Analisis Tapak Ekologi Untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
ANALISIS TAPAK EKOLOGI UNTUK ARAHAN PEMANFAATAN
RUANG PULAU LOMBOK
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI
A156130071
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisi Tapak Ekologi
untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Baiq Ahda Razula Apriyeni
NRP A156130071
RINGKASAN
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI. Analisis Tapak Ekologi untuk Arahan
Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO
dan SETIA HADI.
Tapak ekologi merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam
mengelola sumberdaya alam. Pemanfaatan tapak ekologi sebagai instrument
manajemen sumberdaya merupakan bagian dari pada upaya mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menghitung nilai
tapak ekologi di Pulau Lombok melalui pendekatan Supply (pasokan) dan Demand
(permintaan) berdasarkan GFN (Global Footprint Network), Kesesuaian Lahan dan
Rencana Tata Ruang Wilayah, 2) Mengevaluasi dan menilai ketiga pendekatan
perhitungan nilai tapak ekologi, 3) Merumuskan arahan pemanfaatan ruang
berdasarkan hasil perhitungan nilai tapak ekologi.
Untuk mencapai tujuan dilakukan perhitungan terhadap tiga pendekatan yaitu
Global Footprint Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Setelah dilakukan perhitungan kemudian dilakukan evaluasi serta penilaian
terhadap ketiga pendekatan yang akan digunakan untuk menggambarkan kondisi
tapak ekologi di Pulau Lombok saat ini dan masa yang akan datang. Setelah itu
dengan menggunakan hasil perhitungan dan analisis pendekatan yang terpilih
kemudian dilakukan penyusunan arahan pemanfaatan ruang di Pulau Lombok.
Berdasarkan hasil perhitungan tapak ekologi dan biokapsitas dengan tiga
pendekatan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa Pulau Lombok dikategorikan ke
dalam tiga kategori wilayah defisit ekologi yakni: wilayah surplus (berdasarkan
pendekatan GFN), wilayah surplus (berdasarkan pendekatan kesesuaian lahan), dan
wilayah defisit (berdasarkan pendekatan terhadap RTRW). Dari tiga pendekatan
tapak ekologi yang digunakan, pendekatan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
paling riil untuk menggambarkan kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok. Adapun
arahan pemanfaatan ruang berdasarkan tapak ekologi di Pulau Lombok adalah
sebagai berikut: 1) Lahan pertanian perlu ditambahkan lahan seluas 121.305 ha, 2)
Lahan peternakan dikurangi luasnya sebesar 181.031 ha, 3) Lahan perikanan perlu
ditambahkan lahan seluas 248.429 ha, 4) Lahan hutan perlu penambahan luasan
sebesar 151.439 ha, 5) lahan terbangun perlu ditambahkan lahan seluas 159.132 ha.
6) Lahan yang berfungsi sebagai penyerap karbon perlu ditambahkan lahan seluas
14.024 ha.
Kata Kunci: tapak ekologi, biokapasitas, defisit ekologi, arahan pemanfaatan ruang.
SUMMARY
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI. Ecological Footprint Analysis for Spatial Use
Directive of Lombok Island. Advisors: KUKUH MURTILAKSONO and SETIA
HADI.
Ecological footprint is one of the instruments used in managing natural
resources. The use of ecological footprint as a resource management instrument is
a part of the efforts to achieve sustainable development. This study aims to 1)
Calculate the ecological footprint in Lombok Island through Supply and Demand
approach by GFN (Global Footprint Network), Land Suitability and Spatial
Planning, 2) Evaluate and assess the three approaches to calculate the value of the
ecological footprint, 3) Formulate the direction of spatial use based on the
calculation of the ecological footprint.
To achieve the purpose, the calculation was done to the three approaches,
namely Global Footprint Network, Land Suitability and Spatial Planning. After
calculation then performed an evaluation and assessment of the three approaches
that was applied to describe the condition of the ecological footprint in Lombok
Island now and in the future. Furthermore, by using the calculation and analysis of
the approach chosen, the preparation of spatial use directives was performed on
Lombok Island.
Based on the calculation of the ecological footprint and biocapasity by three
approaches found that the results showed Lombok Island was categorized into three
categories deficit ecological area: surplus territory (based GFN approach), surplus
territory (based on land suitability approach), and deficit area (based on Spatial
Planning approach). Of the three approaches of ecological footprint used, Spatial
Planning approach was the most realistic to describe the condition of the ecological
footprint in Lombok Island. As for the direction of spatial use based on the
ecological footprint in Lombok Island was as follows: 1) Agricultural land needs
an additional area of 121,305 ha, 2) Farm land area is reduced by 181,031 ha, 3)
Fishery land needs an additional area of 248,429 ha, 4) Forest land needs an
additional area of 151,439 ha, 5) Developed land needs an additional area of
159,132 ha, and 6) Land which serve as an sequestration needs an additional area
of 14,024 ha.
Keyword : ecological footprint, biocapasity, ecological deficit, spatial use directive
© Hak Cipta
Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS TAPAK EKOLOGI UNTUK ARAHAN PEMANFAATAN
RUANG PULAU LOMBOK
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencenaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
:
Dr Ir Widiatmaka DEA
Judul Tesis : Analisis Tapak Ekologi untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau
Lombok
Nama
: Baiq Ahda Razula Apriyeni
NRP
: A156130071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS.
Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, MS.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Tanggal Ujian: 17 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillaahirrobbil’aalamin, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal penelitian untuk tugas akhir tesis yang berjudul “Analisis
Tapak Ekologi untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok”. Penelitian ini
akan dilaksanakan pada bulan Juni 2015 - Agustus 2015 di Pulau Lombok.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS. dan Dr.Ir. Setia Hadi, MS. (Alm) selaku
komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang
diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi MAgr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah, dan Drs. Khursatul Munibah MSc selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah.
3. DIKTI serta Kementrian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi bagian
Kualifikasi Sumber Daya Manusia atas pembiayaan melalui beasiswa
BPPDN selama penulis menempuh studi.
4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
5. Bapak dan Ibu staff yang ada di instansi pemerintahan Provinsi Nusa
Tenggara Barat atas kerjasama dan bantuannya kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitiannya.
6. Mamiq, Mamaq dan adik-adik tercinta atas semua dukungan dan kasih
sayangnya, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir dari
seluruh keluarga.
7. Ungkapan terima kasih yang teristimewa kepada suami dan anak untuk segala
doa, segenap dukungan dan kasih sayang serta pengorbanan yang selama ini
telah diberikan.
8. Semua rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
angkatan 2013 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan Tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua kalangan dan Semoga
Allah SWT memberikan limpahan RahmatNya serta membalas kebaikan semua
pihak yang telah membantu penulis, baik yang disebutkan maupun yang tidak dapat
disebutkan.
Bogor, Agustus 2016
Baiq Ahda Razula Apriyeni
1
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vi
vii
viii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tapak Ekologi
Metode Perhitungan Tapak Ekologi
Komponen Perhitungan Tapak Ekologi
Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Perhitungan Nilai Biokapasitas
Faktor Penyama (Equivalen Factor)
Faktor Panen (Yield Factor)
Defisit Ekologi/Ecological Footprint Deficit (ED)
Penggunaan Lahan Dan Konversi Lahan
Ruang dan Pemanfaatan Ruang
7
7
9
10
10
12
12
12
13
13
15
3
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis Data dan Sumber Data
Analisis Data
Tahap Perhitungan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan GFN (Global Footprint
Network)
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Kesesuaian Lahan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
Defisit Ekologi/Ecological Deficit (ED)
Tahap Pemilihan Pendekatan
Tahap Perumusan Arahan Pemanfaatan
18
18
18
19
19
19
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Wilayah Administratif
Kondisi Umum Wilayah
Geologi
Litologi
Topografi
Iklim
28
28
28
28
30
31
31
4
1
1
3
4
4
4
5
23
24
25
26
26
2
Keragaman Sumberdaya Alam
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Aksesibilitas
5
6
31
33
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Permintaan dan Pasokan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Global Footprint Network (GFN)
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Kesesuaian Lahan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
Penilaian Tiga Pendekatan Perhitungan Tapak Ekologi Pulau Lombok
Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2035 menggunakan
Pendekatan RTRW
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
35
35
35
39
41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
51
51
51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
43
45
47
52
56
65
3
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nilai Faktor Penyama dan Faktor Panen berdasarkan GFN
Kebutuhan Lahan perorang pertahun berdasarkan kriteria di Indonesia
Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan data serta teknis analisis
Perhitungan Permintaan (demand) Pulau Lombok berdasarkan Global
Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (supply) Pulau Lombok berdasarkan Global
Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Global Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
Kesesuaian Lahan Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Kesesuaian
Lahan Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
Kesesuaian Lahan di Pulau Lombok Tahun 2015
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Perbandingan Nilai Tapak Ekologi Pulau Lombok Tahun 2015
berdasarkan Ketiga Pendekatan
Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2015 dan 2035
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2035
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2035
Arahan Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2035
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
22
25
27
35
36
37
39
39
40
41
41
42
43
45
48
48
48
49
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Kerangka Pikir Penelitian
Peta Wilayah Penelitian
Stuktur Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Stuktur Perhitungan Nilai Biokapasitas
Peta Tata Letak Wilayah Kajian
Peta Formasi Geologi Pulau Lombok
Statigrafi Regional Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat
Topografi Pulau Lombok
6
18
20
21
28
29
30
31
4
9
Lahan pertanian yang terkonversi menjadi lahan terbangun dan industri (a)
Lombok Barat, (b) Kota Mataram.
10 Kegiatan yang dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di (a) dan
(b) di Kecamatan Peringgabaya, (c) Kecamatan Ijobalit, (d) Kecamatan
Suela.
37
43
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Skema struktur perhitungan nilai tapak eklogi menurut Global
Footpfint Network
Skema struktur perhitungan nilai biokapasitas menurut Global
Footpfint Network
Contoh perhitungan yield factor
Kelas kesesuaian lahan di Pulau Lombok
Peta pola ruang Pulau Lombok
Contoh perhitungan kebutuhan lahan
57
57
58
60
63
63
5
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Lombok merupakan salah satu pulau dari dua pulau besar yang terdapat
di provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri dari empat kabupaten dan satu kotamadya.
Luasnya mencapai lebih kurang 4.738,14 km2. Pertumbuhan penduduk di Pulau
Lombok menunjukkan suatu peningkatan, pada tahun 2013 jumlah penduduknya
berjumlah 3.228.654 jiwa, pada tahun 2015 meningkat menjadi 3.352.988 Jiwa
(BPS NTB 2015). Diperkirakan pada tahun 2035 jumlah penduduk Pulau Lombok
terus meningkat menjadi 4.573.319 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,56 persen setiap tahunnya dalam kurun waktu 20 tahun mendatang jumlah
penduduknya bertambah sebesar 1.222.331 jiwa. Tingginya pertumbuhan
penduduk di Pulau Lombok berbanding terbalik dengan luas wilayahnya yang
sempit.
Peningkatan jumlah penduduk dapat mempengaruhi kebutuhan akan ruang
untuk berbagai aktivitas masyarakat serta adanya peningkatan jumlah konsumsi
sumberdaya secara berlebihan. Hal ini dapat memicu terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian. Pertambahan jumlah penduduk akan
mempengaruhi luas lahan pertanian dan cenderung mengikuti model linier
(Munibah et al. 2009). Setiap tahunnya lahan pertanian seperti sawah luasannya
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya
perkembangan ekonomi. Hal ini akan dapat mempengaruhi jumlah produksi padi
dimasa yang akan datang. Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat
sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan
salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan 2005). Meskipun saat ini Pulau
Lombok diperkirakan surplus beras sekitar 155.707 ton dengan jumlah produksi
5.884.353 ton/hektar dan rata-rata konsumsi beras meningkat sebesar 127,8 kg per
kapita per tahun dibandingkan sebelumnya sebesar 122 kg/kapita/tahun, namun jika
dibarengi dengan tingginya laju konversi setiap tahun dan tidak ada upaya
pengendalian maka dapat mengancam keberlanjutan kemandirian pangan di Pulau
Lombok.
Berdasarkan perhitungan data yang tersedia, dengan laju konversi sebesar 4,5
persen per tahun diprediksikan hingga tahun 2024 Pulau lombok masih akan
mengalami surplus beras namun di tahun 2025 dengan jumlah penduduk 3.916.758
jiwa akan mengalami defisit sebesar -11.608 ton/kapita/tahun, hingga pada tahun
2035 jumlah penduduk meningkat menjadi 4.575.319 jiwa dan akan mengalami
defisit hingga mencapai -168.655 ton/kapita/tahun. Artinya 20 tahun yang akan
datang jika laju konversi terus meningkat maka di perkirakan pasokan/supply
sumberdaya yang ada di Pulau Lombok tidak cukup dan bahkan mengalami defisit
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sumberdaya penduduknya. Kabupaten yang
akan mengalami konversi paling signifikan diantara 5 kabupaten yang ada di Pulau
Lombok adalah Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah. Sedangkan di
Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara masih relatif aman karena didukung
juga oleh program cetak sawah baru oleh pemerintah.
Sebagai ekosistem pulau kecil, Pulau Lombok memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, namun disisi lain memiliki resiko lingkungan yang tinggi
2
serta adanya keterbatasan daya dukung lahan, sehingga sangat rentan terhadap
segala bentuk perubahan baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia.
Tantangan utama dalam penyediaan sumberdaya saat ini dimasa yang akan datang
adalah ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of resources), baik
luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya (conflict of interest)
(Pasandaran 2006).
Disisi lain terdapat pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang cenderung tidak
sesuai dengan peruntukan dibarengi dengan alih fungsi lahan pada beberapa jenis
penggunaan ruang. Penggunaan ruang yang tak terencana akan menyebabkan pola
penggunaan ruang yang kacau, tak searah dengan penyediaan sarana lain seperti
jalan, telekomunikasi, listrik, dan air. Ketidakselaran tersebut juga memperbesar
peluang kerusakan lingkungan dan efisiensi penggunaan sumberdaya yang tidak
efisien. Rencana tata ruang semestinya dijadikan acuan oleh semua pihak autoritas
pemberi izin penggunaan ruang maupun para pengguna ruang sehingga penggunaan
ruang menjadi tidak optimal dan tidak sesuai. Karena luas lahan relatif tetap,
masyarakat cenderung mengeksploitasi lahan yang ada dan mengakibatkan
penambangan lahan yang dianggap sebagai penyebab utama degradasi sumberdaya
alam, seperti erosi lahan, kehancuran hutan, dan sebagainya (Ridha 2007).
Dampaknya dapat saja terjadi penurunan fungsi lahan dan penurunan produktivitas
serta jumlah produksi baik dalam bidang pertanian dan perkebunan, peternakan,
perikanan serta kehutanan hingga pada rendahnya penyerapan stok karbon oleh
berbagai jenis tutupan lahan yang ada.
Proses alih fungsi lahan memaksa sektor pertanian menggunakan lahan
dengan daya hasil lebih rendah atau marginal, seperti: lahan miring tererosi, dan
lahan tidak beririgasi. Melemahnya daya hasil sektor pertanian di pulau Lombok
ditandai oleh defisit neraca perdagangan komoditas pertanian; dimana beberapa
komoditas pertanian didatangkan dari daerah lain. Pendalaman terhadap kasus
empiris tentang degradasi lahan memberikan suatu pemahaman tentang
keterkaitannya dengan derajat intensifikasi penggunaan lahan, khususnya lahan
marginal dengan tingkat kemiringan yang curam. Sementara itu, derajat
intensifikasi penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi
seperti tingkat pertumbuhan atau tekanan penduduk, bentuk areal garap dan
keuntungan usahatani, pendapatan petani, tingkat pendidikan, dan sebagainya
(Ridha 2007).
Selain tingginya pertumbuhan penduduk, eksploitasi sumberdaya dan
tingginya laju konversi diberbagai lahan peruntukan, hal lain yang menjadi suatu
kehawatiran di masa yang akan datang adalah pemanfaatan ruang yang tidak
memperhatikan kesesuaian lahan. Perencanaan yang kurang baik menimbulkan
masalah baru dimana masalah penggunaan ruang tidak sesuai dengan peruntukan
dan rencana tata ruang wilayah Pulau Lombok. Apabila permasalahan eksploitasi
lingkungan hidup dan penggunaan ruang yang terlalu berlebihan tidak segera
diselesaikan maka tidak menutup kemungkinan bahwa di Pulau Lombok akan
mengalami krisis sumberdaya.
Kekayaan sumberdaya alam yang masih melimpah di Pulau Lombok perlu
dikelola dengan bijaksana agar tidak terjadi eksploitasi secara berlebihan. Penataan
ruang dan infrastruktur yang dibarengi dengan perencanaan yang baik perlu
dilakukan untuk pengendalian penggunaan ruang yang tidak berlebihan dan harus
disesuaikan dengan arahan rencana tata ruang yang sudah ditentukan agar tidak
3
terjadi kasus pelanggaran tata ruang. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukannya
suatu pengaturan yang tidak hanya berlaku untuk interaksi antar manusia, tetapi
juga interaksi manusia dengan lingkungan. Alam dan seluruh isinya tidak hanya
bernilai guna ekonomis untuk dieksploitasi dalam rangka memenuhi kepentingan
manusia, namun alam juga sangat bernilai bagi kelangsungan hidup manusia dan
pantas diperlakukan secara adil dan bijaksana sehingga menuntut manusia untuk
menjaga dan melindungi alam beserta segala isinya.
Pendugaan tentang berbagai kebutuhan saat ini perlu mempertimbangkan
keberlanjutan sumberdaya untuk generasi mendatang sehingga tidak terjadi
pemborosan sumberdaya yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan
hidup. Salah satu alat yang dapat digunakan dalam pendugaan kebutuhan dan
ketersediaan sumberdaya adalah dengan menggunakan pendekatan tapak ekologi.
Pendekatan tapak ekologi dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar
kemampuan suatu wilayah untuk dapat memenuhi segala kebutuhan komponen
yang ada dalam sebuah ekosistem. Pentingnya evaluasi tapak ekologi yang ada di
Pulau Lombok dapat menjadi suatu masukan untuk dapat mengetahui bagaimana
ketersedian biokapasitas yang ada untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat
maupun penduduk daerah lain, sehingga dapat menjadi acuan dalam perencanaan
pemanfaatan ruang sebagai upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai alat penunjang keputusan bagi pengambil
kebijakan dalam mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk
akan mendorong bertambahnya permintaan atas berbagai kebutuhan konsumsi
sumberdaya dan pemanfaatan ruang serta dapat mempengaruhi kualitas lingkungan
hidup. Oleh karena itu arahan pemanfatan ruang menjadi sangat penting untuk
dilakukan sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang
berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan, oleh karena itu sangat penting untuk merumuskan arahan
pemanfaatan ruang yang didasarkan pada evaluasi nilai tapak ekologi yang dimiliki,
dalam hal ini khususnya di Pulau Lombok.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, yang menjadi pertanyaan
untuk dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah status tapak ekologi di Pulau Lombok menggunakan pendekatan
Demand (permintaan) dan Supply (pasokan) berdasarkan Global Footprint
Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah?
2. Pendekatan yang manakah yang paling baik dalam menggambarkan kondisi
tapak ekologi Pulau Lombok saat ini?
3. Bagaimanakah arahan pemanfaatan ruang Pulau Lombok berdasarkan
perhitungan tapak ekologi?
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menetapkan status tapak ekologi di Pulau Lombok melalui pendekatan
Demand (permintaan) dan Supply (pasokan) lahan berdasarkan Global
Footprint Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah.
2. Mengevaluasi dan menilai ketiga pendekatan perhitungan tapak ekologi.
3. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan hasil perhitungan nilai
tapak ekologi.
Manfaat Penelitian
Adanya penilaian terhadap kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok dapat
menjadi sebuah informasi tentang kondisi tapak ekologi yang menujukkan seberapa
besar pasokan (Supply) untuk memenuhi segala permintaan (Demand) sumberdaya
di Pulau Lombok dalam menyediakan segala kebutuhan makhluk hidup
didalamnya. Selain itu juga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu bahan
pertimbangan dan masukan dalam arahan pemanfaatan ruang untuk rencana
penggunaan lahan yang berkelanjutan serta dalam proses pengambilan suatu
kebijakan yang berhubungan dengan segala bentuk pengaturan ruang yang ada.
Kerangka Pemikiran
Semakin bertambahnya populasi penduduk di Pulau Lombok, menyebabkan
semakin meningkatnya kebutuhan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya. Meningkatnya kebutuhan penduduk di Pulai Lombok berbanding
terbalik dengan ketersediaan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas dengan luas
wilayahnya yang relatif sempit. Keterbatasan ketersediaan sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sering disubsitusikan dengan cara
eksploitasi sumberdaya secara intensif atau dengan cara memanfaatkan sumberdaya
yang belum dieksploitasi.
Seiring majunya perkembangan zaman dan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi masyarakat di Pulau Lombok menyebabkan interaksi manusia dengan
lingkungan tanpa disadari mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan,
namun kebutuhan, kepentingan, serta keinginan penduduk dalam memanfaatkan
sumberdaya serta ruang seringkali tidak memperhatikan aspek ketersediaan dan
keberlanjutan sumberdaya serta ruang. Akibatnya banyak terjadi konversi lahan
terutama pada lahan-lahan produktif seperti sawah serta eksploitasi sumberdaya
pada kawasan lindung yang berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan
karena perubahan fungsi lahan. Pola fikir penduduk yang ikut berkembang dan pada
akhirnya sebagian mampu menciptakan teknologi yang cangging sebagai alat
pengelolaan sumberdaya, akan tetapi penggunaan teknologi dapat menimbulkan
suatu permasalahan baru yaitu memicu terjadinya polusi dan pencemaran
lingkungan.
Oleh karena itu sangat penting dilakukan suatu penilaian terhadap kondisi
ekologi menggunakan pendekatan tapak ekologi. Kajian tapak ekologi ini mampu
5
memberikan gambaran bagaimana keberadaan sumberdaya yang tersedia di Pulau
Lombok untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup didalamnya sehingga
pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya ruang didalamnya dapat dilakukan secara
maksimal. Hasil penilaian tapak ekologi di Pulau Lombok dapat dijadikan sebagai
acuan dalam menyusun arahan pemanfaatan ruang. Bagan alir kerangka pemikiran
dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian meliputi; (1) Lingkup wilayah adalah seluruh wilayah
administratif Pulau Lombok yang terdiri dari 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) Kota
yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara,
dan Kota Mataram. (2) Lingkup kegiatan meliputi kegiatan (a) menghitung nilai
tapak ekologi Pulau Lombok berdasarkan pendekatan Global Footprint Network,
Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah. (b) Menilai pendekatan yang
baik untuk menggambarkan kondisi tapak ekologi Pulau Lombok saat ini, (c)
Menyusun arahan pemanfaatan ruang berdasarkan penilaian tapak ekologi yang ada
di Pulau Lombok.
Kajian penelitian menitikberatkan pada pembahasan evaluasi tapak ekologi
untuk arahan pemanfaatan ruang di Pulau Lombok. Definisi tapak ekologi mengacu
kepada definisi Wackernagel dan Rees (1996) yang mengemukakan bahwa tapak
ekologi adalah daya dukung yang dimiliki suatu wilayah sebagai luas lahan dan air
dalam berbagai katagori yang diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam
wilayah tersebut, antara lain untuk menyediakan secara kontinyu seluruh
sumberdaya yang dikonsumsi saat ini dan menyediakan kemampuan secara
kontinyu dalam menyerap seluruh limbah yang dihasilkan.
Dalam penelitian ini perhitungan tapak ekologi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan permintaan (demand) dan pasokan (supply). Perhitungan
demand dan supply pada pendekatan GFN (Global Footprint Network) diadopsi
dari model perhitungan Wackernagel dan Rees (1996). Permintaan Demand dan
Supply berdasarkan kesesuaian lahan dihitung menggunakan perhitungan luas
kesesuaian lahan, sedangkan pendekatan RTRW dihitung dengan rumus yang
diadopsi dari rumus daya dukung dan daya tampung wilayah. Setelah dilakukan
perhitungan kemudian dilakukan evaluasi serta penilaian terhadap pendekatan yang
digunakan untuk mendapatkan pendekatan mana yang baik dalam menggambarkan
kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok, kemudian dirumuskan suatu arahan
memanfaatan ruang untuk dapat direkomendasikan kepada pemangku kebijakan
pada saat pengambilan keputusan yang berkenaan dengan pengaturan dan
pemanfaatan ruang.
6
Keperluan, Kepentingan, serta keinginan
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya
serta ruang
Konversi Lahan
Pertumbuhan
Penduduk
Alih Fungsi Lahan
Ketersediaan dan Keberlanjutan
Sumberdaya dan Ruang
Analisis Tapak Ekologi:
Pendekatan Permintaan (Demand) dan
Pasokan (Supply)
Global Footprint Network,
Kesesuaian lahan,
RTRW
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Keterangan:
Hubungan sebab akibat
Hubungan saling mempengaruhi
Daya dukung
lahan sempit
7
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tapak Ekologi
Untuk mempertahankan hidup manusia akan selalu berupaya memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Dalam upaya pemenuhan manusia memenuhi
kebutuhan hidup mempergunakan segala sumberdaya alam yang tersedia di bumi
dengan kata lain manusia sangat bergantung kepada alam. Segala ketergantungan
manusia ini menimbulkan suatu pertanyaan besar tentang mampukah alam
menyediakan segala kebutuhan manusia sampai pada masa yang akan datang.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperkenalkanlah suatu pendekatan yang
dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar daya dukung dan daya tampung
yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah.
Pendekatan ini diperkenalkan sebagai perhitungan tapak ekologi atau sering disebut
Ecological footprint.
Konsep tapak ekologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Mathis
Wackernagel dan William Rees dari Universitas Columbia di Inggris pada tahun
1995 (Wackernagel dan Rees 1996). Tapak ekologi ini merupakan sejumlah area
yang terdiri dari lahan dan air yang produktif secara biologi yang dibutuhkan oleh
individu, populasi atau aktivitas tertentu untuk memproduksi bahan konsumsi dan
untuk mengolah limbahnya dengan teknologi dan management. Tapak ekologi
sering dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) karena yang menjadi ruang
lingkup dalam tapak ekologi individu mencakup lahan atau laut dari seluruh dunia.
Analisis tapak ekologi berawal dari analisis daya dukung penduduk yang ditentukan di
dalam suatu wilayah tertentu. Analisis tapak ekologi telah digunakan untuk
mendefinisikan daya dukung ekologi untuk destinasi turis.
Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan tapak ekologi
membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996). Konsep tapak ekologi ini
merupakan salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan
pemanfaatan dengan melakukan penilaian terhadap sumberdaya alam. Dalam
analisis tapak ekologi tidak hanya dihitung seberapa besar jumlah tapak ekologi
(EF) akan tetapi dihitung juga jumlah biokapasitas (BC) yang tersedia di alam.
Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologi/tapak ekologi dimana
menurut Wackernagel dan Rees pada tahun 1995 mencoba menterjemahkan tingkat
kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam kedalam luasan area yang produktif
sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan
akibat pemanfaatan sumberdaya (Ma’sitasari 2009).
Wackernagel dan Rees (1996) mendefinisikan bahwa tapak ekologi adalah
daya dukung yang dimiliki suatu wilayah sebagai luas lahan dan air dalam berbagai
katagori yang diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam wilayah tersebut,
antara lain untuk menyediakan secara kontinyu seluruh sumberdaya yang
dikonsumsi saat ini dan menyediakan kemampuan secara kontinyu dalam menyerap
seluruh limbah yang dihasilkan. Lahan tersebut saat ini berada di muka bumi,
walaupun sebagian dapat dipinjam dari masa lalu (misalnya: energi fosil) dan
sebagian lagi dialokasikan pada masa yang akan datang yakni dalam bentuk
8
kontaminasi, pohon yang pertumbuhannya terganggu karena peningkatan radiasi
ultraviolet dan degradasi lahan (Ewing et al. 2010).
Menurut Muta’ali (2012) Tapak ekologi merupakan suatu alat manajemen
sumberdaya yang dapat mengukur seberapa banyak tanah tanah dan air yang
dibutuhkan oleh populasi manusia untuk menghasilkan sumberdaya yang
dikonsumsinya serta untuk menyerap limbah sehubungan dengan penggunaan
teknologi. Tapak ekologi mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan
metrik, yaitu areal global biokapasitas dengan menbandingkan tapak ekologi
dengan ketersediaan kapasitas biologis bumi (biokapasitas).
Pendapat lain mengatakan bahwa Ecological Footprint is a measure of how
much area of biologically productive land and water an individual, population or
activity requires to produce all the resources it consumes and to absorb the waste
it generates, using prevailing technology and resource management practices. The
Ecological Footprint is usually measured in global hectares. Because trade is
global, an individual or country's Footprint includes land or sea from all over the
world. Ecological Footprint is often referred to in short form as Footprint.
"Ecological Footprint" and "Footprint" are proper nouns and thus should always
be capitalized (Monfreda et al. 2004).
Secara garis besar dikatakan bahwa tapak ekologi merupakan perhitungan
seberapa banyak/luas lahan dan air baik itu individu, masyarakat atau segala
aktivitas yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya yang dikonsumsi dan
atau untukmenyerap/menahan sampah secara umum menggunakan teknologi yang
ada dan pengaturan sumberdaya. Tapak ekologi ini diperhitungkan menggunakan
global hektar (gha). Karena perdagangan dilakukan secara global, tapak individual
atau tapak suatu negara mencangkup daratan dan lautan. Tapak ekologi dan tapak
yang lainnya, semuanya selalu ditulis dengan huruf kapital GHA.
Dalam perhitungan nilai tapak ekologi, menghitung nilai tapak ekologi
menggunakan metodologi yang didasarkan pada asumsi: 1) Semua sumber daya
yang dikonsumsi dan limbah (termasuk emisi) yang dihasilkan dapat ditelusuri asal
muasalnya (tracked), 2) Sebagian besar aliran sumber daya dan buangan dapat
diukur dengan menggunakan luasan bioproduktif untuk menjaga pasokan sumber
daya dan absorpsi buangan, 3) Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi
menjadi satu ukuran tunggal, yaitu hektar global (gha). Setiap hektar global pada
satu tahun mencerminkan bioproduktif yang sama dan semua dapat dijumlahkan,
4) Permintaan terhadap sumber daya alam disebut tapak ekologi (ecological
footprint/demand) dan dapat dibandingkan dengan biokapasitas (biocapacity/
supply ) dengan satuan hektar global (gha), 5) Permintaan manusia, dinyatakan
sebagai tapak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam,
daya dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global
hektar, 6) Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika
permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas regeneratif ekosistem. Situasi ini,
dimana tapak ekologi melebihi daya dukung lingkungan yang tersedia, dikenal
sebagai overshoot (Wackernagel et al. 2005).
Dari pemaparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tapak ekologi
adalah suatu alat bantu untuk dapat dipergunakan dalam mengukur penggunaan
sumberdaya dan kemampuan bumi dihubungkan dengan tingkah laku dan gaya
hidup manusia. Alat ukur ini berguna untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi
yang dilakukan manusia masih berada dalam batas daya dukung lingkungan
9
ataukah sudah melewati batas tersebut. Atau dengan kata lain apakah masih dalam
batas surplus atau sudah dalam kondisi defisit atau penurunan kualitas ekologi.
Metode Perhitungan Tapak Ekologi
Menurut Ewing et al. (2010) Tapak ekologi menggambarkan kebutuhan
barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dari alam yang dicerminkan dalam
konsumsi bersih (net consumption) dari produk‐produk yang dikategorikan seperti
produk pertanian, produk peternakan, produk kehutanan, produk perikanan,
keperluan ruang dan lahan, serta konsumsi energi. Konsumsi bersih merupakan
konsumsi aktual yang dipengaruhi oleh kegiatan perdagangan (ekspor‐impor).
Biokapasitas adalah kapasitas ekosistem untuk menghasilkan material biologi
yang berguna dan kapasitas untuk menyerap buangan material yang dihasilkan oleh
kegiatan manusia dengan menggunakan cara pengelolaan dan teknologi yang
dikuasai saat ini. Seperti halnya tapak ekologi, biokapasitas terdiri dari 6 (enam)
kategori lahan, yaitu lahan pertanian, lahan peternakan, lahan kehutanan, lahan
perikanan, lahan terbangun dan lahan penyerap karbon. Pada metoda perhitungan
ini, nilai tapak ekologi dan biokapasitas lahan terbangun adalah sama. Jumlah
biokapasitas adalah jumlah dari semua daerah bioproduktif dinyatakan dalam
hektar global dengan mengalikan luas areal oleh faktor kesetaraan yang sesuai dan
faktor yield yang khusus untuk negara/wilayah. Kapasitas biologis dapat
dibandingkan dengan kerusakan ekologi, yang memberikan estimasi sumber daya
ekologi yang dibutuhkan oleh penduduk setempat.
Perhitungan Tapak Ekologi Nasional bertujuan untuk menghitung kebutuhan
manusia akan sumberdaya alam di bumi yang meliputi enam jenis penggunaan
lahan utama (lahan pertanian, tanah berumput, lahan hutan, tapak karbon, lahan
perikanan, dan lahan terbangun). Dengan pengecualian lahan terbangun dan hutan
untuk serapan karbondioksida (CO2). Tapak ekologi dari masing-masing jenis
penggunaan lahan utama dihitung dengan menjumlahkan kontribusi dari variasi
produk tertentu. Lahan terbangun mencerminkan penyesuaian bioproduktif
terhadap infrastruktur dan pembangkit listrik tenaga air. lahan hutan untuk
penyerapan CO2 mencerminkan penyerapan limbah dari rata-rata per hektar hutan
dunia yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 yang disebabkan manusia,
setelah mempertimbangkan kapasitas penyerapan laut.
Perhitungan tapak ekologi menggabungkan permintaan sumber daya ekologi
dimanapun berada dan menyajikan hasilnya sebagai rata-rata global yang
diperlukan untuk mendukung aktivitas manusia tertentu. Kuantitas ini dinyatakan
dalam satuan hektar global, didefinisikan sebagai hektar area bioproduktif dengan
rata-rata bioproduktif dunia. Dengan memberikan gambaran secara umum,
biokapasitas dan tapak ekologi bisa langsung membandingkan seluruh jenis
penggunaan lahan disetiap negara. Permintaan untuk produksi sumberdaya dan
asimilasi limbah yang diterjemahkan ke dalam hektar global dibagi dengan jumlah
total sumber daya yang dikonsumsi per hektar, atau membagi limbah yang
keluarkan oleh daya serap per hektar.
10
Komponen Perhitungan Tapak Ekologi
Dalam melakukan perhitungan dan analisis tapak ekologi wilayah Indonesia
digunakan metode yang telah dikembangkan oleh Global Footprint Network
sebagaimana diuraikan dalam Guidebook to the National Footprint Accounts 2008
luasan bioproduktif diartikan sebagai semua luasan lahan yang berkontribusi
terhadap biokapasitas yang memberikan pasokan konsentrasi biomassa secara
ekonomis. Luasan bioproduktif adalah luasan daratan dan perairan (perairan
daratan dan perairan laut) yang mendukung proses fotosintesis secara signifikan
kemudian mengakumulasi biomasa yang dimanfaatkan oleh manusia. Dalam
perhitungan tapak ekologi (EF) dan perhitungan biokapasitas (BC), digunakan 2
(dua) faktor konversi (DitJen PenTar 2010).
Menurut Bala dan Hossain (2013) Perhitungan tapak ekologi didasarkan pada
data rata-rata konsumsi, dan ini diubah menjadi penggunaan lahan produktif. Tanah
bioproduktif dibagi menjadi enam kategori sesuai dengan klasifikasi World
Conservation Union: (1) lahan pertanian, (2) lahan penggembalaan, (3) hutan, (4)
fishing ground, (5) build-up land dan (6) lahan energi. Tapak ekologi total adalah
jumlah dari tapak ekologi dari semua kategori lahan yang memberikan kebutuhan
eksklusif pada biosfer.
Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Menurut Ewing et al. (2010) dalam Ecological Footprint Atlas 2010
mengungkapkan bahwa nilai Tapak Ekologi dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
EF =
�������
�������
Dimana D adalah permintaan tahunan produk dan Y adalah hasil tahunan dari
produk yang sama. Yield dinyatakan dalam hektar global. hektar global dihitung
dan dijelaskan lebih rinci setelah berbagai jenis daerah diketahui. Tapi pada
dasarnya, hektar global diperkirakan dibantu dengan dua faktor yaitu; faktor yield
(yang membandingkan hasil rata-rata nasional per hektar dengan rata-rata yield
dunia dikategori lahan yang sama) dan faktor equivalence (yang
menyamakan/mensetarakan produktivitas relatif antara berbagai lahan dan tipe
wilayah laut ).
Oleh karena itu, rumus dari Tapak Ekologi menjadi:
EF =
�
��
. YF. EQF
Dimana P adalah jumlah produk dipanen atau emisi limbah (sama dengan
DANNUAL di atas), YN adalah hasil rata-rata nasional untuk P, serta YF dan EQF
adalah yield faktor dan faktor equivalence, masing-masing, untuk negara dan tipe
penggunaan lahan. Faktor yield adalah rasio nasional untuk hasil-rata rata dunia.
Hal ini dihitung sebagai ketersediaan tahunan produk yang dapat digunakan dan
bervariasi di setiap negara dan setiap tahun. Faktor equivalence diartikan
11
ketersediaan area atau kebutuhan dari penggunaan lahan tipe tertentu (mis rata-rata
lahan pertanian dunia, lahan penggembalaan dan lainnya) menjadi unit rata-rata
daerah produktif biologis dunia: hektar global dan bervariasi menurut jenis
penggunaan lahan dan setiap tahun.
Permintaan tahunan untuk produk yang diproduksi atau produk turunan
(misalnya; tepung atau pulp/bubur kayu), diubah menjadi setara produk primer
(misalnya; gandum atau kayu bulat) melalui penggunaan tingkat ekstraksi. jumlah
tersebut setara produk primer kemudian diartikan sebagai tapak ekologi. tapak
ekologi juga mewujudkan energi yang dibutuhkan untuk proses manufaktur.
Perhitungan tapak ekologi mengkalkulasikan tapak ekologi konsumsi
masyarakata/populasi dari sejumlah pandangan. Secara umum disebut dengan tapak
ekologi. Tapak ekologi konsumsi oleh negara memperkirakan kebutuhan
biokapasitas dengan cara menghitung jumlah semua konsumsi dari semua peduduk
di negara tersebut. Hal ini termasuk konsumsi rumah tangga maupun konsumsi
kolektif seperti sekolah, jalan-jalan, pemadam kebakaran dan lainnya.
Sebaliknya, tapak ekologi produksi primer sebuah negara adalah jumlah tapak
ekologi untuk semua sumber daya yang dipanen/diambil dan semua sampah yang
dihasilkan di dalam batas geografis negara. Hal ini termasuk semua area di dalam
kebutuhan negara untuk mendukung kegiatan panen produk primer (lahan
pertanian, lahan berumput, lahan hutan, dan area perikanan), infrastruktur negara
dan PLTN (lahan terbangun), dan area yang dibutuhkan untuk menyerap emisi
karbondioksida dari bahan bakar fosil yang dihasilkan dalan negara tersebut
(Carbon Footprint).
Perbedaan antara tapak ekologi produksi dan konsumsi adalah perdagangan,
ditunjukkan oleh persamaan berikut:
EFC = EFP + EFI - EFE
Dimana EFC adalah Tapak Ekologi Konsumsi, EFP adalah Tapak Ekologi
Produksi, EFI dan EFE merupakan tapak aliran ekspor dan impor. Untuk mengetahui
nilai ekspor dan impor, satu yang perlu diketahui adalah jumlah perdagangan
keduanya meskipun sumber daya tambahan (termasuk emisi karbondioksida) pada
semua kategori. Tapak tambahan diukur sebagai jumlah hektar global yang
dibutuhkan untuk membuat satu ton per tahun produk tambahan.
Tapak ekologi seluruh negara dan tapak tambahan perdagangan dihitung
dengan mengasumsikan rata-rata intensitas tapak dari semua produk. Menggunakan
rata-rata efisiensi dunia untuk semua produk perdagangan dan perkiraannya
tingginya tapak ekspor negara-negara dengan efisiensi produk yang lebih tinggi dari
rata-rata. Pada gilirannya akan terlalu tinggi perkiraannya untuk tapak konsumsi
negara tersebut. Negara dengan perubahan efisiensinya dibawah rata-rata untuk
produk sekunder sesuai dengan perkiraan yang terlalu tinggi pada tapak tambahan
hasil ekspor, adalah sebuah tapak konsumsi yang dilebihkan.
Intensitas tapak dari berbagai produk primer adalah dengan definisi yang
sama dimana saja di dunia sejak hal ini dinyatakan dengan hektar global.
Bagaimanapun tapak tambahan dari produk sekunder akan tergantung pada
efisiensi transformasi (rasion ekstraksi) dan hal ini bervariasi diantara negaranegara yang ada di dunia.
12
Perhitungan Nilai Biokapasitas
Ewing et al. (2010) menjelaskan bahwa perhitungan biokapasitas dimulai
dengan jumlah total dari ketersediaan lahan bioproduktif. Bioproduktif
menunjukkan tanah dan air yang secara signifikan mendukung aktifitas fotosintesis
dan akumulasi biomassa, mengenyampingkan area tandus yang rendah.
Biokapasitas adalah perhitungan agregat ketersediaan lahan, dititik beratkan pada
produktivitas lahan tersebut. Hal ini menunjukkan kemampuan biosfer untuk
menghasilkan tanaman, rumput, produk kayu (hutan) dan ikan, maupun
pengambilan karbondioksida di hutan. Hal ini juga termasuk berapa banyak
kapasitas regeneratifnya ditempati oleh infrastuktur (lahan terbangun).
Kesimpulannya bahwa perhitungan nilai biokapasitas adalah menghitung
kemampuan ketersedian area daratan dan perairan sebagai Ecological Service.
Biokapasitas Sebuah Negara untuk semua penggunaan lahan dihitung sebagai:
BC = A.YF.EQF
Dimana BC adalah Biokapasitas, A adalah ketersediaan area untuk tipe
penggunaan lahan tambahan, YF dan EQF adalah Yield factor dan equivalence
factor. Yield factor adalah rasio suatu negara terhadap rata-rata yield dunia.
Dihitung sebagai ketersedian tahunan dari produk yang digunakan dan variasinya
oleh negara dan setiap tahun. Equivalence factor diartikan sebagai area permintaan
dan ketersediaan dari tipe penggunaan lahan tertentu(misalya, rata-rata lahan
pertanian dunia, area penggembalaan dan sebagainya) menjadi unit-unit dari ratarata area produktif secara biologis (global hektar) dan variasinya oleh tipe
penggunaan lahan dan setiap tahun.
Faktor Penyama (Ekuivalensi/Equivalence Factor)
Merupakan faktor yang digunakan untuk mengkombinasikan tapak ekologi
dari lahan yang berbeda. Equivalence Factor adalah jumlah hektar global yang
terkandung dalam rata-rata hektar lahan pertanian, lahan penumpukan, hutan,
padang rumput atau perikanan. Bagian penting dari analisis ecological footprint
suatu wilayah atau zona diwakili oleh perhitungan kapasitas biologisnya
(biokapasitas) yang memperhitungkan permukaan tanah yang produktif secara
ekologis yang terletak di dalam wilayah yang diteliti.
Agar ini dapat dikombinasikan maka dibutuhkan koefisien untuk
menyamakannya. Dengan kata lain, ini dipakai untuk mengkonversi satuan lokal
lahan tertentu menjadi satuan yang universal, yaitu hektar global (gha). Faktor
penyama telah ditentukan oleh Global Footprint Network (GFN) untuk 6 (enam)
kategori lahan, yaitu: lahan pertanian (2,1), lahan perikanan (0,4), lahan peternakan
(0,5), lahan kehutanan (1,4), lahan terbangun (2,2) dan lahan penyerapan
karbon/lahan yang diperlukan untuk mengabsorsi CO2 yang bersumber dari bahan
bakar fosil (1,4) (Ewing et al. 2010).
Faktor Panen (Yield Factor)
Faktor panen (yield factor) menggambarkan perbandingan antara luasan
lahan bioproduktif di suatu wilayah dengan luasan lahan bioproduktif yang sama di
13
wilayah yang lain untuk setiap komoditas yang sama. Faktor ini juga
menggambarkan kemampuan suatu populasi untuk menyertakan penguasaan
teknologi dan manajemen dalam pengelolaan lahan. Setiap wilayah memiliki faktor
panen masing‐masing dan dihitung per tahun.
Dalam metode yang dikembangkan oleh GFN, demand digambarkan dalam
bentuk hasil akhir perhitungan jejak ekologi (Ecological Footprint) pada suatu
wilayah, sedangkan supply digambarkan dalam bentuk biokapasitasnya
(biocapacity). Kondisi yang diharapkan adalah nilai total demand/tapak ekologinya
lebih rendah dibandingkan nilai supply/biokapasitasnya guna menjamin
keberkelanjutan pemanfaatan sumber daya alam (DitJenPenTar 2010).
Defisit Ekologi/Ecological Deficit (ED)
Nilai defisit ekologi menunjukkan apakah sebuah wilayah telah melampaui
daya dukungnya atau belum. Sebuah wilayah dikatakan telah melampaui daya
dukungnya apabila nilai telapak ekologinya lebih besar dibandingkan dengan nilai
biokapasitasnya. Nilai telapak ekologi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
biokapasitas menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut telah
menggunakan sumber daya alam lebih besar dari kapasitas alam untuk
menyediakannya. Status ekologi dinyatakan sebagai perbedaan antara biokapasitas
dan tapak ekologi. Status negatif ekologi (BC
RUANG PULAU LOMBOK
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI
A156130071
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisi Tapak Ekologi
untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Baiq Ahda Razula Apriyeni
NRP A156130071
RINGKASAN
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI. Analisis Tapak Ekologi untuk Arahan
Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO
dan SETIA HADI.
Tapak ekologi merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam
mengelola sumberdaya alam. Pemanfaatan tapak ekologi sebagai instrument
manajemen sumberdaya merupakan bagian dari pada upaya mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menghitung nilai
tapak ekologi di Pulau Lombok melalui pendekatan Supply (pasokan) dan Demand
(permintaan) berdasarkan GFN (Global Footprint Network), Kesesuaian Lahan dan
Rencana Tata Ruang Wilayah, 2) Mengevaluasi dan menilai ketiga pendekatan
perhitungan nilai tapak ekologi, 3) Merumuskan arahan pemanfaatan ruang
berdasarkan hasil perhitungan nilai tapak ekologi.
Untuk mencapai tujuan dilakukan perhitungan terhadap tiga pendekatan yaitu
Global Footprint Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Setelah dilakukan perhitungan kemudian dilakukan evaluasi serta penilaian
terhadap ketiga pendekatan yang akan digunakan untuk menggambarkan kondisi
tapak ekologi di Pulau Lombok saat ini dan masa yang akan datang. Setelah itu
dengan menggunakan hasil perhitungan dan analisis pendekatan yang terpilih
kemudian dilakukan penyusunan arahan pemanfaatan ruang di Pulau Lombok.
Berdasarkan hasil perhitungan tapak ekologi dan biokapsitas dengan tiga
pendekatan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa Pulau Lombok dikategorikan ke
dalam tiga kategori wilayah defisit ekologi yakni: wilayah surplus (berdasarkan
pendekatan GFN), wilayah surplus (berdasarkan pendekatan kesesuaian lahan), dan
wilayah defisit (berdasarkan pendekatan terhadap RTRW). Dari tiga pendekatan
tapak ekologi yang digunakan, pendekatan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
paling riil untuk menggambarkan kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok. Adapun
arahan pemanfaatan ruang berdasarkan tapak ekologi di Pulau Lombok adalah
sebagai berikut: 1) Lahan pertanian perlu ditambahkan lahan seluas 121.305 ha, 2)
Lahan peternakan dikurangi luasnya sebesar 181.031 ha, 3) Lahan perikanan perlu
ditambahkan lahan seluas 248.429 ha, 4) Lahan hutan perlu penambahan luasan
sebesar 151.439 ha, 5) lahan terbangun perlu ditambahkan lahan seluas 159.132 ha.
6) Lahan yang berfungsi sebagai penyerap karbon perlu ditambahkan lahan seluas
14.024 ha.
Kata Kunci: tapak ekologi, biokapasitas, defisit ekologi, arahan pemanfaatan ruang.
SUMMARY
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI. Ecological Footprint Analysis for Spatial Use
Directive of Lombok Island. Advisors: KUKUH MURTILAKSONO and SETIA
HADI.
Ecological footprint is one of the instruments used in managing natural
resources. The use of ecological footprint as a resource management instrument is
a part of the efforts to achieve sustainable development. This study aims to 1)
Calculate the ecological footprint in Lombok Island through Supply and Demand
approach by GFN (Global Footprint Network), Land Suitability and Spatial
Planning, 2) Evaluate and assess the three approaches to calculate the value of the
ecological footprint, 3) Formulate the direction of spatial use based on the
calculation of the ecological footprint.
To achieve the purpose, the calculation was done to the three approaches,
namely Global Footprint Network, Land Suitability and Spatial Planning. After
calculation then performed an evaluation and assessment of the three approaches
that was applied to describe the condition of the ecological footprint in Lombok
Island now and in the future. Furthermore, by using the calculation and analysis of
the approach chosen, the preparation of spatial use directives was performed on
Lombok Island.
Based on the calculation of the ecological footprint and biocapasity by three
approaches found that the results showed Lombok Island was categorized into three
categories deficit ecological area: surplus territory (based GFN approach), surplus
territory (based on land suitability approach), and deficit area (based on Spatial
Planning approach). Of the three approaches of ecological footprint used, Spatial
Planning approach was the most realistic to describe the condition of the ecological
footprint in Lombok Island. As for the direction of spatial use based on the
ecological footprint in Lombok Island was as follows: 1) Agricultural land needs
an additional area of 121,305 ha, 2) Farm land area is reduced by 181,031 ha, 3)
Fishery land needs an additional area of 248,429 ha, 4) Forest land needs an
additional area of 151,439 ha, 5) Developed land needs an additional area of
159,132 ha, and 6) Land which serve as an sequestration needs an additional area
of 14,024 ha.
Keyword : ecological footprint, biocapasity, ecological deficit, spatial use directive
© Hak Cipta
Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS TAPAK EKOLOGI UNTUK ARAHAN PEMANFAATAN
RUANG PULAU LOMBOK
BAIQ AHDA RAZULA APRIYENI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencenaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
:
Dr Ir Widiatmaka DEA
Judul Tesis : Analisis Tapak Ekologi untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau
Lombok
Nama
: Baiq Ahda Razula Apriyeni
NRP
: A156130071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS.
Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, MS.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Tanggal Ujian: 17 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillaahirrobbil’aalamin, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal penelitian untuk tugas akhir tesis yang berjudul “Analisis
Tapak Ekologi untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok”. Penelitian ini
akan dilaksanakan pada bulan Juni 2015 - Agustus 2015 di Pulau Lombok.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS. dan Dr.Ir. Setia Hadi, MS. (Alm) selaku
komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang
diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi MAgr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah, dan Drs. Khursatul Munibah MSc selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah.
3. DIKTI serta Kementrian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi bagian
Kualifikasi Sumber Daya Manusia atas pembiayaan melalui beasiswa
BPPDN selama penulis menempuh studi.
4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
5. Bapak dan Ibu staff yang ada di instansi pemerintahan Provinsi Nusa
Tenggara Barat atas kerjasama dan bantuannya kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitiannya.
6. Mamiq, Mamaq dan adik-adik tercinta atas semua dukungan dan kasih
sayangnya, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir dari
seluruh keluarga.
7. Ungkapan terima kasih yang teristimewa kepada suami dan anak untuk segala
doa, segenap dukungan dan kasih sayang serta pengorbanan yang selama ini
telah diberikan.
8. Semua rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
angkatan 2013 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan Tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua kalangan dan Semoga
Allah SWT memberikan limpahan RahmatNya serta membalas kebaikan semua
pihak yang telah membantu penulis, baik yang disebutkan maupun yang tidak dapat
disebutkan.
Bogor, Agustus 2016
Baiq Ahda Razula Apriyeni
1
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vi
vii
viii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tapak Ekologi
Metode Perhitungan Tapak Ekologi
Komponen Perhitungan Tapak Ekologi
Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Perhitungan Nilai Biokapasitas
Faktor Penyama (Equivalen Factor)
Faktor Panen (Yield Factor)
Defisit Ekologi/Ecological Footprint Deficit (ED)
Penggunaan Lahan Dan Konversi Lahan
Ruang dan Pemanfaatan Ruang
7
7
9
10
10
12
12
12
13
13
15
3
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis Data dan Sumber Data
Analisis Data
Tahap Perhitungan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan GFN (Global Footprint
Network)
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Kesesuaian Lahan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
Defisit Ekologi/Ecological Deficit (ED)
Tahap Pemilihan Pendekatan
Tahap Perumusan Arahan Pemanfaatan
18
18
18
19
19
19
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Wilayah Administratif
Kondisi Umum Wilayah
Geologi
Litologi
Topografi
Iklim
28
28
28
28
30
31
31
4
1
1
3
4
4
4
5
23
24
25
26
26
2
Keragaman Sumberdaya Alam
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Aksesibilitas
5
6
31
33
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Permintaan dan Pasokan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Global Footprint Network (GFN)
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Kesesuaian Lahan
Permintaan dan Pasokan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
Penilaian Tiga Pendekatan Perhitungan Tapak Ekologi Pulau Lombok
Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2035 menggunakan
Pendekatan RTRW
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
35
35
35
39
41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
51
51
51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
43
45
47
52
56
65
3
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nilai Faktor Penyama dan Faktor Panen berdasarkan GFN
Kebutuhan Lahan perorang pertahun berdasarkan kriteria di Indonesia
Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan data serta teknis analisis
Perhitungan Permintaan (demand) Pulau Lombok berdasarkan Global
Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (supply) Pulau Lombok berdasarkan Global
Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Global Footprint Network (GFN) Tahun 2015
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
Kesesuaian Lahan Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Kesesuaian
Lahan Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
Kesesuaian Lahan di Pulau Lombok Tahun 2015
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Keseimbangan Ekologi Kategori Lahan Pulau Lombok berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2015
Perbandingan Nilai Tapak Ekologi Pulau Lombok Tahun 2015
berdasarkan Ketiga Pendekatan
Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2015 dan 2035
Perhitungan Permintaan (Demand) Pulau Lombok berdasarkan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2035
Perhitungan Pasokan (Supply) Pulau Lombok berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2035
Arahan Keseimbangan Ekologi Pulau Lombok Tahun 2035
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
22
25
27
35
36
37
39
39
40
41
41
42
43
45
48
48
48
49
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Kerangka Pikir Penelitian
Peta Wilayah Penelitian
Stuktur Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Stuktur Perhitungan Nilai Biokapasitas
Peta Tata Letak Wilayah Kajian
Peta Formasi Geologi Pulau Lombok
Statigrafi Regional Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat
Topografi Pulau Lombok
6
18
20
21
28
29
30
31
4
9
Lahan pertanian yang terkonversi menjadi lahan terbangun dan industri (a)
Lombok Barat, (b) Kota Mataram.
10 Kegiatan yang dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di (a) dan
(b) di Kecamatan Peringgabaya, (c) Kecamatan Ijobalit, (d) Kecamatan
Suela.
37
43
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Skema struktur perhitungan nilai tapak eklogi menurut Global
Footpfint Network
Skema struktur perhitungan nilai biokapasitas menurut Global
Footpfint Network
Contoh perhitungan yield factor
Kelas kesesuaian lahan di Pulau Lombok
Peta pola ruang Pulau Lombok
Contoh perhitungan kebutuhan lahan
57
57
58
60
63
63
5
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Lombok merupakan salah satu pulau dari dua pulau besar yang terdapat
di provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri dari empat kabupaten dan satu kotamadya.
Luasnya mencapai lebih kurang 4.738,14 km2. Pertumbuhan penduduk di Pulau
Lombok menunjukkan suatu peningkatan, pada tahun 2013 jumlah penduduknya
berjumlah 3.228.654 jiwa, pada tahun 2015 meningkat menjadi 3.352.988 Jiwa
(BPS NTB 2015). Diperkirakan pada tahun 2035 jumlah penduduk Pulau Lombok
terus meningkat menjadi 4.573.319 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,56 persen setiap tahunnya dalam kurun waktu 20 tahun mendatang jumlah
penduduknya bertambah sebesar 1.222.331 jiwa. Tingginya pertumbuhan
penduduk di Pulau Lombok berbanding terbalik dengan luas wilayahnya yang
sempit.
Peningkatan jumlah penduduk dapat mempengaruhi kebutuhan akan ruang
untuk berbagai aktivitas masyarakat serta adanya peningkatan jumlah konsumsi
sumberdaya secara berlebihan. Hal ini dapat memicu terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian. Pertambahan jumlah penduduk akan
mempengaruhi luas lahan pertanian dan cenderung mengikuti model linier
(Munibah et al. 2009). Setiap tahunnya lahan pertanian seperti sawah luasannya
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya
perkembangan ekonomi. Hal ini akan dapat mempengaruhi jumlah produksi padi
dimasa yang akan datang. Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat
sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan
salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan 2005). Meskipun saat ini Pulau
Lombok diperkirakan surplus beras sekitar 155.707 ton dengan jumlah produksi
5.884.353 ton/hektar dan rata-rata konsumsi beras meningkat sebesar 127,8 kg per
kapita per tahun dibandingkan sebelumnya sebesar 122 kg/kapita/tahun, namun jika
dibarengi dengan tingginya laju konversi setiap tahun dan tidak ada upaya
pengendalian maka dapat mengancam keberlanjutan kemandirian pangan di Pulau
Lombok.
Berdasarkan perhitungan data yang tersedia, dengan laju konversi sebesar 4,5
persen per tahun diprediksikan hingga tahun 2024 Pulau lombok masih akan
mengalami surplus beras namun di tahun 2025 dengan jumlah penduduk 3.916.758
jiwa akan mengalami defisit sebesar -11.608 ton/kapita/tahun, hingga pada tahun
2035 jumlah penduduk meningkat menjadi 4.575.319 jiwa dan akan mengalami
defisit hingga mencapai -168.655 ton/kapita/tahun. Artinya 20 tahun yang akan
datang jika laju konversi terus meningkat maka di perkirakan pasokan/supply
sumberdaya yang ada di Pulau Lombok tidak cukup dan bahkan mengalami defisit
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sumberdaya penduduknya. Kabupaten yang
akan mengalami konversi paling signifikan diantara 5 kabupaten yang ada di Pulau
Lombok adalah Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah. Sedangkan di
Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara masih relatif aman karena didukung
juga oleh program cetak sawah baru oleh pemerintah.
Sebagai ekosistem pulau kecil, Pulau Lombok memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, namun disisi lain memiliki resiko lingkungan yang tinggi
2
serta adanya keterbatasan daya dukung lahan, sehingga sangat rentan terhadap
segala bentuk perubahan baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia.
Tantangan utama dalam penyediaan sumberdaya saat ini dimasa yang akan datang
adalah ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of resources), baik
luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya (conflict of interest)
(Pasandaran 2006).
Disisi lain terdapat pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang cenderung tidak
sesuai dengan peruntukan dibarengi dengan alih fungsi lahan pada beberapa jenis
penggunaan ruang. Penggunaan ruang yang tak terencana akan menyebabkan pola
penggunaan ruang yang kacau, tak searah dengan penyediaan sarana lain seperti
jalan, telekomunikasi, listrik, dan air. Ketidakselaran tersebut juga memperbesar
peluang kerusakan lingkungan dan efisiensi penggunaan sumberdaya yang tidak
efisien. Rencana tata ruang semestinya dijadikan acuan oleh semua pihak autoritas
pemberi izin penggunaan ruang maupun para pengguna ruang sehingga penggunaan
ruang menjadi tidak optimal dan tidak sesuai. Karena luas lahan relatif tetap,
masyarakat cenderung mengeksploitasi lahan yang ada dan mengakibatkan
penambangan lahan yang dianggap sebagai penyebab utama degradasi sumberdaya
alam, seperti erosi lahan, kehancuran hutan, dan sebagainya (Ridha 2007).
Dampaknya dapat saja terjadi penurunan fungsi lahan dan penurunan produktivitas
serta jumlah produksi baik dalam bidang pertanian dan perkebunan, peternakan,
perikanan serta kehutanan hingga pada rendahnya penyerapan stok karbon oleh
berbagai jenis tutupan lahan yang ada.
Proses alih fungsi lahan memaksa sektor pertanian menggunakan lahan
dengan daya hasil lebih rendah atau marginal, seperti: lahan miring tererosi, dan
lahan tidak beririgasi. Melemahnya daya hasil sektor pertanian di pulau Lombok
ditandai oleh defisit neraca perdagangan komoditas pertanian; dimana beberapa
komoditas pertanian didatangkan dari daerah lain. Pendalaman terhadap kasus
empiris tentang degradasi lahan memberikan suatu pemahaman tentang
keterkaitannya dengan derajat intensifikasi penggunaan lahan, khususnya lahan
marginal dengan tingkat kemiringan yang curam. Sementara itu, derajat
intensifikasi penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi
seperti tingkat pertumbuhan atau tekanan penduduk, bentuk areal garap dan
keuntungan usahatani, pendapatan petani, tingkat pendidikan, dan sebagainya
(Ridha 2007).
Selain tingginya pertumbuhan penduduk, eksploitasi sumberdaya dan
tingginya laju konversi diberbagai lahan peruntukan, hal lain yang menjadi suatu
kehawatiran di masa yang akan datang adalah pemanfaatan ruang yang tidak
memperhatikan kesesuaian lahan. Perencanaan yang kurang baik menimbulkan
masalah baru dimana masalah penggunaan ruang tidak sesuai dengan peruntukan
dan rencana tata ruang wilayah Pulau Lombok. Apabila permasalahan eksploitasi
lingkungan hidup dan penggunaan ruang yang terlalu berlebihan tidak segera
diselesaikan maka tidak menutup kemungkinan bahwa di Pulau Lombok akan
mengalami krisis sumberdaya.
Kekayaan sumberdaya alam yang masih melimpah di Pulau Lombok perlu
dikelola dengan bijaksana agar tidak terjadi eksploitasi secara berlebihan. Penataan
ruang dan infrastruktur yang dibarengi dengan perencanaan yang baik perlu
dilakukan untuk pengendalian penggunaan ruang yang tidak berlebihan dan harus
disesuaikan dengan arahan rencana tata ruang yang sudah ditentukan agar tidak
3
terjadi kasus pelanggaran tata ruang. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukannya
suatu pengaturan yang tidak hanya berlaku untuk interaksi antar manusia, tetapi
juga interaksi manusia dengan lingkungan. Alam dan seluruh isinya tidak hanya
bernilai guna ekonomis untuk dieksploitasi dalam rangka memenuhi kepentingan
manusia, namun alam juga sangat bernilai bagi kelangsungan hidup manusia dan
pantas diperlakukan secara adil dan bijaksana sehingga menuntut manusia untuk
menjaga dan melindungi alam beserta segala isinya.
Pendugaan tentang berbagai kebutuhan saat ini perlu mempertimbangkan
keberlanjutan sumberdaya untuk generasi mendatang sehingga tidak terjadi
pemborosan sumberdaya yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan
hidup. Salah satu alat yang dapat digunakan dalam pendugaan kebutuhan dan
ketersediaan sumberdaya adalah dengan menggunakan pendekatan tapak ekologi.
Pendekatan tapak ekologi dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar
kemampuan suatu wilayah untuk dapat memenuhi segala kebutuhan komponen
yang ada dalam sebuah ekosistem. Pentingnya evaluasi tapak ekologi yang ada di
Pulau Lombok dapat menjadi suatu masukan untuk dapat mengetahui bagaimana
ketersedian biokapasitas yang ada untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat
maupun penduduk daerah lain, sehingga dapat menjadi acuan dalam perencanaan
pemanfaatan ruang sebagai upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai alat penunjang keputusan bagi pengambil
kebijakan dalam mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk
akan mendorong bertambahnya permintaan atas berbagai kebutuhan konsumsi
sumberdaya dan pemanfaatan ruang serta dapat mempengaruhi kualitas lingkungan
hidup. Oleh karena itu arahan pemanfatan ruang menjadi sangat penting untuk
dilakukan sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang
berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan, oleh karena itu sangat penting untuk merumuskan arahan
pemanfaatan ruang yang didasarkan pada evaluasi nilai tapak ekologi yang dimiliki,
dalam hal ini khususnya di Pulau Lombok.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, yang menjadi pertanyaan
untuk dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah status tapak ekologi di Pulau Lombok menggunakan pendekatan
Demand (permintaan) dan Supply (pasokan) berdasarkan Global Footprint
Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah?
2. Pendekatan yang manakah yang paling baik dalam menggambarkan kondisi
tapak ekologi Pulau Lombok saat ini?
3. Bagaimanakah arahan pemanfaatan ruang Pulau Lombok berdasarkan
perhitungan tapak ekologi?
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menetapkan status tapak ekologi di Pulau Lombok melalui pendekatan
Demand (permintaan) dan Supply (pasokan) lahan berdasarkan Global
Footprint Network, Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah.
2. Mengevaluasi dan menilai ketiga pendekatan perhitungan tapak ekologi.
3. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan hasil perhitungan nilai
tapak ekologi.
Manfaat Penelitian
Adanya penilaian terhadap kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok dapat
menjadi sebuah informasi tentang kondisi tapak ekologi yang menujukkan seberapa
besar pasokan (Supply) untuk memenuhi segala permintaan (Demand) sumberdaya
di Pulau Lombok dalam menyediakan segala kebutuhan makhluk hidup
didalamnya. Selain itu juga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu bahan
pertimbangan dan masukan dalam arahan pemanfaatan ruang untuk rencana
penggunaan lahan yang berkelanjutan serta dalam proses pengambilan suatu
kebijakan yang berhubungan dengan segala bentuk pengaturan ruang yang ada.
Kerangka Pemikiran
Semakin bertambahnya populasi penduduk di Pulau Lombok, menyebabkan
semakin meningkatnya kebutuhan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya. Meningkatnya kebutuhan penduduk di Pulai Lombok berbanding
terbalik dengan ketersediaan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas dengan luas
wilayahnya yang relatif sempit. Keterbatasan ketersediaan sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sering disubsitusikan dengan cara
eksploitasi sumberdaya secara intensif atau dengan cara memanfaatkan sumberdaya
yang belum dieksploitasi.
Seiring majunya perkembangan zaman dan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi masyarakat di Pulau Lombok menyebabkan interaksi manusia dengan
lingkungan tanpa disadari mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan,
namun kebutuhan, kepentingan, serta keinginan penduduk dalam memanfaatkan
sumberdaya serta ruang seringkali tidak memperhatikan aspek ketersediaan dan
keberlanjutan sumberdaya serta ruang. Akibatnya banyak terjadi konversi lahan
terutama pada lahan-lahan produktif seperti sawah serta eksploitasi sumberdaya
pada kawasan lindung yang berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan
karena perubahan fungsi lahan. Pola fikir penduduk yang ikut berkembang dan pada
akhirnya sebagian mampu menciptakan teknologi yang cangging sebagai alat
pengelolaan sumberdaya, akan tetapi penggunaan teknologi dapat menimbulkan
suatu permasalahan baru yaitu memicu terjadinya polusi dan pencemaran
lingkungan.
Oleh karena itu sangat penting dilakukan suatu penilaian terhadap kondisi
ekologi menggunakan pendekatan tapak ekologi. Kajian tapak ekologi ini mampu
5
memberikan gambaran bagaimana keberadaan sumberdaya yang tersedia di Pulau
Lombok untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup didalamnya sehingga
pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya ruang didalamnya dapat dilakukan secara
maksimal. Hasil penilaian tapak ekologi di Pulau Lombok dapat dijadikan sebagai
acuan dalam menyusun arahan pemanfaatan ruang. Bagan alir kerangka pemikiran
dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian meliputi; (1) Lingkup wilayah adalah seluruh wilayah
administratif Pulau Lombok yang terdiri dari 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) Kota
yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara,
dan Kota Mataram. (2) Lingkup kegiatan meliputi kegiatan (a) menghitung nilai
tapak ekologi Pulau Lombok berdasarkan pendekatan Global Footprint Network,
Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah. (b) Menilai pendekatan yang
baik untuk menggambarkan kondisi tapak ekologi Pulau Lombok saat ini, (c)
Menyusun arahan pemanfaatan ruang berdasarkan penilaian tapak ekologi yang ada
di Pulau Lombok.
Kajian penelitian menitikberatkan pada pembahasan evaluasi tapak ekologi
untuk arahan pemanfaatan ruang di Pulau Lombok. Definisi tapak ekologi mengacu
kepada definisi Wackernagel dan Rees (1996) yang mengemukakan bahwa tapak
ekologi adalah daya dukung yang dimiliki suatu wilayah sebagai luas lahan dan air
dalam berbagai katagori yang diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam
wilayah tersebut, antara lain untuk menyediakan secara kontinyu seluruh
sumberdaya yang dikonsumsi saat ini dan menyediakan kemampuan secara
kontinyu dalam menyerap seluruh limbah yang dihasilkan.
Dalam penelitian ini perhitungan tapak ekologi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan permintaan (demand) dan pasokan (supply). Perhitungan
demand dan supply pada pendekatan GFN (Global Footprint Network) diadopsi
dari model perhitungan Wackernagel dan Rees (1996). Permintaan Demand dan
Supply berdasarkan kesesuaian lahan dihitung menggunakan perhitungan luas
kesesuaian lahan, sedangkan pendekatan RTRW dihitung dengan rumus yang
diadopsi dari rumus daya dukung dan daya tampung wilayah. Setelah dilakukan
perhitungan kemudian dilakukan evaluasi serta penilaian terhadap pendekatan yang
digunakan untuk mendapatkan pendekatan mana yang baik dalam menggambarkan
kondisi tapak ekologi di Pulau Lombok, kemudian dirumuskan suatu arahan
memanfaatan ruang untuk dapat direkomendasikan kepada pemangku kebijakan
pada saat pengambilan keputusan yang berkenaan dengan pengaturan dan
pemanfaatan ruang.
6
Keperluan, Kepentingan, serta keinginan
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya
serta ruang
Konversi Lahan
Pertumbuhan
Penduduk
Alih Fungsi Lahan
Ketersediaan dan Keberlanjutan
Sumberdaya dan Ruang
Analisis Tapak Ekologi:
Pendekatan Permintaan (Demand) dan
Pasokan (Supply)
Global Footprint Network,
Kesesuaian lahan,
RTRW
Arahan Pemanfaatan Ruang Pulau Lombok
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Keterangan:
Hubungan sebab akibat
Hubungan saling mempengaruhi
Daya dukung
lahan sempit
7
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tapak Ekologi
Untuk mempertahankan hidup manusia akan selalu berupaya memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Dalam upaya pemenuhan manusia memenuhi
kebutuhan hidup mempergunakan segala sumberdaya alam yang tersedia di bumi
dengan kata lain manusia sangat bergantung kepada alam. Segala ketergantungan
manusia ini menimbulkan suatu pertanyaan besar tentang mampukah alam
menyediakan segala kebutuhan manusia sampai pada masa yang akan datang.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperkenalkanlah suatu pendekatan yang
dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar daya dukung dan daya tampung
yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah.
Pendekatan ini diperkenalkan sebagai perhitungan tapak ekologi atau sering disebut
Ecological footprint.
Konsep tapak ekologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Mathis
Wackernagel dan William Rees dari Universitas Columbia di Inggris pada tahun
1995 (Wackernagel dan Rees 1996). Tapak ekologi ini merupakan sejumlah area
yang terdiri dari lahan dan air yang produktif secara biologi yang dibutuhkan oleh
individu, populasi atau aktivitas tertentu untuk memproduksi bahan konsumsi dan
untuk mengolah limbahnya dengan teknologi dan management. Tapak ekologi
sering dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) karena yang menjadi ruang
lingkup dalam tapak ekologi individu mencakup lahan atau laut dari seluruh dunia.
Analisis tapak ekologi berawal dari analisis daya dukung penduduk yang ditentukan di
dalam suatu wilayah tertentu. Analisis tapak ekologi telah digunakan untuk
mendefinisikan daya dukung ekologi untuk destinasi turis.
Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan tapak ekologi
membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996). Konsep tapak ekologi ini
merupakan salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan
pemanfaatan dengan melakukan penilaian terhadap sumberdaya alam. Dalam
analisis tapak ekologi tidak hanya dihitung seberapa besar jumlah tapak ekologi
(EF) akan tetapi dihitung juga jumlah biokapasitas (BC) yang tersedia di alam.
Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologi/tapak ekologi dimana
menurut Wackernagel dan Rees pada tahun 1995 mencoba menterjemahkan tingkat
kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam kedalam luasan area yang produktif
sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan
akibat pemanfaatan sumberdaya (Ma’sitasari 2009).
Wackernagel dan Rees (1996) mendefinisikan bahwa tapak ekologi adalah
daya dukung yang dimiliki suatu wilayah sebagai luas lahan dan air dalam berbagai
katagori yang diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam wilayah tersebut,
antara lain untuk menyediakan secara kontinyu seluruh sumberdaya yang
dikonsumsi saat ini dan menyediakan kemampuan secara kontinyu dalam menyerap
seluruh limbah yang dihasilkan. Lahan tersebut saat ini berada di muka bumi,
walaupun sebagian dapat dipinjam dari masa lalu (misalnya: energi fosil) dan
sebagian lagi dialokasikan pada masa yang akan datang yakni dalam bentuk
8
kontaminasi, pohon yang pertumbuhannya terganggu karena peningkatan radiasi
ultraviolet dan degradasi lahan (Ewing et al. 2010).
Menurut Muta’ali (2012) Tapak ekologi merupakan suatu alat manajemen
sumberdaya yang dapat mengukur seberapa banyak tanah tanah dan air yang
dibutuhkan oleh populasi manusia untuk menghasilkan sumberdaya yang
dikonsumsinya serta untuk menyerap limbah sehubungan dengan penggunaan
teknologi. Tapak ekologi mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan
metrik, yaitu areal global biokapasitas dengan menbandingkan tapak ekologi
dengan ketersediaan kapasitas biologis bumi (biokapasitas).
Pendapat lain mengatakan bahwa Ecological Footprint is a measure of how
much area of biologically productive land and water an individual, population or
activity requires to produce all the resources it consumes and to absorb the waste
it generates, using prevailing technology and resource management practices. The
Ecological Footprint is usually measured in global hectares. Because trade is
global, an individual or country's Footprint includes land or sea from all over the
world. Ecological Footprint is often referred to in short form as Footprint.
"Ecological Footprint" and "Footprint" are proper nouns and thus should always
be capitalized (Monfreda et al. 2004).
Secara garis besar dikatakan bahwa tapak ekologi merupakan perhitungan
seberapa banyak/luas lahan dan air baik itu individu, masyarakat atau segala
aktivitas yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya yang dikonsumsi dan
atau untukmenyerap/menahan sampah secara umum menggunakan teknologi yang
ada dan pengaturan sumberdaya. Tapak ekologi ini diperhitungkan menggunakan
global hektar (gha). Karena perdagangan dilakukan secara global, tapak individual
atau tapak suatu negara mencangkup daratan dan lautan. Tapak ekologi dan tapak
yang lainnya, semuanya selalu ditulis dengan huruf kapital GHA.
Dalam perhitungan nilai tapak ekologi, menghitung nilai tapak ekologi
menggunakan metodologi yang didasarkan pada asumsi: 1) Semua sumber daya
yang dikonsumsi dan limbah (termasuk emisi) yang dihasilkan dapat ditelusuri asal
muasalnya (tracked), 2) Sebagian besar aliran sumber daya dan buangan dapat
diukur dengan menggunakan luasan bioproduktif untuk menjaga pasokan sumber
daya dan absorpsi buangan, 3) Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi
menjadi satu ukuran tunggal, yaitu hektar global (gha). Setiap hektar global pada
satu tahun mencerminkan bioproduktif yang sama dan semua dapat dijumlahkan,
4) Permintaan terhadap sumber daya alam disebut tapak ekologi (ecological
footprint/demand) dan dapat dibandingkan dengan biokapasitas (biocapacity/
supply ) dengan satuan hektar global (gha), 5) Permintaan manusia, dinyatakan
sebagai tapak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam,
daya dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global
hektar, 6) Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika
permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas regeneratif ekosistem. Situasi ini,
dimana tapak ekologi melebihi daya dukung lingkungan yang tersedia, dikenal
sebagai overshoot (Wackernagel et al. 2005).
Dari pemaparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tapak ekologi
adalah suatu alat bantu untuk dapat dipergunakan dalam mengukur penggunaan
sumberdaya dan kemampuan bumi dihubungkan dengan tingkah laku dan gaya
hidup manusia. Alat ukur ini berguna untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi
yang dilakukan manusia masih berada dalam batas daya dukung lingkungan
9
ataukah sudah melewati batas tersebut. Atau dengan kata lain apakah masih dalam
batas surplus atau sudah dalam kondisi defisit atau penurunan kualitas ekologi.
Metode Perhitungan Tapak Ekologi
Menurut Ewing et al. (2010) Tapak ekologi menggambarkan kebutuhan
barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dari alam yang dicerminkan dalam
konsumsi bersih (net consumption) dari produk‐produk yang dikategorikan seperti
produk pertanian, produk peternakan, produk kehutanan, produk perikanan,
keperluan ruang dan lahan, serta konsumsi energi. Konsumsi bersih merupakan
konsumsi aktual yang dipengaruhi oleh kegiatan perdagangan (ekspor‐impor).
Biokapasitas adalah kapasitas ekosistem untuk menghasilkan material biologi
yang berguna dan kapasitas untuk menyerap buangan material yang dihasilkan oleh
kegiatan manusia dengan menggunakan cara pengelolaan dan teknologi yang
dikuasai saat ini. Seperti halnya tapak ekologi, biokapasitas terdiri dari 6 (enam)
kategori lahan, yaitu lahan pertanian, lahan peternakan, lahan kehutanan, lahan
perikanan, lahan terbangun dan lahan penyerap karbon. Pada metoda perhitungan
ini, nilai tapak ekologi dan biokapasitas lahan terbangun adalah sama. Jumlah
biokapasitas adalah jumlah dari semua daerah bioproduktif dinyatakan dalam
hektar global dengan mengalikan luas areal oleh faktor kesetaraan yang sesuai dan
faktor yield yang khusus untuk negara/wilayah. Kapasitas biologis dapat
dibandingkan dengan kerusakan ekologi, yang memberikan estimasi sumber daya
ekologi yang dibutuhkan oleh penduduk setempat.
Perhitungan Tapak Ekologi Nasional bertujuan untuk menghitung kebutuhan
manusia akan sumberdaya alam di bumi yang meliputi enam jenis penggunaan
lahan utama (lahan pertanian, tanah berumput, lahan hutan, tapak karbon, lahan
perikanan, dan lahan terbangun). Dengan pengecualian lahan terbangun dan hutan
untuk serapan karbondioksida (CO2). Tapak ekologi dari masing-masing jenis
penggunaan lahan utama dihitung dengan menjumlahkan kontribusi dari variasi
produk tertentu. Lahan terbangun mencerminkan penyesuaian bioproduktif
terhadap infrastruktur dan pembangkit listrik tenaga air. lahan hutan untuk
penyerapan CO2 mencerminkan penyerapan limbah dari rata-rata per hektar hutan
dunia yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 yang disebabkan manusia,
setelah mempertimbangkan kapasitas penyerapan laut.
Perhitungan tapak ekologi menggabungkan permintaan sumber daya ekologi
dimanapun berada dan menyajikan hasilnya sebagai rata-rata global yang
diperlukan untuk mendukung aktivitas manusia tertentu. Kuantitas ini dinyatakan
dalam satuan hektar global, didefinisikan sebagai hektar area bioproduktif dengan
rata-rata bioproduktif dunia. Dengan memberikan gambaran secara umum,
biokapasitas dan tapak ekologi bisa langsung membandingkan seluruh jenis
penggunaan lahan disetiap negara. Permintaan untuk produksi sumberdaya dan
asimilasi limbah yang diterjemahkan ke dalam hektar global dibagi dengan jumlah
total sumber daya yang dikonsumsi per hektar, atau membagi limbah yang
keluarkan oleh daya serap per hektar.
10
Komponen Perhitungan Tapak Ekologi
Dalam melakukan perhitungan dan analisis tapak ekologi wilayah Indonesia
digunakan metode yang telah dikembangkan oleh Global Footprint Network
sebagaimana diuraikan dalam Guidebook to the National Footprint Accounts 2008
luasan bioproduktif diartikan sebagai semua luasan lahan yang berkontribusi
terhadap biokapasitas yang memberikan pasokan konsentrasi biomassa secara
ekonomis. Luasan bioproduktif adalah luasan daratan dan perairan (perairan
daratan dan perairan laut) yang mendukung proses fotosintesis secara signifikan
kemudian mengakumulasi biomasa yang dimanfaatkan oleh manusia. Dalam
perhitungan tapak ekologi (EF) dan perhitungan biokapasitas (BC), digunakan 2
(dua) faktor konversi (DitJen PenTar 2010).
Menurut Bala dan Hossain (2013) Perhitungan tapak ekologi didasarkan pada
data rata-rata konsumsi, dan ini diubah menjadi penggunaan lahan produktif. Tanah
bioproduktif dibagi menjadi enam kategori sesuai dengan klasifikasi World
Conservation Union: (1) lahan pertanian, (2) lahan penggembalaan, (3) hutan, (4)
fishing ground, (5) build-up land dan (6) lahan energi. Tapak ekologi total adalah
jumlah dari tapak ekologi dari semua kategori lahan yang memberikan kebutuhan
eksklusif pada biosfer.
Perhitungan Nilai Tapak Ekologi
Menurut Ewing et al. (2010) dalam Ecological Footprint Atlas 2010
mengungkapkan bahwa nilai Tapak Ekologi dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
EF =
�������
�������
Dimana D adalah permintaan tahunan produk dan Y adalah hasil tahunan dari
produk yang sama. Yield dinyatakan dalam hektar global. hektar global dihitung
dan dijelaskan lebih rinci setelah berbagai jenis daerah diketahui. Tapi pada
dasarnya, hektar global diperkirakan dibantu dengan dua faktor yaitu; faktor yield
(yang membandingkan hasil rata-rata nasional per hektar dengan rata-rata yield
dunia dikategori lahan yang sama) dan faktor equivalence (yang
menyamakan/mensetarakan produktivitas relatif antara berbagai lahan dan tipe
wilayah laut ).
Oleh karena itu, rumus dari Tapak Ekologi menjadi:
EF =
�
��
. YF. EQF
Dimana P adalah jumlah produk dipanen atau emisi limbah (sama dengan
DANNUAL di atas), YN adalah hasil rata-rata nasional untuk P, serta YF dan EQF
adalah yield faktor dan faktor equivalence, masing-masing, untuk negara dan tipe
penggunaan lahan. Faktor yield adalah rasio nasional untuk hasil-rata rata dunia.
Hal ini dihitung sebagai ketersediaan tahunan produk yang dapat digunakan dan
bervariasi di setiap negara dan setiap tahun. Faktor equivalence diartikan
11
ketersediaan area atau kebutuhan dari penggunaan lahan tipe tertentu (mis rata-rata
lahan pertanian dunia, lahan penggembalaan dan lainnya) menjadi unit rata-rata
daerah produktif biologis dunia: hektar global dan bervariasi menurut jenis
penggunaan lahan dan setiap tahun.
Permintaan tahunan untuk produk yang diproduksi atau produk turunan
(misalnya; tepung atau pulp/bubur kayu), diubah menjadi setara produk primer
(misalnya; gandum atau kayu bulat) melalui penggunaan tingkat ekstraksi. jumlah
tersebut setara produk primer kemudian diartikan sebagai tapak ekologi. tapak
ekologi juga mewujudkan energi yang dibutuhkan untuk proses manufaktur.
Perhitungan tapak ekologi mengkalkulasikan tapak ekologi konsumsi
masyarakata/populasi dari sejumlah pandangan. Secara umum disebut dengan tapak
ekologi. Tapak ekologi konsumsi oleh negara memperkirakan kebutuhan
biokapasitas dengan cara menghitung jumlah semua konsumsi dari semua peduduk
di negara tersebut. Hal ini termasuk konsumsi rumah tangga maupun konsumsi
kolektif seperti sekolah, jalan-jalan, pemadam kebakaran dan lainnya.
Sebaliknya, tapak ekologi produksi primer sebuah negara adalah jumlah tapak
ekologi untuk semua sumber daya yang dipanen/diambil dan semua sampah yang
dihasilkan di dalam batas geografis negara. Hal ini termasuk semua area di dalam
kebutuhan negara untuk mendukung kegiatan panen produk primer (lahan
pertanian, lahan berumput, lahan hutan, dan area perikanan), infrastruktur negara
dan PLTN (lahan terbangun), dan area yang dibutuhkan untuk menyerap emisi
karbondioksida dari bahan bakar fosil yang dihasilkan dalan negara tersebut
(Carbon Footprint).
Perbedaan antara tapak ekologi produksi dan konsumsi adalah perdagangan,
ditunjukkan oleh persamaan berikut:
EFC = EFP + EFI - EFE
Dimana EFC adalah Tapak Ekologi Konsumsi, EFP adalah Tapak Ekologi
Produksi, EFI dan EFE merupakan tapak aliran ekspor dan impor. Untuk mengetahui
nilai ekspor dan impor, satu yang perlu diketahui adalah jumlah perdagangan
keduanya meskipun sumber daya tambahan (termasuk emisi karbondioksida) pada
semua kategori. Tapak tambahan diukur sebagai jumlah hektar global yang
dibutuhkan untuk membuat satu ton per tahun produk tambahan.
Tapak ekologi seluruh negara dan tapak tambahan perdagangan dihitung
dengan mengasumsikan rata-rata intensitas tapak dari semua produk. Menggunakan
rata-rata efisiensi dunia untuk semua produk perdagangan dan perkiraannya
tingginya tapak ekspor negara-negara dengan efisiensi produk yang lebih tinggi dari
rata-rata. Pada gilirannya akan terlalu tinggi perkiraannya untuk tapak konsumsi
negara tersebut. Negara dengan perubahan efisiensinya dibawah rata-rata untuk
produk sekunder sesuai dengan perkiraan yang terlalu tinggi pada tapak tambahan
hasil ekspor, adalah sebuah tapak konsumsi yang dilebihkan.
Intensitas tapak dari berbagai produk primer adalah dengan definisi yang
sama dimana saja di dunia sejak hal ini dinyatakan dengan hektar global.
Bagaimanapun tapak tambahan dari produk sekunder akan tergantung pada
efisiensi transformasi (rasion ekstraksi) dan hal ini bervariasi diantara negaranegara yang ada di dunia.
12
Perhitungan Nilai Biokapasitas
Ewing et al. (2010) menjelaskan bahwa perhitungan biokapasitas dimulai
dengan jumlah total dari ketersediaan lahan bioproduktif. Bioproduktif
menunjukkan tanah dan air yang secara signifikan mendukung aktifitas fotosintesis
dan akumulasi biomassa, mengenyampingkan area tandus yang rendah.
Biokapasitas adalah perhitungan agregat ketersediaan lahan, dititik beratkan pada
produktivitas lahan tersebut. Hal ini menunjukkan kemampuan biosfer untuk
menghasilkan tanaman, rumput, produk kayu (hutan) dan ikan, maupun
pengambilan karbondioksida di hutan. Hal ini juga termasuk berapa banyak
kapasitas regeneratifnya ditempati oleh infrastuktur (lahan terbangun).
Kesimpulannya bahwa perhitungan nilai biokapasitas adalah menghitung
kemampuan ketersedian area daratan dan perairan sebagai Ecological Service.
Biokapasitas Sebuah Negara untuk semua penggunaan lahan dihitung sebagai:
BC = A.YF.EQF
Dimana BC adalah Biokapasitas, A adalah ketersediaan area untuk tipe
penggunaan lahan tambahan, YF dan EQF adalah Yield factor dan equivalence
factor. Yield factor adalah rasio suatu negara terhadap rata-rata yield dunia.
Dihitung sebagai ketersedian tahunan dari produk yang digunakan dan variasinya
oleh negara dan setiap tahun. Equivalence factor diartikan sebagai area permintaan
dan ketersediaan dari tipe penggunaan lahan tertentu(misalya, rata-rata lahan
pertanian dunia, area penggembalaan dan sebagainya) menjadi unit-unit dari ratarata area produktif secara biologis (global hektar) dan variasinya oleh tipe
penggunaan lahan dan setiap tahun.
Faktor Penyama (Ekuivalensi/Equivalence Factor)
Merupakan faktor yang digunakan untuk mengkombinasikan tapak ekologi
dari lahan yang berbeda. Equivalence Factor adalah jumlah hektar global yang
terkandung dalam rata-rata hektar lahan pertanian, lahan penumpukan, hutan,
padang rumput atau perikanan. Bagian penting dari analisis ecological footprint
suatu wilayah atau zona diwakili oleh perhitungan kapasitas biologisnya
(biokapasitas) yang memperhitungkan permukaan tanah yang produktif secara
ekologis yang terletak di dalam wilayah yang diteliti.
Agar ini dapat dikombinasikan maka dibutuhkan koefisien untuk
menyamakannya. Dengan kata lain, ini dipakai untuk mengkonversi satuan lokal
lahan tertentu menjadi satuan yang universal, yaitu hektar global (gha). Faktor
penyama telah ditentukan oleh Global Footprint Network (GFN) untuk 6 (enam)
kategori lahan, yaitu: lahan pertanian (2,1), lahan perikanan (0,4), lahan peternakan
(0,5), lahan kehutanan (1,4), lahan terbangun (2,2) dan lahan penyerapan
karbon/lahan yang diperlukan untuk mengabsorsi CO2 yang bersumber dari bahan
bakar fosil (1,4) (Ewing et al. 2010).
Faktor Panen (Yield Factor)
Faktor panen (yield factor) menggambarkan perbandingan antara luasan
lahan bioproduktif di suatu wilayah dengan luasan lahan bioproduktif yang sama di
13
wilayah yang lain untuk setiap komoditas yang sama. Faktor ini juga
menggambarkan kemampuan suatu populasi untuk menyertakan penguasaan
teknologi dan manajemen dalam pengelolaan lahan. Setiap wilayah memiliki faktor
panen masing‐masing dan dihitung per tahun.
Dalam metode yang dikembangkan oleh GFN, demand digambarkan dalam
bentuk hasil akhir perhitungan jejak ekologi (Ecological Footprint) pada suatu
wilayah, sedangkan supply digambarkan dalam bentuk biokapasitasnya
(biocapacity). Kondisi yang diharapkan adalah nilai total demand/tapak ekologinya
lebih rendah dibandingkan nilai supply/biokapasitasnya guna menjamin
keberkelanjutan pemanfaatan sumber daya alam (DitJenPenTar 2010).
Defisit Ekologi/Ecological Deficit (ED)
Nilai defisit ekologi menunjukkan apakah sebuah wilayah telah melampaui
daya dukungnya atau belum. Sebuah wilayah dikatakan telah melampaui daya
dukungnya apabila nilai telapak ekologinya lebih besar dibandingkan dengan nilai
biokapasitasnya. Nilai telapak ekologi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
biokapasitas menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut telah
menggunakan sumber daya alam lebih besar dari kapasitas alam untuk
menyediakannya. Status ekologi dinyatakan sebagai perbedaan antara biokapasitas
dan tapak ekologi. Status negatif ekologi (BC