Coral reef Ecosystem Management of Marine Protected Areas in Kaledupa Island Central Wakatobi District

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI PULAU KALEDUPA
KABUPATEN WAKATOBI

HASAN ELDIN ADIMU

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten
Wakatobi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir ditesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Hasan Eldin Adimu
NRP C252100071

ii

ABSTRACT
HASAN ELDIN ADIMU. Coral reef Ecosystem Management of Marine Protected
Areas in Kaledupa Island Central Wakatobi District. Under direction of
ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and TARYONO.
The study concerned to analyze the management of coral reef ecosystems in
Marine Protected Areas (MPAs) Kaledupa Wakatobi. The used analytical frame
work of Institutional Analysis and Development (IAD), development institutional
concerd IAD is used to analyze the performance and structure of the management
institutional MPAs. This will be evaluated by ecological, social, and institutional
(rules used). Ecological aspects represented by changes in life of coral cover on the

date of and after the MPAs formed, the social aspect is represented by the
condition of society and people's perceptions, institutional aspect will focus on
rules that used in the institutional structure and performance. The results showed
that the location of the general conditions study and life of coral cover have
decreased in the early establishment by 35.5% -51.3% (medium-well) to 17.2% 39.9% (broken-being) after MPAs runs. The decline was caused by the activities of
overfishing and the use of fishing tools that are not environmentally friendly. From
the institutional aspect, still can’t protect the resources. This can be seen from the
surveillance sistem which is weak, the punishment didn’t work properly, and so the
rules haven’t fully accepted by society.
Keyword: coral reef, institutional, Kaledupa, management, MPAs

iii

RINGKASAN
HASAN ELDIN ADIMU. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Daerah
Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Dibimbing oleh
ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan TARYONO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan ekosistem terumbu
karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Pulau Kaledupa Kabupaten
Wakatobi. Kajian penelitian menggunakan frame work analisis Institutional

Analysis and Development (IAD), Konsep IAD ini merupakan pengembangan
kelembagaan yang digunakan untuk menganalisis performa dan struktur
kelembagaan dalam pengelolaan DPL. Dalam Kajian tersebut akan ditinjau dari
aspek ekologi, sosial, dan kelembagaan (aturan yang digunakan). Aspek ekologi
diwakili oleh perubahan tutupan karang hidup pada saat penetapan DPL dan setelah
DPL terbentuk, aspek sosial diwakili oleh kondisi masyarakat dan persepsi
masyarakat, aspek kelembagaan akan fokus terhadap aturan yang digunakan dalam
struktur dan performa kelembagaan. Hasil penelitian dilokasi kajian menunjukan
bahwa secara umum kondisi tutupan karang hidup mengalami penurunan, dimana
pada awal penetapannya sebesar 51,3%-35,5% (baik-sedang) menjadi 39,9%17,2% (sedang-rusak) setelah DPL ditetapkan. Penurunan terjadi masih disebabkan
oleh kegiatan penangkapan ikan secara berlebihan dan penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan. Persepsi masyarakat tentang keberadaan DPL saat
ini perlu dipertahankan namun, dengan perbaikan sistem pengelolaannya. Karena
masyarakat menganggap pada saat penetapan DPL peningkatan pendapatan cukup
dirasakan.
Dari aspek kelembagaan belum dapat memberikan pengaruh terhadap
perlindungan sumberdaya, hal ini dapat dilihat dari sistem pengawasan yang lemah,
sanksi yang diterapkan tidak berjalan dengan baik serta aturan yang digunakan
belum dapat diterima secara penuh oleh masyarakat. Hal ini disebabkan hubungan
antar kelembagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolaan DPL belum berjalan

dengan baik. Dalam rekomendasi pengelolaan peningkatan performa kelembagaan
akan terjadi apabila struktur kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Sehingga
rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah perlindungan laut
Pulau Kaledupa dapat dilakukan dengan memperhatikan, wewenang yang jelas
dalam pengelolaan, hak pemanfaatan, aturan yang digunakan, monitoring, sistem
sanksi, dan pendanaan.
Kata kunci: DPL, kelembagaan, pengelolaan, Pulau Kaledupa, terumbu karang

iv

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1.

2.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian ataus seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

v

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI PULAU KALEDUPA
KABUPATEN WAKATOBI

HASAN ELDIN ADIMU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

vi

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Ario Damar, M.Si

vii

Judul Penelitian

:

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Daerah
Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten
Wakatobi

Nama

:


Hasan Eldin Adimu

NIM

:

C252100071

Program Studi

:

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
Ketua


Taryono, S.Pi, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dr.H. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

Tanggal Ujian: 11 Maret 2013

Tanggal Lulus: 15 Mei 2013

viii


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini ialah
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut di Pulau
Kaledupa Kabupaten Wakatobi.
Penulis sangat menyadari karya ini dapat dirampungkan berkat dukungan
dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah
memberikan bantuan sejak proses masa perkuliahan hingga pada tahap akhir
penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghanturkan terima
kasih dan rasa hormat sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr.Ir.Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Taryono, S.Pi.,M.Si sebagai
komisi pembimbing yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk
senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan, dan masukan kepada
penulis demi penyempurnaan penelitian ini, baik dari segi substansi maupun
penulisan.
2. Bapak Dr.Ir.Ario Damar, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar
komisi pembimbing pada ujian tesis.

3. Bapak Prof.Dr.Ir.Mennofatria Boer, DEA, ketua program studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang selalu memberikan nasehat, kemudahan
selama menempuh perkuliahan.
4. Seluruh dosen pengajar atas tambahan ilmu dan motivasi dan staf Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).
5. COREMAP-II Kementrian Kelautan dan Perikanan atas bantuan beasiswa
penulisan tesis.
6. Keluarga tercinta, Hasanuluki Adimu (Ayah), Ibunda Mislina (Alm), Suhura,
Elfiadin Adimu, SH (Alm), Fiki Maldina, Rian Fitra, Muh.Elvan Adimu dan
Suarti atas doa dan motifasi selama perkuliahan.
7. Rekan-rekan SPL dan SDP angkatan 2010 atas keakraban dan
persaudaraannya selama menempuh perkuliahan.
8. Seluruh team penelitan (Muh.Alim Setiawan, Hardin Bambang, Bapak Maladi
dan Sarjanudin) atas bantuan dan kerjasama selama di lapangan.
9. Latifa Fekri, S.Pi atas motifasi yang selalu diberikan selama penyelesaian tesis.
10. Seluruh keluarga besar Wacana Sultra serta rekan-rekan seperjuangan dalam
menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor (Bapak Tasrudin, Kakanda
Asmadin, Kakanda Alwi, Al Azhar, La Ode Muh.Arsal, serta yang lainnya).
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran

yang sifatnya membangun, sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima
kasih.
Bogor, Maret 2013

Hasan Eldin Adimu

ix

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Buton, pada tanggal 10 Juni 1986 dari pasangan
Hasanuluki Adimu dan Mislina (Alm). Penulis merupakan putra pertama dari lima
bersaudara. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Haluoleo, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Sampai saat ini penulis masih aktif sebagai surveyor tenaga teknis selam dan
riset bawah air. Penulis juga turut serta dalam team survey kegiatan monitoring
kondisi terumbu karang di Pulau Wanci Kepulauan WAKATOBI Oleh Mitra
Bahari RC-Sulawesi Tenggara. Penulis telah mengikuti Pelatihan Selam dan telah
mencapai jenjang Open Water SCUBA Diver dibawah naungan International
(PADI).

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...........................................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................

xvii

1 PENDAHULUAN .......................................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
1.5 Kerangka Penelitian ...............................................................................

1
1
3
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
2.1 Pengelolaan EkosistemTerumbu Karang ..............................................
2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang ........................................................
2.3 Kerusakan Terumbu Karang .................................................................
2.4 Daerah Perlindungan Laut .....................................................................
2.5 Analisis Kelembagaan ..........................................................................
2.5.1 Pengertian Kelembagaan ..............................................................
2.5.2 Karakteristik Kelembagaan ..........................................................
2.5.3 Kebijakan Pengembangan ............................................................

7
7
10
11
14
16
16
17
18

3 METODE PENELITIAN .............................................................................
3.1 Lokasi Penelitian ...................................................................................
3.2 Alat dan Bahan Peneltian ......................................................................
3.3 Jenis dan Sumber Data ..........................................................................
3.4 Teknik Pengambilan Sampel ................................................................
3.5 Pengamatan Kondisi Ekologi ................................................................
3.5.1 Kondisi Terumbu Karang.............................................................
3.5.2 Komunitas Ikan Karang ...............................................................
3.5.3 Megabenthos ................................................................................
3.5.4 Kualitas Perairan ..........................................................................
3.6 Sosial dan Kelembagaan ........................................................................
3.7 Analisis Data .........................................................................................
3.7.1 Analisis Penutupan Karang .........................................................
3.7.2 Analisis Komunitas Ikan Karang .................................................
3.7.3 Analisis Kelimpahan Megabenthos .............................................
3.7.4 Analiss Kelembagaan ..................................................................
3.7.5 Perbaikan Pengelolaan ..................................................................

21
21
21
21
23
24
23
26
27
27
27
29
29
29
31
31
33

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITI ..................................................
4.1 Kondisi Umum Wilayah ........................................................................
4.1.1 Keadaan Geografis .......................................................................
4.1.2 Luas Wilayah dan Sistem Pemerintahan .....................................
4.2 Karakteristik Fisik Pulau .......................................................................
4.2.1 Morfologi ......................................................................................

35
35
35
35
36
36

xi

4.2.2 Iklim .............................................................................................
4.2.3 Kualitas Perairan ..........................................................................
4.3 Kondisi Sosial Masyarakat....................................................................
4.3.1 Kependudukan .............................................................................
4.3.2 Pendidikan ...................................................................................
4.3.3 Pendapatan ...................................................................................
4.3.3 Kondisi Perikanan .......................................................................
4.4 Daerah Perlindungan Laut .....................................................................
4.4.1. Kondisi Tutupan Karang Hidup .................................................

37
39
41
41
42
43
45
48
48

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
5.1 Kondisi Terumbu Karang DPL Pulau Kaledupa..................................
5.1.1 Kondisi Terumbu Karang disetiap Stasiun DPL .........................
5.1.2 Komponen Tutupan Terumbu Karang di Loasi DPL..................
5.2 Komunitas Ikan Karang .......................................................................
5.2.1 Kelimpahan Ikan Karang ............................................................
5.2.2 Kekayaan Jenis, Indeks Keaneka Ragaman dan Keseragaman ..
5.3 Kondisi Perairan Pulau Kaledupa ........................................................
5.4 Komunitas Megabenthos......................................................................
5.5 Analisis Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ...................
5.5.1 Kondisi Fisik (Physical Condition) ............................................
5.5.2 Kondisi Sosial Masyarakat (Attribute of Community) ................
5.5.3 Aturan ((Rule in Use) ..................................................................
5.5.4 Arena Aksi ..................................................................................
5.5.5 Pola Interaksi Antar Aktor ..........................................................
5.5.6 Identifikasi Konflik Pengguna Sumberdaya ...............................
5.6 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang DPL ...................................
5.7 Deasain Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang DPL ................

53
53
54
59
61
61
66
67
68
71
73
79
85
91
94
95
96
105

6 KESIMPULAN ............................................................................................
6.1. Simpulan .............................................................................................
6.2. Saran....................................................................................................

111
111
111

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
Lampiran

113

xii

DAFTAR TABEL
1 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Terumbu Karang ...........
2 Kebutuhan Data yang Diperlukan Dalam Penelitian ..................................
3 Daftar Penggolongan Komponen Dasar Penyusun Ekosistem Terumbu
Karang Berdasarkan Lifeform Karang dan Kodenya ..................................
4 Jenis Responden dan Jumlah Responden ....................................................
5 Luas Wilayah dan Administrasi Pulau Kaledupa .......................................
6 Kisaran Parameter Kualitas Perairan di Pulau Kaledupa ............................
7 Data Kependudukan Pulau Kaledupa .........................................................
8 Statistik Tingkat Pendidikan di Pulau Kaledupa.........................................
9 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayaan ...............
10 Spesifikasi Armada Tangkap yang Digunakan dibeberapa Desa DPL .......
11 Lokasi DPL pada Seluruh Desa/Kecamatan di Pulau kaledupa .................
12 Hasil Sensus Kelompok Ikan Karang Menurut Famili, Kelompok Ikan dan
Jumlah Kelimpahan Individu Setiap Stasiun DPL ......................................
13 Komposisi Jumlah Individu Berdasarkan Famili .......................................
14 Kekayaan Jenis, Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman Ikan (E).
15 Data Kualitas Perairan di DPL Pulau Kaledupa .........................................
16 Komunitas Megabenthos di Lokasi Penelitian ............................................
17 Kondisi Secara Umum Komponen Ekologi disetiap Stasiun......................
18 Kondisi Tutupan Karang Hidup Sebelum dan Setelah DPL .......................
19 Dampak Kerusakan Terumbu Karang disetiap Stasiun ...............................
20 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Lokasi Kajian ......................
21 Jumlah Nelayan Tangkap dan Pembudidaya Rumput Laut ........................
22 Jumlah Pendapatan NelayanBerdasarkan Perbedaan Musim .....................
23 Identitas Aktor, Fungsi, Peran, dan Tanggung Jawab .................................
24 Hak Terhadap Sumberdaya Perikanan di Lokasi DPL ................................
25 Rekomendasi Pengelolaan ...........................................................................

xiii

14
23
25
28
36
39
42
42
44
47
48
62
63
66
67
68
70
73
79
79
80
83
91
100
104

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................
5
2 Lokasi Penelitian di Perairan Pulau Kaledupa............................................
22
3 Sketsa Letak Posisi Transek Terhadap Garis Pantai dan Kedalaman .........
24
4 Foto pengambilan Data Karang dengan Metode PIT ..................................
24
5 Skema Cara Pencatatan Data Karang Hidup dengan Metode PIT ..............
25
6 Sketsa Visual Transek Pengamatan Ikan Karang ........................................
27
7 Kerangka Berfikir Dalam Analisis Kelembagaan(IAD) .............................
32
8 Peta Geografis Pulau Kaledupa...................................................................
35
9 Topografi Pulau Kaledupa ...........................................................................
38
10 Kondisi Klimatologi Keseluruhan di kabupaten Wakatobi Tahun 2009 ....
38
11 Dinamika gelombang di perairan Wakatobi ...............................................
40
12 Kecepatan dan Arah Arus Pada Kedalaman 13m di Pulau kaledupa ..........
44
13 Perkembangan Subsektor dengan Pertumbahan Nilai Tambah Atas Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Waktobi 2006-2009 ...................................................
46
14 Jenis dan Jumlah alat Tangkap Penangkapan Ikan di Pulau Kaledupa .......
47
15 Jumlah Armada Kapal Penangkapan Ikan di Pulau Kaledupa ....................
49
16 Persentase Rata-rata Tutupan Karang Hidup di Semua Lokasi DPL ..........
51
17 Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL Kecamatan
Kaledupa ......................................................................................................
48
18 Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL Kecamatan
Kaledupa Selatan .........................................................................................
52
19 Histogram Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL ....
53
20 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 1 ..............
54
21 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 2 ..............
56
22 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 3 ..............
57
23 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 4 ..............
58
24 Histogram Rata-rata Tutupan Komponen Terumbu Karang di Setiap
Stasiun ........................................................................................................
59
25 Komponen Ekosistem Terumbu Karang .....................................................
60
26 Jumlah Kelompok Ikan Karang diseluruh Stasiun ......................................
64
27 Foto Biota Megabenthos di Lokasi Penelitian ............................................
69
28 Kerangka Berfikir Dalam Analisis Kelmbagaan (IAD) ..............................
72
29 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Lokasi DPL ..............................
74
30 Kegiatan Pengambilan Pasir dan Batu Karang oleh Masyarakat ................
78
31 Rata-rata Persentase Jumlah Tingkat Pendidikan Nelayan .........................
81
32 Jumlah tangkap di Lokasi Penelitian ..........................................................
84
33 Persepsi Keberadaan Daerah Perlindungan Laut ........................................
85
34 Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang ..............................................
87
35 Hubungan antar Kelembagaan dan Aktor Dalam Pengelolaan DPL ..........
95
36 Hasil Pemetaan Konflik Antar Pengguna Sumberdaya ..............................
96
37 Desain Prinsip Pengelolaan Menurut Ruddle & Satria (2010) ..................
98
38 Mekanisme Pengawasan Daerah Perlindungan Laut .................................
103
39 Desain Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang .................................
106

xiv

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabulasi Data Persen Tutupan Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan
(Life form) ....................................................................................................
2 Persentase Rata-rata Komponen Terumbu Karang .....................................
3 Tabulasi Data Jenis-jenis Ikan yang Teramati di Stasiun DPL ...................
4 Tabulasi Data Jenis Ikan Berdasarkan Golongan di setiap Stasiun DPL ....
5 Tabulasi Data Responden di Lokasi Penelitian ...........................................
6 Kuisioner Penelitian ....................................................................................

xv

119
120
121
123
124
126

1

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terumbu karang (coral reef) merupakan salah satu ekosistem produktif di
bumi yang paling kaya secara biologis. Lebih dari 275 juta orang tinggal dekat
dengan terumbu karang (kurang dari 10 km dari pantai dan dalam 30 km dari
terumbu karang), memiliki manfaat sebagai sumber makanan dan pendapatan
(Burke et al. 2012).
Luas terumbu karang secara global saat ini adalah 249.713 km2, Australia
memiliki terumbu karang terluas di dunia sekitar 41.942 km2 atau 17%,
sedangkan Indonesia terluas kedua sekitar 39.538 km2 atau 16% dari luas terumbu
karang dunia (Burke et al. 2011). Potensi terumbu karang di Indonesia, salah
satunya berada di Pulau Kaledupa yang merupakan bagian dari Kabupaten
Wakatobi dengan luas terumbu karang 117.22 km2 (CRITC-LIPI 2006).
Penduduk Pulau Kaledupa memanfaatkan areal terumbu karang sebagai
daerah penangkapan ikan dan hasil laut lainnya. Semakin tingginya aktifitas
penangkapan di daerah tersebut berdampak terhadap penurunan kualitas fisik
terumbu karang. Hasil penelitian Arami (2006) sebelumnya menunjukkan bahwa
alat tangkap bubu dan sero di perairan Pulau Kaledupa ternyata menimbulkan
dampak kerusakan terumbu karang, karena nelayan masih menggunakan batu
karang untuk menindih bubu serta pemasangan tiang pancang alat tangkap sero di
areal terumbu karang. Kondisi ini semakin diperparah dan menambah kerusakan
jika nelayan masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan,
seperti penggunaan bahan peledak dan racun ikan (potassium sianida), maupun
aktifitas lain, seperti penambangan pasir pantai, batu karang, dan lain-lain.
Masyarakat dan Pemerintah Desa di Pulau Kaledupa menyadari bahwa
perlu pengelolaan terumbu karang. Kesadaran ini tertuang dalam partisipasi
masyarakat menyusun peraturan desa tentang pengelolaan terumbu karang.
Bentukan ini dibuat sebelum program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Management Program) bergulir, sehingga ketika COREMAP masuk, lembaga
yang dibentuk sebelumnya oleh masyarakat menjadi LPSTK (Lembaga Pengelola
Sumberdaya Terumbu Karang) yang bertujuan untuk melembagakan kelompok

2

masyarakat dalam upaya melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi bersama COREMAP dan
masyarakat menetapkan kawasan konservasi Marine Management Area (MMA)
atau disebut dengan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM)
di setiap desa/kelurahan. Tujuan penetapan DPL untuk mempertahankan dan
memperbaiki kualitas ekosistem (terumbu karang) serta sumberdaya lainnya yang
ada sehingga diharapkan peran masyarakat lebih aktif dalam pengelolaan terumbu
karang.
Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Kaledupa sebelum penetapan
DPL sudah mengalami tekanan akibat penangkapan ikan secara berlebihan
dengan alat tangkap merusak. DPL ini diharapkan dapat meminimalisir dampak
kerusakan terumbu karang dengan sistem zonasi atau pembagian wilayah tangkap.
Sehingga mengurangi penangkapan ikan secara berlebihan diarea yang kondisi
terumbu karangnya masih baik. Pada beberapa Negara yang berhasil
menggunakan konsep ini, seperti Filipina dan Pasifik Selatan telah terbukti secara
efektif dapat melindungi ekosistem terumbu karang sekaligus meningkatkan
produksi perikanannya (Alcala 1988; dan Alcala 1989 in Sinaga 2009).
Penetapan DPL di Pulau Kaledupa pada 2008 sebanyak 6 kawasan di
desa/kelurahan dan bertambah menjadi 11 DPL hingga 2011. Hasil monitoring
Coral Reef Information Center (CRITC) Wakatobi tahun 2008-2010 menyebutkan
bahwa kondisi tutupan karang hidup di hampir semua lokasi DPL Pulau Kaledupa
mengalami penurunan dari kondisi baik hingga sedang. Piranti kelembagaan yang
ada ternyata masih menimbulkan persoalan, khususnya belum optimalnya peran
lembaga dalam mengawasi pemanfaatan sumberdaya yang tidak ramah
lingkungan dan bersifat merusak yang masih terus berlangsung. Persoalan
selanjutnya adalah kelembagaan yang dibentuk COREMAP II telah berakhir,
pemerintah desa dan kelompok masyarakat tidak lagi mengaktifkan kelembagaan
tersebut secara berkelanjutan. Persoalan lain adalah adanya konflik pemanfaatan
ruang di daerah penangkapan ikan, baik antar nelayan setempat maupun dengan
pihak lain (nelayan luar) juga masih terus berlangsung. Pengawasan dan
penegakan hukum secara kelembagaan masih belum optimal dilaksanakan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian ini menjadi strategis untuk

3

mengkaji sejauh mana perubahan kondisi aktual ekosistem terumbu karang
setelah penetapan DPL, analisis dan strategi pengelolaan kelembagaan DPL di
Pulau Kaledupa.
1.2. Perumusan Masalah
Fakta

bahwa

terjadi

kegiatan

pengrusakan

dan

pemanfaatan

sumberdaya tidak ramah lingkungan masih terjadi dilokasi DPL menunjukkan
bahwa daerah perlindungan bagi ekosistem terumbu karang belum sepenuhnya
terjaga dengan baik. Penyebab kerusakan terumbu karang tidak terlepas dari peran
aktor yaitu masyarakat di desa Pulau Kaledupa maupun pihak lain yang ikut
memanfaatkan sumberdaya. Di tingkat desa sebenarnya sudah menyusun peraturan
desa yang sepenuhnya mengoperasionalisasi kegiatan pengelolaan terumbu karang.
Koordinasi kelembagaan di tingkat penentu kebijakan di Kabupaten Wakatobi belum
berjalan dengan optimal. Menurut Kartodiharjdo & Jamhani (2006) bahwa

apabila masih dihasilkan kerusakan sumberdaya alam dan degradasi
lingkungan, maka dapat diduga ada masalah dalam kelembagaan seperti,
informasi diantara pelaku yang tidak seimbang, kapasitas tidak seimbang,
masalah dalam penetapan hak atas sumberdaya alam dan aturan yang
digunakan.
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
(i) Keputusan di tingkat atas dalam bentuk peraturan daerah (SK Bupati) belum
diwujudkan, sehingga pendekatan kelembagaan secara terpadu dan holistik belum
optimal memenuhi aspirasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang; dan
(ii) Penetapan kelompok masyarakat yang dibentuk oleh COREMAP tidak lagi
dikembangkan secara berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian.
Tujuan dari Penelitian ini adalah :
1. Mengkaji perubahan kondisi aktual ekosistem terumbu karang di DPL Pulau
Kaledupa
2. Mengkaji kelembagaan DPL Pulau Kaledupa

4

3. Menganalisis strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di DPL Pulau

Kaledupa

1.4 Manfaat Penelitian.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi para pihak (stakeholder) untuk mengelola
ekosistem terumbu karang DPL berbasis kelembagaan dapat dilaksanakan
secara terpadu dan berkelanjutan.
2. Menjadi bahan masukan bagi perumusan kelembagaan DPL dan lainnya,
sehingga pelaksanaannya dapat terus berlangsung secara optimal.
3. Menjadi bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan
sumberdaya berbasis ekosistem dan berbasis kawasan.

1.5. Kerangka Penelitian.
Secara umum ekosistem terumbu karang di Pulau Kaledupa memiliki
fungsi ekologi sebagai habitat biota perairan, mencari makan, daerah asuhan dan
tempat pembibitan ikan. Fungsi sosialnya sebagai tempat penangkapan ikan,
sumber pendapatan bagi masyarakat dan pihak lain yang memanfaatkan
sumberrdaya tersebut untuk pengembangan ekowisata. Namun, pemanfaatan
sumberdaya berlebihan dan metode penagkapan tidak ramah lingkungan
menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang.
Daerah perlindungan laut dipersiapkan untuk melindungi sumberdaya
alam dan meredam aktifitas pengrusakan akibat pemanfaatan berlebihan.
Penetapan wilayah DPL di Pulau Kaledupa secara keseluruhan belum
memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat, dibuktikan oleh
kerusakan terumbu karang yang masih terjadidi beberapa lokasi DPL. Sehingga
langkah konkrit diperlukan untuk meningkatkan peran DPL sebagai tempat
perlindungan, mempertahankan dan memperbaiki kualitas ekosistem pesisir
(terumbu karang) sekaligus mempertahankan kualtas sumberdaya lainnya yang
berdekatan dengan ekosistem terumbu karang. Untuk lebih jelasnya kerangka
penelitian disajikan pada Gambar 1.

5

Ekosistem Terumbu Karang
Pulau Kaledupa

Fungsi Ekologi
- Sebagai
tempat
mencari makan,
daerah
asuhan,
dan
pembibitan
ikan

Fungsi Sosial
- Pendapatan
perikanan
ekowisata

dan

Pemanfaatan sumberdaya
berlebihan
dan
tidak
ramah lingkungan
- Penangkapan ikan menggunakan
alat tangkap merusak (Pottasium
dan bom)
- Metode penangkapan ikan yang
merusak, seperti penggunaan
bubu, sero, tombak dan lainnya
- Peningkatan
pembangunan
(penambangan pasir dan batu
karang )

Daerah Perlindungan Laut

Aspek Ekologi
-

Penutupan karang
Kondisi ikan karang
Megabenthos
Kondisi perairan

Aspek Sosial
- Kondisi masyarakat
- Pengetahuan lingkungan
- Pemanfaatan sumberdaya

Aspek Kelembagaan
- Identifikasi aktor, peran
dan hubungan antar aktor.
- Kelembagaan formal dan
informal

Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

7

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang
Masyarakat pengguna terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga kelompok
stakeholders (Craik et al.1990 in Darmawan 2002) :
1) Kelompok ekstraktif, yang mengambil sumberdaya hayati yang dapat
diperbaharui (renewable) dengan memancing atau koleksi.
2) Kelompok wisata, yang menikmati sumberdaya terumbu karang dari segi
ekstetikanya untuk kegiatan wisata, baik yang ekstraktif maupun yang nonekstraktif.
3) Kelompok peneliti/perlindungan alam, yang melindungi terumbu karang untuk
kelangsungannya di masa depan dan untuk penelitian.
Pengelolaan terumbu karang yang ideal harus dapat memuaskan semua
pihak pengguna (stakeholder) terumbu karang. Karena ketiga kelompok pengguna
terumbu karang tersebut mempunyai kepentingan berbeda maka merekapun
mempunyai visi yang berbeda-beda pula. Kelompok ekstraktif, misalnya akan
berusaha mengeksploitasi sumberdaya hayati yang semaksimal mungkin.
Kelompok wisata akan berusaha untuk mempertahankan keindahan sumberdaya
yang ada. Agar keindahan tersebut lebih laris dijual pada wisatawan, pihak
pengusaha wisata bahkan akan berusaha untuk memperindah apa yang sudah ada
atau membangun fasilitas tambahan untuk kemudahan dan kenyamanan wisata.
Kegiatan-kegiatan wisata tersebut bukan tidak mungkin akan bisa menimbulkan
dampak lingkungan yang berarti.
Kelompok peneliti dan pelindung alam mempunyai kepentingan untuk
menjaga sumberdaya yang ada sebagaimana aslinya demi kelanjutan penelitian
mereka atau keperluan anak cucu di masa depan. Kepentingan dan visi yang
berbeda ini akan memicu konflik jika tidak diantisipasi sejak awal. Perencanaan
pengelolaan terumbu karang harus melibatkan ketiga kelompok pengguna
tersebut, sehingga bisa dihasilkan suatu keputusan bersama tentang pengguna
sumberdaya secara lestari (sustainable) dan yang dapat menghindarkan konfik
antar kepentingan dari masing-masing kelompok. Karena itu pendekatan yang

8

akan dipakai di dalam pengelolaan terumbu karang harus mendapat dukungan dari
semua pengguna terumbu karang (Darmawan 2002).
Pengelolaan terumbu karang biasa dilakukan dengan berbagai pendekatan.
White & Alcala (1988) mengelompokan pendekatan dasar menjadi 7 (tujuh)
macam, yaitu :
1) Membagi wilayah. Pendekatan konservasi ini membagi terumbu-terumbu
karang menjadi beberapa macam wilayah yang digunakan untuk bermacammacam keperluan dan level penggunaan.
2) Menutup temporer. Konservasi dilakukan dengan cara menutup terumbu
selama beberapa waktu (minggu, bulan) pada musim reproduksi hewan atau
tanaman yang penting untuk dilindungi.
3) Menutup dan membuka selama beberapa waktu. Pendekatan ini membolehkan
penggunaan terumbu karang selama beberapa waktu yang diselingi oleh
penutupan

untuk

mengembalikan

terumbu

karang

dari

dampak

penggunaannya.
4) Menutup permanen suatu wilayah kecil yang terpilih (suaka laut/perikanan).
5) Menentukan level penggunaan yang diperbolehkan. Penggunaan terumbu
karang yang berlebihan dapat bersifat merusak, jika melewati daya
dukungnya. Karena itu pengaturan tentang batas maksimal penyelam per hari,
atau batas penangkapan ikan per tahun merupakan aturan pengelolaan yang
perlu dipikirkan.
6) Melarang atau membatasi alat-alat eksploitasi yang tidak dapat diterima.
Misalnya, jarring yang berukuran kecil atau muro-ami yang batunya
menyentuh terumbu.
7) Membuat batas-batas ukuran penangkapan. Pengambilan spesies-spesies yang
diijinkan diatur dengan ketentuan batas-batas maksimum atau minimum untuk
menjamin bahwa biota yang boleh ditangkap sempat bertelur sebulum mati.
Menurut Kenchington et al. (1988) dalam tulisannya “ Man’s threat to
coral reefs” bahwa pemanfaatan terumbu karang oleh manusia dengan mengambil
semuanya dan tidak terkontrol merupakan ancaman terhadap terumbu karang.
Penangkapan dan pengumpulan komunitas karang dan terumbu karang dapat
sebagai penyebab utama kerusakan struktur fisik dan komunitas ekologi terumbu

9

karang. Hal buruk lain dari kelakuan manusia yang memberi dampak terhadap
terumbu karang adalah melalui efek bahan pencemar yang dihasilkan.
Pembuangan bahan kimia atau modifikasi biochemis atau kondisi fisik perairan
disekitar terumbu karang dapat mempengaruhi beberapa kondisi fisiologi bagi
semua organisme yang hidup di terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam
memperbaiki sendiri bila terjadi kerusakan dan memperbaharui bagian yang
rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang dan
faktor lingkungan yang mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti
ekosistem alam lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau
manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya. Bagaimanapun juga,
tekanan terhadap keberadaan terumbu karang banyak diakibatkan oleh kegiatan
manusia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah preventif. Hal tersebut
merupakan hasil dari kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang baik
dengan cara mengidentifikasi tingkat kerawanan dari terumbu karang (Dahuri
et al. 2008).
Selanjutnya Sale (2008) secara global, pengelolaan terumbu karang
dengan tidak efektif menyebabkan tekanan terhadap ekosistem ini. Masa depan
terlihat sangat redup, namun kita memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan
yang jauh lebih efektif dari pengelolaan terumbu jika kita ingin memulainya lebih
baik. Membuat perbaikan besar untuk kondisi ekosistem ini sangat berharga, laut
pesisir tidak memerlukan penemuan-penemuan ilmiah baru, tapi komitmen baru
untuk menerapkan pengetahuan yang sudah kita miliki untuk mengelola sehingga
keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang menjadi mungkin.
Sebuah analisis pendek menunjukkan bahwa masalah lingkungan seperti
mendorong munculnya tindakan kolektif untuk kalangan masyarakat sipil, para
pemangku kepentingan adat dan kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang.
Dalam pembangunan lokal sosial-ekologi merupakan sistem untuk pengelolaan
terpadau baik dari pemerintah maupun dari berbagai sektor (David et al. 2010).
Peter et al. (2008) penurunan ekosistem terumbu karang di terakhir dekade
terkejut manajer berpengalaman dan peneliti. Ini menghancurkan paradigma lama
yang beragam ini ekosistem secara spasial dan temporal seragam stabil di skala

10

ribuan tahun. Sekarang melihat terumbu sebagai heterogen, rapuh, secara global
menekankan ekosistem disusun oleh kuat proses umpan balik positif atau negatif.
Penyebab dan konsekuensi dari terumbu menurun apakah praktek-praktek
pengelolaan mengatasi masalah pada skala yang sesuai. Kesimpulan bahwa baik
ilmu pengetahuan dan manajemen saat ini gagal untuk mengatasi manajemen
bersama dari ekstraktif kegiatan dan proses ekologi yang mendorong ekosistem
(misalnya produktivitas dan herbivora). Kebanyakan terumbu upaya konservasi
diarahkan terhadap pelaksanaan cadangan, tetapi pendekatan baru yang
diperlukan untuk mempertahankan ekosistem fungsi di daerah dieksploitasi.
Alat manajemen terbaik dalam pengelolaan terumbu karang di seluruh
dunia tidak mencapai tujuan konservasi. Pengelolaan terumbu karang bahkan
ditingkatkan untuk mengurangi laju degradasi, sedangkan perubahan iklim global
memburuk sehingga berdampak terhadap terumbu karang. Prospek untuk masa
depan terumbu karang 'berpusat pada penerimaan dari restorasi, sebuah 'aktifitas'
manajemen instrumen. Sebuah konsep yang terbaru adalah ' Perkebunan'. Gagasan
ini didukung oleh protokol dua langkah. Langkah pertama memerlukan
pemeliharaan bibit karang di bawah air yang dirancang khusus untuk pembibitan,
dengan ukuran transplantabel, sebelum menerapkan langkah kedua, out-tanam ke
daerah yang rusak dari pembibitan ternak-koloni karang. Hanya pembentukan
skala besar pembibitan dan transplantasi tindakan, bersama dengan alat
manajemen konvensional, akan dapat mengatasi degradasi terumbu yang luas
pada skala global (Rinkevic 2008).
2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang
Keberadaan karang dalam suatu perairan sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungannya. Faktor-faktor yang paling menentukan dalam pengontrolan
komposisi komunitasnya adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi,
salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan
makanan dan nutrien organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal
yang penting (Veron 1986).
Terumbu karang umumnya dapat hidup antara kedalaman 0-25m dari
permukaan laut. Sedikit terumbu karang yang dapat hidup dan berkembang pada

11

perairan yang lebih dalam 50-70m. Hal inilah yang menerangkan mengapa
struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Namun
secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 25 m
(Kinsman 1964). Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang
mempunyai kisaran suhu antara 23-25°C. Suhu ekstrim yang masih dapat
ditolaransi berkisar antara 36-40°C. Suhu sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling yang naik ke permukaan
disebabkan

oleh

pengaruh

suhu,

sehingga

menyediakan

nutrient

bagi

pertumbuhan terumbu karang (Nybakken 1988).
Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya
sangat dibutuhkan bagi zooxhantellae untuk melakukan proses fotosintesis. Titik
konpensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang
hingga 15-20% dari intensitas di permukaan (Nybakken 1988). Cahaya yang
masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik intensitas maupun
komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat mencapai kedalaman 50
meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka, tetapi dapat juga
mencapai hanya kurang dari satu meter sesudah terjadi badai di tempat itu
(Lalamentik 1991).
Kekeruhan berkaitan dengan pembatasan fotosintesis. Cahaya meningkat
dengan kedalaman dan macroalgae, tapi tidak akan terjadi di perairan dangkal,
bahkan dilingkungan sangat keruh. Keterbatasan cahaya juga sangat mengurangi
perekrutan terumbu karang. Sedimentasi merupakan gangguan bagi terumbu
karang. Sedimentasi mengurangi pertumbuhan dan kelangsungan hidup dalam
berbagai jenis karang, meskipun respon secara substansial antar spesies berbeda
dan juga antara tipe sedimen yang berbeda. Sedimentasi meningkatkan
pertumbuhan macroalgae sehingga menjadikan faktor utama yang mempengaruhi
perekrutan dan tahapan awal karang (Fabricius 2005).
2.3. Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang yang rusak didefinisikan sebagai rendahnya kelimpahan
karang batu. Rendahnya tutupan karang batu di terumbu karang sama jeleknya
dengan sedikitnya tutupan pohon di suatu hutan. Kelimpahan karang batu yang

12

rendah biasanya disebabkan oleh kematian karang misalnya, hancurnya karang
akibat pengeboman dan kegiatan yang merusak lainnya, atau kondisi alam yang
tidak memungkinkan tumbuhnya karang batu (Darmawan 2002).
Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan
populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan
dengan pembangunan fisik yang mengubah bentang alam, jumlah aliran
permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah yang
besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem
pembuangan, selain itu juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar
minyak dan peptisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang
atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang
dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat
menyebabkan pemutihan (Brown 1987).
Kegiatan penambangan terumbu karang dapat menyebabkan peningkatan
erosi pantai dan berbagai kerusakan pantai lainnya. Hal ini disebabkan hilangnya
fungsi terumbu karang sebagai penahan gelombang. Satu studi di Indonesia
menunjukan bahwa rusaknya terumbu karang oleh usaha pertambangan
mengakibatkan timbulnya erosi yang parah di pantai sehingga mengancam lokasi
pemukiman dan pola tata guna lahan setempat. Kejadian yang serupa terjadi juga
di pantai Minglanilla dan Fernando, Cebu, di mana masyarakat pribumi telah
menambang terumbu karang penghalang untuk bahan ubin. Penambangan
terumbu karang merupakan ancaman terbesar terhadap sumber daya perairan
karena laju pertumbuhannya lambat. Sehingga dapat di kategorikan sumber daya
yang tak terbaharui (Dahuri et al. 2008).
Menurut Suharsono (1988), penyemprotan cyanida pada karang massive
dapat berakibat karang mengalami stress dengan mengeluarkan lender. Dua bulan
setelah percobaan itu pada karang yang di berikan perlakukan yang sama akan
mengalami kematian pada bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan
menyebabkan kerusakan karang pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan
adanya patahan karang yang terseret oleh gelombang dapat menghancurkan
karang yang berada di sekitarnya akibat gaya gerak gelombang yang membawa
patahan-patahan karang. Penelitian Fox et al. (2003) menjelaskan bahwa

13

penangkapan ikan secara illegal dengan menggunakan bahan peledak buatan
sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia
tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut.
Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit
meninggalkan patahan karang yang berserakan di dasar membentuk serpihan
karang mati. Serpihan karang ini di bawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser
atau menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat
atau mencegah pemulihan karang.
Aktifitas pembangunan di wilayah pesisir dewasa ini, seperti pertanian,
industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan dengan racun (KCN) dan bahan
peledak, dan lainnya, didukung dengan peristiwa alam, seperti badai, gempa
bumi, kenaikan suhu (El-Nino), dapat mengganggu ekosistem terumbu karang
(Supriharyono 2007). Lanjut Dahuri et al. (2008). Ekosistem terumbu karang
terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan
gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum,
terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang
hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi air yang lancar serta
terhindar dari proses sedimentasi.
Bintang laut berduri merupakan hewan pemangsa karang yang cukup
ganas. Beberapa ratus ekor bintang laut ini dapat mematikan berhektar-hektar
terumbu karang dalam kurun waktu yang cepat. Di perairan Maluku, hewan ini
biasanya blooming (dalam kepadatan yang sangat tinggi : 25-50 ekor/m2) setelah
musim hujan. Penyebab blooming dari hewan ini belum diketahui dengan jelas.
Kerusakan terumbu yang disebabkan hewan ini perlu mendapat perhatian yang
serius pada program Coremap, dengan melakukan pemantauan jumlah, terutama
pada masa-masa blooming. Permintaan jenis ikan hias/karang yang meningkat
merupakan faktor penyebab meningkatnya eksploitasi sumberdaya ikan
hias/karang, salah satunya adalah karena adanya permintaan jenis-jenis ikan
tertentu, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran dunia, yang cenderung
meningkat, seperti contoh permintaan ikan maming/kerapu hidup yang tinggi di
pasaran (Hongkong), permintaan ikan Napoleon Wrase di pasaran internasional.
Kecenderungan berakibat pada penangkapan berlebih (over-eksploitasi).

14

Beberapa dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem terumbu karang
dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1 Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem terumbu karang
Kegiatan
Penambangan
dengan
atau
menggunakan
peledak
Pembuangan
panas

Dampak Potensial
karang - Perusakan habitat, bila menggunakan bahan
peledak
tanpa dapat menimbulkan kematian masal hewan terumbu
bahan karang.

limbah - Meningkatnya suhu air dengan 5-10oC di atas suhu
ambient air, dapat mematikan karang dan hewan lainnya
serta tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang;
Penggundulan hutan di - Sedimen hasil erosi yang berlebihan dapat mencapai
lahan atas (upland)
terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai
pengangkut sediment, dengan akibat meningkatnya
kekeruhan
air
sehingga
menghambat
fungsi
zooxanthellae
yang
selanjutnya
menghambat
pertumbuhan terumbu karang.
- Sedimen yang berlebihan dapat menyelimuti polip-polip
dengan sedimen yang dapat mematikan karang, karena
oksigen terlarut dalam air tidak dapat berdifusi masuk
kedalam polip;
- Karang di terumbu karang yang lokasinya berdekatan
dengan banjir akan dapat mengalami kematian karena
sedimentasi yang berlebihan dan penurunan salinitas air;
Pergerakan di sekitar -..Arus dapat mengangkut sediment yang teraduk ke
terumbu karang
terumbu karang dan meningkatkan kekeruhan air.
Kepariwisataan
- Peningkatan suhu air karena pencemaran panas oleh
pembuangan air pendingin pembangkit listrik hotel.
- Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal.
- Koleksi terumbu karang yang masih hidup dan hewanhewan lain oleh para turis dapat mengurangi
keanekaragaman hewani ekosistem terumbu karang;
- Rusaknya terumbu karang yang di sebabkan oleh
penyelam.
Penangkapan ikan hias - Penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalium
dengan
menggunakan sianida bukan saja membuat ikan pingsan, tetapi akan
kalium sianida (KCN)
membunuh karang dan avertebrata lainnya di sekitar
lokasi, karena hewan-hewan ini jauh lebih peka terhadap
kalium sianida;
Sumber : Berwick (1983) in Dahuri (2008)

2.4. Daerah Perlindungan Laut
Daerah perlindungan laut (DPL) telah secara luas diadopsi sebagai alat
utama untuk

konservasi terumbu karang, tapi pengguna sumberdaya jarang

menerima daerah DPL dan banyak yang gagal menghasilkan manfaat konservasi.

15

Beberapa penelitian memiliki obyektif dan sekaligus meneliti jenis MPA yang
paling efektif dalam melestarikan sumberdaya terumbu karang dan sosial ekonomi
faktor yang bertanggung jawab atas efektif konservasi. Penilaian sosial ekonomi
mengungkapkan bahwa konservasi yang efektif adalah berhubunga