Kelembagaan atas tanah menjadi penting, karena akan berpengaruh Kelembagaan penyuluhan seharusnya terkait dengan kelembagaan

Beberapa masalah yang sering dihadapi petani antara lain kesulitan dalam membangun kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah, misalnya dalam mendapatkan bimbingan dan pelatihan serta akses permodalan. Dengan pola kemitraan dengan pihak perusahaan swasta, koperasi dan pedagang pengumpul diharapkan masalah ini dapat diatasi. Pengembangan Kelembagaan Petani. Kelembagaan petani baik yang relevan dibahas di sini dapat merupakan kelembagaan ekonomi, kelembagaan pendidikan, maupun kelembagaan kekerabatan. Koentjaraningrat, 1979. Kelembagaan ekonomi adalah kelembagaan yang berkaitan dengan pekerjaan, proses produksi, mengumpulkan harta, maupun mendistribusikan harta. Kelembagaan yang berkaitan dengan pekerjaan pertanian adalah kelembagaan atas tanah, kelembagaan penyedia sarana produksi, kelembagaan keuangan, kelembagaan hubungan kerja dalam proses produksi dan panen, serta kelembagaan pemasaran.

1. Kelembagaan atas tanah menjadi penting, karena akan berpengaruh

terhadap pemenuhan kebutuhan petani akan tanah sebagai faktor utama usahatani. Banyak kasus petani berhenti karena tidak tersedia lahan yang digunakan untuk bertani. Beberapa kasus petani memperoleh hak atas tanah dari pihak instansi tertentu atau dari “orang-orang jakarta” untuk dikelola ditanami dengan sayuran tanpa harus membayar. Beberapa kasus petani tidak memiliki lahan tetapi mereka menyewa, atau bagi hasil dengan pemilik lahan. Petani yang lain memiliki lahan dengan luasan yang bervariasi mulai dari 0,1 Hektar sampai dengan puluhan Hektar. Lemahnya akses petani terhadap lahan akan berpengaruh terhadap apapun inovasi usahatani yang akan diterapkan, oleh karena itu perbaikan terhadap kelembagaan atas tanah ini menjadi penting.

2. Kelembagaan penyuluhan seharusnya terkait dengan kelembagaan

pemasaran, kelembagaan keuangan, kelembagaan penyedia saprotan, kelembagaan Litbang dan kelembagaan Agroindustri. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh perusahaan, koperasi dan pedagang mengumpul, dalam pola kemitraan dapat disebut sebagai kegiatan penyuluhan. Kegiatan pendampingan yang dilakukan selain memberikan informasi tentang teknik budidaya dibeberapa kasus juga disertai dengan penyediaan kredit sarana produksi, dan pembinaan manajemen. Kelembagaan penyuluhan yang dilakukan dalam pola kemitraan di lokasi penelitian paling tidak sudah mengupayakan aksesibilitas petani terhadap pemasaran dan saprotan. Beberapa perusahaan seperti PT SM dan PT JR bahkan sudah mempunyai bagian atau devisi di perusahaanya yang menyiapkan saprotan sendiri terutama untuk memproduksi benih dan pupuk. Untuk komoditas yang bernilai ekonomi tinggi seperti sayuran, dengan siklus tanam dan perputaran modal yang cepat, permintaan konsumen yang cepat berubah, serta teknologi yang digunakan relatif tinggi dibandingkan tanaman padi maka peranan swasta diperlukan. Perusahaan swasta yang melakukan praktek budidaya dan pemasaran sayuran bernilai ekonomi tinggi terbukti efektif dalam melakukan kegiatan pendampingan , karena kegiatan produksi terhadap satu jenis sayuran tertentu selalu dikaitkan dengan kebutuhan pasar. Prinsip -prinsip Bermitra. Beberapa prinsip ini ditemukan di lokasi penelitian, baik yang berasal dari pihak petani, pedagang pengumpul, pengurus koperasi maupun dari pihak perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1 Perusahaan sangat tergantung dengan petani, perusahaan tidak dapat hidup tanpa petani, oleh karena itu petani adalah mitra bisnis perusahaan. 2 Jangan mengecewakan partner. Saling mengerti. Yang penting keinginan petani terpenuhi: “ produk dibeli, harga memadai”, 3 Win-win solution, agar kemitraan berlangsung jangka panjang, 4 Menjaga nama baik, perselisihan antara petani, suplier dan perusahaan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan, 5 Pelayanan yang baik dari perusahaan melalui petugas lapangan, dan staf lainnya, 6 Komitmen kedua belah pihak, tanpa pemaksaan, saling menilai dan mengingatkan Hak dan Kewajiban pelaku pola kemitraan disepakati bersama oleh masing- masing pelaku. Beberapa yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: 1 Kewajiban perusahaan terdiri dari :a membuat rencana tanam petani mitra, b melakukan kegiatan pendampingan, c membantu menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan, d harga disepakati kedua belah pihak, e semua produk yang memenuhi standar kualitas harus ditampungdibeli. 2 Kewajiban petani meliputi : a menanam sayuran sesuai dengan program tanam jenis tanaman ditetapkan, b mengikuti dan melaksanakan saran- saran petugas pendampingan, c menjual seluruh hasil panen yang memenuhi standar kualitas, sesuai dengan kesepakatan harga d pinjaman sarana produksi dikembalikan bersamaan dengan hasil panen Dukungan Kebijakan Pemerintah. Setiap upaya-upaya dalam program pembangunan harus sejalan bahkan mendapat dukungan dari pemerintah melalui kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat lokal. Sebab bila tidak, upaya tersebut tidak akan berkelanjutan karena masalah -masalah kebijakan. Beberapa masalah Misalnya 1 Tidak adanya kebijakan dan bantuan pemerintah terhadap komoditas hortikultura khususnya paprika, merupakan ancaman bagi perusahan karena perolehan benih dan nutrisi didapat dengan cara import; 2 Kebijakan pemerintah luar negeri yaitu adanya larangan eksport terhadap komoditas agribisnis, salah satunya paprika. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan bisnis pengusaha paprika di Indonesia karena Taiwan adalah salah satu pasar bagi paprika yang dihasilkan koperasi.; 3 Produk yang dihasilkan koperasi paprika merupakan pelengkap bagi produk lain sehingga biasanya dikonsumsi dalam jumlah terbatas. Dengan demikian kekuatan tawar menawar harga sangat kuat berada pada pihak pelanggan konsumen KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proses pengambilan keputusan petani terhadap inovasi pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Pihak yang berperan dakam proses keputusan bermitra adalah: petugas pendamping dari perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul, teman sesama petani dan keluarga petani. 2. Variabel yang sangat baik dapat memprediksi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan proses bermitra, dan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi. 3. Kebutuhan bermitra yang diharapkan petani dapat dipenuhi melalui pola kemitraan terutama kebutuhan pemasaran , pinjaman modal dan kebutuhan pembinaan teknis. Petani akan berhenti bermitra bila perusahaan, atau pedagang pengumpul memutuskan berhenti membeli sayuran tanpa pemberitahuan, sering macet dalam pembayaran, masalah harga yang tidak memuaskan, tidak dibayar karena perusahaan bangkrut, tidak disediakan pinjaman uang, atau sarana produksi, atau benih tidak tersedia sehingga lahan terbengkalai. 4. Pengurangan tingkat kerumitan dalam prosedur dan cara-cara bermitra, akan mendorong petani untuk mengikuti pola kemitraan. 5. Ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi akan memberi kemudahan proses kerjasama dalam pola kemitraan, sehingga mendorong petani untuk mengikuti pola kemitraan. 6. Dugaan tentang petani yang berpeluang untuk bermitra secara berkelanjutan adalah petani yang berumur antara 18 sd 50 tahun dan yang punya pengalaman usaha tani di atas 5 tahun . 7. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan memberi manfaat bagi petani baik, manfaat ekonomi, manfaat teknis, dan manfaat sosial. 8. Manfaat ekonomi yang diperoleh petani dari pola kemitraaan adalah: pendapatan yang lebih tinggi, harga yang lebih pasti, produktivitas lahan lebih tinggi, penyerapan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi, dan resiko usaha ditanggung bersama. Manfaat teknis yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah: penggunaan teknologi yang lebih baik sehingga mutu produk yang dihasilkan juga lebih baik. Manfaat sosial yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah: ada ke sinambungan kerjasama antara petani dan perusahaan, koperasi maupun pedagang pengumpul, serta pola kemitraan mempunyai kontribusi terhadap kelestarian lingkungan. 9. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani, dimana pendapatan yang diperoleh dari usahatani kemitraan memberi sumbangan yang sangat signifikan terhadap pengeluaran total. Saran Untuk Pemerintah 1. Pedoman Kemitraan Agribisnis yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian tahun 2003, mensyaratkan bahwa petani atau kelompok tani yang disarankan ikut dalam pola kemitraan adalah yang sudah dibina oleh pemerintah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa penyuluh pemerintah tidak tersedia di hampir seluruh lokasi petani, sehingga syarat tersebut kurang relevan. Petani generasi lama mungkin masih mengenyam pembinaan penyuluh, tetapi bagi petani muda yang baru memasuki dunia pertanian, biasanya mereka mencari informasi kepada sumber informasi yang ada di sekitarnya, yaitu petugas perusahaan, koperasi atau petani senior yang biasanya juga sebagai pedagang pengumpul. 2. Terutama untuk komoditas sayuran kemampuan petani dalam budidaya sudah sangat baik, tetapi perlu perhatian pemerintah lebih serius terhadap penggunaan pestisida dan bahan pengendali hama penyakit lainnya yang sering digunakan oleh petani. Kontrol bisa dilakukan melalui dinas pertanian setempat di pasar sayuran lokal, untuk mendeteksi kandungan pestisida atau bahan lain yang mungkin berbahaya bagi konsumen. 3. Kebijakan pemerintah di tingkat lokal dalam hal peningkatan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi adalah dua hal utama yang mendesak untuk dilakukan dalam rangka mempercepat proses pengembangan agribinis melalui pola kemitraan. Untuk Pihak-pihak yang akan bermitra dengan petani 1. Untuk pihak yang akan bermitra dengan petani yang Penerapan pola kemitraan merupakan upaya “mensinergikan kekuatan” untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan oleh keterbatasan petani dan pihak mitra. Jadi komponen yang dimitrakan merupakan keputusan bersama untuk mengakomodir kebutuhan masing-masing pelaku. 2. Hal yang harus dihindarkan dalam dalam penerapan pola kemitraan tersebut antara lain: perlakuan yang tidak adil, manipulasi, dan eksploitasi satu pihak oleh pihak lain yang tengah bermitra. Penerapan pola kemitraan yang menekankan prinsip bermitra yang menguntungkan semua pihak “win-win solution ” sebaiknya juga dibarengi dengan pengembangan kelembagaan di tingkat lokal, serta membangun jejaring dalam rangka pengembangan masyarakat 3. Pengurangan terhadap tingkat kerumitan proses bermitra akan mendorong petani ikut dalam pola kemitraan yang ditawarkan. Kejelasan dalam penetapan standar mutu, proses pembayaran yang tanpa masalah, komunikasi yang baik dalam proses kerjasama akan mendukung keberlanjutan pola kemitraan yang dibangun. Untuk Petani Secara garis besar ada 3 pola yang disarankan, namun pada penerapannya di lapangan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari pihak-pihak yang bermitra untuk menentukan komponen apa yang dimitrakan. 1. Bagi petani maju, cukup modal dan teknologi: buatlah usaha sendiri, memproduksi dan mengumpulkan produk petani-petani lain, kemudian mencari pasar sendiri. 2. Bagi petani dengan kultur pedesaan dengan semangat gotong royong dan kebersamaan hidup yang kuat, interaksi yang sangat dekat satu dengan yang lain dalam wilayah tertentu, dengan struktur yang tidak terdeferensisai secara tajam: bentuklah kelompok usaha bersama koperasi misalnya. 3. Bagi petani kecil yang kekurangan modal dan teknologi, interaksi di antara petani kurang, atau tinggal berjauhan, maka bermitralah dengan pedagang pengumpul atau perusahaan yang akan membantu dalam pengadaan modal, pendampingan petugas untuk teknis budidaya, penggunaan teknologi yang lebih baik, dan menjamin pemasaran produk. DAFTAR PUSTAKA Ade Iwan Setiawan. 1995. Sayuran dataran Tinggi. Budidaya dan Pengaturan Panen. Jakarta: PS. Penebar Swadaya. Agresti, Alan and Barbara Finlay. 1986. Statistical Methods For The Social Sciences. San Francisco : Dellen Publishing Company. Bird, Barbara J. 1989. Entrepreneurial Behavior. Glenview, Illionis: Scott, Foresman and Company. . BPS Propinsi Jawa Barat. 1993. Jawa Barat dalam Angka 1993 . Bandung: BPS Propinsi Jawa Barat. BPS Propinsi Jawa Barat. 2003. Jawa Barat dalam Angka 2003 . Bandung: BPS Propinsi Jawa Barat. Cresswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitatif Approaches. London: Sage Publications. Departemen Pertanian. 2003. Pedoman Kemitraan Usaha Agribisnis. Jakarta: Direktorat Pengembangan Usaha. Departemen Pertanian Denzin, Norman K, and Yvona S Lincoln ed 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication s. Eko Setyanto. 1993. “Hubungan Karakteristik Petani dan Keterlibatannya Dalam Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Paket Teknologi Supra Insus di Desa Pandayan Kecamatan Grogol Kabupaten sukoharjo Jawa Tengah”. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Fembriarti Erry Prasmatiwi. 1999. “Determinan Keputusan Petani dalam Menerapkan Intensifikasi Usaha tani Jagung di Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan ”. Sosio Ekonomika. Volume 5; Nomor 2; Desember 1999; hal. 114-119. Jakarta. ______________________. 2000.” Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pertanian: Studi kasus pada Usaha Tani Kentang di Kabupaten Lampung Barat.” Sosio Ekonomika. Volume 6; Nomor 2; Desember 2000; hal. 136 - 143. Jakarta. Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta: PS. Penebar Swadaya. Harjono, Joan. 1987. Land, Labour, and Livelihood: in West Java Village . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Sudut Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan di Asia . Penerjemah: Zahara D. Noer. Penyunting: Gunawan Wiradi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hamidi. Hirwan. 1997. Kemitraan Petani-KUD-Lembaga Perbankan dalam Membangun Pertanian Lahan Kering Upland dan Dampaknya terhadap Kehidupan Ekonomi Petani Lahan Kering. Tesis. Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ismail, Munawar. 1994.” Pemerin tah dan Pasar: Kritik terhadap Teori Ekonomi Pembangunan.” Prisma no. 1. Januari 1994. Jakarta: LP3ES Jarmie, Muhammand Yunus. 1994. Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Johnson, Doyle Paul.1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern . Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Jurusan Statistika. 2001. Pelatihan Metode dan Analisis Statistika dengan Bantuan Komputer. Modul Pelatihan tidak dipublikasi Bogor: Institut Pertanian Bogor Fotokopi Kerlinger. Fred N. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa .Jakarta: P.N. Balai Pustaka. Martawijaya, Elang Ilik. 2003. “Menjadi Entrepreneur atau Intrapreneur. Bahan Kuliah Kewirausahaan.” Progrm Studi Magister Manajemen Agribisnis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fotokopi Meredith, Geoffrey, Robert E Nelson, Philip A Neck. 2000. Kewirausahaan. Teori dan Praktek. Alih Bahasa oleh Andre Asparsayogi. Jakarta: PT Pusat Pengembangan Manajemen dan Pustaka Binaman Pressindo. Neuman, W. L. 2000. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches. 4 th ed. Allyn Bacon. London: Sage Publications. Nyoman Suparta. 2001. Perilaku Agribisnis dan Kebutuhan Penyuluhan Peternak Ayam Ras Pedaging. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Popkin, Samuel L. 1986. Petani Ra siona l. Jakarta: Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Rachmat Pambudy. 1999. Perilaku Komunikasi,Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogo r Rachmat Pambudy dan Andriyono K. Adhi. ed. 2000. Prosiding Seminar Nasional: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Bogor: Penerbit Wirausaha Muda. Rakhmat, Jalaludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Re maja Rosdakarya. Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Penerjemah: Ali Hasan Jakarta: CV. Rajawali. Rogers, E. M. 1995. Diffusion of innovations. 4 th ed.New York : Free Press. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Penerjemah: Hasan Basari. Penyunting: Bur Rusuanto. Jakarta: LP3ES. Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Sitorus, Edward. 1994. “ Makalah Pembahas dalam PIR Perkebunan. Kemitraan Usaha Besar dengan Petani dalam Agribisnis Perkebunan.” hal 95- 103. Jakarta: Yayasan Agrimedia. Fotokopi Soerjani, Moh, Rofiq Ahmad dan Rozy Munir Editor. 1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan . Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. 1990. Edisi 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian . Jakarta: UI Press. Soenarto, Kamanto. 1993. Pengantar Ilmu Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soewardi. Herman. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa: Respon Masyarakat terhadap Modernisasi di Bidang Pertanian di Jawa Barat.. Penyunting: Sajogyo. Jakarta: Yayasan Obor Soetrisno, 1999. Kemiskinan di Indonesia . Jakarta: LP3ES. Sumardjo.1999. “Kemandirian sebagai Indikator Kesiapan Petani Menghadapi Era Globalisasi Ekonomi Kasus Jawa Barat.” Mimbar Sosek: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Vol.12, No.1 April 1999. hal 14-23. Sumintarsih, Penyunting. 1994. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungan dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suwarsono dan A lvin Y. So, 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Todaro, Michael, 1980. Pembangunan Ekonomi di Negara Dunia Ketiga . Jakarta: LP3ES. Van den Ban, A. W., and H. S. Hawkins. 1999. Agricultural Extension. 2nd ed. Blackwell Science. Wahono, Francis. 19 94. “Dinamika Ekonomi Sosial Desa sesudah 25 tahun Revolusi Hijau.” Prisma No. 3 th. XXIII. Hal: 2-21. Jakarta. Warsidi . 2003. Sikap terhadap pola kemitraan : Agribisnis Sistem Bagi Hasil dalam Agrimedia bulan Maret 2003 Jakarta: Direktorat Jendral BPPHP Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Wiradi, Gunawan. 1999. Sosiologi Agraria. Bandung: Yayasan Akatiga . Wolf Eric R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Penerjemah: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Penerbit CV. Raja wali. Jakarta Yudisiani. 1999. “Efektivitas Penyuluhan PHT melalui Pendekatan Sekolah Lapang. Studi Kasus Kegiatan SLPHT di Kecamatan Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat.” Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Yufrizal. 1999. “Penerapan teknologi SAPTA Usaha Perikanan oleh Petani Ikan Lele Dumbo di Kecamatan Parung kabupaten Bogor.” Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Yayasan Agrimedia, 1994. PIR PERKEBUNAN. Kemitraan Usaha Besar dengan Petani dalam Agribisnis Perkebunan. Prosiding Seminar . . Jakarta: Direktorat Jendral Perkebunan. 186 Lampiran 1. Sketsa Lokasi Penelitian di Jawa Barat Lampiran 2 . CONTOH PROGRAM KE MITRAAN TE RPADU Program ini ditawarkan oleh Bank Indonesia dengan nama Proyek Kemitraan Terpadu, informasi ini diperoleh dari Sistem Informasi PembiayaanLending Modal Usaha Kecil-SI LMUK Bank Indonesia Kemitraan Terpadu adalah suatu program kemitraan yang melibatkan usaha besar inti, usaha kecil plasma dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan program ini antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti Industri Pengolahan atau E ksportir dan petani plasmausaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Pihak-pihak yang Terlibat Tiga unsur yang terlibat kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan, yaitu 1 PetaniKelompok Tani atau usaha kecil, 2 Pengusaha Besar atau eksportir, dan 3 Bank pemberi Kredit. Petani Plasma . Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas a Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, b Petani usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal. Untuk kelompok a, kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok b, kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjal an, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha. Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petaniusaha kecil. Pada setiap kelompok tanikelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok. Koperasi. Para petaniusaha kecil plasma sebagai peserta suatu program kemitraan, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan- kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebunusaha sesuai keperluannya. Fasilitas Kredit hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan Kredit harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman Kredit para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil KUK, kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan Perusahaan Besar dan Pengelola E ksportir. Suatu Perusahaan dan PengelolaEksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa melakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasmausaha kecil. Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, program kemitraan tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasmausaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti. Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan PPL, perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan. Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga- tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunanusaha untuk membimbing petaniusaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga- tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petaniusaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya. Bank. Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan PengolahanE ksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun. Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidayaproduksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar. Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petanikelompok tanikoperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasmausaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petaniKelompok tanikoperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasmausaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank. Pola Kerjasama Kemitraan antara petanikelompok tanikoperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu : Pertama, petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan Pengolahan Eksportir. Gambar 1. Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra. Kedua, petani yang tergabung dalam kelo mpok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi mewakili anggotanya dengan perusahaan perkebunanpengolahaneksportir. Gambar 2. Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian kredit kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai E xecuting Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanamanpengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi. Penyiapan Program Kemitraan Terpadu Beberapa hal yang perlu disiapkan agar program kemitraan ini dapat dikembangkan dengan baik adalah : a. Adanya petanipengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebuntempat usaha atau lahan kebunusahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petaniusaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petanikelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunanpengolahaneksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit untuk keperluan peningkatan usaha; b. Adanya perusahaan perkebunanpengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi mitra petaniusaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidayaproduksi serta proses pemasarannya; c. Dipertemukannya kelompok taniusaha kecil dan pengusaha perkebunanpengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok taniusaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petaniusaha kecil; d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan kredit ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Dalam kaitannya dengan penggunaan kredit, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana executing agent atau badan penyalur channeling agent; e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan program ini oleh pihak instansi pemerintah setempat yang berkaitan Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda; f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunanusaha dalam program ini, harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudahatau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanamitempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Mekanisme Program Kemitraan Terpadu Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan Memorandum of Understanding = MoU yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra inti, PlasmaKoperasi dan Bank. Gambar 3 Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasiplasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. Perjanjian Kerjasama Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban dan hak dari masing- masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan Inti dan petaniusaha kecil plasma antara lain sebagai berikut : 1. Kewajiban Perusahaan PerkebunanPengolahanE ksportir sebagai mitra inti a. Memberikan bantuan pembinaan budidayaproduksi dan penaganan hasil; b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi bibit, pupuk dan obat-obatan, penanaman serta pemeliharaan kebunusaha; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi; d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit bank dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma. 2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya;; b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan usahanya berdekatan dan sama- sama ditanami; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan; d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit; e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas Perkebunaninstansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit; f. Melaksanakan pemungutan hasil panen dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya. Lampiran 3a. Tabel Statistik Variabel No Nama Variabel N Max Min Rata rata Med St.d Q1 Q2 Q3 I Karakteristik Individu 1 Umur X1 285 71 18 39 37 12 30 37 48 2 Umur X1 212 71 18 38 35 12 29 35 48 3 Tingkat Pendidikan X2 285 5 1 2.7 2 1 2 2 4 4 Tingkat Pendidikan X2 212 5 1 2.9 2 1.1 2 2 4 II Dimensi Usaha X3 5 Total Dimensi Usaha X3 285 11 4 8 8 1.3 7 8 9 6 Total Dimensi Usaha X3 212 11 5 8.1 8 1.3 7 8 9 7 Luas Lahan X3.1 285 15 0.01 0.7 0.4 1.2 0.2 0.38 0.81 8 Luas Lahan X3.1 212 15 0.01 0.8 0.4 1.3 0.2 0.39 0.89 9 LamaBerusahatani X3.2 285 50 1 15 11 11 6 11 25 10 LamaBerusahatani X3.2 212 48 1 14 10 11 5 10 23 11 Jumlah Sayuran X3.3 285 15 1 4.5 4 2.4 3 4 6 12 Jumlah Sayuran X3.3 212 15 1 4.7 4 2.5 3 4 6 13 Kepastian Pasar X3.4 285 3 1 2 2 0.8 1 2 3 14 Kepastian Pasar X3.4 212 3 1 2.3 2 0.7 2 2 3 III Tingkat Kebutuhan Bermitra X4 15 Total Kebutuhan X4 285 20 7 11 10 3.5 8 10 14 16 Total Kebutuhan X4 212 20 7 12 11 3.4 9 11 15 17 Kebutuhan modal X4.1 285 15 5 7 5 2.7 5 5 9 18 Kebutuhan modal X4.1 212 15 5 7.5 7 2.9 5 7 10 19 Kebut. Pemasaran X4.2 285 3 1 2 2 0.8 1 2 3 20 Kebut. Pemas aran X4.2 212 3 1 2.1 2 0.8 1 2 3 21 Kebut. Pemb. Teknis X4.3 285 3 1 2 2 0.9 1 2 3 22 Kebut. Pemb. Teknis X4.3 212 3 1 2.3 2.5 0.8 2 2 3 IV Kewirausahaan X5 21 Total Kewirausahaan X5 285 57 13 37 38 6.4 33 38 41 22 Total Kewirausahaan X5 212 57 24 38 38 5.7 34 38 42 23 Keinovatifan X5.1 285 39 1 17 18 3.5 16 18 20 24 Keinovatifan X5.1 212 39 3 18 18 3.2 16 18 20 25 Kreativitas X5.2 285 24 8 19 20 3.7 17 20 22 26 Kreativitas X5.2 212 24 11 20 20 3.3 18 20 22.8 V Lingkungan Sosial dan Fisik X6 27 Total Lingkungan X6 285 43 24 31 31 3.5 28 31 33 28 Total Lingkungan X6 212 43 24 31 31 3.5 29 31 33 29 Konformitas X6.1 285 12 6 10 10 1.3 9 10 11 30 Konformitas X6.1 212 12 6 10 10 1.3 9 10 11 31 Sarana Transportasi dan 285 10 5 7.6 7 1.3 7 7 8 Telekomunikasi X6.2 32 Sarana Transportasi dan Telekomunikasi X6.2 212 10 5 7.7 7 1.4 7 7 9 33 Sarana Pembelajaran X6.3 285 10 5 6.5 6 1.4 5 6 7 34 Sarana Pembelajaran X6.3 212 10 5 6.6 6 1.5 5 6 7 35 Sarana Kredit X6.4 285 10 1.3 1 1.8 1 2 36 Sarana Kredit X6.4 212 10 1.5 1 1.9 1 2 37 Sumber Informasi X6.5 285 8 3 5.5 6 1 5 6 6 38 Sumber Informasi X6.5 212 8 3 5.6 6 1 5 6 6 VI Pengetahuan tentang Pola Kemitraan X7 39 Pengetahuan tentang Pola Kemitraan X7 285 20 2.7 3 2.8 3 3 40 Pengetahuan tentang Pola Kemitraan X7 212 20 3.1 3 2.8 1 3 3 VII Persepsi X8 41 Total Persepsi 212 130 69 100 101 12 93 101 108 42 Keuntungan relatif X 8.1 285 24 12 14 18 8.4 12 18 21 43 Keuntungan relatif X 8.1 212 24 12 19 19 2.9 17 19 21 44 Tk. Kerumitan X 8.2 212 59 21 39 39 7.3 33 39 43 45 Tk kesesuaian X 8.3 212 12 5 9.9 10 1.5 9 10 11 46 Ttk. Kemungkinan dicoba X 8.4 212 34 11 14 14 2.1 13 14 15 47 Tk. Kemudahan melihat hasil X 8.5 212 21 5 18 19 3.9 18 19 21 VIII Kinerja Petani Y2 48 Kinerja Petani Total 259 60 25 43 43 6.7 37 43 48 49 Tk Penggunaan Teknologi 259 13 3 5.3 5 2.6 3 5 7 50 Aspek Tindakan 259 18 3 9.2 9 2.6 7 9 11 51 Aspek pengetahuan 259 17 6 13 13 2.3 11 13 15 52 Aspek Sikap 259 20 5 15 16 2.6 14 16 17 Catatan: Ada perbedaaan jumlah contoh untuk setiap variabel. Hal ini disesuaikan dengan ketersediaan data dan kepentingan analisis dalam uji statistik nantinya. Lampiran 3b Jumlah Petani Contoh N=212 No. Lokasi Jumlah Persen 1. Bogor 58 27,4 2. Cianjur 20 9,4 3. Bandung -Rancabali 61 28,8 4 Bandung -Cisarua 36 17,0 5. Garut 37 17,5 Total 212 100,0 Lampiran 4. Catatan Kasus-kasus Petani KASUS PE TANI BOGOR Kasus 1. Bermitra untuk Menyalurkan Hobi dan Bisnis BS, Desa Pakacilan, Kec. Megamendung BS 64 tahun merupakan petani yang sudah berhasil dan menjadi mitra Saung Mirwan 5 tahun yang lalu. Usaha bertaninya bermula dari kegemarannya pada tanaman. Lama kelamaan kegemarannya ia kembangkan setelah mendapatkan masukan dari Saung Mirwan. Berkat bimbingan dari Saung Mirwan, BS mulai menekuni usaha pertaniannya sejak tahun 1997. Berbekal tanah seluas hampir tiga hektar BS membangun Green House sebanyak 24 Green House. Sesuai dengan tingkat pendidikannya yang sampai perguruan tinggi, usaha pertanian yang ia lakukan tidak lagi menggunakan cara tradisional tetapi sudah sangat modern. Usaha pertanian yang sudah masuk ke kategori perusahaan ia beri nama Agro 1973. BS tidak lagi terjun sebagai petani tetapi lebih berperan sebagai manajer dalam perusahaannya. Semua pekerjaan dilakukan oleh para pekerja yang digaji tiap bulannya. Pekerja yang menangani masalah budidaya mulai dari mengolah tanah sampai pemanenan sebanyak 15 orang. Tiap orang memperoleh gaji Rp 350 ribu perbulan, sedangkan masalah teknis budidaya dan hama penyakit BS mempekerjakan dua orang tenaga ahli yang ia gaji Rp 800 ribu perbulan. Selain gaji bulanan karyawan memperoleh fasilitas penginapan disekitar lahan pertanian dan makan dua kali sehari serta satu kali mendapatkan makanan kecil. Produk yang dihasilkan dari perusahaan ini adalah sweet melon, tomat, yatayu, paprika yang dibudidayakan di dalam Green House sedangkan untuk tanaman yang dibudidayakan di luar Green House adalah E damame. Tetapi untuk saat ini tanaman yang diusahakan adalah sweet melon, tomat dan edamame. Paprika tidak lagi ia budidayakan dengan alasan sejak ekspor paprika ke beberapa negara dihentikan maka kebutuhan tanaman paprika Saung Mirwan menjadi bekurang. Dalam memasarkan hasilnya BS tidak hanya bekerja sama dengan Saung Mirwan saja tetapi dia juga bekerja sama dengan Parung Farm dan MGA untuk pemasaran sweet melonnya. Sedangkan tomat ia jual ke Saung Mirwan. Keuntungan bersih dari budidaya melon yang ia peroleh untuk satu kali musim tanam adalah Rp 96,1 juta sedangkan keuntungan dari tomat adalah Rp 45 juta. BS dalam menghitung biaya produksi dilakukan dengan cara menghitung biaya perpohon. Untuk melon biaya yang dikeluarkan untuk tiap pohonnya adalah Rp 6700. Semua modal untuk mendirikan perusahaan pertaniannya dengan menggunakan modal sendiri. Penyiraman dan pemupukan dilakukan dengan menggunakan mesin yang sudah modern. Dalam pemberantasan hama dan penyakit masih menggunakan pestisida kimia dan jarang menggunakan pestisida nabati. Alasannya dia jarang menggunakan pestisida nabati karena usaha pertaniannya untuk bisnis maka sangat sulit kalau harus menggunakan pestisida alami yang daya kerjanya menurutnya sangat lamban dalam membasmi hama dan penyakit. Untuk mengurangi kadar residu pestisida BS menggunakan pestisida dosis rendah. Namun ketika di konfirmasi merk pestisida yang ia gunakan dia menolak dengan alasan pestisida yang ia gunakan adalah pestisida atas rekomendasi tenaga ahlinya dan telah di uji oleh ahli kimia yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Secara umum menurut BS, harga produk yang diterima petani lebih tinggi dari harga pasar. Harga ditentukan oleh perusahaan sendiri, dengan waktu pembayaran bisa tunai atau maksimal seminggu setelah barang disetorkan. Jika dibandingkan, setelah mengikuti kemitraan BS merasakan adanya perubahan dalam bisnis usahataninya. Produktivitas lahan setelah bermitra lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dan mutu produk yang dihasilkanpun sudah baik. Karena menurutnya selama bermitra BS selalu melakukan cara- cara bertani sesuai anjuran perusahaan, walaupun sebenarnya secara garis besar cara bertani anjuran perusahaan sama saja dengan sebelumnya. Sehingga sampai saat ini BS selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah produk secara terus-menerus sesuai standar yang ditetapkan perusahaan. Dalam hal kebutuhan modal BS juga merasakan adanya peningkatan, dimana kebutuhan akan tenaga kerja juga bertambah. Tenaga kerja mudah didapatkan di sekitar tempat tinggalnya, BS tinggal menghubungi pekerja dan akan datang sesuai permintaannya. Dalam kegiatan usahataninya BS dapat memenuhinya dari modal sendiri, jika sedang kesulitan kadang-kadang BS meminjam dari perusahaan mitra. Dari perubahan yang terjadi yang penting untuk BS adalah adanya peningkatan dalam pendapatannya setelah mengikuti pola kemitraan. Tetapi diantara keuntungan yang dirasakan, BS juga menilai bahwa masih ada yang kurang sesuai dengan perjanjian dan keinginannya yaitu dalam hal kunjungan penyuluh serta fasilitas angkut. BS juga mengeluhkan bahwa petani mitra tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pola kemitraan. Petani mitra langsung disodorkan pada peraturan-peraturan perusahaan yang harus disetujui. Peraturan tersebut meliputi aspek mutu produk harus yang terbaik, aspek harga dan sistem pembayaran ditentukan perusahaan, serta ketegasan bahwa perusahaan tidak ikut menanggung resiko kegagalan panen dari petani mitra. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan pola kemitraan yang diikutinya, BS mengungkapkan ingin tetap melanjutkan kerjasama dengan perusahaan ini. Selain bermitra dengan Saung Miwan, Parung Farm, dan MGA dalam segi pemasaran, BS juga bermitra dengan PT Joro di Lembang. Dalam membeli pupuk dan bibit BS selalu membeli di PT Joro sedangkan untuk pestisida saat ini ia peroleh dari Saung Mirwan. Kasus 2. Bermitra untuk Belajar dan Mengembangkan Usaha RD, Sukamaju, Megamendung RD merupakan petani berusia 55 tahun, dengan tingkat pendidikan terakhir tamat SD. Sebelum bekerja sebagai petani, RD mengawali kariernya dengan bekerja sebagai pedagang yang dimulai tahun 1968, ketika itu RD berusia 18 tahun. Tahun 1977 RD berhenti berdagang, karena dirasa kurang menguntungkan, kemudian pada tahun yang sama RD mencoba bertani. Sebenarnya bidang usahatani bukan hal baru bagi RD, karena orangtua dan saudara-saudaranya adalah petani. Saat itu RD mencoba menanam padi dan beberapa jenis sayuran, tetapi belum banyak jenisnya. Seiring waktu RD terus mencoba menanam berbagai jenis tanaman. RD telah berhasil menanam jagung, ubi, singkong, cabe, caisim dan tomat. Sejak tahun 1993 RD ikut bermitra dengan Saung Mirwan SM Bogor. Sebelumnya RD telah mengetahui ada temannya yang ikut bermitra dengan perusahaan SM dan cukup berhasil, sejak saat itu RD sudah tertarik untuk bermitra. Kemudian RD didatangi oleh petugaspenyuluh SM, kemudian dijelaskan bahwa tersedia paket bibit, pupuk dan pestisida yang bisa dipinjam dahulu, adanya kunjungan penyuluh, sehingga jika mengalami kesulitan bisa langsung bertanya, pemasaran lebih terjamin, walaupun harga ditetapkan perusahaan tetapi harganya selalu di atas harga pasar, selain itu RD tertarik untuk mencoba menanam komoditas SM yang merupakan tanaman baru baginya. RD menyatakan kesediaan untuk bermitra dengan SM. Kemudian RD diminta datang ke kantor SM, dan terjadi kesepakatan secara lisan. Komoditas pertama yang ditanam oleh RD yaitu edamame, dan hasilnya cukup memuaskan, kemudian RD juga mencoba menanam Okra dan Zukini. Selanjutnya RD menanam edamame-okra- zukini secara bergiliran pada lahannya. Keuntungan lain juga dirasakan oleh RD yaitu dalam hal pengangkutan produk, ditanggung oleh SM. Selain menanam komoditas SM, RD juga tetap menanam komoditas sayuran lokal seperti caisim, wortel, ubi, dan bawang. Komoditas non mitra ini dijualnya kepada pengumpul yang datang. Saat ini 2005 RD juga mencoba menanam komoditas baru yaitu jagung manis. Tetapi walaupun jenis tanaman yang ditanam bertambah, luas lahannya tidak banyak bertambah, dimana untuk menanam komoditas mitra dan non mitra ditanam di lahannya yang seluas 5 000 m. Diversifikasi ini dilakukan agar jika terjadi gagal panen di salah satu komoditas dapat ditutupi oleh komoditas lain. Sedangkan untuk lahannya seluas 2 500 m ditanam padi sepanjang tahun. Menurut RD harga yang diterima petani dari produk mitra umumnya lebih tinggi dari harga pasar, tetapi barangnya harus yang memiliki kualitas paling bagus. Jika dilihat dari produktivitas lahan, RD melihat bahwa tidak ada perubahan sebelum bermitra dengan setelah bermitra. Hal ini berakibat pada tidak adanya peningkatan pada pendapatan RD setelah bermitra. Apalagi perusahaan tidak ikut menanggung jika terjadi kegagalan usahatani. Setelah mengikuti kemitraan tidak ada perubahan dalam kebutuhan tenaga kerja, RD hanya kadang-kadang menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Biasanya tenaga kerja ini bisa dengan mudah dicari disekitar rumahnya. Kebutuhan dalam penggunaan modalpun tidak berubah, menurut RD dalam penyediaan modal usaha di daerahnya relatif cukup mudah. Tetapi selama ini RD bisa memenuhi kebutuhan modalnya sendiri, kalaupun sedang kesulitan RD dapat meminjam kepada teman sesama petani atau meminjam ke perusahaan dalam bentuk saprodi. Setelah bermitra RD memang mengenal beberapa jenis kkomoditas baru, tetapi menurutnya dalam hal pengetahuan dan keterampilan penanganan produk hasil panen tidak diajarkan sesuatu yang baru, karena setelah panen produk langsung dibawa ke perusahaan. Bahkan untuk proses sorting perusahaan sendiri yang menentukan. Petani mitra sama sekali tidak dilibatkan dalam hal proses pasca panen seperti cleaning, sorting, grading, packing, dan prosesing. RD mengungkapkan bahwa selama ini petani mitra tidak pernah dilibatkan dalam hal proses perencanaan. Petani mitra harus mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan perusahaan. Peraturan tersebut meliputi aspek mutu, aspek jumlah, aspek kontinyuitas, aspek harga, sistem pembayaran yang dilakukan bisa tunai atau seminggu kemudian, dan harga ditentukan oleh perusahaan. Selama ini menurut RD pembayaran dari perusahaan selalu tepat waktu, sesuai janji yang diberikan ketika menyetorkan produknya. Untuk aspek saprodi, perusahaan menyediakan pinjaman, tetapi wajib dikembalikan ketika panen, dengan cara langsung dipotong oleh perusahaan. Sanksi yang ditekankan oleh perusahaan adalah akan diputus hubungan kerjasama jika petani mitra menjual produknya selain ke perusahaan, atau jika tidak menanam jenis komoditas yang dianjurkan. RD mengaku selama ini selalu mengikuti apa yang menjadi ketentuan perusahaan, termasuk melakukan cara- cara bertani yang dianjurkan perusahaan, walaupun sebenarnya menurut RD cara- caranya sama saja. Salah satu keuntungan dari bermitra menurut RD, yaitu adanya kunjungan penyuluh, sehingga jika ada kesulitan bisa langsung bertanya, biasanya penyuluh datang setiap tiga hari sekali, dan adanya fasilitas angkut. Terlepas dari keuntungan dan kerugian dari bermitra, sampai saat ini RD tetap masih bersedia untuk melanjutkan hubungan kemitraan dengan SM. Kasus 3. Berhenti Bermitra karena Rugi SF , Megamendung SF adalah petani di kampung Cihanjawar, Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung. Saat ini SF berusia sekitar 54 tahun, dengan pendidikan terakhir SD. Keahliannya dalam berusahatani diperoleh dari orangtuanya, sambil bertani SF juga menjadi pedagang pengumpul yaitu sekitar tahun 1980. Kemudian tahun 1995, karena sudah merasa capek SF memutuskan untuk berhenti berdagang dan memilih bertani saja. Sampai saat ini SF sudah pernah berhasil menanam padi, wortel, caisim, jagung, ubi, kacang merah, dan bawang daun, yang dijualnya kepasar atau pedagang pengumpul. Sedangkan untuk komoditas mitra perusahaan, SF pernah menanam edamame dan zuikini. SF saat ini tidak sedang bermitra, dia menjual produknya kepada pengumpul yang mendatanginya, jadi tidak terikat kesepakatan tertentu. Sebelumnya SF pernah bermitra dengan SM sejak tahun 1997, kemudian berhenti tahun 2002. Awal ketertarikan SF bermitra dengan SM karena melihat beberapa tetangganya yang ikut bermitra cukup berhasil, selain itu didatangi oleh petugas penyuluh SM yang menjelaskan semua ketentuan-ketentuannya. Saat itu komoditas yang ditanam SF yaitu edamame dan zukini. Menurut SF pada saat awal- awal bermitra memang harga produknya tinggi dan dapat meningkatkan pendapatannya, tetapi kemudian menjadi semakin menurun karena proses sorting yang terlalu ketat, sehingga banyak produknya yang termasuk kategori BS, hal ini menurunkan pendapatan SF, sementara kebutuhan untuk pupuk dan pestisida tetap tinggi. Jadi kebutuhan modal ketika bermitra menjadi lebih tinggi, belum lagi perlu penambahan tenaga kerja luar keluarga. Jika dibandingkan ketika bermitra, menurut SF tidak ada peningkatan produktivitas lahan, apalagi resiko kegagalan usahatani hanya ditanggung petani saja. Dalam perencanaan peraturan- peraturan di perusahaan, petani mitra tidak pernah dilibatkan. Sementara jika menanam produk lain yang dijual ke pengumpul, standarisasi produk tidak ada, sehingga menurut SF produk non mitra lebih menguntungkan. Oleh karena itu SF lebih memilih tidak bermitra dan menjual produknya pada pengumpul yang datang atau SF menawarkan sendiri produknya. Saat ini komoditas yang ditanam SF yaitu ubi, caisim, jagung, dan padi, yang ditanam dilahan seluas 0.5 Ha. Kasus 4. Bermitra Karena Ada Kepastian Pasar dan Bimbingan Teknis ON, Cisarua ON adalah petani di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. ON berusia sekitar 64 tahun dan memiliki pendidikan terakhir tamat SD. ON mulai mengenal usaha tani dari bekerja sebagai buruh tani di usahatani tetangganya. Setelah merasa mampu mengelola usahatani sendiri, maka tahun 1975 ON mencoba bertani bawang daun. Saat itu pasar bagi produk usahataninya yaitu tengkulak diwilayahnya. Sampai akhirnya tahun 1994, ON berkenalan dengan Pak Dwi, yang merupakan petugas dari BSB. Dari Pak Dwi inilah kemudian ON mengenal BSB. ON kemudian memutuskan untuk bermitra dengan BSB, dengan pertimbangan bahwa dengan bermitra ON mendapat sewa lahan, mendapatkan bimbingan teknis dari penyuluh BSB dan yang penting ada kepastian pasar. Kemitraan yang terjalin diawali dengan kesepakatanperjanjian yang meliputi, kontrak lahan seluas 0,5 Ha, yang diperbaharui setiap tahunnya dengan harga Rp.300 000,- pertahun, jenis komoditas yang ditanam ditentukan oleh BSB, menggunakan sistem pertanian organik, dan harus menjual hasilnya ke BSB. Jika ON tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut, misalnya menjual produk ke pihak lain, maka praktis kesepakatan kerjasama akan terputus. Untuk biaya saprodi berupa pupuk, bibit dan pengangkutan ON menggunakan modalbiaya sendiri. Mengenai harga, menurut ON ditentukan oleh perusahaan sehingga harga lebih pasti. Waktu pembayaran dilakukan antara tunai sampai maksimal dua minggu, tergantung kesepakatan ketika mengirimkan produk, dan selama ini perusahaan selalu membayar dengan tepat waktu. Sejak bermitra dengan BSB, jenis komoditas yang ditanam ON lebih banyak, yang merupakan jenis sayuran lokal. Sampai saat ini ON sudah pernah berhasil menanam berbagai jenis sayuran seperti : wortel, buncis, kacang merah, kacang tanah, kapri, sereh, bawang daun, pare, caisim, kecipir, oyong, seledri, cabe, timun, ubi jalar, jagung manis, jagung baby, kol, kunyit dan jahe. Jika dilihat dari produktivitasnya, setelah bermitra mengalami peningkatan dibandingkan sebelum mengikuti pola kemitr aan, tetapi jika mengalami kegagalan, resiko ditanggung petani sendiri. Dari segi pendapatan ON merasakan peningkatan sejak bermitra dengan BSB. Menurut ON setelah mengikuti anjuran bertani dari perusahaan, ON dapat menghasilkan produk yang lebih baik. Selain itu ON juga mendapatkan peningkatan pengetahuan dalam budidaya pertanian terutama dengan sistem organik. Sepanjang ingatan ON, sampai saat ini ON selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah yang ditetapkan serta dipenuhi secara terus-menerus. Oleh karena itu hingga sekarang ON tetap mempertahankan kemitraan dengan BSB, begitupula pihak BSB, menurut ON tetap mempunyai keinginan untuk melanjutkan kemitraan. KASUS PE TANI CIANJUR Kasus 5. Pedagang Pengumpul yang Bermitra dengan Perusahaan dan Petani HM,Gunung Batu, Sindangjaya HM merupakan petani asal Gunung Batu, saat ini berusia sekitar 30 tahun dengan pendidikan terakhir tamat SD. Pekerjaan utama HM adalah sebagai pedagang pengumpul sayuran, karena di daerahnya merupakan penghasil sayuran, tetapi para petani masih kesulitan memasarkan produknya. Hal itulah yang kemudian mendorong HM menjadi seorang pedagang pengumpul. HM juga mempunyai usahatani sendiri, HM mempunyai keterampilan dalam kegiatan usahatani yang diperoleh dari orangtuanya. HM memulai kegiatan usahatani sejak tahun 1998. Pada saat HM mencari pasar, HM mendapat informasi dari temannya bahwa ada perusahaan yang dapat menampung produk sayuran. Perusahaan tersebut yaitu PS, tetapi hubungan kemitraan yang terjalin tidak berlangsung lama, karena PS sering macet dalam pembayaran, sementara kualitas produk yang diminta adalah yang terbaik. Sehingga HM memutuskan hubungan kemitraan tersebut. Pada tahun 1999 akhir HM didatangi petugas KF yang menawarkan kemitraan. Aturan-turan kemitraan meliputi kualitas dan jumlah produk ditentukan oleh perusahaan, harga disepakati bersama dimana sebelum barang dikirimkan HM melakukan nego harga lewat telepon dengan pihak perusahaan. Setiap minggunya HM harus dapat memasukan barang sesuai permintaan, jika tidak, ada kemungkinan diputus hubungan kerjasamanya. Kemitraan ini hanya sebatas penjualan, tidak meliputi saprodi, modal, fasilitas angkut, tenaga penyuluh, maupun cara budidaya juga tidak ada proses perencanaan maupun evaluasi. Begitupula dalam hal resiko kegagalan usaha ditanggung oleh petani sendiri. Dalam hal pengetahuan dan keterampilan pasca panen, tidak ada peningkatan karena HM sudah terbiasa melakukan cleaning dan sorting setelah pasca panen. Sedangkan untuk proses grading, packing sampai prosesing dilakukan oleh perusahaan mitra. Menurut HM, harga yang diterima petani umumnya tidak pasti dan dibawah harga pasar. Harga ditentukan atas kesepakatan antara perusahaan dengan petani mitra, dan biasanya pembayaran biasanya dilakukan secara tunai atau sampai maksimal seminggu, tergantung kesepakatan ketika mengirimkan barang. Sampai saat ini pembayaran yang dilakukan perusahaan selalu tepat waktu. Dari segi produktivitas lahan, menurut HM mengalami peninngkatan. Sehingga secara umum pendapatannya mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 HM juga menjalin kemitraan dengan perusahaan lain yaitu RA, PM dan KPR. Sampai saat ini HM selalu dapat memenuhi permintaan perusahaan mitranya, pasokan produk diperolahnya dari petani-petani yang sudah menjadi langganan menjual pada HM, saat ini jumlah petani yang menjadi mitranya ada sekitar 50 orang. Pendapatan bersih dari menjadi pedagang pengumpul ini mencapai Rp 2 000 000,- perminggunya. Adapun komoditas yang dimitrakan meliputi bawang daun, brokoli, horinso, daun mint, daun dil, kailan, bitrut, tangho, sampho sawi, dan wortel. Kasus 6. Berhenti Bermitra dengan Perusahaan dan Mencari Pasar Sendiri HS,Gunung Batu, Sindangjaya HS merupakan petani berusia 54 tahun dengan pendidikan terakhir yaitu tamat SD. HS mempunyai pekerjaan ganda yaitu sebagai pedagang pengumpul dan sebagai petani. HS tinggal di Kampung Gunung Batu, Cipanas, Kabupaten Cianjur. Keterampilan bertani HS pertama kali diperoleh dari orangtuanya, dimana HS terbiasa membantu kegiatan usahatani orangtuanya sejak lulus SD. Pada tahun 1975 dan setelah berkeluarga HS kemudian mempunyai usahatani sendiri. Komoditas yang ditanam yaitu bawang daun, bawang putih dan wortel. Seiring waktu HS juga menambah jenis komoditas yang ditanamnya yiatu kentang, brokoli, kol, bombay, horinso dan lobak. Tetapi semua jenis komoditas tersebut tidak ditanam secara bersamaan, biasanya dilakukan pergiliran pada lahan seluas 1,18 ha. Tidak ada jadwal khusus untuk pergiliran tanaman, biasanya tergantung situasikondisi dan keinginan HS sendiri. HS pada awalnya menjual produk pertaniannya ke pasar Cianjur. Pada tahun 1990, HS melihat banyak petani yang kesulitan memasarkan produknya, sehingga kemudian HS mencoba untuk membeli produk petani-petani disekitarnya dan menjualnya ke pasar, bukan hanya di Cianjur, tetapi sudah mencoba ke pasar induk Bekasi. HS kemudian mendapat informasi dari temannya bahwa ada perusahaan yang dapat menampung produk sayuran, yaitu PS, bersama temannya HS mencoba memulai menjalin kemitraan dengan PS. Kemitraan ini tidak berlangsung lama karena HS merasa kecewa, dimana standarisasi mutu produk terlalu tinggi sehingga HS seringkali tidak bisa memenuhi standar yang ditetapkan PS. Jika dibandingkan pada saat bermitra dengan PS, harga yang diterima petani umumnya tidak pasti atau dibawah harga pasar. Harga ditentukan oleh perusahaan, dan sering terjadi kemacetan dalam pembayarannya. Selain itu produktivitas lahan tidak ada peningkatan, juga tidak ada peningkatan dalam hal pengetahuan maupun keterampilan penanganan pasca panen, ditambah resiko kegagalan usaha ditanggung oleh petani sendiri. Sehingga menurut HS ketika bermitra pendapatannya cenderung mengalami penurunan. Perusahaan tidak menyediakan fasilitas pendampingan atau penyuluhan serta angkutan. Peraturan-peraturan kemitraan ditentukan oleh perusahaan sendiri tanpa melibatkan petani mitra dalam proses perencanaannya. Saat ini HS memutuskan tidak bermitra dengan pihak perusahaan, HS lebih memilih menjual sendiri produknya di Pasar Induk Bekasi, dimana HS sudah mempunyai toko sayuran sendiri. Dengan mempunyai toko sendiri HS tidak terikat oleh aturan apapun dan dapat mementukan penjualan produknya sendiri. Pendapatannya bisa mencapai Rp. 2 000 000,- perhari, sehingga pekerjaan utama HS adalah berdagang, sedangkan bertani merupakan pekerjaan sampingan. HS tidak membatasi jenis komoditas yang dijual petani kepadanya, semua jenis sayuran dapat dibeli dan kemudian di jual di tokonya. Pembayaran kepada petani dapat diberikan langsung atau jika tidak ada uang di tangguhkan esok hari setelah produk terjual. Untuk sistem pembayaran seperti ini biasanya dilakukan pembiacaraan atau kesepakatan antara HS dan petani. HS tidak kesulitan dalam memperoleh produk sayuran untuk memasok tokonya, karena HS adalah ketua kelompok tani di Gunung Batu, sehingga biasanya anggota kelompok taninya menjual produknya pada HS. Kelompok tani ini dinamakan kelompok Mekar Jaya. HS sering mengikuti pelatihan, melihat Demontrasi Farm dan melihat pameran di Majalengka yang diadakan oleh Dinas Pertanian Bandung. Dari hasil pelatihan tersebut biasanya dosampaikan di dalam pertemuan kelompok oleh HS. Termasuk ketika mendapat informasi tentang penggunaan pestisida alami. HS pernah menggunakan air kencing kelinci dan beberapa jenis daun-daunan dari tanaman liar. Hal ini diketahui HS dari penyuluh, tetapi ternyata hasilnya kurang memuaskan, selain itu sulit memperoleh bahan-bahannya, sehingga kemudian HS memutuskan untuk memakai pestisida kimia. Kasus 7. Bermitra untuk Bisnis Brokoli JJ, Galudra, Cugenang JJ adalah petani di Galudra, daerah Cugenang, Kabupaten Cianjur. Saat in JJ berusia sekitar 33 tahun, dengan pendidikan terakhir tamat SD. Pada awalnya yaitu pada tahun 1990, JJ mengawali karirnya sebagai petani dengan membantu ayahnya. JJ menanam wortel, bawang daun, dan cabe di lahan milik orang tuanya. JJ merasa pendapatan sebagai petani sangat kecil, sehingga pada tahun 1998 JJ mengawali karirnya sebagai pedagang pengumpul sayuran di desanya tanpa meninggalkan profesinya sebagai petani. Perkembagan Bisnis sayuran dari tahun ke tahun makin berkembang, tepatnya pada tahun 2000 JJ bergabung dengan perusahaan agribisnis yang ada di Cianjur yaitu perusahaan KF. Setelah bergabung dengan perusahaan tersebut JJ mulai mengembangkan produk baru sesuai dengan permintaan perusahaan yaitu tanaman brokoli. Tanaman ini tergolong masih cukup baru untuk kalangan petani di Galudra. Berkat keuletannya JJ berhasil mengembangkan dan menghasilkan brokoli sesuai dengan kualitas sesuai standar mutu perusahaan. Keuntungan dari menanam brokoli mampu meningkatkan taraf hidup JJ dan keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya luas lahan yang ia miliki dan perbaikan rumah dengan hasil menanam brokoli. Luas lahan yang dimiliki JJ untuk menanam brokoli seluas 3 Ha, dengan 45 orang karyawan dengan gaji berkisar antara Rp. 350 000,- sd Rp. 1 500 000,- . JJ melakukan pembagian kerja dengan bagian-bagian tertentu yaitu bagian Produksi, bagian prosesingpackaging, dan bagian pemasaran. Permintaan brokoli milik JJ terus meningkat dan saat ini JJ juga menjadi suplier supermarket di Jakarta yaitu, Carrefure, Super Indo, PS, dan SM, dengan total permintaan perminggu minggu 2 250 Kg. Selain memproduksi sendiri JJ juga menampung brokoli dari petani lain di desanya dengan syarat mutu produknya harus bagus. Tetapi di Galudra sangat jarang petani yang bertahan lama menanam brokoli karena keterbatasan modal. Penguasaan teknologi JJ sudah cukup bagus, hal ini bisa dibuktikan ketika tanaman brokolinya terserang ulat dan susah dibasmi maka teknik penyemprotannya dengan menggunakan teknik infus. Teknik ini lebih efektif karena pestisidanya biasa langsung terserap brokoli, sehingga JJ tetap bisa mempertahankan kualitas brokolinya. Keterampilan ini juga ditularkan kepada petani lain namun jarang petani yang mau menirunya karena keterbatasan modal. JJ bersedia membantu petani yang bersedia menanam brokoli dalam hal teknik budidaya tetapi JJ belum bersedia meminjamkan modal untuk menanam brokoli bagi petani lain. Menurut JJ harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dengan perusahaan. Pembayaran dilakukan antara seminggu sampai maksimal 4 minggu. Selama ini perusahaan selalu dapat memenuhi pembayaran dengan tepat waktu. Walaupun dalam hubungan kemitraan ini tidak ada fasilitas pendampingan penyuluh dalam teknik budidaya, serta tidak ada fasilitas angkut, tetapi JJ tetap menyatakan bersedia melanjutkan kerjasama kemitraan dengan perusahaan, begitupula pihak perusahaannya. Selama ini JJ selalu dapat memenuhi standar mutu, jumlah secara terus-menerus sesuai dengan ketetapan perusahaan. Bagi JJ kemitraan ini penting dalam hal menjamin pemasaran produknya. Kasus 8. Tidak Bermitra karena Masalah Modal dan Ketrampilan Teknis Budidaya HZ, Galudra, Cugenang HZ tidak bermitra sama sekali baik dengan pengumpul ataupun dengan perusahaan. Alasan dia tidak ikut kemitraan dengan perusahaan adalah kalau ikut kemitraan dengan perusahaan biasanya memerlukan modal yang cukup besar. Produk yang ditanam merupakan produk yang baru seperti brokoli, horinso, tangho yang belum pernah ia usahakan. Sedangkan untuk bermitra dengan pengumpul tidak pernah ia lakukan menurutnya lebih enak menjual ke siapa saja karena bisa bernegosiasi dalam harga produk. Ia bisa memilih pengumpul mana yang memberikan harga yang lebih tinggi. HZ merupakan petani yang sudah cukup lama, HZ sudah 32 tahun menjadi petani dan belum pernah mempunyai pekerjaan lain. Saat ini usianya telah mencapai 47 tahun, dengan pendidikan terakhirnya tamat SD. Meskipun sudah cukup lama menjadi petani produk yang dihasilkan masih bersifat mass produk. Produk yang pernah ia produksi antara lain bawang daun, buncis, wortel, brokoli, dan cabe. Namun brokoli hanya sekali diproduksi dan sekarang tidak diproduksi lagi karena mengalami kerugian dan membutuhkan modal yang besar. Lahan yang diusahakan HZ terdiri dari lahan milik pribadi seluas 0.2 Ha, dan lahan sewa seluas 0.1 Ha. Pada lahan tersebut dilakukan pergiliran penanaman berbagai komoditas sayuran, tetapi tidak ada jadwal khusus untuk jenis tanaman tertentu. Jadi pola tanam yang dilakukan sepanjang tahun menanam komoditas sayuran. Meskipun tidak pernah bermitra namun HZ pernah aktif di kelompoktani yang ada di desanya. Dia juga pernah mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Terpadu SLPHT yang ia praktekkan dalam berusahatani. HZ mempunyai pengetahuan dalam pengendalian hama, meskipun pengendalian hamanya tidak menggunakan pestisida nabati namun ia mempunyai strategi khusus dalam penggunaan pestisida kimia. Menurutnya pestisida kimia hanya berbahaya jika penggunaannya berlebihan, jika penggunaannya secara bijaksana tidak akan berdampak buruk baik untuk manusia maupun lingkungan. HZ hanya menyemprot jika tanamannya benar-benar dalam ambang bahaya dan dosis yang ia gunakan sesuai dengan petujuk yang ada di kemasan atau dengan melihat seberapa parah serangan hama terhadap tanamannya. Menurutnya pergiliran tanaman perlu dilakukan untuk memutus mata rantai hama dan penyakit. Selama ini dalam memenuhi kebutuhan modal untuk bibit, pupuk, obat- obatan, membayar tenaga kerja dan kadang- kadang untuk pengangkutan, dengan menggunakan biaya sendiri. Kalaupun kadang- kadang jika sedang dalam kesulitan HZ biasanya akan meminjam dari teman sesama petani di sekitar tempat tinggalnya. Termasuk jika menemui kesulitan dalam hal budidaya tanamannya, HZ terbiasa bertanya atau berdiskusi serta berbagi pengalaman dengan teman sesama petani. Kasus 9. Pedagang Pengumpul dan Petani Brokoli: Diberhentikan sebagai Mitra AP, Galudra, Cugenang Awalnya Ap 23 tahun adalah seorang sopir angkutan umum di wilayah Bandung. Kemudian pindah ke Cianjur karena ia bekerja sebagai sopir mobil pemasok sayuran milik seorang pedagang pengumpul. Dia menikah dengan anak seorang petani di Desa Galudra Kecamatan Cugenang, Cianjur. Mertuanya seorang petani sayuran yang juga sering menanam brokoli. AP mencoba menawarkan produk hasil usahatani mertuanya ke pedagang pengumpul atau perusahaan agribisnis di wilayah Cianjur. Akhirnya AP menjadi salah satu pemasok brokoli di Perusahaan PS. Sebagai supplierpemasok AP bekerjasama dengan 6 petani brokoli di daerah Galudra-Cianjur, termasuk mertuanya sendiri. Mulai saat itu ia juga belajar bertani dan mengelola sebuah usahatani brokoli. Dengan luas lahan ± 2000 m 2 atau menanam 3000 tanaman, selama 40 hari setelah tanam atau 80 hari setelah semai, brokoli siap dipanen. Cara pemanenannya dipilih, dan setiap dua hari bisa panen sampai 5 kali panen. Setelah masa panen habis yaitu 40 hari sd 50 hari setelah tanam menghasilkan kurang lebih 150 kg brokoli kualitas super yang dijual ke PS dengan harga Rp 5000 per kilo dan 350 kg brokoli kualitas AB dicampur yang besar dan kecil yang dijual ke pasar lokal dengan harga Rp 4500 per kilo. AP mengambil benih dan pupuk dari penjual saprodi di Cipanas, sedangkan tenaga kerja dikerjakan oleh dia sendiri bersama mertuanya. Penjualan ke PS dibayar seminggu kemudian, sedangkan penjualan ke pasar dibayar 3 hari kemudian. Saat peneliti kembali lagi ke AP Mei 2005 untuk mencari informasi lanjutan, AP sudah tidak bermitra lagi dengan PS. Perusahaan PS melakukan proses budidaya sendiri dari produk yang dulunya dibeli dari mitranya sehingga PS menghentikan sebagian besar mitranya, termasuk AP. Jadi saat ini AP bekerja sebagai sopir mobil pemasok sayuran sambil membantu mertuanya bertani sayuran. Kasus 10. Petani dan Pedagang Pengumpul Brokoli IM, Cipanas: Berhenti bermitra karena merasa dirugikan IM adalah salah satu suplier brokoli untuk PS. Setiap hari IM memasok 15 sd 20 kg brokoli ke PS. Tetapi sejak 6 bulan yang lalu tidak penah lagi memasok karena harga lebih rendah dari pasar dengan kualitas yang lebih tinggi super tanpa ulat, batang pendek, di pasar brokoli dicampur besar- kecil, dan batang panjang dan waktu bayarnya lebih lama yaitu seminggu kemudian, sedangkan di pasar bayar 3 hari kemudian. Kadang-kadang order terlambat, sehingga petani rugi karena bila sudah sore harga sudah turun atau tidak ada lagi yang mau membeli di pasar Cipanas. Seharusnya jelas berapa jumlah yang harus dikirim, dan ordernya juga siang hari, jadi kalau ada kelebihan bisa segera dijual ke pasar. Selain sebagai pedagang pengumpul khusus brokoli, sejak dulu ia sudah menjadi petani brokoli. IM lahir tahun 1951, tahun 1964 lulus SD, tahun 1965 belajar bertani pada orangtua. Ia lahir dan tinggal di dusun Rarahan, Desa Cibodas, Kec. Pacet, Kab Cianjur, berdekatan dengan lokasi wisata taman Nasiona l Cibodas. Saat ini IM terkenal sebagai seorang suplier brokoli untuk wilayah Pacet, Cianjur, Jawa Barat, bahkan Indonesia, demikian menurut penuturannya. Ia sangat terkenal karena kualitas brokoli yang dihasilkan atau dipilihnya untuk dijual ke supermarket. Para peneliti maupun tamu-tamu asing sering berkunjung ke rumahnya untuk menggali informasi yang berkaitan dengan usahatani brokoli. Saat ini ratusan petani sayuran di daerah sekitar Pacet menjadi mitranya. Petani-petani di desa Padajaya, Gunung Batu, Pasir Sarongge, Jolak, Ciketuk, Pasir Kampung, Cikurang, Galudra, Gunung Putri dan Ciguntur. Setiap kali petani hendak menjual brokoli yang siap untuk dipanen petani tersebut menelpon IM untuk dilihat hasil brokolinya yang masih di lahan. Tawar-menawar harga dilakukan sampai tercapai kesepakatan antara keduanya. Sambil membeli brokoli dari petani, IM juga kerapkali melakukan penyuluhan ke petani, misalnya tentang kualitas yang bagus, teknik budidayanya, pola tanam, dsb. Dia juga kerap kali memberi bantuan pinjaman ke petani seperti benih, tetapi ia tidak memaksa petani untuk menjual kepadanya, bentuknya sukarela. IM menjual brokoli dari petani ke suplier di pasar Cipanas, yaitu Haji Sola. Ia ini adalah pedagang pengumpul untuk memasok berbagai jenis sayuran ke supermarket atau pasar induk Keramat Jati atau siapa saja yang membutuhkan sesuai orderpesanan. Kasus 11. Petani Brokoli PW, Cibodas: Bermitra untuk Mendapatkan Kepastian Pemasaran PW 52 tahun adalah seorang pendatang di Cianjur. Pendidikan terakhir PW adalah tamat SMP. PW seorang petani yang mengelola lahan sawah dan tegalan di Cibodas. Lahan tersebut milik orang Jakarta, ia menyewanya satu juta rupiah pertahun. Brokoli ditanam dengan sistem tumpang sari dengan bawang daun dan selada keriting. Untuk tanaman selingan dalam satu tahun ia menanam cabe merah keriting. PW adalah orang jawa yang tinggal bersama keluarganya di dusun Rarahan, Desa Cibodas Keb. Cianjur. Perjalanan hidupnya sampai menjadi petani dimulai dari sebagai karyawan sebuah perusahaan di Jakarta. Sejak sekitar tahun 1980 perusahan tersebut membuka usaha agribisnis di sekitar daerah Wisata Kebun Raya Cibodas. Perusahaan tersebut menyebarkan benih brokoli ke petani sekitar disertai pembinaan teknis budidaya. Petani-petani tersebut nantinya akan menjual hasil panennya ke perusahaan. Pada saat itu PW bekerja sebagai juru catat tata buku pinjaman benih, pupuk, pestisida, dll para petani brokoli. Perusahaan tersebut menampung hasil panen petani dan menjualnya ke PT Kem Farm. Pada tahun 1986 perusahaan tersebut bangkrut. Petani-petani brokoli akhirnya melanjutkan pola kemitraan dengan Kem Farm. PW praktis kehilangan pekerjaan sejak perusahaan tersebut berhenti. Sejak itulah PW mencoba belajar bertani brokoli seperti petani-petani yang lain, dan menjualnya ke Kem Farm. Menurut PW harga yang diterima petani lebih tinggi dari harga pasar serta lebih pasti, dimana harga ditentukan oleh perusahaan, walaupun kadang- kadang harga bisa saja lebih rendah dari harga pasar. Pembayaran dilakukan setelah empat minggu bahkan kadang-kadang lebih, tetapi biasanya diberitahukan terlebih dahulu oleh perusahaan. Selama ini PW selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah sesuai standar perusahaan dan dilakukan secara terus-menerus. PW mengungkapkan kedepannya masih bersedia melanjutkan kemitraan dengan perusahaan, karena dengan bermitra PW mendapatkan jaminan pemasaran bagi produknya. KASUS PE TANI BANDUNG Kasus 12. Petani Paprika STD, Pasirlangu, Cisarua: Mendirikan Koperasi untuk Mempermudah Pemasaran STD 41tahun pendidikan terakhir tamat SMA, memperoleh ketrampilan bertani dari orangtua dan kerabat dekatnya. Sebelum ada paprika, komoditas labu siam merupakan tanaman unggulan daerah ini yang mulai di tanam pada tahun 1978 menggantikan padi dan jagung, karena labu siam lebih menguntungkan. STD merupakan salah satu pengurus Koperasi Mitra Sukamaju, Cisarua. Setamat SMA dia melanjutkan kuliah di ITB setelah beberapa semester dia sakit kemudian keluar. Beberapa waktu kemudian dia mendaftar di Unpad dan sempat kuliah juga beberapa semester, sebelum kemudian keluar. Selama kuliah di dua universitas tersebut dia sangat menyukai kegiatan penelitian di lab hingga saat ini dia masih menjalani hubungan dengan lab -lab yang ada di sana. Setelah putus kuliah dia pulang ke desa asalnya di Pasirlangu. Pada tahun 1995 dia berkenalan dengan orang Joro dan saat itulah perkenalan awalnya dengan paprika, bersama-sama dengan beberapa orang masyarakat Pasirlangu. Mereka mengunjungi pusat budidaya Paprika di Saung Mirwan Bogor. Sepulangnya dari sana dia mencoba menanam paprika di green house yang sederhana namun percobaan pertamanya ini gagal. Dia tidak berputus asa mencoba berusaha lagi, meskipun tindakan dia saat itu dianggap aneh dan nekat oleh masyarakat setempat karena kebiasaan di sana adalah bercocok tanam labu siam. Setelah beberapa waktu karena belajar dari kegagalan sebelumnya, akhirnya percobaannya membuahkan hasil. Keberhasilannya ini membuat masyarakat tertarik untuk mencoba tanaman baru ini apalagi waktu itu keuntungan tanaman ini cukup menjanjikan. Namun kendala yang mereka hadapi saat itu adalah mahalnya harga pupuk dan kepastian pasar. Untuk mengatasi masalah pupuk, maka STD dan beberapa orang temannya mengadakan penelitian dan percobaan di laboratorium Unpad, ternyata mereka berhasil meracik pupuk yang tepat dengan harga yang jauh lebih murah, sehingga dapat menekan biaya pengeluaran. Sedangkan untuk masalah pemasaran, STD memiliki ide untuk mengembangkan koperasi sebagai wadah untuk pemasaran. Maka pada tahun 1999 berdirilah koperasi Mitra Sukamaju. Karena kesibukan dia maka posisi ketua saat itu dipegang oleh orang lain. Pada awalnya perkembangan koperasi cukup baik, sampai mereka bisa mengekspor paprika ke Taiwan dari hasil penjualan ini perekonomian mereka meningkat terlihat dari fasilitas yang mereka miliki yaitu : rumah, benda elektronik dan mobil. Namun dua tahun terakhir ini ekspor ke Taiwan dihentikan oleh pihak Taiwan dengan alasan bahwa paprika dari koperasi mengandung pestisida tinggi. Sekarang ini pasar paprika hanya di dalam negeri antara lain ke supermarket, restoran-restoran di Bandung, Pizza Hut dan Hoka Hoka Bento. Anggota koperasi saat ini sebagian besar masih terikat keluarga. Di koperasi dibuat peraturan bahwa panen anggota koperasi dibatasi dan tidak boleh menjual hasil panen ke luar koperasi meski harga lebih tinggi, koperasi juga memotong Rp 500 per kilo dari hasil penjualan untuk koperasi. Menurut STD harga yang diterima petani biasanya lebih tinggi dari harga pasar, ditambah lagi terjadi peningkatan produktivitas lahan. Produk yang dihasilkanpun memiliki kualitas yang sudah baik, karena pengetahuan petani dalam budidaya paprika mengalami peningkatan, sehingga bagi STD setelah mengikuti pola kemitraan terjadi peningkatan pendapatan. Adapun fasilitas yang diberikan koperasi menurut STD meliputi jaminan pemasaran, pembinaan budidaya dan teknologi, pembinaan manajemen, pinjaman saprodi, kesepakatan harga, sistem pembayaran yang selalu tepat waktu serta fasilitas angkut dari lahan ke kkoperasi. Sistem pembayaran dilakukan antara satu sampai empat minggu setelah penyerahan produk. STD selama ini selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah produk sesuai ketentuan koperasi, sehingga kedepannya antara STD dan koperasi masih bersedia untuk melanjutkan kemitraan. Saat terakhir kali peneliti berkunjung ke koperasi Mei 2005, koperasi berhasil mencari pinjaman uang dari sebuah bank swasta untuk tambahan modal usaha para angggota, masing-masing berkisar antara Rp 25 juta sampai dengan Rp 100 juta. Kasus 13. Petani dan Pedagang Pengumpul Paprika HR, Pasirlangu, Cisarua: Keluar dari Koperasi karena ingin mandiri. HR 36 tahun adalah salah satu petani sukses dalam bisnis paprika di Pasirlangu. HR yang hanya tamat SD, pada tahun 1985 berusahatani labu siam untuk membantu orangtuanya. Setahun setelah menikah, yaitu pada tahun 1995, HR mencoba menanam paprika dilahan untuk diversifikasi selain labu siam. Tahun 1999 ia bergabung dengan Koperasi MS dalam bisnis paprika. Merasa kurang menguntungkan bila bergabung koperasi tersebut, tahun 2000 HR keluar dan memasarkan sendiri paprikanya. Dari sinilah ia memulai bisnis paprika dengan menampung hasil paprika dari petani-petani sekitar yang tidak menjadi anggota koperasi, dan memasarkannya ke pedagang besar di Lembang dan Cipanas. Para petani sekitar yang tergabung dalam kelompoknya HR, berjumlah 30 petani atau sekitar 40 ribu pohon. Mereka diatur kapan mulai tanam dan kapan harus panen, sesuai dengan prinsip kuntinyuitas produksi. Sarana produksi seperti benih, pupuk dan obat pembasmi hama penyakit dibantu modalnya dari HR. Berbeda dengan koperasi MS, standar mutu yang ditetapkan di kelompok ini lebih fleksibel. Apapun hasilnya diterima, dengan penyesuaian harga sesuai mutu produk. Aturan-aturan yang diterapkan lebih informal, dan hubungan antar angggota kelompok dan maupun antara anggota kelompok dengan HR lebih bersifat hubungan antar pribadi. Hal ini misalnya terlihat pada kasus peminjaman modal oleh petani kepada HR. Keputusan peminjaman lebih merupakan keputusan pribadi, modal juga merupakan modal pribadi HR. Kondisi ini membuat proses pengambilan keputusan bisa dilakukan secara cepat, dan ini disukai oleh petani. Sedangkan di koperasi, karena modal merupakan modal bersama, maka keputusan tentang peminjaman modal harus melalui rapat pengurus dan ini butuh waktu. Tentang teknis budidaya paprika, pada awalnya HR belajar bertani paprika bersama teman-teman anggota koperasi MS khususnya kepada STD, tetapi sekarang bisa juga berdiskusi dengan teman- teman petani yang lain karena teknis budidaya paprika sudah dikuasi oleh banyak petani. HR saat ini sedang menjalin kerjasama dengan pedagang di pasar Lembang dan pasar Cipanas. Tetapi sifatnya lebih terbuka artinya HR dapat menjual produknya kepada pedagang mana saja yang diinginkan HR. Biasanya HR akan memilih pedagang yang pembayarannya lancar. Hal ini penting untuk HR karena ia tidak mau terlambat membayar ke petani yang menjadi pemasoknya, ia tidak mau kehilangan kepercayaan dari petani. Jika dibandingkan ketika bermitra dengan KMS dan kondisi sekarang, terjadi peningkatan pendapatan menurutnya. Karena dari segi produktivitas lahan meningkat dan harga produk bisa dinego langsung dengan pihak pembeli, sehingga harga yang diterima petani bisa sama dengan harga pasar. Rencana kedepannya HR akan terus menjual produknya langsung kepada pedagang- pedagang di pasar, dan jika memungkinkan akan diperluas kepasar lain, seperti pasar-pasar di Jakarta serta restoran- restoran besar. Kasus 14. Petani dan Pedagang Pengumpul DW, Pasirlangu: Bermitra untuk Berbisnis Paprika dan Bunga Hebras DW adalah Petani sayuran dan bunga potong yang sudah berhasil dan bahkan terkenal di wilayah desa Pasirlangu kecamatan Cisarua, Bandung. Lahan + 1,5 ha dalam bentuk 35 green house dimilikinya untuk ditanami sayuran paprika. Dengan luas lahan tersebut bisa menghasilkan jumlah produksi 11.400 kg per bulan. Bila melihat perawakannya sehari-hari, DW ini sangat sederhana, orangnya tinggi, kurus, suka bergurau, santai, tapi jiwa bisnisnya tinggi. Terbukti penghasilan per musimperiode tanaman yang diterima bersih sebesar 700 juta rupiah. Padahal dia baru 7 tahun menjadi seorang petani. DW saat ini berusia sekitar 42 tahun, lulus SMA tahun 1983, DW sempat menganggur, sampai kemudian diterima bekerja sebagai karyawan PLN di tahun 1996, tapi hanya bertahan 1 tahun saja. Lepas itu, ia ke rumah untuk bertani menanam paprika seperti orang tua dan saudara- saudaranya yang lain. Di sinilah DW belajar mengenal paprika. Kemudian DW langsung bergabung dengan koperasi Mitra Sukamaju di desa Pasirlangu untuk memasarkan hasil paprikanya. Namun hanya bertahan 2 tahun yaitu tahun 1997-1999. DW berhenti bermitra dengan koperasi, dia memilih jalan sendiri memasarkan paprikanya secara mandiri hingga sekarang. Alasannya cukup singkat, menurutnya dia tidak ingin terikat dengan keluarga, karena di koperasi itu keluarga semua. Selain itu menurutnya untuk menguji kemampuan usaha sendiri. Pemasaran paprika dan bunga potongnya sudah meluas terutama untuk paprika. Perusahaan-perusahaan yang dimitrakannya adalah Saung Mirwan Cigugur, KemFarm, Bimandiri, Buana Tani, Pasar Lokal Cipanas dan bahkan DW juga sebagai Bandar Pasar pengumpul bagi petani-petani Pasirlangu. Tapi kadang juga menjual ke Bandar orang lain, alasannya karena kasihan ada petani lain yang ingin menjadi Bandar. Saat ini hasil taninya bukan hanya paprika saja, dia pun menambah lahannya untuk menanam labu liam 4200 m 2 dengan bunga herbas 1400 m 2 . Informasi mengenai perusahaan mitra yang sekarang sedang dijalaninya diperoleh dari saudaranya, kemudian tanpa sengaja ada teman sesama pedagang yang mengajaknya menawarkan produk ke perusahaan tersebut dan DW menerima ajakan tersebut. Kemitraan kemudian terjalin dengan kesepakatan secara lisan. Kesepakatan meliputi aspek mutu, dimana sorting dan grading dilakukan diperusahaan, aspek jumlah yang ditentukan oleh perusahaan, aspek kontinyuitas artinya ketika perusahaan meminta harus selalu tersedia, dan aspek harga ditentukan atas kesepakatan bersama, tetapi umumnya harga sama dengan harga pasar, pembayaran dilakukan antara seminggu sampai maksimal empat minggu. Sampai saat ini menurut DW pembayaran oleh perusahaan selalu tepat waktu. Dalam hal budidaya tidak ada anjuran dari perusahaan, DW melakukan dengan cara- cara sendiri. Dari segi kebutuhan modal terjadi peningkatan setelah bermitra, dimana kebutuhan akan tenaga kerja luar keluarga semakin banyak. Untuk kebutuhan tenaga kerja dapat dipenuhi oleh pekerja didaerahnya. Tetapi dari segi produktivitas lahannyapun dirasakan DW mengalami peningkatan, sehingga terjadi peningkatan pendapatannya setelah mengikuti pola kemitraan dengan perusahaan. DW mengungkapkan untuk kedepannya masih ingin melanjutkan kerjasama ini, selama perusahaan juga menginginkannya. Pengalamannya dalam mempelajari pertanian, dia pernah mengikuti pelatihan di Bandung tentang pertanian, masuk dalam kelompok tani, pernah melihat demonstrasi farm, pameran pembangunan dan juga selalu bertanya kepada orang lain bila ada yang ingin diketahui. Sumber informasi dalam usahataninya didapatnya dari petani lain, dan dari perusahaan yang dimitrakannya. Kasus 15. Petani Paprika HB, Pasirlangu: Bermitra untuk Belajar Bertani Paprika HB 23 tahun tergolong petani yang masih baru, ia mengaku banyak belajar bertani melalui kemitraan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA, HB langsung memulai belajar bertani. Ia baru dua tahun menjadi petani. Tanaman yang ia usahakan adalah paprika seluas 0.1 Ha dengan menggunakan green house dan labu siam seluas 0.28 Ha. Saat ini dalam berusahatani ia bermitra dengan pengumpul yaitu DW Kelompok Tani Dewa. Alasannya mengikuti kemitraan karena ia merasa kalau ikut kemitraan pemasarannya lebih terjamin, melalui kemitraan ia memperoleh bimbingan teknis dalam menanam paprika. Tanaman paprika merupakan tanaman yang baru karena sebelumnya dia hanya mengusahak an labu siam. Tidak ada kesepakatan khusus dengan pihak mitranya, terserah saja ia mau menjual kemana tetapi menurutnya menjual ke DW dalam menentukan harga ada kesepakatan yang dibuat antara petani dan pengumpul dan sortingnya lebih berkompromi. Sistem pembayarannya tepat waktu yaitu satu minggu setelah menjual produk. Biaya produksi paprika yang cukup tinggi ditanggung sendiri, oleh karena itu ia merasa perlu bimbingan teknis budidaya dan itu diperoleh dari pola kemitraan ini. Jika ada masalah dengan budidaya ia bertanya dengan DW atau orangtuanya. Sebelum ia bermitra DW ia membantu orangtuanya membudidayakan paprika. Setelah belajar dengan orangtuanya dan merasa sudah mampu ia mengusahakan paprika sendiri dan mulai bermitra dengan DW. Mengenai harga menurut HB umumnya lebih tinggi dari harga pasar, sehingga HB bisa merasakan pendapatannya mengalami peningkatan jika dibandingkan sebelum bermitra dengan pengumpul. HB baru mengikuti pola kemitraan ini selama satu tahun. Dalam proses perencanaan kemitraan HB sebagai petani mitra tidak ikut dilibatkan, semua peraturan sudah ditentukan oleh pedagang pengumpulnya. Tetapi memang tidak ada kesepakatan secara tertulis, kesepakatan hanya dilakukan secara lisan, apalagi keikutsertaannya dalam kemitraan ini hanya untuk menjamin pemasarannya. Sedangkan modal untuk bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan pengangkutan menggunakan biaya sendiri. Selama ini HB selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah yang diinginkan oleh pedagang pengumpul yang menjad i mitranya. Kedepannya HB tetap menginginkan masih bisa bermitra dengan pengumpul, walaupun ada juga keinginannya untuk dapat memasarkan sendiri produknya. Kasus 16. Petani Paprika AT, Pasirlangu: Bermitra dengan Beberapa Perusahaan AT 35 tahun memulai kariernya diluar bidang pertanian, sejak menyelesaikan pendidikannya di STI Unjani, mulai berusaha di bidang usaha kayu untuk bahan bangunan serta buka bengkel motor. Tahun 1997, karena tertarik oleh keberhasilan teman-teman disekitarnya, AT mencoba bertani paprika. Lahan yang digunakan seluas 1 Ha, yang merupakan lahan pribadi. Dalam mengusahakan usahatani paprika, AT juga menggunakan modal sendiri. Tahun 1998, untuk menjamin lancarnya bisnis paprika yang ia jalankan AT kemudian bermitra dengan PT Joro, SM dan Toko Saprodi Buana Tani. PT Joro untuk bimbingan teknis dan pembelian sebagian saprodi, SM untuk memasarkan hasil, dan Buana Tani untuk Saprodi. Secara umum menurut AT harga jual yang diterimanya dari SM lebih tinggi daripada harga pasar. Dimana harga ini ditentukan oleh pihak perusahaan, tetapi sebelumnya disepakati dalam rapat anggota. Pembayaran dilakukan antara seminggu sampai empat minggu, dan selama ini pembayaran oleh perusahaan dilakukan selalu tepat waktu. Semua kesepakatan yang dibuat melibatkan semua anggota koperasi, meliputi mutu, jumlah, harga, sistem pembayaran, saprodi, fasilitas angkut, bimbingan teknis dan termasuk untuk resiko gagal panen ditanggung sendiri oleh petani. Menurut AT, karena lokasi yang jauh dari SM kunjungan penyuluh atau bimbingan teknis yang disediakan oleh belum sesuai yang diharapkan, begitupula dengan fasilitas angkutnya. Tetapi AT merasakan adanya kepastian pasar, sehingga AT tetap bersedia melanjutkan hubungan kemitraannya dengan SM. Selain itu AT juga bermitra dengan PT. Joro, hal ini dilakukannya, karena kebutuhan akan saprodi serta bimbingan teknis, terutama sebagai tempat bertanya ketika mengalami kesulitan mengenai tanaman paprika. Awalnya AT mengenal Joro dari saudaranya, yang memberikan informasi mengenai adanya Green House milik PT. Joro yang berhasil membudidayakan paprika dengan kualitas yang baik. Karena saat itu PT. Joro membangun Green House paprika di Pasir Langu. Kemudian AT mendatangi petugas PT. Joro untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, kantor PT. Joro ini terletak tidak jauh dari Pasir Langu yaitu di Cigugurgirang Cisarua. Menurut AT atas bantuanbimbingan dari PT. Joro inilah tanaman paprikanya berhasil dengan kualitas yang memuaskan. Saat ini selain bermitra dengan SM untuk pemasaran, AT juga sudah terjalin kerjasama dengan Pizza Hut. Bahkan atas bantuan dari seorang temankoneksi AT sudah mulai mencoba ekspor ke Singapura. Kasus 17. Bermitra untuk Mengembangkan Usaha YW, Pasirlangu YW 55 tahun adalah seorang petani sayuran yang menanam antara lain labu siam, paprika, kol merah, kol, buncis, cabe. Pendidikan formal diperolehnya sampai bangku sekolah dasar. Lahan yang ia usahakan sebanyak 21 000 m 2 . Tapi dari total lahan yang ia usahakan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk menanam Paprika yaitu 1 000 m 2 . Paprika merupakan jenis sayuran yang baru dicoba kembali ditanam karena sebelumnya pernah mengalami kegalalan dan harus menangung kerugian yang cukup besar. Jenis sayuran yang ia usahakan sudah cukup banyak tetapi karena melihat teman- temannya berhasil mengusahakan tanaman paprika maka ia tertarik untuk mengusahakan tanaman paprika. Untuk tanaman paprika ia bermitra dengan seorang pedagang pengumpul yaitu Pak HR terkenal dengan nama Kelompoktani SJ. Alasan mengikuti kemitraan dengan Pak HR karena tersedia sarana produksi pertanian. Sistem pembayarannya bisa dibayar setelah panen. Untuk tanaman Buncis langsung dijual ke Jakarta, setelah melalui proses clening, sorting, grading dan packing. Kemitraan yang dijalin dengan kelompok SJ telah berlangsung selama 3 tahun. Sebelumnya YW pernah bermitra dengan koperasi KMS, tetapi kemudian keluar karena kebutuhan akan saprodi tidak tersedia, dan hal ini kemudian terpenuhi ketika YW bermitra dengan kelompok SJ. Awalnya YW mengetahui adanya kelompok SJ dari teman sesama petani yang telah menjadi anggota terlebih dahulu, kemudian setelah diterangkan pola kemitraannya, YW menjadi tertarik untuk ikut bergabung. Kemudian YW mendatangi kelompok SJ dan menawarkan produk usahataninya. Kesepakatan kemitraan terjadi secara lisan yang meliputi aspek mutu ditentukan oleh Pak HR, aspek harga tergantung harga pasar dan dibayarkan secara tunai sampai maksimal seminggu kemudian. Kesepakatan juga meliputi aspek saprodi, dimana petani mitra boleh meminjam saprodi, dan dikembalikan setelah panen. YW mengatakan bahwa HR selalu tepat waktu dalam pembayaran, dan harga yang diberikan umumnya sama dengan harga pasar. Kelemahan yang dirasakan YW sebagai petani mitra yaitu jika mengalami kegagalan panen maka ditanggung sendiri oleh petani, tidak ada fasilitas penyuluhan dan fasilitas angkut. Bagi YW keikutsertaannya dalam kemitraan ini semata-mata untuk menjamin pemasaran dan pinjaman saprodi, jadi untuk kedepannya YW tetap bersedia untuk melanjutkan kemitraan ini. Jika dibandingkan dengan kemitraan sebelumnya menurut YW pendapatannya tidak mengalami perubahan. Kasus 18. Petani Mitra ZA, Alam E ndah, Rancabali: Santri adalah Mitra Bisnis ZA mengaku termotivasi untuk menjadi santri dan belajar di Al-Ittifaq adalah karena tidak ada biaya untuk sekolah. Dia ingin belajar tapi tanpa merepotkan orangtua. Ia merupakan salah satu dari 240 santri yang ada di pesantren tersebut 170 santri laki-laki dan 60 santri perempuan. Santri terdiri yang dipesantren terdiri dari santri yang bekerja tidak bayar dan santri belajar membayar Rp. 150.000,- bulan untuk makan Santri yang masuk di pesantren dibagi dalam kelompok-kelompok yang bertugas mengelola lahan. Santri belajar sambil bekerja di lahan kelompok di bawah koordinasi seorang mandor yang biasanya seorang ustadz santri senior sudah menjadi kyai. Santri belajar langsung praktek di lahan tentang cara- cara bertani, mulai dari mengolah lahan, menanam, menyemprot, menyiangi dan panen. Pekerjaan panen untuk produk tertentu dilakukan oleh tim pengepakan, mungkin ini berkaitan dengan sortingpemilihan produk saat panen. Santri secara bergilirbertahap dipindahkan dari unit produksi, ke pengepakan, dari lahan pertanian ke usaha ternak, dan ikan. Santri belajar semua kegiatan produksi dan pengolahan, pengepakan pada semua unit usaha tanaman, ternak, dan ikan. ZA sendiri pertama kali belajar menanam wortel sebagai tanaman pokok, bawang daun dan stroberry sebagai tambahan. Dia mengaku bahwa menanam wortel adalah keahlian pokoknya. Dia lebih berhasil kalau menanam wortel dibanding tanaman lain. Kasus 19. Petani Mitra AS, Ciwidey, Bandung: Bermitra dapat meningkatkan produktivitas lahan, dan kesejahteraan petani AS salah satu petani di Ciwidey yang bermitra dengan perusahaan, PT. Indofood. Saat ini AS berusia sekitar 49 tahun dan pernah menamatkan pendidikan formalnya sampai tingkat Sekolah dasar. Tanaman yang dimitrakan adalah tanaman kentang. Dia ikut pola kemitraan sejak tahun 2003. Luas lahan yang ia gunakan untuk menanam kentang adalah lahan milik Perhutani dengan luas 16800 m 2 . Dalam penggunaan lahan ini AS tidak dipunggut biaya untuk sewa lahan. AS bebas mengusahakan lahan tersebut namun tidak diperkenankan untuk menjualnya. Sewaktu-waktu diminta Perhutani AS harus rela mengembalikannya. Kesepakatan yang dibuat dengan perusahaan mitra adalah petani mitra diberi bibit dengan membayar 50 persen saja sedangkan sisanya ditanggung oleh perusahaan. Satu kali musim tanam kentang 5 Bulan AS mampu meraih keuntungan Rp. 40 juta. Fasilitas yang diberikan perusahaan mitra adalah penyedian bibit kentang dengan ketentuan AS harus mengembalikan bibit sebesar 50 persen yang dibayarkan setelah panen. Sedangkan untuk pupuk dan pestisida AS harus mengusahakan sendiri. Dalam menanam kentang AS menghabiskan modal sebesar Rp. 63 060 000,- yang ia pergunakan untuk membeli pupuk, pestisida dan membayar tenaga kerja. AS mampu mengidentifikasi hama dan penyakit dan cara penanganan dengan menggunakan pestisida Kimia. Hama dan penyakit yang menyerang tanaman kentang diantaranya Trip dengan bagian yang diserang daun. Gejala yang terlihat daun menjadi keriting penanganan yang dilakukan dengan penyemprotan menggunakan Agrimex. Busuk batang menyerang batang kerusakan yang ditimbulkan batang membusuk. Penyakit ini disebabkan oleh Virus dan belum ditemukan obatnya, cara penanganan yang dilakukan AS dengan mencabut dan membuang tanaman yang terserang. Ulat tanah juga merupakan hama pada tanaman kentang dengan bagian yang diserang adalah akar, gejala yang ditimbulkan tanaman menjadi layu, penanganan yang dilakukan dengan penyemprotan menggunakan Curakron. Sebelum dilakukan kemitraan kesepakan antara perusahaan dan petani hanya berupa kesepakatan secara lisan. Harga telah disepakati sebelum kemitraan. Harga yang diterima petani sebesar Rp. 3 500,- dan harga tidak berubah selama kemitraan. Pembayaran dilakukan antara seminggu sampai maksimal empat minggu setelah barang diserahkan. Selama ini menurut AS, perusahaan selalu tepat waktu dalam pembayaran. Kemitraan dievaluasi satu tahun sekali dengan materi evaluasi mutu produk yang dihasilkan petani. Perusahaan menyediakan bibit dengan ketentuan petani membayar bibit 50 persen perusahaan juga menyediakan tenaga penyuluh yang membantu petani dalam budidaya kentang. Pengendalian hama yang di lakukan oleh AS adalah dengan menggunakan pestisida alami. Penyemprotan dilakukan secara terjadwal yaitu satu minggu sekali. Dalam menentukan dosis yang dipakai AS tidak pernah mematuhi aturan pakai yang tertera dalam kemasan pestisida. AS melihat seberapa besar serangan hama pada tanamannya. Jika hama yang menyerang sedikit maka AS menggurangi dosisnya tetapi jika hamanya banyak AS juga menambah dosis yang ia pakai. Dalam menyemprot AS tidal pernah menggunakan masker. AS tidak pernah menggunakan pestisida nabati atau alami dalam pengendalian hama. Pengetahuan AS tentang pestisida masih kurang misalnya pestisida tidak mempunyai tanggal kadaluarsa, pestisida yang illegal juga boleh digunakan. Tanaman yang disemprot tidak mengandung racun padahal tanaman yang sering disemprot akan mengandung residu pestisida yang membahayakan bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasil pertanian tersebut. Pola kemitraan yang dikembangkan oleh Indofood sangat menguntungkan bagi keluarga AS, menurutnya keuntungan yang ia peroleh sangat besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya terbukti di mampu membuat rumah untuk anaknya senilai Rp. 200 juta dan mampu menyekolahkan anaknya yang kecil di bangku SMU hal ini sangat jarang terjadi di Desa Alamendah. Anaknya juga ingin melanjutkan di AKBID. Selain itu fasilitas berupa fasilitas angkut dan kunjungan penyuluh sudah sesuai dengan yang dijanjikan, sehingga jika menemui kesulitan dalam budidaya dapat langsung ditanyakan kepada petugas perusahaan. AS akan terus memperpanjang pola kemitraan yang ia jalani selama perusahaan masih bersedia menjadi Mitranya. Kasus 20. Petani Mitra KA, Ciburial, Ciwidey: Pemasaran lebih mudah, santri lebih produktif dengan bermitra KA 50 tahun adalah petani yang berasal dari Ciburial, Desa Alam Endah, dengan pendidikan terakhir tamat SD. KA memiliki pekerjaan ganda, yaitu sebagai petani dan mengajar di pesantren. Riwayat pekerjaannya dimulai tahun 1965 dengan langsung mengajar dan bertani. Seperti kebanyakan petani lainnya KA menanam berbagai jenis sayuran. Adapun sampai saat ini sayuran yang pernah berhasil ditanamnya adalah kapri, kucay, cabe, sawi, kacang merah, wortel, buncis, kentang, kol, tomat, bawang daun, dan bawang merah. Saat ini dengan luas lahan 1.5 Ha KA tengah menanam komoditas wortel, kentang, kapri dan sawi. Produk yang dihasilkannya dijual ke pengumpul atau langsung ke pasar. Setelah pesantren mengembangkan kegiatan agribisnis sekitar tahun 1990- an, dan memiliki pasar yang pasti, maka KA mengikuti pola kemitraan dengan pesantren. KA mudah mendapatkan informasi mengenai kemitraan ini karena KA merupakan salah satu pengajar di pesantren. Kemitraan dilakukannya untuk menjamin pemasaran produk pertaniannya. Setelah bermitra menurut KA terjadi peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja, hal ini dapat dipenuhi dengan merekrut tenaga kerja dari luar keluarga. Tidak sulit menurutnya jika pemilik lahan memerlukan tenaga kerja, tenaga kerja tersedia di sekitar tempat tinggalnya. Lagi pula KA merupakan salah satu kyai yang mengkoordinir para santri dalam mengelola lahan, jadi tenaga kerja bisa diperoleh dari para santri yang sedang belajar. Keseluruhan usahataninya memerlukan modal yang lebih banyak setelah bermitra dengan pesantren. Menurutnya kebutuhan modal cukup mudah dipenuhi, KA dapat meminjam dari pihak koperasi pesantren Kopontren. Pengembalian pinjaman dilakukan setelah selesai panen. Menurut KA terjadi perubahan setelah mengikuti kemitraan, diantaranya secara umum harga yang diterima petani lebih tinggi dari harga pasar, terjadi peningkatan produktivitas lahan, peningkatan kebutuhan modal, dan peningkatan pengetahuan dalam kegiatan budidaya. Hal ini menurut KA berakibat pada adanya peningkatan pendapatannya. Sampai saat ini KA selalu dapat melaksanakan semua peraturan yang disepakati bersama pesantren. Dalam penentuan kesepakatan tersebut petani mitra selalu dilibatkan mulai dari perencanaan. Kesepakatan antara petani dengan pesantren biasanya meliputi aspek mutu, jumlah, kontinyuitas, harga, sistem pembayaran yang dilakukan bisa tunai atau sampai maksimal seminggu, saprodi, modal, dan sanksi. Sanksi berupa pemutusan hubungan kerjasama jika petani mitra tidak dapat melaksanakan kewajibannya. KA sendiri sampai saat ini selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah secara terus-menerus. Menurut KA selama pihak pesantren terus bersedia bermitra, maka KA pun kedepannya bersedia untuk melanjutkan hubungan kerjasama. Karena selama ini pihak pesantren selalu dapat melakukan pembayaran dengan tepat waktu, fasilitas angkut memadai, dan adanya bimbingan teknis jika KA mengalami kesulitan dalam hal budidaya. Kasus 21. Petani Mitra AH, Alam E ndah, Rancabali: “Pendapatan meningkat setelah bermitra” AH 44 tahun adalah petani asal Ciburial, yang mengawali kariernya dengan bekerja di luar bidang pertanian. Dengan bekal lulusan SMP, AH bekerja sopir angkutan sayuran ke pasar. Kemudian tahun 1992 bekerja sebagai sopir bis Bandung Express, dan berhenti tahun 1994. Setelah itu baru AH tertarik untuk menekuni bidang usahatani, karena tertarik melihat tetangganya yang berhasil mengusahakan komoditas sayuran. Dengan modal lahan seluas 0.5 Ha AH mulai dengan menanam jenis sayuran tomat, cabe, wortel, bawang daun, bawang merah, seledri, kol, dan kentang. Pola tanam yang dipakai yaitu sepanjang tahun sayuran. Dari seluas 0.5 Ha itu biasanya ditanam tiga sampai empat jenis sayuran, dan dilakukan pergiliran dari semua jenis sayuran yang pernah ditanamnya. Awalnya AH hanya menjual produknya ke pedagang pengumpul, kemudian tahun 1998 AH tertarik mengikuti pola kemitraan yang dilakukan dengan pondok pesantren Al Ittifaq yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu AH juga ditawari oleh salah satu pengurus pesantren atau Kopontren. Kemitraan yang dilakukan AH dengan pertimbangan ingin adanya jaminan pemasaran, karena kalau untuk modal menggunakan modal milik sendiri. Kesepakatan kemitraan dengan pesantren dilakukan secara lisan, yang meliputi mutu dan jumlah yang ditentukan oleh pesantren, serta harga juga ditentukan pesantren, tetapi biasanya harga lebih tinggi dari harga pasar. Pembayaran oelh pesantren selama ini selalu tepat waktu berkisar antara seminggu sampai empat minggu setelah barang diserahkan. Selama menjadi mitra AH selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah yang ditentukan perusahaan, begitupula dalam cara- cara budidaya pertaniannya. Hal ini dilakukan karena cara- cara yang dianjurkan pesantren dirasa lebih mudah dilakukan oleh AH. AH merasakan ada perubahan setelah mengikuti pola kemitraan dalam hal kebutuhan modal dan tenaga kerja semakin bertambah, tetapi hal ini diiringi oleh peningkatan produktivitas lahannya. Sehingga secara umum menurut AH terjadi peningkatan pendapatannya setelah ikut bermitra dengan pesantren. Kedepannya AH masih ingin melanjutkan kemitraan dengan pesantren, begitupula pesantren menurut penilaian AH, karena sampai saat ini tidak pernah menemui masalah yang berarti dalam menjalin kerjasamanya. KASUS PE TANI GARUT Kasus 22. Berhenti Bermitra karena rugi terus Petani Non Mitra DT, Sukaresmi DT 52 tahun yang memiliki pekerjaan ganda yaitu sebagai guru Madrasah mulai tingkat SD sampai SMA dan sebagai petani sayuran. Hal ini wajar, karena pendidikan terakhir DT yaitu sarjana. Waktu mengajar biasanya dimulai pagi hari sampai jam 12.00 WIB, kemudian sore harinya DT pergi ke sawah atau sebaliknya, tergantung dari jadwal mengajar. Selain itu DT juga aktif di KTNA, Kelompecapir, Bimas Inmas, dan KUT Jeruk. DT sudah 26 tahun menggeluti bidang usahatani yaitu sejak tahun 1978. Saat itu DT sudah mencoba menanam berbagai jenis sayuran seperti kol, kembang kol, cabe rawit, dan kacang-kacangan. Adapun dalam melaksanakan usahataninya DT menggunakan sumber biaya sendiri, dengan lahan yang diolah seluas 0.22 Ha. DT menjual produk usahataninya ke pedagang pengumpul dan pasar Bayongbong. Sampai saat ini jika mengalami kesulitan dalam hal budidaya sayuran, DT biasa bertanya kepada pemilik toko saprodi atau ke teman sesama petani. Sejak ada perusahaan SM di Garut yaitu sekitar tahun 1998, DT langsung ikut bermitra. Saat itu DT didatangi oleh petugas dan menjelaskan tentang pola kemitraan yang ditawarkan oleh SM. DT tertarik untuk mengikuti kemitraan ini, saat itu komoditas yang ditanam adalah edamame. Kemitraan yang terjalin hanya berlangsung sekitar satu tahun yaitu tahun 1999. DT memutuskan berhenti karena banyak terjadi kasus. Kasus tersebut berupa pengelolaannya kurang bagus, pengorganisasian tidak lancar, masalah timbangan, pendampingan tidak ada, sering telat pada saat pengambilan hasil panen atau fasilitas angkut produk kurang sesuai dengan yang dijanjikan, banyak gagal panen, sehingga produk tidak diterima, jadi merugikan petani dan perusahaan. Mengenai masalah timbangan, seringkali merugikan petani mitra, karena sebelumnya tidak ada kejelasan perjanjian. E damame milik petani yang baru dipanen ditimbang di perusahaan SM Garut, tetapi setelah ditimbang di perusahaan SM Bogor timbangan berkurang, karena selama perjalanan terjadi penyusutan. Hal ini mengakibatkan jumlah uang yang diterima petani mitra jauh lebih sedikit dari jumlah timbangan edamame yang pertamkali disetorkan di SM Garut. Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi petani mitra karena awalnya menurut pemahaman petani bahwa yang dipakai adalah timbangan di perusahaan SM Garut, bukannya SM Bogor. Selain itu bagi DT banyak kasus kualitas produk petani dibawah standar perusahaan, sehingga banyak barang yang termasuk BS. Oleh karena itu DT memutuskan untuk keluar dari kemitraan, padahal menurut salah satu petugas SM DT ini termasuk petani mitra yang bagus, selalu mematuhi aturan atau anjur an perusahaan. Kondisi terjadi hampir pada semua petani mitra, hal ini mengakibatkan kerugian bukan hanya bagi petani juga perusahaan SM sendiri, sehingga akhir tahun 1999 SM menutup perusahaannya. Pada tahun 2000 perusahaan SM mulai membuka sistem kemitraan lagi, tetapi DT tidak tertarik untuk bermitra kembali. Saat ini DT lebih memilih menjual produknya ke pedagang pengumpul khususnya untuk kol dan tomat, sedangkan untuk komoditas yang lain DT menjualnya ke pasar Bayongbong. Menurut DT, jika dibandingkan harga yang diterima petani dari komoditas mitra adalah sama dengan harga pasar, tetapi jika dilihat produktivitas lahannya, setelah bermitra mengalami kemunduran, dan ini berakibat pada lebih rendahnya pendapatan DT jika dibandingkan tidak bermitra. Apalagi dalam hal resiko usaha atau resiko kegagalan panen, ditanggung oleh petani sendiri, artinya perusahaan tidak ikut menganggung resiko. Diakui oleh DT dalam hal penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengenai komoditas mitra menjadi mengingkat apalagi komoditas tersebut ada yang non lokal dan merupakan hal baru bagi DT. Proses perencanaan kemitraan merupakan urusan internal perusahaan, dimana petani tidak dilibatkan, petani hanya diajak bermitra dengan ketentuan- ketentuan tertentu yang sudah dit etapkan. Adapun isi kontrak kemitraan dengan SM meliputi jenis komoditas, mutu, harga ditentukan oleh perusahaan sendiri, sistem pembayaran dan sanksi. Pembayaran produk dilakukan antara seminggu sampai 4 minggu, tetapi kadang-kadang terjadi ketidaktepatan waktu pembayaran. Menurut DT selama menjadi mitra ia selalu melakukan cara-cara bertani sesuai anjuran perusahaan, mulai persiapan tanam sampai panen. Setelah mengikuti kemitraan DT merasakan adanya peningkatan kebutuhan akan modal, dimana kebutuhan tenaga kerja meningkat, sehingga harus merekrut pekerja dari luar keluarga. DT biasa memakai pekerja dari wilayah sendiri. Selama menjadi mitra DT merasa jarang dapat memenuhi standar mutu produk yang sesuai dengan perusahaan, hal ini dapat dilihat dari selalu banyak produknya yang termasuk kategori BS. Kasus 23. Bermitra dengan Pemilik Green House dan Perusahaan SS, Cikajang SS 29 tahun adalah petani paprika dengan pendidikan terakhir tamat SPMA. Sejak tahun 1996 SS mulai menekuni bidang usahatani, dengan menanam paprika, timun, seledri, bawang tunggal dan wortel. Saat itu SS menjual produknya ke pasar Cipanas di Kabupaten Cianjur sampai tahun 1998. Tahun 1999, khusus untuk komoditas paprika SS bermitra dengan Saung Mirwan. Untuk paprika Bs-nya dan wortel dijualnya ke pedagang pengumpul. Tahun 2003 SS berhenti bermitra dengan SM, saat itu secara tiba-tiba SM memutus kerjasama, dimana SM tidak pernah mengambil produknya lagi, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Padahal saat itu SS masih ingin melanjutkan kerjasama. Tahun 2004 SS kembali bermitra tetapi dengan PT. ABC. Dalam budidaya paprikanya SS melakukan bagi hasil, dimana pemilik lahan menyediakan green house, bibit dan pupuk, sedangkan SS menyediakan keahliannya dalam teknis budidaya. Hasilnya dilakukan pembagian sebesar 50:50. Saat ini SS sedang menanam paprika seluas 540 m 2 dan wortel seluas 0.12 Ha yang merupakan milik pribadi. Sampai saat ini, untuk menjamin pemasaran SS bermitra dengan PT. ABC. SS mengetahui perusahaan ini dari keluarganya, yang sebelumnya telah bermitra dengan PT ABC. Secara umum harga yang diterima petani tidak pasti atau dibawah harga pasar. Jika dilihat dari produktivitas lahan, SS merasa tidak ada perubahan, sehingga secara umum menurut SS setelah bermitra tidak ada perubahan dalam hal pendapatannya. Sedangkan dalam hal kebutuhan modal, menurut SS terjadi peningkatan. Kebutuhan tenaga kerja tidak cukup dari dalam keluarga, SS juga harus menambah dari luar, tenaga kerja mudah didapat disekitar tempat tinggalnya. Dalam perencanaan pola kemitraan, petani tidak ikut dilibatkan. Perusahaan sudah menentukan hal- hal apa yang menjadi hak dan kewajiban petani mitra. Peraturan kerjasama meliputi, mutu dan kualitas produk ditentukan perusahaan, kontinyuitas, harga sesuai harga pasar, dan sistem pembayaran dilakukan antara seminggu sampai empat minggu sejak barang diserahkan. Menurut SS, selama ini kadang-kadang terjadi terlambat pembayaran. Mengenai resiko kegagalan usahatani, pihak perusahaan tidak bersedia ikut menanggung, semua menjadi resiko petani sendiri. Meskipun begitu, SS merasakan adanya kepastian pasar, sehingga untuk kedepannya SS tetap bersedia melanjutkan hubungan kemitraan, selama perusahaan bersedia. Apalagi selama ini SS selalu dapat memenuhi standar mutu dan jumlah sesuai standar perusahaan secara terus-menerus. Kasus 24. Petani Mitra DD, Cibitung, Barusuda: Produktivitas lahan meningkat DD 24 tahun merupakan salah satu petani yang dalam perjalanan kariernya dimulai dengan bekerja di luar bidang pertanian. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA, DD bekerja sebagai sopir di sebuah pabrik kaos di Bandung. Kemudian tahun 2004 DD memutuskan berhenti bekerja dengan alasan tidak betah, dan lebih memilih kembali ke desanya untuk kemudian mencoba berusahatani. Kegiatan usahatani bukan hal baru baginya karena orangtuanya juga seorang petani. DD sudah terbiasa ikut membantu orangtuanya sejak ia masih kecil. Komoditas yang pertama ditanamnya yaitu buncis dan wortel yang dijual ke pedagang pengumpul. Luas lahan yang dikelola seluas 0.21 Ha yang merupakan lahan milik sendiri. DD kemudian mendapat informasi dan ajakan dari teman sesama petani bahwa ada perusahaan yaitu Saung Mirwan yang sedang mengembangkan pola kemitraan dengan petani sekitar. DD tertarik untuk ikut bermitra dan mendatangi SM, kesepakatan terjadi secara lisan. Kesepakatan meliputi jenis komoditas yang ditanam yaitu nazubi, selada hijau dan buncis mini, aspek mutu yang ditentukan oleh perusahaan, aspek harga ditentuka perusahaan yang dibayarkan secara tunai atau maksimal seminggu setelah barang diserahkan, adanya pinjaman saprodi, fasilitas penyuluhan, fasilitas angkut dan penekanan bahwa resiko kegagalan panen ditanggung oleh petani sendiri. Setelah mengikuti kemitraan dengan perusahaan DD merasakan adanya perubahan dalam hal kebutuhan modal dan tenaga kerja yang makin bertambah. DD harus menambah tenaga kerja dari luar keluarga, biasanya pekerja berasal dari daerah di sekitar tempat tinggalnya. Dari segi produktivitas lahanpun terjadi peningkatan, adanya peningkatan pengetahuan dalam hal budidaya maupun penanganan panen, karena adanya kunjungan penyuluh sehingga jika ada kesulitan bisa langsung ditanyakan. Ditambah harga yang diterima petani selalu diatas harga pasar, hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan dalam pendapatannya. Kedepannya DD menyatakan tetap ingin melanjutkan hubungan kemitraan dengan SM, begitupula dari pihak perusahaan menurutnya memiliki keinginan yang sama, karena selama ini DD selalu dapat memenuhi mutu dan jumlah sesuai standar yang diinginkan perusahaan. Lampiran 5a. Kesesuaian Model Keputusan Inovasi Pola kemitraan Step -2 Log likelihood Cox Snell R Square Nagelkerke R Square 1 78.277 0.435 0.714 Lampiran 5b. Classification Table Predicted Status Percentage Correct Observed 0.00 1.00 Step 1 Status .00 30 8 78.9 1.00 3 171 98.3 Overall Percentage 94.8 Lampiran 5C. Variabel yang Mempengaruhi Keputusan Bermitra N o Variabel B S.E. Wald df Sig. ExpB 1. Umur -0.879 0.486 3.268 1 0.071 0.415 2. Tingkat Pendidikan -0.346 0.342 1.028 1 0.311 0.707 3. Luas Lahan -0.494 0.228 4.679 1 0.031 0.610 4. Lama Berusahatani 1.394 0.498 7.836 1 0.005 4.031 5. Kepastian Pasar 2.151 0.455 22.374 1 0.000 8.593 6. Tingkat Kebutuhan Usaha 2.552 0.593 18.538 1 0.000 12.827 7. Ciri Kewirausahaan -0.591 0.419 1.986 1 0.159 0.554 8. Ketersediaan Sarana Transportasi Telekomunikasi 1.481 0.536 7.632 1 0.006 4.398 9. Ketersediaan Sarana Pembelajaran 0.643 0.388 2.754 1 0.097 1.903 10. Ketersediaan Sarana Kredit 0.692 0.420 2.712 1 0.100 1.997 11. Pengetahuan ttg Pola Kemitraan -0.915 0.304 9.094 1 0.003 0.400 12. Persepsi ttg Tingkat Keuntungan Relatif 0.078 0.436 .032 1 0.858 1.081 13. Persepsi ttg Tingkat Kerumitan -1.366 0.534 6.553 1 0.010 0.255 14. Persepsi ttg Tingkat Kesesuaian -0.237 0.335 .503 1 0.478 0.789 15. Persepsi ttg Tingkat Kemungkinan Dicoba -0.260 0.211 1.517 1 0.218 0.771 16. Persepsi ttg Tingkat Kemudahan Dilihat Hasilnya 0.515 0.324 2.536 1 0.111 1.674 Constant 3.949 0.672 34.497 1 0.000 51.890 Sumber: Olahan Data Primer, 2005 Lampiran 6a Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients No. Model B Std. Error Beta t Sig. 1 Constant 68987196.772 12281002.927 5.617 0.000 2 Status -43835545.272 16179350.978 -0.214 -2.709 0.007 3 Ketersediaan Sarana Kredit 11493820.327 7447636.079 0.115 1.543 0.125 4 Penggunaan Teknologi 15913286.173 7558752.866 0.160 2.105 0.037 5 Dimensi Usaha 19751252.738 8055178.124 0.198 2.452 0.015 Tabel Lampiran 6 b. Jumlah dan Persentase Petani Contoh dan Asumsi yang harus dipenuhi untuk Uji Regresi Linier No. Lokasi Jumlah Persen 1. Bogor 58 22.4 2. Cianjur 40 15.4 3. Bandung 125 48.3 4. Garut 36 13.9 Total 259 100,0 ASUMSI YANG HARUS DIPE NUHI UNTUK UJI RE GRE SI LINIE R 1. Autokorelasi. Dalam suatu analisa regresi dimungkinkan terjadinya hubungan antara variabel- variabel bebas itu sendiri atau berkorelasi sendiri. Pendeteksian ada tidaknya autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin Watson. Dari nilai pengujian Durbin Watson diperoleh nilai 1,915 yang lebih besar dari D alpha maka dapat di simpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi dan model yang diperoleh sesuai. Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin- Watson 1 0.50a 0.254 0.236 3.47197 1.915 2. Hubungan Linier. Pengujian hipotesis tentang nyata tidaknya model regresi linier dilakukan dengan menghitung nilai F, dan nilai signifikansinya. Dalam penelitian ini, pengijan nilai F diperoleh nilai signifikansi yang sangat nyata, jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel bebas dan terikat bersifat linier.

3. Multikolinieritas. Multikolinieritas adalah konsep tentang kejadian yang