Adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Propinsi Jawa Barat

(1)

ADOPSI INOVASI POLA KEMITRAAN

AGRIBISNIS SAYURAN

DI PROPINSI JAWA BARAT

NINUK PURNANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran Di Propinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun kecua li bahan rujukan yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2006


(3)

Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh BASITA GINTING, MARGONO SLAMET, ASEP SAEFUDDIN, dan SOEDIJANT O PADMOWIHARDJO.

Petani sayuran sering dihadapkan pada masalah pemasaran produknya, karena ketidakpastian permintaan pasar atau produksi melimpah. Adanya kepastian pasar dan harga sebelum sayuran ditanam, menguntungkan bagi petani karena hasil sayuran mempunyai ka rakteristik mudah rusak.

Penerapan pola kemitraan bertujuan untuk mengatasi masalah -masalah keterbatasan modal dan teknologi bagi petani kecil, peningkatan mutu produk, dan masalah pemasaran. Melihat potensi dan tantangan penerapan pola kemitraan sebagai suatu inovasi dalam peningkatan kinerja petani kecil, maka penting menganalisis: proses keputusan inovasi petani dalam menerima dan menolak pola kemitraan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kedua, menganalisis manfaat pola kemitraan bagi petani dan mitranya baik perusahaan, koperasi maupun pedagang pengumpul. Ketiga, merancang strategi kemitraan yang berkelanjutan.

Penelitian menggunakan metode studi kasus kolektif di lima perusahaan agribisnis dan satu koperasi yang menerapkan pola kemitraan agribisnis di Jawa Barat: Bogor, Cianjur, Bandung, dan Garut. Populasi penelitian adalah petani di sekitar perusahaan dan koperasi, dengan unit analisis rumahtangga tani.

Proses pengambilan keputusan petani dalam pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Jadi pihak yang berperan dakam proses keputusan bermitra adalah: petugas atau pihak mitra, teman sesama petani dan keluarga petani.

Beberapa alasan petani untuk memutuskan bermitra adalah adanya jaminan pemasaran hasil, tersedia bibit, pupuk, dan pestisida, produktivitas yang lebih tinggi, ada pendampingan petugas, dan meniru petani lain. Beberapa peubah mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan proses bermitra, dan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi. Keterlibatan petani dala m pola kemitraan memberi manfaat pada peningkatan pendapatan, penggunaan teknologi produksi, panen dan pasca panen, pestisida tepat guna, peningkatan mutu produk, penyerapan tenaga kerja dan modal. Adanya kesinambungan usaha bagi petani merupakan salah satu manfaat pola kemitraan dari aspek sosial.

Strategi penerapan pola kemitraan agribisnis antara petani dan perusahaan, koperasi dan pedagang pengumpul, sebaiknya dilakukan dengan: menghindari perlakuan yang tidak adil, manipulasi, dan eksploitasi satu pihak oleh pihak lain, mempermudah prosedur dan aturan bermitra. Sarana transportasi dan telekomunikasi yang memadai sangat mendukung pengembangan agribinis melalui pola kemitraan.


(4)

ABSTRACT

NINUK PURNANINGSIH. Adoption of Partnership Innovation for Vegetables Agribusiness in West Java. Under the direction of BASITA GINTING, MARGONO SLAMET, ASEP SAEFUDDIN, and SOEDIJANTO PADMOWIHARDJO.

Vegetable farmers often face problem on selling their produces, due to the uncertainty of market demands or due to the over supplies. If market and prices could be established prior to the vegetable planting, it is expected to benefit farmer through the guaranteed market for their perishable produces. Partnership between farmer and trading company may be an option to overcome the marketing problems.

The aims of farmers to establish a partnership with trading companies or with cooperative are to overcome problems of lack of technology and capital limitations, to improve quality of produces, and to solve problems of marketing. Considering the challenges and potencies in adopting the innovative partnership it is important to analyze, the rational of farmer’s decision-making process in accepting or rejecting partnership. The second objective , to analyze partnership benefit for farmers, companies, cooperative, and traders. Thirdly, to design strategy for maintaining partnership sustainability.

This research applied collective case study method in five agribusiness companies and a cooperatives in West Java, i.e. Bogor, Cianjur, Bandung, and Garut. The research population consisted of farmers who operate farms at near by the company and co operatives locations; the analysis unit was based on farmer’s household.

Farmer decisio n-making process in establishing partnership involves an active interaction between farmers and company or cooperative agents, which then to be disseminated to other farmer and their families. Reasons for farmers to decide of having partnership with companies and cooperative are : marketing guarantee, provision of seed, fertilizers, and pesticide by companies or cooperative, expecting a high vegetable productivity, avalability of technical assistance , or following examples of other farmers.

Variables to be considered influencing the decision process for having partnership, included: certainty of market, farming experience, perception of procedural complexity, and transportation-telecommunications availability.

Involvement of farmers in partnership affected on the improvement of farmers income, the adoption of production and handling technology, the application of appropriate pesticide, absorp tion of labor, and the investation of capital. Involvement of farmer in the partnership also affected on the continuity of farm business.

Applying partnership between small farmer and trading companies can be strengthened avoiding manipulation, exploitation, and reducing complexity of partnership procedures. Transportation and telecommunications availability supported the partnership bond on business development.


(5)

 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

ADOPSI INOVASI POLA KEMITRAAN

AGRIBISNIS SAYURAN

DI PROPINSI JAWA BARAT

NINUK PURNANINGSIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul Disertasi : Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat

Nama : Ninuk Purnaningsih

NRP : 995058

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting, MA Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, M.Sc. Ketua Anggota

Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Prof. Dr. Soedijanto Padmowihardjo

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Amri Djahi M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran, di Propinsi Jawa Barat ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2004 sampai Mei 2005.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Basita Ginting, MA, Bapak Prof. Dr. R. Margono Slamet, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Soedijanto Padmowihardjo, selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir Puji Mulyono, M.Si., Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc., Bapak Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S., dan Bapak Dr. Ir. Sumardjo, M.S. selaku anggota panel pakar yang telah banyak memberi saran perbaikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf, atas kesempatan studi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, atas beasiswa yang diberikan, Pimpinan beserta staf PT Saung Mirwan, Bina Sarana Bakti, Pacet Segar, Kem Farm, PT Joro, Koperasi Mitra Suka Maju, Pondok Pesantren Al Ittifaq, dan masyarakat petani sekitar yang telah bersedia memberikan informasi yang diperlukan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ir Gunardi, MA., Ibu Ir. Sarwititi, M.S., Bapak Dr. Ir. Juara Lubis, M.S., Bapak Dr.Ir. M.Felix Sitorus,M.S., Bapak Ir Iman K.Nawireja, M.Si, Ibu Ir.Dwi Rahmina, M.S., Ibu Dra.Yusalina, M.Si dan Bapak Dr.Ir. Hari Wijayanto, M.S., atas diskusi dan pinjaman buku-bukunya. Terima kasih juga disampaikan kepada Elis Fauziah, SP., Irma Nurlaila Maya, SP., Ne lvia Agustina SP., Yeni, SP., Nurarifah, SP., Rika Tiorista, SP., yang telah membantu mengumpulkan dan mengolah data. Terakhir ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orangtua yaitu Bapak Samin (Alm) dan Ibu Praptiningsih, keluarga penulis, suami dan anak-anak atas segala doa dan kasih sayangnya.

Bogor, Maret 2006


(9)

sebagai anak kedua dari pasangan Samin (Alm) dan Praptiningsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian IPB lulus tahun 1992. Pada tahun 1995 penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Program Pascasarjana IPB dan lulus pada bulan Januari tahun 1999. Pada bulan September tahun yang sama penulis memperoleh kesempatan melanjutkan ke program doktor dengan beasiswa dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1993, sebagai tim pengajar untuk mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi, Komunikasi Bisnis, Pengembangan Masyarakat, dan Sosiologi Umum. Penulis pernah menjadi staf pengajar tidak tetap di Fakultas Pertanian Universitas Borobudur Jakarta untuk mata kuliah Ekonomi Pertanian.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi Sekretaris Bagian Ilmu-ilmu Sosial Komunikasi dan Ekologi Manusia, menjadi tim pengajar mata kuliah Pengantar Pengembangan Masyarakat, Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Pascasarjana IPB, serta menjadi staf pengajar tidak tetap di Universitas Al Zaytun, Indramayu untuk mata kuliah Sosiologi Pertanian. Sebuah artikel berjudul Kebiasaan Petani dalam Menggunakan Sumber Informasi Pertanian telah diterbitkan pada Mimbar Sosek Desember 2002. Karya ilmilah berjudul Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Proses Pengambilan Keputusan Petani Dalam Kegiatan Agribisnis Sayuran telah disajikan pada Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian yang dibiayai oleh DIKTI, di Jakarta pada bulan Juli 2003, dan diterbitkan pada Mimbar Sosek, April 2004. Berdasarkan pengalaman kedua karya ilmiah tersebut penulis menemukan minat bidang kajian dan topik disertasi.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Kegunaan Hasil Penelitian ... 6

Definisi Istilah ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Pengertian Agribisnis ... 8

Perkembangan Bisnis Sayuran di Jawa Barat ... 9

Proses Pengambilan Keputusan Petani Sayuran ... 19

Petani dan Permasalahannya ... 20

Hubungan Sosial Petani, Keluarganya dan Komunitasnya ... 22

Perilaku Petani... 25

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani ... 31

Pola Kemitraan ... 37

Model Tahapan dan Proses Keputusan Adopsi Inovasi ... 45

Perilaku Kewirausahaan ... 49

Analisis Regresi ... 52

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 56

Kerangka Pemikiran ... 56

Hipotesis Penelitian ... 58

METODE PENELITIAN ... 59

Populasi dan Sampel ... 59

Rancangan Penelitian ... 60

Data dan Instrumentasi ... 61

Data ... 61

Instrumentasi ... 68

Analisis Validitas ... 68

Analisis Reliabilitas ... 70

Pengumpulan Data ... 71

Tahapan Pengumpulan Data ... 71

Analisis Data ... 73

GAMBARAN PENERAPAN POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS SAYURAN DI JAWA BARAT ... 74

Pengertian Inovasi Pola Kemitraan ... 74

Penerapan Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Jawa Barat .. 75

Pacet Segar ... 75

Kem Farm ... 78

Bina Sarana Bakti ... 82

PT Saung Mirwan ... 84

Koperasi Mitra Suka Maju ... 86


(11)

Batas Kewenangan ... 94

Aspek Kepemilikan ... 95

Pengaturan Kegiatan ... 95

PROFIL PETANI SAYURAN ... 100

Umur dan Tingkat Pendidikan ... 101

Pekerjaan Utama dan Sampingan ... 102

Lama Berusaha Tani ... 103

Dimensi Usaha ... 104

Tingkat Kebutuhan Bermitra... 111

Sifat Kewirausahaan ... 112

Faktor Lingkungan ... 114

Tingkat Konformitas Petani dalam Lingkungannya ... 114

Tingkat Ketersediaan Sarana Transportasi dan Telekomunikasi ... 115

Tingkat Ketersediaan Sarana Pembelajaran ... 116

Tingkat Ketersediaan Sarana Kredit ... 116

Sumber Informasi yang Digunakan ... 118

Pengetahuan Petani Tentang Pola Kemitraan ... 118

Persepsi Petani Tentang Po la Kemitraan ... 119

Penggunaan Teknologi Usahatani ... 121

Penggunaan Pestisida Tepat Guna ... 121

ADOPSI INOVASI POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS SAYURAN ... 123

Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Pola Kemitraan ... 123

Alasan Bermitra ... 126

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keputusan Bermitra 134 Alasan Berhenti Bermitra ... 141

Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keputusan Bermitra ... 144

MANFAAT POLA KEMITRAAN BAGI PETANI DAN MITRANYA... 149

Manfaat Pola Kemitraan Bagi Petani ... 149

Manfaat Pola Kemitraan Secara Ekonomi ... 149

Manfaat Pola Kemitraan Secara Teknis ... 153

Manfaat Pola Kemitraan Secara Sosial ... 157

Manfaat Pola Kemitraan Bagi Perusahaan, Koperasi dan Pedagang Pengumpul ... 159

STRATEGI KEMITRAAN AGRIBISNIS BERKELANJUTAN ... 163

Makna Agribisnis Bagi Petani: Mencari Keuntungan dari Hasil Usahtaninya ... 163

Perubahan Jenis sayuran Awal Bisnis Sayuran ... 164


(12)

Strategi Kemitraan Agribisnis Sayuran Berkelanjutan ... 178

Mengapa Harus Bermitra ? ... 179

Siapa yang Bermitra ? ... 180

Pola Apa yang Diterapkan ... 183

Bagaimana Penerapan Pola Kemitraan... 185

KESIMPULAN DAN SARAN ... 189

Kesimpulan ... 189

Saran ... 190

DAFTAR PUSTAKA ... 193

LAMPIRAN ... 197


(13)

No. Halaman

1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 1993 dan Tahun 2003. 10 2 Jumlah Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran

(dalam Ton) Tahun 1993 dan Tahun 2003 ... 11

3 Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian Tahun 1993 dan Tahun 2003 ... 11

4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran - di Jawa Barat... 13

5 Perusahaan Agribisnis di Bogor ... 14

6 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur ... 16

7 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung ... 17

8 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Garut... 18

9 Populasi dan Sampel Pe tani Mitra dan Non Mitra... 60

10 Kisaran Nilai Koefesien Korelasi Item Pertanyaan dalam Satu Peubah ... 70

11 Jenis Kegiatan, Pengambil Keputusan dan Penanggungjawab Kegiatan l ... 96

12 Jenis Kegiatan Pendampingan dan Penerapannya ... 98

13 Jumlah Petani Menurut Status dan Lokasi ... 100

14 Persentase Petani Menurut Umur dan Pendidikan ... 101

15 Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Jawa Barat ... 102

16 Persentase Petani Menurut Pekerjaan Utamanya ... 102

17 Persentase Petani Menurut Pekerjaan Sampingannya ... 102

18 Persentase Petani Menurut Lama Berusahatani ... 103

19 Persentase Petani Me nurut Riwayat Pekerjaannya ... 104

20 Persentase Petani Menurut Luas Lahan ... 105

21 Luas Lahan Petani Responden Berdasarkan Status... 106

22 Jumlah dan Persentase Petani Mitra Menurut Jenis Sayuran ... 107

23 Jumlah dan Persentase Petani Non Mitra Menurut Jenis Sayuran ... 108

24 Persentase Petani Menurut Jumlah Sayuran yang Ditanam ... 109 xii


(14)

25 Persentase Petani Menurut Kepastian Pasar ... 111 26 Persentase Petani Menurut Kebutuhan Bermitra ... 112 27 Persentase Petani Menurut Sifat Kewirausahaan... 113 28 Persentase Petani Menurut Daya Dukung Lingkungan

Sosial Ekonomi... 114 29 Persentase Petani Menurut Ciri Kesamaan Lingkungan ... 114

30 Persentase Petani Menurut Ketersediaan Sarana Transportasi

dan Telekomunikasi ... 115 31 Persentase Petani Menurut Ketersediaan Sarana Pembelajaran . 116 32 Persentase Petani Menurut Kete rsediaan Sarana Kredit Bank ... 116 33 Persentase Petani Menurut Ketersediaan Sarana Kredit

dari Perusahaan Mitra ... 117

34 Persentase Petani Menurut Ketersediaan Sarana Kredit dari

Koperasi... 117 35 Persentase Petani Menurut Ketersediaan Sarana Kredit dari Relasi 118 36 Persentase Petani Menurut Sumber Informasi yang Digunakan .. 118

37 Persentase Petani Menurut Pengetahuan Tentang Pola

Kemitraan ... 119

38 Persentase Petani Menurut Persepsinya Tentang

Ciri Inovasi Pola Kemitraan ... 120

39 Persentase Petani Menurut Tingkat Penggunaan Teknologi

Usahataninya... 121

40 Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pengetahuan, Sikap

dan Tindakan Penggunaan Pestisida Tepat Guna ... 122

41 Jumlah dan Persentase Petani yang Mendapat Pengaruh dari Pihak tertentu untuk Mengadopsi Pola Kemitraan ... 125 42 Persentase Petani Menurut Alasan Bermitra (N=216)... 126 43 Jumlah dan Persentase Petani Menurut Jenis Sayuran yang

Dimitrakan Di Wilayah Bogor... 130

44 Jumlah dan Persentase Petani Menurut Jenis Sayuran yang

Dimitrakan Di Wilayah Cianjur ... 131

45 Jumlah dan Persentase Petani Menurut Jenis Sayuran yang

Dimitrakan Di Wilayah Bandung ... 132

46 Jumlah dan Persentase Petani Menurut Jenis Sayuran yang

Dimitrakan Di Wilayah Garut... 133 47 Peubah yang Mempengaruhi Keputusan Bermitra ... 135


(15)

49 Ringkasan tentang Peubah yang Mempengaruhi Keputusan

Bermitra ... 145

50 Persentase Petani Menurut Penilaiannya Tentang

Pendapatan Setelah Bermitra ... 149

51 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani ... 150

52 Persentase Petani Menurut Persepsinya tentang Harga

pada Pola Kemitraan ... 151

53 Persentase Petani Menurut Persepsinya tentang Produktivitas

Lahan pada Pola Kemitraan ... 151

54 Uji T Penggunaan Saprodi dan Tenaga Kerja untuk Usahatani

Kemitraan atau Non Kemitraan... 152

55 Persentase Petani Menurut Persepsinya tentang Resiko

Usaha pada Pola Kemitraan... 153

56 Persentase Petani Menurut Persepsinya tentang Penggunaan

Teknologi pada Pola Kemitraan ... 154

57 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Teknologi dan

Pestisida Tepat Guna ... 155

58 Persentase Petani Menurut Persepsinya tentang

Mutu Produk yang Dihasilkan pada Pola Kemitraan ... 156

59 Persentase Petani Menurut Pernyataan tentang Kelanjutan

Kerjasana dalam Pola Kemitraan ... 157

60 Persentase Petani Menurut Dugaannya tentang Keinginan

Perusahaan untuk Melanjutkan Kerjasama dengan Petani ... 157

61 Persentase Pengeluaran untuk Konsumsi Pangan

dari Pengeluaran Total... 159

62 Perbandingan Persentase Konsumsi Pangan Untuk Petani

Mitra dan Non Mitra ... 159

63 Perubahan Jenis Sayuran Setelah Adanya Perusahan Agribisnis di Lokasi Penelitian... 165


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu dengan Koperasi sebagai

Channeling Agent... 43

2 Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu dengan Koperasi sebagai

Executing Agent ... 43

3 Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dalam

Kemitraan Terpadu ……...……….………... 44

4 Model Tahapan dalam Proses Pengambilan Keputusan

Adopsi ... 45

5 Kerangka Berfikir: Manfaat Kemitraan Agribisnis Bagi Petani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan

Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran…... 57


(17)

1 Sketsa Lokasi Penelitian di Jawa Barat ... 197

2 Contoh Program Kemitraan Terpadu ... 198

3 a Tabel Statistik Peubah ... 204

3 b Jumlah Petani Contoh ... 205

4 Catatan Kasus –Kasus Petani ... 206

5 a Kesesuaian Model Keputusan Inovasi Pola Kemitraan ... 236

5 b Classification Table ... 236

5 c Peubah yang Mempengaruhi Keputusan Bermitra ... 236

6 a Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani ... 237

6 b Jumlah dan Persentase Petani Contoh dan Asumsi yang harus dipenuhi untuk Uji Regresi Linier ... 237

6 c Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Teknologi, dan Pestisida Tepat Guna ... 238

6 d Perbandingan Rata -rata Persentase Sumbangan Pendapatan Usahataniterhadap Pengeluaran Total ... 239

7 Nama Lokal dan Nama Ilmiah Beberapa Jenis Sayuran... 240


(18)

197 198 199 200 201 202 203 204 205 206

207 208 209 210 211 212 213 214 215 215

216 218 219 220 221 222 223 224 225 225

217 226 228 229 230 231 232 233 234 235

227 238 239 240 241 236

237

Urutan dari Halaman Sampul

1. Sampul 2. Judul 3. Pernyataan 4. Abstrak 5. Abstract 6. Hak cipta

7. Judul: …Disertasi sebagai salah satu syarat…. 8. Lembar Pengesahan

9. Prakata

10.Riwayat Hidup 11.Daftar Isi 12.Daftar Tabel 13.Daftar Gambar 14.Daftar Lampiran


(19)

Kasus Petani

N o. KASUS PE TANI BOGOR Hal

Kasus 1. Bermitra untuk Menyalurkan Hobi dan Bisnis (BS, Desa

Pakacilan, Kec. Megamendung) 1

Kasus 2. Bermitra untuk Belajar dan Mengembangkan Usaha

(RD, Sukamaju, Megamendung) 3 Kasus 3. Berhenti Bermitra karena Rugi (SF, Megamendung) 5 Kasus 4. Bermitra Karena Ada Kepastian Pasar dan

Bimbingan Teknis (ON, Cisarua) 6 KASUS PE TANI CIANJUR

Kasus 5. Pedagang Pengumpul yang Bermitra dengan Perusahaan dan Petani (HM,Gunung Batu, Sindangjaya)

7

Kasus 6. Berhenti Bermitra dengan Perusahaan dan Mencari Pasar Sendiri (HS,Gunung Batu, Sindangjaya)

8

Kasus 7. Bermitra untuk Bisnis Brokoli (JJ, Galudra, Cugenang) 10 Kasus 8. Tidak Bermitra karena Masalah Modal dan Ketrampilan

Teknis Budidaya (HZ, Galudra, Cugenang)

11

Kasus 9. Pedagang Pengumpul dan Petani Brokoli:

Diberhentikan sebagai Mitra (AP, Galudra, Cugenang )

12

Kasus 10. Petani dan Pedagang Pengumpul Brokoli

(IM, Cipanas): Berhenti bermitra karena merasa dirugikan

13

Kasus 11. Petani Brokoli (PW, Cibodas):

Bermitra untuk Mendapatkan Kepastian Pemasaran

14

KASUS PE TANI BANDUNG

Kasus 12. Petani Paprika (STD, Pasirlangu, Cisarua):

Mendirikan Koperasi untuk Mempermudah Pemasaran

15

Kasus 13. Petani dan Pedagang Pengumpul Paprika (HR, Pasirlangu, Cisarua): Keluar dari Koperasi karena ingin mandiri.

17

Kasus 14. Petani dan Pedagang Pengumpul (DW, Pasirlangu): Bermitra untuk Berbisnis Paprika dan Bunga Hebras

18

Kasus 15. Petani Paprika (HB, Pasirlangu): Bermitra untuk Belajar Bertani Paprika

20

Kasus 16. Petani Paprika (AT, Pasirlangu): Bermitra dengan Beberapa Perusahaan

21


(20)

Kasus 17. Bermitra untuk Mengembangkan Usaha (YW, Pasirlangu) 22 Kasus 18. Petani Mitra (ZA, Alam E ndah, Rancabali):

Santri adalah Mitra Bisnis

23

Kasus 19. Petani Mitra (AS, Ciwidey, Bandung): Bermitra dapat meningkatkan produktivitas lahan, dan kesejahteraan petani

24

Kasus 20. Petani Mitra (KA, Ciburial, Ciwidey): Pemasaran lebih mudah, santri lebih produktif dengan bermitra

26

Kasus 21. Petani Mitra (AH, Alam E ndah, Rancabali) 27 KASUS PE TANI GARUT

Kasus 22. Berhenti Bermitra karena rugi terus (DT, Sukaresmi) 28 Kasus 23. Bermitra dengan Pemilik Green House dan Perusahaan

(SS, Cikajang) 30

Kasus 24. Petani Mitra (DD, Cibitung, Barusuda) 31


(21)

Latar Belakang

Kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan (UU No. 5 tahun 1995, PP RI No. 44 tahun 1997). Pola kemitraan agribisnis sayuran adalah suatu pola kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul, koperasi maupun perusahaan agribisnis dalam rangka menghasilkan mutu sayuran yang baik dan jumlah yang cukup, sesuai kebutuhan konsumen.

Penelitian tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran penting dilakukan karena dua alasan utama. Pertama, secara empiris berkaitan dengan potensi dan tantangan yang dihadapi dalam berbagai program kemitraan baik yang berkaitan dengan kepentingan praktis di lapangan maupun kebijakan. Pola kemitraan agribisnis sebagai suatu inovasi berpotensi untuk menjadi suatu strategi peningkatan pendapatan petani, melalui penggunaan teknologi, peningkatan mutu produk, pengaturan jumlah produk dan jadwal tanam.

Petugas pendamping dalam pola kemitraan agribisnis juga berpotensi sebagai mitra pemerintah dalam kegiatan penyuluhan pertanian , sehingga kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh petugas tersebut sejalan dengan kebija kan dan program pemerintah. Namun demikian, sampai saat ini pola kemitraan masih menghadapi banyak tantangan dalam rangka mencapai kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak-pihak yang bermitra, baik dalam aspek kemitraan, aspek produktivitas, aspek pemasaran, dan aspek kelembagaan. Banyak kasus penerapan pola kemitraan tidak bisa berlanjut karena berbagai alasan, baik alasan yang bersumber dari petani maupun perusahan, koperasi atau pedagang pengumpul.

Kedua, secara konseptual berkaitan dengan perkembangan kajian dan teori tentang adopsi inovasi pertanian. Menguji secara empiris teori adopsi, menganalisis fase-fase yang paling menentukan dalam keputusan adopsi pola kemitraan.


(22)

2

Pola kemitraan merupakan strategi dalam meningkatkan kinerja pelaku agribisnis khususnya petani/pengusaha kecil. Dalam pola kemitraan pihak perusahaan memfasilitasi pengusaha kecil dengan modal usaha, teknologi, manajemen modern dan kepastian pemasaran hasil, sedangkan pengusaha kecil melakukan proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari pihak pengusaha besar. Dengan memaksimalkan kekuatan-kekuatan dan meminimalkan kelemahan-kelemahan dari kedua belah pihak yang bermitra maka dalam hal ini pihak perusahaan maupun pengusaha kecil akan memperoleh keuntungan. Pihak perusahaan dapat memperoleh produk sesuai dengan kualitas yang dinginkan, mendapat jaminan pasokan bahan baku, dengan meminimal resiko kegagalan panen, tanpa biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Pengusaha kecil dapat belajar teknologi baru, mana jemen modern, budaya industri, dan adanya kepastian dalam memasarkan hasil panennya (PT. Cakrawa la Pengembangan Agro Sejahtera, 2003)

Dalam sejarahnya, pola kemitraan diawali dengan didirikannya lembaga terpadu yang disebut sebagai UPP (Unit Pelaksana Proyek) untuk mengembangkan kebun-kebun rakyat di Sumatera Utara, Cengkeh di Lampung, dan teh rakyat swasta nasional di Jawa Barat pada tahun 1973. Pada tahun 1977 berubah nama dan bentuk menjadi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleas Estate Small-holder (NES), di mana kebun-kebun baru dibuka dan keluarga-keluarga baru dalam suatu pemukiman baru, di sana ada perusahaan negara sebagai inti dan kebun -kebun rakyat sebagi plasma. PIR mula-mula dikembangkan di Sumatera selatan, kemudian Aceh dan Riau. Kemudian muncul PIR-Trasmigrasi yang dinilai lebih berhasil dibandingkan dengan PIR lain karena dalam Pola PIR-Transmigrasi ada dua areal yang dikelola oleh rakyat yaitu kebun milik perusahaan dan kebun milik rakyat yang diperoleh dari program transmigrasi. Peru sahaan inti memperoleh tambahan areal dan suplai bahan baku dan rakyat juga lebih diuntungkan karena lebih jelas dalam berproduksi dan memasarkan hasil (Yayasan Agrimedia, 1994).

Pada tahun 2000, muncul pola kemitraan dalam agribisnis, dengan sistem bag i hasil. Sistem ini merupakan cara menghimpun dana dari masyarakat untuk mengatasi masalah kekurangan modal usaha agribisnis - sebagai akibat terganggunya fungsi penyaluran kredit dari perbankan karena dampak krisis ekonomi sejak krisis ekonomi di pertengahan 1997. Pertumbuhan perusahaan agribisnis sistem “profit sharing” sangat pesat dari 11 perusahaan di tahun 2000”


(23)

menjadi 44 perusahaan pada bulan Maret 2002. Bidang usaha yang di tawarkan sangat beragam, dari yang bersifat musiman seperti budidaya sa yuran, ikan hias, ikan konsumsi (mujair/mas), hingga yang berumur tahunan seperti ternak sapi potong, kambing/domba, budidaya jati, dll. (Warsidi dalam Agrimedia, 2003)

Mengingat usaha agribisnis beresiko tinggi, pada kenyataannya pelaksanaan pola kemitraan tidak sebaik yang diharapkan seperti dalam konsep. Pola kemitraan menghadapi banyak masalah baik bersumber petani mitra maupun dari pihak perusahaan, yang menyebabkan pola kemitraan tidak berkelanjutan. Masalah-masalah yang dihadapi dalam pola kemitraan sepanjang sejarah mulai dari Pelita I seperti dilaporkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan (Yayasan Agrimedia, 1994) antara lain: (1) tidak mudah mengajak atau menggugah minat petani pemilik kebun untuk ikut dalam program tersebut, (2) Masalah internal keluarga petani pemilik kebun untuk menetapkan siapa yang berhak memutuskan segala sesuatu atas kebunnya, (3) Lokasi kebun yang terpencar-pencar, (4) Aparat atau pejabat yang berurusan dengan Unit Pelaksana Proyek (UPP) perkebunan rakyat tidak semuanya berpengalaman mengelola kebun berdasarkan kaidah-kaidah bisnis yang sehat dan menguntungkan.

Beberapa masalah yang dihadapi dalam pola kemitraan di era “agribisnis bagi hasil” berdasarkan penelusuran media massa, antara lain: (1) keberpihakan perusahaan mitra bukan pada petani kecil, (2) tidak semua petani punya akses, hanya yang memenuhi syarat tertentu saja, (3) informasi kerjasama tidak tersebar luas, hanya golongan tertentu saja, (4) pengetahuan petani tentang perbankan terbatas, keengganan untuk terlibat dengan kredit perbankan, memilih pedagang pengumpul sebagai sumber dana pada keadaan mendesak, dan (5) upah atau harga ditentukan oleh pihak perusahaan mitra

Penelitian–penelitian sebelumnya tentang pola kemitraan dan atau kewirausahaan petani-peternak menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan peternak mitra lebih baik dibandingkan peternak yang tidak bermitra, karena peternak yang bermitra memperoleh pembinaan yang intensif dari penyuluh (Suparta, 2001). Kegiatan berternak ayam buras maupun broiler bertujuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Perilaku wirausaha peternak dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berwirausahanya. Perilaku usaha peternak dipengaruhi oleh fungsi sistem agribisnis baik sistem input produksi, prose s produksi, maupun pemasarannya (Pambudy, 1999).


(24)

4

Perolehan keuntungan yang diterima oleh peternak dirasakan tidak adil yang mendorong peternak melakukan tindakan yang meyalahi kontrak terjanjian. Hal itu akan merugikan peternak sendiri, karena perusahaan tidak akan mentolerir tindakan tersebut dan akan mencari peternak baru yang lebih disiplin. Peranan penyuluh sangat penting dalam memotivasi petani untuk bertindak disiplin dan mempengaruhi persepsi petani tentang asas keadilan. (Suparta, 2001). Bila penyebab ketidakadilan dalam pembagian keuntungan tersebut berasal dari perusahaan, maka perlu perbaikan aturan-aturan dan manajemen dalam pola kemitraan sebab kalau tidak pola kemitraan tidak akan berkelanjutan.

Penelitian Hamidi (1997) tentang kemitraan petani, KUD, dan lembaga perbankan untuk usaha pembelian dan penggemukan sapi potong menemukan bahwa, kredit sangat berguna dalam meningkatkan pendapatan petani, namun petani harus dipersiapkan, dilatih, dan didampingi oleh penyuluh. Bila tidak, pemberian kredit usaha menjadi tidak efektif. Dari sisi lain petani menilai prosedur pemberian kredit terlalu panjang, mulai dari pembentukan kelompok, pelatihan, dan penyaluran kredit.

Penelitian Alamsyah (1997) tentang pola kemitraan karet rakyat mene mukan bahwa kewenangan penuh petani atas lahan usahataninya akan memotivasi petani untuk meningkatkan pengelolaan kebun dan produkstivitasnya. Keharusan memproduksi dengan tingkat mutu yang disepakati bukan berarti keterpaksaan, karena mutu yang baik akan dihargai dengan harga yang baik pula. Pengambilan keputusan didasarkan atas kepentingan dan penanggungan resiko di antara pelaku. Dari analisis kelembagaan disimpulkan bahwa pola kerja sama dalam kemitraan adalah mitra sejajar bukan “patron -klien”, buka n “principle-agent”. Masing-masing pelaku menjaga keharmonisan, karena pola kemitraan akan dipertahankan selama saling menguntungkan, jika tidak maka ditinggalkan.

Penelitian ini secara khusus me mfokuskan pada petani di mana kegiatan mereka pada subsistem produksi, sedangkan sub -sub sistem selain produksi dilakukan bersama-sama stakeholder lainnya yaitu perusahaan mitra, koperasi, dan pedagang pengumpul. Konsep kemitraan mengacu pada konsep meminimalkan resiko dan memaksimalkan kekuatan -kekuatan melalui upaya-upaya kerjasama antar stakeholder.


(25)

bermitra dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra, serta menganalisis manfaat pola kemitraan, maka penelitian ini mengambil kasus penerapan pola kemitraan antara pedagang pengumpul, koperasi dan beberapa perusahaan dengan para petani di empat kabupaten penghasil sayuran di Jawa Barat. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor yang saling terkait yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra. Karakteristik individu petani, dan kondisi lingkungan dalam hal ini lingkungan sosial ekonomi secara umum termasuk budaya diduga mempengaruhi keragaman keputusan petani untuk bermitra. Faktor budaya petani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi petani tentang ciri inovasi yang diterapkan pada pola kemitraan dan pada akhirnya akan mempengaruhi juga pada keputusan petani dalam bermitra.

Masalah Penelitian

Dalam penerapan pola kemitraan sebagai strategi peningkatan kinerja petani kecil, telah banyak pihak yang melakukan intervensi pada komunitas petani baik pedagang pengumpul, koperasi atau perusahaan, maka masalah penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana proses petani bermitra dengan pedagang pengumpul, koperasi atau dengan perusahaan tersebut dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra atau tidak bermitra?

Kedua, apakah manfaat pola kemitraan bagi petani dan mitranya ? Manfaat bagi petani diidentifikasi dari: (1) apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat membantu petani dalam meningkatkan mutu produk, dalam penguasaan teknologi, serta dalam mengatasi masalah modal dan pemasaran. (2) Adakah petugas perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul yang mendampingi petani dalam mencapai mutu produk yang diharapkan ? (3) Apakah kerjasama petani dalam pola kemitraan dapat membantu petani memperoleh pendapatan yang kontinyu, serta meningkatkan kesejahteraan petani ? Manfaat bagi pihak perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul, dapat diidentifikasi dari: (1) apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat memenuhi kebutuhan produk secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dan bermutu baik ? Apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat mengurangi resiko dan biaya produksi ?

Ketiga, bagaimana strategi kemitraan yang berkelanjutan ? Dengan mempelajari beberapa kasus penerapan pola kemitraan di lokasi penelitian


(26)

6

dengan segala potensi dan masalahnya, kemudian disusun bagaimana strategi kemitraan yang dapat memberikan ma nfaat bagi petani dan juga perusahaan, koperasi dan pedagang pengumpul, sehingga dapat berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Secara spesifik penelitian ini berupaya:

(1) Menganalisis pihak yang berperan dalam proses keputusan adopsi inovasi pola kemitraan oleh petani.

(2) Mengeksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani untuk bermitra, khususnya faktor individu, kondisi lingkungan dan persepsi petani terhadap inovasi pola kemitraan agribisnis.

(3) Menganalisis manfaat pola kemitraan bagi petani dan mitranya, dan (4) Merancang strategi kemitraan agribisnis yang berkelanjutan

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk:

(1) Para petugas yang melakukan kegiatan pendampingan pada para petani, dalam mengembangkan pola ke mitraan dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani kecil.

(2) Para praktisi budidaya dan pemasaran sayuran, untuk memahami budaya petani kecil yang mempengaruhi perilaku kerjanya.

(3) Kalangan akademisi, kajian ini merupakan bahan pembanding tentang keberlakuan konsep atau teori-teori adosi inovasi yang ada sebelumnya atau untuk memodifikasi teori sebelumnya.

Definisi Istilah

(1) Keputusan adopsi adalah tahap di mana petani memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Keputusan ini didasarkan atas persepsinya tentang ciri-ciri inovasi tersebut.

(2) Profil petani adalah gambaran tentang karakteristik individu petani dan karakteristik lingkungan petani.

(3) Persepsi tentang ciri inovasi adalah penilaian petani tentang ciri inovasi pola kemitraan meliputi keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemungkinan dicoba, dan kemungkinan dilihat hasilnya.


(27)

sayuran dengan mutu baik, jumlah yang cukup dan terus menerus (“quality, quantity, continuity” ) yang diidentifikasi dari penggunaan teknologi produksi dan pasca panen, serta penggunaan pestisida tepat guna.

(5) Agribisnis adalah suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan beberapa subsistem dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm), seperti bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alat-alat pertanian; dan pakan ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan pembenihan, budidaya perikanan; peternakan; perkebunan; pertanian. (3) Subsistem agribisnis hilir ( down-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa -jasa penunjang, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang kegiatan-kegiatan sektor agribisnis, seperti agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/keuangan.

(6) Pola Kemitraan Agribisnis adalah pola kerjasama antara petani kecil dengan perusahaan agribisinis, koperasi atau pelaku agribisnis lain dalam kurun waktu tertentu.

(7) Organisasi Profit adalah organisasi yang bertujuan memperoleh keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukan.

(8) Profit Sharing adalah suatu pola kerjasama/ kemitraan untuk melakukan suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan diantara pelakunya sesuai aturan atau kesepakatan sebelumnya.

(9) Patron klien suatu bentuk kerjasama untuk melakukan kegiatan usaha tertentu di mana satu pihak sebagai patron dan pihak lain sebagai klien. Dalam pola kerjasama ini, patron biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih beasr dibandingkan kliennya, dengan pola kerjasama subordinat. (10) Principle-agent adalah pola kerjasama keagenan, di mana satu perusahaan

besar bekerjasama dengan beberapa agen, baik dalam distribusi input produksi maupun dalam pemasaran hasil produksi.

(11) Stakeholder adalah pihak-pihak terkait dalam suatu pola

kerjasama/kemitraan usaha.

(12) Komunitas petani adalah sekumpulan petani yang hidup menetap dalam sutu wilayah terten tu, berinteraksi secara intentif satu sama lain karena secara psikologis terikat oleh nilai-nilai, dan kebutuhan tertentu.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Agribisnis

Pengertian agribisnis, menurut Soeharjo (Hernanto,1996), mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada tata niaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya. Berdasarkan konsep ini agribisnis digambarkan sebagai sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem, yaitu (a) subsistem pembuatan dan penyaluran sarana produksi pertanian (farm supplies), (b) subsistem kegiatan produksi dalam usahtani yang menghasilkan bermacam-macam produk pertanian, dan (c) subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyaluran produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen.

Dalam perkembangannya konsep agribisnis di atas kemudian disempurnakan menjadi suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan beberapa subsistem dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm),seperti bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alat-alat pertanian; dan pakan ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan pembenihan, budidaya perikanan; peternakan; perkebunan; pertanian. (3) Subsistem agribisnis hilir (down -stream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi kegiatan -kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/ keuangan.

Kaitan antar satu subsistem dengan subsistem lainnya sangat erat dan penting, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan keseluruhan sistem itu terganggu. Oleh karena itu, memahami kaitan-kaitan ini dan peranan lembaga-lembaga penunjangnya (seperti bank, koperasi, peraturan pemerintah, angkutan, pasar dan lainnya)merupakan salah satu tujuan penting dalam agribisnis. Demikian pula mengenai pelaku setiap subsistem dan teknologi yang digunakan.

Dalam kegiatan agribisnis yang masih sederhana bentuknya, kegiatan ketiga subsistem ini dilakukan oleh seorang pelaku (one person agribusiness). Sarana produksi yang digunakan berasal dari hasil-hasil pertanian (kompos, kotoran ternak), sedangkan proses pengolahan hasil usahataninya masih


(29)

sederhana dan penjualannya masih terbatas ke pasar sekitarnya.

Dalam agribisnis yang telah berkembang mencapai tahap yang maju, terdapat pembagian tugas yang mendasar antara berbagai fungsi karena corak dan sifat pertanian yang semakin kompleks. Pembagian tugas ini sejalan dengan penemuan dan penerapan teknologi baru serta meningkatnya pendapatan konsumen.

Perkembangan Bisnis Sayuran Di Jawa Barat

Paparan tentang perkembangan bisnis sayuran di Jawa Barat akan diawali dengan gambaran umum komoditas unggulan dan penggunaan lahan di Jawa Barat. Penjelasan pada bab ini didasarkan pada data sekunder berupa Jawa Barat Dalam Angka, data Profil Desa-desa kasus, serta referensi lain yang relevan.

Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi dan banyak jumlah hari hujan. Keadaan tersebut didukung oleh adanya lahan subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga menyebabkan sebagian besar dari luas penggunaan tanahn ya untuk pertanian. Kondisi topografi daerah utara Jawa Barat merupakan dataran rendah sedangkan daerah selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung -gunung di sebelah tengah. Letak geografis dan batas-batas Propinsi Jawa Barat dan lokasi studi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1 .

Produk pertanian di Jawa Barat antara lain meliputi jenis tanaman pangan, sayur-sayuran dan buah -buahan. Tanaman pangan terdiri dari jenis padi-padian, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, sedangkan beberapa jenis sayuran yang dominan antara lain: kentang, kubis, bawang daun, bawang merah, petsai, dan kacang panjang. Secara umum di tahun 2003 areal tanaman pangan di Propinsi Jawa Barat menurun, terutama untuk tanaman ubi, kedelai, kacang hijau dan padi, sedangkan lahan untuk sayuran mengalami peningkatan, terutama untuk kentang, kubis, kembang kol, cabe rawit, dan jamur. Penggunaan lahan untuk pertanian di Jawa Barat tahun 1993 dan 2003 dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum tanpa melihat per jenis tanaman, penggunaan lahan untuk tanaman pangan di tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 92,6 persen dibanding tahun 1993, sedangkan luas lahan untuk sayuran mengalami kenaikan delapan kali lebih besar. Secara khusus dengan melihat


(30)

1 0

jenis tanaman sayuran kenaikan luas lahan hanya terjadi pada beberapa komoditas yaitu bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea), wortel (Daucus carota L.) dan jamur yang paling besar.

Tabel 1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 1993 dan Tahun 2003

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Tahun 1993

Luas (Ha) Tahun 2003

Persen Perubahan

1 Tanaman Pangan 48526643 3576639 - 92,6

2 Sayuran 208 878 1 966 240 841,3

Sumber : Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003

Pada lingkup Indonesia, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi penghasil sayuran terbesar di Indonesia selain Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hampir semua wilayah di Propinsi Jawa Barat ini merupakan wilayah yang sangat baik dan potensial untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian, termasuk sayur-sayuran. Dari 16 kabupaten dan 9 kotamadya yang terdapat di wilayah administratif daerah Jawa Barat, semuanya dapat menghasilkan komoditas pertanian, khususnya komoditas sayuran. Jenis sayuran yang banyak dikembangkan secara komersial di wilayah tersebut antara lain: bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), bawang daun (Allium fistulosum), kubis (Brassica oleracea), kentang (Solanum tuberosum), petsai (Brassica rapa L.), wortel (Daucus carota L.), kacang merah (Phaseolus vulgaris) , kacang panjang (Vigna unguiculata), cabai (Capsicum annum L.), tomat (Lycopersion esculentum Miller), terung, buncis (Phaseolus vulgaris), ketimun (Cucumis sativus L.), labu siam ( Sechium edule (Jack) sw.), dan bayam ( Amaranthus tricolor L.).

Produksi sayuran di Jawa Barat di tahun 2003 meningkat, sedangkan produksi pertanian untu k tanaman pangan mengalami penurunan. Tabel 2 menyajikan total produksi sayuran Jawa Barat pada tahun 2003 adalah sebesar 2,84 juta ton atau mengalami kenaikan sebesar 38,3 persen dari tahun 1993. Sentra penghasil sayuran terbesar di Jawa Barat yaitu, Kabupaten Bandung (34.70%), dan Kabupaten Garut (22.68%), Kabupaten Cianjur (10.54%) dan Kabupaten Bogor (3.47%) dari produksi total Jawa Barat.


(31)

Tabel 2 Jumlah Produksi Sayuran dan Tanaman Pangan (dalam Ton) Tahun 1993 dan Tahun 2003

Sayuran Tanaman Pangan

N o Lokasi

Tahun 1993

Tahun 2003

Persen

Perubahan Tahun 1993 Tahun 2003

Persen Perubahan

1. Jawa Barat 2060488 2849300 38,3 14100104 10818162 - 23,3

2. Bandung 518691 988758 90,6 861913 830383 -3,7

3. Bogor 100887 98771 -2,1 755808 590402 -21,9

4. Cianjur 254538 300296 18,0 671073 688762 2,6

5. Garut 337416 646238 91,5 1060264 1255485 18,4

Sumber: Jawa Barat dalam Angka, Tahun 1993 dan 2003

Kecuali Kabupaten Bogor ketiga kabupaten tersebut di tahun 2003 mengalami kenaikan dalam produksi sayuran di Jawa Barat. Komoditas utama Jawa Barat dan sangat berpengaruh pada produksi total sayuran adalah kubis, kentang, tomat, dan wortel.

Kenaikan produksi sayuran Jawa Barat disisi lain diiringi dengan penurunan jumlah pekerja sektor pertanian, dan penurunan areal tanam pada sebagia n besar jenis sayuran, kecuali bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea),, wortel (Daucus carota L.) dan jamur (). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi proses intensifikasi pada usahatani sayuran di Jawa Barat selama sepuluh tahun terakhir.

Tabel 3 Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian Tahun 1993 dan Tahun 2003

No. Lokasi Tahun 1993 (Persen) Tahun 2003 (persen)

1. Jawa Barat 37.71 34.87

2. Bandung 32.51 24.37

3. Bogor 20.59 19.09

4. Cianjur 59.48 60.63

5. Garut 59.03 46.30


(32)

1 2

Pada tahun 1993 penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 37.71% dan pada tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 34.87%. Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling banyak terjadi penurunan jumlah pekerja pertanian sekitar 13 persen, sedangkan Cianjur justru mengalami kenaikan sekitar 1 persen.

Perkembangan bisnis sayuran Jawa Barat ditelusuri dari perubahan jenis komoditas pertanian yang diusahakan petani, yaitu dari tana man pangan ke tanaman sayuran. Tanaman pangan dinilai sebagai tanaman yang menghasilkan bahan makanan pokok, sehingga bertani dapat dikatakan sebagai cara hidup atau cara memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda dengan tanaman sayuran, apalagi sayuran dengan nilai ekonomi tinggi, bertani dipandang sebagai cara memperolah keuntungan sebesar-besarnya yang kemudian disebut sebagai bisnis sayuran.

Secara umum petani sayuran Jawa Barat, memulai bisnis sayuran dengan mencoba menanam sayuran lokal sebagai diversifikasi tanaman pangan. Tanaman pangan belum bisa ditinggalkan selagi petani masih merasa tidak aman bila tidak mempunyai persediaan beras, atau palawija. Seiring dengan kemudahan transportasi, maka bahan pangan utama seperti beras dapat dengan mudah dibeli di pasar atau warung. Pada saat itulah petani kemudian mengganti semua tanaman pangan dengan sayuran lokal, seperti wortel, bawang daun, seledri, lobak, kol/kubis, kentang, labu siam, buncis, tomat, kapri, sawi, timun, dll. Sayuran dinilai mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi dan palawija, karena selain itu siklus tanamnya bervariasi dari yang sangat cepat misalnya 2 minggu sampai 6 atau 8 bulan seperti cabe, juga karena harga jualnya lebih menguntungkan.

Kemajuan di bidang teknologi budidaya dan kemudahan dalam transportasi dan telekomunikasi, mempermudah masuk benih-benih sayuran impor sekaligus merupakan awal bagi bisnis sayuran yang sangat menguntungkan sekaligus juga beresiko tinggi karena membutuhkan modal yang besar. Meskipun ada perbedaan waktu dari satu lokasi ke lokasi yang lain, namun secara umum dapat diperkirakan bahwa perubahan dari tanaman pangan ke sayuran lokal terjadi sekitar tahun 80 -an, sedangkan masuknya benih impor sekitar tahun 90 -an. Bisnis sayuran menjadi semakin banyak diminati oleh


(33)

masyarakat sejak akhir tahun 90 hingga sekarang, sebagai alternatif sumber pendapatan bagi para pengangguran korban PHK, pensiunan, dan pemilik modal.

Komoditas unggulan di tiap lokasi berbeda -beda, na mun secara umum untuk wilayah Barat dapat diwakili oleh komoditas unggulan enam kabupaten sentra produksi sayuran dan dapat dilihat pada Tabel 4.

Wilayah Bogor yang topografinya berbukit-bukit, dataran tingginya terdapat di sekitar lokasi “wisata puncak” sehingga jenis sayuran yang diproduksi juga bervariasi. Kacang -panjang (Vigna unguiculata) dan ketimun (Cucumis sativus L) .merupakan jenis sayuran dataran rendah sedangkan wortel (Daucus carota L.) dan bawang daun (Allium fistulosum) merupakan sayuran . Kacang panjang dan ketimun merupakan sayuran yang ditanam sebagai upaya diversivikasi jenis tanaman selain menggantikan padi.

Tabel 4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran Di Jawa Barat

No. Wilayah Komoditas Unggulan Tahun 1993

Komoditas Unggulan Tahun 2003

1. Bogor Ketimun,Wortel, Kacang

panjang, Bawang Daun

Kacang Panjang, Ketimun, Bawang daun

2. Cianjur Sawi, Bawang daun, Cabe, Wortel

Sawi, Wortel, Bawang Daun, Tomat

3. Bandung Kubis, Tomat Kubis, Kentang, Tomat

4. Garut Kentang, cabe, kubis,

tomat, dan wortel

Kentang, Tomat, Kubis

5. Sukabumi Petsai/sawi, Ketimun, Tomat, Kubis

Petsai/sawi, Ketimun, Kacang panjang, Tomat

6. Kuningan Bawang Merah, Bawang

Daun, Kentang, Tomat

Bawang Daun, Bawang Merah, Kacang Merah, Cabe Rawit

Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003

Kacang panjang dan ketimun merupakan jenis sayuran yang diminati masyarakat sebagai bagian dari menu sehari-hari, sehingga potensi pasarnya cukup b aik.

Kabupaten Cianjur terkenal dengan sawi dan wortelnya, bahkan banyak petani di wilayah Cianjur dapat hidup berkecukupan dari hasil menanam wortel. Kabupaten Garut dan Bandung terkenal dengan produksi kentang dan


(34)

1 4

kubisnya, Kabupaten Sukabumi terkenal dengan sawi/petsai, serta Kabupaten Kuningan dengan produksi bawang merah dan bawang daunnya. Keenam kabupaten tersebut merupakan penghasil terbesar sayuran di propinsi Jawa Barat.

Lahan yang diusahakan untuk usahatani sayuran sebagian besar merupakan lahan sawah tadah hujan, pekarangan, dan kebun atau ladang. Secara umum, lahan pertanian di Jawa Barat dapat dibagi menjadi dua macam penggunaan lahan yaitu, lahan sawah dan lahan darat. Lahan sawah secara rinci dapat dibedakan menurut jenis pengaira n, terdiri dari lahan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, bukan PU, dan lainnya. Lahan darat dibagi lagi menjadi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, hutan rakyat, hutan negara, rawa-rawa, tambak, kolam dan lain -lain.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bogor. Bogor merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Komoditas unggulan untuk Kabupaten Bogor antara lain timun, wortel, kacang panjang, bawang daun. Beberapa Perusahaan Agrisnis di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perusahaan Agribisnis di Bogor

No. Perusahaan Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang Dituju

1. Bina Sarana Bakti

1994 Sayuran lokal seperti: wortel, timun, oyong, buncis, kacang merah, bawang daun dll

Rumah Sakit, Gereja dan orang -orang yang mengkonsumsi sayuran organic.

2. SM 1984 Bunga potong,

Edamame, okra, zukini, nazubi dll

Supermarket dan restaurant.

3. Joro 1992 Perusahaan penyedia

sarana produksi pertanian

Perusahaan dan komuditas.

Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini. Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh


(35)

berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan agribisnis tersebut.

Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini. Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan agribisnis tersebut.

Masing -masing perusahaan tersebut punya kekhasan dalam kegiatan usahanya. Perusahaan Bina Sarana Bakti (BSB) merupakan perusahaan yang membudidayakan sayuran lokal dengan teknik pertanian organik. PT. Saung Mirwan (SM) memperkenalkan komoditas baru seperti, okra (Abelmoschus esculantus), edamame (Glycine max L.), zu chini (Cucumis sativus), nazubi, buncis mini, cisito, dll. PT Joro merupakan perusahaan yang menyediakan sarana produksi pertanian, khususnya untuk Green House.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Cianjur. Cianjur merupakan sentra produksi sayuran di Jawa Barat. Dari total penduduk Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor pertanian sebesar 60,6%. Produk unggulan Kabupaten Cianjur adalah sawi, wortel, bawang daun, tomat. Saat ini petani sudah membudidayakan komoditas eksklusif diantaranya tangho, horinso, dan brokoli. Beberapa perusahaan agribisnis di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur

No. Perusahaan Tahun

Berdiri

Komoditas Pasar yang

dituju 1. Pacet Segar 1975 Bayam, kangkung, buncis mini,

wortel, selada keriting, kyuri, zukini, okra

Supermarket, restoran, hotel, pasar lokal 2. Kem Farm 1987 Paprika, zukini, selada, brokoli,

tomat, wortel, kol, kentang

Supermarket dan restoran 3. PT Agro Wisesa

Abadi

2000 Gherkin (timun Jepang) , buncis, jagung.

Ekspor ke Jepang 4. Bumi Insan

Cibodas

2003 Sayuran Jepang dan sayuran lokal Swalayan dan restoran. Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.


(36)

1 6

Komoditas unggulan untuk sayuran di Kabupaten Cianjur sawi, wortel, bawang daun, tomat. Kehadiran perusahaan-perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur sangat bermanfaat bagi kemajuan usaha tani sayuran di daerah tersebut.

Perusahaan yang ada di daerah tersebut sebagian menjalin kemitraan dengan petani dan pedagang pengumpul. Dengan kerjasama tersebut petani menanam komoditas yang dibutuhkan perusahaan mitranya, dengan komoditas yang tergolong masih baru, seperti tangho, brokoli, harinso, kyuri, nazubi dan lain-lain.

Karena komoditas ini masih baru dan kurangnya informasi yang diterima petani banyak petani yang mengalami kegagalan tetapi ada juga yang bertahan dan berhasil mengembangkannya sampai sekarang. Petani yang tetap bertahan menanam produk-produk eksklusif adalah petani yang memiliki kepastian pasar biasanya bermitra dengan pedagan g pengumpul yang bermitra dengan perusahaan.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bandung. Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang paling besar menghasilkan hampir semua jenis sayuran dan penyumbang terbesar terhadap total produksi sayuran di Jawa Barat. Sebagian besar penduduknya (24.37 %) bermata pencaharian sebagai petani, dengan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan hortikultura khususnya tanaman sayuran.

Bisnis sayuran di Kabupaten Bandung mulai ditekuni oleh petani setelah masuknya perusahaan-perusahaan suplier sayuran yang membantu petani dalam pemasaran produknya. Perusahaan-perusahaan agribisnis di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 7.

Banyaknya perusahaan suplier di Kabupaten Bandung sangat meng-untungkan bagi petani dalam hal pemasaran, karena ada kemudahan dala m pemasaran maka banyak petani yang beralih dari tanaman pangan ke tanaman sayuran.

Jenis sayuran yang dibudidayakan petani juga mengalami perkembangan. Komoditas yang dibudidayakan petani tidak lagi hanya tanaman sayuran lokal tetapi tanaman yang mempunyai nilai bisnis yang tinggi. Petani mulai menanam tanaman-tanaman eksklusif sesuai dengan permintaan pasar.


(37)

Tabel 7 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung

No. Nama Perusahaan

Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang Dituju

1. PD Hikmah 1970 Kentang, Kubis, Jagung, Teh Pasar tradisional dan supermarket 2. PT Bimandiri

(perusahaan penyalur)

Sesuai dengan pesanan pasar Supermarket

3. PT Joro 1992 Penyedia sarana produksi

tanaman hortikultura, Penyedia jasa pelatihan budidaya tanaman hortikultura

Supermarket dan petani

4. PT Putri Segar 1993 Baby corn, baby kaelan, baby lettuce, baby kyuri, beetroot, brokoli,buncis, chuciwis, daun gingseng, paprika, kabocha,

Supermarket, Jakarta, Bandung, Surabaya 5. Koperasi Mitra

Suka Maju

1999 Paprika Supermarket dan

restoran, ekspor Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

Komoditas baru yang dikembangkan petani diantarannya adalah, paprika (Capsicum annum L.), baby corn (Zea mays), baby kaelan (), baby lettuce, baby kyuri, beetroot, brokoli (Brasica oleracea), buncis (Phaseolus vulgaris L), chuciwis, daun gingseng, dan kabocha. Dengan bertambahnya jenis komoditas baru ini sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi tanaman sayuran. Meskipun kubis, tomat dan kentang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini masih menjadi tanaman yang menjadi primadona petani tetapi produksinya mengalami penurunan sebesar 10 %.

Teknik budidaya untuk komoditas baru tersebut lebih rumit, dan membutuhkan modal yang besar. Bimbingan teknis dan kredit saprodi dari perusahaan agribisnis tersebut menjadi hal yang menentukan keberhasilan petani dalam berproduksi. Keberadaan PT Joro dalam sejarah pengembangan agribisnis sangat penting terutama untuk sayuran yang membutuhkan biaya tinggi seperti paprika. Keberhasilan para petani yang tergabung dalam Koperasi Mitra Sukamaju adalah salah satu bukti tentang pentingnya peran perusahaan dalam membantu petani mengembangkan bisnis sayuran.


(38)

1 8

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Garut. Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten penyumbang terbesar untuk sektor pertanian Propinsi Jawa Barat. Selama kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1993 sampai 2003 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 59.03% (tahun 1993) menjadi 46.30 % pada tahun 2003.

Sejak tahun 1970 telah ada satu perusahaan agribisnis yang mengembangkan kubis dan kentang, namun bisnis sayuran di Kabupaten Garut mulai berkembang sejak tahun 1994. Pada tahun tersebut PT Sartindo Utama melakukan budidaya, pengolahan dan memasarkannya timun Jepang ke pasar lokal dan ke Jepang

Perusahaan tersebut melakukan inovasi dalam bisnis sayuran baik dari jenis produk maupun dari pemasarannya, pada saat petani lain menjalankan usaha secara tradional dengan ko moditas dan pasar lokal. Komoditas unggulan Kabupaten Garut antara lain Kentang (Solanum tuberosum), cabe (Capsicum annum L.), kubis (Brassica oleracea), tomat (Lycopersion esculentum Miller) dan wortel (Daucus carota L.),. Beberapa perusahan agribisnis sayuran yang mempengaruhi perkembangan bisnis sayuran di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Garut

No. Nama Perusahaan

Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang di Tuju

1. PD Sukatani 1970 Kentang dan Kubis Pasar tradisional (Pasar Cibitung, Pasar Caringin, Pasar Tanggerang) 2. PD Sinar

Pusaka

1982 Kentang dan Kubis Pasar tradisonal dan pasar induk Jakarta, Bogor, Bandung, Tanggerang 3. PT Sartindo

Utama

1994 Mentimun Jepang Pasar Ekspor (Jepang)

4. PT Saung Mirwan

1998 Lettuce, Okra, Zukini, Nazubi, Kyuri Edamame

Supermarket

Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

Bisnis sayuran yang dijalankan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka masih sederhana dan milik perorangan. Komoditas yang dihasilkan kedua perusahan


(39)

tersebut adalah komoditas lokal yaitu kentang dan kubis. Modal dan lahan yang digunakan untuk budidaya kentang dan kubis adalah milik pribadi, dan pekerjanya diambil dari wilayah di sekitarnya dengan system upah harian. PT Sartindo Utama merupakan perusahaan yang sudah cukup maju dan dikelola dengan sistem yang modern. Ada pembagian kerja yang cukup jelas untuk karyawannya. Berbeda dengan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka, PT Sartindo Utama melakukan kerjasama dengan petani sekitar dalam memperoleh komoditas selain dari hasil perusahaan sendiri. Petani mitra perusahaan ini adalah para karyawan perusahaan dan pengawas kebun yang memiliki lahan dan bersedia untuk membudidayakan timun Jepang. Tetapi PT Sartindo Utama saat ini tidak mampu bertahan sehingga petani yang dulu bermitra kini bermitra dengan perusahaan lain, karena saat penelitian dilakukan perusahaan ini tidak lagi beroperasi.

Keanekaragaman komoditas sayuran di Kabupaten Garut bertambah setelah PT Saung Mirwan masuk ke Kabupaten Garut. PT Saung Mirwan mulai mengadakan kemitraan dengan petani pada tahun 1998, tetapi kemitraan ini sempat terhenti selama satu tahun yaitu tahun 1999. Pada tahun 2000 PT Saung Miwan kembali melanjutkan kemitraannya sampai sekarang. Melalui PT Saung Mirwan petani yang menjadi mitranya belajar menanam tanaman yang baru dan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman -tanaman jenis baru ini sangat diminati petani di Kabupaten Garut, karena ada kepastian pasar dan harganya relatif lebih tinggi. Meskipun tanaman kentang tetap menempati urutan pertama dari daftar sayuran yang diproduksi Kabupaten Garut tetapi jumlah produksi mengalami penurunan sebesar 76.6 persen.

Proses Pengambilan Keputusan Petani Sayuran

Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang harus dilakukan secara tepat oleh petani sayuran dalam memasarkan hasil pertaniannya, apakah akan membawa keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, dalam proses pengambilan keputusan petani harus dapat berfikir secara cepat dan tepat antara lain dalam menentukan komoditas yang akan ditanam, penggunaan pestisida, dan tujuan memasarkan hasil pertaniannya. Rakhmat (2001), mengemukakan bahwa salah satu fungsi berfikir ialah menetapkan keputusan. Setiap keputusan yang diambil akan disusul oleh keputusan -keputusan lainnya yang berkaitan.


(40)

2 0

Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam. dan umumnya memiliki ciri-ciri : (1) Keputusan merupakan hasil berfikir, hasil usaha intelektual, (2) Keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif, (3) Keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan.

Pada proses pengambilan keputusan bagi kebanyakan petani kecil yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia menurut Soekartawi (1988), adalah bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatannya. Petani sering dihadapkan pada berbagai aspek yang mempengaruhi, antara lain: (1) harga, kondisi infrastruktur, teknologi, tersedianya masukan produksi, dan kebijaksanaan pajak; (2) tersedianya fasilitas petugas pendampingan pertanian, pemasaran, dan sebagainya. Kedua aspek tersebut mempengaruhi perubahan atau penetapan dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh petani. Petani akan berupaya meningkatkan usahanya karena merasa didukung oleh situasi yang menguntungkan dan sebaliknya akan menghindar dari suatu resiko bila situasinya tidak menguntungkan.

Interaksi antara petani dengan perusahaan mitra dalam konteks pola kemitraan melibatkan proses mental dan tindakan petani, yaitu (1) proses pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan, (2) aktivitas fisik atau tindakan petani dalam proses produksi yang diarahkan oleh aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan mitra, dan (3) pengalaman baru petani sebagai hasil interaksi tersebut. Semua proses yang berlangsung dalam d iri petani baik mental maupun tindakan tercakup da lam konsep perilaku petani. Bagian berikut ini akan dikemukakan tinjauan literature yang dikelompokkan dalam subbab-subbab mengenai perilaku petani dan tinjauan literatur mengenai proses belajar serta keterlibatan petani dalam program kemitraan.

Petani dan Permasalahannya

Petani adalah golongan masyarakat yang mencari nafkah dan menentukan cara hidup dengan cara mengolah tanah. Bertani adalah suatu mata pencaharian dan suatu cara kehidupan, bukan suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. Sebaliknya petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai modal dan komoditas, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian (Redfield, 1982). Petani selain sebagai individu yang tujuan produksinya terutama untuk


(41)

memenuhi kebutuhan -kebutuhan konsumsi keluarga, petani juga merupakan bagian dari suatu masyarakat yang lebih luas dalam hal ini termasuk golongan elit bukan-petani dan negara (Scott, 1983)

Aturan-aturan sosial dan lembaga-lembaga kapitalisme modern menurut Scott menyebabkan munculnya perhitungan untung rugi, dan ekonomi uang menyebabkan orang-orang menjadi individualistis sehingga golongan elit petani dan bukan petani serta lembaga-lembaga desa kurang memperhatikan kesejahteraan petani. Hal ini berbeda pada masa pra-kapitalis dimana elit petani dan bukan petani serta lembaga -lembaga desa yang lebih bermoral dalam membantu petani lain.

Berdasarkan dua definisi petani yang dikemukakan oleh Scott dan Redfield maka petani adalah seseorang yang melakukan kegiatan bercocok tanam (pertanian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjadikan kegiatan tersebut sebagai cara hidup. Sejalan dengan itu Wolf (1983) mendefinisikan petani sebagai orang yang mengelola usaha tani untuk kepentingan keluarganya dan bukan mencari keuntungan dalam arti ekonomi.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa petani menghadapi dua jenis lingkungan dalam kehidupannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Seperti yang dikemukakan Wolf (1983) bahwa petani harus menghadapi tekanan ekotipe petani, tekanan dari sistem sosial kaum tani dan tekanan dari masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu, masalah abadi petani adalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar dengan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.

Peasants” adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dengan memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil produksi pertaniannya untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan “farmers” menjual bagian terbanyak dari hasil pertanian mereka. Dari data luas lahan yang dimiliki petani di Indonesia, petani Indonesia dapat digolongkan sebagai “peasants” atau “subsistence farmers” dan bukan “farmers” seperti petani di Amerika dan Eropa Barat (Soetrisno, 1999). Akan tetapi, kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi komunitas petani yang terisolasi maka perilaku petani Indonesia akan sangat beragam.

Perilaku individu petani dalam mengelola lahan yang beragam dapat menjadi pendukung maupun penghambat penerapan teknologi dalam pola kemitraan. Konsep pola kemitraan, beberapa landasan teknisnya mengadopsi


(42)

2 2

teknik pertanian modern, memiliki tantangan dalam penerapannya baik pada petani subsisten maupun petani komersial.

Hubungan Sosial Petani, Keluarganya, dan Komunitasnya

Bahasan ini merujuk pada tulisan Wolf (1983), tentang aspek sosial petani. Keluarga petani ada yang merupakan keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka, sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga inti.

Pada keluarga petani bentuk keluarga yang dianut adalah keluarga luas dan kelompok-kelompok yang lebih luas dari keluarga inti. Hal ini be rkaitan dengan penyediaan tenaga kerja untuk bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam memungkinkan jumlah pekerja yang cukup banyak. Kalau kebutuhan tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi maka akan didatangkan dari luar keluarga yang akan ikut menetap (p ekerja permanen) atau pekerjaan tersebut akan dikerjakan oleh pekerja musiman (pekerja tidak tetap) atau dengan pola gotong royong antar rumah tangga.

Semua kebutuhan pekerja permanen akan dipenuhi oleh petani pemilik. Petani pemilik merupakan petani yang menguasai sumberdaya alam, tanah. Dalam sistem ini sudah ada pembagian kerja yang jelas. Keluarga luas berfungsi sebagai suatu organisasi untuk memusatkan sumberdaya alam dan tenaga kerja. Keluarga luas juga berfungsi untuk mempertahankan keutuhan tanah dan untuk menambah modal anggota keluarga. Agar modal terus bertambah diperoleh dengan cara sebagian anggota keluarga bekerja di luar sektor pertanian dan bertindak sebagai migran musiman. Keluarga luas juga berfungsi sebagai jaminan keamanan sosial yang fleksibel dibandingkan dengan keluarga inti. Karena pada keluarga inti daya hidupnya hanya tergantung pada kemampuan satu orang saja sedangkan pada keluarga luas daya hidupnya di tanggung oleh banyak individu.

Keluarga petani merupakan keluarga yang mempunyai kemampuan tinggi untuk mengumpulkan sumberdaya. Pola sosialisasi yang dianut adalah membuat anggota-anggotanya untuk tetap tergantung pada kelompoknya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaannya. Keluarga luas merupakan keluarga yang mempunyai tanah yang luas jika dibandingkan dengan keluarga


(43)

inti. Pada keluarga luas tanah tidak dibagi-bagikan kepada anggota keluarga sedangkan pada keluarga inti tanah akan habis dibagi-bagikan kepada anggotanya. Keluarga luas mempunyai lebih banyak proses produksi bersama antar anggota keluarga di tanah yang mereka miliki bersama, dan akan menghasilkan produksi yang beraneka ragam. Keluarga inti tidak memiliki tanah yang cukup luas untuk kegiatan bercocok tanam, untuk memenuhi kebutuhan pangannya mereka menjual tenaga kerja yang mereka miliki (sebagai tenaga upahan).

Adanya industrialisasi di pedesaan menyebabkan pembagian kerja menjadi meningkat. Dengan adanya industrialisasi tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di bidang pertanian akan berpindah ke sektor industri. Fenomena ini menyebabkan kenaikan areal lahan pertanian dan jumlah modal perkapita di pedesaan. Modal yang ada digunakan untuk memperbaiki teknik pertanian modern yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin.

Apabila keluarga petani mendapatkan tekanan permasalahan akan diselesaikan dengan cara membagi-bagikan sumberdaya keluarga yang mereka miliki. Sistem saling berbagi di antara keluarga petani menghasilkan pola tanam dengan menanam tanaman berumur pendek. Pada petani yang telah menggunakan teknik-teknik baru (modern) dalam menghadapi permasalahan dengan cara membiarkan masalah -masalah itu memilih sendiri sasarannya. Orang yang berhasil dengan pertaniannya akan semakin berhasil sedangkan yang tersisih akan semakin tersisih.

Untuk menjamin kelangsungan hid upnya dan untuk mengatasi berbagai masalah petani biasanya hidup saling membantu dengan orang-orang di sekitarnya. Upaya saling membantu ini muncul atas dasar pertimbangan praktis yaitu suatu bentuk asuransi terhadap kesulitan yang akan dihadapi pada satu waktu.

Selain petani bekerjasama dengan petani lain, petani juga bekerja sama dengan pemerintah atau pedagang. Bentuk kerja sama ini berupa kelompok, organisasi atau koalisi-koalisi petani. Koalisi petani adalah suatu kombinasi atau persekutuan terutama yang bersifat sementara antara orang, golongan , negara, terutama apabila menghadapi masalah atau tekanan dari atas-orang yang mempunyai kekuasaan ekonomi, politik atau militer. Misalnya minta bantuan untuk memasarkan produknya, menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, dll.


(44)

2 4

Perkumpulan dibentuk antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Hubungan yang dibentuk atas kepentingan yang beranekaragam akan memberikan rasa aman dalam banyak konteks yang berlainan. Tetapi ketika ada kepentingan ya ng satu berusaha untuk mengalahkan kepentingan yang lain maka akan terjadi konflik. Bentuk kelompok ini akan bertahan lama apabila kepentingan -kepentingan tersebut dapat diikat menjadi satu. Kelompok yang terdiri dari satu kepentingan akan lebih supel ka rena kelompok tersebut dapat digerakkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan yang sama.

Bentuk hubungan yang lebih umum adalah hubungan patron-klien di mana kelompok yang berkuasa akan mendominasi hubungan ini. Segala kekuasaan akan terpusat pada pihak penguasa. Orang yang mempunyai kekuasaan akan bertindak sebagai patron sedangkan klien adalah orang yang dikuasai. Patron merupakan orang yang menguasai sumberdaya dalam proses produksi.

Di dalam kegiatannya petani akan lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan jangka pendek yang lebih sempit daripada kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan jangka panjang yang lebih besar. Kaum tani mempunyai kekuatan yang potensial untuk digerakkan dan untuk melakukan aksi bersama akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk tetap mengorganisasi. Tipe koalisi petani sangat mudah disesuaikan dengan perubahan -perubahan ekonomi dan sosial kearah suatu tatanan neo teknik. Jadi apabila kita menginginkan petani untuk mengubah cara berproduksi maka harus mengubah koalisi yang diikuti oleh para petani. Karena petani akan mengikuti apa yang diajurkan apabila petani lain juga mengikutinya.

Keterlibatan petani dalam pola kemitraan merupakan upaya petani mengatasi masalah produksi dan pemasaran hasil dengan bekerja sama dengan pihak lain yang dinilainya mempunyai sumberdaya yang lebih baik.

Perilaku Petani

Perilaku yang dimaksud di sini adalah tindakan petani dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani melakukan adaptasi ekologis (pemanfaatan lahannya), serta adaptasi sosial melalui pembentukan ikatan. Pilihan perilaku atau tindakan petani sangat dipengaruhi oleh


(45)

pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari status petani sebagai makhuk sosial dan petani sebagai individu

Beberapa ahli, yaitu Scott (1983) dan Redfield (1983) memandang perilaku petani yang sesuai dengan aturan sosial yang ada sebagai perilaku moral. Ahli lain, yaitu Popkin (1986) dan Harjono (1987) memandang perilaku petani yang komersiil mempertimbangkan secara rasional faktor-faktor yang dapat menin gkatkan usahataninya sebagai perilaku rasional. Kedua kategori perilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk secara ekstrim membedakan antara moral dan rasional, misalnya muncul pertanyaan apakah petani rasional itu tidak bermoral atau petani moral itu tidak rasional, bukan demikian. Konsep perilaku moral dan perilaku rasional muncul dari cara pandang yang berbeda tentang perilaku petani, dimana yang satu melihat dari sisi moral petani, dan yang lain melihat dari sisi rasionalitas petani.

Konsep rasionalitas dikemukakan Weber (Johnson, 1988) untuk menganalisis secara obyektif mengenai makna subyektif tindakan individu, dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Weber menggolongkan rasionalitas tindakan individu sebagai: (1) rasionalitas instrumental, (2) rasionalitas yang berorientasi nilai, (3) tindakan tradisional dan (4) tindakan afektif. Berikut akan dikemukakan pilihan perilaku petani /individu menurut beberapa ahli di atas.

Subsisten. Karena usaha tani bukanlah usaha komersil melainkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup saja, maka petani tidak mengejar keuntungan maksimal dari kerjanya. Subsistensi petani terlihat pada kecenderungannya untuk lebih memilih tanaman pokok daripada tanaman pe rdagangan. Adaptasi petani dengan lingkungan fisiknya tidak bersifat eksploitatif. Pernyataan Robert L Neiro yang dikutip Wolf (1983) menyatakan bahwa seorang petani mungkin akan menghentikan usaha-usaha produktifnya di ladang ketika kebutuhan minimum kalorinya serta dana penggantiannya sudah terjamin. Petani tidak memiliki alasan-alasan teknis ataupun sosial untuk menambah jam kerja melebihi anggaran kerja harian mereka. Usaha produksi untuk memenuhi tingkat minimum kalori dan untuk tingkat dana penggantian akan tergantung pada rangsangan-rangsangan dan tuntutan-tuntutan sosial. Artinya standar terpenuhinya kebutuhan petani mendapat pengaruh dari lingkungan sosialnya. Bila individu -individu lain di lingkungan sosialnya berkembang kebutuhannya,


(1)

Kasus 24. Petani Mitra (DD, Cibitung, Barusuda): Produktivitas lahan meningkat

DD (24 tahun) merupakan salah satu petani yang dalam perjalanan kariernya dimulai dengan bekerja di luar bidang pertanian. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA, DD bekerja sebagai sopir di sebuah pabrik kaos di Bandung. Kemudian tahun 2004 DD memutuskan berhenti bekerja dengan alasan tidak betah, dan lebih memilih kembali ke desanya untuk kemudian mencoba berusahatani. Kegiatan usahatani bukan hal baru baginya karena orangtuanya juga seorang petani. DD sudah terbiasa ikut membantu orangtuanya sejak ia masih kecil. Komoditas yang pertama ditanamnya yaitu buncis dan wortel yang dijual ke pedagang pengumpul. Luas lahan yang dikelola seluas 0.21 Ha yang merupakan lahan milik sendiri.

DD kemudian mendapat informasi dan ajakan dari teman sesama petani bahwa ada perusahaan yaitu Saung Mirwan yang sedang mengembangkan pola kemitraan dengan petani sekitar. DD tertarik untuk ikut bermitra dan mendatangi SM, kesepakatan terjadi secara lisan. Kesepakatan meliputi jenis komoditas yang ditanam yaitu nazubi, selada hijau dan buncis mini, aspek mutu yang ditentukan oleh perusahaan, aspek harga ditentuka perusahaan yang dibayarkan secara tunai atau maksimal seminggu setelah barang diserahkan, adanya pinjaman saprodi, fasilitas penyuluhan, fasilitas angkut dan penekanan bahwa resiko kegagalan panen ditanggung oleh petani sendiri.

Setelah mengikuti kemitraan dengan perusahaan DD merasakan adanya perubahan dalam hal kebutuhan modal dan tenaga kerja yang makin bertambah. DD harus menambah tenaga kerja dari luar keluarga, biasanya pekerja berasal dari daerah di sekitar tempat tinggalnya. Dari segi produktivitas lahanpun terjadi peningkatan, adanya peningkatan pengetahuan dalam hal budidaya maupun penanganan panen, karena adanya kunjungan penyuluh sehingga jika ada kesulitan bisa langsung ditanyakan. Ditambah harga yang diterima petani selalu diatas harga pasar, hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan dalam pendapatannya. Kedepannya DD menyatakan tetap ingin melanjutkan hubungan kemitraan dengan SM, begitupula dari pihak perusahaan menurutnya memiliki keinginan yang sama, karena selama ini DD selalu dapat memenuhi mutu dan jumlah sesuai standar yang diinginkan perusahaan.


(2)

Lampiran 5a. Kesesuaian Model Keputusan Inovasi Pola kemitraan

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square 1

78.277 0.435 0.714

Lampiran 5b. Classification Table

Predicted Status

Percentage Correct Observed

0.00 1.00

Step 1 Status .00 30 8 78.9

1.00 3 171 98.3

Overall Percentage 94.8

Lampiran 5C. Variabel yang Mempengaruhi Keputusan Bermitra

N o Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 1. Umur -0.879 0.486 3.268 1 0.071 0.415 2. Tingkat Pendidikan -0.346 0.342 1.028 1 0.311 0.707 3. Luas Lahan -0.494 0.228 4.679 1 0.031 0.610 4. Lama Berusahatani 1.394 0.498 7.836 1 0.005 4.031 5. Kepastian Pasar 2.151 0.455 22.374 1 0.000 8.593 6. Tingkat Kebutuhan Usaha 2.552 0.593 18.538 1 0.000 12.827 7. Ciri Kewirausahaan -0.591 0.419 1.986 1 0.159 0.554 8. Ketersediaan Sarana Transportasi

&Telekomunikasi 1.481 0.536 7.632 1 0.006 4.398 9. Ketersediaan Sarana Pembelajaran 0.643 0.388 2.754 1 0.097 1.903 10. Ketersediaan Sarana Kredit 0.692 0.420 2.712 1 0.100 1.997 11. Pengetahuan ttg Pola Kemitraan -0.915 0.304 9.094 1 0.003 0.400 12. Persepsi ttg Tingkat Keuntungan

Relatif 0.078 0.436 .032 1 0.858 1.081 13. Persepsi ttg Tingkat Kerumitan -1.366 0.534 6.553 1 0.010 0.255 14. Persepsi ttg Tingkat Kesesuaian -0.237 0.335 .503 1 0.478 0.789 15. Persepsi ttg Tingkat Kemungkinan

Dicoba -0.260 0.211 1.517 1 0.218 0.771 16. Persepsi ttg Tingkat Kemudahan

Dilihat Hasilnya 0.515 0.324 2.536 1 0.111 1.674 Constant 3.949 0.672 34.497 1 0.000 51.890 Sumber: Olahan Data Primer, 2005


(3)

Lampiran 6a Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients No.

Model

B Std. Error Beta t

Sig. 1 (Constant) 68987196.772 12281002.927 5.617 0.000 2 Status -43835545.272 16179350.978 -0.214 -2.709 0.007 3 Ketersediaan

Sarana Kredit 11493820.327 7447636.079 0.115 1.543 0.125 4 Penggunaan

Teknologi 15913286.173 7558752.866 0.160 2.105 0.037 5 Dimensi

Usaha 19751252.738 8055178.124 0.198 2.452 0.015

Tabel Lampiran 6 b. Jumlah dan Persentase Petani Contoh dan Asumsi yang harus dipenuhi untuk Uji Regresi Linier

No. Lokasi Jumlah Persen

1. Bogor 58 22.4

2. Cianjur 40 15.4

3. Bandung 125 48.3

4. Garut 36 13.9

Total 259 100,0

ASUMSI YANG HARUS DIPE NUHI UNTUK UJI RE GRE SI LINIE R

1. Autokorelasi. Dalam suatu analisa regresi dimungkinkan terjadinya hubungan antara variabel- variabel bebas itu sendiri atau berkorelasi sendiri. Pendeteksian ada tidaknya autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin Watson. Dari nilai pengujian Durbin Watson diperoleh nilai 1,915 yang lebih besar dari D alpha maka dapat di simpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi dan model yang diperoleh sesuai.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 0.50(a) 0.254 0.236 3.47197 1.915

2. Hubungan Linier. Pengujian hipotesis tentang nyata tidaknya model regresi linier dilakukan dengan menghitung nilai F, dan nilai signifikansinya. Dalam penelitian ini, pengijan nilai F diperoleh nilai signifikansi yang sangat nyata, jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel bebas dan terikat bersifat linier.

3. Multikolinieritas. Multikolinieritas adalah konsep tentang kejadian yang menginformasikan adanya hubungan yang cukup besar antara variabel-variabel bebas Xi. Multikolinieritas akan menyebabkan perkiraan koefesien regresi menjadi tidak


(4)

berarti. Dalam penelitian ini diperoleh nilai korelasi antara variabel bebas Xi berkisar antara 0,001 s/d 0,367. Berdasarkan nilai korelasi antara variabel bebas tersebut dapat disimpulkan bahwa efek dari multikolinieritas bukan merupakan suatu masalah yang berarti, karena relatif kecil.

ANOVA

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Regression 1032.976 6 172.163 14.282 0.000(a)

Residual 3037.750 252 12.055

Total 4070.726 258

Lampiran 6c Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Teknologi, dan Pestisida Tepat Guna

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

No Model

B

Std.

Error Beta

1. (Constant) 13.639 0.387 35.247 0.000 2. Tingkat Pendidikan 0.519 0.237 0.131 2.194 0.029 3. Dimensi Usaha 0.470 0.240 0.118 1.960 0.051 4. Sarana Transportasi dan

Telekomunikasi 0.888 0.229 0.224 3.875 0.000 5. Sarana Pembelajaran 0.648 0.232 0.163 2.795 0.006 6. Sarana Kredit 0.610 0.223 0.153 2.739 0.007 7. Status 1.320 0.498 0.159 2.649 0.009 Sumber: Hasil olahan data primer, 2005


(5)

Lampiran 6.d

Perbandingan Rata -rata Persentase Sumbangan Pendapatan Usahatani terhadap Pengeluaran Total

No. Sumber

Pendapatan N

Rata -rata

Std. Deviasi

Std. Error Rata-rata

Correl a tion

Sig .

1. Usahatani Mitra 119 1.0636 1.33132 0.12204

2 Usahatani Non

Mitra 119 1.3180 2.40341 0.22032

-0.055 0.553

Perbandingan Persentase Pendapatan Usahatani Terhadap Pengeluaran Total (n =119)

Mitra Non_Mitra

Rata -rata 106, 36 131, 80

Nilai Tengah 59, 50 58, 70

Standar Deviasi 133, 13 240, 34

Minimum 3, 00 1, 00

Maximum 838, 00 2041, 00

Percentiles 25 26, 40 25, 20


(6)

Lampiran 7 Nama Lokal dan Nama Ilmiah Sayuran

No. Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Bawang Daun A llium fistulosum

2 Bawang Merah A llium cepa

3 Bawang Putih A llium sativum

4 Bayam A maranthus tricolor L .

5 Buncis Phaseolus vulgaris

6 Brokoli, Bunga Kol, Kol/Kubis Brassica oleracea

7 Cabe, Paprika, Keriting, Rawit Capsicum annum L .

8 Jagung (Baby, Manis, Sayur) Zea may

9 Kacang Merah Phaseolus vulgaris

10 Kacang Kedele,edamame Glycine max L

11 Kacang Panjang V igna unguiculata

12 Kentang Solanum tuberosum

13 Ketimun, Zuchini Cucumis sativus L .

14 Labu Siam Sechium edule (Jack ) sw.

15 Okra A belmoschus esculantus

16 Petsai, Sawi, Cesin, Pakcoy, Selada/Lettuce, Sampo,

Brassica rapa L

17 Tomat L ycopersion esculentum Miller