FH UMM Gelar Workshop Cegah Korupsi

Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id

FH UMM Gelar Workshop Cegah Korupsi
Tanggal: 2011-07-25
Suasana Workshop mencegah Korupsi di Indonesia bersama Prof. Masruchin Rubai, SH, MS. dan Busyro Muqoddas.

Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar workshop Pendidikan Tinggi Hukum dan Syari’ah Perguruan Tinggi
Muhammadiyah Se-Indonesia, Jumat (22/07) di hotel UMM Inn. Acara yang digelar selama dua hari ini bertema “Kristalisasi Pemikiran Muhammadiyah;
Mencegah Tindak Pidana Korupsi demi Tegaknya Negara Hukum yang Sebenarnya”. Menurut dekan FH UMM, Sidik Sunaryo, SH, MH, acara ini
bertujuan untuk mencari jalan keluar bagaimana mencegah tindak korupsi yang dikaji dalam berbagai perspektif, bukan hanya dalam persfektif hukum.
Workshop ini dibuka oleh Pembantu Rektor I UMM, Prof. Dr. Ir. Sujono, M.Kes. Hadir sebagai nara sumber dalam acara ini ketua KPK, Busyro
Muqoddas dan pakar hokum Dr. Zainal Arifin, SH., MA, dan Prof. Masruchin Rubai, SH, MS.
Dalam sambutannya, PR I menyampaikan bahwa workshop ini sangat penting karena pemikiran-pemikiran intelektual Muhammadiyah sangat
diperlukan untuk memberikan kontribusi dalam dunia hukum di Indonesia. Banyak kasus hukum yang dalam penegakkannya terjadi penyimpangan
sehingga perlu adanya reformasi hukum. Reformasi hukum bisa terjadi dengan melakukan penguatan hukum dalam berbagai aspek.
“Fakultas hukum perlu kita kuatkan agar anak-anak kita nantinya lahir sebagai orang-orang ahli di bidang hukum yang berkepribadian diri yang
baik dan kuat. Hal itu bisa ditumbuhkan dengan menanamkan budi luhur yang baik kepada anak-anak kita,” tutur Sujono pada sambutannya.
Zainal Arifin menyampaikan materi tentang “Politik Hukum Anti Korupsi”. Dia mengatakan bahwa negeri ini sedang berada dalam kondisi
darurat korupsi dengan memaparkan segala realitas yang terjadi akibat maraknya praktik korupsi di Indonesia. Menurutnya, saat ini kita terlihat sangat

pragmatis menyamakan pemberantasan korupsi dengan IPK atau penilaian yang akhirnya harus dibayar mahal dengan memperbaiki segala hal yang
berhubungan dengan IPK tersebut.
Ada dua kendala yang menyebabkan Indonesia tidak pernah melakukan kemajuan dalam pemberantasan korupsi, kata Zainal. Yaitu,
kesalahan memilih paradigma yang pragmatis dan pemihakan yang sangat kurang terhadap pemberantasan korupsi. Hal itulah yang menggerogoti
kualitas lembaga yang dibuat dan produk hukum yang dihasilkan. Dalam banyak perkara, konsep korupsi yang terjadi adalah state captured corruption,
yaitu bentuk korupsi yang melegalkan tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh Negara untuk para mafia. Para mafia inilah yang akhirnya melakukan
upaya serangan balik yang sangat merepotkan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Artinya resep yang selama ini kita lakukan tidak berada di jalur yang tepat karena ketiadaan politik hukum yang jelas dalam penegakkan
hukum anti korupsi,” kata Zainal. Dia mengutip Ketua MK Machfud MD bahwa politik hukum merupakan hubungan kausalitas antara hukum dan politik
yang saling mempengaruhi. Machfud MD juga menjelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang bdiberlakukan suatu Negara
untuk mencapai tujuan bernegara yang bentuknya dapat membuat hukum baru maupun mengganti hukum lama.
Politik hukum dalam penegakkan hukum antikorupsi dapat dimaknai dalam tiga konsep utama, yaitu cetak biru atau tujuan utama dalam
penegakkan hukum antikorupsi, tarik ulur kepentingan politik dalam pemajuan penegakkan hukum antikorusi, serta implementasi dalam upaya
penegakkan hukum antikorusi. Namun ketiga konsep tersebut sedang sangat bermasalah. Pendekatan yang dapat dilakukan menuju ke arah politik
hukum yang jelas seperti yang dikatakan Iredell Jenkins yaitu model konservatis dimana yang bersalah harus dihukum, model liberal yang memfokuskan
pada perbaikan individu, atau model konstruktif yang berbicara dengan sistem. “Persoalannya sekarang ada pada kemampuan dan kemauan negara
dalam mengaplikasikannya,” jelas Zainal Arifin.
Dalam materinya, Prof. Masruchin Rubai, SH, MS menjelaskan tentang “Strategi Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi”. Dia mengatakan
bahwa korupsi bukan tindak pidana biasa, tetapi extra ordinary crime sehingga penaggulangannay harus dilakukan secara extra ordinary.
Penanggulangannya juga harus dilakukan secara terpadu dengan menggabungkan sarana penal seperti undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan sarana non penal yang selain hukum pidana. Mengutip dari Barda Nawawi Arief, Masruchin Rubai mengemukakan bahwa penaggulangan
kejahatan harus ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dengan politi sosial serta ada keterpaduan
antara kebijakan “penal” dengan kebijakan “non penal”.
“Strategi penanggulangan korupsi secara terpadu itu dapat melalui politik sosial sebagai kebijakan atau upaya mencapai kesejahteraan sosial
seperti yang dituangkan pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia,” kata Rubai.
Kemudian penanggulangan dapat pula dilakukan melalui kebijakan penal menggunakan sarana hukum yang saat ini sedang difokuskan oleh
negara, meski banyak terjadi perselingkuhan antara pejabat pelaksana pidana dengan koruptor. Selain cara tersebut, penaggulangan dapat pula dengan
kebijakan nonpenal yang merupakan langkah yang lebih strategis daripada kebijakan penal. Kebijakan non penal ini bisa bersifat preentif yang merupakan
upaya agar orang tidak ada niat untuk melakukan tindak korupsi dengan menamkan nilai-nilai etika luhur. Kebijakan bersifat preventif dilakukan dengan
cara mempersempit kesempatan untuk korupsi. “Kebijakan non penal ini mengajak keterlibatan masyarakat dalam menanggulangi korupsi yang dapat
dikatakan sebagai extra legal system. Potensi masyarakat harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan korupsi,” ungkap Rubai.
Workshop ditutup dengan materi yang cukup singkat dan jelas dari Busyro Muqoddas tentang “Paradigma, Arah, dan Landasan Politik Hukum
tentang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Busyro megatakan bahwa paradigma politik hukum yaitu liberasi, demokratisasi, dan ideologisasi/

page 1 / 2

Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id


egaliterianisasi. Liberasi memuat pemerdekaan dari paradigm liberal/ neoliberal/ pragmatism, pemerdekaan dari politik oligarkhi, serta pemerdekaan dari
hegemoni mitos NKRI-The Rule of Law. Pada paradigma demokratisasi memuat politik legislasi dan kebijakan negara dan pemerintah. Selain itu, pada
paradigma ideologisasi mngatur tentang posisi rakyat (HAM SIPOLEKOSOB), kontrak sosial, dan spirit keberpihakan kepada rakyat.
Menurut Busyro, politik hukum mengarah pada pembentukan dan penguatan Civil Society, proteksi hukum dan HAM pada Civil Society,
transparansi system perundang-undangan dan proses-proses politik, kemudahan akses dan kontrol publik, serta proteksi ekonomi kerakyatan. Semua itu
dikatakan Busyro berlandaskan pada konstitusi dan Pancasila, prinsip The Rule of Law, prinsip kedaulatan rakyat, realitas kemiskinan multidimensi, serta
realitas krisis nilai-nilai substansi dan fungsional.
“Beberapa modus dilakukannya tindakan korupsi yang secara konvensional biasanya SPPD Tiket dan program fiktif yang dilakukan oleh PNS,
penegak hukum, dan aktor lainnya. Dalam political corruption misalnya adanya tindakan penjarahan APBD/APBN yang dilakkan oleh aktor-aktor birokrat,
makelar, pengurus parpol, ataupun anggota DPR/DPRD. Korupsi pada level yang paling tinggi yaitu state capture corruption dengan mendesain kebijakan
yang koruptif. Aktor korupsi pada level ini sama seperti pada level political corruption,” ungkap Busyo kepada peserta workshop. (han/nas)

page 2 / 2