Kajian Konektivitas Lanskap Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi) Di Jawa Barat

KAJIAN KONEKTIVITAS LANSKAP HABITAT ELANG JAWA
(Nisaetus bartelsi) DI JAWA BARAT

NUR AZMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Kajian Konektivitas
Lanskap Habitat Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Jawa Barat” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi baik yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juni 2016
Nur Azmi
A451120061

RINGKASAN
NUR AZMI. Kajian Konektivitas Lanskap Habitat Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
di Jawa Barat. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan YENI A MULYANI.
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) adalah spesies burung endemik di hutan
alami di Pulau Jawa, Indonesia. Elang Jawa dikategorikan sebagai salah satu
burung pemangsa (raptor) dengan status keterancaman endangered atau genting
berdasarkan Daftar Merah IUCN untuk Spesies Terancam Punah tahun 2007.
Ukuran populasinya yang semakin kecil, habitat yang semakin berkurang,
fragmentasi hutan, dan perburuan Elang Jawa secara ilegal menjadi penyebab
status genting ini. Oleh karena itu, konservasi spesies ini menjadi prioritas
nasional. Namun, informasi tentang kondisi terkini dari distribusi patch habitat
Elang Jawa masih kurang. Data yang terakhir menentukan model probabilitas
kesesuaian habitat Elang Jawa dengan menggunakan citra landsat tahun 2002
(Syartinilia dan Tsuyuki 2008). Model tersebut memberikan hasil bahwa habitat
Elang Jawa bergantung pada variabel kemiringan lahan, elevasi, dan NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index). Penelitian ini mengacu pada penelitian
tersebut dengan memperbaharui data patch habitat Elang Jawa di Jawa Barat
sebagai lokasi penelitian. Oleh sebab itu, tujuan penelitian adalah menganalisis
kondisi terkini patch habitat Elang Jawa yang tersisa di Jawa Barat. Selanjutnya,
dilakukan analisis konektivitas dan analisis metapopulasi. Hasil akhir dari
penelitian ini memberikan rekomendasi manajemen lanskap habitat Elang Jawa di
Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS) dengan citra
landsat terbaru (Landsat 8 tahun 2014). Kondisi terkini patch habitat Elang Jawa
di Jawa Barat dilakukan dengan memperbaharui model probabilitas kesesuaian
habitat Elang Jawa dengan memasukkan tiga peta (kemiringan lahan, elevasi, dan
NDVI) ke dalam software RAMAS GIS. Analisis konektivitas dilakukan dengan
menerapkan indeks probabilitas konektivitas (PC) oleh Saura dan Pascual (2007).
Distribusi patch habitat Elang Jawa dan karakteristik konektivitas ini merupakan
komponen lanskap untuk menentukan model metapopulasi. Model metapopulasi
dianalisis secara spasial dengan menilai hasil distribusi patch habitat dengan 5
model metapopulasi oleh Harrison (1991).
Hasil analisis memperoleh 17 patch habitat yang tersebar di Jawa Barat
dengan luas total 3 955 km2. Namun hanya 36.16% luasan patch habitat yang
berada di kawasan lindung. Distribusi patch habitat paling banyak pada tutupan

lahan hutan (38.87%), dilanjutkan dengan kebun (22.48%), semak (15.12%), dan
ladang (9.15%). Pada kondisi terkini, jumlah patch habitat Elang Jawa bertambah
sebanyak 3 patch dengan luas total penambahan patch sebesar 741 km2.
Berdasarkan dari perhitungan indeks PC diperoleh tiga indeks penting yaitu
PCintra, PCflux, dan PCcon. Nilai PCintra dan PCflux yang tinggi menunjukkan
bahwa patch tersebut adalah habitat inti, sedangkan nilai PCcon=0 menunjukkan
patch yang terisolasi. Dengan demikian, hasil konektivitas yang diperoleh terdapat
4 patch habitat inti dan 6 patch terisolasi. Model metapopulasi yang diperoleh
adalah model mainland-island yang terdiri dari dua cluster. Berdasarkan hasil
tersebut, terdapat 5 rekomendasi untuk meningkatkan kelangsungan hidup Elang
Jawa yang tersisa di Jawa Barat.
Kata kunci: Elang Jawa, GIS, konektivitas lanskap, metapopulasi, habitat yang
tersisa

SUMMARY
NUR AZMI. The Connectivity of Javan-Hawk Eagle’s (Nisaetus bartelsi)
Landscape Habitat in West Java. Supervised by SYARTINILIA and YENI A
MULYANI.
Javan Hawk-Eagle (JHE, Nisaetus bartelsi) is an endemic bird species in the
natural forests of Java, Indonesia. JHE is categorized as one of the endangered

raptors in IUCN Red List of Threatened Species, 2007. Small population size,
severe habitat loss, forest fragmentation, and illegal hunting have contributed to
the ‘‘endangered’’ status of this species. Moreover, conservation of this species
has become a national priority. Unfortunately lack of information about current
conditions of the distribution of JHE’s remnants habitat caused the proposing
conservation strategies for JHE become difficult. The last data determined the
habitat suitability probability modelling of JHE with used landsat images in 2002
(Syartinilia and Tsuyuki 2008). The model showed that JHE’s habitat depends on
slope, elevation, and NDVI variables. This study updated the model based on the
previous study in West Java as case study. Therefore, this study proposed to
analyze the current condition of JHE’s habitat patches remaining in West Java.
Furthermore this study continued with landscape connectivity and metapopulation
analysis. The final results of this study provide recommendations landscape
habitat management of Javan Hawk-Eagle in West Java.
This study used Geographic Information System (GIS) with new satellite
image (Landsat 8, 2014). The current condition of JHE’s habitat patches were
obtained by updating the habitat suitability probability modelling of JHE trough
maps input (slope, elevation and NDVI) into RAMAS GIS software. Connectivity
analysis was being conducted by applying the probability of connectivity index
(PC) by Saura dan Pascual (2007). Habitat patches distribution of JHE and

connecitivity characteristic were the components that being used to produce the
metapopulation model. Metapopulation models were analyzed spatialy by
evaluating the habitat patches distribution with 5 metapopulation models by
Harrison (1990).
The result of this study is 17 habitat patches which distributed all over West
Java with total coverage around 3 955 km2. But only 36.16% of the total habitat
patches size located inside protected area. The landcover of habitat patches were
dominated by forest (38.87%), plantation (22.48%), bushes (15.12%) and
agricultural land (9.15%). The number of current conditions of JHE’s habitat
patches were increased by 3 patches and the total coverage area were increased by
741 km2. Based on the PC index calculation, it can be obtained three important
indices which are PCintra, PCflux, and PCcon. High value of PCintra and PCflux
showed that those patches are core habitat. Meanwhile, the PCcon=0 value
showed which patches were isolated. Trough PC index calculation we get the
result of 4 core habitat patches and 6 isolated habitat patches. The
metapopulations model was mainland-island model with two clusters. Based on
all the results it was able to provide 5 recommendations for increasing the survival
of JHE in the natural habitat remnants in West Java.
Keywords: GIS, Javan-Hawk Eagle, landscape connectivity, metapopulation,
remnant habitat


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN KONEKTIVITAS LANSKAP HABITAT ELANG JAWA
(Nisaetus bartelsi) DI JAWA BARAT

NUR AZMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi: Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah manajemen lanskap, dengan judul “Kajian
Konektivitas Lanskap Habitat Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Jawa Barat”.
Pemilihan penelitian ini didorong oleh status populasi Elang Jawa yang mendekati
kepunahan serta kerusakan habitat yang tidak terkendali apabila tidak diupayakan
pengelolaan yang tepat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Syartinilia, SP MSi dan Dr Ir Yeni
Aryati Mulyani, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan
arahan. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Prof Dr Ir Wahju Qamara

Mugnisjah, MAgr selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan
kritikan dan masukannya; kepada Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr selaku Ketua
Program Studi Arsitektur Lanskap atas dukungannya; kepada Dr Ir Bambang
Sulistyantara, MAgr selaku Ketua Departemen Arsitektur Lanskap atas
kerjasamanya; kepada rekan-rekan Pascasarjana Arsitetur Lanskap 2012 atas
dukungan, semangat, doa serta bantuan selama perkuliahan sampai penyelesaian
tesis ini. Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada keluarga yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun
materil.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

Nur Azmi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii


DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian

1
1
2
3
3


2 TINJAUAN PUSTAKA
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Taksonomi
Morfologi
Habitat, Penyebaran, dan Perilaku
Konektivitas Lanskap
Model Metapopulasi

5
5
5
5
7
8
9

3 METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Data
Prosedur Analisis Data

Peta kesesuaian habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan
Peta elevasi dan kemiringan lahan
Peta NDVI
Penutupan lahan Jawa Barat
Metode Penelitian
Pembaharuan data patch habitat Elang Jawa
Analisis konektivitas
Analisis metapopulasi

12
12
12
14
14
15
16
18
22
22
25
27

4 HASIL
Kondisi Terkini Patch Habitat Elang Jawa
Konektivitas Lanskap
Metapopulasi

28
28
33
37

5 PEMBAHASAN
Kondisi Terkini Patch Habitat Elang Jawa
Konektivitas Lanskap
Metapopulasi
Rekomendasi

39
39
41
44
45

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

48
48
48

DAFTAR PUSTAKA

49

LAMPIRAN

53

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Data fisik yang digunakan dalam penelitian
Patch habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan dan luas areanya
Klasifikasi kemiringan lahan
Kelas penutupan lahan dan deskripsinya
Luas penutupan lahan Jawa Barat
Patch habitat Elang Jawa tahun 2002 dan 2014 serta lokasinya

13
14
16
19
21
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Distribusi patch habitat Elang Jawa di Pulau Jawa
Kerangka pikir penelitian
Elang Jawa juvenile dan dewasa
Bentuk penampakan Elang Jawa saat terbang (soaring) anakan sampai
dewasa (atas-bawah) dan Elang Jawa dewasa
Tipe model metapopulasi
Lokasi penelitian
Distribusi patch habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan
Bagan alur pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan
Peta elevasi Jawa Barat
Peta kemiringan Jawa Barat lahan
Peta NDVI Jawa Barat
Penutupan lahan Jawa Barat
Bagan alur penelitian
Bagan alur analisis kondisi terkini patch habitat Elang Jawa
Ilustrasi probabilitas maksimal dari patch A ke B (P*AB)
Software Conefor Sensinode 2.6
Ilustrasi karakter patch habitat dan konektivitasnya
Kondisi terkini patch habitat Elang Jawa yang tersisa di Jawa Barat
Penambahan dan pengurangan luas patch habitat Elang Jawa
yang tersisa di Jawa Barat bagian Selatan tahun 2014
Perbandingan luas patch habitat Elang Jawa yang tersisa
di Jawa Barat bagian Selatan tahun 2002 dan 2014
Grafik luas overlay peta patch habitat Elang Jawa dan
kawasan lindung Jawa Barat
Grafik luas tutupan lahan pada patch habitat Elang Jawa

2
4
6
6
11
12
14
15
15
16
17
21
22
24
26
26
27
29
30
30
31
31

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Peta patch habitat Elang Jawa dan kawasan lindung Jawa Barat
Grafik luas overlay penutupan lahan hutan dan kawasan lindung
Grafik indeks PCflux dan PCintra
Grafik indeks PCconnector
Konektivitas patch habitat Elang Jawa yang tersisa di Jawa Barat
Model metapopulasi distribusi patch habitat Elang Jawa yang tersisa
di Jawa Barat
Hutan alami pada kawasan patch habitat Elang Jawa
Kondisi sekitar patch yang terisolasi
Ilustrasi koridor ekologi untuk menghubungkan dua cluster pada sistem
metapopulasi
Rekomendasi koridor ekologi pada patch habitat yang terisolasi

32
33
34
35
36
38
40
43
46
47

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai akurasi umum dan kappa penutupan lahan Jawa Barat
2 Jarak antar-patch
3 Catatan lokasi tanda-tanda keberadaan dijumpai Elang Jawa di Jawa
Barat bagian Selatan
4 Peta Modis NDVI 250 m tahun 2002 di Jawa Barat
5 Luas patch habitat yang berada di kawasan lindung Jawa Barat
6 Hasil probabilitas konektivitas dari Conefor Sensinode 2.6
7 Perkiraan populasi Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan

54
55
57
58
59
60
61

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan salah satu jenis burung
pemangsa (raptor) yang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem
(Prawiradilaga 1999). Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top
predator) membuat burung ini memiliki pengaruh yang besar terhadap
keseimbangan ekosistem. Pada tahun 1992 Elang Jawa ditetapkan sebagai
raptor langka nasional Indonesia dan menjadi lambang Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu sebagai Garuda Indonesia (KEPRES No 4/1993).
Namun, populasi Elang Jawa semakin berkurang menjadi ancaman besar
terhadap kelangsungan kelestariannya. Populasi Elang Jawa yang tersisa di
seluruh Pulau Jawa diprediksi sekitar 325 pasang pada tahun 2008 (Syartinilia
et al. 2009). Rakhman (2012) mengidentifikasi sekitar 110 pasang Elang Jawa
berkurang di alam dalam kurun waktu lima tahun (2004-2010). Hal ini berarti
bahwa sekitar 22 pasang Elang Jawa berkurang setiap tahunnya. Kelangkaan
Elang Jawa ini sudah tercatat pada Daftar Merah IUCN (International Union
for Conservation of Nature) dengan keterancaman endangered (genting). Faktor
yang mempengaruhi status genting ini adalah ukuran populasi Elang Jawa yang
semakin kecil, habitat Elang Jawa yang semakin berkurang, fragmentasi hutan,
dan perburuan Elang Jawa secara ilegal (Birdlife International 2001). Oleh
karena itu, Elang Jawa menjadi salah satu dari 25 spesies satwa prioritas utama
untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10% pada tahun 2015-2019 sesuai
dengan kondisi biologis dan ketersediaan habitatnya (SK Dirjen Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam No. 200/IV/KKH/2015). Kegiatan konservasinya
juga sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Konservasi Elang
Jawa (Spizaetus bartelsi) tahun 2013-2022.
Persebaran Elang Jawa endemik di Pulau Jawa (Gambar 1), mencakup
wilayah dekat pantai sampai ke hutan pegunungan bawah dan atas pada
ketinggian 2200 m dpl. Wilayah dekat pantai meliputi Taman Nasional Ujung
Kulon di Banten dan Taman Nasional Meru Betiri di Jawa Timur (van-Balen et
al. 1999). Habitat Elang Jawa meliputi wilayah hutan primer serta bukit
berhutan, tepatnya pada peralihan dataran rendah dengan daerah pegunungan.
Pada beberapa tempat ditemukan Elang Jawa yang menggunakan hutan
sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, tetapi letaknya masih
berdekatan dengan hutan primer (Rov et al. 1997). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008), habitat Elang Jawa dipengaruhi
oleh kemiringan lahan, elevasi, dan NDVI (Normalized Difference Vegatation
Index). Elang Jawa umumnya ditemukan di daerah berbukit dan pegunungan (di
atas 1 200 m dpl) dengan keberadaan hutan alam yang masih tersisa. Elang
Jawa menyukai pohon yang menjulang tinggi yang dapat digunakan untuk
mengincar mangsa ataupun sebagai sarang. Rakhman (2012) mengidentifikasi
bahwa keberadaan sarang Elang Jawa paling banyak ditemukan pada ketinggian
500 – 2 000 m dpl dan berada di kawasan Jawa Barat. Jawa Barat memiliki
kawasan ekosistem hutan primer yang cukup banyak sehingga sesuai untuk

2
habitat Elang Jawa (Dephut 2007). Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan di
Jawa Barat.
Habitat Elang Jawa di Jawa Barat tersebar dalam bentuk patch (Syartinilia
dan Tsuyuki 2008). Patch adalah suatu permukaan area non-linear yang
homogen atau yang berbeda penampilannya dari area sekitarnya (Forman dan
Godron 1986). Patch habitat Elang Jawa menyebar di Jawa Barat dengan jarak
yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan terjadinya sistem metapopulasi
dengan adanya interaksi melalui peristiwa-peristiwa migrasi dan penyebaran
pasif antar-patch tersebut. Interaksi yang terjalin antar populasi dalam bentuk
patch ini sangat bergantung pada konektivitas dalam menghubungkan patch
tersebut.

Gambar 1 Distribusi patch habitat Elang Jawa di Pulau Jawa
(Sumber: Syartinilia et al. 2009: halaman 306)
Konektivitas merupakan fungsi dari patch habitat dan distribusi jarak di
antara patch (Baranyi et al. 2011). Konektivitas dalam lanskap berperan sebagai
derajat lanskap yang memfasilitasi atau menghambat gerakan yang terjadi
antar-patch habitat. Konektivitas dapat mendukung arus ekologi dan berperan
sebagai pelestarian keanekaragaman hayati jangka panjang (Saura dan Pascual
2007). Konektivitas dapat memastikan kemungkinan terjadinya penyebaran dan
aliran gen, yang keduanya sangat penting untuk menghindari penurunan dan
kepunahan populasi (Baranyi et al. 2011). Kurangnya konektivitas pada patch
habitat dapat membentuk patch yang terisolasi dimana satwa di dalam patch
tersebut hanya dapat bertahan hidup dengan sumber daya alam yang ada. Hal
ini dapat menyebabkan kepunahan ketika sumber daya alam pada patch
terisolasi sudah habis. Oleh sebab itu, kajian konektivitas dalam lanskap sangat
penting dilakukan sebagai tindak lanjut usaha konservasi.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) menganalisis kondisi terkini patch habitat Elang Jawa yang tersisa di Jawa
Barat;
b) menganalisis konektivitas patch habitat Elang Jawa yang tersisa di Jawa
Barat;

3
c) menganalisis model metapopulasi patch habitat Elang Jawa yang tersisa di
Jawa Barat; dan
d) menyusun rekomendasi manajemen lanskap habitat Elang Jawa yang
tersisa di Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan pembaharuan data patch habitat Elang
Jawa khususnya di Jawa Barat sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi
perencanaan dan pengelolaan wilayah yang berwawasan lingkungan. Selain itu,
penelitian ini memberikan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai acuan
rencana jangka panjang pengelolaan habitat Elang Jawa dalam upaya tindak
lanjut kegiatan konservasi.

Kerangka Pikir Penelitian
Elang Jawa merupakan salah satu spesies yang memiliki perlindungan
legal karena keberadaannya di alam semakin berkurang. Elang Jawa dijadikan
sebagai lambang negara Republik Indonesia untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat agar melestarikannya (Rakhman 2012). Elang Jawa memiliki
potensi yang besar karena posisinya sebagai puncak rantai makanan dan
populasi mereka bergantung pada ekosistem tempat mereka tinggal atau
bermigrasi. Jika populasi Elang Jawa terganggu maka keseimbangan ekosistem
di dalam lanskap akan terganggu pula. Elang Jawa merupakan raptor endemik
di Pulau Jawa yang menyebar dalam bentuk patch habitat. Distribusi patch
habitat Elang Jawa paling banyak ditemukan pada hutan alami di Jawa Barat.
Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada penyusunan konsep pengelolaan
konektivitas Elang Jawa di Jawa Barat. Ruang lingkup wilayah kajian
mencakup kawasan konservasi dan hutan lindung di Jawa Barat.
Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Syartinilia dan Tsuyuki (2008). Penelitian terdahulu sudah menentukan model
probabilitas kesesuaian habitat Elang Jawa. Berdasarkan model tersebut, habitat
Elang Jawa bergantung pada kemiringan lahan, elevasi, dan indeks penutupan
vegetasi (NDVI) (Syartinilia dan Tsuyuki 2008). Tiga peta tersebut menjadi
peta dasar dalam penelitian ini. Penelitian ini adalah pembaharuan data patch
habitat Elang Jawa berdasarkan model probabilitas kesesuaian habitat Elang
Jawa yang sudah ditentukan. Hasil pembaharuan data akan membentuk patchpatch habitat Elang Jawa yang tersisa secara aktual di Jawa Barat. Patch habitat
Elang Jawa ini terdistribusi dengan karakteristik dan jarak yang berbeda-beda.
Perbedaan jarak akan menentukan konektivitas yang terjalin antar-patch.
Distribusi patch dan karakteristik konektivitas ini merupakan komponen
lanskap untuk menentukan model metapopulasi. Model metapopulasi
merupakan model yang terbaik sebagai tindak lanjut dalam konservasi satwa.
Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini disusun berdasarkan hasil
yang diperoleh. Secara singkat, kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 2.

4

Gambar 2 Kerangka pikir penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Taksonomi
Penelitian Elang Jawa mulai dilakukan oleh Johan Coenraad van Hasselt
dan Heinrich Kuhl sekitar tahun 1820-an (Rakhman 2012). Usaha identifikasi
Elang Jawa terus dilakukan dan akhirnya pada tahun 1924, Prof Dr E
Stresemann, pakar burung dari Jerman, memperkenalkan Elang Jawa
merupakan spesies baru dengan nama Spizaetus nipalensis bartelsi. Setelah itu
sekitar 50 tahun kemudian, Elang Jawa diberi status yang spesifik (jenis
tersendiri) sebagai Spizaetus bartelsi oleh Amadon pada tahun 1953 (Nijman
dan Sozer 1998). Elang Jawa dalam bahasa Inggris disebut Javan Hawk-Eagle.
Selanjutnya, penamaan terhadap Elang Jawa berubah seiring perkembangan
ilmu taksonomi hewan, yaitu Nisaetus bartelsi. Klasifikasi Elang Jawa sebagai
berikut:
Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordatae
Sub-Phyllum : Vertebrata
Class
: Aves
Ordo
: Falconiformes
Family
: Accipitridae
Genus
: Nisaetus
Spesies
: Nisaetus bartelsi
Morfologi
Elang Jawa dewasa memiliki tubuh sedang sampai besar, langsing,
dengan panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor)
dengan bobot sekitar 2.5 kg (Prawiradilaga 1999). Elang Jawa betina memiliki
ukuran tubuh lebih besar dan lebih kekar dari pada jantan. Pada waktu baru
menetas hingga berumur sekitar dua minggu, anak Elang Jawa (juvenile) masih
berbulu kapas halus dan berwarna putih. Anak Elang Jawa memiliki kepala dan
mahkota berwarna coklat kayu manis, tanpa strip kumis dan strip kumis mesial.
Lingkaran mata ketika menetas berwarna coklat tua kemudian berubah menjadi
berwarna abu kebiru-biruan. Warna bagian bawah ekornya berwarna keabuabuan dengan garis lebar di bagian ujung yang terlihat (Nijman dan Sozer 1998).
Pada periode pertumbuhan akan tumbuh bulu jarum yang berkembang
menjadi bulu burung dan berwarna gelap. Jambul mulai tumbuh dan matanya
berwarna hitam dengan lingkaran berwarna kuning (Prawiradilaga 1999).
Jambul Elang Jawa dewasa terdiri dari 2-4 bulu dengan panjang hingga 12 cm.
Jambul berwarna hitam dengan ujung putih, sedangkan mahkota dan kumis
berwarna hitam. Kepala, punggung, sayap, dan ekor Elang Jawa dewasa
berwarna coklat tua dengan ujungnya berwarna krem. Leher, dada, dan
perutnya berwarna coklat dengan garis-garis berwarna coklat tua atau
kehitaman. Pada ekornya terdapat empat buah pita berwarna hitam, namun pada
pada umumnya hanya terlihat tiga buah pita karena pita yang terdapat pada

6
pangkal ekor sering tersembunyi. Kakinya relatif pendek dan kokoh serta
tertutup bulu. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari
(Prawiradilaga 1999).

(a)

(b)

Gambar 3 Elang Jawa (a) juvenile; dan (b) dewasa
(Sumber: Syartinilia 2006 (a); Cahyono 2015 (b))
Elang Jawa memiliki bunyi yang nyaring tinggi dan berulang-ulang
dengan suara kliiiiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata.
Bunyi juga terdengar bernada tinggi dan cepat dengan bunyi kli-kli-kli-kli-kli
(Nijman dan Sozer 1998). Pada saat terbang, Elang Jawa terlihat terang
cenderung tampak lebih kecoklatan dengan perut lebih gelap, berukuran sedikit
lebih kecil. Bentuk penampakan saat terbang dapat dilihat pada Gambar 4.

(a)
(b)
Gambar 4 Bentuk Elang Jawa saat terbang (soaring)
(a) anakan sampai dewasa (atas-bawah); dan (b) Elang Jawa dewasa
(Sumber: Nijman dan Sozer 1998: halaman 14)

7
Habitat, Penyebaran, dan Perilaku
Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung yang hanya ditemukan
(endemik) di Pulau Jawa. Penyebaran Elang Jawa terbatas di Pulau Jawa, yaitu
Ujung Kulon, Gn. Halimun, Gn. Salak, Gn. Gede Pangrango, Gn. Papandayan,
Gn. Patuha, Gn. Segera, Karang Anyar, Gn. Slamet, Gn. Besar, Gn. Prahu, Gn.
Merapi, Gn. Arjuno, Gn. Iyang, Taman Nasional Betiri, Kalibaru, Ijen, dan
Taman Nasional Alas Purwo (Sozer dan Nijman 1995). Elang Jawa dapat
ditemukan di daerah hutan primer dan daerah peralihan di dataran rendah
dengan hutan pegunungan di Jawa. Elang Jawa menyukai ekosistem hutan
hujan tropis baik hutan primer maupun sekunder mulai dari permukaan laut
sampai ketinggian 3 000 m, tetapi lebih menyukai daerah dengan ketinggian
antara 200 – 2 000 m dpl (Prawiradilaga 1999). Elang Jawa sangat bergantung
pada hutan primer meskipun masih terlihat di hutan sekunder di wilayah Bogor
(Thiollay dan Meyburg 1988). Pada daerah Jawa Barat bagian Selatan,
penyebaran ditemukan dari permukaan laut hingga 2 400 m dpl, dengan jumlah
penyebaran terbesar pada ketinggian 500 – 1 000 m dpl (Setiadi et al. 2000).
Pada umumnya, habitat Elang Jawa sukar untuk dicapai manusia, meski
tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Elang Jawa menyukai pohon
yang tinggi menjulang yang dapat digunakan untuk mengincar mangsa ataupun
sebagai sarang. Pohon sarang yang dipilih biasanya terletak di lereng dengan
kemiringan sedang sampai curam pada ketinggian di atas 800 m dpl, dengan
dasar lembah yang memiliki anak sungai. Hal ini berhubungan dengan
kesempatan memperoleh mangsa dan pemeliharaan keselamatan anak. Jenis
pohon yang paling sering digunakan untuk bersarang adalah pohon rasamala
(Altingia excelsa) (Prawiradilaga 1999).
Elang Jawa sangat suka bertengger pada dahan pohon yang tinggi untuk
menghindari ancaman dan mempertahankan teritori dari burung-burung
pemangsa lainnya (MacKinnon 1995). Elang Jawa berburu dari tempat
bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan dan menyergap mangsanya
yang berada di dahan pohon maupun yang berada di atas tanah. Elang Jawa
melakukan aktivitas berburu dengan menggunakan dua macam teknik. Teknik
yang pertama adalah dengan cara bertengger (perching) pada dahan, ranting,
ataupun cabang pohon di dalam hutan pada area perburuan di dalam wilayah
jelajahnya (van-Balen et al. 1999). Teknik yang kedua adalah dengan terbang
rendah (ambush hunting) dan berputar-putar (soaring) sambil mencari gerakan
mangsa di atas tajuk pohon (Sozer dan Nijman 1995). Teknik berburu dengan
cara bertengger ini paling sering dilakukan oleh Elang Jawa (van-Balen et al.
1999). Elang Jawa akan menunggu hingga terlihat adanya mangsa atau gerakan
yang diduga dilakukan oleh mangsa, kemudian elang akan terbang meluncur
dan menyergap mangsa dengan kedua cakarnya (Prawiradilaga 1999).
Keberadaan hutan tidak hanya penting untuk berburu. Elang Jawa juga
menggunakan hutan untuk bertelur dan masa perkembangbiakan. Sarang Elang
Jawa yang umumnya di atas pohon tinggi dibangun dan digunakan pada masa
berkembangbiak yaitu untuk bertelur, mengeram, dan merawat anak hingga
anak dapat terbang (Prawiradilaga 1999). Elang Jawa bertelur sekali setiap dua
tahun (biannual breeding cycle) dengan menghasilkan satu butir telur (Sozer
dan Nijman 1995). Hal ini terjadi karena masa pengeraman, perawatan anak di

8
sarang dan kebergantungan burung muda pada induk cukup lama
(Prawiradilaga 1999). Induk Elang Jawa betina mengerami telur selama kurang
lebih 47 hari. Setelah telur menetas, kedua induk bekerja sama merawat
anaknya. Kedua induk elang secara bergantian melatih anak elang belajar
terbang. Pada masa anak elang belajar terbang dan sudah mulai dapat terbang
(fledgling), anak elang masih sering kembali ke sarang. Pada masa tersebut
anak belum mampu mencari makan sendiri sehingga induk masih memberi
pakan dengan meletakkan mangsa di sarang (Prawiradilaga 1999). Setelah anak
memiliki kemampuan terbang dan berburu, biasanya sarang sudah tidak
digunakan lagi oleh pasangan induk dan anak elang hingga masa
perkembangbiakan berikutnya. Meskipun demikian, biasanya pasangan induk
dan anak masih tinggal di sekitar pohon sarang, tetapi tidak tidur di pohon
sarang.
Pada saat musim perkembangbiakan, pasangan Elang Jawa akan
membentuk wilayah teritori (breeding territory) yang melingkupi lokasi pohon
sarang pada wilayah jelajah. Teritori tersebut akan hilang setelah masa
perkembangbiakan usai. Anak elang akan memiliki wilayah jelajah sendiri di
sekitar pohon sarang yang luasnya biasanya seluas teritori, sedangkan wilayah
jelajah induk elang lebih luas. Anak elang sudah mulai jarang terlihat terbang
bersama induk ataupun elang remaja yang berasal dari induk yang sama.
Setelah mendekati usia dewasa, elang remaja akan memisahkan diri
(memencar/dispersal) dari pasangan induk (keluarga) untuk mencari pasangan
serta menentukan wilayah jelajah sendiri. Penentuan lokasi wilayah jelajah baru
untuk menetap ini sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat dan kepadatan
populasi Elang Jawa yang ada (Prawiradilaga 1999).

Konektivitas Lanskap
Konektivitas merupakan fungsi dari patch habitat dan distribusi jarak
antar-patch (Baranyi et al. 2011). Konektivitas yang terjadi di dalam lanskap
mempertimbangkan variabel patch, batas tepi (edge), kontinuitas, dan koridor.
Konektivitas lanskap harus dipertimbangkan dalam konsep ketersediaan habitat
secara luas agar dapat diintegrasikan ke dalam aplikasi perencanaan konservasi
lanskap. Ketersediaan habitat mempertimbangkan patch sebagai ruang
terjadinya konektivitas, integrasi patch habitat, dan hubungan antar-patch yang
berbeda dalam ukuran tunggal (Saura dan Pascual 2007). Konektivitas dalam
lanskap berperan sebagai derajat lanskap yang memfasilitasi atau menghambat
gerakan yang terjadi antar-patch habitat, mendukung arus ekologi, dan sebagai
pelestarian keanekaragaman hayati jangka panjang (Saura dan Pascual 2007).
Konektivitas dapat memastikan kemungkinan terjadinya penyebaran dan aliran
gen, yang keduanya sangat penting untuk menghindari penurunan dan
kepunahan populasi (Haddad 2003). Oleh sebab itu, konektivitas menjadi salah
satu komponen yang paling penting dipertimbangkan dalam manajemen lanskap
sebagai dasar perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap.
Konektivitas antar-patch habitat dapat dianalisis melalui model
probabilitas. Beragam pendekatan pemodelan telah digunakan untuk
menentukan potensi dalam konektivitas habitat. Konektivitas dalam lanskap

9
dapat diukur dengan menggunakan indeks probabilitas konektivitas
(PC/probability of connectivity) (Saura dan Pascual 2007). Probability of
connectivity merupakan pendekatan dasar area konektivitas yang
menggabungkan dua elemen penting dalam evaluasi keanekaragaman hayati,
yaitu ukuran patch habitat dan jarak dalam ukuran tunggal. Probability of
connectivity didefinisikan sebagai kemungkinan dua satwa secara acak
ditempatkan dalam lanskap dengan habitat yang mudah dicapai satu sama lain
(interconnected) dengan indikator jumlah patch dan koneksi di antara patch
tersebut. Aplikasi PC dapat mengidentifikasi elemen-elemen penting dan
elemen lanskap yang paling kritis (patch atau koridor) untuk pemeliharaan
konektivitas habitat secara keseluruhan. Hasil dari analisis PC ini juga dapat
dengan mudah dipahami dan dimanfaatkan oleh para perencana dan manajer
pengelolaan lingkungan (Saura dan Pascual 2007).
Probabilitas konektivitas (PC) terdiri dari tiga indeks utama, yaitu PCintra,
PCflux, dan PCconnector (Saura dan Rubio 2010). PCintra menunjukkan
besarnya konektivitas yang terjadi di dalam patch itu sendiri (inter patch). Nilai
PCintra yang tinggi menunjukkan bahwa konektivitas yang terjadi di dalam
patch tersebut semakin tinggi. PCflux merupakan penyebaran aliran yang
masuk dan keluar melalui konektivitas yang terjalin antar dan inter patch.
Semakin luas patch habitat, maka aliran yang terjalin antar-patch semakin
tinggi dan ditunjukkan dengan nilai PCflux yang tinggi. Patch habitat dengan
nilai PCintra dan PCflux yang tinggi dapat dijadikan sebagai habitat inti (core
habitat). PCconnector (PCcon) merupakan indeks yang paling penting yang
menunjukkan tingkat konektivitas antar patch. Berdasarkan nilai PCcon ini
dapat menentukan patch yang terisolasi dengan nilai PCcon = 0 dan patch yang
terkoneksi dengan nilai PCcon > 0. Semakin tinggi nilai PCcon maka semakin
besar suatu patch memberikan koneksi terhadap patch lainnya (Saura dan Rubio
2010).

Model Metapopulasi
Istilah metapopulasi diperkenalkan pertama kali oleh Richard Levins pada
tahun 1970 untuk menjelaskan sebuah model dinamika populasi dari serangga
hama pada lahan pertanian. Seiring perkembangan pengetahuan, metapopulasi
berkembang luas dan diterapkan pada habitat yang terfragmentasi secara alami
maupun secara buatan. Pemahaman struktur populasi merupakan hal yang
sangat dibutuhkan bagi konservasi satwa, baik dalam mendefinisikan unit
konservasi yang dituju, unit signifikan, serta unit manajemennya. Model
metapopulasi memberikan satu kerangka kerja konseptual untuk
mempertimbangkan struktur dan demografi populasi. Model metapopulasi dapat
menyediakan kerangka kerja bagaimana dinamika beberapa populasi dapat
dipertimbangkan dan diprediksi (Hanski dan Gilpin 1991).
Metapopulasi adalah suatu sistem dinamika tingkat rata-rata keberadaan
serta rekolonisasi yang mengakibatkan terjadinya perpindahan individuindividu yang menjamin terjadinya hubungan secara genetis antara masingmasing sub-populasi (Hanski 2004). Secara istilah, Levins menjelaskan bahwa
metapopulasi adalah populasi dari populasi. Secara fisik, metapopulasi terdiri

10
dari kepunahan (extinction) dan kolonisasi (colonization) (Harrison 1991).
Metapopulasi terdiri dari beberapa populasi yang secara spasial terpisah dari
jenis yang sama dan terkoneksi karena adanya pergerakan individu di antara
unit populasi (Hilty et al. 2006). Sebuah metapopulasi secara umum
dipertimbangkan terdiri dari beberapa populasi menempati area dengan habitat
yang sesuai yang sekarang tidak ditempati lagi (Hanski dan Gilpin 1991).
Sistem metapopulasi ini kemungkinan terjadi pada habitat Elang Jawa.
Hal ini dikarenakan secara biologis, anak Elang Jawa ketika sudah dapat
terbang dan berburu akan meninggalkan sarang induk dan membentuk wilayah
teritori yang baru (Prawiradilaga 1999). Pembentukan wilayah teritori ini dapat
berada di dalam patch yang sama atau di luar patch wilayah jelajah induk,
bergantung pada kapasitas daya dukung patch tersebut. Hanski dan Simberloff
(1997) menyatakan bahwa metapopulasi dikatakan berhasil ketika penyebaran
antar-patch jarang terjadi atau dengan jarak bermigrasi satwa tidak jauh dari
habitat awal. Oleh sebab itu, peran konektivitas dalam metapopulasi sangat
penting untuk menghubungkan antar-patch.
Metapopulasi dapat dijadikan sebagai pemodelan yang baik sebagai
tindak lanjut usaha konservasi dalam lanskap (Hanski 2004). Metapopulasi
secara keseluruhan pada umumnya stabil untuk mengendalikan kelimpahan
populasi dikarenakan adanya imigrasi. Individu juga melakukan emigrasi ke
populasi kecil untuk menyelamatkan populasi tersebut dari kepunahan. Hal ini
disebut sebagai efek penyelamatan atau successful rescue (Morrison 2009).
Selain itu, metapopulasi terbukti bermanfaat bagi burung khususnya nonmigran. Pada burung non-migran, derajat bebas demografi secara jelas
berhubungan dengan geografi, dan pertukaran individu merupakan fungsi dari
kemungkinan migrasi di antara area geografi. Sub-populasi terpisah jelas secara
spasial dan akan saling bertemu dengan individu pada sub-populasi lain hanya
jika terjadi migrasi. Proses demografi akan mempengaruhi kelompok hewan di
dalam masing-masing patch dalam menetapkan kemungkinan kepunahan subpopulasi. Laju migrasi yang cukup tinggi akan mencegah kepunahan pada
masing-masing patch (Hanski dan Gilpin 1991). Sub-populasi yang
berkembang dengan migrasi yang berbeda-beda membentuk tipe-tipe model
metapopulasi (Gambar 5). Model metapopulasi yang umum digunakan dalam
lanskap terdiri dari 5 tipe (Harrison 1991) sebagai berikut:
1. Model metapopulasi classic Levins adalah suatu populasi yang spesifik
bertahan dalam keseimbangan regional yang dinamis antara kepunahan dan
kolonisasi yang ditunjukkan oleh model metapopulasi standar. Model
metapopulasi ini bergantung pada jumlah patch dan konektivitas di antara
patch tersebut. Fluktuasi ukuran patch bergantung dari kondisi demografi
secara acak. Patch yang lebih kecil akan lebih rawan menjadi punah.
2. Model metapopulasi mainland-island adalah model metapopulasi yang
terbentuk dari sebuah kelompok populasi yang menempati suatu wilayah
habitat terfragmentasi dan membentuk patch-patch habitat, sehingga
terdapat patch habitat yang besar (mainland) dan patch yang lebih kecil
(island) di sekitarnya. Kepunahan pada tipe mainland-island terjadi pada
sebagian populasi dan efeknya sangat kecil karena terdapat habitat untuk
menjadi suatu koloni. Populasi dalam patch yang kecil merupakan

11
rekolonisasi dari patch yang besar. Ketahanan regional metapopulasi ini
bergantung dari kemampuan individu untuk membentuk koloni baru antarpatch habitat dan koneksinya terhadap patch yang lebih besar.
3. Model metapopulasi patchy population merupakan model metapopulasi
dengan distribusi populasi terjadi pada patch-patch habitat dan spasial
temporal dalam sebaran unit yang cukup tinggi. Model ini merupakan
model metapopulasi dengan pola yang umum terjadi dan resisten terhadap
kepunahan. Jika terjadi kepunahan, populasi dalam patch dengan cepat
melakukan rekolonisasi. Hal ini dikarenakan koneksi antar-patch sangat
baik dalam satu entitas demografi.
4. Model metapopulasi non-equilibrium merupakan model metapopulasi
dengan rekolonisasi yang tidak sesuai untuk menyeimbangkan kepunahan
lokal terjadi sebagai bagian dari penurunan secara regional. Selain itu
populasi tidak dapat melakukan pergerakan ke patch lainnya atau untuk
melakukan kolonisasi pada patch baru.
5. Model metapopulasi intermediate case merupakan model metapopulasi
gabungan antara model mainland island dan patchy population. Pusat
sebaran tergabung dalam satu populasi tetapi cukup rendah untuk terjadi
kepunahan lokal pada patch sekitarnya.

Legenda
- Lingkaran putih  patch yang terisolasi dan memiliki resiko kepunahan yang lebih besar.
- Lingkaran hitam  merupakan patch yang mampu bertahan dengan resiko kepunahan
tergantung pada kemampuan daya dukung patch tersebut dan proses bermigrasinya.
- Garis putus-putus  konektivitas yang terjalin antar patch atau proses migrasi yang
dilakukan oleh individu.

Gambar 5 Tipe model metapopulasi
(Sumber: Harrison 1991: halaman 78)

12

3 METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 hingga bulan Juli
2015. Lokasi penelitian mencakup wilayah Jawa Barat (Gambar 6). Jawa Barat
secara geografis terletak antara 50 500 - 70 500 Lintang Selatan dan 1050 480 1080 480 Bujur Timur dengan luas wilayah 35 377.76 km2. Dalam pengambilan
data citra landsat, Jawa Barat terdiri dari 4 scene, yaitu path/row 122/64, 122/65,
121/64, dan 121/65.

Pulau Jawa

Gambar 6 Lokasi penelitian
(Sumber: Citra Landsat 8 OLI/TIRS Tahun 2014)

Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain berupa kamera
digital, teropong binokular, Global Positioning System (GPS), alat tulis, kompas
dan meteran yang digunakan pada saat survei di lapang atau ground truth check.
Pengolahan data menggunakan software ArcGIS 10.2, ERDAS Imagine 9.1,
RAMAS GIS v.4, Conefor Sensinode 2.6, dan Microsoft Office. Data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa aspek fisik (Tabel 1).

13
Tabel 1 Data fisik yang digunakan dalam penelitian
No
1

Jenis Data
Peta administrasi
Jawa Barat

Deskripsi
Vektor,
polygon

Sumber
Badan Informasi
Geospasial

Kegunaan Data
Batas
administrasi

2

Peta kesesuaian
habitat Elang
Jawa di Jawa
Barat bagian
Selatan

Raster,
resolusi
(90 x 90) m

Syartinilia dan
Tsuyuki (2008)
dengan citra Landsat
ETM+ tahun 2002 p/r:
122/65 dan 121/65
(Gambar 7)

Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat

3

Peta elevasi
Jawa Barat

Raster,
resolusi
(30 x 30) m

ASTER GDEM
(http://www.gdem.aste
r. ersdac.or.jp)
(Gambar 9)

4

Peta kemiringan
lahan Jawa Barat

Raster,
resolusi
(30 x 30) m

ASTER GDEM
(http://www.gdem.aste
r. ersdac.or.jp)
(Gambar 10)

Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat
Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat

5

Peta NDVI
Jawa Barat

Tahun 2014,
Raster,
resolusi
(30 x 30) m

Citra Landsat 8
OLI/TIRS p/t: 122/64
(22/04/2014); 122/65
(09/06/2014); 121/64
(02/06/2014); 121/65
(02/06/2014)
(Gambar 11)

Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat

6

Peta penutupan
lahan Jawa Barat

Tahun 2014,
Raster,
resolusi
(30 x 30) m

Citra Landsat 8
OLI/TIRS p/t: 122/64
(22/04/2014); 122/65
(09/06/2014); 121/64
(02/06/2014); 121/65
(02/06/2014)
(Gambar 12)

Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat

7

Peta kawasan
lindung Jawa
Barat

Tahun 2014,
Vektor,
polygon

WDPA
(http://www.protected
planet.net/)

Analisis kondisi
terkini patch
habitat Elang
Jawa yang tersisa
di Jawa Barat

Keterangan:
ASTER GDEM : Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global
Digital Elevation Model
NDVI
: Normalized Difference Vegetation Index
OLI/TIRS
: Operational Land Imager/Thermal Infrared Sensor
WDPA
: World Database on Procted Areas
p/r
: path / row

14
Prosedur Analisis Data
Peta kesesuaian habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008) dan
menghasilkan peta kesesuaian habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan
dengan perolehan hasil 8 patch (Gambar 7 dan Tabel 2). Kesesuaian habitat
Elang Jawa dianalisis dengan menggunakan peta citra landsat tahun 2002. Peta
yang digunakan adalah citra Landsat ETM+ 22/12/2001 (path/row: 122/65) dan
Landsat ETM+ 19/01/2003 (path/row: 121/65).

Gambar 7 Distribusi patch habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan
(Sumber: Syartinilia dan Tsuyuki 2008 dengan menggunakan citra Landsat
ETM+ 22/12/2001 dan 19/01/2003)
Tabel 2 Patch habitat Elang Jawa di Jawa Barat bagian Selatan dan luas areanya
Jumlah patch
1
2

Luas (km2)
283
108

Batas tepi (km)
992
347

3

68

537

4

12

136

5

30

212

6
7
8

41
123
1 670

253
777
4 659

Jumlah

2 335

7 913

15
Peta elevasi dan kemiringan lahan
Peta elevasi dan kemiringan lahan yang digunakan adalah peta DEM
(Digital Elevation Model) yang diperoleh dari ASTER GDEM (Advanced
Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital
Elevation Model). Bagan alur perolehan peta elevasi dan peta kemiringan lahan
terdapat pada Gambar 8. Peta DEM merupakan data elevasi suatu tempat yang
dapat diunduh melalui situs http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp. Peta DEM
diolah di ArcGIS 9.3 dengan penklasifikasian sesuai dengan kebutuhan. Pada
penelitian ini, peta elevasi (Gambar 9) diklasifikasikan dengan menyesuaikan
distribusi data secara kontinyu. Sedangkan peta kemiringan lahan (Gambar 10)
diperoleh setelah melakukan analisis topografi pada peta DEM. Klasifikasi
kemiringan lahan dibagi menjadi enam kelas berdasarkan ketentuan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No:
683/Kpts/Um/8/1981 (Tabel 3).

Gambar 8 Bagan alur pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan

Gambar 9 Peta elevasi Jawa Barat
(Sumber: Hasil analisis dari ASTER GDEM)

16

Gambar 10 Peta kemiringan lahan Jawa Barat
(Sumber: Hasil analisis dari ASTER GDEM)
Tabel 3 Klasifikasi kemiringan lahan
Kelas
Kemiringan lahan
I
0-3%
II
3-8%
III
8-15%
IV
15-25%
V
25-40%
VI
>40%
Sumber: SK. Menteri Pertanian No.
683/Kpts/Um/8/1981

Klasifikasi
Datar
Agak datar
Landai
Agak curam
Curam
Sangat curam
837/Kpts/Um/11/1980

dan

No:

Peta NDVI
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan suatu metode
standar yang membandingkan kehijauan vegetasi antara gambar satelit yang
dapat digunakan sebagai indikator biomassa dan kehijauan relatif (Boone dan
Krohn 2000). NDVI menjadi suatu metode pengukuran keseimbangan antara
energi yang diterima dengan energi yang dipancarkan oleh obyek di bumi.
Ketika diterapkan pada vegetasi, indeks tersebut menetapkan nilai untuk
mengetahui seberapa hijau suatu area yang dapat mengekspresikan jumlah
kerapatan vegetasi (Meneses 2011). Basis citra NDVI menggunakan gelombang
near-infrared (NIR) dan gelombang red (R) dengan rumus berikut:

17
NDVI =

NIR Band − Red Band
NIR Band + Red Band

Peta NDVI Jawa Barat dalam penelitian ini (Gambar 11) diolah dengan
menggunakan citra Landsat 8 OLI/TIRS (Operational Land Imager/Thermal
Infrared Sensor) tahun 2014 dengan resolusi (30 x 30) m. Citra landsat
merupakan gambaran permukaan bumi yang diambil dari luar angkasa pada
ketinggian kurang lebih 818 km dengan skala 1 : 250 000 m. Citra landsat
mempunyai cakupan area 185 km x 185 km dalam setiap perekaman sehingga
sesuai digunakan untuk pengolahan data wilayah yang cukup besar (Wahyunto
et al. 1995). Perekaman data citra bergantung pada setingan waktu satelit yang
digunakan sehingga memungkinkan suatu wilayah tertutup awan atau kondisi
yang tidak cerah. Apabila citra landsat/wilayah yang akan dianalisis tertutup
awan maka citra tersebut sulit untuk dianalisis. Oleh sebab itu pada penelitian
ini digunakan citra Landsat 8 OLI/TIRS dengan meminimalkan awan kurang
dari 10%. Data satelit Jawa Barat dalam penelitian ini diambil pada tanggal 22
April 2014 (path/row: 122/64), 9 Juni 2014 (path/row: 122/65), 2 Juni 2014
(path/row: 121/64), dan 2 Juni 2014 (path/row: 121/65). Peta citra diunduh
melalui situs http://earthexplorer.usgs.gov/.

Gambar 11 Peta NDVI Jawa Barat
(Sumber: Hasil analisis dari citra Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2014 tanggal
22/04/2014 (122/64); 09/06/2014 (122/65); 02/06/2014 (121/64); dan
02/06/2014 (121/65))

18
Nilai NDVI berkisar pada skala 0 hingga 1. Namun, pada umumnya
vegetasi berada pada indeks 0.1 hingga 0.7 (Syartinilia dan Tsuyuki 2008).
Nilai indeks vegetasi yang tinggi berhubungan dengan tingkat kerapatan tajuk
yang tinggi (Dephut 2007). Semakin mendekati angka 1, maka kerapatan tajuk
vegetasi semakin rapat.
Penutupan lahan Jawa Barat
Analisis penutupan lahan digunakan untuk mengidentifikasi penutupan
lahan pada patch habitat yang dihasilkan. Hal ini penting dilakukan untuk
menilai penambahan atau pengurangan luasan patch habitat pada penutupan
lahan tertentu. Penutupan lahan Jawa Barat ini dibuat dengan menggunakan
peta citra yang sama dengan pengolahan peta NDVI, yaitu Landsat 8 OLI/TIRS
tahun 2014. Dalam penelitian ini penutupan lahan Jawa Barat dibagi menjadi
tujuh kelas (Tabel 4). Klasifikasi kelas menggunakan metode Peluang
Maksimum (Maximum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode
standar dengan mempertimbangkan peluang suatu piksel dari peta citra yang
digunakan untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu (Ariyanty
2011). Warna piksel peta citra per kelas sesuai dengan warna alami dengan
komposit band 6-5-3. Komposit ini dibuat menggunakan panjang gelombang
atau spektrum inframerah sedang (Near Infrared / NIR = 1.2 – 3.2 m),
inframerah dekat (Short-Wave Infrared / SWIR = 0.7 – 0.λ m), dan spektrum
merah atau hijau dengan panjang gelombang 0.6 – 0.7 atau 0.5 – 0.6 m
secara berturut-turut pada red, green, dan blue sesuai dengan peta citra landsat 8
OLI/TIRS yang digunakan (Ariyanty 2011).
Klasifikasi kelas diperoleh dari pembuatan area latihan (training area)
berdasarkan hasil survei di lapang. Training area dibuat dengan menggunakan
software ERDAS Imagine 9.3 dengan metode klasifikasi terbimbing
(supervised classification). Pembuatan training area tidak hanya digunakan
untuk proses klasifikasi penutupan lahan, tetapi juga digunakan untuk proses
akurasi hasil klasifikasi. Perbandingan bobot training area sebagai sampel
untuk proses klasifikasi dan akurasi adalah 75% : 25% dari total training area
yang dibuat. Tingkat akurasi pada training area ini perlu dilakukan untuk
mengetahui ketepatan hasil pada kelas penutupan lahan. Tingkat akurasi ini
diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar
dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat
di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan).
Akurasi tersebut disebut dengan akurasi umum (overall accuracy). Akan tetapi,
akurasi ini umumnya terlalu “over estimate” sehingga jarang digunakan sebagai
indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi. Akurasi
umum hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu
matrik kontingensi (Ariyanty 2011). Akurasi yang dianjurkan adalah akurasi
kappa. Akurasi ini menggunakan semua elemen matriks yang menghitung
besarnya akurasi pembuat (producer’s accuracy) dan akurasi pengguna (user’s
accuracy) dari setiap kelasifikasi penutupan lahan. Akurasi pembuat adalah
akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total
piksel training area setiap kelas. Pada peta penutupan lahan yang dibuat,

19
tingkat akurasi yang dapat dipercaya adalah minimal 75% untuk akurasi
keseluruhan (Syartinilia 2004).
Tabel 4 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya
No

Kelas Penutupan Lahan

Deskripsi

1

Area terbangun

Area yang mengalami substitusi penutup
lahan yang bersifat alamiah atau semi
a