Aspek Normatif UU Kepailitan (Bagian V)
Resolusi Konflik Dualisme Hukum Kepailitan dan Arbitrase di Indonesia
(Bagian V)
Diterbitkan Desember 24, 2009 Artikel Dosen Ditutup
Tags: arbitrase, hukum, Indonesia, kepailitan, Rahayu Hartini
Sumber: http://gagasanhukum.wordpress.com/?s=rahayu+hartini
Oleh Rahayu Hartini
Pengantar redaksi:
Artikel ini pernah dipresentasikan dalam Seminar International Conference On Corporate
Law 2009 (ICCL 2009), 23 Juni 2009 di FH Unair Kerjasama dengan Universitas Utara
Malaysia (UUM), selengkapnya tulisan ini dapat dibaca dalam buku “Resolusi Konflik
Dualisme Hukum Kepailitan Dan Arbitrase di Indonesia, penerbit UMM Press, 2009
(dalam proses)”. GagasanHukum.WordPress.Com memuat secara bersambung. Bagian I,
edisi Kamis 26 Nopember 2009. Bagian II, edisi Kamis 3 Desember 2009. Bagian III,
edisi Kamis 10 Desember 2009. Bagian IV, edisi Kamis 17 Desember 2009. Bagian V,
edisi Kamis 24 Desember 2009.
A. PENYELESAIAN KASUS SENGKETA KEPAILITAN DENGAN KLAUSUL
ARBITRASE DALAM PRAKTEK (DAS SEIN)
Berdasarkan lima putusan kepailitan yang berklausula arbitrase diatas, bahwa apa yang
diputuskan Mejelis Hakim masih “mengekor” pada putusan sebelumnya dengan prinsip
yurisprudensi. Seharusnya hakim dapat menggali hukum dengan seksama dan cermat
dengan prinsip menjunjung tinggi keadilan. Akan tetapi disini para hakim hanya cukup
menulis ulang pada kasus yang sebelumnya sudah ada. Hal ini menjadikan preseden
apabila seorang hakim akan memutuskan kasus kewenangan lembaga peradilan mana
yang akan memutus antara lembaga extra judicial dengan lembaga peradilan extra
ordinary, bukan antara lembaga peradilan yang sudah ada di bawah Mahkamah Agung
yang samasama sebagai lembaga extra ordinary.
Dalam memutuskan suatu perkara hakim seharusnya menelaah dengan cermat dan tepat
antara kekuasaan mana antara kepentingan dari lemabga arbitrase sebagai lembaga
peradilan extra judicial dengan lembaga peradilan niaga sebagai lembaga peradilan extra
ordinary. Pada satu sisi peraturan yang mengatur kewenangan dari kedua model peradilan
tersebut tidak ada dan selama ini hakim sulit untuk melakukan rechvinding pada masalah
tersebut. Hal ini memang akan dibatasi pemikiran para yuris tersebut karena akan
mengkaji banyak pertimbangan dari berbagai sisi fundamen dasar ilmu hukum, yaitu
asasasas ilmu hukum.
Akan tetapi, keadilan yang dicari masyarakat kita adalah berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi serta domisili mereka antara satu dan yang
lain juga berbeda. Jadi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah baru
yang membutuhkan bantuan seorang yuris untuk peka terhadap perkembangan jaman ini.
Hal ini muncul karena hukum itu sebenarnya control terhadap sosial meskipun adanya
hukum diawali dengan adanya masalah yang berkembang dalam masyarakat yang
digeneralisir dan dijadikan patokan bagi masyarakat luas.
Dari putusan PT. Enindo dan kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna dan kawan yang
dijadikan landasan yurisprudensi bagi setiap masalah kepailitan yang masuk ke lembaga
pengadilan niaga akan tetapi permasalahan itu juga memunculkan klausul arbitrase dalam
sengketa tersebut.
Adanya klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian para pihak tidak dapat
mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus
perkara permohonan pernyataan pailit. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 280
PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998,
bahwa Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan
pernyataan pailit.
Pertama, adalah berdasarkan pada pasal 280 ayat (1) dan (2) PERPU Nomor 1 Tahun
1998 yang telah menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal
status and power) Pengadilan Niaga mempunyai kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan permohonan pailit.
Kedua, adanya klausula arbitrase berdasarkan penjelasan pasal 3 UU Nomor 14 Tahun
1970 jo pasal 337 HIR dan pasal 615651 Rv, telah menempatkan status hukum dan
kewenangan arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian dalam kedudukannya sebagai extra judicial berhadapan dengan
Pengadilan Negeri sebgai pengadilan negara biasa.
Ketiga, adalah bahwa dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial yang lahir dari
klausul arbitrase, yurisprudensi telah mengakui legal effect yang memberi kewenangan
absolute bagi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Asas
pacta sunt servanda yang ditetapkan dalam pasal 1338 KUH Perdata.
Keempat, adalah adanya kewenangan absolute tersebut diatas kedudukannya sebagai
extra judicial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga sebagai extra
ordinary yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
penyelesaian insolvensi atau pailit oleh PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah
ditetapkan menjadi undangundang yang sifatnya khusus (special law).
Oleh karena itu dalam putusan tersebut yang perlu dikritisi adalah bahwa putusan tersebut
menyimpang dari ketentuan hukum khususnya terkait dengan pengangguhan asas lex
specialist derograt lex generalist yang menjadi dasar utama kasus kepailitan PT. Enindo
dan kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan.
Pertama, pada tingkatan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan bahwa
Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus serta menolak
permohonan pernyataan pailit yang diajukan. Hal ini memberikan arti bahwa dengan
mendasarkan pada UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 pasal 3, 11 jo 7 (sebagai special
law) dan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 (sebgai general law).
Kadua, pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung RI diputus dengan mengadili sendiri
bahwa menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan
memutus serta mengabulkan pernyataan pailit. Hal ini mendasarkan pada pasal 180
PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan (specialist law) dan UU Arbitrase (general law).
Ketiga, pada tingkatan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa di Mahkamah
Agung RI yaitu mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan membatalkan putusan
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Niaga dan mengadili kembali dengan menolak
permohonan pailit pemohon dengan alasan bahwa dengan tidak mempertimbangkan
formil permohonan kasasi, dan alasan ini dapat dibenarkan menurut Mahkamah Agung
karena terdapat kesalahan berat dalam menerapkan pasal 8 PERPU Nomor 1 Tahun 1998,
yakni telah melampaui tenggang waktu pengajuan kasasi (lebih dari 8 hari diputus)
sehingga harus ditolak tanpa perlu mempertimbangkan materi perkara; bahwa tentang
klausul arbitrase dalam hubungannya dengan Pengadilan Niaga dengan pertimbangan
Mahkamah Agung:
a. Bahwa benar Pengadilan Niaga merupakan salah satu organ dari badan peradilan
umum yang tidak terpisahkan dari struktur Pengadilan Negeri itu sendiri. Namun
berkaitan dengan penyelesaian pailit telah dilimpahkan kewenangannya kepda
Pengadilan Niaga, maka status hukum dan kewenangan Pengadilan Niaga mempunyai
kapasitas hukum untuk menyelesaikan permohonan pailit;
b. Bahwa klausula arbitrase sebgai extra judicial dan yurisprudensi telah mengakui legal
effect, maka badan arbitrase mempunyai kewenangan absolute, akan tetapi kesenangan
absolute tersebut tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga yang
secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa masalah kepailitan;
c. Meskipun Pengadilan Niaga menyatakan tidak berwenang mengadili a quo sehingga
belum memeriksa tentang substansi perkara, namun karena pemeriksaannya telah selesai
dan semua fakta telah terungkap dalam persidangan serta sifat penyelesaian perkara
kepailitan yang cepat dan sederhana dengan pembatasan waktu penyelesaiannya, maka
Mejelis peninjauan kembali pada MAhkamah Agung mengadili sendiri perkara dengan
pertimbahan persyaratan kepailitan dalam undangundang kepailitan, yaitu adanya utang
yang dapat ditagih dan jatuh tempo dan adanya 2 atau lebih dari kreditur.
6. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan yang ada dapat disimpulkan bahwa: pertama, adanya dualisme hukum
terjadi karena akibat perbenturan hukum dari UUK dan PKPU No.4 tahun 1998 jo UU
No. 37 Tahun 2004 dengan UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Hal lini terjadi karena
dari kedua undangundang ini masingmasing memiliki kewenangan hukum, dalam hal
ini UUK PKPU sebagai lembaga hukum peradilan extra ordinary dan UU Arbitrase
sebagai lembaga peradilan extra judicial. Sedangkan persoalan yang mengatur sengketa
kewenangan ini belum ada aturan hukumnya yang mengakibatkan terjadinya bias hukum
sehingga kasuskasus yang ada diselesaikan dengan model rechvinding yang menjadi
yurisprudensi bagi hakim selanjutnya.
Kedua, adalah adanya penyimpangan asas atau kaidah hukum yang berlaku dalam klausul
arbitrase yang tertulis yang disebabkan oleh terjadinya kekuasaan absolute antara
lembaga peradilan extra ordinary dengan lembaga peradilan extra judicial yang belum
jelas dasar hukum sengketa kewenangan. Hal ini mengakibatkan para hakim melakukan
analisa sendiri sehingga dari beberapa kasus menyimpang dari asas atau kaidah hukum
yang ada.
Ketiga, akibat dari bola salju persoalan pertama dan kedua. Hakim pada faktanya lebih
memilih memakai yurisprudensi pada hakim sebelumya dengan prinsip persoalannya
yang sama dan tidak ada peraturan yang jelas untuk mengaturnya.
B. SARAN
Seyogyanya Mahkamah Agung dengan menggunakan prinsip keterbukaan informasi
dalam pengelolaan hasil putusan hakim pada lembaga peradilan di tingkatan manapun,
sehingga putusan lebih mudah diakses. Ha ini penting dilakukan, karena legal opinion
para praktisi hukum dari kalangan akademik ataupun lainnya mungkin berbeda dalam
pengambilan keputusan. Hal ini dalam rangka pengembangan hukum ke depan yang lebih
baik dan akomodatif mengikuti perkembangan laju dari budaya sosial masyarakat.
Diperlukan adanya lembaga yang mengatur khusus persoalan kewenangan absolute dari
lembaga peradilan extra ordinary dengan lembaga extra judicial, sengketa ini akan
semakin banyak muncul di masyarakat luas karena perkembangan dari kebudayaan
manusia itu sendiri dan semakin pesatnya globalisasi yang berpengaruh pada arus
perdagangan. Sehingga regulasi yang memberikan rasa keadilan dalam masyarakat
secepatnya diperlukan demi hukum.
Tentang Penulis:
Hj Rahayu Hartini SH MSi MHum, dosen Kopertis Wilayah VII, DPK pada Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Sedang studi S3 Ilmu Hukum Universitas
Airlangga. Email: rahayuhartini@yahoo.co.id
DAFTAR BACAAN
BUKUBUKU:
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Ahmad Fauzan, Perundangundangan Lengkap tentang Peradilan Umum,
Peradilan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi, Kencana , Jakarta.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 2000, Aspekaspek Hukum Kepailitan dan
Problematikanya Dalam Praktek Peradilan, Makalah Dialog Hukum Bisnis,
Independent Lawyers Club (ILC) Surabaya, 14 April.Ahmad Yani, dan Gunawan
Widjaya, 2000, Kepailitan, Seri Hukum Bisnis, Cetakan Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
—————————————, 2003, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase,
Cetakan ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Bernadette Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran
Kewajiban Utang, Mandar Maju, Bandung.
B. Arief Sidharta, 2004, Identifikasi dan Evaluasi Pemahaman, Penerpan Azas
Azas Hukum Dalam Konteks Perkembangan Praktek Hukum Masa Kini, Makalah
Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum Dan Metode Pengajaran
Yang Mendukung Pembangunan Nasional, BPHN Depkeh dan HAM RI FH
UGM dan Kanwil Depkeh dan HAM RI Provinsi DIY, 2122 Juli.
CST. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan
kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta.
CST. Kansil dan Cristine ST Kansil, 2006, PokokPokok Etika Profesi Hukum,
Cetakan ketiga, PT. Pradya Paramitha, Jakarta.
Fatah Ghozali Hasyim, 2003, Implementasi Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya
Ringan Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Periode 19942003 Di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)(Studi Di Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Surabaya), Skripsi, FHUMM.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cetakan pertama,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hartini Mochtar Kasran, 2000, UU. No. 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa, Makalah Seminar tentang Arbitrase dan E
Comerce, 6 September.
HFA. Kuffal, 2005, Himpunan Sembilan UndangUndang, Cetakan pertama,
UMM Press, Malang.
H.M.N. Purwosutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Perwasitan dan Penundaaan Pembayaran, Jilid 8 , Jakarta, Djambatan.
Ilham Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia: Prinsipprinsip & Implementasi
Hukum di Indonesia, Cetakan pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Komisi Hukum Nasional, 2003, Laporan Akhir Penelitian Tentang Pengadilan
Niaga (2002), Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi) Desember.
Marthen Ferry Karerth, 1999, Penyelesaian Sengketa Dagang melalui Arbitrase
dan Pelaksanaannya di Indonesia, Laporan Penelitian, FH UNCEN.
Marulak Pardede, 2002, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase, Hasil
Penelitian dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei Juni.
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Munir Fuady, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
M. Yahya Harahap, 2003, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
————————, 2007, Hukum Acara Perdata, Cetakan ketiga, PT. Cinar
Grafika Persada, Jakarta.
Paripurna P. Sudargo, 2002, Definisi Utang Menurut RUU Kepailitan Dan
Penundaan Pembayaran Utang, Jurnal hukum Bisnis, Volume 17, Januari.
Peter Mahmud Marzuki, 1997, Hukum Kepailitan Menyongsong Era Global,
Makalah Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan,
FHUNDIPELIPS.
Priyatno Abdur Rasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Makalah Seminar Nasional tentang Arbitrase dan I ECommerce, 6 September.
Rahayu Hartini, Peran Dan Fungsi BHP dalam Kepailitan Pasca Lahirnya UU
No.4 Tahun 1998, Hasil Penelitian, Jurnal Ilmiah Hukum “Legality” Volume 10/
VII/ September, 1999, ISSN: 08546509.
——————, Implementasi Undangundang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase (Studi Pada BANI Jawa Timur Di Surabaya), Hasil Penelitian, Jurnal
Ilmiah Hukum “Legality” Volume 10, Nomor 1, Februari Agustus 2002, ISSN:
08546509, No. Akreditasi: 118/DITI/KEP/2001.
——————–, 2004, Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian
Perkara Kepailitan Yang Berklausula Arbitrase, Laporan Hasil Penelitian, Pusat
Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang, 2004.
——————, 2002, Aspek Hukum Bisnis, Edisis Revisi, Cetakan Ketiga,
UMM Pres, Malang.
——————, 2003, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Maret, Bayu Media,
Malang.
——————, 2005, Hukum Komersial, Cetakan Pertama, April, UMM Press,
Malang.
Ratnawati Prasojo, 1996, Kebijakan Pemerintah dalam Pembaharuan Peraturan
Perundangundangan Tentang Kepailitan di Indonesia, Semarang, Makalah
Seminar Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi di
Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Cetakan kedelapan, Mandar Maju, Bandung.
Toni Budidjaja, 2002, Recognition and Enforcrment Foreign Arbitral Awards in
Indonesia, Cetakan pertama, PT. Tatanusa, Jakarta.
Ricardo Simanjuntak, 2002, Rancangan Perubahan Undangundang Kepailitan
Dalam Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan UndangUndang Kepailitan),
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17, Januari.
Riyanto, 1996, Tinjauan Sekilas Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan
Terbatas, Semarang, Makalah Seminar Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan
Hukum Ekonomi di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
R. Soebekti dan Tjiptosudibio, 1998:KUH Dagang dan UU Kepailitan, Jakarta,
Cet. XVI, Pradnya Paramita.
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
——————, 1998, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Jakarta, Cetakan
XVIII, Pradnya Paramita.
R. Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan XVII, PT.
Pradya Paramita, Jakarta.
Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokokpokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan kelima, PT. Citra Aditya Bhakti
Persada, Jakarta.
Sri Redjeki Hartono, 1996, Prospek Lembaga Kepailitan Di Indonesia, Semarang,
Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pelaksanaan Hukum
Ekonomi di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
——————, 1997, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum, Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya
Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP, Elips
Project.
Sudargo Gautama, 1989, Pekembangan Arbitrase Dagang Internasional Di
Indonesia, Eresco Bandung.
———————, 1999, UndangUndang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bhakti.
Sunarto, 2004, Undangundang Nomor :4 tahun 2004 sebagai pilar penyangga
kemandirian dan sarana akuntabilitas publik hakim, (Ketua Pengadilan Negeri
Trenggalek), makalah.
Sutan Remy Sjahdeini, 1997, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pengurus Pemegang
Saham terhadap Pihak Ketiga, Makalah Semiloka Restrukturisasi Organisasi
Bisnis Melalui Kepailitan, FHUNDIPELIPS, Semarang 11 Desember.
S. Suryono, 2002, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan Hutang
Piutang, BP Cipta Jaya.
——————–, 2005, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan Hutang
Piutang, BP Cipta Jaya.
Sudikno Mertokusuma, 2002, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Edisi empat,
Liberty, Yogyakarta.
Wiryo Lukito, 1997, Penyelesaian Kepailitan Melalui Pengadilan (Studi Kasus
Kepailitan), Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya Restrukturisasi
Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project
Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2007, Pedoman Prilaku Hakim (Code of
Conduct) kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Cetakan pertama, Mahkamah
Agung RI, Jakarta.
Peraturan/ Perundangundangan/ Majalah:
———————, 1998, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor
1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undangundang tentang Kepailitan,
Surabaya, Arkola.
· ——————–, UndangUndang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, PT Kloang
Klode, Jakarta.
· ——————–, UndangUndang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, Eko Joyo ,
Jakarta.
·
·
·
·
·
·
·
———————, Putusanputusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, Globalisasi Pasar Modal Dengan
UndangUndang Baru, Vol.14, Juli 2001.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, Permasalahan Utang Dan RUU
Kepailitan Baru, Vol 17, Jan 2002.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, UU Antimonopoli: Tantangan Dan
Masalah Di Seputarnya, Volume 19, Mei 2002.
———————, Jurnal Ilmiah Hukum, Legality, Implementasi Undangundang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Volume 10 Nomor 1, FebruariAgustus
2002, ISSN: 08546509, No. Akreditasi: 118/DIKTI/KEP/2001.
———————, Majalah Hukum Varia Peradilan, 2005, Tahun XX No. 233
Februari.
Internet:
Jon Sarman Saragih, 2006, Pendapat mahkamah agung dalam pembangunan
Hukum Kepailitan Melalui Putusanputusan Kepailitan (19982004), Tesis,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan, diakses dari USU
Repository @ 2007, Senin tanggal 25 September 2007.
· ———————, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam
Era Globalisasi, Laporan Hasil Penelitian, Direktorat Hukum dan Hak asasi
Manusia, diani@bappenas.go.id, diakses tanggal 21 Agustus 2007.
·
(Bagian V)
Diterbitkan Desember 24, 2009 Artikel Dosen Ditutup
Tags: arbitrase, hukum, Indonesia, kepailitan, Rahayu Hartini
Sumber: http://gagasanhukum.wordpress.com/?s=rahayu+hartini
Oleh Rahayu Hartini
Pengantar redaksi:
Artikel ini pernah dipresentasikan dalam Seminar International Conference On Corporate
Law 2009 (ICCL 2009), 23 Juni 2009 di FH Unair Kerjasama dengan Universitas Utara
Malaysia (UUM), selengkapnya tulisan ini dapat dibaca dalam buku “Resolusi Konflik
Dualisme Hukum Kepailitan Dan Arbitrase di Indonesia, penerbit UMM Press, 2009
(dalam proses)”. GagasanHukum.WordPress.Com memuat secara bersambung. Bagian I,
edisi Kamis 26 Nopember 2009. Bagian II, edisi Kamis 3 Desember 2009. Bagian III,
edisi Kamis 10 Desember 2009. Bagian IV, edisi Kamis 17 Desember 2009. Bagian V,
edisi Kamis 24 Desember 2009.
A. PENYELESAIAN KASUS SENGKETA KEPAILITAN DENGAN KLAUSUL
ARBITRASE DALAM PRAKTEK (DAS SEIN)
Berdasarkan lima putusan kepailitan yang berklausula arbitrase diatas, bahwa apa yang
diputuskan Mejelis Hakim masih “mengekor” pada putusan sebelumnya dengan prinsip
yurisprudensi. Seharusnya hakim dapat menggali hukum dengan seksama dan cermat
dengan prinsip menjunjung tinggi keadilan. Akan tetapi disini para hakim hanya cukup
menulis ulang pada kasus yang sebelumnya sudah ada. Hal ini menjadikan preseden
apabila seorang hakim akan memutuskan kasus kewenangan lembaga peradilan mana
yang akan memutus antara lembaga extra judicial dengan lembaga peradilan extra
ordinary, bukan antara lembaga peradilan yang sudah ada di bawah Mahkamah Agung
yang samasama sebagai lembaga extra ordinary.
Dalam memutuskan suatu perkara hakim seharusnya menelaah dengan cermat dan tepat
antara kekuasaan mana antara kepentingan dari lemabga arbitrase sebagai lembaga
peradilan extra judicial dengan lembaga peradilan niaga sebagai lembaga peradilan extra
ordinary. Pada satu sisi peraturan yang mengatur kewenangan dari kedua model peradilan
tersebut tidak ada dan selama ini hakim sulit untuk melakukan rechvinding pada masalah
tersebut. Hal ini memang akan dibatasi pemikiran para yuris tersebut karena akan
mengkaji banyak pertimbangan dari berbagai sisi fundamen dasar ilmu hukum, yaitu
asasasas ilmu hukum.
Akan tetapi, keadilan yang dicari masyarakat kita adalah berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi serta domisili mereka antara satu dan yang
lain juga berbeda. Jadi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah baru
yang membutuhkan bantuan seorang yuris untuk peka terhadap perkembangan jaman ini.
Hal ini muncul karena hukum itu sebenarnya control terhadap sosial meskipun adanya
hukum diawali dengan adanya masalah yang berkembang dalam masyarakat yang
digeneralisir dan dijadikan patokan bagi masyarakat luas.
Dari putusan PT. Enindo dan kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna dan kawan yang
dijadikan landasan yurisprudensi bagi setiap masalah kepailitan yang masuk ke lembaga
pengadilan niaga akan tetapi permasalahan itu juga memunculkan klausul arbitrase dalam
sengketa tersebut.
Adanya klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian para pihak tidak dapat
mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus
perkara permohonan pernyataan pailit. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 280
PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998,
bahwa Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan
pernyataan pailit.
Pertama, adalah berdasarkan pada pasal 280 ayat (1) dan (2) PERPU Nomor 1 Tahun
1998 yang telah menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal
status and power) Pengadilan Niaga mempunyai kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan permohonan pailit.
Kedua, adanya klausula arbitrase berdasarkan penjelasan pasal 3 UU Nomor 14 Tahun
1970 jo pasal 337 HIR dan pasal 615651 Rv, telah menempatkan status hukum dan
kewenangan arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian dalam kedudukannya sebagai extra judicial berhadapan dengan
Pengadilan Negeri sebgai pengadilan negara biasa.
Ketiga, adalah bahwa dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial yang lahir dari
klausul arbitrase, yurisprudensi telah mengakui legal effect yang memberi kewenangan
absolute bagi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Asas
pacta sunt servanda yang ditetapkan dalam pasal 1338 KUH Perdata.
Keempat, adalah adanya kewenangan absolute tersebut diatas kedudukannya sebagai
extra judicial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga sebagai extra
ordinary yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
penyelesaian insolvensi atau pailit oleh PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah
ditetapkan menjadi undangundang yang sifatnya khusus (special law).
Oleh karena itu dalam putusan tersebut yang perlu dikritisi adalah bahwa putusan tersebut
menyimpang dari ketentuan hukum khususnya terkait dengan pengangguhan asas lex
specialist derograt lex generalist yang menjadi dasar utama kasus kepailitan PT. Enindo
dan kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan.
Pertama, pada tingkatan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan bahwa
Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus serta menolak
permohonan pernyataan pailit yang diajukan. Hal ini memberikan arti bahwa dengan
mendasarkan pada UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 pasal 3, 11 jo 7 (sebagai special
law) dan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 (sebgai general law).
Kadua, pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung RI diputus dengan mengadili sendiri
bahwa menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan
memutus serta mengabulkan pernyataan pailit. Hal ini mendasarkan pada pasal 180
PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan (specialist law) dan UU Arbitrase (general law).
Ketiga, pada tingkatan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa di Mahkamah
Agung RI yaitu mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan membatalkan putusan
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Niaga dan mengadili kembali dengan menolak
permohonan pailit pemohon dengan alasan bahwa dengan tidak mempertimbangkan
formil permohonan kasasi, dan alasan ini dapat dibenarkan menurut Mahkamah Agung
karena terdapat kesalahan berat dalam menerapkan pasal 8 PERPU Nomor 1 Tahun 1998,
yakni telah melampaui tenggang waktu pengajuan kasasi (lebih dari 8 hari diputus)
sehingga harus ditolak tanpa perlu mempertimbangkan materi perkara; bahwa tentang
klausul arbitrase dalam hubungannya dengan Pengadilan Niaga dengan pertimbangan
Mahkamah Agung:
a. Bahwa benar Pengadilan Niaga merupakan salah satu organ dari badan peradilan
umum yang tidak terpisahkan dari struktur Pengadilan Negeri itu sendiri. Namun
berkaitan dengan penyelesaian pailit telah dilimpahkan kewenangannya kepda
Pengadilan Niaga, maka status hukum dan kewenangan Pengadilan Niaga mempunyai
kapasitas hukum untuk menyelesaikan permohonan pailit;
b. Bahwa klausula arbitrase sebgai extra judicial dan yurisprudensi telah mengakui legal
effect, maka badan arbitrase mempunyai kewenangan absolute, akan tetapi kesenangan
absolute tersebut tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga yang
secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa masalah kepailitan;
c. Meskipun Pengadilan Niaga menyatakan tidak berwenang mengadili a quo sehingga
belum memeriksa tentang substansi perkara, namun karena pemeriksaannya telah selesai
dan semua fakta telah terungkap dalam persidangan serta sifat penyelesaian perkara
kepailitan yang cepat dan sederhana dengan pembatasan waktu penyelesaiannya, maka
Mejelis peninjauan kembali pada MAhkamah Agung mengadili sendiri perkara dengan
pertimbahan persyaratan kepailitan dalam undangundang kepailitan, yaitu adanya utang
yang dapat ditagih dan jatuh tempo dan adanya 2 atau lebih dari kreditur.
6. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan yang ada dapat disimpulkan bahwa: pertama, adanya dualisme hukum
terjadi karena akibat perbenturan hukum dari UUK dan PKPU No.4 tahun 1998 jo UU
No. 37 Tahun 2004 dengan UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Hal lini terjadi karena
dari kedua undangundang ini masingmasing memiliki kewenangan hukum, dalam hal
ini UUK PKPU sebagai lembaga hukum peradilan extra ordinary dan UU Arbitrase
sebagai lembaga peradilan extra judicial. Sedangkan persoalan yang mengatur sengketa
kewenangan ini belum ada aturan hukumnya yang mengakibatkan terjadinya bias hukum
sehingga kasuskasus yang ada diselesaikan dengan model rechvinding yang menjadi
yurisprudensi bagi hakim selanjutnya.
Kedua, adalah adanya penyimpangan asas atau kaidah hukum yang berlaku dalam klausul
arbitrase yang tertulis yang disebabkan oleh terjadinya kekuasaan absolute antara
lembaga peradilan extra ordinary dengan lembaga peradilan extra judicial yang belum
jelas dasar hukum sengketa kewenangan. Hal ini mengakibatkan para hakim melakukan
analisa sendiri sehingga dari beberapa kasus menyimpang dari asas atau kaidah hukum
yang ada.
Ketiga, akibat dari bola salju persoalan pertama dan kedua. Hakim pada faktanya lebih
memilih memakai yurisprudensi pada hakim sebelumya dengan prinsip persoalannya
yang sama dan tidak ada peraturan yang jelas untuk mengaturnya.
B. SARAN
Seyogyanya Mahkamah Agung dengan menggunakan prinsip keterbukaan informasi
dalam pengelolaan hasil putusan hakim pada lembaga peradilan di tingkatan manapun,
sehingga putusan lebih mudah diakses. Ha ini penting dilakukan, karena legal opinion
para praktisi hukum dari kalangan akademik ataupun lainnya mungkin berbeda dalam
pengambilan keputusan. Hal ini dalam rangka pengembangan hukum ke depan yang lebih
baik dan akomodatif mengikuti perkembangan laju dari budaya sosial masyarakat.
Diperlukan adanya lembaga yang mengatur khusus persoalan kewenangan absolute dari
lembaga peradilan extra ordinary dengan lembaga extra judicial, sengketa ini akan
semakin banyak muncul di masyarakat luas karena perkembangan dari kebudayaan
manusia itu sendiri dan semakin pesatnya globalisasi yang berpengaruh pada arus
perdagangan. Sehingga regulasi yang memberikan rasa keadilan dalam masyarakat
secepatnya diperlukan demi hukum.
Tentang Penulis:
Hj Rahayu Hartini SH MSi MHum, dosen Kopertis Wilayah VII, DPK pada Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Sedang studi S3 Ilmu Hukum Universitas
Airlangga. Email: rahayuhartini@yahoo.co.id
DAFTAR BACAAN
BUKUBUKU:
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Ahmad Fauzan, Perundangundangan Lengkap tentang Peradilan Umum,
Peradilan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi, Kencana , Jakarta.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 2000, Aspekaspek Hukum Kepailitan dan
Problematikanya Dalam Praktek Peradilan, Makalah Dialog Hukum Bisnis,
Independent Lawyers Club (ILC) Surabaya, 14 April.Ahmad Yani, dan Gunawan
Widjaya, 2000, Kepailitan, Seri Hukum Bisnis, Cetakan Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
—————————————, 2003, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase,
Cetakan ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Bernadette Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran
Kewajiban Utang, Mandar Maju, Bandung.
B. Arief Sidharta, 2004, Identifikasi dan Evaluasi Pemahaman, Penerpan Azas
Azas Hukum Dalam Konteks Perkembangan Praktek Hukum Masa Kini, Makalah
Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum Dan Metode Pengajaran
Yang Mendukung Pembangunan Nasional, BPHN Depkeh dan HAM RI FH
UGM dan Kanwil Depkeh dan HAM RI Provinsi DIY, 2122 Juli.
CST. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan
kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta.
CST. Kansil dan Cristine ST Kansil, 2006, PokokPokok Etika Profesi Hukum,
Cetakan ketiga, PT. Pradya Paramitha, Jakarta.
Fatah Ghozali Hasyim, 2003, Implementasi Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya
Ringan Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Periode 19942003 Di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)(Studi Di Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Surabaya), Skripsi, FHUMM.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cetakan pertama,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hartini Mochtar Kasran, 2000, UU. No. 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa, Makalah Seminar tentang Arbitrase dan E
Comerce, 6 September.
HFA. Kuffal, 2005, Himpunan Sembilan UndangUndang, Cetakan pertama,
UMM Press, Malang.
H.M.N. Purwosutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Perwasitan dan Penundaaan Pembayaran, Jilid 8 , Jakarta, Djambatan.
Ilham Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia: Prinsipprinsip & Implementasi
Hukum di Indonesia, Cetakan pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Komisi Hukum Nasional, 2003, Laporan Akhir Penelitian Tentang Pengadilan
Niaga (2002), Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi) Desember.
Marthen Ferry Karerth, 1999, Penyelesaian Sengketa Dagang melalui Arbitrase
dan Pelaksanaannya di Indonesia, Laporan Penelitian, FH UNCEN.
Marulak Pardede, 2002, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase, Hasil
Penelitian dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei Juni.
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Munir Fuady, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
M. Yahya Harahap, 2003, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
————————, 2007, Hukum Acara Perdata, Cetakan ketiga, PT. Cinar
Grafika Persada, Jakarta.
Paripurna P. Sudargo, 2002, Definisi Utang Menurut RUU Kepailitan Dan
Penundaan Pembayaran Utang, Jurnal hukum Bisnis, Volume 17, Januari.
Peter Mahmud Marzuki, 1997, Hukum Kepailitan Menyongsong Era Global,
Makalah Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan,
FHUNDIPELIPS.
Priyatno Abdur Rasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Makalah Seminar Nasional tentang Arbitrase dan I ECommerce, 6 September.
Rahayu Hartini, Peran Dan Fungsi BHP dalam Kepailitan Pasca Lahirnya UU
No.4 Tahun 1998, Hasil Penelitian, Jurnal Ilmiah Hukum “Legality” Volume 10/
VII/ September, 1999, ISSN: 08546509.
——————, Implementasi Undangundang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase (Studi Pada BANI Jawa Timur Di Surabaya), Hasil Penelitian, Jurnal
Ilmiah Hukum “Legality” Volume 10, Nomor 1, Februari Agustus 2002, ISSN:
08546509, No. Akreditasi: 118/DITI/KEP/2001.
——————–, 2004, Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian
Perkara Kepailitan Yang Berklausula Arbitrase, Laporan Hasil Penelitian, Pusat
Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang, 2004.
——————, 2002, Aspek Hukum Bisnis, Edisis Revisi, Cetakan Ketiga,
UMM Pres, Malang.
——————, 2003, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Maret, Bayu Media,
Malang.
——————, 2005, Hukum Komersial, Cetakan Pertama, April, UMM Press,
Malang.
Ratnawati Prasojo, 1996, Kebijakan Pemerintah dalam Pembaharuan Peraturan
Perundangundangan Tentang Kepailitan di Indonesia, Semarang, Makalah
Seminar Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi di
Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Cetakan kedelapan, Mandar Maju, Bandung.
Toni Budidjaja, 2002, Recognition and Enforcrment Foreign Arbitral Awards in
Indonesia, Cetakan pertama, PT. Tatanusa, Jakarta.
Ricardo Simanjuntak, 2002, Rancangan Perubahan Undangundang Kepailitan
Dalam Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan UndangUndang Kepailitan),
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17, Januari.
Riyanto, 1996, Tinjauan Sekilas Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan
Terbatas, Semarang, Makalah Seminar Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan
Hukum Ekonomi di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
R. Soebekti dan Tjiptosudibio, 1998:KUH Dagang dan UU Kepailitan, Jakarta,
Cet. XVI, Pradnya Paramita.
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
——————, 1998, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Jakarta, Cetakan
XVIII, Pradnya Paramita.
R. Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan XVII, PT.
Pradya Paramita, Jakarta.
Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokokpokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan kelima, PT. Citra Aditya Bhakti
Persada, Jakarta.
Sri Redjeki Hartono, 1996, Prospek Lembaga Kepailitan Di Indonesia, Semarang,
Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pelaksanaan Hukum
Ekonomi di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
——————, 1997, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum, Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya
Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP, Elips
Project.
Sudargo Gautama, 1989, Pekembangan Arbitrase Dagang Internasional Di
Indonesia, Eresco Bandung.
———————, 1999, UndangUndang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bhakti.
Sunarto, 2004, Undangundang Nomor :4 tahun 2004 sebagai pilar penyangga
kemandirian dan sarana akuntabilitas publik hakim, (Ketua Pengadilan Negeri
Trenggalek), makalah.
Sutan Remy Sjahdeini, 1997, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pengurus Pemegang
Saham terhadap Pihak Ketiga, Makalah Semiloka Restrukturisasi Organisasi
Bisnis Melalui Kepailitan, FHUNDIPELIPS, Semarang 11 Desember.
S. Suryono, 2002, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan Hutang
Piutang, BP Cipta Jaya.
——————–, 2005, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan Hutang
Piutang, BP Cipta Jaya.
Sudikno Mertokusuma, 2002, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Edisi empat,
Liberty, Yogyakarta.
Wiryo Lukito, 1997, Penyelesaian Kepailitan Melalui Pengadilan (Studi Kasus
Kepailitan), Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya Restrukturisasi
Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project
Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2007, Pedoman Prilaku Hakim (Code of
Conduct) kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Cetakan pertama, Mahkamah
Agung RI, Jakarta.
Peraturan/ Perundangundangan/ Majalah:
———————, 1998, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor
1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undangundang tentang Kepailitan,
Surabaya, Arkola.
· ——————–, UndangUndang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, PT Kloang
Klode, Jakarta.
· ——————–, UndangUndang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, Eko Joyo ,
Jakarta.
·
·
·
·
·
·
·
———————, Putusanputusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, Globalisasi Pasar Modal Dengan
UndangUndang Baru, Vol.14, Juli 2001.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, Permasalahan Utang Dan RUU
Kepailitan Baru, Vol 17, Jan 2002.
———————, Jurnal Hukum Bisnis, UU Antimonopoli: Tantangan Dan
Masalah Di Seputarnya, Volume 19, Mei 2002.
———————, Jurnal Ilmiah Hukum, Legality, Implementasi Undangundang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Volume 10 Nomor 1, FebruariAgustus
2002, ISSN: 08546509, No. Akreditasi: 118/DIKTI/KEP/2001.
———————, Majalah Hukum Varia Peradilan, 2005, Tahun XX No. 233
Februari.
Internet:
Jon Sarman Saragih, 2006, Pendapat mahkamah agung dalam pembangunan
Hukum Kepailitan Melalui Putusanputusan Kepailitan (19982004), Tesis,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan, diakses dari USU
Repository @ 2007, Senin tanggal 25 September 2007.
· ———————, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam
Era Globalisasi, Laporan Hasil Penelitian, Direktorat Hukum dan Hak asasi
Manusia, diani@bappenas.go.id, diakses tanggal 21 Agustus 2007.
·