HUKUM KEPAILITAN UU NO 37 TAHUN 2004 TEN

HUKUM KEPAILITAN
UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
Maksud & tujuan UUK-PKPU:
1.Untuk melindungi kepentingan Kreditur yakni pelunasan kewajiban oleh Debitur (Termohon
Pailit).
2. Untuk menghindari perebutan harta Debitur (Termohon Pailit) apabila dalam waktu yang
sama ada beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur;
3.Untuk menghindari adanya Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa memperhtikan kepentingan Debitur atau para
Kreditur lainnya;
4.Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditur
atau oleh Debitur itu sendiri.
Prinsip dasar penyelesaian utang dalam UUK-PKPU
Guna menghindari ketidakadilan, timbul lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil
mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur melalui UUK-PKPU yang merupakan
penjabaran dari Pasal 1131 jo. 1132 KUHPerdata:
• Pasal 1131 KUHPerdata: Semua harta menjadi jaminan pembayaran utang.
Prinsip Paritas Creditorium: Mengandung makna semua kekayaan debitur baik yang bergerak
maupun tidak bergerak baik yang ada sekarang maupun yang akan ada dikemudian hari terikat
kepada penyelesaian kewajiban debitur.

• Pasal 1132 KUHPerdata: Pada dasarnya pembagian kekayaan debitur harus dilakukan secara
pari passu pro rata parte, kecuali ada hak yang didahulukan.
Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte: bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama
untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka kecuali
ada hak untuk didahulukan.
Prinsip Structured Creditors: Prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai
macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing, yaitu:
1. Kreditur Preferen: kreditur yang oleh undang-undang diberikan Hak Istimewa sehingga
tingkatannya lebih tinggi dari kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
2. Kreditur Separatis: Hak yang diberikan hukum kepada kreditur pemegang hak jaminan.
3. Kreditur Konkuren: Kreditur yang tidak termasuk golongan khusus atau istimewa.
Syarat- syarat pailit
Pengadilan Niaga berwenang menyatakan debitur pailit pasal 2 ayat 1 UUKPKPU terpenuhi
yaitu:
1. Debitur mempunyai 2 kreditur atau lebih
2. Debitur tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Namun, pada prakteknya yang dapat ditemukan pada beberapa contoh kasus, majelis hakim yang
memeriksa dan mengadili Perkara Permohonan Pailit turut mempertimbangkan Pasal 8 ayat (4)

UUKPKPU sebagai syarat lain agar dapat dinyatakan Pailit, yaitu: " harus dapat dibuktikan

secara sederhana syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU"
Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu:
1. Karena telah diperjanjikan
2. Percepatan waktu penagihan
3. Pengenaan sanksi atau denda
4. Karena putusan pengadilan, arbitrase
PEMOHON PAILIT
Dalam kepailitan, Pemohon Pailit dapat diajukan oleh beberapa pihak sebagaimana diatur dalam
Pasal 2
UUKPKPU yakni:
1.Debitur sendiri (Volunteer Bankruptcy);
2.Kreditur (Pasal 2 ayat 1);
3.Kejaksaan, untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat 3);
4.Bank Indonesia, jika debitur adalah Bank (Pasal 2 ayat 3);
5.Badan Pengawas Pasar Modal, jika debitur perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring &
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (Pasal 2 ayat 4);
6.Menteri Keuangan, jika debitur perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau
BUMN bergerak untuk kepentigan umum (Pasal 2 ayat 5)
Penjelasan mengenai Pemohon pailit:
1. Debitur (voluntary Petition): Seorang debitur mengajukan permohonan pailit atas dirinya

sendiri. Jika debitur masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan
atas persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat 1 UUK-PKPU).
2. Seorang Kreditur atau lebih (Involuntary Petition): Kreditur yang dapat mengajukan
permohonan pailit terhadap debiturnya adalah kreditur separatis, kreditur preferen, kreditur
konkuren.
3. Kejaksaan: Dapat diajukan oleh kejaksaan terhadap debitur demi kepentingan umum.
Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan
masyarakat luar, misalnya:
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari
masyarakat;
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang
yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No. 17 tahun 2000 menyatakan bahwa kejaksaan dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan kepentingan umum, apabila:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan

b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.
4. Bank Indonesia: Menurut Pasal 2 ayat (3) UUK-PKPU, dalam hal menyangkut debitur yang
merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah dengan cara melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam): Dalam hal debitur merupakan perusahaan efek,
lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit
hanya dapat diajukan oleh Bapepam sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU.
6. Menteri Kuangan: Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, dalam hal debitur adalah
perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU yang dimaksud dengan
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public adalah badan usaha
milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki dan tidak terbagi atas saham. BUMN yang
dimaksud yaitu BUMN yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) yang seluruh modalnya
dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, misalnya Perum Percetakan Negara Indonesia,

Perum Bulog.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU, Panitera wajib menolak pendaftaran pemohonan
pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika
dilakukan tidak sesuai dengan dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
Tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
pemohon-pemohon sebagai berikut: (a) Debitur Sendiri, (b) seorang atau lebih deditur, (c)
kejaksaan, (d) Bank Indonesia, (e) Bapepeam, (f) menteri keuangan.
Dalam Kepailitan permohonan pernyataan pailit tidak dapat diajukan sendiri oleh debitur atau
kreditur yang bersangkutan kecuali dalam hal permohonan diajukan oleh Kejaksaan, Bank
Indonesia, Bapepam dan Menteri Kuangan. Berdasarkan Pasal 7 UUK-PKPU ayat (1)
Permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh
seorang Advokat.
Permohonan tersebut diatas harus diajukan oleh seorang advokat dalam hal:
Pasal 6 :mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan.
Pasal 10 :mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau
b. menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:
1) pengelolaan usaha Debitor; dan

2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam
kepailitan merupakan wewenang Kurator.
Pasal 11 :Mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
Pasal 12 :Menyampaikan memori kasasi
Pasal 43 :Memintakan pembatalan kepada Pengadilan perihal hibah yang dilakukan Debitur.
Pasal 56 :Mengajukan penangguhan terhadap Hak eksekusi kreditur dan hak pihak ketiga.
Pasal 57 & 58 :Mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau
mengubah syarat penangguhan, dan apabila kurator menolak dapat mengajukan permohonan
tersebut kepada Hakim Pengawas.
Pasal 68 :Mengajukan permohonan banding ke pengadilan terhadap penetapan Hakim Pengawas.

Pasal 161 :Mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan.
Pasal 171 :Mengajukan tuntutan pembatalan perdamaian.
Pasal 207 :Mengajukan pemohonan kepailitan harta peninggalan.
Permohonan
Pernyataan
Pailit
oleh
Debitur
Perseroan

Terbatas
Direksi dari suatu Perseroan Terbatas diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk
melakukan pengurusan terhadap perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Namun
Direksi tidak berwenang untuk mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada
pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan dari RUPS sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 104 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Permohonan Sita Jaminan
Pasal 10 ayat (1) UUK-PKPU memberikan ketentuan yang memungkinkan kreditur atau
Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, Menteri Keuangan pemohon pernyataan pailit untuk
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitur; atau
b. Menunjuk Kurator sementara untuk:
(1) Mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan
(2) Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang
dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan Kurator.
Berdasarkan penjelasan Pasal 10 UUK-PKPU, upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini bersifat preventif dan sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan
bagi debitur melakukan tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan
kreditur dalam rangka pelunasan utangnya. Permohonan ini baru dapat dilaksanakan jika
dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.

Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya
Dengan diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober
2004, peraturan-peraturan mengenai kepailitan yang terdahulu dan sudah dirubah oleh UU ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pengadilan Niaga berada di lingkungan peradilan
umum oleh karena itu tidak ada jabatan ketua pengadilan niaga, karena ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan juga membawahkan pengadilan niaga.
Perkara-perkara kepailitan menurut UUK-PKPU ditentukan jangka waktu pemeriksaannya di
tingkat pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali. Tidak ada
upaya banding terhadap putusan pengadilan niaga hal ini bertujuan agar perkara kepailitan akan
berjalan lebih cepat dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri.
Putusan perkara permohonan pernyataan pailit akan efektif oleh karena menurut ketentuan UUKPKPU putusan perkara permohonan pernyataan pailit tersebut bersifat serta-merta. Artinya,
kurator dapat menjual harta pailit meskipun putusan pernyataan pailit tersebut masih diajukan
upaya hukum.
Kewenangan Badan Arbitrase memeriksan Perkara Kepailitan
Berdasarkan Pasal 280 ayat (1) UUK-PKPU dengan tegas mengemukakan “Permohonan pailit
dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud di dalam Bab Pertama dan
Bab Kedua Undang-undang ini diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di
lingkungan Peradilan Umum” dan dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) itu dikemukakan
“Dengan ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-undang tentang kepailitan


sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, hanya dapat
diajukan kepada Pengadilan Niaga”. Maka tidak ada kemungkinan untuk mengajukan
pernohonan pernyataan pailit selain kepada Pengadilan Niaga. Dengan demikian, badan arbitrase
tidak berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit.
Putusan Pailit Pengadilan Niaga
Undang-Undang Kepailitan bertujuan agar putusan pernyataan pailit dapat diputuskan secepat
mungkin dan dalam eksekusi juga dapat dilakukan secpatnya. Sejalan dengan itu berdasarkan
Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU bahwa “permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU ini telah terpenuhi”.
Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta
dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan
perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU bahwa putusan pengadilan niaga (putusan
pengadilan tingkat pertama) diberi daya serta-merta atau uivoerbaar bij voorraad. Sekalipin
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap tetapi putusan itu telah seketika dapat
dilaksanakan oleh curator meskipun terhadap putusan terebut diajukan suatu upaya hukum.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan kepailitan

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa pengangkatan kurator adalah
wewenang hakim Pengadilan Niaga. Pihak debitur, kreditur atau pihak yang berwenang sebagai
pemohon pernyataan pailit (Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, Menteri Keuangan) hanya
mempunyai hak untuk mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan Niaga. Kurator
yang diangkat sebagaimana dimaksud diatas harus independen, tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Apabila pihak debitur,
kreditur, atau pihak yang berwenang tersebut tidak mengajukan usulan mengenai pengangkatan
Kurator, maka secara otomatis
Balai Harta Peninggalan (BHP) diangkat sebagai kurator.
Tugas pokok kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU. Dalam melaksanakan tugasnya
kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan
terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar
kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; (b) dapat melakukan
pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Dalam
melaksanakan tugasnya Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dan atau
menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur,
ketentuan ini didasarkan pada Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU.
Kurator dapat diberhentikan setiap waktu oleh pengadilan yang mengabulkan usul penggantian

kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan mengangkat kurator lain dan/atau
mengangkat curator tambahan atas: (1) permohonan kurator sendiri; (2) permohonan kurator
lainnya, jika ada; (3) usul hakim pengawas; atau (4) permintaan debitur pailit. Demikian pula,
pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas permohonan dan usul kreditur
konkuren berdasarkan putusan rapat kreditur yang diselenggarakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 UUK-PKPU.

Kurator dalam menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip fiduciarie duty yang artinya tugas yang
diembankan didasarkan oleh kepercayaan yang mengangkat Kurator tersebut yaitu pengadilan.
Oleh karena itu, Pasal 72 UUK-PKPU mengatur bahwa kurator bertanggung jawab terhadap
kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Hal ini merupakan pemicu supaya kurator
mengerjakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan penuh kehati-hatian.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan tugasnya, Pasal 74 UUKPKPU mengharuskan kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai
keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 bulan. Laporan dimaksud bersifat terbuka
untuk umum, sehingga secara cuma-cuma dapat dilihat oleh setiap orang.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan adalah dengan
melakukan upaya yang disebut PKPU. Upaya tersebut hanya dapat diajukan oleh debitur
sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat
(3) UUK-PKPU permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan
pernyataan pailit dan permohonan PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan. Dalam
PKPU debitur masih dapat melakukan pengurusan dan kepemilikan atas harta kekayaannya
asalkan hal tersebut disetujui oleh pengurus sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) UUK-PKPU.
Syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU, menurut Pasal 222 ayat (3) apabila kreditur
yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah
jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan isi Pasal 222 ayat (2) dan (3) terdapat perbedaan
mengenai syarat dapat diajukannya PKPU oleh debitur dan oleh kreditur. Bagi debitur untuk
dapat mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utangutangnya, tetapi juga apabila debitur memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utangutangnya itu ketika nantinya utang-utangn itu jatuh waktu dan dapat ditagih. Sementara bagi
kreditur menurut Pasal 222 ayat (3) hanya dapat mengajukan permohonan PKPU apabila secara
nyata debitur tidak lagi membayar piutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat bagi debitur untuk dapat mengajukan PKPU ditentukan baik dalam Pasal 222 ayat (1)
maupun dalam ayat (2). Sementara itu Pasal 222 ayat (3) mengatur mengenai syarat bagi kreditur
untuk dapat mengajukan PKPU.
PKPU Sementara
Sebelum pengadilan niaga memutuskan untuk mengadakan pemberian PKPU tetap, baik debitur
maupun kreditur dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara sesuai dengan
Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK-PKPU.
Merupakan kepentingan semua pihak agar pengadilan niaga secepatnya memberikan PKPU
sementara agar segera terjadi keadaan diam (stay atau standstill) sehingga kesepakatan yang
dicapai antara debitur dan para krediturnya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif.
Adapun batas waktu bagi pengadilan niaga untuk mengabulkan PKPU Sementara yaitu tiga hari
sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut. Dengan ketentuan Pasal 225 ayat (2)
dan ayat (3) UUK-PKPU itu, berarti sepanjang debitur telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224, pengadilan dengan sendirinya harus memberikan
PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan memberikan keputusan mengenai PKPU tetap,
yaitu setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana mestinya.
Putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang (PKPU Sementara) yang dimaksud,
menurut Pasal 227 UUK-PKPU berlaku sejak tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 226 ayat (1) diselenggarakan. Dari ketentuan Pasal 230 UUK-PKPU dapat
disimpulkan bahwa jangka waktu PKPU Sementara berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1. Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau
2. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara debitur dan kreditur
belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.
Persetujuan Permohonan PKPU Tetap
Apabila PKPU tetap disetujui oleh para kreditur, maka penundaan yang diputuskan oleh
pengadilan niaga tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak putusan PKPU Sementara
diucapkan. Menurut penjelasan Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU, yang berhak untuk menentukan
apakah kepada debitur akan diberikan PKPU tetap adalah kreditur konkuren, sedangkan
pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditur konkuren.
Berdasarkan Pasal 229 ayat (2) UUK-PKPU menentukan apabila timbul perselisihan antara
pengurus dan para kreditur konkuren tentang hak suara kreditur, maka penyelesaian atas
perselisihan itu harus diputus oleh hakim pengawas. Sejalan dengan ini, Pasal 229 ayat (1) UUKPKPU menegaskan bahwa pada hakikatnya PKPU tetap diberikan oleh para kreditur dan bukan
oleh pengadilan niaga. Dengan kata lain, PKPU tetap diberikan berdasarkan kesepakatan antara
debitur dan para krediturnya mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh kreditur.
Pengadilan niaga hanya memberikan putusan pengesahan atau konfirmasi saja atas kesepakatan
antara debitur dan para kreditur konkuren tersebut. Menurut tujuan Pasal 229 tersebut, tidak
dibenarkan bagi pengadilan niaga untuk mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan
kehendak atau kesepakatan debitur dan para krediturnya.
Kedudukan Kreditur Preferen dan Kreditur yang Diistimewakan
PKPU hanya berlaku bagi kreditur konkuren. Sebagaimana berdasarkan Pasal 244 mengatur
mengenai kedudukan dari tagihan-tagihan kreditur yang dijamin dengan hak jaminan
(gadai,fidusia, hak tanggungan,hipotek) dan tagihan-tagihan yang diistimewakan. Menurut Pasal
244 ayat (1), dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246 UUK-PKPU, PKPU tidak berlaku
terhadap:
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas
kebendaan lainnya;
b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan
hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum
penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk
diistimewakan;
dan
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitur maupun terhadap seluruh
harta debitur yang tidak tercakup pada ayat (1) hurf b.
Alasan-alasan untuk Pengajuan Permohonan Pengakhiran PKPU
Berdasarkan Pasal 255 ayat (1) UUK-PKPU, permintaan hakim pengawas atau kreditur untuk
mengakhiri PKPU atau apabila pengadilan niaga yang memprakarsai sendiri penghentian PKPU
tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, bertindak dengan itikad buruk
dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitur telah merugikan atau telah mencoba merugikan krediturnya;
c. Debitur melakukan pelanggaran yaitu Selama penundaan kewajiban pembayaran utang,
Debitor tanpa persetujuan pengurus melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas
seluruh atau sebagian hartanya (Pasal 240 ayat (1))

d. Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan
pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai
melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta
debitur.
e. Selama waktu PKPU keadaan harta debitur ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya
PKPU atau
f. Keadaan debitur tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditur pada
waktunya.
Putusan PKPU Bersifat Final
Berdasarkan Pasal 235 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa terhadap putusan penundaan
kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Menurut Pasal 235 ayat
(2) putusan sebagaimana dimaksud ayat (1) tersebut harus diumumkan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 226.
Perdamaian
UUK-PKPU mengenal dua macam perdamaian. Pertama, ialah perdamaian yang ditawarkan oleh
debitor dalam rangka PKPU sebelum debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Kedua,
adalah perdamaian yang ditawarkan oleh debitur kepada para krediturnya setelah debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
Berdasarkan Pasal 265 UUK-PKPU debitur berhak pada waktu mengajukan permohonan
penundaan kewajiban pembayaran uang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada
kreditor, dengan mengajukan rencana perdamaian sesuai Pasal 266 ayat (1).
Dari ketentuan Pasal 224 ayat (4), Pasal 265 dan Pasal 266 UUK-PKPU dapat diketahui bahwa
rencana perdamaian dalam rangla PKPU dapat diajukan pada saat-saat sebagai berikut:
1. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU (Pasal 265)
2. Sesudah permohonan PKPU diajukan (Pasal 265), namun rencana itu harus diajukan sebelum
tanggal hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UUK-PKPU
3. Setelah tanggal hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (4) UUK-PKPU, yaitu
selama berlangsungnya PKPU sementara itu, yang tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh
puluh) hari terhitung sejak PKPU sementara ditetapkan termasuk masa perpanjangannya.
Berdasarkan Pasal 265, bersamaan dengan debitur mengajukan PKPU kepada pengadilan niaga,
debitur dapat menawarkan perdamaian kepada para krediturnya. Perdamaian itu tidak mutlak
harus ditawarkan bersamaan dengan pengajuan permohonan PKPU, tetapi dapat diajukan
sesudah permohonan PKPU diajukan. Selain itu, menurut Pasal 266 ayat (1) apabila tidak
diajukan oleh debitur bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU sebagaimana dimaksud
Pasal 224 ayat (1) rencana perdamaian itu harus diajukan sebelum tanggal hari siding
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) atau pada tanggal setelah itu namun dengan
tetap memperhatikan ketentuan Pasal 228 ayat (6). Dengan kata lain, apabila rencana perdamaian
tidak diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan PKPU, maka rencana perdamaian itu
dapat diajukan dalam masa selama berlangsungnya PKPU sementara sebagaimana ditetapkan
oleh pengadilan niaga. Pengadilan niaga sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 228 ayat (6) tidak
boleh memberikan PKPU sementara lebih dari 270 hari setelah PKPU sementara diucapkan.
Apabila jangka waktu yang ditentukan oleh hakim kurang dari 270 hari, maka hakim dapat
memberikan perpanjangan namun perpanjangan tersebut tidak boleh melebihi 270 hari terhitung
sejak PKPU sementara diucapkan.

Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU, rencana dapat diterima apabila disetujui oleh:
a. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau
sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268
termasuk kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari
kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, dan
b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai,
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir
dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut
atau
kuasanya
yang
hadir
dalam
rapat
tersebut.
Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU, menentukan bahwa kreditur sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai
terendah diantara nilai jaminan atau nilai actual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan
hak agunan atas kebendaan. Penjelasan Pasal 281 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “nilai jaminan” adalah nilai jaminan yang dapat dipilih diantara nilai jaminan yang telah
ditentukan dalam dokumen jaminan atau nilai objek jaminan yang ditentukan oleh penilai yang
ditunjuk oleh hakim pengawas.
Berlakunya Perdamaian yang Telah Disahkan
Perdamaian yang telah disahkan, menurut Pasal 162 UUK-PKPU berlaku bagi semua kreditur
yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah
mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. Bila perdamaian atau pengesahan perdamaian
tersebut ditolak, menurut Pasal 163 UUK-PKPU debitur pailit tidak dapat lagi menawarkan
perdamaian dalam kepailitan tersebut. Dengan kata lain, perdamaian yang ditawarkan bersifat
final. Pasal 164 UUK-PKPU mentukan, putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap merupakan alas hak yang dapat dijalankan terhadap debitur dan semua
orang yang menanggung pelaksanaan perdamaian sehubungan dengan piutang yang telah diakui
(guarantor), sejauh tidak dibantah oleh debitur pailit sesuai dengan Pasal 132 sebagaimana
ternuat dalam berita acara rapat pencocokan piutang.
Restrukrurisasi Utang
Kesepakatan antara debitur dan para kreditur mengenai isi rencana perdamaian dapat mengambil
berbagai bentuk restrukturisasi utang yaitu sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian masa tenggang
(grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada debitur.
2. Persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning).
3. Pengurangan jumlah utang pokok (haircut).
4. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya-biaya lain.
5. Penurunan tingkat suku bunga.
6. Pemberian utang baru.
7. Konvensi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut juga debt
equity swap).
8. Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha
perusahaan debitur untuk melunasi utang.
9. Bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalil Umum yang digunakan untuk membuktikan tidak terbuktinya Permohonan Paillit
• Tidak ada utang

• Utang belum jatuh tempo
• Tidak ada kreditur lain
• Mengajukan PKPU
• Exceptio non adimpleti contractus; Karena pihak yang satu tidak melakukan kewajiban, pihak
lain mempunyai hak menghentikan kewajiban yang belun dilaksanakan.
Berakhirnya Kepailitan
• Pembatalan oleh Putusan Kasasi atau PK
• Likuidasi
• Penutupan/ Pencabutan: Hanya terdapat sedikit atau sama sekali tidak ada asset.
• Perdamaian