Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat

KAJIAN KEPADATAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT
LARVA Aedes aegypti DI KABUPATEN SUMEDANG
JAWA BARAT

KURSIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Kepadatan dan
Karakteristik Habitat Larva Aedes aegypti di Kabupaten Sumedang Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Januari 2017

Kursianto
NIM B252140041

RINGKASAN
KURSIANTO. Kajian Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedes aegypti
di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UMI
CAHYANINGSIH.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dengan vektor utamanya adalah Aedes aegypti.
Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan
angka kesakitan dan kematian cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB). Penularan DBD dapat terjadi salah satunya karena adanya
kepadatan vektor Aedes aegypti yang mempunyai tempat perindukan pada tempattempat penampungan air atau kontainer yang cocok bagi berkembangbiaknya.

Tempat perindukan Ae. aegypti di setiap wilayah mempunyai beberapa perbedaan
karakteristik yang menjadikannya sebagai habitat yang potensial. Tujuan
penelitian ini adalah mengukur kepadatan larva Ae. aegypti, menganalisis
karakteristik habitat potensial larva Ae. aegypti dan menganalisis Maya Index
(MI) di wilayah endemis DBD di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Jenis penelitian ini observasional deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional study. Sampel yang diambil sebanyak 400 rumah dari 22 334 populasi
rumah di kecamatan endemis DBD dengan kasus tinggi.
Metode yang digunakan untuk koleksi larva Aedes spp. di setiap rumah
adalah single larva metode dan diidentifikasi jenisnya. Kepadatan larva dan pupa
dinyatakan dalam house indexs (HI) container index (CI), breteau index (BI), dan
pupae index (PI). Pengamatan karakteristik habitat dilakukan dengan mengamati
kontainer yang menjadi habitat larva Aedes spp. yang terdiri atas jenis, bahan,
warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari,
volume, sumber dan pH air. Analisis MI digunakan indikator breeding risk index
(BRI) dan hygiene risk index (HRI).
Hasil penelitian menunjukan nilai HI sebesar 31.3%, CI sebesar 14.5%,
BI sebesar 40.3, dan PI sebesar 5.1%. Berdasarkan nilai HI, CI dan BI maka
didapatkan nilai density figure (DF) 4.7 dan termasuk dalam kategori kepadatan
sedang. Terdapat hubungan bermakna antara jenis, bahan, warna, dan letak

kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari, volume dan sumber air
terhadap keberadaan larva Ae. aegypti. Hasil analisis multivariat menunjukkan
karakteristik habitat yang berisiko terhadap keberadaan larva Ae. aegypti yaitu
volume air kontainer lebih dari 20 liter (OR=2.54) dan letak kontainer di dalam
rumah (OR=2.98). Analisis maya index mayoritas didapatkan hasil dengan
kategori sedang sebesar 89.75%.
Kata Kunci:Aedes aegypti, DBD, kepadatan larva, karakteristik habitat, kontainer

SUMMARY
KURSIANTO. Study on Density and Habitat Characteristics of Aedes aegypti Larvae
in Sumedang Regency, West Java. Supervised by SUSI SOVIANA and UMI
CAHYANINGSIH.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease caused by the
dengue virus and the main vector is Aedes aegypti. DHF disease is still a public
health problem in Indonesia with a high morbidity and mortality and potentially
causes extraordinary incident (KLB). DHF transmission can occur because of the
density of Ae. aegypti vector which has the breeding sites at water storages or
container inside and around houses. The existence of Ae. aegypti breeding sites in
each house has different characteristics which make its as potential habitat. The

purpose of this research was to measure the density of Ae. aegypti larvae, analyze
the characteristics of potential habitat of Ae. aegypti larvae and analyze Maya
Index (MI) in DHF endemic regions in Sumedang Regency, West Java Province.
The type of research was observational analytic descriptive study with cross
sectional approach. The sample size was 400 houses from 22 334 houses
population in DHF endemic sub-districts with high case.
The method used to collect Aedes spp. larvae in every house was single
larvae method to identify its species. The density of larvae and pupae was
expressed in house index (HI), container index (CI), breteau index (BI) and pupae
index (PI). The observation of habitat characteristics was carried out by observing
the containers as the habitat of Aedes spp. larvae consisting of type, material,
color and location of the container, condition of the cover, solar lighting, volume,
resource, and pH of water. The analysis of MI used the indicators of breeding risk
index (BRI) and hygiene risk index (HRI).
The result showed that the values of HI was 31.3%, CI was 14.5%, BI was
40.3% and PI was 5.1%. Based on the values of HI, CI and BI, obtained the value
of density figure (DF) was 4.7 and the category of medium density. There was a
significant relationship between type, material, color and location of the container,
condition of the cover, solar lighting, volume, and resource of water to the
presence of Ae. aegypti larvae. The result of multivariate analysis indicated that

the habitat characteristics which had risk on the presence of Ae. aegypti larvae
were water volume more than 20 liters (OR=2.54) and location of the container
inside the house (OR=2.98). Based on the analysis of maya index, the majority
larvae were in the medium category of 89.75%.
Keywords:Aedes aegypti, DHF, density of larvae, container, habitat characteristic
Palembang.
Jenis penelitian ini

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

KAJIAN KEPADATAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT
LARVA Aedes aegypti DI KABUPATEN SUMEDANG

JAWA BARAT

KURSIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Master Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Drh Risa Tiuria, MS PhD

PRAKATA
Puji dan syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT, karena
karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang

dilaksanakan sejak November 2015 ini adalah Kajian Kepadatan dan Karakteristik
Habitat Larva Aedes aegypti di Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr Drh
Susi Soviana, MSi dan Ibu Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran kepada penulis. Ucapan
terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Drh Upik Kesumawati Hadi, MS PhD
selaku Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) dan Ibu Drh
Risa Tiuria, MS PhD yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian
tesis serta para staf pengajar dan pegawai laboratorium PEK yang telah memberikan
bimbingan selama masa penyelesaian studi. Penulis ucapkan terima kasih kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang beserta jajarannya yang telah
memberikan izin penelitian di wilayah kerjanya.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Imam dan Bapak Nova,
Ibu Jatri dan teman-teman sekantor dan angkatan PEK IPB 2014 yang telah
memberikan dukungannya kepada penulis. Terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada orang tua dan seluruh keluarga di Samarinda, Bapak/Ibu mertua dan
adik ipar di Sumedang, istri tercinta Dini Surgayanti serta anak-anak Fikrul dan
Meshaal, dengan segala perhatian dan pengorbanannya selalu membantu penulis untuk
menyelesaikan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun

penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Bogor, Januari 2017

Kursianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Aedes spp. Sebagai Vektor DBD
Karakteristik Habitat Pradewasa Aedes spp.

3
4

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat penelitian
Pengukuran Sampel
Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti

Pengukuran Maya Index
Pengukuran Karakteristik Habitat
Pengambilan Data Sekunder
Analisis Data

9
9
10
11
11
12
12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan Larva Ae. aegypti
Kepadatan Pupa Ae. aegypti
Karakteristik Habitat Larva Ae. aegypti
Maya Index

15

16
17
28

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Pengukuran jumlah sampel
Density figure (DF)
Matriks 3x3 komponen BRI, HRI pada MI
Kepadatan larva Ae. aegypti
Kepadatan pupa Ae. aegypti
Analisis regresi logistik karakteristik habitat terhadap keberadaan
larva Ae. aegypti

10
12
13
15
17
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Peta Kabupaten Sumedang
Persentasi jenis TPA dan non TPA
Persentasi bahan dasar pada TPA dan non TPA
Persentasi warna kontainer pada TPA dan non TPA
Persentasi kondisi penutup kontainer pada TPA dan non TPA
Persentasi letak kontainer pada TPA dan non TPA
Persentasi pencahayaan matahari pada TPA dan non TPA
Persentasi volume air pada TPA dan non TPA
Persentasi sumber air pada TPA dan non TPA
Persentasi pH air pada TPA dan non TPA
Persentasi kategori BRI, HRI dan MI

14
18
19
21
22
23
24
25
26
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Hubungan karakteristik habitat dengan keberadaan larva Ae. aegypti
Karakteristik larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus
Jenis habitat larva di lokasi penelitian

35
36
37

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit yang ditularkan melalui vektor hingga kini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian
cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Menurut
peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 374/MENKES/PER/
II/2010, vektor didefinisikan sebagai arthropoda yang dapat menularkan,
memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
Penyakit tular vektor di Indonesia antara lain malaria, demam berdarah dengue
(DBD), chikungunya, japanese B encephalitis (radang otak), filariasis limfatik
(kaki gajah), pes (sampar) dan demam semak (scrub typhus) (Kemenkes 2010).
Kabupaten Sumedang yang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat,
juga telah melaporkan adanya kejadian DBD. Penyebaran kasus DBD setiap
tahunnya berfluktuasi. Wilayah dengan endemisitas DBD tinggi terjadi
di Kecamatan Paseh, Kecamatan Sumedang Utara, Kecamatan Sumedang Selatan,
Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Jatinangor (Dinkes Sumedang 2015).
Risiko penularan DBD dapat terjadi salah satunya karena adanya
kepadatan vektor Aedes aegypti. Nyamuk tersebut mempunyai tempat perindukan
pada wadah penampungan air atau kontainer yang cocok bagi berkembangbiaknya
vektor (Purnama dan Baskoro 2012). Keberadaan tempat perindukan nyamuk
disetiap wilayah, mempunyai beberapa perbedaan karakteristik habitat yang
potensial bagi perkembangbiakan nyamuk. Maya Index (MI) sebagai salah satu
pendekatan kuantitatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu area berisiko
tinggi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. (Miller et al. (1992)
dalam Danis et al. 2002).
Dalam upaya menurunkan angka kejadian DBD, diperlukan strategi
pengendalian vektor yang efektif dan efisien. Salah satu upaya pengendalian
tersebut yaitu memutus rantai penularan penyakit. Pemutusan rantai penularan
yang sangat dikenal adalah upaya 3M Plus yaitu menguras dan menyikat tempattempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan
memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan. Selain itu ditambahkan dengan cara lain seperti menaburkan bubuk
larvasida, memasang kawat kasa, menggunakan kelambu dan cara-cara spesifik
lainnya di masing-masing daerah (Kemenkes 2013).
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan larva Ae. aegypti
yaitu keberadaan tempat penampungan air (TPA), non TPA dan TPA alamiah.
Keberadaan tempat perindukan nyamuk banyak tersedia di lingkungan
pemukiman. Berdasarkan hal tersebut untuk menganalisis kaitan antara angka
larva dengan kasus DBD yang terus berulang, maka penulis melakukan penelitian
ini yang berjudul Kajian Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Ae. aegypti
di Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

2

Perumusan masalah
Tingginya kasus DBD di Kabupaten Sumedang, diikuti dengan
ketidaktersediaan data mengenai sebaran dan tempat perindukan larva
Ae. aegypti yang potensial.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Ae. aegypti,
menganalisis karakteristik habitat potensial larva Ae. aegypti dan menganalisis
maya index di wilayah endemis DBD di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar
mengenai kepadatan dan karakteristik habitat potensial larva Ae. aegypti dan maya
index di wilayah endemis DBD. Selanjutnya informasi ini akan menjadi masukan
dan gambaran yang lebih lengkap kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait,
sehingga dapat dijadikan dasar/acuan dalam strategi pengendalian vektor DBD
di daerah khususnya Kabupaten Sumedang.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aedes spp. sebagai vektor DBD
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan
luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk (Depkes 2007).
Indonesia pertama kali dilaporkan tersebar penyakit dengue pada tahun
1968 di Jakarta dan Surabaya, sehingga tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar
di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota. Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerahdaerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, seperti di Pulau Jawa,
Bali dan Sumatera (Kemenkes 2015).
Angka kasus DBD di Indonesia tahun 2010, incidence rate (IR) telah
mencapai 65.62 per 100 000 penduduk dengan case fatality rate (CFR) sebesar
0.87%. Pada 2010 kasus DBD lebih tinggi (156 086 kasus) dibanding pada 20112013, meskipun pada 2011 kasus DBD turun menjadi 62 725 kasus, namun pada
2012 meningkat kembali menjadi 90 245 kasus. Pada 2013 kembali naik
dibandingkan pada 2012 menjadi 112 511 kasus, sedangkan pada 2014 terjadi
penurunan kasus menjadi 100 347 dibandingkan pada 2013 (Kemenkes 2015).
Di Indonesia jumlah kasus DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia disebabkan
oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti
(Depkes 2007).
Informasi bioekologi vektor penular penyakit sangat penting di dalam
pemahaman epidemiologi penyakit. Informasi tersebut dapat dijadikan landasan
dan strategi operasional pengendaliannya (Hadi 2006). Pemahaman tersebut
meliputi tiga organisme penting, yaitu virus dengue, nyamuk Aedes dan inang
manusia (Depkes 2007).
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, family
Flaviviridae, genus flavivirus yang terdiri atas empat serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Perez et al. 1998). Serotipe virus DEN–3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat (Gubler 1998). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di
berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang
paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1 dan DEN-4 (Kemenkes
2013).
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama
DBD, sedangkan Ae. albopictus merupakan vektor sekunder. Nyamuk tersebut
banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal manusia (WHO 2012), kecuali
di daerah dengan ketinggian lebih dari 1 000 meter diatas permukaan air laut
(Hadi 2016).
Penularan virus DBD ke manusia terjadi melalui dua cara, yaitu secara
horizontal dari nyamuk ke manusia melalui gigitan dan secara vertikal diturunkan
oleh induk nyamuk tertular (Hadi 2016).

4

Aktivitas menggigit atau mengisap darah pada nyamuk Ae. aegypti terjadi
pada siang hari (diurnal) dengan dua puncak gigitan yaitu pukul 08.00-09.00 pagi
dan 16.00-17.00 sore. Nyamuk betina lebih suka mengisap darah pada tempat
yang terlindung seperti di dalam dan sekitar rumah (Hadi dan Koesharto 2006).
Menurut Fadilla et al. (2015) puncak waktu mengisap darah nyamuk Ae. aegypti
dan Ae. albopictus di Kelurahan Bantarjati Kota Bogor antara pukul 10.00-11.00
WIB. Syahribulan et al. (2012) juga menyatakan bahwa waktu aktivitas mengisap
darah Ae. aegypti di desa Pa’lanassang Kelurahan Barombong Makassar Sulawesi
Selatan, puncak tertinggi ditemukan pada pukul 09.00-10.00 WITA dan 17.0018.00 WITA.
Nyamuk Aedes dapat tertular virus DBD saat mengisap darah penderita
yang sedang demam selama 2-7 hari, ketika virus sedang dalam sirkulasi darah
(viremia). Virus dengue di dalam tubuh nyamuk berkembang secara propagative
(bertambah tanpa mengalami perubahan fisik). Virus yang masuk ke dalam tubuh
nyamuk membutuhkan waktu 8-10 hari untuk menjadi nyamuk infektif bagi
manusia dan masa tersebut dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik (WHO 2009).
Nyamuk ini dapat menularkan patogen ke inang vertebrata (manusia dan hewan)
dan menimbulkan penyakit.
Penularan virus dengue dapat terjadi dengan transmisi vertikal
(transovarial) yaitu dari nyamuk betina infektif ke generasi berikutnya (Hadi
2016). Beberapa penelitian telah membuktikan keberadaan virus dengue pada
nyamuk satu ke nyamuk generasi selanjutnya. Seran dan Prasetyowati (2012)
menyatakan bahwa virus DEN-2 mampu ditransmisikan lewat telur dengan
transovarial infection rate (TIR) 52% pada generasi F2 dengan umur rata-rata
2 hari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mosesa et al. (2016) di Kelurahan
Kombos Barat Kecamatan Singkil Kota Manado, dengan menggunakan metode
imunositokimia pada Ae. aegypti yang berasal dari telur Aedes dari kelurahan
yang terdapat kasus DBD, dinyatakan adanya keberadaan virus dengue pada
Ae. aegypti.
Manusia merupakan sumber penularan dan sebagai penderita DBD.
Berdasarkan golongan umur maka penderita DBD lebih banyak ditemukan pada
golongan umur kurang dari 15 tahun, tetapi saat ini juga sudah meluas kepada
orang dewasa (Depkes 2007). Berdasarkan penelitian oleh Djati et al. (2010),
bahwa faktor inang yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah umur. Bila
dibandingkan dengan kelompok umur lebih besar 45 tahun, umur di bawah
(kurang dari) 12 tahun berisiko 16.15 kali terkena DBD. Penelitian tersebut
dilakukan di Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten endemis DBD
di Provinsi DIY.
Karakteristik habitat pradewasa Aedes spp.
Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larva-pupanyamuk. Stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air. Faktor-faktor seperti
suhu, makanan, spesies dan faktor lainnya berpengaruh terhadap pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).
Pada umumnya telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-3 hari
setelah telur terendam air pada suhu 30 0C. Pada suhu air 16 0C telur
membutuhkan waktu 7 hari untuk menetas menjadi larva (Hadi dan Koesharto

5

2006). Stadium larva Ae. aegypti mengalami 4 kali instar dan segera berubah
menjadi pupa pada hari ke 5-6 pada suhu kamar. Kondisi suhu dan nutrisi yang
diperoleh larva, mempengaruhi performans nyamuk dewasa yang dihasilkan.
Stadium pupa merupakan fase tidak makan dan sangat bergantung hasil
penyimpanan energi saat fase larva. Perkembangan stadium pupa untuk dapat
berkembang menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 2-3 hari pada suhu
kamar. Total siklus hidup Ae. aegypti dapat diselesaikan dalam waktu 8-11 hari
pada suhu kamar (Hadi dan Koesharto 2006).
Aedes spp. pada stadium pradewasa mempunyai habitat di tempat
penampungan air atau wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif
jernih. Ae. aegypti banyak ditemukan berkembangbiak di tempat-tempat
penampungan air buatan, seperti bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum
burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah. Ae. albopictus
lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah. Tempat
penampungan tersebut seperti ketiak daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya. Keberadaan kontainer terutama terdapat di wilayah pinggiran kota dan
pedesaan, namun juga dapat ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan di luar rumah (WHO 2003).
Ketersediaan tempat perindukan nyamuk pada suatu wilayah dapat
menjadi masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Tempat perindukan tersebut
mempunyai beberapa perbedaan karakteristik sebagai habitat perkembangbiakan
larva Aedes spp. dan mempunyai risiko sebagai tempat perkembangbiakan
nyamuk. Beberapa karakteristik tersebut yaitu jenis kontainer, letak, penutup,
bahan dasar, warna, volume air, sumber air, pH air, suhu, kelembaban dan kondisi
lingkungan setempat (Depkes 2007).
Penelitian oleh Hasyimi et al. (2009) menyebutkan bahwa di daerah
endemis DBD Jakarta Selatan, Bekasi dan Tangerang, pada saat musim
penghujan, larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan (94%). Persentase paling
banyak sebagai tempat perkembangbiakan Aedes spp. adalah tempat
penampungan air (TPA) yang berukuran besar (bak mandi), akibat tidak pernah
atau jarang diganti airnya. Zubaidah et al. (2014) di Kelurahan Surgi Mufti
Banjarmasin Kalimantan Selatan, menambahkan bahwa kontainer di dalam rumah
banyak ditemukan larva Aedes spp., sedangkan kontainer di luar rumah hanya
ditemukan 3.92%. TPA tersebut adalah bak mandi (46.94%) yang berada di dalam
rumah. Penelitian Harington et al. (2008) di Thailand, yang menunjukkan bahwa
kontainer berukuran lebih besar cenderung mengandung plankton sebagai sumber
pakan larva Aedes spp.
Disamping itu, keberadaan larva lebih banyak ditemukan pada kontainer
yang tidak berpenutup, karena memudahkan bagi nyamuk untuk meletakkan
telurnya, sebagaimana penelitian oleh Widjaya (2012) bahwa penggunaan penutup
yang baik dan pembersihan kontainer secara berkala dapat mencegah
berkembangbiaknya larva.
Berdasarkan bahan dasar kontainer yang digunakan, Sungkar (1994)
melaporkan bahwa angka kematian larva Ae. aegypti terendah ditemukan dalam
kontainer berbahan dasar semen, sementara kematian tertinggi pada bahan
keramik. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang menjadi sumber makanan
larva lebih mudah tumbuh pada dinding kontainer yang kasar seperti semen.
Pernyataan di atas juga didukung oleh penelitian oleh Hadi et al. (2010) di Desa

6

Cikarawang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa di daerah tersebut lebih banyak ditemukan larva Ae. aegypti pada wadah
air dengan bahan dasar semen sebesar 20%.
Faktor selanjutnya yaitu warna kontainer yang digunakan sebagai tempat
penampungan air. Budiyanto (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara warna gelap pada kontainer (hitam dan biru tua) dengan
keberadaan larva (p=0.02) pada sekolah dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu
Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan perilaku nyamuk yang menyukai
meletakkan telurnya pada kontainer yang berwarna gelap.
Keberadaan larva pada tempat perindukan juga dipengaruhi oleh volume
air kontainer. Ae. aegypti meletakkan telurnya pada batas air atau sedikit di atas
batas air pada dinding kontainer. Nyamuk tersebut tidak akan meletakkan telurnya
bila di dalam kontainer tidak terdapat air (Depkes RI 2007). Ayuningtyas (2013)
di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang, menyampaikan bahwa kontainer
dengan volume lebih besar dari 50 liter ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti
lebih tinggi (48.7%) dibandingkan dengan volume air kurang dari 50 liter
(18.8%).
Disamping volume air yang besar, keberadaan larva juga dipengaruhi oleh
sumber air yang digunakan. Hingga saat ini diketahui bahwa Ae. aegypti lebih
menyukai untuk meletakkan telur pada wadah yang berisi air bersih. Sumber air
bersih yang digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari diperoleh dari
PDAM maupun non PDAM (air sumur, air hujan, air sungai).
Hasil penelitian Adifian et al. (2013), menunjukkan bahwa kemampuan
berkembang larva Ae. aegypti pada air hujan 13.12% dan air sumur gali 16.54%.
Keberhasilan larva Ae. aegypti menjadi pupa pada air hujan 16.66%, dan pada air
sumur gali sebesar 33.32%. Sayono et al. (2011) menambahkan bahwa daya tahan
hidup larva di berbagai sumber air, bergantung pada senyawa-senyawa kimiawi
(pH, Ca (OCL2) dan keberadaan plankton sebagai sumber makanan.
Berdasarkan pengukuran pH air, habitat larva Ae. aegypti dapat bertahan
hidup sampai menjadi nyamuk dewasa pada pH 4.4-9.3. Sukamsih (2006)
melaporkan bahwa tidak ada larva yang berhasil menjadi pupa pada pH air 4,
berturut-turut pada pH air 5.0, 6.0, 7.0, 8.0 dan 9.0 yaitu 21%, 41%, 79%, 46%
dan 46%. Sedangkan pH air yang optimum bagi perkembangan atau kehidupan
larva adalah 7.0.
Kondisi suhu air dan kelembapan sangat berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan larva Ae. aegypti. Arifin et al. (2013) di Kelurahan Kassi-Kassi
Kota Makasssar Sulawesi Selatan menyatakan bahwa suhu air kurang atau sama
dengan 30 0C ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (60.4%),
dibandingkan dengan suhu lebih dari 30 0C (22.22%). Begitu juga pada
kelembapan 60-80% ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (62.1%)
daripada kelembapan kurang dari 60% yaitu sebesar 23.1%.
Keberadaan larva Ae. aegypti juga dipengaruhi oleh pencahayaan
matahari. Menurut Sunarto (2015), bahwa intensitas cahaya yang rendah di dalam
rumah mendukung nilai kehidupan nyamuk dan keberadaan larva Ae. aegypti
(kurang dari 60 Lux). Anwar dan Rahmat (2015) di Bandara Temindung
Samarinda, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan dengan
container index (p=0.001) dengan korelasi sebesar 0.69. Begitu juga Desniawati
(2014) di Ciputat Tangerang Selatan, bahwa pencahayaan yang rendah ditemukan

7

keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (47.2%), sebaliknya pencahayaan yang
tinggi ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih sedikit yaitu sebesar 9.5%.
Faktor lain yang mendukung terjadinya kepadatan larva adalah ketinggian
tempat perindukan nyamuk. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
Wahyuningsih et al. (2004) di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, bahwa larva
Ae. aegypti yang ditemukan di dataran rendah 4 kali lebih banyak dibanding
di dataran tinggi.
Maya Index (MI)
Dalam kaitannya dengan ketersediaan kontainer yang masih dipakai
maupun tidak terpakai yang dapat menjadi habitat potensial larva Aedes spp.
di lingkungan permukiman, dikenal pengukuran Maya Index (MI). Penggunaan
MI dalam penelitian ini mempunyai berbagai manfaat. MI dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lingkungan yang berisiko tinggi sebagai tempat
perkembangbiakan Ae. aegypti. Berdasarkan kategori MI dapat dilakukan prioritas
penyusunan program pengendalian larva.
Tempat perkembangbiakan nyamuk dibedakan menjadi controllable
containers (habitat yang dapat dikendalikan oleh manusia) dan disposable
containers (habitat yang berasal dari wadah atau kontainer yang sudah tidak
terpakai lagi yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva dan
cenderung kurang diperhatikan oleh masyarakat).
MI terdiri atas dua indikator yaitu ketersediaan kontainer yang berpotensi
sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding risk index/BRI) dan status
kebersihan lingkungan (hygiene risk index/ HRI) (Miller et al. 1992 dalam
Purnama dan Baskoro 2012). Indikator keberadaan tempat perkembangbiakan
potensial (BRI) ditunjukkan oleh banyaknya controllable containers (baik
mengandung larva maupun tidak), sementara indikator kebersihan lingkungan
(HRI) diwakili oleh banyaknya disposable containers di lingkungan sekitar
rumah. Kontainer tersebut dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk bila
terisi air ketika musim hujan.
Kontainer yang banyak ditemukan di rumah menjadi faktor utama tempat
perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Beberapa penelitian tentang risiko tempat
perkembangbiakan nyamuk telah dilakukan di berbagai wilayah. Dhewantara dan
Dinata (2015) melaporkan bahwa Kota Banjar Jawa Barat, memiliki MI kategori
sedang (MI 97%). Hal ini menunjukkan bahwa 97% rumah penduduk berisiko
sedang sebagai tempat perkembangbiakan larva Aedes spp. Maka upaya
pengendalian vektor perlu difokuskan dengan melakukan pemeriksaan larva pada
controllable containers. Sedangkan untuk mengurangi disposable containers
diterapkan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle). Apabila dikaitkan dengan
di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta,
mempunyai MI kategori sedang pada kelompok kontrol (tidak ditemukan kasus
DBD) sebesar 88.6% dan kelompok kasus 77.1%. Pada penelitian tersebut, tidak
ada rumah responden yang memiliki MI rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
MI risiko tinggi pada kelompok kasus lebih tinggi (22.9%), sedangkan pada
kelompok kontrol hanya 11.4% (Djati et al. 2012).
Apabila MI dihubungkan dengan dampak atau risiko kejadian DBD,
beberapa penelitian mengemukakan nilai risiko yang berbeda-beda. Purnama dan

8

Baskoro (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
status MI kategori tinggi dengan kejadian DBD dengan OR=3.09. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa status MI kategori tinggi memiliki risiko 3.09 kali terkena
DBD dibandingkan dengan MI kategori rendah. Sedangkan menurut Djati et al.
(2012) bahwa MI tingkat risiko tinggi memiliki risiko 1.90 kali terkena DBD
daripada tingkat risiko MI sedang.

9

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif analitik dan
menurut waktu penelitiannya merupakan penelitian cross sectional. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan November 2015 sampai dengan Pebruari 2016
di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Wilayah endemis DBD yang dijadikan
tempat penelitian yaitu Desa Legok Kaler (Kecamatan Paseh), Kelurahan Situ,
Desa Jatihurip dan Kelurahan Kota Kaler (Kecamatan Sumedang Utara),
Kelurahan Kota Kulon dan Kelurahan Cipameungpeuk (Kecamatan Sumedang
Selatan), Desa Tanjungsari dan Desa Cinanjung (Kecamatan Tanjungsari), Desa
Mekargalih dan Desa Cikeruh (Kecamatan Jatinangor).
Pengukuran sampel (Sampling)
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 22 334 rumah, yaitu semua rumah
yang berada di wilayah endemis DBD dengan kasus tinggi di Kabupaten
Sumedang, terdiri atas 5 kecamatan dengan 10 desa/kelurahan (Kecamatan Paseh:
Desa Legok Kaler 1 899 rumah), (Kecamatan Sumedang Utara: Kelurahan Situ
3 789 rumah, Desa Jatihurip 2 289 rumah dan Kelurahan Kota Kaler 3 151
rumah), (Kecamatan Sumedang Selatan: Kelurahan Kota Kulon 3 039 rumah,
Kelurahan Cipameungpeuk 1 520 rumah), (Kecamatan Tanjungsari: Desa
Tanjungsari 1 256 rumah dan Desa Cinanjung 2 160 rumah), (Kecamatan
Jatinangor: Desa Mekargalih 1 158 rumah dan Desa Cikeruh 2 073 rumah).
Unit sampling adalah rumah-rumah penduduk dari populasi sebanyak 400
rumah diambil secara purposive sampling (Sugiyono 2011), yaitu rumah-rumah
yang dijadikan sampel berdasarkan rumah yang pernah ada penderita DBD dan
sekitar rumah dengan jarak maksimal 100 meter dari rumah penderita tersebut.
Adapun rumus perhitungan sampel menurut Slovin dalam Umar (2005)
dengan tingkat kepercayaan 95% adalah sebagai berikut:
n=

n=

N
1+N(e)2
22 334
1+22 334(0.05)2

= 399.98 dibulatkan 400 rumah
Penarikan sampel pada setiap desa diambil secara proportional random
sampling yaitu teknik pengambilan proporsi untuk memperoleh sampel yang
representatif, pengambilan subyek dari setiap strata atau wilayah ditentukan
seimbang atau sebanding dalam masing-masing wilayah (Arikunto 2006),
sebagaimana tersaji pada tabel 1.

10

Tabel 1. Pengukuran jumlah sampel dari setiap desa/kelurahan di wilayah endemis
DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat
Desa/

Jumlah
Rumah

Perhitungan

Jumlah
Sampel

Desa Legok Kaler

1 899

1 899: 22 334 x400

34

Kelurahan Situ

3 789

3 789: 22 334 x400

68

Desa Jatihurip

2 289

2 289: 22 334 x400

41

Kelurahan Kota Kaler

3 151

3 151: 22 334 x400

56

Kelurahan Kota Kulon

3 039

3 039: 22 334 x400

54

Kelurahan Cipameungpeuk

1 520

1 520: 22 334 x400

27

Desa Tanjungsari

1 256

1 256: 22 334 x400

23

Desa Cinanjung

2 160

2 160: 22 334 x400

39

Desa Mekargalih

1 158

1 158: 22 334 x400

21

Desa Cikeruh

2 073

2 073: 22 334 x400

37

Jumlah

22 334

Kecamatan
Kelurahan
Paseh

Sumedang Utara

Sumedang
Selatan

Tanjungsari

Jatinangor

400

Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti
Pengukuran kepadatan larva dan pupa berupa angka House Index (HI),
Container Index (CI), Breteau Index (BI) dan Pupae Index (PI). Nilai HI
merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk melihat tingkat
infestasi nyamuk. Nilai CI menggambarkan banyaknya kontainer yang
mengandung dibandingkan dengan jumlah seluruh kontainer yang diperiksa. Nilai
CI dapat digunakan sebagai alat pembanding dalam evaluasi program
pengendalian vektor namun tidak terlalu berperan dari sisi epidemiologis. Nilai BI
dianggap sebagai indeks yang paling baik karena membandingkan antara
kontainer yang mengandung larva dengan jumlah bangunan yang diperiksa dan
mempunyai nilai signifikan epidemiologis yang lebih besar. PI merupakan metode
survei pupa yang dilakukan untuk memperkirakan banyaknya nyamuk dewasa
yang akan muncul (WHO 2009).
Pengukuran tersebut dilakukan pada rumah yang dijadikan sampel,
kemudian dilakukan pengamatan pada semua kontainer. Semua kontainer yang
dapat menjadi tempat perkembangbiakan Ae. aegypti, diamati dengan mata
telanjang keberadaan larva dan pupa. TPA yang berukuran besar (bak mandi,
tempayan, drum) jika pengamatan awal tidak ditemukan larva dan pupa ditunggu
kira-kira ½-1 menit. Tempat-tempat perkembangbiakan Ae. aegypti berupa wadah
yang kecil (vas bunga, pot tanaman air, botol) yang berair keruh, airnya
dipindahkan ke tempat lain. Pemeriksaan pada kontainer yang tempatnya agak
gelap atau berair keruh, digunakan senter (Depkes 1992).
Koleksi larva dilakukan dengan metode single larva, dengan mengambil
minimal satu larva pada kontainer yang ditemukan mengandung larva dengan
menggunakan gayung dan pipet. Larva dimasukkan ke dalam botol plastik yang
sudah diberi label sesuai dengan lokasi. Larva diperiksa di bawah mikroskop pada
objek glass (Kemenkes RI 2013), dan selanjutnya diidentifikasi menggunakan

11

kunci identifikasi larva Aedes sp. (Rueda 2004). Hasil pengamatan larva dicatat
ke dalam formulir larva berdasarkan nomor botol larva, kemudian dilakukan
analisis perhitungan angka HI, CI, BI dan PI (Kemenkes RI 2013).
Pengukuran Maya Index (MI)
MI digunakan untuk memperkirakan risiko perkembangbiakan larva.
MI diperoleh dengan mengacu pada dua indikator yaitu indikator risiko
perkembangbiakan larva (BRI) dan risiko kebersihan lingkungan (HRI), dan
masing-masing dikategorikan ke dalam tiga tingkatan risiko, yaitu tinggi, sedang
dan rendah (Miller et al. (1992) dalam Danis et al. 2002).
Indikator BRI didapatkan dengan menghitung jumlah Controllable
containers (CC) yaitu kontainer yang dapat dikontrol atau dikendalikan oleh
manusia agar vektor tidak dapat berkembangbiak, seperti ember, pot bunga, talang
air, drum minyak, sumur, bak mandi, tempat minum burung, tower, bak air.
Indikator HRI didapatkan dengan menghitung jumlah Disposable
Container (DC) yaitu benda-benda tempat penampungan (sudah tidak terpakai)
yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti botol bekas,
kaleng bekas, ban bekas, ember bekas, lubang pada bambu, pohon berlubang,
tempurung kelapa, genangan air, toples bekas (Miller et al. (1992) dalam Danis
et al. 2002).
Semua kontainer yang disurvei dicatat sebagai controllable containers,
disposable containers dan tempat yang selalu terkontrol (undercontrol
containers). Kontainer yang telah dikelompokkan sebagai CC dan DC, kemudian
dihitung dan dimasukkan dalam rumus BRI dan HRI untuk mendapatkan nilai MI.
Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti
Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti dilakukan dengan
pengamatan terhadap faktor-faktor berikut (Kemenkes RI 2013):
1. Jenis kontainer yang terbagi atas TPA (drum, tangki reservoir, tempayan, bak
mandi/wc dan ember). Non TPA (tempat minum burung, vas bunga, tempat
pembuangan air kulkas/dispenser, ban, kaleng, botol, plastik). Tempat
penampungan air alamiah (lubang pohon, lubang batu, tempurung kelapa dan
potongan bambu).
2. Bahan dasar kontainer (karet, semen, plastik, besi, porselen, tanah liat,
alumunium, kaca)
3. Warna kontainer (putih, orange, hitam, biru, abu-abu, kuning, merah, hijau,
ungu).
4. Volume air pada setiap kontainer dilakukan dengan memperkirakan jumlah air
pada saat pemeriksaan dengan mengamati ukuran wadah.
5. Letak kontainer (di dalam atau di luar rumah).
6. Pencahayaan kontainer (langsung atau tidak langsung terkena cahaya
matahari).
7. Penutup kontainer (menggunakan penutup atau tidak).
8. Sumber air yang digunakan dan terdapat dalam setiap kontainer (berasal dari
air PDAM, tanah, air hujan, sungai).

12

9. PH air, dilakukan menggunakan kertas lakmus dengan parameter pH 0-14.
Kertas lakmus dicelupkan dalam air kemudian dilihat warnanya dengan
membandingkan dengan standar yang ada dalam kertas lakmus tersebut dan
dicatat berapa pH yang ada pada setiap kontainer.
Pengambilan data sekunder
Data kasus DBD didapatkan berdasarkan laporan tahunan atau profil dari
Kementerian Kesehatan, Dinkes Provinsi Jawa Barat, Dinkes Kabupaten
Sumedang dan Puskesmas terkait. Data kasus diambil dari mulai tahun 20122014.
.
Analisis Data
Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti
Kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti dinyatakan dalam HI, BI, CI dan PI
dengan rumus sebagai berikut:

1. HI=

Jumlah bangunan mengandung
larva
x 100 %
Jumlah bangunan yang diperiksa

2. CI=

Jumlah kontainer mengandung
larva
Jumlah kontainer yang diperiksa

3. BI=

Jumlah kontainer mengandung
x 100
larva
Jumlah bangunan yang diperiksa

4. PI=

Jumlah kontainer mengandung
pupa
Jumlah kontainer yang diperiksa

x 100 %

x 100 %

Tabel 2. Density figure (DF) dinyatakan dengan skala 1-9
HI

CI

BI

DF

1–3
4–7
8–17
18–28
29–37
38–49
50–59
60–76
77 +

1–2
3–5
6–9
10–14
15–20
21–27
28–31
32–40
41 +

1–4
5–9
10–19
20–34
35–49
50–74
75–99
100–199
200 +

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Katagori
Kepadatan

Keterangan : HI=house index, CI=container index,
BI=bretau index, DF=density figure (WHO 1972).

Rendah
Sedang

Tinggi

13

Angka HI, CI dan BI yang telah diperoleh kemudian digabungkan dan
dibandingkan dengan Density figure (DF), seperti tersaji pada tabel 2.
Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti
Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat
karakteristik habitat dengan keberadaan larva Ae. aegypti menggunakan uji chi
square, dengan bantuan perangkat komputer melalui program SPSS versi 16.
Analisis multivariat menampilkan hasil odds ratio (OR). Uji yang
digunakan yaitu binary logistic regression. Semua peubah dimasukkan dalam
analisis menggunakan metode enter, selanjutnya digunakan metode forward
conditions dengan memasukkan peubah yang signifikan dalam analisis
(Riwidikdo 2009).
Pengukuran MI
Pengukuran MI didasarkan pada BRI yaitu dengan menghitung jumlah
CC, dan HRI yaitu dengan menghitung jumlah DC, seperti pada rumus di bawah
ini:
1. BRI=

Jumlah CC yang ditemukan di rumah tangga
Rata-rata CC yang mengandung larva

2. HRI=

Jumlah DC yang ditemukan di rumah tangga
Rata-rata DC yang mengandung larva

Miller et al. (1992) dalam Dhewantara dan Dinata (2015), menyatakan
bahwa tingkat risiko HRI dan BRI dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu
tinggi, sedang dan rendah berdasarkan distribusi tertil bawah (menentukan batas
bawah x