2n) atau cp = 1/(2n).

Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap foto kemudian dimasukan dalam rumus SBE sebagai berikut :

SBEx = (Zx - Zo) x 100

Keterangan :

SBEx = Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan landskap melalui foto ke-x

Zx = Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x

Zo = Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar

Selanjutnya nilai SBE dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi (2001) in Khakim (2009) dengan rumus :

I Nilai tertinggi ' Nilai terendah Jumlah kelas 3.3.4. Analisis Keterlibatan Stakeholder.

Brown et al. (2001) mengatakan bahwa Analisis Keterlibatan Stakeholder

adalah suatu system yang digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off.

Proses penentuan keterlibatan Stakeholder. dilakukan dengan cara:

1. Mengindentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman (berkenaan dengan perencanaan kebijakan) dan berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasilnya berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait dalam pengelolaan terumbu karang.


(1)

Lampiran 9. (Lanjutan).

No

Fenomena

Pertanyaan

(Indikator)

ya

tidak

1

2

3

4

5

1.

Persepsi

masyarakat tentang

terumbu karang

Mengetahui fungsi terumbu karang

Mengetahui manfaat terumbu

karang untuk wisata

diving

Mengetahui aturan yang melarang

pengrusakan terumbu karang

2

Persepsi

masyarakat

tentang

pengelolaan

terumbu karang

Mengetahui pengelolaan terumbu

karang oleh PT. Papua Diving

untuk wisata

diving

Mengetahui lokasi

diving

(

dive

site

) PT. Papua Diving

Menyetujui dan mendukung

keberadaan PT. Papua Diving

Mendukung pengelolaan wisata


(2)

Lampiran 10. Gambar homestay dan tempat wisata di Distrik Meosmansar.

Gambar 1. Homestay Mongkurkodon

Gambar 2. Fasilitas homestay

Mangkurkodon

Gambar 3. Homestay Kobeoser

Gambar 4. Fasilitas homestay

Kobeoser

Gambar 5. Homestay Inbefort

Gambar 6. Memberi makan ikan

karang di Homestay Inbefort


(3)

Lampiran 10. (Lanjutan).

Gambar 7. Welcome to Bed Bird of

Paradise, Sawinggrai

Gambar 8. Homestay di Arborek

Gambar 9. Homestay milik

masyarakat Yenbuba

Gambar 10. Tempat makan di

homestay Ransiwor

Gambar 11. Homestay milik masyakat

Yenbuba di P. Kri

Gambar 12. Pembangunan homestay

oleh masyarakat Yenbuba


(4)

Lampiran 11. Fasilitas dan biaya inap di homestay yang tersebar di Distrik

Meosmansar.

Fasilitas yang di sediakan kan oleh Homestay Mangkurkodon

Activity

Rate

Room rate (incl. 3 meals)

Rp 350,000/night/person

Large room w/ veranda (incl. 3 meals)

Rp 450,000/night/person

Longboat rental

Rp 200,000/trip/person (1 trip max. 6 hrs)

Longboat rental (12 hours)

Rp 300,000/day/person

Snorkeling gear rental (masker, snorkel, fin)

Rp 100,000/day/person

Guide (not incl. long boat rental):

■ Snorkeling

Rp 200,000/person

■ Birdwatching (Bird of Paradise)

Rp 150,000/person

■ Waterfall

Rp 150,000/person

■ Manta ray

Rp 200,000/person

■ Cave

Rp 200,000/person

■ Picturesque scenery

Rp 200,000/person

No

Homestay

Jumlah

kamar

Lokasi

∑ rata-rata

kunjungan

wisatawan

(org/tahun)

Biaya

inap+makan

(org/malam)

Waktu

inap

(hari)

1

Mangkurkodon

4

Yenbuba

100

Rp.500.000,-

3,5,7

2

Inbefort

5

Sawinggrai

200

Rp.500.000,

3,5,7

3

Yayasan

Kobe Oser

2

Yenwaupnor

100

Rp.500.000,

3,5,7

4

Yenwaupnor

2

Yenwaupnor

100

Rp.500.000,

3,5,7

5

Arborek

2

Arborek

100

Rp.500.000,

3,5,7

6

Ransiwor

4

Yenbuba

100

Rp.500.000,

3,5,7


(5)

Lampiran 12. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang untuk

pengembangan wisata bahari.

Kebijakan Strategi Program Kerja Indikator Kinerja

Optimalisasi pengelolaan terumbu karang Penataan zonasi DPL

1. Penyusunan program pemanfaatan dan pengembangan kawasan DPL sesuai peruntukannya

2. Keserasian jenis kegiatan berdasarkan zonasi.

1. Tingkat konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut

2. Tingkat keserasian aktivitas di DPL Meningkatkan partisipasi dan akuntabilitas masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang

1. Penyusunan system pengelolaan terumbu karang yang melibatkan semua pihak.

2. Fasilitasi pembinaan teknis dalam pengendalian dampak terhadap ekosistem terumbu karang

1. Jumlah pihak yang terlibat aktif dalam menjaga dan mengelola terumbu karang .

Penguatan regulasi berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang

1. Penyusunan atau penyempurnaan peraturan tentang pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan 2. Sosialisasi peraturan-peraturan yang

berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang

3. Menyediakan bantuan hukum untuk mendukung masyarakat pesisir membuat dan mengesahkan peraturan tingkat desa (Perdes) berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang oleh masyarakat

1. Tingkat kelengkapan regulasi daerah untuk pengelolaan kawasan terumbu karang Perlindungan ekosistem terumbu karang Penguatan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

1. Identifikasi dan Inventarisasi ekosistem terumbu karang. 2. Penyusunan management plan DPL. 3. Pengembangan kawasan DPL. yang lestari dan berkelanjutan.

1. Tingkat kelengkapan data ekosistem dan kondisi terumbu karang

2. Tingkat luasan kawasan ekosistem terumbu karang yang berkondisi baik 3. Tingkat karakter landscap kawasan Pengaturan kegiatan pemanfaatan di kawasan ekosistem terumbu karang

1. Pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan konservasi dan wisata bahari

2. Penyusunan peraturan mengenai tata pemanfaatan sumberdaya untuk wisata bahari

1. Intensitas kegiatan wisata bahari yang merusak ekosistem terumbu karang

Penegakan hukum secara terpadu

1. Penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial yang tegas bagi orang yang merusak ekosistem terumbu karang 2. Penyusunan system keamanan

lingkungan berbasis masyarakat yang efektif di kawasan ekosistem terumbu karang

3. Bekerjasama dengan institusi hukum guna mengefektifkan dan mengefisienkan proses hukum

1. Tingkat pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berkondisi baik 2. Tingkat pelanggaran pemanfaatan ekosistem terumbu karang Penguatan sistem monitoring, controlling, berbasis masyarakat

1. Penyiapan perangkat dan tata laksana pengawasan

2. Pengadaan sarana dan prasarana pengawasan

3. Menjalin dan memelihara jaringan kerjasama dengan institusi pengawas lainnya.

1. Tingkat pelanggaran perusakan ekosistem terumbu karang

2. Tingkat pemanfaatan ruang 3. Tingkat kolaborasi para

stakeholder dalam pengawasan kawasan Kualitas hidup masyarakat pesisir Pemantapan kesadaran masyarakat tentang pentingnya terumbu karang bagi kehidupan

1. Pengembangan sistem komunikasi dan informasi tentang pentingnya terumbu karang bagi kehidupan 2. Sosialisasi tentang manfaat ekonomi

terumbu karang lewat kegiatan wisata bahari

1.Tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga

kelestarian kawasan terumbu karang di wilayahnya 2. Tingkat kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan terumbu


(6)

3. Sosialisasi tentang dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang tidak terkontrol 4. Kerjasama dengan media massa untuk

kebutuhan publikasi dan informasi..

karang yang bersifat non ekstraktif

3. Tingkat pemanfaatan sumberdaya terumbu karang 4. Tingkat promosi paket wisata Pemberdayaan

masyarakat pesisir

1. Bantuan permodalan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat pesisir

2. Pelatihan aspek manajerial usaha ekonomi masyarakat pesisir sebagai pelaku wisata

3. Pengembangan sistem investasi dan peluang usaha yang sinergis dengan pengelolaan terumbu karang 4. Peningkatan ketrampilan masyarakat pesisir melalui pelatihan dan magang

1. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat pesisir 2. Pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir 3. Tingkat pengangguran masyarakat pesisir

Reposisi mata pencaharian masyarakat pesisir

1. Identifikasi mata pencaharian dan peluang usaha yang produktif dan sinergis dengan pengelolaan terumbu karang

2. Pengembangan kerjasama kemitraan dengan industri pariwisata

3. Pengembangan usaha alternatif untuk masyarakat pesisir

1. Tingkat keragaman usaha masyarakat pesisir 2. Tingkat kesejahteran masyarakat pesisir 2. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat pesisir