KONSTRUKSI BERITA KONFLIK AHMADIYAH DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing Pada Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos Edisi 7-11 Februari 2011)

(1)

KONSTRUKSI BERITA KONFLIK AHMADIYAH DALAM

SURAT KABAR

(Analisis Framing Pada Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos Edisi 7-11 Februari 2011)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Dewi Sartika 07220071

Konsentrasi Jurnalistik dan Studi Media

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Dewi Sartika

NIM : 07220071

Konsentrasi : Jurnalistik dan Studi Media

Judul Skripsi : Konstruksi Berita Konflik Ahmadiyah Dalam Surat Kabar (Analisis Framing Pada Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos Edisi 7-11 Februari 2011)

Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

dan dinyatakan LULUS Pada hari : Senin

Tanggal : 15 Agustus 2011 Tempat : Ruang 605

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

DR. Wahyudi, M.Si Dewan Penguji:

1. Dra. Frida Kusumastuti, M.Si Penguji I ( ) 2. Sugeng Winarno, S.Sos, MA Penguji II ( ) 3. Nurudin, S.Sos, M.Si Penguji III ( ) 4. Roziana Febrianita, S.Sos Penguji IV ( )


(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Alhamdulillahirrabilalamin karena berhasil menyelesaikan penelitian ini untuk dapat meraih gelar sarjana pada jurusan ilmu komunikasi. Penelitian ini sendiri mengambil judul Konstruksi Berita Konflik Ahmadiyah Dalam Surat Kabar (Analisis Framing Pada Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos Edisi 7-11 Februari 2011), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penelitian sehingga penulis dapat menyelesaika tugas akhir ini.

Penelitian ini sendiri mengangkat tema seputar berita terjadinya penyerangan jemaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten. Penulis tertarik untuk mengangkat tema ini sebagai judul mengingat peristiwa penyerangan ini sendiri bukan pertama kali terjadi sementara keberadaan Ahmadiyah di Indonesia pun masih menjadi kontroversi oleh sebagian kalangan. Pemberitaan tentang peristiwa penyerangan tersebut pun ditanggapi secara beragam oleh media cetak pada umumnya dan surat kabar pada khususnya.

Sejumlah surat kabar bahkan menjadikan peristiwa tersebut sebagai headline dalam edisinya secara berturut-turut tak terkecuali dengan yang ditampilkan oleh salah satu koran terbesar di Indonesia, Jawa Pos. Selama kurang lebih sepekan, Jawa Pos senantiasa menampilkan pasca maupun perkembangan peristiwa ini di halaman depan. Hal ini pula yang melatarbelakangi penulis memilih Jawa Pos sebagai obyek penelitian .

Beberapa berita terkait peristiwa penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah yang ditampilkan Jawa Pos tersebut menjadi obyek penelitian penulis dengan menggunakan metode analisis framing. Analisis framing sendiri berkaitan dengan bagaimana sebuah media cetak (surat kabar) mengkonstruksi suatu realitas dalam bentuk teks berita. Melaui proses ini, dapat diketahui bagian-bagian mana menjadi perhatian utama atau ditonjolkan dan bagian mana yang dianggap tidak penting oleh wartawan. Analisis framing model Pan dan Kosicki menjadi pilihan penulis untuk menganalisis berita-berita terkait konflik Ahmadiyah yang ditampilkan Jawa Pos kurang lebih selama sepekan.


(4)

Penulis pun menemukan beberapa kesimpulan, bagaimana Jawa Pos membingkai berita tentang konflik Ahmadiyah. Secara umum, surat kabar tersebut masih terjebak pada konsep realitas psikologis dalam pemberitaannya. Selain itu, Jawa Pos juga menulis jika SKB Tiga Menteri 2008 dan fatwa MUI menjadi pemicu serangan terhadap jemaah Ahmadiyah sedangkan kepolisian digambarkan dengan citra yang baik. Hal ini berkebalikan dengan sosok Menteri Agama, Suryadharma Ali yang digambarkan sebagai sosok yang hanya dapat beretorika saja. Kesimpulan terakhir, dalam pemberitaan menyangkut Ahmadiyah, Jawa Pos cenderung memilih posisi aman dengan menampilkan judul-judul yang terkesan netral untuk menyesuaikan dengan pembacanyadi Jawa Timur yang mayoritas adalah anggota Nahdlatul Ulama.

Terkait dengan skripsi ini, penulis pun mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan kemudahann-Nya. Salam dan shalawat kepada pemimpin besar Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan Islam dan perubahan besar bagi peradapan umat Islam serta kepada keluarga Rasulullah dan para sahabat yang senantiasa istiqomah mendukung perjuangan Rasulullah hingga Islam mampu tegak di bumi Allah SWT.

Penulis juga menyadari banyak pihak yang turut membantu dan membimbing sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Bapak Drs. H. Muhadjir Efendi, MAP beserta pembantu rektor UMM.

2. Dekan FISIP UMM, Bapak DR. Wahyudi, M.Si beserta pembantu dekan FISIP.

3. Dra. Frida Kusumastuti selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UMM. 4. Dosen Pembimbing 1 sekaligus Dosen Wali IKOM A 2007 Bapak Nurudin,

S.Sos, M.Si, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas semua bantuan dan bimbingannya selama penulis mengerjakan skripsi ini.

5. Dosen Pembimbing 2, Bu Roziana Febrianita, S.Sos, terima kasih atas bimbingan dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama mengerjakan skripsi. Senang berkenalan dengan Bu Rozi.


(5)

6. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah membagi dan memberikan ilmunya selama penulis menempuh masa kuliah di UMM.

7. Keluargaku (ibu, abah dan adikku putri).

8. Sahabat-sahabat seperjuanganku di kelas A (Rani, Nilam, Bogor, Ratih, Bram, Ian, Leni dan lain-lain) terima kasih atas segala bantuannya selama ini. Sahabat-sahabatku angkatan 2007 (Jumrayana, Dimas, Vita dan Ela), teman-teman yang dengan sukarela menghadiri seminarku serta teman-teman-teman-temanku Jurnalistik 2007.

9. Ahmad Subhan (terima kasih sudah membantuku mencarikan koran untuk penelitianku dan bantuannya selama aku mengerjakan skripsi), Julek dan Roni (terima kasih atas pinjaman kartu anggota perpustakaannya untuk meminjam buku), sepupuku Helmi (terima kasih sudah mengantarku keliling Jogja untuk mencari buku) serta terima kasih kepada Santi atas pinjaman printernya.

10. Pak Agus Triyono yang telah bersedia memberikan soft copy skripsinya sehingga memudahkan penulis mendapatkan referensi untuk mengerjakan skripsi.

11. Serta dukungan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis sadar, penelitian ini bukanlah tanpa cacat sehingga kritik dan saran sangat penulis butuhkan. Penulis pun berharap agar di masa mendatang, penelitian ini mampu diperbaiki dengan dihasilkannya karya-karya sejenis yang lebih baik lagi. Setidaknya, karya penulis ini mampu memberikan motivasi bagi munculnya karya-karya lain dengan bidang kajian yang serupa.

Malang, 2 Agustus 2011

Peneliti,


(6)

DAFTAR ISI Halaman Judul

Lembar Persetujuan Skripsi i

Lembar Pengesahan Skripsi ii

Pernyataan Orisininalitas iii

Berita Acara Bimbingan Skripsi iv

Abstrak v

Kata Pengantar vii

Daftar Isi x

Daftar Tabel xiii

Daftar Gambar xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. Signifikansi Penelitian 11 E. Tinjauan Pustaka 12

E.1 Berita 12

E.1.1 Definisi Berita 13

E.1.2 Unsur Layak Berita 13 E.1.3 Nilai Berita 14 E.1.4 Kategori Berita 17

E.2 Konstruksi Realitas Dalam Bentuk Teks Berita 18 E.3 Konflik 23

E.3.1 Definisi Konflik 23


(7)

E.3.3 Jenis Konflik 26 E.4 Konflik Dalam Perspektif Media Massa 27

E.5 Objektivitas Berita 30

E.6 Analisis Framing 35

BAB II METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian 38

B.Metode Analisis Framing 39

C.Ruang Lingkup Penelitian 42

D.Teknik Pengumpulan Data 43

E.Teknik Analisis Data 44

F.Teknik Keabsahan Data 49

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AHMADIYAH DAN JAWA POS

A.Ahmadiyah 52

A.1 Sejarah Terbentuknya Ahmadiyah 52

A.2 Karakteristik Ajaran Ahmadiyah 54

A.3 Perpecahan Ahmadiyah 56

A.4 Ahmadiyah di Indonesia 58

A.4.1 Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) 58 A.4.2 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) 60

A.5 Polemik Ahmadiyah di Indonesia 61

B. Jawa Pos 63

B.1 Sejarah Jawa Pos 63

B.2 Perkembangan Jawa Pos 65

B.3 Visi dan Misi 69

B.4 Kebijakan Redaksional 70

B.5 Susunan Manajemen dan Redaksi Jawa Pos 71

B.6 Karakteristik Jawa Pos 72

B.7 Rubrik Jawa Pos 73

B.8 Jawa Pos National Network (JPNN) 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Konstruksi Jawa Pos Dalam Pemberitaan


(8)

Tentang Konflik Ahmadiyah 79 A.Fatwa MUI dan Ketidaktegasan Pemerintah Sebagai

Pemicu Penyerangan 81

B.Polemik Keberadaan SKB 87

C.Perbedaan Opini Penetapan Tersangka dan Opsi

Pembubaran Ahmadiyah 96

D.Wacana Pembubaran Ahmadiyah 103 E.‘Peran’ Polisi Dalam Peristiwa Cikeusik 107 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan 113

B.Saran 114

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perangkat Framing Pan dan Kosicki 42

Tabel 2.2 Klasifikasi Berita 43

Tabel 2.3 Pengembangan Teknik Pemeriksaan 50 Tabel 4.1 Struktur Berita Jawa Pos Tanggal 7 Februari 2011 86 Tabel 4.2 Struktur Berita Jawa Pos Tanggal 8 Februari 2011 95 Tabel 4.3 Struktur Berita Jawa Pos Tanggal 9 Februari 2011 102 Tabel 4.4 Struktur Berita Jawa Pos Tanggal 10 Februari 2011 107 Tabel 4.5 Struktur Berita Jawa Pos Tanggal 11 Februari 2011 112


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Model Tuchman Tentang Berita 19 Gambar 1.2 Objektivitas Menurut Westerstahl 32 Gambar 3.1 Grafik 10 Surat Kabar Paling Banyak Dibaca Di Indonesia 68


(11)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Berita Jawa Pos Tanggal 7 Februari 2011 Lampiran 2 Berita Jawa Pos Tanggal 8 Februari 2011 Lampiran 3 Berita Jawa Pos Tanggal 9 Februari 2011 Lampiran 4 Berita Jawa Pos Tanggal 10 Februari 2011 Lampiran 5 Berita Jawa Pos Tanggal 11 Februari 2011

Lampiran 6 Tabel Framing Berita Jawa Pos Edisi 7 Februari 2011 Lampiran 7 Tabel Framing Berita Jawa Pos Edisi 8 Februari 2011 Lampiran 8 Tabel Framing Berita Jawa Pos Edisi 9 Februari 2011 Lampiran 9 Tabel Framing Berita Jawa Pos Edisi 10 Februari 2011 Lampiran 10 Tabel Framing Berita Jawa Pos Edisi 11 Februari 2011 Lampiran 11 Daftar Sumber Informasi Jawa Pos


(12)

Daftar Pustaka

Anto J dan Pemilianna Pardede (ed). 2007. Meretas Jurnalisme Damai di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KIPPAS.

Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru Antar Peradapan Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi:Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masayarakat. Jakarta: Kencana.

.2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Djuroto, Totok. 2004. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Emka, Zainal Arifin . 2005. Wartawan juga Bisa Salah. Surabaya: JP Books. Eriyanto. 2009. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS

Fananie, Zainuddin dkk. 2002. Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Husin al Munawar, Said Agil, Bidawi Zubir dkk. 2001. Islam Humanis. Jakarta: PT Moyo Segoro Agung.

Kurniawan, A. Fajar. 2006. Teologi Kenabian Ahmadiyah. Jakarta: Penerbit RM Books.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2007. Jurnalistik Teori & Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Littlejohn, Stephen W dan Karen A.Foss. 2009. Teori Komunikasi. Diterjemahkan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika

Mahmud Audah, bin Hasan. 2006. “Al-Ahmadiyah. A’qa’id Wa Ahdats”, dalam Dede A. Nasrudin dan E. Muhaemin, penerj. Ahmadiyah Kepercayaan-Kepercayaan dan Pengalaman-Pengalama. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI).

Mulkan, Abdul Munir dkk. 2002. Membongkar Praktik Kekerasan: Menggagas Kultur Nir-Kekerasan. Yogyakarta: PSIF-Sinergi Press.

Narwoko, J Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media.


(13)

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Nurudin. 2007. Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Romli, Asep Syamsul M. 1999. Jurnalistik Praktis Untuk Pemula. Bandung: PT Rosdakarya.

Saitama Lubis, Syarif Ahmad. 2007. Dari Ahmadiyah Untuk Bangsa. Yogyakarta: Logung Pustaka

Setiati, Eni. 2005. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Severin, Werner J dan James W.Tankard Jr. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah,

Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Kencana. Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim. Tanpa Tahun. Kerusuhan Sosial di

Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas. Jakarta: Grasindo. Siregar, Ashadi dkk. 1998. Bagaimana meliput dan menulis berita untuk media

massa. Yogyakarta: Kanisius.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soejono dan H. Abdurrahman. 2005. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan

Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta.

Soetrisno, Loekman. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.

Sopian, Agus, Alfian Hamzah dkk. 2005. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Pantau. Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:

LKiS.

. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.

Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita Dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Suprapto, Tommy. 2010. Politik Redaksi Media,menguak latar belakang teks berita media. Malang: Pustaka Kaiswara.

Triyono, Agus. 2006. Citra Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Surat Kabar Jawa Pos (Analisis Framing pada Pemberitaan “Rencana Penarikan Koalisi dengan Pemerintah”, Edisi 3-4 Juli 2006). Skripsi tidak


(14)

diterbitkan:Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang.

Yogaswara, A. 2008. Heboh Ahmadiyah Mengapa Ahamdiyah Tidak Langsung Dibubarkan?. Yogyakarta: Narasi.

Zara, Muhammad Yuanda. 2007. Aliran-aliran Sesat Di Indonesia. Yogyakarta: Banyu Media.

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS Internet:

Azra,Azyumardi. 2007. “Agama, Media dan Perdamaian”, diakses pada 12 Maret 2011 pkl 22.22 WIB dari

http://www.cmm.or.id/cmmind_more.php?id=A3805_0_3_0_M

Kristanti,Elin Yunita. 2011. “Infografik: Tragedi Ahmadiyah”, diakses pada 10 Maret 2011 pkl 21.13 WIB dari http://sorot.vivanews.com/news/read/204270-infografik--tragedi-ahmadiyah.

http://www.setara-institute.org/id/content/grafik-laporan-pelanggaran-kebebasan-beragamaberkeyakinan-2007-2010 diakses pada 10 Maret 2011 pkl 21.05 WIB. Suprapto,Hadi dkk. 2011. “ Ahmadiyah, Darah dan Ibadah”, diakses pada 10 Maret 2011 pkl 21.39 WIB dari http://sorot.vivanews.com/news/read/204268-ahmadiyah--darah-dan-ibadah.

http://majalah.tempointeraktif.com diakses pada 10 Maret 2011 pkl 21.11 WIB. http://www.scribd.com/doc/7399564/BAB-III-Deskripsi-Lokasi diakses pada 19 April 2011 pkl 22.21 WIB.

http://jawapos.com/profile/index.php diakses pada 23 April 2011 pkl 13.00 WIB. http:// www.ahmadiyah.org diakses pada 16 mei 2011 pkl 20.52 WIB.

http://oleh07.wordpress.com/2008/11/12/kebijakan-redaksional-editorial-policy diakses pada 18 Juli 2011 pkl 5.37 WIB

http://www.dblindonesia.com/index.php?act=abtdbl diakses pada 18 Juli 2011 pkl 5.47 WIB.

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/02/20/165046-ini-dia-pola-dakwah-pemimpin-ahmadiyah-cikeusik diakses pada 18 Juli 2011 pkl 10.00 WIB.


(15)

Media Cetak:

Karni, S Asrori dkk. Ironi Pekan Harmoni Antar Iman. Gatra, edisi No 14 Tahun XVII 10-16 Februari 2011.

Subiakto, Henry. 2011. Ketika Media Berubah Jadi Kekuasaan. Jawa Pos, 3 Maret.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki karakteristik keanekaragaman. Keberadaan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi bukti jika bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya, adat istiadat maupun bahasa. Keanekaragaman inilah yang menjadi sebuah realitas sosial yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan ini pula yang menyebabkan bangsa Indonesia terkenal sebagai masyarakat majemuk dengan berbagai latar belakangnya.

Keanekaragaman sosial budaya yang dimiliki ini menjadi karakteristik tersendiri bagi Indonesia dibandingkan negara lain. Potensi keanekaragaman tersebut bisa menjadi kekayaan nasional bangsa Indonesia yang berfungsi untuk mempersatukan masyarakat Indonesia dibawah naungan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, disisi lain kemajemukan dan pluralitas yang ada di Indonesia juga mengandung bahaya laten. Ancaman bahaya laten tersebut bisa berupa konflik antar agama, daerah maupun antar etnis.

Konflik yang melibatkan unsur-unsur tersebut pun pernah terjadi di Indonesia. Menjelang tahun 2000, masyarakat dikejutkan dengan konflik agama di Maluku. Pertikaian antara warga Islam dan Kristen tersebut diperkirakan menewaskan kurang lebih sepuluh ribu korban jiwa. Selain konflik yang dilatarbelakangi agama,konflik antar etnis juga pernah terjadi di Kalimantan Barat antara Suku Madura dan Dayak. Bahkan jika diteliti lebih lanjut,konflik horizontal


(17)

maupun vertikal pun masih sering terjadi di Indonesia. Terutama terkait dengan nuansa politis maupun aliran kepercayaan.

Sementara itu, pemicu ketegangan sosial dapat bersumber dari berbagai interaksi sosial yang ada di masyarakat. Interaksi sosial tidak jarang menimbulkan sumber konflik. Isu agama, isu etnis, adat-istiadat dan batas–batas wilayah territorial sering menjadi sumber konflik rawan1. Apalagi jika mengingat karakteristik Indonesia yang pluralitas maka tidak mengherankan jika konflik sering atau bahkan mudah terjadi di negara ini.

Bahkan tidak jarang pula jika terjadi sedikit saja ketegangan sosial dalam masyarakat maka hal tersebut menjadi sebuah motif untuk tindakan selanjutnya. Hal ini terlihat dari keadaan sosiologis dan psikologis masyarakat Indonesia yang cenderung mudah terprovokasi. Meskipun masyarakat negara ini terkenal dengan sifat pluralistiknya namun dalam hal kedewasaan bertindak dan menerima perbedaan,masyarakat Indonesia masih belum memiliki kedua sifat tersebut. Apalagi jika menyangkut isu-isu sensitif yang berhubungan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Meminimalisir potensi konflik karena perbedaan sosial-budaya, kepentingan politik serta ideologi atau keyakinan inilah yang sebenarnya menjadi tugas pemerintah. Pemerintah dituntut untuk senantiasa tanggap terhadap persoalan-persoalan yang mengancam keharmonisan kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan jika pada akhirnya slogan pluralisme sering menjadi alat utama untuk memelihara keharmonisan terutama oleh kalangan intelektual

1

Said Aqil Husin Al Husin, Bidawi Zubir et al, Islam Humanis (Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2001), hal 53.


(18)

(cendekiawan). Disamping itu, sikap toleransi juga menjadi hal utama yang terus dikampanyekan oleh pemerintah maupun tokoh nasional untuk menghormati perbedaan yang ada.

Pluralisme dan tolerasi menjadi alat kampanye efektif untuk meredam terjadinya konflik di Indonesia. Meski kedua hal tersebut tidak selalu efektif untuk meredam konflik antar golongan. Implementasi pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dinilai masih menjadi solusi tepat terhadap realitas kondisi pluralistik masyarakat Indonesia. Terkait hal inipula maka eksistensi pancasila sebagai falsafah negara harus dipertahankan. Hal ini sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra.

“…Mereka mengakui realitas pluralitas bangsa Indonesia baik dari segi agama, budaya, etnisitas dan sebagainya ; dan karena itu tetap mendukung bahwa bentuk negara Indonesia - yang bukan theokrasi dan bukan pula sekuler - selama ini dengan pancasila sebagai ‘common platform’ perlu dipertahankan. Karena itu pemulihan pancasila merupakan agenda penting dalam upaya penyelamatan bangsa sebagai ideologi terbuka”. 2

Walaupun semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta pancasila telah diimplementasikan dalam waktu lama namun hal ini masih sering berbenturan dengan realitas yang ada. Terutama jika berhubungan dengan kemajemukan yang ada dalam masyarakat terutama masalah keyakinan atau agama. Akibatnya, seringkali terjadi benturan antar golongan agama yang bermula dari motif penistaan agama. Salah satunya adalah peristiwa penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Banten pada Februari silam. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam internal Islam antara jemaah Ahmadiyah dengan umat Islam non-Ahmadiyah.

2

Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradapan Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas


(19)

Konflik antar dua golongan ini sebenarnya telah berlangsung sejak Ahmadiyah mulai muncul di Indonesia sekitar tahun 1925 silam. Kemunculannya Ahmadiyah saat itu bukan tanpa masalah. Bahkan pada 1929 dalam kongres Muhammadiyah di Solo, organisasi ini menganggap kafir seseorang yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW meski tidak menunjuk secara langsung Ahmadiyah. Ajaran Ahmadiyah sendiri mengakui pendiri Ahmadiyah,Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi. Hal inilah yang menjadi pemicu utama konflik antar jamaah Ahmadiyah dengan kaum muslim non-Ahmadiyah.

Pada saat itu perbedaan ini tersebut dapat disikapi secara bijak dengan mengadakan perdebatan antara tokoh Ahmadiyah Qadian Abu Bakar Ayub dengan A. Hassan yang mewakili organisasi Persatuan Islam (Persis) pada September 1933.3 Ahmadiyah sendiri dalam sejarahnya terbagi menjadi dua yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Bahkan pada tahun 1953, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) diakui secara legal sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas). Namun ditahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai jemaah sesat serta berada di luar Islam.

Hal ini dipertegas kembali dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada 9 Juni 2008 yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Situs berita vivanews sendiri dalam salah satu artikelnya berjudul ‘Tragedi Ahmadiyah’ mencatat penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah dimulai pada Februari 2006.

3


(20)

Kampung Ahmadiyah yang berada di Kabupaten Lombok Barat dibakar sehingga mengakibatkan 130 warganya mengungsi.4 Sejak saat itulah kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah terus berlangsung sampai saat ini.

Setara Institute, sebuah lembaga yang mengkampanyekan pluralisme dan toleransi kehidupan beragama Indonesia menyusun sebuah grafik dalam ‘Laporan Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2010’. Laporan ini juga turut memuat grafik pelanggaran terhadap Ahmadiyah. Setidaknya terdapat 50 pelanggaran yang dialami jamaah Ahmadiyah sepanjang tahun 2010. Selain itu berdasarkan data yang berhasil dihimpun, Setara Institute juga menemukan bahwa gangguan terhadap masjid jemaah Ahmadiyah menempati posisi kedua setelah gereja umat kristiani dengan jumlah kurang lebih dari 10 pelanggaran.

Konflik jemaah Ahmadiyah dengan umat Islam non-Ahmadiyah terus berlangsung sampai saat ini. Puncak perselisihan itu akhirnya terjadi di Desa Cikeusik, Pandeglang Banten 6 Februari lalu yang menewaskan tiga korban jiwa. Hal ini tentu saja sangat ironis, mengingat pada tanggal yang sama pula diadakan Pekan Harmoni Antar-Iman Sedunia (World Interfaith Harmony Week) di Jakarta yang dihadiri sejumlah tokoh nasional dan tokoh agama. Bahkan Ketua MPR, Taufik Kiemas mengungkapkan bahwa Indonesia sangat beruntung memiliki agama-agama yang mengajarkan persaudaran meski berbeda agama.5

Meski belum diketahui secara jelas kelompok pelaku yang melakukan penyerangan terhadap Ahmadiyah di Pandeglang namun sejumlah pihak menuduh

4

Infografik: Tragedi Ahmadiyah, 10 Maret 2011., www.vivanews.com, diakses pada 10 Maret 2011 pkl 21.13 WIB

5

Karni, S Asrori et al, Ironi Pekan Harmoni Antar Iman. Gatra edisi No 14 Tahun XVII 10-16 Februari 2011.


(21)

jika ormas anarkis menjadi dalang peristiwa tersebut. Tidak jelas pula ormas anarkis mana yang dimaksud tetapi dugaan tersebut mengarah kepada ormas Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI). Dalam perspektif masyarakat sendiri, ormas Islam garis keras lebih banyak dikenal karena tindakan-tindakan yang lebih mengarah ke anarkis. Zainuddin Fananie dan kawan-kawan dalam penelitiannya terhadap ormas-ormas Islam garis keras di Solo mengkategorikan kelompok ini kedalam Kelompok Radikal Keagamaan (KRK).

Menurut Fananie dan kawan kawan, terdapat dua hal yang menyebabkan KRK mengalami ketegangan sosial dalam lingkungannya. Salah satunya adalah adanya intoleransi mereka terhadap pandangan-pandangan, sikap serta prilaku yang berlainan. Sikap intoleransi ini bisa saja divisualisasikan dalam bentuk protes atau demosntrasi, tetapi tidak tertutup kemungkinan visualisasinya akan berubah menjadi kekerasan massa.6

Sebenarnya, gejala ekstrimisme atau radikalisme ada dalam setiap agama. Fananie dan kawan-kawan pun mengutip pernyataan Saiful Mujani saat diwawancarai surat kabar Jawa Pos.

“…bahwa dalam agama apapun, entah Hindu, Kristen dan lain-lain selalu muncul benih ekstrimisme; cuma masalahnya kapan benih itu bisa tumbuh, menyebar, lebih besar, aktif ke permukaan bergantung pada konteks historis dan latar belakang politik”. 7

Maka tidak mengherankan jika keberadaan ormas garis keras atau KRK bisa menjadi sebuah persoalan serius saat terdapat klaim bahwa keberadaan mereka mewakili kaum mayoritas serta menuding pihak lain adalah salah dan

6

Zainuddin Fananie et al, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Surakarta: , Muhammadiyah University Press, 2002), hal 7.

7


(22)

memaksakan pendapatnya kepada pihak tersebut. Hal ini diperkuat pula adanya doktrin-doktrin tertentu dalam Islam yang menyebabkan munculnya ekstrimisme seperti Islam dan kafir, beriman dan tidak beriman.8

Indikator inilah yang bisa menjadi alasan terjadinya penyerangan terhadap Ahmadiyah di Pandegalang, Banten. Selain itu penetapan SKB 2008 juga diduga menjadi pemicu kekerasan serta legalitas bagi umat Islam untuk menyerang pihak yang dianggap sesat yaitu Ahmadiyah. Peneliti sendiri memiliki pandangan sama dengan umat Islam pada umumnya jika Ahmadiyah memang telah melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya (mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi) sehingga tidak mengherankan jika seringkali terjadi konflik dengan jemaah Ahmadiyah karena alasan tersebut. Terkait hal inipula, peneliti pun berpendapat sama dengan pihak tertentu yang menginginkan agar Ahmadiyah di Indonesia dibubarkan karena ajarannya yang salah serta untuk menghindari konflik yang berkepanjangan dengan umat Islam non-Ahmadiyah.

Konflik yang melibatkan jemaah Ahmadiyah dan umat Islam non-Ahmadiyah yang telah berlangsung cukup lama inilah yang seringkali menjadi bahan pemberitaan. Bahkan seringkali menjadi headline (berita utama) disejumlah media massa. Tidak jarang media massa secara implisit menyebut konflik Ahmadiyah dengan non-Ahmadiyah ini sebagai konflik agama. Media massa karena berbagai alasan sering menyiarkan berita dan analisis yang justru menyesatkan. Media lebih memprioritaskan karakter hard news (berita-berita keras) daripada soft news (berita-berita lunak). Konflik dan kekerasan apalagi

8


(23)

yang membawa-bawa agama lebih mendapatkan tempat dan prioritas daripada harmoni dan perdamaian, yang mereka pandang sebagai hal biasa yang tidak perlu lagi diberitakan. Bagi media massa bad news is the good news (berita buruk adalah berita bagus).9

Terkait ini pula maka peristiwa Cikeusik 6 Februari silam mendapat perhatian besar dari media massa di Indonesia. Berbagai media massa pada khususnya menurunkan peristiwa penyerangan terhadap Ahmadiyah ini sebagai headline. Judul-judul berita terkait kasus penyerangan itu pun sangat beragam dan tergantung pada sudut pandang dan kebijakan redaksional masing-masing pengelola media cetak yang bersangkutan. Perang opini ataupun pemberitaan tentang Ahmadiyah antar media cetak terus terjadi pasca peristiwa tersebut.

Banyak faktor yang mempengaruhi sebuah pemberitaan atau tajuk rencana dimedia cetak khususnya dalam surat kabar. Terlepas dari faktor visi dan misi surat kabar tersebut, adanya kepentingan-kepentingan tertentu juga turut mempengaruhi pemberitaan. Idealnya pers dalam hal ini media cetak sebaiknya dapat bersikap obyektif tetapi dalam era kapitalis sekarang ini karakter tersebut semakin tidak ada. Henry Subiakto dalam tulisan ‘Ketika Media Berubah Jadi Kekuasaan’ di harian Jawa Pos (3/3) , menyebutkan jika para elite kekuasaan dan elite bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Sehingga menurut Chomsky dan Herman, tidak mengherankan jika media telah menjadi alat propaganda dan isi media massa banyak dipenuhi oleh framing dan kebohongan.

9

Azyumardi Azra, Agama, Media dan Perdamaian, diakses pada 12 Maret 2011 pkl 22.22 WIB dari www.cmm.or.id


(24)

Melalui analisis framing ini juga, sejumlah media cetak terutama surat kabar nasional menampilkan berita peristiwa penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai headline dari berbagai sudut pandang. Salah satunyanya adalah koran terbesar nasional yang berkedudukan di Jatim, Jawa Pos. Menurut pandangan peneliti, sebagai perusahaan media massa yang berorientasi ke bisnis, ideologi atau arah pemberitaan Jawa Pos masih samar dan belum jelas keberpihakannya termasuk pemberitaan menyangkut peristiwa Cikeusik serta Ahmadiyah. Setidaknya, hal ini peneliti amati melalui edisi yang ditampilkan Jawa Pos yaitu edisi 7 sampai 11 Februari 2011. Secara umum, peneliti melihat melalui judul-judul headline pada beberapa edisi tersebut Jawa Pos terkesan bersikap netral dalam menyikapi peristiwa penyerangan di Cikeusik serta keberadaan jemaah Ahmadiyah.

Namun hal ini tentu saja masih memerlukan pembuktian. Terkait hal inipula maka peneliti pun memilih metode analisis framing untuk mengetahui isi pemberitaan Jawa Pos menyangkut peristiwa tersebut. Model analisis framing sendiri yang dipilih peneliti adalah Pan dan Kosicki. Pemilihan ini bukan tanpa alasan karena peneliti berpendapat model ini memiliki elemen yang lebih lengkap dibandingkan model maupun metode analisis lainnya. Apalagi model Pan dan Kosicki ini tidak hanya meneliti tulisan saja tetapi elemen lain seperti foto, grafik dan leksikon.

Melalui metode ini, peneliti mencoba mengetahui bagaimana Jawa Pos membingkai peristiwa Cikeusik dengan menggunakan elemen-elemen model Pan dan Kosicki (sintaksis, skrip, tematik dan retoris). Apalagi selama ini, Jawa Pos


(25)

dengan induk usahanya yakni JPNN (Jawa Pos National Network) merupakan perusahaan media massa terbesar di Indonesia dan lebih dikenal berorientasi kepada industri pers. Sebagai sebuah industri, Jawa Pos cenderung tidak banyak disorot terkait arah atau ideologi pemberitaannya.

Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pers, Jawa Pos beserta kelompok usahanya terkenal dengan orientasi profit. Maka tidak mengherankan jika usaha media massa yang dijalankan Jawa Pos lebih mengacu pada industri pers yang berarti pemberitaan surat kabar yang berada dibawah naungan JPNN seringkali mengikuti kehendak atau mekanisme pasar. Salah satu contoh mengenai hal ini adalah apa yang terjadi pada anak perusahaan Jawa Pos, koran Pos Kota yang identik dengan berita-berita kriminal. Dalam sebuah tulisannya, Linda Christanty melakukan wawancara dengan redaktur pelaksana Pos Kota saat itu, Gunawan Eko Prabowo. Melalui wawancara tersebut, Gunawan pun mengakui penggunaan judul headlinePos Kota yang cenderung bombastis untuk menyesuaikan dengan segmen pasarnya, menengah ke bawah.10

Disamping itu, pihak Gunawan pun khawatir jika pengubahan gaya penulisan Pos Kota bisa membuat koran ini kehilangan pasar karena brand name (merek dagang) itu terlanjur melekat.11 Apalagi kesuksesan Pos Kota sebagai koran kriminal pun kemudian banyak diikuti oleh koran sejenis sehingga tingkat persaingan antarmedia semakin tinggi, membuat Pos Kota tidak mau berjudi dengan melakukan perubahan. Pragmatisme anak perusahaan Jawa Pos pun tidak hanya ditunjukkan oleh Pos Kota saja. Bahkan pada saat meletus pertikaian

10

Agus Sopian, Alfian Hamzah dkk, Jurnalisme Sastrawi (Jakarta: Pantau, 2005), hal 102.

11


(26)

antara Islam dan Kristen di daerah Maluku, tindakan para petinggi Jawa Pos untuk membentuk dua koran yang berbeda berdasarkan agama pun secara langsung makin memperkeruh pertikaian yang ada.

Tidak hanya itu saja, pilihan kelompok Jawa Pos yang lebih mengedepankan pragmatisme demi profit semata juga terlihat menjelang pemilihan umum 1999. Kelompok Jawa Pos mempunyai media-media partisan seperti tabloid Amanat (PAN), Demokrasi (PDIP), Abadi (PBB) dan Duta Masyarakat Baru (PKB). Menurut Eriyanto dalam tulisannya, media-media tersebut saling serang, memuji partai sendiri dan menjatuhkan partai lawan. Uniknya, semua media tersebut berkantor di satu tempat, yaitu kantor biro Jawa Pos di Kebayoran Lama, Jakarta.12

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “ Bagaimana konstruksi pemberitaan Konflik Ahmadiyah dalam Peristiwa Pandeglang yang dimuat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 7-11 Februari 2011?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Jawa Pos mengkonstruksi pemberitaan konflik Ahmadiyah terkait peristiwa di 6 Februari silam.

D. Siginifikansi Penelitian 1. Secara akademis

12


(27)

a. Peneliti berharap dapat memperluas dan memperdalam kajian ilmu komunikasi konsentrasi jurnalistik terutama untuk mengkaji isi media cetak melalui analisis framing.

b. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi penelitian sejenis di masa mendatang.

2. Secara kritik sosial

Penelitian ini diharapakan mampu memberikan konstribusi kepada masyarakat untuk memahami makna pemberitaan di media cetak. Masyarakat menjadi lebih kritis dan paham bagaimana sebuah surat kabar mampu mengkonstruksi sebuah pemberitaan dengan tujuan dan maksud tertentu.

E. Tinjauan Pustaka

E.1 Berita

Secara umum, media massa dalam hal ini surat kabar di dalam aktivitasnya identik dengan tiga komponen. Tiga komponen ini yaitu berita, opini dan periklanan. Dari ketiga komponen tersebut, penyajian berita merupakan produk utama yang disajikan surat kabar kepada pembacanya.13 Terkait hal ini pula maka tentunya ada beberapa hal yang harus diperhatikan apakah sebuah peristiwa yang terjadi dapat dikatakan sebagai berita atau tidak karena bagaimanapun ada kriteria tertentu yang diterapkan oleh pekerja media berkaitan dengan komponen utama ini.

13


(28)

E.1.1 Berita Dalam Pandangan Konstruktivisme

Definisi berita dalam pandangan positivisme berbeda dengan pandangan konstruktivisme. Menurut Carey, konstruktivisme memandang berita sebagai potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa sehingga berita bukan menggambarkan realitas.14 Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media.15

Terkait hal tersebut maka berita yang ditampilkan kepada pembaca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pamakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Dengan kata lain berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas karena berita bersifat subjektif (opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan yang subjektif).16

E.1.2 Unsur Layak Berita

Suatu peristiwa ataupun fakta yang terjadi belum tentu dapat dimuat dalam surat kabar. Hal ini berarti bahwa tidak semua berita layak dimuat. Setidaknya ada empat unsur yang membuat sebuah berita layak terbit yaitu:17

a. Berita Harus Akurat.

14

Eriyanto, Analisis Framing (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal 25.

15 Ibid 16

Ibid, hal 26-27.

17

Hikmat Kusumaningrat&Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori & Praktek (Bandung: PT Remaja Rosadkarya, 2007), hal 28.


(29)

Berita yang dimuat harus akurat karena hal ini menyangkut kredibilitas organisasi surat kabar yang bersangkutan. Selain terkait ejaan nama, angka, tanggal dan usia, tingkat akurasi juga berarti benar dalam detail-detail fakta.

b. Berita Harus Lengkap, Adil dan Berimbang.

Wartawan dalam pemberitaannya harus bersikap netral. Selain itu berita yang dibuat juga harus cover both side (berimbang), tidak berat sebelah. Tulisan berita juga mencerminkan kejadian yang sebenarnya.

c. Berita Harus Objektif.

Seorang wartawan harus bersikap obyektif dalam membuat berita. Artinya, berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah. Sikap subyektifitas juga harus dihilangkan oleh wartawan. d. Berita Harus Ringkas dan Jelas.

Tulisan berita sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami pembaca. Selain itu, tulisan juga jangan bertele-tele karena hal ini akan menyulitkan pembaca.

e. Berita Harus Hangat.

Berita yang ditampilkan bersifat terbaru (update). Masyarakat senantiasa membaca berita tentang peristiwa-peristiwa yang baru saja saja terjadi. Hal ini berarti unsur waktu merupakan hal terpenting. E.1.3 Nilai Berita

Setiap berita yang dimuat memiliki karakteristik tertentu. Hal ini berkaitan dengan nilai berita yang mendasari tulisan tersebut. Kriteria ini juga digunakan


(30)

wartawan saat menulis sebuah berita. Eriyanto sendiri memaknai nilai berita sebagai prosedur standar peristiwa apa yang bisa disebarkan kepada khalayak.18 Nilai-nilai berita tersebut, yakni:19

a. Keluarbiasaan (Unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam pandangan jurnalistik, berita bukanlah suatu peristiwa biasa. Hal ini sebagaimana diungkapkan Lord Northchliffe yang mengatakan apabila orang digigit anjing maka itu bukanlah berita namun jika manusia menggigit anjing maka itulah berita.

b. Kebaruan (Newness). Berita adalah semua apa yang terbaru. Masyarakat senantiasa mencari peristiwa terbaru atau update.

c. Akibat (Impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Apa saja yang menimbulkan akibat sangat berarti bagi masyarakat, itulah berita.

d. Aktual (Timeliness). Secara sederhana aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi. Media massa haruslah memuat berita-berita aktual yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. e. Kedekatan (Proximity). Kedekatan disini mengandung dua arti yaitu

kedekatan geografis yang menunjuk pada peristiwa yang terjadi disekitar tempat tinggal kita dan kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh keterikatan pikiran, perasaan atau kejiwaan dengan objek berita.

18

Eriyanto, op. cit., hal 36.

19

AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita Dan Feature (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), hal 81-91.


(31)

f. Informasi (Information). Berita adalah informasi. Informasi yang dimuat atau disiarkan haruslah mengandung nilai-nilai berita. Hanya informasi yang memiliki nilai berita atau yang memberi manfaat kepada publik yang mendapat perhatian media.

g. Konflik (Conflict). Segala sesuatu yang mengandung unsur dengan pertentangan atau konflik merupakan sumber berita yang tidak akan pernah habis karena bagaimanapun secara naluriah manusia menyukai konflik.

h. Orang Penting (Public Figure, News Maker). Berita terkait orang-orang ternama seperti selebritis atau figure publik senantiasa menarik perhatian orang. Orang cenderung ingin mengetahui kehidupan orang-orang terkenal. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita (names makes news)

i. Kejutan (Surprising). Tiap orang menyukai kejutan yang bersifat menyenangkan. Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya dan pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.

j. Ketertarikan Manusiawi (Human Interest). Hal-hal atau peristiwa yang menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tahu dapat digolongkan ke human interest. Karena dianggap menarik dan penting, maka hampir semua media cetak di Indonesia menyediakan rubrik untuk berita human interest.


(32)

k. Seks (Sex). Seks selalu identik dengan dengan perempua. Segala macam berita tentang perempuan dan seks pasti menarik dan menjadi sumber berita serta selalu banyak peminatnya.

E.1.4 Kategori Berita

Berita-berita yang dimuat dalam media cetak setidaknya terdiri atas elemen diatas (unsur layak berita dan nilai berita) serta terbagi dalam beberapa kategori. Kategori berita ini berfungsi untuk memudahkan pembaca saat membaca berita yang sesuai dengan minat atau kebutuhan infomasi yang diperlukan. Beberapa kategori tersebut, antara lain:20

a. Straight News (berita langsung) yaitu berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita jenis ini.

b. Depth News (berita mendalam) yaitu berita yang dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan.

c. Investigation News (berita penyelidikan) yaitu berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan dari berbagai sumber.

d. Interpretative News (berita interpretasi) yaitu berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penilaian penulisnya atau reporter. e. Opinion News (berita opini) yaitu berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendekiawan, tokoh, ahli atau pejabat mengenai suatu hal atau peristiwa.

20

Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis Untuk Pemula (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal 8.


(33)

E.2 Konstruksi Realitas Dalam Bentuk Teks Berita

Media bukanlah saluran yang bebas. Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cermin dari realitas. Media justru mengkonstruksi sedemikian rupa realitas.21 Hal inilah yang menjadi paradigma utama konstruksionis yang berlawan dengan paradigma positivis yang menganggap media sebagai saluran netral dan obyektif.

Sementara itu, menurut Hidayat realitas merupakan konstruksi sosial yang dapat diciptakan oleh individu.22 Individu dalam hal inilah adalah wartawan. Seorang wartawan ketika menulis sebuah teks berita berdasarkan realitas atau peristiwa sangat dipengaruhi oleh banyak hal. Setiap wartawan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda dalam menafsirkan realitas. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu yang diwujudkan dalam teks berita.23

Melalui proses konstruksi inilah wartawan melakukan seleksi terhadap isu, bagian mana dari peristiwa tersebut yang akan ditonjolkan dan bagian mana yang akan dihilangkan. Terkait hal inipula maka dapat dikatakan jika media berfungsi sebagai agen konstruksi. Media memilih, realitas mana yang diambil serta realitas mana yang tidak ditampilkan.24 Media dalam melakukan proses konstruksi banyak dipengaruhi beberapa faktor. Artinya, media secara institusi maupun

21

Eriyanto,op.cit., hal 2.

22

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasai (Jakarta: Kencana, 2006), hal 191.

23

Eriyanto,op.cit., hal 17.

24


(34)

organisasi serta wartawan sebagai komunikator dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Tuchman, jika berita merupakan hasil transaksi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya.25 Secara ringkas, skema Tuchman digambarkan Suprapto sebagai berikut:

Gambar 1.1

Model Tuchman Tentang Berita

(Sumber: Suprapto, 2010)

Sementara itu menurut Brian McNair yang dikutip Sudibyo menyatakan, dalam studi media, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media.26 Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political-economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik modal atau

25

Tommy Suprapto, Politik Redaksi Media,menguak latar belakang teks berita media (Malang: : Pustaka Kaiswara, 2010), hal 52.

26

Agus Sudibyo, Politik Wacana dan Pertarungan Media (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 2-4.

Realitas Sosial Fakta

Wartawan Berita


(35)

kepentingan politik dalam suatu institusi media berpengaruh terhadap isi media terutama menyangku peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan dan kecenderungan isi berita.

Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini justru bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi-politik. Dalam pendekatan organisasi justru pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Faktor-faktor internal media seperti praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur yang mempengaruhi pemberitaan.

Ketiga, pendekatan kultural (culturalist approach). Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dan organisasi. Proses produksi berita disini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus faktor eksternal media. Mekanisme yang rumit tersebut ditunjukkan dengan terjadinya perdebatan di dalam ruang pemberitaan. Pada dasarnya media mempunyai pola dan aturan organisasi untuk memaknai suatu pemberitaan namun pola dan aturan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi-politik yang ada di luar media.

Selain ketiga faktor di atas yang secara umum mempengaruhi isi media, juga terdapat beberapa faktor berperan dalam proses pembentukan berita (newsroom) termasuk dalam hal mengkonstruksi berita. Proses pembentukan berita adalah proses yang rumit dan banyak faktor yang berpotensi untuk


(36)

mempengaruhinya. Hal ini karena banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media terutama dalam memaknai realitas.27

Shoemaker dan Reese seperti yang dikutip Sudibyo mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. yaitu:28

a. Level individual, yang berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Latar belakang seperti jenis kelamin atau agama turut mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

b. Level rutinitas media (media routine), yang berkaitan dengan mekanisme dan proses pembentukan penentuan berita. Setiap media memiliki standar tersendiri tentang berita yang baik dan criteria kelayakan berita.

c. Level organisasi, berhubungan dengan struktur organisasi yang mempengaruhi pemberitaan. Artinya, setiap bagian yang ada di organisasi media saling mempengaruhi terutama terkait dengan pemberitaan.

d. Level ekstramedia. Level ini berkaitan dengan faktor eksternal media yang turut mempengaruhi pemberitaan seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pemerintah dan lingkungan bisnis.

e. Level ideologi. Ideologi ini bisa diartikan sebagai kerangka berpikir atau referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ideologi ini bersifat

27

Ibid, hal 7.

28


(37)

abstrak karena berkaitan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.

Faktor-faktor di atas berperan dalam proses mengkonstruksi suatu realitas. Hal ini didukung pula oleh kenyataan jika pekerjaan media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan ditampilkan. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tidak lain adalah realitas yang dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang bermakna.29

Para pekerja media dalam melakukan proses konstruksi tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur penggunaan bahasa. Bahasa memegang peran vital dalam mengkonstruksi realitas dalam bentuk teks media. Bahasa disini tidak hanya dipahami secara verbal saja tetapi juga berupa bahasa non-verbal. Media massa terutama media cetak menggunakan bahasa tertulis baik berupa kata, gambar, tabel, angka maupun grafis. Bahasa dimanfaatkan wartawan untuk menampilkan hasil konstruksi kepada khalayak.

Setidaknya ada tiga tindakan untuk mengkonstruksi realitas dalam bentuk berita.30 Pertama, pemilihan simbol. Dalam pendangan semiotika, teks (berita) dipandang penuh dengan tanda, mulai dari pemakaian kata atau istilah, frase, angka, foto, dan gambar, bahkan cara mengemasnya pun adalah tanda. Selain itu, pemilihan narasumber dan pengutipan ucapan narasumber berupa kata-kata juga turut mempengaruhi bagaimana media memberikan citra tertentu terhadap suatu peristiwa maupun memaknai realitas tersebut.

29

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta: Granit, 2004), hal 11.

30


(38)

Kedua, melakukan pembingkaian (framing). Media melakukan framing terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan melakukan penyederhanaan sehingga seringkali media melakukan seleksi dengan memilih isu atau realitas yang dianggap penting untuk ditonjolkan. Melalui framing, pembaca dapat mengetahui hendak dibawa kemana isu atau realitas yang ditampilkan akan diarahkan oleh media.

Ketiga, menyediakan ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa (fungsi agenda setting). Media memilih peristiwa mana yang akan ditampilkan atau juga sebaliknya. Jika sebuah peristiwa ditampilkan oleh media secara besar-besaran maka cenderung akan menjadi pembicaraan masyarakat. Inilah kaitannya dengan agenda seting. Salah satu dampak dari agenda seting ini adalah munculnya gambaran realitas yang ada di benak masyarakat sebagaimana media mengkonstruksikannya.

E.3 Konflik

E.3.1 Definisi Konflik

Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak lepas dari interaksi sosial. Hubungan antar manusia dalam bentuk interaksi tersebut senantiasa bersifat dinamis. Bahkan untuk menuju sebuah keserasian atau pemahaman sesama manusia seringkali mengalami hambatan atau perbedaan yang berujung dengan munculnya konflik. Terkait hal tersebut maka konflik dapat didefinisikan sebagai


(39)

pertikaian memperebutkan sesuatu yang berharga atau akibat penggunaan cara yang berbeda dalam mencapai tujuan.31

Konflik juga berarti suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Banyak faktor telah menyebabkan terjadinya konflik-konflik. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik-konflik individu.32

Definisi lain tentang konflik adalah perbenturan. Bisa soal apa saja: pendapat, keyakinan, sistem nilai, klaim hak, atau kewenangan. Dalam perbenturan ini masing-masing pihak yang bertikai menggunakan kekuasaan untuk mengejar tujuan.33

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan jika bagian dari proses sosial dalam masyarakat yang umunya bersifat pluralitas. Karakteristik masyarakat yang pluralitas inilah yang seringkali menjadi pemicu konflik karena adanya perbedaan.

E.3.2 Sumber Konflik

Konflik ada karena suatu perbedaan yang menyulut ketidaksepakatan dalam pengambilan keputusan. Pada dasarnya setiap konflik yang terjadi pasti memiliki penyebab atau akar konflik. Akar konflik sendiri terdiri dari dua tipe yaitu berdasarkan kriteria kepentingan dan tujuan serta bersumber dari akibat

31

Mulkan, Abdul Munir dkk, Membongkar Praktik Kekerasan Menggagas Kultur Nir-Kekerasan

(Yogyakarta: PSIF-Sinergi Press, 2002), hal 257-258.

32

J.Dwi Narwoko&Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal 48.

33

J.Anto&Pemilianna Pardede (ed), Meretas Jurnalisme Damai di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan KIPPAS, 2007), ha 41.


(40)

kepercayaan atau keyakinan. Secara umum sumber konflik dapat dirumuskan sebagai berikut:34

a. Konflik nilai. Kebanyakan konflik nilai terjadi karena perbedaan nilai. Nilai merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran. Konflik terjadi karena dua pihak memberikan nilai berbeda atas apa yang menjadi objek konflik, termasuk dalam kategori ini adalah konflik yang bersumber dari perbedaan rasa, keyakinan, bahkan ideologi atas apa yang diperebutkan.

b. Kurangnya komunikasi. Konflik dapat terjadi karena dua pihak kurang berkomunikasi. Kegagalan berkomunikasi karena dua pihak tidak dapat menyampaikan pikiran dan tindakan, termasuk dalam kategori ini adalah konflik makna informasi. Artinya dua pihak atau lebih memberi makna yang berbeda secara diametral atas suatu informasi tentang apa yang menjadi sasaran konflik.

c. Kepemimpinan yang kurang efektif atau pengambilan keputusan yang tidak adil. Jenis konflik ini sering terjadi pada organisasi atau kehidupan bersama dalam sebuah komunitas masyarakat. Kepemimpinan yang kurang efektif semua ank buah dalam organisasi atau anggota kelompok suatu komunitas atau masyarakat bebas bergerak.

34


(41)

d. Ketidakcocokan peran. Konflik ini dapat terjadi dimana dan kapan saja, asal dalam sebuah organisasi (sosial maupun formal). Hal ini dapat menyebabkan kebersamaan dalam organisasi menjadi tidak bermakna, tugas dan fungsi organisasi tidak berjalan, dan seterusnya. E.3.3 Jenis Konflik

Secara garis besar, konflik-konflik yang terjadi dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori. Hal ini berdasarkan sifat atau tipe konflik itu sendiri. Konflik berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua yaitu konflik yang bersifat destruktif dan fungsional.35 Pertama, konflik destruktif. Konflik ini menjadi destruktif karena konflik ini dipicu oleh rasa kebencian yang disebabkan berbagai hal. Contoh konflik destruktif ini adalah konflik antara Suku Dayak dan Melayu melawan Suku Madura.

Kedua, Konflik yang fungsional adalah konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan. Contoh konflik jenis ini berupa perbedaan pendapat dikalangan para cendekiawan dalam upaya mencari kebenaran.

Sedangkan Sihbudi dan Nurhasim dalam bukunya menyebutkan dua jenis konflik yang terjadi di Indonesia yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal. Konflik ini melibatkan masyarakat dan negara yang ditanda oleh kemarahan massa terhadap aparat dan lembaga negara yang dianggap telah berlaku tidak adil di dalam menegakkan peraturan.36

35

Loekman Soetrisna, Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003),hal 14-17

36

Riza Sihbudi&Moch. Nurhasim (ed), Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas (Jakarta: Grasindo, tanpa tahun), hal vii.


(42)

Selanjutnya, konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Konflik ini terjadi murni dipicu oleh permasalahan-permasalahan kemasyarakatan yang terjadi, dibumbui pula oleh permasalahan ekonomi kerakyatan dan juga keadaan pemerintah yang compang-camping. Umumnya konflik ini dipicu karena permasalahan agama dan etnis.37

E.4 Konflik Dalam Perspektif Media Massa

Sebuah peristiwa atau realitas yang terjadi dimasyarakat dan mengandung unsur konflik pada umumnya memiliki nilai berita yang tinggi. Khalayak pembaca cenderung menyukai hal-hal yang menyangkut pertentangan atau persaingan. Terkait hal inipula maka media massa senantiasa memuat berita-berita yang memiliki unsur konflik. Setidaknya, media massa memiliki keunggulan terkait dengan pemberitaan seputar konflik, yaitu:38

a. Media berfungsi sebagai issue intensifier (penguat isu). Media berpotensi memunculkan isu atau konflik, dan mempertajamnya. Dengan posisinya sebagai intensifier, media dapat mem-blow-up realita menjadi isu sehingga isu menjadi transparan.

b. Media berfungsi sebagai conflict diminisher (pengurang konflik). Media dapat meniadakan suatu isu atau konflik, terutama jika menyangkut kepentingan media yang bersangkutan.

c. Media berfungsi menjadi pengarah conflict resolution (penyelesai konflik). Media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik.

37

Mulkan dkk,op.cit., hal 291.

38

Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2005), hal 68.


(43)

d. Media massa berfungsi sebagai pembentuk opini publik.

Media massa mempunyai kemampuan untuk menyusun isu-isu. Hal ini terkait dengan agenda seting. Dengan kata lain, penyusunan agenda membentuk gambaran isu atau isu yang penting dalam pikiran masyarakat. Penyusunan agenda terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita.39 Hal ini berlaku juga untuk pemberitaan terkait konflik. Media memilih konflik mana yang akan ditampilkan atau tidak ditampilkan kepada khalayak pembaca.

Pada dasarnya, apa yang ditampilkan media seringkali menjadi bahan pembicaraan utama atau mempengaruhi masyarakat. Hal ini sesuai dengan agenda seting itu sendiri yang disajikan media. Begitu juga dengan pemberitaan seputar konflik. Tanpa disadari, seringkali media justru memicu dan mempertajam konflik yang ada dengan menyajikan realitas semu (hiperrealitas) kepada khalayak pembaca. Artinya, media tidak menampilkan realitas yang sebenarnya.

Sebuah konflik, bagaimanapun membutuhkan pemberitaan. Pihak-pihak yang bertikai membutuhkan publikasi media atas klaim-klaim mereka. Khalayak juga sangat tergantung pada pemberitaan media untuk mengetahui konflik. Lebih dari itu, seperti apa yang dikatakan George Wang, konflik selalu dianggap mempunyai nilai berita tinggi sehingga keterlibatan dalam sebuah konflik menjadi suatu keniscayaan jurnalistik.40

Disamping itu, prinsip bad is good news ( hal buruk adalah berita baik) pada sisi lain mendorong media untuk terus menerus berorientasi pada masalah

39

Stephen W Littlejohn dan Karen A.Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal 416.

40


(44)

atau konflik. Jika suatu peristiwa atau fenomena tidak mengandung dimensi konflik atau masalah, lebih kurang dia tidak layak berita.41 Akibatnya, media jarang atau bahkan tidak pernah mengapreasiasi terhadap suatu hal yang bersifat posistif.

Disadari atau tidak, media massa seringkali memberitakan konflik dalam berbagai sudut pandang. Pemberitaan tersebut seringkali dalam bentuk pembingkaian (framing) peristiwa yang bersangkutan. Sehingga, bisa jadi sebuah konflik atau kekerasan mempunyai beragam makna tergantung dari sisi mana media mengangkatnya. Hal ini tentu saja akan membentuk opini khalayak (pembaca) terhadap konflik yang terjadi akibat dari pemberitaan yang dikemas media.

Peran media massa sendiri dalam pemberitaan konflik ibarat dua mata sisi uang yang berlawanan. Selain bisa memicu dan mendorong konflik, media juga bisa menampilkan peran sebagai peredam konflik. Hal ini tentu saja bergantung pada pilihan peran yang akan dipilih oleh media yang bersangkutan. Pada akhirnya pilihan tersebut akan ditampilkan kepada pembaca melalui proses framing (pembingkaian) dalam bentuk teks berita.

Proses framing sendiri tidak terlepas dari perspektif yang digunakan jurnalis ketika menseleksi isu atau peristiwa yang dilihatnya. Karena itu, konstruksi realitas media massa sering berbeda dengan realitas sebenarnya.42 Hal ini senada dengan yang diungkapkan Lipmann yang dikutip Sudibyo dalam bukunya, pekerja media (wartawan atau jurnalis) seringkali memaknai suatu fakta

41

Agus Sudibyo, Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media (Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2009), hal 232.

42


(45)

berdasarkan apa yang ada di dalam benaknya, dan bukannya berdasarkan hasil reportase di lapangan.

Dalam proses framing, media menggunakan berbagai perangkat framing seperti gambar atau foto, pilihan diksi (kata), penggambaran fakta (peristiwa) serta pemilihan sudut pandang (angle) untuk menggambarkan konflik yang terjadi. Selain itu tanpa disadari, media massa seringkali terjebak dalam pemberitaan yang sangat statistik, yaitu pemberitaan kekerasan dalam bentuk angka dan bukan pada pengembangan wacana anti kekerasan di dalam peliputannya.43

Pada kenyataannya, pemberitaan seputar konflik seringkali diidentikkan dengan jurnalisme perang. Sebagaimana yang diungkapkan John Galtung, dalam meliput sebuah konflik, wartawan lebih sering memakai analogi pertandingan olahraga yakni dengan memposisikan dua pihak sebagai pemenang dan pihak yang kalah. Pandangan inilah yang setidaknya masih banyak dianut oleh media massa termasuk di Indonesia. Bagaimanapun, berita yang mengandung konflik masih memiliki nilai jual cukup tinggi karena kelengkapan nilai berita yang melingkupi peristiwa (konflik) itu sendiri.

E.5 Objektivitas Berita

Pekerja media massa terutama wartawan dalam melakukan reportase apapun termasuk liputan konflik, hal utama yang selalu dipegang adalah prinsip objektivitas. Definisi objektivitas sendiri tidaklah mutlak. Namun, setidaknya dalam jurnalisme, pengertian objektif lebih dimaknai sebagai melaporkan fakta.

43


(46)

Dalam reportase, objektif juga berarti wartawan bertindak sebagai penonton dari berita yang diliput.44 Eriyanto dalam bukunya mengungkapkan objektivitas secara umum digambarkan dengan tidak mencampuradukkan antara fakta dengan opini.

Meskipun demikian, objektivitas berita dalam proses jurnalisme juga bukan objektivitas tidaklah sesuatu yang mutlak. Bagaimanapun, pekerja media (wartawan) dalam merekonstruksi sebuah realitas tetap saja dipengaruhi oleh nilai-nilai internal dan eksternal yang ada disekitarnya. Maka, tidak mengherankan jika ada yang menyebut objektivitas wartawan adalah objektivitas yang subjektif. Bagaimanapun, wartawan bukanlah cermin pasif yang menggabarkan fakta apa adanya.45 Unsur subjektivitas ini senantiasa akan menyertai wartawan ketika menginterpretasikan peristiwa dalam bentuk tulisan.

Hal ini berlaku juga ketika para wartawan atau jurnalis meliput berita konflik. Tanpa disadari, seringkali faktor internal seperti agama, keyakinan politik maupun ideologi mempengaruhi tugasnya saat mengkonstruksi konflik dalam teks berita. Berkaitan dengan itu, Westerstahl sebagaimana yang dikutip McQuails yang terdapat dalam buku Nurudin, mengungkapkan perangkat objektivitas berita dalam sebuah bagan. Melalui bagan tersebut, Westerstahl menyatakan objektivitas baru terbentuk jika telah memenuhi kriteria faktualitas dan imparsialitas.

44

Luwi Ishwara, Jurnalisme Dasar (Jakarta: Kompas, 2011), hal 67-68.

45


(47)

Gambar 1.2

Objektivitas Menurut Westerstahl

Kebenaran Relevan Keseimbangan Netral

Informatif

(Sumber: Nurudin, 2009)

Unsur objektivitas pertama adalah faktualitas yang terdiri atas kebenaran dan relevan. Faktualitas ditandai dengan adanya unsur fakta yang benar-benar terjadi yang berarti mensyaratkan kebenaran.46 Kebenaran juga bersifat akurat dimana berita yang disajikan dengan penuh teliti, cermat dan tepat. Hal ini terkait dengan adanya kelengkapan unsur 5W dan 1H. Akurasi juga sangat menentukan kredibilitas wartawan, dan dengan sendirinya juga kredibiltas media.47 Sedangkan tingkat relevansi berhubungan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam berita dan proses seleksi, baik berupa narasumber dan kelayakan informasi yang ditampilkan.

Unsur kedua yaitu imparsialitas (independensi) yang mempunyai arti tidak menguntungkan salah satu pihak secara porsi atau nuansa atau keduanya sekaligus. Artinya, ketika mewawancarai para pihak terutama yang berkonfrontasi

46

Ibid, hal 82-83.

47

Ashadi Siregar dkk, Bagaimana meliput dan menulis berita untuk media massa (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal 215.

Objektivitas


(48)

langsung, dan memunculkannya dalam berita tidaklah cukup. Porsi dan nuansa yang ditampilkan juga perlu dibuat berimbang.48 Imparsialitas sendiri bisa tercapai dengan menyertakan unsur keseimbangan dan netral.

Berita yang disajikan harus seimbang. Keseimbangan disini terutama menyangkut cover both sides yang umumnya identik dengan narasumber. Namun, seringkali ketika meliput tentang berita konflik, cover both sides ini dipandang tidak mencukupi sehingga muncul cover all sides. Cover all sides ini narasumber tidak hanya mencakup pihak yang berkonflik tetapi juga pihak-pihak yang terimbas konflik. Wartawan saat meliput peristiwa maupun ketika menulis berita harus bersikap netral. Sikap netral disini diwujudkan dengan tidak memihak golongan (pihak) yang diwujudkan dalam bentuk opini penulis.

Selain unsur-unsur objektivitas tersebut yang telah disebutkan, namun tetap saja jika komponen objektivitas yang ada dirasa belum mencukupi. Banyak wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsur adil (fairness) dan standar kejujuran sebagai prinsip yang penting.49 Terkait unsur adil ini, Ishwara mengutip surat kabar The Washington Post yang mempunyai standar mengenai sikap adil, yaitu:

a. Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta-fakta yang penting. Jadi adil adalah lengkap.

b. Berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil adalah relevansi.

48

J.Anto& Pardede (ed),op.cit., hal 69.

49


(49)

c. Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak menggiring pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.

d. Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil menuntut keterus-terangan.

Salah satu hal hambatan yang dihadapi wartawan untuk bersikap objektif ketika meliput konflik adalah adanya sikap bias dalam wujud tulisan berita. Bias sendiri diartikan sebagai pandangan berat sebelah. Meskipun objektivitas sangat sulit untuk dilaksanakan secara penuh, namun ada beberapa cara untuk mendekati objektivitas. Wartawan hendaknya berhati-hati dalam memilih bahasa dan menghindari penggunaan label untuk menyebut kelompok tertentu. Dalam konflik biasanya selalu muncul label-label, stigma atau cap.50

Selain itu, menurut Sudibyo yang mengutip pernyataan Merril ada tiga cara untuk mencapai objektivitas. Pertama, pemisahan fakta dari pendapat. Kedua, menyajikan pandangan terhadap berita tanpa disertai dimensi emosional. Ketiga, berusaha untuk jujur dan seimbang, memberikan kesempatan kepada seluruh pihak untuk menjawab dalam cara memberikan banyak informasi kepada khalayak.

Entman juga mengungkapkan setidaknya ada dua persyaratan utama untuk mencapai objektivitas berita yaitu depersonalisasi dan aspek keseimbangan. Depersonalisasi, menuntut reporter untuk tidak melibatkan ideologi mereka sendiri ke dalam pemahaman tentang berita atau penilaian-penilaian yang

50


(50)

berkaitan dengan substansi berita. Sedangkan aspek keseimbangan untuk mencapai posisi netral. Artinya, reporter menyajikan semua sisi pandangan dalam suatu konflik dan memberikan perhatian yang sama kepada pihak-pihak yang terlibat dalam situasi konflik.51

Sementara itu untuk mencapai objektivitas, Tuchman menawarkan empat prosedur yang dapat dilakukan wartawan agar apa yang ditulis dapat disebut sebagai objektif.52 Pertama, menampilkan semua kemungkinan konflik yang muncul. Wartawan harusnya menampilkan fakta, tetapi fakta yang dimaksud kadang sukar ditemukan. Kedua, menampilkan fakta-fakta pendukung. Prosedur lain dari objektivitas yang dapat dikenali dalam tulisan adalah ada fakta-fakta pendukung dalam tulisan sehingga apa yang disajika wartawan bukanlah opini ah pribadi wartawan.

Ketiga, Pemakaian kutipan pendapat. Prosedur standar lain adalah adanya pemakaian kutipan untuk menyatakan bahwa apa yang ditampilkan benar-benar bukan pendapat wartawan dan pendapat pakar politik tertentu. Terakhir, menyusun informasi dalam tata urutan tertentu. Bagian lain dari tulisan yang objektif adalah menyusun berbagai komentar, aneka informasi, beragam fakta ke dalam tata susunan berita tertentu. Rangkaian prosedur tersebut dapat dijadikana sebagai jaminan dan pertanggungjawaban wartawan kepada khalayak.

E.6 Analisis Framing

Istilah framing (pengerangkaan atau pembingkaian) pertama kali diterapkan Todd Gitlin pada komunikasi massa ketika ia meneliti cara CBS

51

Sudibyo,op.cit., hal 75.

52


(51)

membuat gerakan pelajar pada tahun 1960-an menjadi tidak penting.53 Gitlin menyatakan, frame sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Ia menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita dimana para jurnalis memproses sejumlah besar informasi secara cepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak.54

Proses framing dalam kajian komunikasi pada umunya digunakan untuk memaknai realitas yang telah dibentuk wartawan dalam teks berita. Melalui framing inilah maka wartawan menseleksi isu-isu utama yang ditonjolkan kepada khalayak pembaca. Analisi framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir dalam wacana publik.55

Mengutip pernyataan Aditjondro dalam bukunya Sobur, proses framing merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak seperti wartawan maupun redaktur. Bahkan framing juga melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan. Framing menjadikan media massa sebagai arena pertarungan informasi antara pihak-pihak yang terlibat konflik tertentu untuk mendapatkan dukungan pembaca melalui pandangan yang ditampilkan dalam surat kabar.

53

Littlejohn dan Foss,op.cit., hal 416.

54

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal 163.

55


(52)

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan jika analisis framing merupakan bagian dari strategi pekerja media untuk menyebarkan nilai-nilai yang diyakininya melalui perangkat framing seperti teks, gambar, foto, karikatur maupun repetisi untuk memperkuat realitas yang hendak ditonjolkan. Proses framing juga berkaitan erat dengan aspek kognitif wartawan ketika mengkonstruksi kembali realitas yang diliputnya dalam bentuk tulisan.

Berbicara tentang analisis framing, setidaknya ada empat model yang dikemukakan sejumlah tokoh. Pertama, model Murray Edelman yang membicarakan framing dalam bentuk kategorisasi, dimana kategori merupakan alat bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak.56 Model kedua diungkapkan oleh Robert Entman yang melihat framing dalam dua aspek yaitu seleksi isu dan penonjolan isu-isu tertentu.

Selanjutnya, model yang dibentuk William A. Gamson dan Modigliani.Framing, dalam pandangan Gamson dan Modigliani berupa kemasan (package) yang terdiri atas perangkat framing (framing device) dan perangkat penalaran (resoning devices). Kemasan yang dimaksud tersebut lebih ke arah cara pandang wartawan terhadap suatu realitas. Model terakhir adalah Pan dan Kosicki yang mengaitkan framing dengan konsepsi psikologi dan sosiologi.

56


(1)

Gambar 1.2

Objektivitas Menurut Westerstahl

Kebenaran Relevan Keseimbangan Netral

Informatif

(Sumber: Nurudin, 2009)

Unsur objektivitas pertama adalah faktualitas yang terdiri atas kebenaran dan relevan. Faktualitas ditandai dengan adanya unsur fakta yang benar-benar

terjadi yang berarti mensyaratkan kebenaran.46 Kebenaran juga bersifat akurat

dimana berita yang disajikan dengan penuh teliti, cermat dan tepat. Hal ini terkait dengan adanya kelengkapan unsur 5W dan 1H. Akurasi juga sangat menentukan

kredibilitas wartawan, dan dengan sendirinya juga kredibiltas media.47 Sedangkan

tingkat relevansi berhubungan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam berita dan proses seleksi, baik berupa narasumber dan kelayakan informasi yang ditampilkan.

Unsur kedua yaitu imparsialitas (independensi) yang mempunyai arti tidak menguntungkan salah satu pihak secara porsi atau nuansa atau keduanya sekaligus. Artinya, ketika mewawancarai para pihak terutama yang berkonfrontasi

46

Ibid, hal 82-83.

47

Ashadi Siregar dkk, Bagaimana meliput dan menulis berita untuk media massa (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal 215.

Objektivitas


(2)

langsung, dan memunculkannya dalam berita tidaklah cukup. Porsi dan nuansa

yang ditampilkan juga perlu dibuat berimbang.48 Imparsialitas sendiri bisa

tercapai dengan menyertakan unsur keseimbangan dan netral.

Berita yang disajikan harus seimbang. Keseimbangan disini terutama

menyangkut cover both sides yang umumnya identik dengan narasumber. Namun,

seringkali ketika meliput tentang berita konflik, cover both sides ini dipandang

tidak mencukupi sehingga muncul cover all sides. Cover all sides ini narasumber

tidak hanya mencakup pihak yang berkonflik tetapi juga pihak-pihak yang terimbas konflik. Wartawan saat meliput peristiwa maupun ketika menulis berita harus bersikap netral. Sikap netral disini diwujudkan dengan tidak memihak golongan (pihak) yang diwujudkan dalam bentuk opini penulis.

Selain unsur-unsur objektivitas tersebut yang telah disebutkan, namun tetap saja jika komponen objektivitas yang ada dirasa belum mencukupi. Banyak

wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsur adil (fairness) dan standar

kejujuran sebagai prinsip yang penting.49 Terkait unsur adil ini, Ishwara mengutip

surat kabar The Washington Post yang mempunyai standar mengenai sikap adil,

yaitu:

a. Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta-fakta yang penting. Jadi adil adalah

lengkap.

b. Berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil

adalah relevansi.

48

J.Anto& Pardede (ed),op.cit., hal 69.

49


(3)

c. Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak menggiring pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.

d. Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya

di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil menuntut keterus-terangan.

Salah satu hal hambatan yang dihadapi wartawan untuk bersikap objektif ketika meliput konflik adalah adanya sikap bias dalam wujud tulisan berita. Bias sendiri diartikan sebagai pandangan berat sebelah. Meskipun objektivitas sangat sulit untuk dilaksanakan secara penuh, namun ada beberapa cara untuk mendekati objektivitas. Wartawan hendaknya berhati-hati dalam memilih bahasa dan menghindari penggunaan label untuk menyebut kelompok tertentu. Dalam konflik

biasanya selalu muncul label-label, stigma atau cap.50

Selain itu, menurut Sudibyo yang mengutip pernyataan Merril ada tiga

cara untuk mencapai objektivitas. Pertama, pemisahan fakta dari pendapat.

Kedua, menyajikan pandangan terhadap berita tanpa disertai dimensi emosional.

Ketiga, berusaha untuk jujur dan seimbang, memberikan kesempatan kepada

seluruh pihak untuk menjawab dalam cara memberikan banyak informasi kepada khalayak.

Entman juga mengungkapkan setidaknya ada dua persyaratan utama untuk mencapai objektivitas berita yaitu depersonalisasi dan aspek keseimbangan. Depersonalisasi, menuntut reporter untuk tidak melibatkan ideologi mereka sendiri ke dalam pemahaman tentang berita atau penilaian-penilaian yang

50


(4)

berkaitan dengan substansi berita. Sedangkan aspek keseimbangan untuk mencapai posisi netral. Artinya, reporter menyajikan semua sisi pandangan dalam suatu konflik dan memberikan perhatian yang sama kepada pihak-pihak yang

terlibat dalam situasi konflik.51

Sementara itu untuk mencapai objektivitas, Tuchman menawarkan empat prosedur yang dapat dilakukan wartawan agar apa yang ditulis dapat disebut

sebagai objektif.52 Pertama, menampilkan semua kemungkinan konflik yang

muncul. Wartawan harusnya menampilkan fakta, tetapi fakta yang dimaksud

kadang sukar ditemukan. Kedua, menampilkan fakta-fakta pendukung. Prosedur

lain dari objektivitas yang dapat dikenali dalam tulisan adalah ada fakta-fakta pendukung dalam tulisan sehingga apa yang disajika wartawan bukanlah opini ah pribadi wartawan.

Ketiga, Pemakaian kutipan pendapat. Prosedur standar lain adalah adanya

pemakaian kutipan untuk menyatakan bahwa apa yang ditampilkan benar-benar

bukan pendapat wartawan dan pendapat pakar politik tertentu. Terakhir,

menyusun informasi dalam tata urutan tertentu. Bagian lain dari tulisan yang objektif adalah menyusun berbagai komentar, aneka informasi, beragam fakta ke dalam tata susunan berita tertentu. Rangkaian prosedur tersebut dapat dijadikana sebagai jaminan dan pertanggungjawaban wartawan kepada khalayak.

E.6 Analisis Framing

Istilah framing (pengerangkaan atau pembingkaian) pertama kali diterapkan Todd Gitlin pada komunikasi massa ketika ia meneliti cara CBS

51

Sudibyo,op.cit., hal 75.

52


(5)

membuat gerakan pelajar pada tahun 1960-an menjadi tidak penting.53 Gitlin

menyatakan, frame sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Ia

menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita dimana para jurnalis memproses sejumlah besar informasi secara cepat dan rutin,

sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak.54

Proses framing dalam kajian komunikasi pada umunya digunakan untuk memaknai realitas yang telah dibentuk wartawan dalam teks berita. Melalui framing inilah maka wartawan menseleksi isu-isu utama yang ditonjolkan kepada khalayak pembaca. Analisi framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang

hadir dalam wacana publik.55

Mengutip pernyataan Aditjondro dalam bukunya Sobur, proses framing merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak seperti wartawan maupun redaktur. Bahkan framing juga melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan. Framing menjadikan media massa sebagai arena pertarungan informasi antara pihak-pihak yang terlibat konflik tertentu untuk mendapatkan dukungan pembaca melalui pandangan yang ditampilkan dalam surat kabar.

53

Littlejohn dan Foss,op.cit., hal 416.

54

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal 163.

55


(6)

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan jika analisis framing merupakan bagian dari strategi pekerja media untuk menyebarkan nilai-nilai yang diyakininya melalui perangkat framing seperti teks, gambar, foto, karikatur maupun repetisi untuk memperkuat realitas yang hendak ditonjolkan. Proses framing juga berkaitan erat dengan aspek kognitif wartawan ketika mengkonstruksi kembali realitas yang diliputnya dalam bentuk tulisan.

Berbicara tentang analisis framing, setidaknya ada empat model yang dikemukakan sejumlah tokoh. Pertama, model Murray Edelman yang membicarakan framing dalam bentuk kategorisasi, dimana kategori merupakan

alat bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak.56 Model kedua

diungkapkan oleh Robert Entman yang melihat framing dalam dua aspek yaitu seleksi isu dan penonjolan isu-isu tertentu.

Selanjutnya, model yang dibentuk William A. Gamson dan

Modigliani.Framing, dalam pandangan Gamson dan Modigliani berupa kemasan

(package) yang terdiri atas perangkat framing (framing device) dan perangkat

penalaran (resoning devices). Kemasan yang dimaksud tersebut lebih ke arah cara

pandang wartawan terhadap suatu realitas. Model terakhir adalah Pan dan Kosicki yang mengaitkan framing dengan konsepsi psikologi dan sosiologi.

56


Dokumen yang terkait

Analisis Peningkatan Kualitas Surat Kabar Waspada Berdasarkan Penilaian Terhadap Atributnya

0 17 136

KONSTRUKSI SURAT KABAR DALAM PEMBERITAAN TENTANGPEMBERIAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL KEPADA GUS DUR(Analisis Framing Berita pada Surat Kabar Harian Jawa Pos dan Kompas Edisi 3-5 Januari 2010)

0 19 3

BINGKAI SURAT KABAR DALAM PEMBERITAAN KERUSUHAN PASCA PILKADA KABUPATEN TUBAN (Analisis Framing Teks Berita pada Surat kabar Jawa Pos dan Kompas edisi 30 Apri - l6 Mei 2006)

0 3 2

KONSTRUKSI SURAT KABAR DALAM PEMBERITAAN TENTANG PONARI(Analisis Framing Berita di Harian Jawa Pos dan Surya Edisi 10 Februari 03 Maret 2009)

0 6 1

KONSTRUKSI PEMBERITAAN "NEGARA ISLAM INDONESIA" DI SURAT KABAR (Analisis Framing di Surat Kabar Kompas dan Republika Edisi 1-5 Mei 2011)

0 19 41

PENDAHULUAN KONSTRUKSI SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DALAM PEMBERITAAN BAKTERI SAKAZAKII PADA SUSU FORMULA BULAN FEBRUARI 2011 (Studi Analisis Framing Dalam Pemberitaan Bakteri Sakazakii Pada Surat Kabar Harian Kompas Bulan Februari 2011).

0 5 21

PENUTUP KONSTRUKSI SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DALAM PEMBERITAAN BAKTERI SAKAZAKII PADA SUSU FORMULA BULAN FEBRUARI 2011 (Studi Analisis Framing Dalam Pemberitaan Bakteri Sakazakii Pada Surat Kabar Harian Kompas Bulan Februari 2011).

0 3 23

PENDAHULUAN PEMBERITAAN KASUS KECELAKAAN BUS SUMBER KENCONO DI SURAT KABAR HARIAN JAWA POS (Analisis Framing Pemberitaan Kasus Kecelakaan Bus Sumber Kencono di Surat Kabar Harian Jawa Pos pada Edisi 13 September 2011).

0 4 24

PENUTUP PEMBERITAAN KASUS KECELAKAAN BUS SUMBER KENCONO DI SURAT KABAR HARIAN JAWA POS (Analisis Framing Pemberitaan Kasus Kecelakaan Bus Sumber Kencono di Surat Kabar Harian Jawa Pos pada Edisi 13 September 2011).

0 2 89

KAJIAN GAYA BAHASA HIPERBOLA PADA CERPEN DI SURAT KABAR JAWA POS EDISI FEBRUARI-APRIL 2011 Kajian Gaya Bahasa Hiperbola pada Cerpen di Surat Kabar Jawa Pos Edisi Februari - April 2011.

0 1 13