Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Uta

(1)

malayanus Temminck, 1822), DAN ELANG-ULAR BIDO

(Spilornis cheela Latham, 1790) DENGAN MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN CIAMIS

BAGIAN UTARA

Andi Nugraha Cahyana

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

malayanus Temminck, 1822), DAN ELANG-ULAR BIDO

(Spilornis cheela Latham, 1790) DENGAN MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN CIAMIS

BAGIAN UTARA

Andi Nugraha Cahyana

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus

Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara. Dibimbing oleh Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc.

Elang atau raptor merupakan burung pemangsa yang berperan sebagai pengendali dalam suatu ekosistem. Dalam menjalankan perannya, elang memiliki kaitan erat dengan faktor-faktor lain didalam ekosistem tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model kesesuaian habitat Elang Jawa (EJ), Elang hitam (EH), dan Elang-ular bido (EUb) di Kabupaten Ciamis bagian utara. Pemetaan kesesuaian habitat dan pendugaan populasi elang ini merupakan salah satu langkah awal dalam pelestarian elang.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009 di Kabupaten Ciamis bagian utara. Analisis model kesesuaian habitat dilakukan dengan Analisis Komponen Utama dengan lima variabel faktor penentu kesesuaian habitat yaitu penutupan tajuk (LAI), keberadaan hutan alam, ketinggian, kemiringan lereng, dan gangguan. Pengolahan peta menggunakan software Arc View 3.2 dan Erdas Imagine 9.1.

Faktor penentu kesesuaian habitat yang paling berpengaruh bagi model kesesuaian habitat EH adalah hutan alam dengan nilai bobot variabel 2.795, pada EJ adalah kemiringan lereng, LAI, dan gangguan dengan bobot variabel 2.555, sedangkan pada EUb, faktor yang paling berpengaruh adalah kemiringan lereng, ketinggian, dan LAI dengan bobot variabel 2.3. Model yang digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat di lokasi penelitian pada EH yaitu IKHEH = (1.503

x Fk1) + (1.503 x Fk2) + (1.503 x Fk3) + (2.759 x Fk4) + (1.503 x Fk5), pada EJ yaitu IKHEJ = (2.555 x Fk1) + (1.641 x Fk2) + (2.555 x Fk3) + (1.641 x Fk4) +

(2.555 x Fk5), dan pada EUb yaitu IKHEUb = (2.300 x Fk1) + (2.300 x Fk2) +

(2.300 x Fk3) + (1.251 x Fk4) + (1.251 x Fk5). Model kesesuaian habitat EH dan EUb tidak dapat diterima karena nilai validasi yang kecil (25 % dan 50 %) pada tingkat kesesuaian tinggi, sedangkan model kesesuaian habitat EJ dapat diterima karena memiliki nilai validasi yang tinggi (100 %).


(4)

(Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Black Eagle (Ictinaetus malayanus

Temminck, 1822), and Crested Serpent Eagle(Spilornis cheela Latham, 1790) Using Geographic information System in North District of Ciamis. Under Supervision of Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc.

Eagle or raptor is a predator bird that have role as contoler in ecosystem. As doing their role, eagle has influence to another factor in ecosystem. Objective of this research are to know habitat compability design of javan hawk eagle, black eagle, and crested serpent eagle in north district of Ciamis, and estimatin populaation of eagle as a start of eagle conservation.

This research was conduct from Mei to June 2009 in north district of Ciamis. Habitat Compability design analysis are doing by using main component analysis with 5 habitat variable compability determine, there are crown cover (LAI), natural forest exsistence, altitude, elevation, and habitat interface. Map processing is using Arc View 3.2 and Erdas Imagine 9.1 software.

Determine factor of habitat compability that highly influence to habitat compability design of black eagle is natural forest with variable weight value 2.795. In javan hawk eagle is elevation, LAI, and habitat interface with variable wieght 2.55, while in crested serpent eagle factor that highly influence are elevation, altitude, and LAI with variable weight value 2.3. Design that used to determine habitat compability in research location in Black eagle is IKHEH =

(1.503 x Fk1) + (1.503 x Fk2) + (1.503 x Fk3) + (2.759 x Fk4) + (1.503 x Fk5), in Javan hawk eagle is IKHEJ = (2.555 x Fk1) + (1.641 x Fk2) + (2.555 x Fk3) +

(1.641 x Fk4) + (2.555 x Fk5), and in crested serpent eagle is IKHEUb = (2.300 x

Fk1) + (2.300 x Fk2) + (2.300 x Fk3) + (1.251 x Fk4) + (1.251 x Fk5). Habitat compability design of black eagle and crested serpent eagle are not acceptable because of it’s validation value is small (25% and 50%) in high compability level, while habitat compability of javan hawk eagle is acceptable because high validation value (100%).


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela

Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2009

Andi Nugraha Cahyana NRP. E34104026


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan seluruh karunia, rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi

Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara” dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Ir. Jarwadi B. Hernowo MSc.F dan Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. serta pihak-pihak yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyusunan skripsi.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2009


(7)

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 25 Oktober 1986 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Drs. H. Cacah Cahyana dan Dra. Hj. Nani Sumarni. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1990-1992 di TK Tunas Kartini, kemudian melanjutkan ke SDN Singandaru II pada tahun 1992-1998 dan dilanjutkan ke SLTPN 1 Kawali pada tahun 1992-1998-2001. Kemudian penulis melanjutkan studinya di SMAN 1 Kawali pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan diantaranya adalah anggota Komunitas Fotografi IPB (Shutter), anggota aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF-IPB) sebagai anggota divisi burung, Kepala Departemen Infokom sekaligus ketua redaksi majalah Animal Eyes IPB (2006-2007), dan Ketua Umum, UKF-IPB (2007-2008).

Kegiatan yang pernah diikuti penulis selama menjadi mahasiswa antara lain Ekspedisi Global UKF di Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 2006 dan 2008, serta Inventarisasi Keanekaragaman Flora dan Fauna di CA-TWA Telaga Warna UKF-PPLH IPB pada tahun 2006. Penulis mengikuti Praktek pengenalan hutan di CA Kamojang dan CA Leuweung Sancang serta Praktek pengelolaan hutan di KPH Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian karya ilmiah dengan judul Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela

Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara, yang dibimbing oleh Ir. Jarwadi B. Hernowo MSc.F dan Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.


(8)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kesempatan-Nya, tak lupa Shalawat dan Salam penulis ucapkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Papap dan Mamah (Drs. H. Cacah Cahyana dan Dra. Hj. Nani Sumarni), adik-adikku (Jatnika Gumilar Cahyana dan Ajiz Maulana Cahyana), kakak (Annisa Febriani Cahyana dan Dani Ismaya) serta keponakanku tercinta (Zahra Zaneta Ismaya), atas dukungan, doa, serta tantangan yang telah diberikan.

2. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F atas segala bimbingan, arahan, nasihat bantuan dan kesabarannya selama penulis melaksanakan studi hingga akhirnya berhasil menyelesaikan skripsi sekaligus studi di IPB.

3. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc atas bimbingan, bantuan, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ir. T.R. Mardikanto, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Silvikultur.

5. PPLH-IPB, LSM Peduli Konservasi Alam (PEKA), serta Pemda Kabupaten Ciamis atas bantuan alat dan bahan penelitian.

6. KSH empatsatu : Kita datang, dunia.!

7. IC Balio 33B beserta PGT atas semua drama kemarin, kini, dan esok.

8. Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF-IPB) atas segalanya : “Perjalanan masih sangat panjang.!”

9. Rahayu Oktaviani,

10. Semua mahluk hidup dan tak hidup, ada dan tak ada, dan alam semesta.

Oktober, 2009


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL v 1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Elang Jawa ... 3

2.1.1. Taksonomi ... 3

2.1.2. Morfologi ... 3

2.1.3. Habitat ... 4

2.1.4. Penyebaran ... 5

2.1.5. Perilaku ... 5

2.2. Elang Hitam ... 5

2.2.1. Taksonomi ... 6

2.2.2. Morfologi ... 6

2.2.3. Habitat, Penyebaran dan Perilaku ... 7

2.3.Elang-ular bido ... 7

2.3.1. Taksonomi ... 7

2.3.2. Morfologi ... 8

2.3.3. Habitat, Penyebaran, dan Perilaku ... 8

2.4.Pengindraan Jauh ... 9

2.5.Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 9

2.6.Leaf Area Index (LAI) ... 10

2.7.Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 11

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Keadaan Geografis ... 13

3.2. Potensi Sumberdaya Alam ... 13

3.3. Suaka Margasatwa Gunung Sawal ... 14

4. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu ... 15

4.2. Alat dan Bahan ... 15


(10)

4.3.1. Kegiatan Pendahuluan ... 16

4.3.2. Data yang dikumpulkan ... 16

4.3.3. Pengumpulan Data... 17

4.4. Analisis Data ... 17

4.4.1. Analisis Peta 4.4.1.1. Peta Penutupan Tajuk... 17

4.4.1.2. Peta Kemiringan Lereng dan Ketinggian ... 17

4.4.1.3. Peta Tingkat Gangguan ... 18

4.4.1.4.Peta Pengaruh Keberadaan Hutan Alam ... 18

4.4.2. Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis) .... 18

4.4.3. Analisis Peta Kesesuaian Habitat ... 18

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Habitat Elang ... 20

5.1.1.1. Hutan Masyarakat ... 20

5.1.1.2. Kebun ... 21

5.1.1.3. Pesawahan ... 21

5.1.1.4. Hutan Alam ... 22

5.1.1.5. Pemukiman ... 22

5.1.2. Sebaran Elang ... 22

5.1.2.1. Keberadaan Hutan Alam ... 24

5.1.2.2.Leaf Area Index (LAI) ... 26

5.1.2.3. Ketinggian ... 28

5.1.2.4. Kemiringan Lereng ... 30

5.1.3. Tingkat Gangguan ... 32

5.1.4. Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 34

5.1.4.1. Analisis Komponen Utama ... 34

5.1.4.2.Model Kesesuaian Habitat ... 36

5.1.4.3. Validasi ... 37

5.2. Pembahasan 5.2.1. Habitat Elang ... 42

5.2.2. Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat ... 43

5.2.2.1.Keberadaan Hutan Alam ... 43

5.2.2.2.Leaf Area Index (LAI) ... 44

5.2.2.3. Ketinggian ... 44

5.2.2.4. Kemiringan Lereng ... 46

5.2.2.5.Tingkat Gangguan ... 47

5.2.3. Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 47

5.2.3.1. Analisis Komponen Utama ... 47

5.2.3.2.Validasi ... 48


(11)

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 50 6.2. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. (a). Bentuk penampakan elang jawa saat terbang (Soaring) dari

anakan sampai dewasa (kiri-kanan).

(b). Elang jawa dewasa saat Soaring……… 4

Gambar 2. Elang hitam saat terbang ... 6

Gambar 3. Elang ular bido saat terbang ... 8

Gambar 4. Peta lokasi Penelitian ... 15

Gambar 5. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ... 16

Gambar 6. Peta tipe habitat hutan masyarakat dengan vegetasi dominan sengon (Paraserienthes falcataria) dan kelapa (Cocos nucifera) . 20 Gambar 7. Peta tipe habitat kebun dengan vegetasi dominan singkong (Manihot utilisima) ... 21

Gambar 8. Suaka Margasatwa Gunung Sawal ... 22

Gambar 9. Peta sebaran elang berdasarkan tipe habitat di lokasi penelitian ... 23

Gambar 10. Hubungan keberadaan elang dengan keberadaan hutan ... 24

Gambar 11. Peta sebaran elang berdasarkan jarak dari hutan alam di lokasi penelitian ... 25

Gambar 12. Hubungan keberadaan elang dengan LAI ... 26

Gambar 13. Peta sebaran elang berdasarkan nilai LAI di lokasi penelitian ... 27

Gambar 14. Hubungan keberadaan elang dengan ketinggian ... 28

Gambar 15. Peta sebaran elang berdasarkan ketinggian di lokasi penelitian ... 29

Gambar 16. Hubungan keberadaan elang dengan kemiringan lereng ... 30

Gambar 17. Peta sebaran elang berdasarkan kemiringan lereng di lokasi penelitian ... 31

Gambar 18. Hubungan keberadaan elang dengan tingkat gangguan ... 32

Gambar 19. Peta sebaran elang berdasarkan jarak dari pemukiman di lokasi penelitian ... 33

Gambar 20. Peta kesesuaian habitat EH di lokasi penelitian ... 38

Gambar 21. Peta kesesuaian habitat EJ di lokasi penelitian ... 39


(13)

Gambar 23. Peta wilayah yang memiliki tingkat kesesuaian habitat tinggi pada bagi EH, EJ dan EUb. di lokasi penelitian ... 41


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Luas setiap tipe habitat elang di lokasi penelitian ... 20

Tabel 2. Persentase perjumpaan elang pada masing-masing tipe habitat . ... 24

Tabel 3. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan hutan alam ... 26

Tabel 4. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan LAI ... 28

Tabel 5. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan ketinggian ... 30

Tabel 6. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan kemiringan lereng .... 32

Tabel 7. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan gangguan ... 34

Tabel 8. Niai keragaman total masing-masing jenis ... 34

Tabel 9. Niai vektor ciri masing-masing jenis ... 35

Tabel 10. Niai bobot variabel masing-masing jenis ... 35

Tabel 11. Niai skor variabel masing-masing jenis ... 36

Tabel 12. Nilai indeks kesesuaian habitat masing-masing jenis ... 37

Tabel 13. Luas area tiap kelas kesesuaian habitat ... 37


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Elang atau biasa disebut raptor merupakan burung pemangsa yang berperan sebagai predator dalam suatu ekosistem. Terdapat dua kelompok (ordo) yang termasuk raptor, yaitu ordo Falconiformes yang merupakan raptor yang aktif pada siang hari (diurnal), dan ordo Strigiformes yang aktif pada malam hari (nokturnal).

Di Indonesia terdapat tiga famili raptor yang berasal dari ordo Falconiformes yaitu Pandionidae (1 jenis), Accipitridae (64 jenis) dan Falconidae (10 jenis) dengan 15 jenis endemik (Prawiradilaga et al. 2003 dalam Supriatna, 2006). Untuk ordo Strigiformes atau jenis burung hantu tercatat 34 jenis yang berasal dari dua famili (Tytonidae dan Strigidae) dan 16 jenis diantaranya adalah jenis endemik (Colijn, 2002 dalam Supriatna, 2006). Mengingat peranan raptor yang sangat penting bagi ekosistem, maka semua jenis raptor diurnal (Accipitridae) dilindungi oleh Undang-undang Nasional.

Dalam menjalankan perannya sebagai pengendali ekosistem, raptor memiliki kaitan erat dengan faktor-faktor di dalam ekosistem. Salah satu faktor tersebut adalah keberadaan hutan yang merupakan habitat dari raptor itu sendiri. Habitat yang sesuai pada satu jenis elang, berbeda dengan jenis elang lainnya, hal ini disebabkan kerena masing-masing jenis memiliki karakteristik komponen habitat yang berbeda untuk mendukung kehidupannya (Alikodra, 2002).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan, terdapat tiga jenis raptor yang sering dijumpai di daerah Kabupaten Ciamis bagian utara yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan Elang-ular bido (Spilornis cheela). Pertumbuhan penduduk yang tinggi setiap tahunnya, mengakibatkan tingginya tingkat konversi lahan yang mengancam keberadaan hutan yang merupakan habitat tiga jenis elang ini selain perburuan oleh masyarakat yang menjadikan elang sebagai simbol dari kekuatan dan kekuasaan.

Pemetaan kesesuaian habitat elang merupakan salah satu langkah awal dalam pelestarian elang. Pemetaan ini diharapkan akan menghasilkan pola sebaran masing-masing jenis elang khususnya di Kabupaten Ciamis bagian utara.


(16)

1.2.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui model kesesuaian habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), dan Elang-ular bido (Spilornis cheela) di Kabupaten Ciamis bagian utara.

1.3.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat memberikan informasi mengenai kawasan yang merupakan habitat dari elang dalam upaya perlindungan jenis-jenis yang dilindungi.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1.Elang Jawa 1.1.1. Taksonomi

Berdasarkan klasifikasi, Elang Jawa termasuk ke dalam (Lerner, 2005) : Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Aves

Ordo : Falconiformes Famili : Accipitridae Subfamili : Aquilinae Genus : Spizaetus

Spesies : Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924.

1.1.2. Morfologi

Elang yang bertubuh sedang sampai besar, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor). Kepala berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Jambul hitam dengan ujung putih, mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Dada coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa dengan ukuran sedikit lebih besar. Iris mata kuning atau kecoklatan, paruh kehitaman, sera (daging di pangkal paruh) kekuningan, kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis. Ketika terbang, Elang Jawa serupa dengan Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang,


(18)

namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bentuk penampakan saat terbang dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1. (a). Bentuk penampakan elang jawa saat terbang (Soaring) dari anakan sampai dewasa (kiri-kanan).

Sumber : Nijman, V. dan R. Sojer. 1998. (b). Elang jawa dewasa saat Soaring.

Elang Jawa memiliki bunyi yang nyaring tinggi serta berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya mirip dengan suara Elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.

1.1.3. Habitat

Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Taman Nasional Ujung Kulon dan Taman Nasional Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 mdpl dan kadang-kadang hingga ketinggian 3.000 mdpl (vanBalen, 1999).

Pada umumnya tempat tinggal Elang Jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktifitas manusia. Burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan Elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Jumlah total keseluruhan Elang Jawa diperkirakan hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000


(19)

ekor. Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di pulau Jawa. Selain itu, Elang ini juga terus diburu untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.

Elang Jawa menyukai pohon yang tinggi menjulang yang dapat digunakan untuk mengincar mangsa ataupun sebagai sarang, tercatat bahwa Elang Jawa membangun sarang di pohon Rasamala (Altingia excelsa), Lithocarpus dan

Quercus, Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Kitambaga (Eugenia cuprea). Jenis pohon tersebut juga banyak dijumpai di Gn Sawal. Jenis-jenis dominan antara lain Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis agentea), Hantap (Sterculia sp), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Ipis kulit (Acmena acuminatissima), Manglid (Magnolia blumeii). Umumnya sarang ditemukan di pohon yang tumbuh di lereng dengan kemiringan sedang sampai curam pada ketinggian tempat diatas 800 mdpl, dengan dasar lembah memiliki anak sungai. Hal ini berhubungan dengan kesempatan memperoleh mangsa dan pemeliharaan keselamatan anak (Andono, 2004).

1.1.4. Penyebaran

Sebaran Elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun saat ini penyebarannya terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di sebagian belahan selatan Pulau Jawa.

1.1.5. Perilaku

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan dan menyergap mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang berada di atas tanah, seperti beberapa jenis reptil, burung-burung sejenis Walik, Punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti Tupai dan Bajing, Kalong, Musang, sampai anak Monyet.


(20)

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 m di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang lebih 47 hari.

1.2.Elang Hitam 1.2.1. Taksonomi

Berdasarkan klasifikasi, Elang Hitam termasuk ke dalam (Lerner, 2005) : Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Aves

Ordo : Falconiformes Famili : Accipitridae Subfamili : Aquilinae Genus : Ictinaetus

Spesies : Ictinaetus malayensis Temminck, 1822.

1.2.2. Morfologi

Burung yang berukuran besar, dengan panjang (dari paruh hingga ujung ekor) sekitar 70 cm. Sayap dan ekornya panjang, sehingga burung ini tampak sangat besar jika terbang. Seluruh tubuh berwarna hitam, kecuali kaki dan sera (pangkal paruh) yang berwarna kuning. Terdapat pola pucat di pangkal bulu-bulu primer pada sayap dan garis-garis samar di ekor yang bisa terlihat ketika burung ini terbang melayang, namun tak begitu mudah teramati (Gambar 2). Jantan dan betina memiliki warna dan ukuran yang sama.


(21)

Sayap Elang Hitam terbentang lurus, sedikit membentuk huruf V, dengan pangkal sayap lebih sempit daripada di tengahnya, serta bulu primer yang terdalam membengkok khas, membedakannya dari Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk yang hitam. Elang hitam juga sering terbang perlahan, rendah dekat kanopi (atap tajuk) hutan.

Elang Hitam berbunyi meratap yang berulang-ulang, biasanya disuarakan sambil terbang tinggi berputar-putar, klii-ki …klii-ki atau hi-li-liiiuw. Burung remaja berwarna pucat, dengan coret-coret kuning pucat di sisi bawah tubuh dan sayap.

1.2.3. Habitat dan Penyebaran dan Perilaku

Burung ini hidup memencar di dataran rendah, hutan perbukitan hingga wilayah yang bergunung-gunung pada ketinggian sekitar 1.400 mdpl (di pulau Jawa hingga sekitar 3.000 mdpl). Elang Hitam menyebar luas mulai dari India, Sri Lanka hingga Asia Tenggara, Sunda Besar, Sulawesi dan Maluku.

Elang Hitam memangsa aneka jenis mamalia kecil, kadal, burung dan terutama telur, Elang hitam dikenal sebagai burung perampok sarang. Melayang indah, burung ini kerap teramati terbang berpasangan di sisi bukit atau lereng gunung yang berhutan. Dengan tangkas dan mudah Elang ini terbang keluar masuk dan di sela-sela tajuk pepohonan. Cakarnya yang tajam terspesialisasi untuk menyambar dan mencengkeram mengsanya dengan efektif.

Sarang berukuran besar terbuat dari ranting-ranting dan dedaunan yang tersusun tebal, diletakkan pada cabang pohon yang tinggi di hutan yang lebat. Bertelur satu atau dua butir, bulat oval, sekitar 65 x 51 mm, berwarna kuning tua bernoda coklat kemerahan. Di Jawa berbiak pada sekitar bulan Mei.

1.3.Elang ular bido 1.3.1. Taksonomi

Berdasarkan klasifikasi, Elang-ular bido termasuk ke dalam (Lerner, 2005):

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves


(22)

Ordo : Falconiformes Famili : Accipitridae Subfamili : Circaetinae Genus : Spilornis

Spesies : Spilornis cheela Latham, 1790.

1.3.2. Morfologi

Burung pemangsa dengan panjang 56-70 cm dan berat antara 0,42-1,8 kg. Mempunyai ciri-ciri berwarna coklat dengan jambul kecil berwarna hitam. Pada saat terbang sayap terlihat membulat, mencekung kedepan dan memiliki garis putih pada sayap bagian bawah (Gambar 3). Pada saat terbang Elang ular biasanya mengeluarkan suara kliiiiik-kliik berulang-ulang sehingga jenis Elang ini lebih mudah dijumpai daripada jenis Elang lainnya.

Gambar 3. Elang-ular bido saat terbang.

1.3.3. Habitat, Penyebaran dan Perilaku

Tersebar di seluruh sunda besar dan merupakan elang yang paling umum didaerah berhutan sampai pada ketinggian 1900 mdpl (MacKinnon, J, 1992). Sering terlihat sendiri, terbang melayang di udara dan kadang-kadang bertengger di batang pohon untuk mengamati dan menyergap mangsanya.

Musim berbiak Elang ular adalah bulan Januari sampai bulan Oktober setiap tahunnya dan burung betina hanya menghasilkan satu telur. Sarang berukuran besar pada ketinggian 6-30 m.


(23)

1.4.Penginderaan Jauh

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) dalam Rudiansyah (2007), penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji.

Keberhasilan terapan penginderaan jauh meningkat cukup berarti dengan menggunakan pendekatan multi pandang (Multiple view) untuk pengumpulan data. Cara ini dapat meliputi penginderaan multi tingkat (Multi stage) yaitu data suatu daerah kajian dikumpulkan dari berbagai tinggi terbang. Dapat pula dengan penginderaan multispectral yang datanya diperoleh pada beberapa saluran spectral secara bersama-sama, atau dapat juga dengan penginderaan muli waktu (Multi temporal) dimana data suatu daerah dikumpulkan dengan lebih dari satu tanggal pemotretan.

Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan atau non citra. Secara definitif citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu objek dari pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik objek yang direkam dengan cara optik, elekto-optik, optik-mekanik, atau elektronik. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya yang mempunyai sifat optik, analog dan digital yang dapat berupa citra satelir dan foto udara. Data non citra sendiri dapat berupa grafik, diagram dan numerik. (Purwadhi, 2001 dalam Herdiyanti, 2009).

Penggunaan citra satelit dan foto udara yang merupakan hasil dari penginderaan jauh dapat diintegrasikan kedalam SIG dengan beberapa cara diantaranya adalah dengan scan digital dan atau digitasi sehingga didapatkan data raster atau vektor (Wiradisastra, 1996 dalam Prahasta, 2002).

1.5.Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Arnolf (1989) dalam Prahasta (2002) Sistem Informasi Geografis adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek atau fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk


(24)

dianalisis. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang mempunyai empat kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi, yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data, dan keluaran.

SIG merupakan system kompleks yang biasaya terintegrasi dengan lingkungan system-sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. Menurut Gistut (1994) dalam Prahasta (2002) SIG terdiri dari komponen-komponen berupa perangkat keras yang terdiri dari PC desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, perangkat lunak (software), data dan informasi geografi, dan manajemen data. Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen utama SIG adalah system komputer, data geospasial, dan pengguna. Adapun sumber-sumber dari data geospasial adalah peta digital, foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan (Prayitno, 2002).

Penggunaan SIG biasa digunakan untuk membuat sebuah perencanaan model tata ruang dan pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa contoh penggunaan SIG untuk perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumberdaya alam adalah Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Kedawung (Parkia timoriana (D.C Merr) Di Taman Nasional Meru Betiri. Oleh Joko Nugrah Sebastian, tahun 2007, Pemodelan Spasial kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat,seksi Konservasi Wilayah II Taman Nasional Kerinci Seblat. Oleh Rudiansyah, tahun 2007, Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanicus Boettger, 1893) dengan Menggunakan GIS dan Citra Satelit TNGP, Jawa Barat. Oleh M. Irfansyah Lubis, tahun 2008. Penggunaan SIG untuk menduga model kesesuaian habitat pada Elang Jawa sudah pernah dilakukan oleh Kastanya pada tahun 2001, namun penelitian ini hanya sampai pada tahap pemodelan dan belum dipetakan.

1.6.Leaf Area Index (LAI)

Menurut Nemani dan Running (1998) diacu dalam Setiawan (2006), Leaf Area Index (LAI) didefinisikan sebagai nisbah luas daun dan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk. LAI juga dapat


(25)

diartikan sebagai setengah dari penutupan total luas permukaan oleh daun per unit lantai tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk (Butson

et al. 2002 dalam Djumhaer, 2003)

LAI merupakan salah satu indikator untuk menentukan intensitas radiasi yang dapat diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis, selain itu LAI juga merupakan peubah struktur tunggal yang banyak digunakan untuk menghitung karakteristik pertukaran energi dan massa pada sebuah ekosistem terestrial seperti intersepsi, transpirasi, fotosintesis netto dan asimilasi kanopi (Villalobos et al.

1995 dalam Setiawan 2006).

1.7.Pemodelan Kesesuaian Habitat

Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Kualitas dan kuantitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar. Ada dua komponen utama yang berperan dalam pembentukan suatu habitat, yaitu komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dapat diperinci menjadi air, iklim, topografi, dan tanah. Sedang komponen biotic dapat dibedakan menjadi satwaliar lainnya, vegetasi, dan manusia.

Analisis spasial yang disebut juga dengan pemodelan merupakan proses pemodelan, pengujian, dan interpretasi hasil dari model. Analisis spasial ini adalah proses mengekstraksi atau membuat informasi baru tentang feature

geografis. Model dibagi menjadi dua pengertian, pertama yaitu abstraksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi, kedua yaitu representasi data realitas. Model tersusun secara terstruktur sebagai sutu rangkaian aturan dan prosedur untuk mendapatkan informasi yang dapat dianalisis untuk memecahkan masalah dan untuk perencanaan (Jaya, 2002 dalam Rudiansyah, 2007).

Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra, 2002). Oleh karena itu, penentuan kesesuaian habitat suatu jenis satwaliar dipengaruhi oleh kebutuhan satwaliar tersebut. Rudiansyah (2007) menggunakan faktor fisik berupa ketinggian,


(26)

kemiringan lereng, jarak dari sungai dan faktor biotik berupa sebaran satwa mangsa dan kerapatan tajuk untuk menduga kesesuaian habitat pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Berbeda dengan Lubis (2007) yang menduga kesesuaian habitat katak pohon (Rhacophorus javanus) dengan menambahkan faktor sebaran suhu di lokasi penelitian.

Pada jenis burung raptor, faktor-faktor yang dipakai untuk pemodelan kesesuaian habitat tidak jauh berbeda dengan faktor-faktor yang dipakai oleh jenis satwaliar lainya. Kastanya (2001) menggunakan faktor fisik berupa ketinggian dan kemiringan lereng serta faktor biotik berupa vegetasi yang dibagi lagi menjadi faktor-faktor pembentuk vegetasi tersebut seperti pulau habitat atau patch, tipe vegetasi, keanekaragaman vegetasi, dan faktor pembentuk lainnya untuk menduga kesesuaian habitat bagi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi).


(27)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1.Keadaan Geografis

Secara geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108º 20’ - 108º 40’ BT dan 7º 40’ 20” - 7º 41’ 20" LS. Wilayah Kabupaten Ciamis memiliki luas daerah sebesar 244.479 Ha yang meliputi 36 Kecamatan, 340 Desa, dan 7 Kelurahan. Letak Kabupaten Ciamis berada di ujung Timur Provinsi Jawa Barat dengan jarak dari Ibu kota Provinsi sekitar 121 km. Wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah timur dengan Kota Banjar dan Provinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.

Secara keseluruhan, Kabupaten Ciamis terletak pada lahan dengan topografi datar, bergelombang, sampai pegunungan dengan kemiringan lereng berkisar 0->40%. Kemiringan lereng datar, yaitu 0-2% berada pada bagian Tengah Timur Laut ke Selatan Kabupaten Ciamis. Sedang untuk kemiringan lereng 2->40% hampir tersebar pada seluruh kecamatan di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis dialiri oleh satu sungai besar yaitu Sungai Citanduy yang mengalir sepanjang 137 km dengan debit air rata-rata 2.987,09 m3/detik dan debit normal 234,83 m3/detik.

3.2.Potensi Sumberdaya Alam

Kabupaten Ciamis memiliki luas 244.479 Ha dengan tata guna lahan yang terdiri dari lahan sawah seluas 51.149 Ha atau sekitar 17,30% dari luas keseluruhan dan sisanya (82,7%) merupakan lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah tersebut terdiri dari bangunan/pekarangan (7,48%), tegalan/kebun (25,86%), penggembalaan padang rumput (0,86%), lahan sementara tidak diusahakan (0,07%), hutan rakyat (11,6%), kolam (1,26%), hutan negara (7,33%), perkebunan (7,52%), dan lain-lain (3,11%).

Hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Ciamis merupakan sentra produksi perkebunan. Produksi paling banyak ada pada komoditi kelapa yaitu sebesar 74.678 ton, sedangkan yang paling kecil yaitu pala yaitu sebesar 9.5 ton. Kabupaten Ciamis pada tahun 2006 memiliki perkebunan rakyat seluas 95.772,07


(28)

Ha terdiri dari luas tanaman muda/belum menghasilkan sebesar 16,96%, tanaman menghasilkan sebesar 75,02%, dan tanaman rusak sebesar 8,01%.

Kabupaten Ciamis memiliki kawasan hutan Negara seluas 34.497,18 Ha (14% dari luas wilayah) yang berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan produksi dan hutan produksi terbatas (dikelola Perum Perhutani), hutan Konservasi (dikelola BKSDA jabar II), serta hutan rakyat sekitar 23.806,44 Ha.

3.3.Suaka Margasatwa Gunung Sawal

SM Gn Sawal ditunjuk sebagai kawasan konservasi dengan fungsi Suaka Margasatwa dengan SK Menteri Pertanian No. 420/Kpts/Um/6/1979 tanggal 4 Juli 1979 dengan luas ± 5.400 Ha. Adapun pengertian Kawasan Hutan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Secara geografis kawasan SM Gunung Sawal terletak antara 7°15’ LS dan 180°21’ BT Berdasarkan pembagian wilayah administratif pemerintahan, kawasan ini berada dalam 7 (tujuh) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Cipaku, Cikoneng, Cihaurbeuti, Panumbangan, Panjalu, Kawali dan Sadananya yang berada dalam wilayah Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Kawasan SM Gunung Sawal mempunyai batas-batas sebagai berikut :

· Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Panjalu dan sebagian Panumbangan dan Kawali

· Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Cipaku dan sebagian Sadananya · Sebela Selatan : Wilayah Kecamatan Cikoneng dan sebagian Cihaurbeuti · Sebela Barat : Wilayah Kecamatan Panumbangan dan sebagian Cihaurbeuti


(29)

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009. Lokasi penelitian adalah lima Kecamatan di Kabupaten Ciamis bagian utara yaitu Kecamatan Kawali, Kecamatan Cipaku, Kecamatan Jatinagara, Kecamatan Panjalu dan Kecamatan Lumbung. Peta wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian.

4.2.Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System

(GPS) yang digunakan untuk mengetahui posisi titik tempat pengambilan data, kompas dan busur derajat yang digunakan untuk mengetahui posisi objek (elang) dari pengamat, kamera digital digunakan untuk keperluan dokumentasi sekaligus alat untuk mengetahui posisi objek dari pengamat, alat pencatat waktu (jam), peta ketinggian dan kemiringan lereng Kabupaten Ciamis, serta eperangkat komputer beserta software ArcView 3.3, Erdas Imagine 8.5 dan SPSS 1.3.

Bahan atau objek yang digunakan adalah tiga jenis elang yaitu Elang Jawa (EJ), Elang hitam (EH), dan Elang Ular-Bido (EUb), Citra lansat, Peta topografi,


(30)

dan Peta kontur di Kabupaten Ciamis. Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peralatan yang digunakan dalam penelitian.

4.3.Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Kegiatan pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi :

a. Orientasi lapang, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai daerah penelitian baik melalui survey lapangan maupun melalui wawancara dengan masyarakat di sekitar lokasi penelitian.

b. Kajian pustaka, kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan literatur dan informasi yang berkaitan dengan penelitian.

c. Pengolahan citra lansat, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi wilayah penelitian serta untuk penentuan daerah-daerah yang akan dijadikan sebagai plot sampel untuk pengambilan data.

4.3.2. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan selama penelitian dibagi menjadi dua yaitu: a. Populasi Elang (EJ, EH, dan EUb) dengan parameter yang diamati berupa:

1. Posisi /titik perjumpaan elang.

2. Jumlah dan jenis Elang yang dijumpai. b. Pola aktifitas masyarakat di lokasi penelitian.


(31)

4.3.3. Pengumpulan data

Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam pengambilan data diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Metode Titik (Point count)

Metode ini digunakan untuk mengetahui kisaran populasi satwa di suatu kawasan dengan cara menentukan plot sampel dalam titik-titik yang ditempatkan secara acak di suatu wilayah penelitian.

b. Metode Eksplorasi Lapang

Metode ini dilakukan untuk mengetahui posisi atau keberadaan objek penelitian dalam wilayah penelitian dengan cara menjelajahi wilayah penelitian.

4.4.Analisis Data 4.4.1. Analisis Peta

4.4.1.1.Peta Penutupan Tajuk

Nilai penutupan tajuk dihitung dengan mencari nilai LAI (Leaf Area Index) yang dibuat dengan cara melakukan analisis spasial model persamaan linear berganda pengaruh NDVI terhadap LAI. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat. Perhitungan NDVI menurut rumus:

NDVI = –

Model persamaan regresi linear sederhana yang digunakan adalah sebagai berikut (Herdiyanti, 2009) :

Y = 0.236 + 5.193 X Keterangan:

Y = LAI X = NDVI

4.4.1.2. Peta Kemiringan Lereng dan Ketinggian

Peta ketinggian dan kemiringan lerang dibuat dari peta kontur yang dianalisis menggunakan software Arcview GIS 3.3 sehingga diperoleh TIN


(32)

(Triangulated Irregular Network). TIN adalah model data vektor berbasiskan topologi yang digunakan untuk mempresentasikan data permukaan bumi. Setelah TIN terbentuk selanjutnya dilakukan pengolahan terhadap TIN tersebut untuk memperoleh peta ketinggian dan peta kemiringan lereng dengan data berbasis raster.

4.4.1.3.Peta Tingkat Gangguan

Peta tingkat gangguan dibuat dengan mengelompokan pola aktifitas masyarakat di lokasi penelitian. Parameter yang digunakan dalam pembagian tingkat gangguan ini adalah interaksi atau kegiatan dan tingkat keberadaan manusia di lokasi tersebut. Dengan mengasumsikan bahwa pusat aktifitas manusia berada pada pemukiman maka peta tingkat gangguan dibuat berdasarkan jarak dari perkampungan tersebut. Semakin jauh suatu lokasi atau daerah dari pemukiman, maka gangguan terhadap elang semakin kecil.

4.4.1.4. Peta Pengaruh Keberadaan Hutan Alam

Peta pengaruh keberadaan hutan alam dibuat dengan membuat buffer jarak dari hutan alam (Suaka Margasatwa Gunung sawal). Buffer tersebut kemudian dianalisis keterkaitannya dengan titik-titik perjumpaan elang di lokasi penelitian.

4.4.2. Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis)

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 1.3. Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap sebaran Elang, berdasarkan letak titik perjumpaan dengan masing-masing layer yaitu penutupan lahan, ketinggian, kemiringan lereng, tingkat gangguan, dan jarak hutan alam. Selanjutnya dari hasil PCA dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran Elang.

4.4.3. Analisis Peta Kesesuaian Habitat

Peta kesesuaian habitat Elang akan dikelaskan menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat dihitung dari nilai skor tertinggi dikurangi nilai skor terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi


(33)

kesesuaian habitat. Kemudian dilakukan validasi model untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu Elang yang sesuai dengan hasil model dengan yang ditemukan di lapangan. Jika nilai akurasinya >75% maka peta kesesuaian habitat dapat diterima akan tetapi jika nilainya <75% maka peta kesesuaian habitat tidak dapat diterima.


(34)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Hasil

5.1.1. Habitat Elang

Terdapat lima tipe habitat di lokasi penelitian yaitu hutan alam, hutan masyarakat, kebun, pesawahan dan pemukiman. Hutan masyarakat memiliki luasan paling luas (12722.04 ha atau 48.87%), diikuti dengan kebun (5815.89 ha atau 22.34%), pesawahan (2770.02 ha atau 10.64%), hutan alam (2723.58 ha atau 10.46%), dan pemukiman (2000.61 ha atau 7.69%). Luas area tiap tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas setiap tipe habitat elang di lokasi penelitian

Tipe Habitat Luas (Ha) Persentase (%)

Hutan Alam 2723.58 10.46

Hutan Masyarakat 12722.04 48.87

Kebun 5815.89 22.34

Pesawahan 2770.02 10.64

Pemukiman 2000.61 7.69

5.1.1.1.Hutan Masyarakat

Hutan masyarakat adalah hutan tanaman yang dikelola oleh masyarakat atau pemerintah (Perhutani atau Pemda). Jenis vegetasi yang mendominasi adalah sengon (Paraserienthes falcataria), mahoni (Swietenia sp), dan berbagai jenis tanaman penghasil buah dan kayu yang lainya seperti pete, melinjo, kopi, kelapa dan lain-lain (Gambar 6). Tipe habitat hutan masyarakat ini umumnya memiliki ketinggian dan kerapatan tajuk yang relatif sama.

Gambar 6. Tipe habitat hutan masyarakat dengan vegetasi dominan sengon (Paraserienthes falcataria) dan kelapa (Cocos nucifera).


(35)

EH dan EUb sering dijumpai terbang rendah dan berputa-putar (soaring) di atas tajuk pohon pada tipe habitat ini dan tersebar secara acak di lokasi penelitian. Sedangkan pada jenis EJ, perjumpaan pada tipe habitat hutan masyarakat hanya terdapat pada lokasi yang berdekatan dengan hutan alam.

5.1.1.2.Kebun

Tipe habitat kebun adalah tipe habitat terbuka yang ditanami jenis-jenis palawija atau tanaman bukan pohon. Tipe habitat ini umumnya terdapat pada perbukitan yang kering sehingga tanaman yang mendominasi adalah singkong (Manihot utilisima),jagung (Zea mays), dan jenis umbi-umbian (Gambar 7).

Gambar 7. Tipe habitat kebun dengan vegetasi dominan singkong (Manihot utilisima).

Pada tipe habitat kebun, hanya dijumpai jenis EH dan EUb dengan aktivitas terbang tinggi dan berputar-putar (soaring). Hal ini biasanya dilakukan elang saat mencari mangsa.

5.1.1.3.Pesawahan

Pesawahan merupakan tipe habitat yang didominasi dengan tanaman padi (Oryza sativa). Tipe habitat ini berkarakteristik terbuka dan hampir selalu basah oleh air dan dikelola secara intensif oleh masyarakat sehingga intensitas manusia di daerah ini relatif tinggi. Pada tipe habitat ini hanya dijumpai satu individu EUb dengan aktivitas terbang berputar-putar (soaring).


(36)

5.1.1.4.Hutan Alam

Tipe habitat hutan alam adalah tipe habitat dimana ekosistem di dalamnya masih alami dan sangat sedikit gangguan dari aktifitas manusia. Sebagian besar luas hutan alam yang tersisa di lokasi penelitian merupakan kawasan Suaka Margasatwa Gunung Sawal (SMGS). Menurut Andono (2004) vegetasi yang mendominasi di kawasan SMGS adalah Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis agentea), Hantap (Sterculia sp), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Ipis kulit (Acmena acuminatissima), dan Manglid (Magnolia blumeii).

Gambar 8. Suaka Margasatwa Gunung Sawal.

Tipe habitat hutan alam ini sangat berpengaruh terhadap keberadaan EJ. Hal ini dapat diketahui dari sebagian besar aktifitas EJ di lokasi penelitian berada pada hutan alam. Selai dari EJ, terdapat juga EUb yang pada saat pengamatan dijumpai mengusir anakan EJ yang masuk kedalam teretori EUb tersebut.

5.1.1.5.Pemukiman

Tipe habitat pemukiman adalah bangunan-bangunan masyarakat baik perkampungan, pasar, kantor pemerintahan, termasuk pekarangan dimana aktifitas manusia sangat tinggi. Pada tipe habitat ini, hanya dijumpai satu individu EH dengan aktivitas soaring.

5.1.2. Sebaran Elang

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, didapat 54 titik perjumpaan dengan komposisi 8 titik perjumpaan atau 15% untuk Elang Hitam (EH), 12 titik perjumpaan atau 22% untuk Elang Jawa (EJ), dan 34 titik perjumpaan atau 63% untuk Elang Ular-bido (EUb).


(37)

23


(38)

EH dan EJ, ha Enam titik atau 75% masyarakat dan dua Sedangkan pada EJ, hutan alam dan tujuh masyarakat. Sedangk habitat dengan frek masyarakat, diikuti Persentase perjumpa dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase pe

Tipe Habitat Hutan Alam Hutan Masyarakat Kebun Pesawahan Pemukiman

EH = Elang Hitam, EJ = Elan

5.1.2.1.Keberadaan H

Dengan meng SMGS ini maka da terhadap ketiga jenis e

Gambar 10. H

Berdasarkan h sampai dengan jarak 12% atau empat pe

0 20 40 60 % P e rj u m p a a n

hanya terdapat di dua tipe habitat pada total ti 5% perjumpaan pada EH berada pada tipe a titik atau 25% perjumpaan berada pada tipe , lima titik atau 41.7% perjumpaan berada p h titik atau 58.3% perjumpaan berada pada ti gkan pada EUb, titik perjumpaan tersebar p ekuensi perjumpaan terbanyak pada tipe i dengan hutan alam, kebun, pesawahan, d aan dengan elang pada masing-masing tip

perjumpaan elang pada masing-masing tipe ha

EH EJ

0 41.66 75 58.33

25 0

0 0

0 0

lang Jawa, EUb = Elang-ular Bido

n Hutan Alam

nghitung jarak antara titik perjumpaan den dapat diketahui keterkaitan antara keberada s elang tersebut.

Hubungan keberadaan elang dengan keberadaa

hasil pengamatan, EUb dapat dijumpai pada k 11 km dari titik terluar kawasan tersebut de perjumapaan berada pada kawasan SMGS,

0 20 40 60

0 0-3.5 3.5-7 7-10.5 10.5-14

Jarak Dari Hutan Alam (Km)

EH EJ EU

titik perjumpaan. ipe habitat hutan ipe habitat kebun. pada tipe habitat tipe habitat hutan pada semua tipe e habitat hutan dan pemukiman. ipe habitat dapat

habitat Eub 17.64 58.82 17.64 2.94 2.94

ngan blok hutan daan hutan alam

aan hutan.

a kawasan SMGS dengan persentase , 53% atau 18

EH EJ EUb


(39)

25


(40)

perjumpaan berada pa jarak 3.5- 7 km, 18% atau dua perjumpaan

Titik perjump km, dan 7-10.5 km d perjumpaan (13%) da perjumpaan dengan E dan tujuh titik atau 5 titik perjumpaan terja

Berdasarkan h yang sangat kuat deng korelasi atau keterkai keberdaan hutam alam

Tabel 3. Nilai uji t hu

R R2 F

5.1.2.2.Leaf Area Ind

Nilai LAI di l tutupan vegetasi di lo LAI adalah lima. Ber semakin tinggi nilai L jenis elang. Gamba 20 40 60 80 % p e rj u m p a a n

pada jarak 0-3.5 km, 12% atau empat perjump atau enam perjumpaan berada pada jarak 7-1 n berada pada jarak 10.5-14 km (Gambar 10).

paan dengan EH hanya dijumpai pada kelas dengan masing masing jumlah tiga perjump dan empat perjumpaan (50%). Pada EJ, lima EJ berada pada kawasan SMGS yang merupa 58% perjumpaan berada pada 0-3.5 km dari jauh berada pada 1.3 km.

hasil analisis data diketahui bahwa EJ mem ngan keberadaan hutan alam, hal ini dapat dik aitan yang mencapai 99%. Sedangkan pada jen am tidak terkait secara nyata (Tabel 3).

ubungan keberadaan elang dengan keberadaan

EH EJ

0.137 0.99 0.019 0.98 0.796 0.01

dex (LAI)

i lokasi penelitian berkisar antara 0-3.28. Hal lokasi penelitian tidak terlalu rapat mengingat

erdasarkan hasil pengamatan di lapangan, did i LAI, maka semakin besar tingkat perjumpaan

ar 12. Hubungan keberadaan elang dengan LA

0 20 40 60 80

(0-1) (1-2) (2-3) (3-4) (4-5) Nilai LAI

EH EJ Eu

paan berada pada 10.5 km, dan 6%

s 0-3.5 km, 3.5-7 paan (38%), satu a titik atau 42% pakan hutan alam, ari SMGS dengan

miliki keterkaitan iketahui dari nilai enis EH dan EUb,

an hutan alam

EUb

0.508 0.258 0.053

l ini menendakan at nilai maksimal didapatkan bahwa an terhadap ketiga

AI.

EH EJ Eub


(41)

27


(42)

EH dan EJ h perjumpaan EH terb persentase perjumpaa kelas 1-2 (25%).

EUb dapat dij perjumpaan tertinggi dan kelas 0-1 (12%) ( Nilai LAI ter terhadap keberadaan korelasi yang mencap

Tabel 4. Nilai uji t hu

R R2 F

5.1.2.3.Ketinggian

Ketinggian te kelas 150-450 mdpl, 1750 mdpl. Berdasar elang sebagai berikut

Gambar 14

Perjumpan pa persentase perjumpa Pada EH perjumpaa

0 20 40 60 80 % P e rj u m p a a n

hanya dijumpai pada kelas LAI 1-2 dan rbagi rata (50%) pada setiap kelas, sedan aan lebih banyak pada kelas 2-3 (75%) diban

ijumpai pada semua kelas LAI di lokasi penel i berada pada kelas 2-3 (59%), diikuti dengan

(Gambar 12).

ersebut memiliki nilai korelasi atau keterkai n ketiga jenis elang tersebut. Hal ini ditunjuk apai 87% bagi EH, 98% bagi EJ, dan 99% bagi

ubungan keberadaan elang dengan LAI

EH EJ

0.866 0.982 0.75 0.964 0.333 0.121

tempat di lokasi penelitian dibagi menjadi l l, 450-750 mdpl, 750-1050 mdpl, 1050-1350 m

arkan kelas ketinggian tersebut maka didap ut (Gambar 14):

14. Hubungan keberadaan elang dengan keting

pada EUb tersebar di hampir semua ket paan terbanyak (59%) pada kelas ketinggian aan hanya terbatas pada ketinggian 150-750

0 20 40 60 80

150-450 450-750 750-1050 1050-1350 1350-1800 Ketinggian

EH EJ EU

n 2-3. Persentase angkan pada EJ andingkan dengan

elitian. Persentase n kelas 1-2 (29%)

aitan yang tinggi ukan dengan nilai gi EUb (Tabel 4).

EUb

0.987 0.975 0.101

lima kelas yaitu mdpl, dan 1350-apat pola sebaran

nggian.

etinggian dengan n 450-750 mdpl. 50 mdpl dengan

EH EJ EUb


(43)

29


(44)

persentase perjumpaa pada EJ, perjumpaan persentase perjumpaa

Hasil analisis tidak ada keterkaitan ketiga jenis elang ters dapat dilihat pada Tab

Tabel 5. Nilai uji t hu

R R2 F

5.1.2.4.Kemiringan L

Kemiringan le datar dengan tingkat agak curam dengan ti 25-40% dan sangat didapatkan pola seb (Gambar 16).

Gambar 16. H

EH lebih ban semakin menurun pa dijumpai pada kelas perjumpaan tertinggi dijumpai pada

0 20 40 60 80 % P e rj u m p a a n

aan terbanyak pada kelas ketinggian 450-750 m an hanya terbatas pada ketinggian 450-135 aan terbanyak pada kelas ketinggian 750-1050 is data dengan tingkat kepercayaan 0.05 men an yang nyata antara ketinggian tempat den

rsebut. Hubungan antara ketinggian ketiga jen abel 5.

ubungan keberadaan elang dengan ketinggian

EH EJ

-0.129 -0.494 0.017 0.244 0.871 0.398

n Lereng

lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi 5 k t kemiringan 0-8%, landai dengan tingkat kem tingkat kemiringan 15-25%, curam dengan tin t curam dengan tingkat 40-100%. Berdasark ebaran elang terhadap kemiringan lereng

Hubungan keberadaan elang dengan kemiringa

anyak dijumpai pada kelas kemiringan ler pada kelas kemiringan lereng yang lebih c s kemiringan lereng 25-40% dan 40-100%. P gi berada pada kelas kemiringan lereng 8-a kelas kemiringan lereng

0 20 40 60 80

0-8 (8-15) 15-25 25-40 40-100 kemiringan lereng

EH EJ EU

mdpl. Sedangkan 50 mdpl dengan 0 mdpl.

enyatakan bahwa engan keberadaan nis elang tersebut

EUb

-0.462 0.213 0.297

kelas yaitu yaitu emiringan 8-15%, ingkat kemiringan rkan pengamatan, sebagai berikut

gan lereng.

lereng 0-8% dan curam dan tidak . Pada jenis EUb, -1% dan tidak 40-100%,

EH EJ EUb


(45)

31


(46)

sedangkan pada EJ, in lereng 15-25% dan tid %.

EH dan EUb kemiringan lereng di terhadap kemiringan l

Tabel 6. Nilai uji t hu

R R2 F

5.1.3. Tingkat Gang

Tingkat gangg titik perjumpaan Ela aktivitas manusia. Tin yaitu 0-1 km, 1-2 km,

Gambar 18. H

Berdasarkan h tinggi terhadap gangg (100% dan 85%) terd EJ, persentase perjum pengujian didapat bah jenis elang tersebut

20 40 60 80 100 % P e rj u m p a a n

, intensitas perjumpaan tertinggi berada pada k tidak dijumpai pada kelas kemiringan lereng 0

Ub memiliki keterkaitan negatif yang sign di lokasi penelitian. Sedangkan pada jenis EJ n lereng sangat kecil (Tabel 6).

ubungan keberadaan elang dengan kemiringan

EH EJ

-0.913 -0.277 0.833 0.077 0.087 0.651

ngguan

gguan terhadap Elang didapat dengan menghit lang terhadap perkampungan yang merupa ingkat gangguan terhadap elang ini dibagi me

, 2-3 km, 3-4 km, dan 4-5 km.

Hubungan keberadaan elang dengan tingkat ga

hasil pengamatan, EH dan EUb memiliki gguan, hal ini diketahui dari persentase perjum erdapat pada kelas 0-1 km dari pemukiman. S mpaan paling tinggi (58%) ada pada kelas 1-ahwa tidak ada keterkaitan yang kuat antara ke

t terhadap gangguan atau keberadaan man

0 20 40 60 80 100

(0-1) (1-2) (2-3) (3-4) (4-5)

Jarak dari Perkampungan (Km)

EH EJ EU

kelas kemiringan 0-8% dan 40-100

gnifikan terhadap J nilai keterkaitan

an lereng

EUb

-0.718 0.515 0.069

itung jarak antara pakan pusat dari enjadi lima kelas

gangguan.

ki toleransi yang umpaan terbanyak

. Sedangkan pada -2 km. Dari hasil keberadaan ketiga anusia (Tabel 7).

EH EJ EUb


(47)

33

Gambar 4. Peta sebaran elang berdasarkan jarak dari hutan alam


(48)

Tabel 7. Nilai uji t hubungan keberadaan elang dengan tingkat gangguan

EH EJ EUb

R 0.308 -0.416 0.551

R2 0.095 0.173 0.303

F 0.692 0.353 0.157

5.1.4. Pemodelan Kesesuaian Habitat

Faktor-faktor penentu kesesuaian habitat bagi ketiga jenis elang didapatkan dari data sebaran elang terhadap keberadaan hutan alam, LAI, ketinggian, kemiringan lereng, dan tingkat gangguan.

5.1.4.1.Analisis Komponen Utama

Berdasarkan analisis data untuk ketiga jenis elang, didapatkan lima komponen utama dengan dua komponen utama yang dianggap mampu menerangkan keragaman total. Pada EH, nilai total akar ciri yang didapat adalah 2.717 dan 1.368 dengan keragaman kumulatif 81.685%. Pada EJ nilai total akar ciri yang didapat adalah 2.555 dan 1.641 dengan keragaman kumulatif 83.921%. Sedangkan pada EUb nilai total akar ciri yang didapat adalah 2.3 dan 1.251 dengan keragaman kumulatif 71.022%. Hasil analisis nilai keragaman total pada masing-masing elang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai keragaman total masing-masing jenis

Komponen Utama

EH EJ Eub

Akar Ciri Akar Ciri Akar Ciri

Total Keragaman % Kumulatif % Total Keragaman % Kumulatif % Total Keragaman % Kumulatif % 1 2.795 55.898 55.898 2.555 51.104 51.104 2.300 45.994 45.994 2 1.503 30.067 85.965 1.641 32.817 83.921 1.251 25.028 71.022 3 0.702 14.035 100.000 0.669 13.378 97.299 0.894 17.880 88.902 4 0.000 0.000 100.000 0.129 2.581 99.880 0.369 7.384 96.286 5 0.000 0.000 100.000 0.006 0.120 100.000 0.186 3.714 100.000

Nilai masing-masing komponen utama yang dianggap mewakili keragaman total dari tiap jenis elang tersebut akan digunakan untuk menentukan nilai bobot dari tiap variabel yang diuji.


(49)

Tabel 9. Nilai vektor ciri masing-masing jenis

Variabel

EH EJ EUb

Komponen Utama Komponen Utama Komponen Utama

1 2 1 2 1 2

Kemiringan

lereng -0.738 0.340 0.841 -0.087 0.766 0.430 Ketinggian -0.893 0.394 -0.205 0.936 0.788 0.242 LAI 0.605 0.717 0.492 -0.671 0.436 -0.575 Hutan Alam 0.971 -0.152 -0.978 -0.195 -0.932 0.129

Gangguan 0.379 0.834 0.779 0.519 -0.184 0.813

Berdasarkan vektor ciri pada Tabel 9 diketahui bahwa pada EH variabel Hutan alam memiliki hubungan yang kuat dengan komponen utama pertama sedangkan variabel LAI, kemiringan lereng, ketinggian, dan gangguan memiliki hubungan dengan komponen kedua. Pada jenis EJ variabel kemiringan lereng ,gangguan, dan LAI memiliki hubungan positif dengan komponen utama pertama, sedangkan variabel ketinggian dan keberadaan hutan alam memiliki hubungan dengan komponen utama kedua. Sedangkan pada jenis EUb variabel kemiringan lereng, ketinggian dan LAI memiliki hubungan yang positif dengan komponen utama pertama, sedangkan variabel keberadaaan hutan alam dan gangguan memiliki hubungan dengna komponen utama kedua.

Nilai komponen utama yang memiliki hubungan dengan variabel-variabel tersebut kemudian digunakan untuk menentukan nilai bobot dari variabel-variabel itu sendiri. Nilai variabel dari tiap jenis elang dapat dilihat di Tabel 10.

Tabel 10. Nilai bobot variabel masing-masing jenis

No Variabel Nilai Bobot (EH) Nilai Bobot (EJ) Nilai Bobot (Eub)

1 Kemiringan

lereng 1.503 2.555 2.300

2 Ketinggian 1.503 1.641 2.300

3 LAI 1.503 2.555 2.300

4 Hutan Alam 2.795 1.641 1.251 5 Gangguan 1.503 2.555 1.251 Faktor penentu kesesuaian habitat yang berpengaruh paling besar bagi model kesesuaian habitat EH adalah hutan alam dengan nilai bobot variabel 2.795. Pada EJ faktor yang paling berpengaruh adalah kemiringan lereng, LAI, dan gangguan dengan bobot variabel 2.555. Sedangkan pada EUb, faktor yang paling


(50)

berpengaruh adalah kemiringan lereng, ketinggian, dan LAI dengan bobot variabel 2.3.

5.1.4.2.Model Kesesuaian Habitat

Nilai bobot variabel setiap jenis elang yang didapatkan dari PCA dapat digunakan untuk menentukan nilai atau indeks kesesuaian habitat bagi ketiga jenis elang tersebut. Indeks kesesuaian habitat didapatkan dari total penjumlahan tiap bobot variabel yang dikalikan dengan skor variabel tersebut. Nilai skor dari tiap variabel dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai skor variabel masing-masing jenis

Kemiringan

lereng Ketinggian LAI Hutan Alam Gangguan

Kelas Skor Kelas (m) Skor Kelas Skor Kelas (km) Skor Kelas (km) Skor

0-8 % 1 150-450 1 (0-1) 1 0 5 (0-1) 1 8-15 % 2 450-750 2 (1-2) 2 0-3.5 4 (1-2) 2 15-25 % 3 750-1050 3 (2-3) 3 3.5-7 3 (2-3) 3 25-40 % 4 1050-1350 4 (3-4) 4 7-10.5 2 (3-4) 4 40-100 % 5 1350-1800 5 (4-5) 5 10.5-14 1 (4-5) 5

Indeks kesesuaian habitat bagi tiap jenis elang adalah :

IKHEH = (1.503 x Fk1) + (1.503 x Fk2) + (1.503 x Fk3) + (2.759 x Fk4) + (1.503 x Fk5)

IKHEJ = (2.555 x Fk1) + (1.641 x Fk2) + (2.555 x Fk3) + (1.641 x Fk4) + (2.555 x Fk5)

IKHEUb = (2.300 x Fk1) + (2.300 x Fk2) + (2.300 x Fk3) + (1.251 x Fk4) + (1.251 x Fk5)

Ket :

IKHEH = Indeks Kesesuaian Habitat Elang Hitam

IKHEJ = Indeks Kesesuaian Habitat Elang Jawa

IKHEUb = Indeks Kesesuaian Habitat Elang Ular-bido

Fk1 = Skor kemiringan lereng Fk2 = Skor ketinggian Fk3 = Skor LAI

Fk4 = Skor Jarak dengan hutan alam Fk5 = Skor gangguan


(51)

Indeks kesesuaian habitat yang didapat dari tiap jenis elang kemudian diklasifikasi menjadi tiga kelas kesesuaian habitat yaitu kelas kesesuaian rendah, kelas kesesuaian sedang dan kelas kesesuaian tinggi. Klasifikasi dilakukan dengan membagi tiga rentang atau selang indeks kesesuaian habitat yang didapat. Selang indeks kesesuaian habitat masing-masing elang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai indeks kesesuaian habitat masing-masing jenis

EH EJ EUb

Min 0.160 0.194 0.166

Max 40.869 49.431 42.244

Berdasarkan peta model kesesuaian habitat dapat dihitung luas total dari tiap kelas kesesuaian habitat (Tabel 13).

Tabel 13. Luas area tiap kelas kesesuaian habitat

Kelas EH % EJ % EUb %

Rendah 11025.5 42.4 10999.9 42.3 9884.61 38.0 Sedang 11029.9 42.4 11364.4 43.7 11959.7 45.9 Tinggi 3976.7 15.3 3667.86 14.1 4187.79 16.1 Berdasarkan peta kesesuaian habitat pada masing-masing jenis elang tersebut maka dapat diketahui wilayah atau area yang memiliki kesesuaian habitat yang tingi pada ketiga jenis elang tersebut (Gambar 20). Berdasarkan analisis data maka diketahui luas area yang memiliki tingkat kesesuaian habitat tinggi bagi ketiga jenis elang tersebut adalah 4591.14 ha.

5.1.4.3.Validasi Model

Validasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibuat. Berdasarkan hasil validasi yang didapat, model kesesuaian habitat pada EJ dapat diterima karena tingkat kepercayaannya mencapai 100%, sedangkan Model kesesuaian habitat bagi EH dan EUb tidak dapat diterima karena tingkat kepercayaan yang rendah. Nilai validasi tiap jenis elang pada masing-masing tingkat kesesuaian habitat dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Validasi hasil model

Kelas EH (%) EJ (%) EUb (%)

Kesesuaian rendah 50 0 31.25 Kesesuaian sedang 25 0 18.75 Kesesuaian tinggi 25 100 50


(52)

38


(53)

39


(54)

40


(55)

41

Gambar 23. Peta wilayah yang memiliki tingkatkesesuaian habitat tinggi pada bagi EH, EJ dan EUb di lokasi penelitian.


(56)

5.2.Pembahasan 5.2.1. Habitat Elang

Elang menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Tempat-tempat dengan cadangan makanan yang banyak serta view atau luas pandang yang lebar menjadi hal utama yang jadi pilihan elang untuk memilih habitatnya (Erawan, 2008). EU dan EH diketahui dapat dijumpai di berbagai tipe habitat seperti hutan alam, hutan tanaman, kebun teh dan lahan pertanian di dekat perkampungan penduduk (Widianan, 2007). Sedangkan EJ umumnya dijumpai pada tipe habitat hutan alam dan tipe-tipe habitat lain yang berdekatan dengan hutan alam tesebut (Widodo, 2004). Tipe habitat di lokasi penelitian umumnya dibedakan oleh jenis vegetasi, strata dan kerapatan tajuk.

Intensitas perjumpaan ketiga jenis elang di hutan masyarakat lebih tinggi dibandingkan intensitas perjumpaan pada tipe habitat lain. Tititk perjumpaan dengan EJ pada tipe hutan masyarakat haya berada pada wilayah yang berbatasan dengan hutan alam (SMGS), hal ini berkaitan dengan perilaku EJ yang sering dijumpai bertengger di wilayah perbatasan hutan (Prawiradilaga, 2006), sedangkan pada EH dan EUb titik perjumpaan tersebar di seluruh lokasi penelitian dan tidak terpengaruh oleh keberadaan hutan alam (SMGS).

Tingginya intensitas perjumpaan ketiga jenis elang pada tipe habitat hutan masyarakat mengindikasikan bahwa intersaksi antara ketiga jenis elang terhadap hutan masyarakat lebih tinggi dibandingkan tipe habitat lainnya. Pada tipe habitat hutan masyarakat banyak ditemui pohon-pohon buah seperti melinjo, kopi, pete, dan pohon buah lainnya yang mengundang satwa-satwa seperti tupai, bajing, dan burung-burung kecil yang merupakan satwa mangsa dari elang tersebut. Tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat juga mempermudah pergerakan elang saat memburu mangsanya pada tipe habitat ini.

Tipe habitat yang paling sedikit dijumpai elang adalah tipe habitat pesawahan dan pemukiman. Tingkat aktifitas manusia yang sangat tinggi pada kedua tipe habitat ini merupakan faktor utama sedikitnya perjumpaan dengan elang, selain dari keberadaan mangsa yang terbatas dan sulit didapat.


(57)

5.2.2. Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat

Terdapat lima faktor penentu kesesuaian habitat di lokasi penelitian, yaitu keberadaan hutan alam, LAI, Keinggian, kemiringan lereng dan tingkat gangguan. Kastanya (2001) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat pada elang jawa adalah keberadaan hutan, keberadaan kebun teh, komposisi vegetasi, ketinggian, dan kemiringan lereng.

5.2.2.1.Keberadaan Hutan Alam

Hutan alam dapat dijadikan indikasi penanda kawasan tersebut memiliki ekosistem yang masih seimbang. Widodo (2004) menyatakan bahwa 96.31% aktifitas dari EJ berada pada hutan alam. Hal ini disebabkan karena sebagian besar mangsa yang disukai EJ merupkakan satwa arboreal seperti tupai, bajing, dan jenis-jenis primata yang memanfaatkan pohon sebagai tempat hidupnya (Utami, 2002). Perilaku satwa mangsa tersebut berpengaruh terhadap perilaku berburu EJ yang sering dijumpai mengintai mangsanya dari tajuk yang tinggi (Prawiradilaga, 2006).

Berdasarkan hasil pengamatan, lima titik atau 42% perjumpaan dengan EJ berada pada kawasan SMGS yang merupakan hutan alam, dan tujuh titik atau 58% perjumpaan berada pada 0-3.5 km dari SMGS dengan titik perjumpaan terjauh berada pada 1.3 km. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa EJ memiliki keterkaitan sangat tinggi terhadap keberadaan SMGS dengan nilai keterkaitan 99%. Mengingat pentingnya peran dari SMGS bagi EJ, maka diperlukan pengelolaan yang lebih intensif terhadap kawasan SMGS dan sekitarnya.

Jenis EUb dan EH memiliki nilai keterkaitan dengan SMGS sebesar 50.8% dan 13.7%. Hal ini menandakan bahwa tidak terlihat keterkaitan yang kuat antara keberadaan EUb dan EH dengan keberadaan hutan alam. Kecilnya keterkaitan EUb dan EH terhadap keberadaan SMGS dipengaruhi oleh satwa mangsa dari jenis tersebut yang kebanyakan dari jenis reptil dan amfibi yang mudah ditemui pada tempat terbuka. Hal ini sependapat dengan Widiana (2007), yang menyatakan bahwa EUb dan EH lebih menyukai tipe habitat terbuka (kebun teh) untuk melakukan aktifitasnya.


(58)

Daerah peralihan antara hutan alam (SMGS) dan tipe habitat lainnya (0-3.5 km) memiliki frekuensi perjumpaan terbanyak dari total perjumpaan dengan ketiga jenis elang tersebut (49.67%). Leopold (1933) dan Thomas et al, (1979)

dalam Sayogo et al, (2008) menemukan bahwa pada daerah edge memiliki kelimpahan jenis dan spesies yang besar yang mempengaruhi kelimpahan mangsa bagi jenis elang pada daerah peralihan tersebut.

5.2.2.2.Leaf Area Index (LAI)

Semakin tinggi nilai LAI di suatu wilayah, maka semakin rapat pula pentutupan tajuk di wilayah tersebut. Kerapatan penutupan tajuk biasanya dimanfaatkan sebagai cover atau tempat berlindung bagi satwaliar seperti burung-burung kecil, bajung, tupai, dan mamalia kecil lainnya yang merupakan mangsa bagi elang.

Elang atau raptor juga biasanya memanfaatkan tajuk pohon yang tinggi untuk membuat sarang, dan sebagian elang atau raptor sering memanfaatkan tajuk pohon untuk mengintai mangsanya (MacKinnon, 1993). Hal ini terkait dengan perilaku satwa pemangsa yang umumnya bersifat oportunis. Dengan memanfaatkan tajuk pohon yang tinggi, maka energi yang dikeluarkan untuk terbang relatif lebih sedikit.

Berdasarkan hasil analisis peta, nilai LAI maksimal adalah 3.28 hal ini mengindikasikan bawa penutupan tajuk di lokasi penelitian tidak terlalu rapat mengingat nilai LAI maksimal adalah lima. EH, EJ dan EUb memiliki keterkaitan yang nyata terhadap nilai LAI, dengan nilai korelasi 87% bagi EH, 98% bagi EJ, dan 99% bagi EUb. Hasil dari analisis tersebut menunjukan bahwa penutupan tajuk di suatu wilayah berpengaruh terhadap keberadaan ketiga jenis elang tersebut.

5.2.2.3.Ketinggian

Ketinggian di suatu wilayah berpengaruh terhadap lingkungan mikro di dalamnya. Lingkungan mikro tersebut secara otomatis mempengaruhi ekosistem di wilayah tersebut termasuk jenis-jenis elang yang merupakan top predator pada ekosistem tersebut.


(1)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela

Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2009

Andi Nugraha Cahyana NRP. E34104026


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan seluruh karunia, rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi

Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara” dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Ir. Jarwadi B. Hernowo MSc.F dan Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. serta pihak-pihak yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyusunan skripsi.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2009


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 25 Oktober 1986 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Drs. H. Cacah Cahyana dan Dra. Hj. Nani Sumarni. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1990-1992 di TK Tunas Kartini, kemudian melanjutkan ke SDN Singandaru II pada tahun 1992-1998 dan dilanjutkan ke SLTPN 1 Kawali pada tahun 1992-1998-2001. Kemudian penulis melanjutkan studinya di SMAN 1 Kawali pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan diantaranya adalah anggota Komunitas Fotografi IPB (Shutter), anggota aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF-IPB) sebagai anggota divisi burung, Kepala Departemen Infokom sekaligus ketua redaksi majalah Animal Eyes IPB (2006-2007), dan Ketua Umum, UKF-IPB (2007-2008).

Kegiatan yang pernah diikuti penulis selama menjadi mahasiswa antara lain Ekspedisi Global UKF di Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 2006 dan 2008, serta Inventarisasi Keanekaragaman Flora dan Fauna di CA-TWA Telaga Warna UKF-PPLH IPB pada tahun 2006. Penulis mengikuti Praktek pengenalan hutan di CA Kamojang dan CA Leuweung Sancang serta Praktek pengelolaan hutan di KPH Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian karya ilmiah dengan judul Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis chela

Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara, yang dibimbing oleh Ir. Jarwadi B. Hernowo MSc.F dan Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kesempatan-Nya, tak lupa Shalawat dan Salam penulis ucapkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Papap dan Mamah (Drs. H. Cacah Cahyana dan Dra. Hj. Nani Sumarni), adik-adikku (Jatnika Gumilar Cahyana dan Ajiz Maulana Cahyana), kakak (Annisa Febriani Cahyana dan Dani Ismaya) serta keponakanku tercinta (Zahra Zaneta Ismaya), atas dukungan, doa, serta tantangan yang telah diberikan.

2. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F atas segala bimbingan, arahan, nasihat bantuan dan kesabarannya selama penulis melaksanakan studi hingga akhirnya berhasil menyelesaikan skripsi sekaligus studi di IPB.

3. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc atas bimbingan, bantuan, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ir. T.R. Mardikanto, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Silvikultur.

5. PPLH-IPB, LSM Peduli Konservasi Alam (PEKA), serta Pemda Kabupaten Ciamis atas bantuan alat dan bahan penelitian.

6. KSH empatsatu : Kita datang, dunia.!

7. IC Balio 33B beserta PGT atas semua drama kemarin, kini, dan esok.

8. Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF-IPB) atas segalanya : “Perjalanan masih sangat panjang.!”

9. Rahayu Oktaviani,

10. Semua mahluk hidup dan tak hidup, ada dan tak ada, dan alam semesta.

Oktober, 2009


(5)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL v

1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Elang Jawa ... 3

2.1.1. Taksonomi ... 3

2.1.2. Morfologi ... 3

2.1.3. Habitat ... 4

2.1.4. Penyebaran ... 5

2.1.5. Perilaku ... 5

2.2. Elang Hitam ... 5

2.2.1. Taksonomi ... 6

2.2.2. Morfologi ... 6

2.2.3. Habitat, Penyebaran dan Perilaku ... 7

2.3.Elang-ular bido ... 7

2.3.1. Taksonomi ... 7

2.3.2. Morfologi ... 8

2.3.3. Habitat, Penyebaran, dan Perilaku ... 8

2.4.Pengindraan Jauh ... 9

2.5.Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 9

2.6.Leaf Area Index (LAI) ... 10

2.7.Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 11

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Keadaan Geografis ... 13

3.2. Potensi Sumberdaya Alam ... 13

3.3. Suaka Margasatwa Gunung Sawal ... 14

4. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu ... 15

4.2. Alat dan Bahan ... 15


(6)

ii

4.3.1. Kegiatan Pendahuluan ... 16

4.3.2. Data yang dikumpulkan ... 16

4.3.3. Pengumpulan Data... 17

4.4. Analisis Data ... 17

4.4.1. Analisis Peta 4.4.1.1. Peta Penutupan Tajuk... 17

4.4.1.2. Peta Kemiringan Lereng dan Ketinggian ... 17

4.4.1.3. Peta Tingkat Gangguan ... 18

4.4.1.4.Peta Pengaruh Keberadaan Hutan Alam ... 18

4.4.2. Analisis Komponen Utama ( Principle Component Analysis) .... 18

4.4.3. Analisis Peta Kesesuaian Habitat ... 18

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Habitat Elang ... 20

5.1.1.1. Hutan Masyarakat ... 20

5.1.1.2. Kebun ... 21

5.1.1.3. Pesawahan ... 21

5.1.1.4. Hutan Alam ... 22

5.1.1.5. Pemukiman ... 22

5.1.2. Sebaran Elang ... 22

5.1.2.1. Keberadaan Hutan Alam ... 24

5.1.2.2. Leaf Area Index (LAI) ... 26

5.1.2.3. Ketinggian ... 28

5.1.2.4. Kemiringan Lereng ... 30

5.1.3. Tingkat Gangguan ... 32

5.1.4. Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 34

5.1.4.1. Analisis Komponen Utama ... 34

5.1.4.2. Model Kesesuaian Habitat ... 36

5.1.4.3. Validasi ... 37

5.2. Pembahasan 5.2.1. Habitat Elang ... 42

5.2.2. Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat ... 43

5.2.2.1.Keberadaan Hutan Alam ... 43

5.2.2.2. Leaf Area Index (LAI) ... 44

5.2.2.3. Ketinggian ... 44

5.2.2.4. Kemiringan Lereng ... 46

5.2.2.5.Tingkat Gangguan ... 47

5.2.3. Pemodelan Kesesuaian Habitat ... 47

5.2.3.1. Analisis Komponen Utama ... 47

5.2.3.2.Validasi ... 48