Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

(1)

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN

SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(

Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali,

Provinsi Sulawesi Tengah

)

MA’SITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul :

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2009

Ma’sitasari C251050121


(3)

ABSTRACT

MA’SITASARI. Ecological Space Analysis of Small Islands Utilization for

Seaweed Culture (

Case Study of Salbangka Islands, Morowali Regency,

Central Sulawesi Province

). Supervised by LUKY ADRIANTO and

AGUSTINUS M. SAMOSIR.

The Salabangka Islands as on of the coastal zone that consist of small islands that lays in the Morowali Regency, Central Sulawesi Provice, have potential in nature resouces that can be use on supporting the development in this regency. It is a culture of seaweed. The aim of this research to identify suitable coastal of Salabangka Islands for culture of seaweed dan estimate carring capacity coastal of Salabangka Islands for develompment of seaweed culture by use of ecological footprint approach. The result of identify coastal showed that a spasial of ecology Salabangka Islands suitable to culture of seaweed, while estimate carring capacity of coastal that the ecological footprint (EF) of seaweed smaller than biocapacity (BC). Thus, the carring capacity of seaweed culture development bases ecological footprint are 1,08 ha/kapita.

Key words : ecological footprint, biocapacity, small islands, suitable space, seaweed culture, salabangka islands.


(4)

RINGKASAN

MA’SITASARI, Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Gugus Pulau Salabangka sebagai salah satu wilayah pesisir terdiri dari pulau-pulau kecil, berada di Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah, memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang pembangunan wilayah Kabupaten Morowali.

Penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint. Adapun tujuan yang ingin dicapai meliputi mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut dan mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Maret – Mei 2007.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dimana data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pengambilan data biofisik dilakukan pada 15 stasiun pengamatan dan data sosial-ekonomi dilakukan berdasarkan batas administrasi desa. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait.

Dalam mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint/EF) dan ketersediaan ruang (biocapacity/BC). Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat konsumsi ruang ekologis (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Hasil identifikasi kesesuaian ruang menunjukkan secara ekologi ruang perairan sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi berdasarkan tingkat kebutuhan ruang menunjukkan bahwa ruang perairan memiliki kelebihan ruang untuk pengembangan budidaya rumput laut dimana EF < BC disebut ekologi surplus. Agar pengembangan budidaya rumput laut dapat optimal dan berkelanjutan dilakukan berdasarkan biocapacity dengan tingkat kebutuhan ruang adalah 1,08 ha per kapita

Kata Kunci : ecological footprint, biocapacity, gugus pulau kecil, kesesuaian ruang, budidaya rumput laut, gugus pulau salabangka.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN

SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(

Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka

,

Kabupaten Morowali

,

Provinsi Sulawesi Tengah

)

MA’SITASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Judul Tesis : Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

Nama : Ma’sitasari

NRP : C251050121

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

! " ! " ! " ! "


(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan keridhoan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah).

Tesis ini berisikan kajian dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pemerintah daerah dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan.

Dari awal hingga akhir penulisan ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, dukungan dan kerjasama berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan tinggi penulis ucapkan kepada :

1. Dosen Pembimbing Dr. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dalam membimbing penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal, M.Sc sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir dan atas saran perbaikannya.

3. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, dan para staf pemerintah daerah, dan semua pihak di Gugus Pulau Salabangka yang terkait dengan penyusunan tesisi ini.

4. Program Mitra Bagari-Coral reef Management Program II (PMB-CORMAP II) Tahun 2008 atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008.

5. Rekan-rekan SPL (angkatan 11-12) dan IKL, personil NYPAH, Baharuddin, Bapak Makmur Sek, Bapak Alimuddin Sek, Keluarga Lagalanti atas masukan dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Rekan-rekan di twinhouse atas kebersamaannya. Dan semua rekan-rekan yang tidak tersebutkan namannya.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 03 November 1981 dari ayah H. Idin Lagalanti dan ibu Rabea Kasim, sebagai anak kedua dari empat bersaudara.

Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1988 di TK Pertiwi Luwuk, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SD 4 Impres Luwuk yang diselesaikan pada tahun 1993, pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Luwuk diselesaikan pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Luwuk pada tahun 1999. Tahun 2003 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama pendidikan Strata Satu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah ekologi laut, telemetri dan eksplorasi sumberdaya hayati laut periode Tahun 2002 - 2003. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi Strata Dua pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaata Penelitian ... 5

1.4 Kerangka Pemikiran ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ... 7

2.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint) ... 10

2.3 Budidaya Rumput Laut ... 13

2.4 Sistem Informasi Geografis (GIS) ... 18

III METODOLOGI ... 20

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 20

3.2 Metode Penelitian ... 22

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 22

3.3.1 Jenis Data ... 22

3.3.2 Metode Pengambilan Data ... 22

3.4 Analisis Data ... 25

3.4.1 Analisis Kebutuhan Ruang ... 25

3.4.2 Analisis Ketersediaan Ruang ... 26

IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 29

4.1 Kondisi Umum Daerah ... 29

4.1.1 Geografis dan Topografi ... 29

4.1.2 Sosial Budaya Masyarakat ... 31

4.2 Keadaan Umum Iklim dan Cuaca ... 32

4.3 Kondisi Oseanografi Perairaan ... 33

4.3.1 Gelombang ... 33

4.3.2 Pasang Surut ... 34

4.3.3 Kecepatan Arus ... 34

4.3.4 Kecerahan dan Kedalaman ... 37

4.3.5 Keterlindungan ... 41

4.3.6 Suhu ... 43

4.3.7 Salinitas ... 45

4.3.8 Derajat Keasaman/pH ... 47

4.3.9 Oksigen Terlarut ... 49

4.3.10 Nutrient ... 51

4.3.11 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut ... 54

4.4 Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka ... 56


(13)

4.4.1 Perikanan ... 58

4.4.2 Budidaya Rumpu Laut ... 59

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

5.1 Identifikasi Kesesuaian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut ... 61

5.1.1 Kebutuhan Ruang Perairan ... 61

5.1.2 Ketersedian Ruang Perairan ... 67

5.2 Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut ... 70

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis Data dan Parameter yang diukur ... 23

2 Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut ... 28

3 Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka …... 30

4 Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan ... 31

5 Tingkat Konsumsi Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka 62 6 Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 63

7 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Gugus Pulau Salabangka ... 66

8 Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 69


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran ... 6

2 Interaksi antara Komponen PPK ... 9

3 Komponen Penelitian Ecological Footprint ... 12

4 Alur Kerangka Analisis ... 21

5 Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah ... 24

6 Peta Sebaran Kecepatan Arus ... 36

7 Peta Sebaran Kecerahan ... 38

8 Peta Sebaran Substrat ... 39

9 Peta Sebaran Kedalaman ... 40

10 Peta Sebaran Keterlindungan ... 42

11 Peta Sebaran Suhu ... 44

12 Peta Sebaran Salinitas ... 46

13 Peta Sebaran pH ... 48

14 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO) ... 50

15 Peta Sebaran NO3 ... 52

16 Peta Sebaran PO4 ... 53

17 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka ... 55

18 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka ... 57

19 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan ... 58

20 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka ... 60

21 Impor – Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 65

22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 66

23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 68

24 Estimasi Ketersedian Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ... 69

25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ……… 72


(16)

26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk

Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ………. 71 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang

Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ……… 72 Halaman 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk

Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ……….. 71 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia ……… 80 2 Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun 1987 ………... 83 3 Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda ... 84 4 Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan untuk Budidaya

Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka ………... 88 5 Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali ... 89 6 Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut ... 90


(18)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga diperlukannya rencana pengelolaan dengan mempertimbangkan berbagai proses dinamis yang terjadi. Selain itu, karateristik sumberdaya baik lokal dan regional mempersulit kebijakan yang terkoordinasi antar berbagai sektor pembangunan. Untuk itu pengelolaan pesisir yang terintegrasi menjadi sangat penting. Demikian pula untuk wilayah pulau-pulau kecil (PPK).

Berdasarkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 menyebutkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK merupakan suatu proses, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan PPK baik antar sektor, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, maupun antara ilmu pengetahuan dan manajemen dimana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat PKK.

Yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 yang terintegrasi dari beberapa komponen antara lain manusia, lingkungan perairan (biotik dan abiotik) dan lingkungan daratan, memiliki karateristik yang khas dimana masing-masing komponen secara fungsional saling mempengaruhi berserta kesatuan ekosistemnya (Adrioanto 2004a; Bengen dan Retraubun 2006; UU No.27 2007). Wilayah Gugus Pulau Salabangka terdiri dari PPK dengan luas 2.352,17 km2

Pada umumnya, PPK memiliki sumberdaya yang beragam dan memiliki keterbatasan baik secara fisik, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan keterbatasan sumberdaya PPK, kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup (DKP 2003; Adrianto 2004a) melalui aktivitas yang tidak ramah lingkungan, hal tersebut dapat menyebabkan kelangkaan sumberdaya di pulau-pulau kecil.


(19)

Beberapa kegiatan pemanfataan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terbatas pada kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari (DKP 2000 in Adrianto 2004a ). Namun beberapa kegiatan pemanfaatan tersebut sangat selektif sesuai dengan karateristik wilayah dan membutuhkan kapitalisasi yang besar.

Secara umum, pemanfaatan potensi perairan berdasarkan Ditjen Perikanan (1999) diperuntukan untuk budidaya kelautan seluas 2.003.680 ha antara lain untuk budidaya kakap dengan luas 598.120 ha (29,85 %), budidaya kerapu seluas 461.600 ha (23,04 %), luas 591.800 ha (29,54 %) untuk budidaya kerang dan tiram, budidaya teripang seluas 66.660 ha (3,33 %), kerang mutiara dan abalon seluas 62.040 ha (3,10 %) dan rumput laut seluas 222.460 ha (11,10 %).

Secara khusus, sesuai dengan KepPres No. 23 Tahun 1982, salah satu kegiatan budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah budidaya rumput laut, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan potensi sumberdaya rumput laut cukup besar, dapat dilakukan dengan teknologi budidaya yang sederhana, penggunaan modal relatif lebih kecil, lamanya waktu pemeliharaan lebih singkat dan menyerap tenaga kerja.

Propinsi Sulawesi Tengah merupakan propinsi urutan ketiga penghasil rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, dan pemanfaatan luas perairan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 39,61 persen. Kabupaten Morowali merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra produksi rumput laut (Diskanlut Provinsi Sulawesi Tengah 2008). Luas wilayah Kabupaten Morowali adalah 45.453,60 km2 meliputi luas daratan sebesar 15.490,8 km2 (34,08 %) dan wilayah perairan seluas 29.962,8 km2 (65,92 %). Berdasarkan Diskanlut Kabupaten Morowali (2008) menyebutkan potensi luas areal untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottono) 2.070,24 ha dengan areal terkelola baru mencapai 18,14 % atau 820,00 ha dan produksi rumput laut Kabupaten Morowali tahun 2007 mencapai 52.813 ton (kering) terdiri atas jenis Euchema cottoni 37.545 ton dan jenis gracilaria sp.15.268 ton.

Wilayah Kecamatan Bungku Selatan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terletak di Teluk Tolo terdiri dari pulau-pulau kecil. Daerah ini memiliki potensi pengembangan budidaya rumput


(20)

laut. Tahun 2003 pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya perikanan di Kecamatan Bungku Selatan adalah seluas 1.433,22 ha (1,33 % dari total luas perairan laut Kabupaten Morowali), yang terbagi atas 1.430,17 ha untuk budidaya rumput laut dan 3,05 ha untuk usaha perikanan budidaya lainnya (pemeliharaan ikan dalam keramba dan budidaya teripang).

Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun 2002 – 2007 dengan misi pembangunan yaitu “memberdayakan pemerintah, masyarakat, wilayah agar mampu memanfaatkan seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta tata ruang wilayah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, seefektif dan seoptimal mungkin melaksanakan pembangunan yang merata, menyentuh seluruh wilayah dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sesuai dengan misi pembangunan tersebut maka pendekatan penilaian daya dukung lingkungan menjadi sangat penting terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam.

Dalam penelitian ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya PPK dibatasai pada pemanfatan perairan untuk budidaya rumput laut melalui analisis ruang dengan pendekatan ecological footprint. Pendekatan ini didasarkan pada tingkat permintaan terhadap suatu sumberdaya (rumput laut) dan luas perairan yang tersedia (biocapacity). Dengan pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal pemanfaatan sumberdaya dengan luas perairan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006c).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan potensi perairan (2.996.280 ha) dan area lahan yang dikelola untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Morowali saat ini, maka pemanfaatan potensi perairan laut dan rata-rata produktivitas masih rendah. Secara umum usaha budidaya rumput laut terkonsentrasi pada beberapa kecamatan (hanya 3 kecamatan dari 7 kecamatan di Kab Morowali), terluas pengusahaannya di Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan.

Berdasarkan kondisi geografis dan ekologis perairan, wilayah perairan laut Kabupaten Morowali terutama di kecamatan Bungku Selatan sangat memungkinkan untuk pengembangan rumput laut yang lebih intensif. Wilayah ini


(21)

merupakan gugusan pulau-pulau kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Teluk Tolo dengan jarak dari wilayah daratan utama (mainland) lebih kurang 5 kilometer sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di daratan utama sangat kecil pengaruhnya terhadap kegiatan perikanan laut dan perikanan budidaya di Gugus Pulau Salabangka. Namun demikian, dengan bertambahnya jumlah penduduk di daerah pulau menyebabkan peningkatan pencemaran laut akibat pembuangan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan terganggunya kualitas perairan laut yang secara langsung dapat mengganggu pertumbuhan biota laut terutama rumput laut. Selain itu, di beberapa tempat dalam wilayah kepulauan Salabangka masih terjadi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (pengeboman), pembiusan ikan dan pengambilan karang atau sejenisnya.

Secara histories, kegiatan ini mulai berlangsung sejak tahun 1980-1990an dalam intensitas yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas perairan dan hancurnya biota laut termasuk terganggunya kegiatan pembudidayaan rumput laut yang dimulai tahun 1991. Namun sejak Kabupaten Morowali berdiri sebagai salah satu kabupaten otonom di Provinsi Sulawesi Tengah dan penegakan hukum lebih intensif, lambat laun kegiatan yang bersifat destruktif tersebut mulai menurun dan usaha budidaya rumput laut mulai menunjukkan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan aspek sosial budaya, pada awalnya kegiatan budidaya rumput laut masih bersifat usaha sampingan, sementara usaha penangkapan ikan (nelayan) merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Namun dengan berkembangnya pasar dan meningkatnya harga rumput laut, maka lambat laun di beberapa desa kegiatan budidaya rumput laut dijadikan sebagai matapencaharian utama. Pergeseran jenis matapencaharian ini menyebabkan pula terjadinya perubahan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir kepulauan Salabangka. Daerah operasi penangkapan ikan dijadikan sebagai kawasan budidaya rumput laut. Umumnya daerah yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan budidaya adalah daerah bekas pemboman ikan yang sudah tidak dimanfaatkan selama beberapa tahun oleh nelayan karena berkurangnya ikan. Sisi positif dari pemanfaatan perairan ini adalah optimasi pemanfaatan ruang untuk kegiatan lain selain perikanan tangkap, semakin membaiknya kualitas perairan, dan semakin meningkatnya jumlah ikan


(22)

di kawasan tersebut. Sisi negatifnya, kondisi ini menyebabkan peningkatan luas areal budidaya rumput laut yang tidak tertata dengan baik sehingga mengganggu jalur transportasi, perikanan budidaya dan kembalinya kegiatan perikanan tangkap. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tidak diikuti dengan penataan ruang kawasan pesisir dan pulau bagi seluruh kegiatan pemanfaatan akan melebihi daya dukungnya serta menyebabkan terjadinya konflik antar kegiatan pemanfaatan.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu dilakukan pengkajian pemanfaatan ruang PPK bagi kegiatan budidaya rumput laut yang optimal dan sesuai dengan potensi serta daya dukung wilayah perairan kepulauan Salabangka.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut.

2. Mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembudidaya rumput laut dalam pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya, para pengusaha, pemilik modal dan para pengambil kebijakan dalam usaha pengembangan budidaya rumput laut sesuai dengan ruang ekologis Gugus Pulau Salabangka.

1.4 Kerangka Pemikiran

Ruang perairan pulau-pulau kecil memiliki berbagai keterbatasan dan bersifat dinamis serta sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sehingga diperlukan adanya upaya pengelolaan pemafaaatan sumberdaya pulau-pulau kecil agar menunjang kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.


(23)

Pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada permintaan (demand) dan kapasitas lahan (biocapacity). Permintaan adalah kebutuhan pembudidaya terhadap perairan untuk budidaya rumput laut. Kapasitas lahan adalah wilayah perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut.

Selanjutnya, dilakukan analisis ruang ekologis terhadap dua komponen yang digunakan yaitu permintaan dan kapasitas lahan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan terhadap pengembangan budidaya rumput laut dalam konteks pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Dengan demikian, analisis ruang ekologis merupakan salah satu cara dalam upaya pengelolaan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.

! ! "


(24)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Secara umum, pulau-pulau kecil (PPK) memiliki karateristik tersendiri meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati dan jasa lingkungan. Sumberdaya hayati di PPK antara lain terumbu karang, padang lamun, rumput laut mangrove, ikan dan biota laut lainnya. Di samping itu, berbagai keterbatasan di PPK baik dari segi fisik (ukuran), ekologi (sumberdaya), ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, upaya pengelolaan PPK menjadi sangat penting.

Menurut Adrianto (2005) bahwa dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karateristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi.

Selain itu, persoalan lingkungan merupakan salah satu problem dalam pengelolaan PPK. Permasalahan lingkungan PPK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni (1) permasalahan lingkungan secara umum (common environmental problems), seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan (2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) antara lain kekurangan air tawar, hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem spesies langka (Hall 1999 in Adrianto 2004a).

Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya dukung lingkungannya (Adrianto 2005).

Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK (Adrianto 2004a). Beberapa hal


(25)

yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik (Adrianto 2005).

Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa.

Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : (1) hak, (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).

Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003).


(26)

Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi.

Menurut Cicin Sain (1993) in Adrianto (2004a) bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto 2004a menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK

(Debance 1999 in Adrianto 2004a)

Dari gambar di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 (lima) proses yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999),


(27)

yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia.

Secara umum, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai negara dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi pertumbuhan ekonominya, kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya (Anwar dan Rustiadi 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain : (1) perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, (2) sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan (3) kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat setempat.

2.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis)

Dalam memenuhi kebutuhan hidup kita menggunakan sumberdaya alam, kergantungan kita terhadap alam menimbulkan pertanyaan berapa kemampuan alam untuk memenuhi semua kebutuhan kita sampai masa yang akan datang. Secara perspektif ekologi, salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis Ecological Footprint (EF). Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung (carrying capacity) kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996).

Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologis/jejak kaki ekologis diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 1995 dimana tingkat kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang


(28)

produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson (1999) in Venetoulis dan Talberth (2008) bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh (2002) in Venetoulis dan Talberth (2008) menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif (daratan dan perairan) yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski (2005) bahwa setiap orang akan memanfaatan ruang/suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan (demand) terhadap sumberdaya dan ketersediaan (supply) sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal.

Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 % (201 orang) dan 20,55 % (52 orang) sebagai kegiatan sampingan.

Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu (i) permintaan terhadap ruang ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan (EF) dan (ii) ketersediaan ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut (BC). Sebagaimana disebutkan

Schaefer

et

.

al

(2006)

perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian

yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/BC). Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu terpilih (misalnya dalam setahun).


(29)

Lebih lanjut, penilaian EF dalam pengembangan budidaya rumput laut merujuk pada konsumsi sumberdaya (ruang perairan). Perhitungan konsumsi ini didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumsi (Domestic Extraction/DE), produktivitas baik lokal maupun regional (Yield/Y) dan kegiatan impor (IM) – ekspor (EX). Tingkat konsumsi diperoleh dari jumlah produksi rumput laut (kering) per orang dalam setahun. Nilai produktivitas berasal dari perbandingan jumlah produksi rumput laut dengan luas perairan yang digunakan. Sedangkan impor – ekspor berasal dari perdagangan rumput laut antar pulau di Gugus Pulau Salabangka. Komponen dalam penilaian EF di Gugus Pulau Salabangka dapat dilihat pada Gambar 3.

Gugus Pulau Salabangka

P1

P2 P3 P4

P5 P6

EX

IM Pasar Koperasi

Keterangan :

P : Jumlah pembudidaya

DE : Tingkat Konsumsi (Domestic Exctraction)

Y : Produktivitas

IM : Impor

EX : Ekspor

DE DE

DE DE

DE DE

Ylokal

Ylokal

Ylokal

Ylokal

Ylokal

Ylokal

Yregional

EX

IM

Gambar 3 Komponen Penilaian Ecological Footprint

EF per kapita merupakan rata-rata ruang perairan yang digunakan per orang untuk budidaya rumput laut, sehingga total ruang ekologi (hektar) merupakan total luasan perairan diperlukan untuk memproduksi rumput laut berdasarkan jumlah pembudidaya rumput laut (Wang dan Bian 2007). Menurut Venetoulis et.al (2004) jika total nilai EF bernilai positif atau negatif mengindikasikan bahwa adanya kelebihan atau kekurangan luasan yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya.


(30)

Sedangkan pernilaian BC didasarkan pada ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Total BC (hektar) menunjukkan total ruang perairan yang secara ekologi sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. BC per kapita menggambarkan ketersediaan ruang perairan budidaya rumput laut per orang (Wang dan Bian 2007).

Hasil analisis melalui pendekatan ruang ekologi dapat menggambarkan pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit (

Schaefer

et

.

al

2006)

. Menurut Chambers et.al (2001) defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini disebut defisit.

2.3 Budidaya Rumput Laut

Salah satu jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK adalah budidaya perikanan. Jenis budidaya yang dikembangkan pada setiap pulau akan berbeda satu dengan yang lain tergantung dari kondisi biofisik pulau tersebut. Salah satu jenis budidaya yang mulai dikembangkan di Gugus Pulau Salabangka adalah budidaya rumput laut.

Rumput laut (sea weed) merupakan alga makro bentik yang hidup di laut dan termasuk kedalam tumbuhan tingkat rendah (phylum thallophta), yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun atau dengan bagian tumbuhan secara keseluruhan merupakan “batang” yang disebut thallus. Kelompok tumbuhan ini memiliki bentuk beraneka ragam mulai dari bulat, silindris, pipih atau lembaran, filamen seperti rambut dan bersifat keras karena substansi mengandung zat kapur, lunak seperti tulang rawan, kenyal seperti gel atau fleksibel seperti bunga karang, serta mempunyai fungsi yang berbeda-beda sepeti perekat pada substrat, sebagai batang dan sebagai daun (Atmadja et.alin Sulistijo dan Atmadja 1996).


(31)

Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis.

Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) in Iksan (2005) menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna merah/merah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan (blunt nodule) atau duri (spine) pada thallus, subtansi thallus gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska.

Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi (Puslitbangkan 1991). Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Eucheumaalvarezii berwarna hijau (Kadi 2004).

Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya (Puslitbangkan 1991).

Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang stabil terdiri dari pecahan karang/potongan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup berkisar 20 – 40 cm/dtk.


(32)

Dengan menggunakan metode rawai (longline) dan sistem jalur kedalaman perairan yang mendukung pertumbuhan Eucheuma sp. adalah > 5 m pada saat surut terendah. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada saat surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada saat air pasang (Anonim 2004c).

Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan sehingga rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20 – 28 oC dengan fluktuasi harian maksimum 4 oC (Puslitbangkan 1991).

Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan 1991).

Kondisi kimia perairan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 25 ppt. Beberapa penyebab penurunan salinitas antara lain adanya air tawar yang masuk ke perairan melalui aliran sungai dan adanya hujan, hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal.

Selain itu faktor nutrient atau unsur hara dalam perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut meliputi kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Sulistijodan Atmadja (1996) menyebutkan bahwa kisaran fosfat optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara 0,02 ppm sampai 0,1 ppm, sedangkan kadar nitrat yang baik mendukung kehidupan alga 0,001 – 5 mg/l (Luning 1990). Faktor lainnya yang menjadi indikator kualitas perairan yang baik adalah perairan bebas dari bahan pencemar yang bersumber dari limbah rumah tangga, industri maupun limbah kapal. Hal tersebut dikarenakan bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut (Anonim 2004c).


(33)

Indikator biologi juga merupakan salah satu faktor dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut, dimana perairan secara alami ditumbuhi oleh kominitas dari berbagai makro alga seperti Ulva sp., Caulerpa sp., Padina sp., Hypnea sp. dan lain-lain. Selanjutnya perairan lokasi budidaya harus bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (Sigarus sp.), penyu laut (Chelonia mydas) dan bulu babi yang dapat memakan rumput laut (Puslitbangkan 1991).

Menurut Indriani dan Sumarsih (1999) bahwa beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya antara lain : (1) harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) areal disekitarnya terdapat makanan untuk tumbuh rumput laut, (4) perairan harus berkondisi mudah menerapkan budidaya, (5) mudah terjangkau sehingga meminimalkan biaya transportasi, (6) dekat dengan sumber tenaga kerja.

Penerapan metode budidaya yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Beberapa metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut meliputi (1) metode lepas dasar, yang dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pancang; (2) metode rakit apung, dimana cara pembudidayaan dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu; (3) metode longline, dimana menggunakan tali panjang yang dibentangkan; (4) metode jalur merupakan kombinasi dari metode rakit dan metode longline; (5) metode keranjang (kantung) dimana rumput laut diletakkan dalam kantung dan metode ini tergolong baru (DKP 2003). Dari kelima metode tersebut, metode long line sampai saat ini yang dipilih petani di wilayah Gugus Pulau Salabangka, karena metode ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain biaya yang dikeluarkan lebih murah dan masih terjangkau oleh pembudidaya, dan kemudahan dalam penanam, pemelihara serta panen.

Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga P2O-LIPI di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) dan Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah) bahwa jenis Eucheuma spinosum menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik dengan menggunakan metode apung dibandingkan dengan metode sistem lepas dasar (Iksan 2005).


(34)

Berdasarkan penerapan tingkat teknologi, budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi sederhana yaitu dengan mengikatkan rumpun bibit rumput laut pada kerangka tali nilon atau dapat juga menggunakan sistem lepas dasar (patok dan tali), rakit (bambu dan tali) atau rawai (monoline dengan pelampung botol plastik) (Kadi 2004).

Selanjutnya dalam penggunaan bibit, kebutuhan bibit dalam setiap musim tanam tergantung dari luas areal budidaya dan jarak tanam antar bibit pada setiap liris. Setiap 1 hektar luas areal budidaya dengan jarak tanam sekitar 20 cm, berat sekitar 100 – 150 gr per liris akan memerlukan bibit sekitar 1200 kg. Sedangkan menurut Kadi (2004) dengan menggunakan metode rawai, dengan panjang tali 50 – 100 m, jarak tanam 50 cm dan berat bibit per ikatan 200 – 300 gr akan memerlukan bibit sekitar 20 – 60 kg. Untuk masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen dengan metode lepas dasar umumnya berkisar antara 1,5 – 2 bulan (Kolang et al. 1996 in Syahputra 2005).

Hasil produksi untuk jenis Euceheuma cottonii dengan berat awal + 125 gram menggunakan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %, sehingga dalam setahun dengan 6 kali penanaman untuk luasan 1 hektar dapat dihasilkan 144 ton rumput laut basah atau kurang lebih 11 ton rumput laut kering (Aslan 1998). Menurut Hidayat (1994) hasil produksi dalam ton per hektar dengan metode apung adalah sebesar 504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering atau dengan perbandingan 13 : 1. Sedangkan menurut Indriani dan Sumarsih (1999) perbandingan antara berat basah dengan berat kering apabila di panen pada usia dua bulan adalah 6 : 1 dan jika dipanen pada usia 1 bulan perbandingannya 8 : 1.

2.4 Sistem Informasi Geografis (Geografis Information System-GIS)

Menurut Zetka (1985) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ekosistem pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir.


(35)

Menurut Rice20; Gistut94 in Prahasta (2002) definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi dengan karateristik-karateristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi.

Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang perairan untuk budidaya perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karateristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data terserbut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan (Soebagio 2005).

Berbagai penelitian terkait dengan pemanfaatan SIG antara lain Radiarta et.al (2003) mengaplikasikan SIG untuk penentuan lokasi pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat; Winarso et.al (1999) in Trisakti et.al (2004) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Bambang et.al (2003) in Trisakti et.al (2004) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisis kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat.

Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas (Trisakti et.al 2004).


(36)

Dalam penelitian ini, SIG digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan perairan untuk budidaya rumput laut, dengan tujuan optimalisasi lahan perairan dalam budidaya rumput laut. Beberapa hasil penggunaan SIG dalam penelitian ini antara lain peta sebaran ekosistem pesisir, peta kontur kedalaman, peta-peta tematik untuk parameter fisika kimia yang mempengaruhi budidaya rumput laut dan luas area pemanfaatan perairan saat ini.


(37)

III

METODOLOGI

Penelitian ini dimasudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang PPK untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai potensi dan daya dukung lingkungan dengan pendekatan ecological footprint. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menentukan kesesuaian perairan untuk budidaya berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint rumput laut) dan ketersediaan ruang (biocapacity). Untuk menghitung kebutuhan ruang didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumi, produktivitas dan kegiatan impor – ekspor. Hasil yang diperoleh berupa besaran ha/kapita, yang berarti setiap orang membutuhkan area perairan untuk budidaya rumput laut didasarkan pada pemanfaatan saat ini. Sedangkan perhitungan ketersediaan ruang perairan didasarkan pada metode skoring dan tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang mendukung untuk budidaya rumput laut. Kemudian hasil yang diperoleh berupa besaran ha. Adapun masing-masing nilai EF dan BC dinormalisasikan dengan equivalence factor (EqF). Nilai EqF adalah 0,06 merupakan nilai EqF berdasarkan tipe ekosistem laut (Warren-Rhodes dan Koenig 2001)

Selanjutnya kedua mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat kebutuhan ruang (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dimana tingkat kebutuhan ruang telah melebihi kemampuan ruang untuk mendukung budidaya rumput laut, demikian pula sebaliknya jika nilai EF < BC maka disebut undershoot (

Schaefer

et

.

al

2006

). Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 4.

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret – Mei 2007, di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.


(38)

Ruang Ekologi Pulau-Pulau Kecil (Gugus Pulau Salabangka)

Identifikasi Pemanfaatan Perairan untuk Budidaya Rumput Laut

Analisis Ketersediaan Ruang

(Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)

Analisis Kebutuhan Rumput Laut

(Ecological Footprint/EF Rumput Laut)

Data Footprint Rumput Laut :

- Data Tingkat Konsumsi (Domestic Extraction/DE) - Data Produktivitas (Y)

- Data Impor (IM) – Ekspor (EX)

Data Digital Data Sekunder Data Primer

Interpolasi Data

Peta Tematik -ii

Peta Tematik -n Peta Tematik

-i

Basis Data

Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut

Peta Kesesuaian Peraian untuk Budidaya Rumput Laut

Analisis Spasial Analisis Data

Ketersediaan Ruang

(Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)

Kebutuhan Rumput Laut

(Ecological Footprint/EF Rumput Laut)

Oseanografi : - Kecepatan arus - Kecerahan - Kedalaman - Keterlindungan - Dasar perairan - Salinitas - Suhu - pH - Oksigen Terlarut - Nutrient

Analisis Ruang Ekologi Budidaya Rumput Laut

EF > BC (Overshoot) atau EF < BC (Undershoot)

Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka


(39)

3.2 Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mempertimbangkan kondisi wilayah penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dalam pemanfaatan sumberdaya PPK khususnya untuk budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka.

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Untuk data primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui wawancara, pengamatan langsung dan observasi terencana (menggunakan kuisioner). Sedangkan data sekunder dilakukan melalui penelusuran kepustakaan dari jurnal dan laporan, baik yang berasal dari instansi terkait (seperti BPS, Dinas Kelautan dan Perikanan) maupun lembaga pendidikan. Jenis data dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Kelompok data primer terdiri dari data oseanografi (parameter fisika- kimia) dan data sosial ekonomi, yang meliputi tempat tinggal, jenis kelamin, umur, sumber pendapatan, pengalaman dan pengeluaran, kedua data tersebut bertujuan dalam identifikasi kesesuaian ruang budidaya rumput laut,. Sedangkan data sekunder mencakup data monografi, dan laporan hasil penelitian.

3.3.2 Metode Pengambilan Data

Metode pengukuran parameter fisika-kimia (Lampiran 1) perairan dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan tempat budidaya rumput laut dengan jumlah stasiun pengamatan adalah 15 buah (Gambar 4). Dalam metode ini, parameter yang dilakukan pengukuran meliputi parameter kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman, dasar perairan/substrat, suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO) dengan menggunakan pengukuran in situ. Sedangkan parameter nitrat dan fosfat dilakukan pengukuran di laboratorium. Dalam pengambilan data sosial ekonomi, responden yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah pembudidaya dan pengumpul rumput laut di Gugus Pulau Salabangka yaitu pembudidaya 253 orang, dan pengumpul rumput laut sejumlah 38 orang, serta


(40)

didasarkan pada batas administrasi desa (Gambar 5). Dengan pertimbangan kondisi pengambilan sampel bersifat homogen, maka teknik pengambilan responden menggunakan teknik acak sederhana.

Tabel 1 Jenis Data dan Parameter yang diukur

No Jenis Data Parameter Alat/Metode

1. Data Fisika

Data Kimia

- Kedalaman (m)

- Kecepatan arus (cm/detik)

- Keterlindungan

- Dasar perairan

- Kecerahan (%)

- Suhu (oC)

- Salinitas (ppt)

- Derajat keasaman/pH

- Oksigen terlarut (mg/l)

- Nitrat (mg/l)

- Fosfat (mg/l)

- Batu Duga dan Data Sekunder

- Layang-layang arus (drift float),

stop watch dan kompas geologi

- Data Sekunder

- Visual

- Secchi Disk

- Termometer

- Salinometer

- pH meter

- Titrasi

- Spektrofotometer (Laboratorium)

- Spektrofotometer (Laboratorium)

2. Budidaya rumput

laut

- Jumlah petani rumput laut

- Tenaga kerja

- Jenis bibit rumput laut

- Hasil panen (ton) dalam

bentuk basah dan kering

- Keuntungan (Rp/orang)

- Luas lahan budidaya (ha)

- Harga jual per kg (basah

dan kering)

3. Kebutuhan

Ruang Ekologis (Ecological Footprint)

- Produksi rumput laut (ton)

- Luas lahan (ha)

- Jumlah Pembudidaya

(kapita)

- Permintaan (ton)

4. Sosial –

Ekonomi

- Tempat tinggal

- Umur

- Sumber pendapatan

- Pengalaman

- Pengeluaran pembudiaya


(41)

Se

la t Sa

lab a n

gka

L A U T B A N D A

Pa d a b a le

Ka l e ro a n g Ka m p u h b a u

D o ng k a l a Ko l o n o

Pa d o p a d o

Le m o

Po

Bo e t a l is e

W a ru w a ru

La k o m b u lo Bu a j a n gk a

Ba k a la

Pa k u

Ko b u ru

Bu to n Ja w i ja w i

Bu n g i n ke l a P . P ad op ad o

Tg . L a bo

P . B ap a

Tg . K e e s a ha Tg . K a da ng a

P . T a di n an g

P . P ad ab al e

P . W a ru w ar u

P . K a le ro an g

P . K a ra ntu

P . P ak u Tg . L o tor e n de

K A B U P A T E N M O R O W A L I

U

P E T A L O K A S I P E N E L I T I A N

M A ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1 Pr o g r a m S tu d i

Pe n g e l o la a n S u m b er d a y a Pe s is i r d an L a u ta n Se k o la h P ar c a s a rj a n a

In s titu t Pe r ta n ia n B o g o r B o g o r 20 0 7

Si n g ka t an

P : P u la u T g : T a n ju n g

Su m b e r :

1. P e ta R u p a B u m i I n d o n e s i a , l e m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g , B A K O S U R T A N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey l a p a n g a n t a h u n 2 0 0 6

G a r is pa n tai J a la n la in J a la n s e t a p a k B el uk a r D ar a t S u la w e s i H u t a n La ut P as i r /Ke r a ka l P em u k im a n Te ga l/L a d a n g S ta s iu n P ar a m e t e r B io fi sik S ta s iu n S o s e k L e g e n d a Pe t a

S k a l a 1 : 80 . 0 0 0

1 0 1 2 km

Pe t a I n d e k s

PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A PR O V . SU L A W E SI T EN G A H

Ke p. Sa l aba ng k

3 °2 0' 3°20' 3°0 0 ' 3°0 0'

12 2 ° 0 0 ' 12 2 ° 0 0 '

12 2 ° 2 0 ' 12 2 ° 2 0 '

P ROV. SUL A WES I T E NGAH PR OV. S ULA WE S I SE L AT AN

PR OV. S UL A WE S I TENGGA R A PR OV. S UL A WE S I B AR AT

PR OV. GO R ONTALO PR OV. S UL A WE S I U TAR A

Ke p. S al ab an gk a

LA U T BA N D A

S

EL

AT MAK

A

SSAR

LA U T FL O RE S TE LU K B O N E

LA U T M AL U K U LA U T SU LA W E SI

11 9 11 9 12 0 12 0 12 1 12 1 12 2 12 2 12 3 12 3 12 4 12 4 12 5 12 5 -7 -7 -6 -6 -5 -5 -4 -4 -3 -3 -2 -2 -1 -1 0 0 1 2 2 1 12 2 °2 6 '0 0 "

12 2 °2 6 '0 0 " 12 2 °2 3 '5 0 "

12 2 °2 3 '5 0 " 12 2 °2 1 '4 0 "

12 2 °2 1 '4 0 " 12 2 °1 9 '3 0 "

12 2 °1 9 '3 0 "

2° 5 9 '2 0 " 2 °5 9 '2 0 " 3 °1 '3 0 " 3 °1 '3 0 " 3 °3 '4 0 " 3 °3 '4 0 " 3 °5 '5 0 " 3 °5 '5 0 "

G U G U S P U L A U S A B A L AN G K A K AB U P A T E N M O R O W AL I

S U L AW E S I TE N G A H

Gambar 5 Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut


(42)

3.4 Analisis Data

Menurut Wilson dan Anielski (2005), ruang ekologis merupakan dampak yang ditimbulkan dari setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan terhadap keberlanjutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan pendekatan ecological footprint. Keberlanjutan dalam konteks ini, berarti untuk mencapai hidup yang memuaskan tanpa melampaui kapasitas regeneratif suatu lingkungan.

Lebih lanjut Wackernagel menggunakan konsep ecological footprint untuk menghitung tingkat konsumsi terhadap sumberdaya, dan didasarkan pada pemikiran bahwa ketersediaan sumberdaya alam hayati (ruang) dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, dihasilkan oleh suatu luasan bumi yang produktif secara biologis (Ludvianto 2001).

Selanjutnya Adrianto (2006a) menyebutkan bahwa pendekatan ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi populasi, dimana perbedaan kebutuhan area dengan ketersedian ecological capacity dapat menunjukkan overshoot atau undershoot terhadap pemanfaatan sumberdaya.

Analisis daya dukung ruang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ecological footprint berdasarkan kebutuhan ruang ekologi untuk pengembangan rumput laut dimana perhitungan ecological footprint didasarkan tingkat kebutuhan rumput laut terhadap biocapacity yang didasarkan pada ketersediaan ruang yang secara ekologi mendukung budidaya rumput laut (Adrianto 2006a).

3.4.1 Analisis Kebutuhan Ruang Perairan

Analisis kebutuhan ruang ini didasarkan pada tingkat kebutuhan rumput laut untuk menunjukkan area perairan dalam kegiatan budidaya (rumput laut) yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi (pembudidaya) suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint rumput laut (Haberl et al. 2001 in Ditya 2007 ), yaitu sebagai berikut :


(43)

EqF EF EF

i Y EX i Y

IM i Y DE

EF lok i

lok i reg

i lok

i

i = + − dimana =

Dimana :

EFi : Ecological Footprint rumput laut pulau ke-i (Ha/kapita)

EFlok : Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita)

DEi : Tingkat Konsumsi rumput laut pulau ke-i (Ton/kapita)

IMi : Produksi rumput laut yang ”di impor” dari pulau lain (Ton/Ha)

EXi : Produksi rumput laut yang ”di ekspor” ke pulau lain (Ton/Ha)

Ylok i : Produktivitas rumput laut di pulau ke-i(Ton/Ha)

Yreg i : Produktivitas di gugus ke-i (Ton/Ha)

EqF : Equivalence Factor

3.4.2 Analisis Ketersediaan Ruang

Analisis ketersedian ruang (biocapacity) ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut secara spasial menggunakan konsep evaluasi lahan. Konsep ini didasarkan pada parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang secara ekologi merupakan prasyarat kelayakan dalam budidaya rumput laut. Untuk itu digunakan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG), guna melihat luas perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka.

Dalam menentukan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ditentukan dengan metode skoring dengan mengambil beberapa parameter dan menggunakan teknik tumpang susun (overlay) bertingkat. Selanjutnya menentukan tingkat kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks kesesuaian perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut.

Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian batasan nilai (setiap kategori) dan bobot, sehingga nilai skor yang diperoleh merupakan hasil kelayakan lokasi tersebut. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga tingkatan (FAO 1976 yang diacu oleh Hardjowigeno et.al 2001) dan didefinisikan sebagai berikut :


(44)

Kelas S1 : sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas S1 sebesar 3.

Kelas S2 : sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat

dan akan mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Untuk itu, dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan (input) teknologi dan tingkat perlakuan. Nilai scoring untuk kelas S2 sebesar 2.

Kelas N : tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang

sifatnya permanen, sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas N sebesar 1.

Nilai kesesuaian perairan yang diperoleh berkisar antara 0 – 300. Selanjutnya kisaran nilai ini di bagi ke dalam 3 kelas, sehingga diperoleh kisaran nilai kesesuaian sebagai berikut :

• Nilai 251 – 300 (S1) = sangat sesuai • Nilai 151 – 250 (S2) = sesui

• Nilai 0 – 150 (N) = tidak sesuai

Kategori kelas kesesuaian yang digunakan untuk menghitung biocapacity meliputi kelas sangat sesuai dan kelas sesuai, dengan menggunakan rumus :

=

= k lok k

k A EqF BC BC

BC dimana

Keterangan : Ak = Luas perairan budidaya rumput laut kategori ke - k(Ha) EqF = Equivalence Factor


(45)

Tabel 2 Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut

Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

(%) S1 Skor S2 Skor N Skor

1. Kecepatan arus

(cm/detik) 15 20-30 3

11-19 atau

31-45 2

< 11 atau

> 45 1

2.

Terlindung dari pengaruh angin dan gelombang

11 Sangat

terlindung 3 Terlindung 2

Tidak

terlindung 1

3. Nitrat (ppm) 5 0,9-3 3 0,1-< 0,9

atau 3-3,5 2

< 0,1 atau

> 3,5 1

4. Phosphat (ppm) 5 0,02-1,0 3

0,01-<0,02 atau

1,0-2,0

2 < 0,1 atau

> 3,5 1

5. Kecerahan (%) 11 80 - 100 3 60 - 79 2 < 60 1

6. Salinitas (ppt) 8 32 – 34 3 25 – 31 2 < 25 atau

> 35 1

7. Dasar perairan 11 Karang

Berpasir 3

Pasir – pasir berlumpur

2 Lumpur 1

8. Derajat

Keasaman/pH 5 7.5 – 8,5 3 7,5 – 6,8 2 < 6,8 1

9. Suhu (oC) 9 29 – 31 3 25 – 28 2 < 25 atau

> 32 1

10 DO (mg/L) 5 > 4 3 2 – 4 2 < 2 1

11. Kedalaman air

(m) 15 3 – 30 3

1 – 3 atau

31 – 40 2

<0,5 atau

>40 1

Jumlah 100


(46)

IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Daerah

4.1.1 Geografis dan Topografi

Wilayah Kecamatan Bungku Selatan dengan ibukota Kaleroang, terletak di Pulau Kaleroang merupakan gugusan pulau yang dikenal dengan nama kepulauan Salabangka. Berdasarkan Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta (1987) (Lampiran 2), Kepulauan Salabangka (Tabel 3) terdiri dari pulau-pulau Salabangka, pulau-pulau Umbele, dan pulau-pulau Sainoa. Wilayah penelitian dibatasi pada daerah Gugus Pulau Salabangka.

Secara geografis, Kecamatan Bungku Selatan terletak pada lintang 122o18’00” BT – 122o37’00” BT dan 02o53’00” LS – 03o11’00” LS, terdiri dari 33 desa diantaranya 21 desa tersebar di kepulauan dan sisanya terletak di wilayah daratan induk.

Secara administratif, Kecamatan Bungku Selatan termasuk dalam pemerintahan Kabupaten Morowali dengan batas-batas wilayah, sebagai berikut : 1. Sebelah Utara dengan wilayah Kecamatan Bahodopi dan Perairan Teluk Tolo 2. Sebelah Selatan dengan wilayah Kecamatan Menui Kepulauan

3. Sebelah Timur dengan Laut Banda

4. Sebelah Barat dengan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara

Kecamatan Bungku Selatan merupakan daerah dengan luas wilayah pesisir terbesar ke dua seluas 235.217 ha di Kabupaten Morowali. Dengan luas wilayah daratan adalah 81,17 % (103.178 ha) daratan induk dan 18,83 % (23.941 ha) daratan pulau-pulau kecil. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai pesisir 111,90 km dan panjang garis pantai lingkar pulau 56,30 km (Anonim 2004b).

Sebagian besar wilayah pesisir daratan terdiri dari pegunungan dan perbukitan yang disusun oleh batuan beku dan batu gamping kristalin, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 4 – 9 meter. Gunung tertinggi terletak di Desa Sambalagi dengan ketinggian 700 meter. Wilayah Kecamatan Bungku Selatan memiliki tiga sungai yaitu Sungai Mata Uso terletak di Desa Buleleng dengan panjang 17 km, Sungai Torete di Torete sepanjang 18 km, dan Sungai


(47)

Bahonimpa di Pungkeu dengan panjang 9 km. Pada musim penghujan Sungai Mata Uso mengalirkan lumpur dan sedimen ke laut, dan ini berdampak pada perairan di sekitar Pulau Bapa menjadi keruh (BPS 2003).

Bentuk pantai di daratan Kecamatan Bungku Selatan relatif lebih terjal dan sebagian wilayah terdiri dari hutan mangrove. Gugus Pulau Salabangka memiliki bentuk pantai relatif lebih datar, terbentuk dari terumbu karang dengan ketinggian rata-rata dari permukaan laut berkisar 1 – 2 meter.

Tabel 3 Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka

No Nama Gugus Nama Pulau Luas (Ha)

1. Pulau Salabangka Paku* 10.019

Waru-waru* 1.819

Pado-pado* 1.383

Pulau bapa* 780

Padabale* 1.572

Tadingan 13,67

Kaleroang* 740

Karantu 118

Manuk -

Jumlah 16.445

2 Pulau Umbele Pulau Dua* 124

Pulau Umbele* 3.316

Pulau Raja Gunung -

Pulau Buaya 181

Pulau Panimbawang 1*

Pulau Panimbawang 2* 1.948

Pulau Tukoh Bonte -

Pulau Boe Kocci -

Pulau Tukoh Kocci -

Pulau Tukoh Mangki -

Pulau Tukoh Sipegang -

Pulau Tokkajang -

Pulau Lakatamba* 394

Jumlah 5.963

3 Pulau Sainoa Pulau Tukoh Poadar -

Pulau Tukoh Dilama -

Pulau Tukoh Matingga -

Pulau Sainoa Darat*

Pulau Sainoa Mandilao* 522

Pulau Tukoh Besar -

Pulau Bungitende* 440

Pulau Stagal 126

Jumlah 1.088


(48)

4.1.2 Sosial Budaya Masyarakat

Pada umumnya, masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan berasal dari suku Bungku, Buton, Bajo dan Bugis. Kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi dan sosial cukup baik, mereka hidup bersama-sama dan saling bekerja sama. Secara umum, mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan sebagai nelayan. Berdasarkan Data BPS 2003, penduduk yang bekerja sesuai jenis lapangan kerja yang tersedia di Kecamatan Bungku Selatan meliputi nelayan, petani, pegawai, pedagang, industri, jasa, angkutan dan lain-lain, seperti di tunjukkan pada pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan

No Jenis Lapangan Kerja Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Nelayan 1.967 47,32

2 Petani 1.084 26,08

3 Pegawai 181 4,35

4 Pedagang 226 5,44

5 Industri 124 2,98

6 Jasa 249 5,99

7 Angkutan 20 0,48

8 Lain-lain 306 7,36

Jumlah 4.157 100

Sumber : Kecamatan Bungku Selatan dalam Angka 2003 (Diolah)

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Bungku Selatan bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama masyarakat yang bermukim pada pulau-pulau dimana sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan lingkungan perairan seperti penangkapan ikan, budidaya rumput laut/ikan/teripang, transportasi dan lain-lain.

Sebagian besar masyarakat di Gugus Pulau Salabangka (sekitar 98 %) adalah nelayan, baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan pengumpul, dengan alat tangkap yang digunakan adalah pancing, pukat, alat tangkap bubu, dan sero. Adapun kegiatan ekonomi lain yang dilakukan selain menangkap ikan adalah budidaya rumput laut.

Pada umumnya, masyarakat bekerja sebagai petani, pedagang, bergerak dalam bidang jasa dan angkutan laut memiliki pekerjaan sampingan sebagai nelayan atau sebagai pembudidaya rumput laut. Terdapat 28 % memiliki pekerjaan utama sebagai pembudidaya rumput laut, dan 26 % sebagai pekerjaan


(1)

Lampiran 5

Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali

No Family Species

1. Holocentridae (Kelompok Ikan Taget) Myripristis berndti M. adusta

M. vittata

Sargocentron caudimaculatum S. spiniferum

2. Serranidae (Kelompok Ikan Target dan Major)

Pseudanthis hypselosoma P. pleurotaenia

P. dispar P. squamipinnis P. tuka

Cephalopholis miniata Cephalopholis sp.

Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus sp.

Gracilla albomarginata

3. Apogonidae (Kelompok Ikan Target) Apogon nigrofasciatus

4. Lutjanidae (Kelompok Ikan Target) Lutjanus fulvus L. gibbus L. fulviflamma Macolor niger Pterocaesio tile

5. Haemulidae(Kelompok Ikan Target) Plectorhinchus lineatus P. orientalis

6. Mullidae (Kelompok Ikan Target) Parupeneus bifasciatus

7. Ephippidae (Kelompok Ikan Target dan Indikator)

Platax teira

8. Chaetodontidae (Kelompok Ikan Indikator) Chaetodon auriga C. klenii

Forcipiger flavissimus Hemitaurichthys polylepis Heniocho\us pleurotaenia

9. Pomacanthidae (Kelompok Ikan Indikator) Pygoplites diacanthus

10. Pomacentridae (Kelompok Ikan Indikator) Abudefduf sp. Chromis margaritifer Prennas biaculeatus Amphiprion peridereion Chrysiptera para sema Dascyllus spp.

Pamacentrus nigromanus P. moluccensis

Neoglyphidodon nigrosis

11. Labridae (Kelompok Ikan Major dan Target) Labroides dimidiatus Caranx spp.

12. Scaridae (Kelompok Ikan Target dan Indikator)

Scarus schlegeli

13. Zamclidae (Kelompok Ikan Major ) Ctenochaetus striatus

14. Acanthuridae (Kelompok Ikan Target) Zebrasoma scopas Zanclus cornutfus

15. Siganidae (Kelompok Ikan Target) Siganus corallinus


(2)

No

Nama Desa

Responden

Luas Lahan (m

)

Produksi (Kg/Tahun)

1 Kaleroang R1 1.125 700,00

R2 675 400,00

R3 1.125 666,67

R4 1.013 600,00

R5 375 333,33

R6 150 100,00

R7 150 100,00

R8 105 93,33

R9 360 320,00

R10 900 533,33

R11 225 100,00

2 Paku R1 300 133,33

R2 375 55,56

R3 188 27,78

R4 750 111,11

R5 375 55,56

R6 750 111,11

R7 325 216,67

R8 250 166,67

R9 375 83,33

R10 3.900 1.300,00

R11 450 266,67

R12 248 146,67

R13 1.590 530,00

R14 2.400 800,00

R15 318 141,33

R16 6.000 2.200,00

R17 600 266,67

R18 2.160 720,00

3 Buajangka R1 600 266,67

R2 300 88,89

R3 150 66,67

R4 375 122,22

R5 188 55,56

R6 281 125,00

R7 563 166,67

R8 263 97,22

R9 150 44,44

R10 188 83,33

R11 300 133,33

R12 1.125 333,33

R13 675 200,00

R14 750 111,11

R15 188 55,56

R16 150 44,44

4 Lakombulo R1 150 100,00

R2 700 233,33

R3 500 333,33

R4 750 500,00

R5 150 100,00

R6 450 100,00

R7 675 150,00


(3)

Lampiran 6 (Lanjutan)

No

Nama Desa

Responden

Luas Lahan (m

2

)

Produksi (Kg/Tahun)

R9 1.350 400,00

R10 450 100,00

R11 450 100,00

R12 500 666,67

5 Bungingkela R1 600 100,00

R2 450 75,00

R3 875 145,83

R4 600 100,00

R5 375 62,50

R6 1.050 175,00

R7 600 100,00

R8 1.050 262,50

R9 900 150,00

R10 1.050 175,00

R11 875 145,83

R12 750 125,00

R13 875 145,83

R14 600 100,00

R15 600 100,00

R16 375 62,50

R17 600 100,00

R18 450 75,00

R19 400 66,67

R20 750 125,00

R21 875 145,83

R22 450 60,00

R23 250 41,67

R24 600 100,00

R25 450 75,00

R26 300 50,00

6 Jawi-jawi R1 225 66,67

R2 225 66,67

R3 225 50,00

R4 180 40,00

R5 450 133,33

R6 675 150,00

R7 675 200,00

R8 675 200,00

R9 675 200,00

R10 675 200,00

R11 450 133,33

R12 720 160,00

R13 135 30,00

R14 225 50,00

R15 120 17,78

R16 450 133,33

R17 450 133,33

R18 450 133,33

R19 450 133,33

R20 270 80,00

R21 450 133,33

R22 450 100,00


(4)

No

Nama Desa

Responden

Luas Lahan (m

2

)

Produksi (Kg/Tahun)

R24 450 133,33

R25 135 30,00

R26 270 80,00

7 Koburu R1 263 466,67

R2 225 300,00

R3 360 240,00

R4 360 240,00

R5 105 70,00

R6 315 210,00

R7 270 180,00

R8 270 180,00

R9 360 240,00

R10 225 150,00

R11 250 166,67

R12 375 250,00

R13 300 200,00

R14 180 120,00

R15 180 60,00

R16 540 180,00

R17 828 368,00

R18 345 204,44

R19 938 555,56

R20 440 195,56

R21 600 266,67

R22 990 440,00

R23 225 100,00

R24 240 80,00

R25 225 400,00

R26 600 200,00

8 Waru-waru R1 420 130,67

R2 570 532,00

R3 450 420,00

R4 420 392,00

R5 450 420,00

R6 450 420,00

R7 450 435,00

R8 750 233,33

R9 480 480,00

R10 540 504,00

R11 360 336,00

R12 450 420,00

R13 420 392,00

R14 360 360,00

R15 450 420,00

R16 450 420,00

R17 450 420,00

R18 600 560,00

R19 420 336,00

R20 450 420,00

R21 300 280,00

R22 600 560,00

9 Po R1 550 366,67


(5)

Lampiran 6 (Lanjutan)

No

Nama Desa

Responden

Luas Lahan (m

2

)

Produksi (Kg/Tahun)

R3 750 500,00

R4 1.000 666,67

R5 900 600,00

R6 450 300,00

R7 400 266,67

R8 700 466,67

R9 1.000 666,67

R10 750 500,00

R11 500 333,33

R12 500 333,33

R13 1.000 666,67

R14 750 500,00

R15 600 400,00

R16 350 233,33

R17 150 100,00

10 Waru R1 800 533,33

R2 300 200,00

R3 450 300,00

R4 600 400,00

R5 315 210,00

R6 750 500,00

R7 450 300,00

R8 600 400,00

R9 900 600,00

R10 400 266,67

R11 180 120,00

R12 225 150,00

R13 750 500,00

R14 225 150,00

R15 250 166,67

R16 375 250,00

R17 1.000 666,67

R18 850 566,67

11 Padabale R1 400 700,00

R2 280 400,00

R3 120 666,67

R4 550 600,00

R5 320 333,33

R6 150 100,00

R7 1.800 100,00

R8 400 93,33

R9 1.000 320,00

R10 400 533,33

R11 300 100,00

R12 440 47,62

R13 300 33,33

R14 400 15,00

R15 272 122,22

R16 400 53,33

R17 240 20,00

R18 1.200 144,00

R19 240 66,67


(6)

No

Nama Desa

Responden

Luas Lahan (m

2

)

Produksi (Kg/Tahun)

R21 240 20,00

R22 520 86,67

R23 200 29,17

12 Pado-pado R1 750 500,00

R2 750 500,00

R3 750 500,00

R4 400 266,67

R5 500 333,33

R6 500 333,33

R7 500 333,33

R8 750 500,00

R9 500 333,33

R10 150 100,00

R11 650 433,33

R12 240 160,00

R13 850 566,67

R14 225 100,00

R15 750 500,00

R16 180 120,00

R17 180 120,00

R18 600 400,00

R19 360 53,33

R20 500 333,33

13 Pulau bapa R1 648 144,00

R2 90 30,00

R3 540 120,00

R4 540 90,00

R5 960 160,00

R6 1.260 210,00

R7 1.500 888,89

R8 1.013 450,00

R9 563 333,33

R10 1.125 500,00

R11 225 133,33

R12 300 50,00

R13 405 90,00

R14 1.120 149,33

R15 225 100,00

R16 1.500 200,00

R17 280 46,67

R18 300 30,00