Limbah Arang Sekam Padi Sebagai Adsorben Ion Cr(III) dan Cr(VI)

(1)

ABSTRAK

PARAMITHA MESSAYU G44052938.

Limbah Arang Sekam Padi Sebagai

Adsorben Ion Cr(III) dan Cr(VI). Dibimbing oleh

ETI ROHAETI DAN

IRZAMAN.

Sumber utama pencemaran logam berat di lingkungan disebabkan oleh limbah

industri. Logam kromium dan senyawanya memiliki aplikasi yang luas di sektor

industri. Kromium dapat membentuk dua macam senyawa, yaitu Cr(III) dan

Cr(VI). Toksisitas kromium trivalen tidak begitu berarti karena dapat larut dalam

keadaan pH yang mendekati netral. Kromium heksavalen bersifat sangat

karsinogen dan berperan dalam merusak proses transkipsi DNA dalam sel tubuh.

Terdapat banyak cara dilakukan dalam mengurangi pencemaran lingkungan, salah

satunya dengan menggunakan produk samping dari pertanian yang berpotensial

digunakan sebagai adsorben. Penelitian ini memanfaatkan limbah arang sekam

padi (ASP) sebagai adsorben Cr(III) dan Cr(VI). ASP diaktivasi dengan

menggunakan KOH. Sebagai pembanding, digunakan Arang Aktif (AA)

komersial yang berasal dari tempurung kelapa. Adsorpsi dilakukan dengan ragam

waktu kontak, bobot adsorben, dan konsentrasi awal larutan Cr(III) dan Cr(VI).

Kondisi optimum dari ASP sebagai adsorben Cr(III) dan Cr(VI) diperoleh pada

waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi sebesar 250 ppm. Kondisi optimum

untuk AA sebagai adsorben Cr(III) diperoleh pada waktu 90 menit, 0.5 g, dan

konsentrasi sebesar 250 ppm. Kondisi optimum untuk AA sebagai adsorben

Cr(VI) diperoleh pada waktu 90 menit, 0.5 g, dan konsentrasi sebesar 250 ppm.

Pada larutan tunggal dari Cr(III) dan Cr (VI), ASP memiliki kapasitas adsorpsi

sebesar 8.400 mg/g; dengan efisiensi adsorpsi sebesar 84.00 %.


(2)

ABSTRACT

PARAMITHA MESSAYU G44052938.

Waste Carbonized Rice Husk As Ion

Cr(III) and Cr(VI) Adsorbent. Supervised by

ETI ROHAETI AND IRZAMAN.

The major sources of heavy metal contaminations are industrial effluents.

Chromium metal and its compound have wide application in industrial sector. Its

two most stable states are Cr(III) and Cr(VI). Trivalent chromium toxicity is

negligible because it often forms insoluble hydroxide at netral pH. Hexavalent

chromium is considered powerful carcinogenic agent Lots of waste treatment

efforts are conducted; one of which is to make use of agricultural by products that

are potential to be utilized as adsorbent. This paper utilizes carbonized rice husk

from rice husk stove as Cr(III) and Cr(VI) adsorbent. Carbonized rice husk was

activated potassium hydroxide (KOH). As a comparison, activated carbon that

originated from coconut shell, a commercially-used adsorbent, was used.

Adsorption was carried out by varying adsorption time, adsorbent weight, and

initial concentrations of Cr(III) and Cr(VI). The optimum condition of carbonized

rice husk adsorbent for Cr(III) and Cr(VI) were 60 minutes; 0.5 g; and 250 ppm.

The optimum conditions for activated carbon, as comparison, for Cr(III) were 90

minutes; 0.5 g; and 250 ppm. And the optimum conditions for activated carbon, as

comparison, for Cr(VI) were 90 minutes; 0.5 g; and 250 ppm. In single solution

test of Cr(III) and Cr(VI), adsorption capacity for carbonized rice husk were 8.400

mg/g; with adsorption efficiency were 84.00 %.


(3)

PENDAHULUAN

Pencemaran logam berat pada perairan menjadi permasalahan yang populer sepanjang satu dekade terakhir. Logam berat merupakan komponen sangat toksik yang memiliki efek bahaya pada tumbuhan dan hewan serta mengakibatkan kepunahan. Meningkatnya pengetahuan mengenai efek toksikologi dari logam berat terhadap lingkungan, memberikan informasi mengenai metode yang digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan perairan. Sumber utama kontaminasi logam berat pada lingkungan adalah limbah industri. Hal ini menyebabkan meningkatnya presistensi dan pencemaran lingkungan. Polutan senyawa mikro anorganik menjadi perhatian utama karena sifatnya yang non-biodegradable, toksisitas tinggi, dan memiliki efek karsinogenik (Cimino et al. 1990, Madoni 1996).

Terdapat beberapa logam berat yang mencemari lingkungan, salah satunya adalah kromium yang merupakan limbah pada beberapa industri seperti pengawetan kayu, pewarnaan tekstil, elektroplating, dan pelapisan logam (Kim et al. 2002; Donmez dan Aksu 2002). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung, dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Metode konvensional yang sering digunakan dalam mengurangi efek pencemaran logam berat pada lingkungan antara lain dengan menggunakan presipitasi secara kimia (Ozer et al. 1997), penjerapan dengan menggunakan arang aktif (Lotfi dan Adhoum 2002), presipitasi secara elektrokimia (Namasivayam dan Yamuna 1995), penukar ion (Rengaraj et al. 2003), ekstraksi pelarut (Mauri et al. 2001), dan

proses osmosis. Proses yang dilakukan didasarkan pada aspek ekonomi sehingga metode yang dilakukan efektif dalam mengurangi cemaran logam kromium dalam lingkungan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Saat ini dicari adsorben yang mudah didapat serta bernilai ekonomis. Adsorben alami yang berasal dari limbah pertanian dan bahan biologis menjadi beberapa alternatif dalam penanganan cemaran logam berat pada ligkungan. Bahan yang berasal dari limbah pertanian merupakan salah satu adsorben potensial yang digunakan dalam mengurangi cemaran logam berat.

John et al. (1998) menyatakan bahwa arang aktif yang berasal dari sekam padi memiliki kemampuan yang baik dalam mengurangi cemaran benzena, toluena, metanol, aseton, dan asetonitril pada limbah cair yang ada di lingkungan. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah arang sekam padi yang berasal dari pembakaran tungku sekam padi dalam mengadsorpsi logam berat kromium dari larutan tunggalnya, menentukan kondisi optimum adsorpsi yang meliputi waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal adsorbat serta karakteristiknya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sekam Padi

Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari batang padi dan merupakan hasil sampingan yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Singhania (2005) menyatakan bahwa setiap ton produksi padi akan menghasilkan 220 kg (22%) sekam padi, dan apabila dibakar akan menghasilkan 55kg (25%) abu sekam padi atau rice husk ash (RHA) yang mengandung hampir 85-90% silika. Menurut Shinohara et al. (2004) sekam padi mengandung 13.2-29.0% bahan anorganik, dengan komponen utamanya merupakan silika padi yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia abu sekam padi. Parameter

(%) Abu Sekam Padi*

SiO2 92.95

TiO2 0.02

Al2O3 0.31

Fe2O3 0.26


(4)

PENDAHULUAN

Pencemaran logam berat pada perairan menjadi permasalahan yang populer sepanjang satu dekade terakhir. Logam berat merupakan komponen sangat toksik yang memiliki efek bahaya pada tumbuhan dan hewan serta mengakibatkan kepunahan. Meningkatnya pengetahuan mengenai efek toksikologi dari logam berat terhadap lingkungan, memberikan informasi mengenai metode yang digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan perairan. Sumber utama kontaminasi logam berat pada lingkungan adalah limbah industri. Hal ini menyebabkan meningkatnya presistensi dan pencemaran lingkungan. Polutan senyawa mikro anorganik menjadi perhatian utama karena sifatnya yang non-biodegradable, toksisitas tinggi, dan memiliki efek karsinogenik (Cimino et al. 1990, Madoni 1996).

Terdapat beberapa logam berat yang mencemari lingkungan, salah satunya adalah kromium yang merupakan limbah pada beberapa industri seperti pengawetan kayu, pewarnaan tekstil, elektroplating, dan pelapisan logam (Kim et al. 2002; Donmez dan Aksu 2002). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung, dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Metode konvensional yang sering digunakan dalam mengurangi efek pencemaran logam berat pada lingkungan antara lain dengan menggunakan presipitasi secara kimia (Ozer et al. 1997), penjerapan dengan menggunakan arang aktif (Lotfi dan Adhoum 2002), presipitasi secara elektrokimia (Namasivayam dan Yamuna 1995), penukar ion (Rengaraj et al. 2003), ekstraksi pelarut (Mauri et al. 2001), dan

proses osmosis. Proses yang dilakukan didasarkan pada aspek ekonomi sehingga metode yang dilakukan efektif dalam mengurangi cemaran logam kromium dalam lingkungan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Saat ini dicari adsorben yang mudah didapat serta bernilai ekonomis. Adsorben alami yang berasal dari limbah pertanian dan bahan biologis menjadi beberapa alternatif dalam penanganan cemaran logam berat pada ligkungan. Bahan yang berasal dari limbah pertanian merupakan salah satu adsorben potensial yang digunakan dalam mengurangi cemaran logam berat.

John et al. (1998) menyatakan bahwa arang aktif yang berasal dari sekam padi memiliki kemampuan yang baik dalam mengurangi cemaran benzena, toluena, metanol, aseton, dan asetonitril pada limbah cair yang ada di lingkungan. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah arang sekam padi yang berasal dari pembakaran tungku sekam padi dalam mengadsorpsi logam berat kromium dari larutan tunggalnya, menentukan kondisi optimum adsorpsi yang meliputi waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal adsorbat serta karakteristiknya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sekam Padi

Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari batang padi dan merupakan hasil sampingan yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Singhania (2005) menyatakan bahwa setiap ton produksi padi akan menghasilkan 220 kg (22%) sekam padi, dan apabila dibakar akan menghasilkan 55kg (25%) abu sekam padi atau rice husk ash (RHA) yang mengandung hampir 85-90% silika. Menurut Shinohara et al. (2004) sekam padi mengandung 13.2-29.0% bahan anorganik, dengan komponen utamanya merupakan silika padi yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia abu sekam padi. Parameter

(%) Abu Sekam Padi*

SiO2 92.95

TiO2 0.02

Al2O3 0.31

Fe2O3 0.26


(5)

2

MgO 0.55 CaO 0.53

Na2O 0.08

K2O 2.06

Total 96.88 *Shinohara et al. (2004)

Menurut James & Rao (1986 dalam Basha et al., 2005) kualitas abu sekam padi yang dihasilkan dari proses pembakaran dipengaruhi oleh suhu pembakaran, lama pembakaran, laju pendinginan abu, dan kondisi selama penggilingan.

Arang sekam padi juga telah dimanfaatkan sebagai penjerap atau adsorben. Mahvi et al. (2004) menyatakan bahwa dengan dosis minimum abu sekam padi 0.3g dapat menghilangkan 500µg/L fenol dalam 100ml larutan dengan pH larutan 7 dengan efektivitas sebesar 96%.

Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses pemisahan dengan komponen-komponen tertentu dalam dalam fase cair di transfer ke permukaan adsorben fase padat. Sebagian adsorben adalah materi berpori. Adsorpsi biasanya terjadi pada dinding-dinding pori atau pada sisi spesifik dalam partikel (Cabe Mc 2001). Proses pengikatan terjadi pada permukaan padatan atau cairan adsorben terhadap atom-atom, ion-ion, atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya (adsorbat) yang melibatkan ikatan intramolekul diantarakeduanya.

Terdapat dua metode adsorpsi, yaitu tumpak (batch) dan lapik tetap (fixed bed). Pada metode tumpak larutan contoh dicampur dan dikocok bersamaan dengan bahan penjerap sampai tercapai kesetimbangan. Jerapan fase padat-cair ini mencapai kesetimbangan saat adsorben telah jenuh oleh adsorbat. Zat yang tidak teradsorpsi dipisahkan dari adsorbat dengan cara penyaringan. Ketika kesetimbangan telah tercapai, kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi sisa dalam larutan. Misalnya, pada adsorpsi kromium heksavalen oleh zeolit, jumlah kromium heksavalen yang teradsorpsi dihitung berdasarkan selisih kromium awal dengan kromium sisa perendaman.

Metode lapik tetap merupakan metode adsorpsi dengan menempatkan adsorben dalam kolom sebagai lapik dan adsorbat dialirkan ke dalam kolom tersebut sebagai

influen. Larutan yang keluar dari kolom merupakan sisa zat yang tidak teradsorpsi yang disebut efluen. Influen dialirkan melewati lapik hingga padatan lapik tersebut mendekati jenuh dan pemisahan yang diinginkan tidak dapat diperoleh lagi. Aliran tersebut kemudian dialirkan ke lapik berikutnya hingga adsorpsi jenuh dapat digantikan atau diregenerasi.

Arang Aktif

Arang aktif merupakan karbon amorf yang daya adsorpsinya ditingkatkan dengan membuka pori-pori yang ada dipermukaannya melalui proses yang disebut aktivasi. Arang aktif tersusun dari plat-plat datar atom karbon yang bersifat amorf dan terikat satu sama lain dengan ikatan kovalen membentuk kisi heksagonal. Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas permukaan arang aktif berkisar 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan arang aktif mempunyai sifat sebagai adsorben.

Arang aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu. Sifat adsorpsi bergantung pada volume pori-pori dan luas permukaan (Sinaga et al. 2003). Definisi lain menyatakan bahwa arang aktif adalah bentuk generik dari berbagai macam produk yang mengandung karbon yang telah diaktivasi untuk meningkatkan luas permukaannya.

Penelitian ini menggunakan arang aktif komersial sebagai pembanding untuk mengetahui kemampuan adsorben limbah arang sekam padi dalam mengadsorpsi ion Cr(III) dan Cr(VI). Arang aktif merupakan adsorben komersial yang banyak digunakan oleh industri. Hal ini karena arang aktif memiliki kemampuan yang efektif dalam mengadsorpsi berbagai senyawa, baik itu logam berat maupun zat warna. Proses adsorpsi pada arang aktif melalui tiga tahap dasar. Pertama-tama zat teradsorpsi pada arang aktif bagian luar, lalu bergerak menuju pori-pori, dan selanjutnya teradsorpsi ke dinding bagian dalam dari arang aktif.

Kromium

Kromium merupakan salah satu logam berat yang termasuk dalam unsur transisi


(6)

3

golongan VI-B periode 4. Kromium mempunyai nomor atom 24 dan nomor massa 51.996 merupakan logam berwarna putih perak dan lunak jika dalam keadaan murni dengan massa jenis 7.9 g/cm3 mempunyai titik didih 2658 ºC (Sugiyarto 2003). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium divalen bersifat kurang stabil dan bersifat pereduksi kuat, kromium trivalen suatu penyusun yang stabil dan bersifat amfoter, sedangkan kromium heksavalen sebagai bahan kimia yang banyak digunakan di bidang industri (Bastarache 2002).

Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Jumlah kromium rata-rata yang masuk ke dalam tubuh orang dewasa sehari-hari berkisar antara 0.03-0.1 mg, lebih dari 90% berasal dari makanan. Pada konsentrasi yang rendah kromium trivalen berguna untuk metabolisme karbohidrat pada mamalia dan mengaktifkan insulin. Apabila terjadi kekurangan kromium akan mengganggu pertumbuhan dan proses metabolisme lemak dan protein. Pada tingkat yang lebih tinggi dapat menimbulkan keracunan secara akut ditandai dengan gejala mual, sakit perut, kejang, dan koma. Keracunan secara kronis dapat mengenai organ-organ tertentu seperti efek pada paru-paru, ginjal, dan hati (Kusnoputranto 1996).

Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Respon yang umum, yaitu terjadi alergi kulit. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Beberapa metode telah digunakan untuk pengukuran kromium total dan kromium heksavalen pada berbagai material seperti tanah dan air. Salah satunya adalah spektrofotometri sinar tampak. Kromium heksavalen bila ditambah 1,5-difenilkarbazida (DPC) dalam larutan asam membentuk kompleks berwarna violet yang intensitasnya sebanding dengan banyaknya kromium

heksavalen dalam contoh. Pewarnaan dengan DPC cukup sensitif dengan nilai adsorptivitas molar berkisar 40.000 L/mol cm pada panjang gelombang 540 nm (Clesceri et al. 1989). Pada pengukuran kromium total menggunakan metode spektrofotometri diperlukan suatu pengoksidasi kuat sehingga kromium dengan tingkat oksidasi lebih rendah dapat di analisis dengan metode ini. Menurut Clesceri et al. (1989) oksidator yang dapat digunakan, antara lain: KMnO4, K2S2O8, dan

HClO4. Selain itu, Noroozifar et al. (2003)

menyatakan bahwa serium juga efektif untuk mengoksidasi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen. Kemampuan serium dalam mengkonversi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen sebesar 100.01% (Wijayanti 2005), nilai ini lebih baik jika dibandingkan dengan KMnO4 yang

mampu mengkonversi 91.00% (Martha 2004). Kondisi Optimum Adsorpsi

Penentuan kondisi optimum dilakukan karena setiap adsorben memilki pencirian yang berbeda dalam proses adsorpsi, sehingga kondisi yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi juga berbeda. Selain penentuan kondisi optimum juga dapat dilakukan agar saat aplikasi terhadap limbah industri, adsorben dapat mengadsorpsi logam berat dengan optimal sehingga diperoleh hasil yang baik. Pada penelitian ini digunakan tiga parameter, yaitu waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal logam berat. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh melalui model Statistika Modde 5.0, yaitu kondisi ketika adsorben memiliki kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah CrCl3.6H2O (Merck) sebagai Cr

3+

, K2Cr2O7

(Merck) sebagai sumber Cr6+, arang aktif

komersial, dan limbah arang sekam padi. Alat-alat yang digunakan antara lain spektrofotometer UV-1601 UV Visible Shimadzu dan Scanning electron microscopy- Energy dispersive x-ray (SEM-EDX).

Lingkup Penelitian

Penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu pemanasan sekam padi pada tungku sekam,


(7)

3

golongan VI-B periode 4. Kromium mempunyai nomor atom 24 dan nomor massa 51.996 merupakan logam berwarna putih perak dan lunak jika dalam keadaan murni dengan massa jenis 7.9 g/cm3 mempunyai titik didih 2658 ºC (Sugiyarto 2003). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium divalen bersifat kurang stabil dan bersifat pereduksi kuat, kromium trivalen suatu penyusun yang stabil dan bersifat amfoter, sedangkan kromium heksavalen sebagai bahan kimia yang banyak digunakan di bidang industri (Bastarache 2002).

Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Jumlah kromium rata-rata yang masuk ke dalam tubuh orang dewasa sehari-hari berkisar antara 0.03-0.1 mg, lebih dari 90% berasal dari makanan. Pada konsentrasi yang rendah kromium trivalen berguna untuk metabolisme karbohidrat pada mamalia dan mengaktifkan insulin. Apabila terjadi kekurangan kromium akan mengganggu pertumbuhan dan proses metabolisme lemak dan protein. Pada tingkat yang lebih tinggi dapat menimbulkan keracunan secara akut ditandai dengan gejala mual, sakit perut, kejang, dan koma. Keracunan secara kronis dapat mengenai organ-organ tertentu seperti efek pada paru-paru, ginjal, dan hati (Kusnoputranto 1996).

Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Respon yang umum, yaitu terjadi alergi kulit. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Beberapa metode telah digunakan untuk pengukuran kromium total dan kromium heksavalen pada berbagai material seperti tanah dan air. Salah satunya adalah spektrofotometri sinar tampak. Kromium heksavalen bila ditambah 1,5-difenilkarbazida (DPC) dalam larutan asam membentuk kompleks berwarna violet yang intensitasnya sebanding dengan banyaknya kromium

heksavalen dalam contoh. Pewarnaan dengan DPC cukup sensitif dengan nilai adsorptivitas molar berkisar 40.000 L/mol cm pada panjang gelombang 540 nm (Clesceri et al. 1989). Pada pengukuran kromium total menggunakan metode spektrofotometri diperlukan suatu pengoksidasi kuat sehingga kromium dengan tingkat oksidasi lebih rendah dapat di analisis dengan metode ini. Menurut Clesceri et al. (1989) oksidator yang dapat digunakan, antara lain: KMnO4, K2S2O8, dan

HClO4. Selain itu, Noroozifar et al. (2003)

menyatakan bahwa serium juga efektif untuk mengoksidasi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen. Kemampuan serium dalam mengkonversi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen sebesar 100.01% (Wijayanti 2005), nilai ini lebih baik jika dibandingkan dengan KMnO4 yang

mampu mengkonversi 91.00% (Martha 2004). Kondisi Optimum Adsorpsi

Penentuan kondisi optimum dilakukan karena setiap adsorben memilki pencirian yang berbeda dalam proses adsorpsi, sehingga kondisi yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi juga berbeda. Selain penentuan kondisi optimum juga dapat dilakukan agar saat aplikasi terhadap limbah industri, adsorben dapat mengadsorpsi logam berat dengan optimal sehingga diperoleh hasil yang baik. Pada penelitian ini digunakan tiga parameter, yaitu waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal logam berat. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh melalui model Statistika Modde 5.0, yaitu kondisi ketika adsorben memiliki kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah CrCl3.6H2O (Merck) sebagai Cr

3+

, K2Cr2O7

(Merck) sebagai sumber Cr6+, arang aktif

komersial, dan limbah arang sekam padi. Alat-alat yang digunakan antara lain spektrofotometer UV-1601 UV Visible Shimadzu dan Scanning electron microscopy- Energy dispersive x-ray (SEM-EDX).

Lingkup Penelitian

Penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu pemanasan sekam padi pada tungku sekam,


(8)

4

preparasi limbah arang sekam padi, aktivasi limbah arang sekam padi, penentuan kondisi optimum adsorpsi meliputi waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion Cr(III) dan Cr(VI), serta karakteristik limbah arang sekam padi.

Preparasi Limbah Arang Sekam

Preparasi limbah arang sekam padi meliputi penggilingan dan pengayakan. Limbah arang sekam padi digiling dengan mortar, lalu diayak sehingga diperoleh arang sekam padi dengan ukuran 20-40 mesh. Sebanyak 40 gram limbah arang sekam padi dicampurkan dengan KOH 1 M dan diaduk selama 3 jam kemudian dipanaskan dalam oven selama 2 jam (Yang et al. 2003). Setelah itu, arang sekam dimasukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang.

Metode jerapan limbah arang sekam padi yang dipilih adalah metode tumpak (batch adsorption). Hal ini dikarenakan kapasitas jerapan metode tumpak lebih besar daripada metode lapik tetap. Selain itu, metode tumpak lebih efektif dan efisien dari segi waktu dibandingkan metode lapik tetap.

Pembuatan Kurva Standar Kromium Pembuatan kurva standar digunakan larutan standar Cr(III) dari CrCl3.6H2O dan

Cr(VI) dari K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0,

0.5, 1.0, 1.5, 2.0, dan 2.5 ppm. Sebanyak 10 mL larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2 mL DPC 0.25 %, lalu

dikocok dan diukur serapannya pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer (Clesceri et al. 2005).

Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Adsorben dengan ragam bobot 0.5; 1.0; dan 1.5 g (Pehlivan et al. 2008) dimasukkan ke dalam 100 ml larutan Cr(III) dan Cr(VI) dengan konsentrasi awal 150, 200, dan 250 ppm (Wang et al. 2009), kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi 30; 60; dan 90 menit (Pehlivan et al. 2008). Setelah itu, campuran disentrifus untuk memisahkan larutan dari arang sekam padi. Supernatan yang diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan ditentukan konsentrasi Cr dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum, kemudian ditentukan kapasitas dan efisiensi adsorpsinya.

Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Efisiensi adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

%E : efisiensi adsorpsi

Q : kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (µg/g adsorben)

V : volume larutan

Cawal : konsentrasi awal larutan (ppm) Cakhir : konsentrasi akhir larutan (ppm) M : massa adsorben (g)

Desain penentuan kondisi optimum adsorpsi dilakukan menggunakan metode response surface dengan rancangan acak lengkap faktorial. Kondisi yang digunakan sebagai faktor adalah waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion kromium, sedangkan responsnya adalah kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva Standar Kromium

Percobaan diawali dengan memperoleh kurva standar (Gambar 1) yang diukur pada panjang gelombang maksimum, yaitu 542.5 nm (Lampiran 1). Data absorbansi larutan kromium pada pembuatan kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 3. Kurva standar menggambarkan hubungan antara serapan sinar (absorbans) dengan konsentrasi zat yang menyerap sinar tersebut, sehingga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu zat, yang dalam penelitian ini adalah ion Cr(III) dan Cr(VI). Kurva standar yang diperoleh melalui metode regresi linear memberikan persamaan y = 0.08609x + 0.21949 dengan linearitas sebesar 99.985%.


(9)

4

preparasi limbah arang sekam padi, aktivasi limbah arang sekam padi, penentuan kondisi optimum adsorpsi meliputi waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion Cr(III) dan Cr(VI), serta karakteristik limbah arang sekam padi.

Preparasi Limbah Arang Sekam

Preparasi limbah arang sekam padi meliputi penggilingan dan pengayakan. Limbah arang sekam padi digiling dengan mortar, lalu diayak sehingga diperoleh arang sekam padi dengan ukuran 20-40 mesh. Sebanyak 40 gram limbah arang sekam padi dicampurkan dengan KOH 1 M dan diaduk selama 3 jam kemudian dipanaskan dalam oven selama 2 jam (Yang et al. 2003). Setelah itu, arang sekam dimasukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang.

Metode jerapan limbah arang sekam padi yang dipilih adalah metode tumpak (batch adsorption). Hal ini dikarenakan kapasitas jerapan metode tumpak lebih besar daripada metode lapik tetap. Selain itu, metode tumpak lebih efektif dan efisien dari segi waktu dibandingkan metode lapik tetap.

Pembuatan Kurva Standar Kromium Pembuatan kurva standar digunakan larutan standar Cr(III) dari CrCl3.6H2O dan

Cr(VI) dari K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0,

0.5, 1.0, 1.5, 2.0, dan 2.5 ppm. Sebanyak 10 mL larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2 mL DPC 0.25 %, lalu

dikocok dan diukur serapannya pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer (Clesceri et al. 2005).

Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Adsorben dengan ragam bobot 0.5; 1.0; dan 1.5 g (Pehlivan et al. 2008) dimasukkan ke dalam 100 ml larutan Cr(III) dan Cr(VI) dengan konsentrasi awal 150, 200, dan 250 ppm (Wang et al. 2009), kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi 30; 60; dan 90 menit (Pehlivan et al. 2008). Setelah itu, campuran disentrifus untuk memisahkan larutan dari arang sekam padi. Supernatan yang diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan ditentukan konsentrasi Cr dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum, kemudian ditentukan kapasitas dan efisiensi adsorpsinya.

Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Efisiensi adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

%E : efisiensi adsorpsi

Q : kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (µg/g adsorben)

V : volume larutan

Cawal : konsentrasi awal larutan (ppm) Cakhir : konsentrasi akhir larutan (ppm) M : massa adsorben (g)

Desain penentuan kondisi optimum adsorpsi dilakukan menggunakan metode response surface dengan rancangan acak lengkap faktorial. Kondisi yang digunakan sebagai faktor adalah waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion kromium, sedangkan responsnya adalah kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva Standar Kromium

Percobaan diawali dengan memperoleh kurva standar (Gambar 1) yang diukur pada panjang gelombang maksimum, yaitu 542.5 nm (Lampiran 1). Data absorbansi larutan kromium pada pembuatan kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 3. Kurva standar menggambarkan hubungan antara serapan sinar (absorbans) dengan konsentrasi zat yang menyerap sinar tersebut, sehingga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu zat, yang dalam penelitian ini adalah ion Cr(III) dan Cr(VI). Kurva standar yang diperoleh melalui metode regresi linear memberikan persamaan y = 0.08609x + 0.21949 dengan linearitas sebesar 99.985%.


(10)

5

Gambar 1 Kurva standar kromium. Kondisi Optimum Limbah Arang

Sekam Padi

Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi, yaitu waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion logam. Adsorben limbah arang sekam padi dapat digunakan untuk mengadsorpsi kromium dengan baik dalam larutan tunggalnya dengan bentuk Cr(III) dan Cr(VI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum adsorben dilakukan pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi dalam proses adsorpsi ion Cr(III) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 4). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.4000 mg/g dan 84.00%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.4000 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 84.00% dari konsentrasi awal ion Cr(III).

Kondisi optimum adsorben limbah sekam arang padi dalam proses adsorpsi ion Cr(VI) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 6). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.4000 mg/g dan 84.00%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.400 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 84.00% dari konsentrasi awal ion Cr(VI). Nilai tersebut bukanlah nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi maksimum, akan tetapi dinyatakan optimum karena pada kondisi yang sama keduanya memiliki nilai yang cukup tinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 4 dan 6) diketahui bahwa nilai kapasitas adsorpsi tidak selalu berbanding

lurus dengan nilai efesiensi adsorpsi. Sebagai contoh terdapat pada Lampiran 4, pada kondisi waktu dan konsentrasi yang sama, kenaikan bobot adsorben menyebabkan penurunan kapasitas adsorpsi akan tetapi meningkatkan efisiensi adsorpsi. Hal ini terjadi karena kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya adsorbat yang diadsorpsi per bobot adsorben, sehingga nilainya dipengaruhi oleh besarnya bobot adsorben. Jika bobot adsorben dinaikkan, sedangkan waktu adsorpsi dan konsentrasi adsorbat tetap, peningkatan jumlah tapak aktif akan meningkatkan penyebaran adsorbat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan akan lebih lama. Sebaliknya, efisiensi adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam yang teradsorpsi oleh adsorben sehingga nilainya hanya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion logam setelah diadsorpsi oleh adsorben, semakin banyak adsorben yang digunakan, maka semakin banyak ion logam yang dapat diadsorpsi. Hal ini memperkuat penelitian Barros et al. (2003) yang menyatakan bahwa pada saat ada sebuah peningkatan bobot adsorben, maka terjadi penurunan kapasitas adsorpsi dan peningkatan efisiensi adsorpsi.

Waktu optimum adsorpsi ASP yang diperoleh untuk Cr(III) dan Cr(VI) adalah 60 menit. Setelah melewati waktu optimum, kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena kondisi adsorben telah jenuh oleh adsorbat sehingga apabila dilanjutkan, kemungkinan akan terjadi proses desorpsi atau pelepasan kembali antara adsorben dan adsorbat (Lampiran 4 dan 6).

Pengaruh konsentrasi terhadap kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi memiliki hubungan berbanding lurus, semakin tinggi konsentrasi awal ion logam, maka nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi juga meningkat. Hal yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Amirullah (2006) dan Sulistiyawati (2008) yang menyatakan bahwa kapasitas adsorpsi akan terus mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya konsentrasi adsorbat. Jika konsentrasi dinaikkan, maka menyebabkan peningkatan jumlah ion logam yang terikat pada permukaan adsorben, sehingga nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi juga semakin meningkat. Konsentrasi awal yang diperoleh untuk ion logam Cr(III) dan Cr(VI) adalah 250 ppm. Nilai ini belum dapat dikatakan sebagai nilai optimum, melainkan nilai terbaik yang diperoleh melalui percobaan


(11)

6

karena mungkin saja jika konsentrasi dinaikkan maka kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi akan semakin meningkat.

Kondisi Optimum Arang Aktif Penentuan kondisi optimum arang aktif menggunakan parameter yang sama dengan adsorben limbah arang sekam padi, yaitu waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion logam. Berdasarkan hasil penelitian kondisi optimum arang aktif komersial dalam proses adsorpsi ion Cr(III) pada waktu 90 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 8). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.573 mg/g dan 85.73%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.573 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 85.73% dari konsentrasi awal ion Cr(III). Kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi dalam proses adsorpsi ion Cr(VI) pada waktu 90 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 10). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 7.580 mg/g dan 75.80%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 7.580 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 75.80 % dari konsentrasi awal ion Cr(VI).

Pengaruh waktu adsorpsi dan bobot adsorben terhadap kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi oleh arang aktif komersial dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 10. Berbeda dengan adsorben limbah arang sekam padi, pada proses adsorpsi ion Cr(III) oleh arang aktif komersial didapatkan kondisi optimum dimana waktu adsorpsi dan konsentrasi awal adsorbat merupakan nilai tertinggi dari ragam yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi antara kapasitas dan efisiensi adsorpsi terbaik terjadi pada waktu adsorpsi dan konsentrasi awal adsorbat yang tertinggi.

Berdasarkan hasil penelitian konsentrasi awal adsorbat optimum yang diperoleh antara limbah arang sekam padi dengan arang aktif komersial menunjukkan nilai yang sama yaitu 250 ppm. Kondisi optimum yang diperoleh Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa arang aktif mencapai kondisi optimumnya pada ujung-ujung taraf, karena pada kondisi ini diperoleh nilai tertinggi dari kombinasi kapasitas dan efisiensi adsorpsi.

Adsorpsi Larutan Tunggal Ion Cr(III) dan Cr(VI)

Arang Aktif (AA) merupakan adsorben komersial digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui kemampuan adsorben limbah arang sekam padi (ASP) dalam mengadsorpsi ion Cr(III) dan Cr(VI). Respon pembanding yang digunakan adalah kapasitas dan efisiensi adsorpsi yang telah diperoleh pada kondisi optimum masing-masing (Tabel 2 dan 3). Gambar 2 menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada limbah arang sekam padi berturut-turut dengan nilai 8.573 dan 8.400 mg/g. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(VI) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada arang aktif berturut-turut dengan nilai 8.400 dan 7.580 mg/g.

Gambar 2 Kapasitas adsorpsi ASP dan AA pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa AA memiliki kapasitas adsorpsi lebih besar pada proses adsorpsi ion Cr(III) dan ASP memiliki kapasitas adsorpsi lebih besar pada adsorpsi ion Cr(VI).

Hal yang berbeda terlihat pada efisiensi adsorpsi. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai efisiensi adsorpsi adsorben arang aktif (AA) lebih tinggi daripada arang sekam padi (ASP) pada proses adsorpsi ion Cr(III) dengan nilai berturut-turut 85.736 dan 84.00%. Sedangkan Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai efisiensi adsorpsi adsorben arang sekam padi (ASP) lebih tinggi daripada arang aktif (AA) pada proses adsorpsi ion Cr(VI) dengan nilai berturut-turut 84.00 dan 75.80%.


(12)

7

Gambar 3 Efisiensi adsorpsi ASP dan AA pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI).

Karakteristik

Scanning electron microscopy (SEM) digunakan dalam penelitian untuk mengetahui perbedaan mikrostruktur dari permukaan adsorben yang berbeda. Gambar 6-9 menunjukkan secara jelas bahwa terdapat perbedaan keadaan permukaan adsorben. Gambar 6 dan 7 menunjukkan keadaan ASP sebelum terjadi proses adsorpsi dan Gambar 8 dan 9 menunjukkan keadaan ASP setelah terjadi adsorpsi yang memperlihatkan mikrostruktur dari permukaan adsorben lebih padat karena ditutupi oleh ion logam yang teradsorpsi pada permukaan adsorben.

Energy dispersive x-ray (EDX) merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk karakterisasi kimia pada sampel. Pada umumnya EDX merupakan sistem yang bergabung dengan SEM dengan perangkat SEM-EDX yang digunakan pada karakterisasi dalam penelitian yang dilakukan. Berdasarkan hasil karakterisasi EDX yang dilakukan diperoleh informasi bahwa pada permukaan ASP sebelum adsorpsi kromium dilakukan terdapat beberapa unsur kimia, antara lain karbon (C), silikon (Si), dan kalium (K) (Lampiran 11 dan 12). Setelah dilakukan adsorpsi kromium pada permukaan ASP, diperoleh informasi bahwa terdapat senyawa Cr2O3 sebagai bentuk senyawaan

kromium yang teradsorpsi pada permukaan ASP.

Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa secara kualitatif proses adsorpsi terjadi pada permukaan ASP. Hal ini ditunjukkan dengan adanya senyawa Cr2O3 pada permukaan ASP

setelah adsorpsi Cr (III) dan Cr (VI) (Lampiran 13 dan 14). Penelitian yang dilakukan menggunakan konsentrasi adsorbat dalam satuan ppm (mg/L), dimana EDX tidak

dapat mendeteksi zat dalam konsentrasi yang sangat kecil. Oleh karena itu, data EDX yang didapatkan bermanfaat dalam memberikan informasi kualitatif zat yang terdapat pada permukaan ASP.

Gambar 4 Karakterisasi ASP tanpa aktivasi.

Gambar 5 Karakterisasi ASP dengan aktivasi KOH.

Gambar 6 Karakterisasi ASP teraktivasi setelah adsorpsi Cr(III).

Gambar 7 Karakterisasi ASP teraktivasi proses adsorpsi Cr(VI).


(13)

8

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Limbah arang sekam padi dapat digunakan sebagai adsorben ion Cr(III) dan Cr(VI). Kondisi optimum adsorpsi oleh limbah arang sekam padi terhadap Cr(III) dan Cr(VI) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 gram, dan konsentrasi awal 250 ppm. Hal ini berbeda dengan kondisi optimum adsorpsi terhadap Cr(III) dan Cr(VI) oleh arang aktif pada waktu 90 menit, bobot 0.5 gram, dan konsentrasi awal 250 ppm.

Nilai kapasitas adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) dan Cr(VI) menunjukkan nilai yang yang sama sebesar 8.400 mg/g. Hal ini berbeda dengan nilai kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada Cr(VI) berturut-turut dengan nilai 8.573 dan 7.580 mg/g. Berdasarkan hasil penelitian nilai efisiensi adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) dan Cr(VI) menunjukkan nilai yang yang sama sebesar 84%. Hal ini berbeda dengan nilai kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada Cr(VI) berturut-turut dengan nilai 85.73 dan 75.80%. Karakterisasi dengan Scanning electron microscopy-energy dispersive x-ray (SEM-EDX) menunjukkan data secara kualitatif bahwa ion logam Cr(III) dan Cr(VI) dapat teradsorpsi pada permukaan arang sekam padi.

Saran

Pada tahap penelitian selanjutnya perlu dilakukan perluasan kisaran variasi faktor yang digunakan karena beberapa kondisi optimum teramati pada ujung-ujung variasi faktor. Selain itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap berbagai jenis ion logam berat yang dapat mencemari lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah. 2006. Biosorpsi biru metilena oleh ganggang cokelat (Sargassum binderi) [skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

[Anonim]. 2007. Spectrophotometer Absorbsi UV/VIS. [terhubung berkala]. http://sentrabd.com/main/info/Insight /Spectrophotometer.htm. [18 Jul 2008].

Barros JLM et al. 2003. Biosorption of cadmium using the fungus Aspergillus niger . Braz J Chem Eng 20:1-17.

Bastarache E. 2002. Chromium and Coumpounds. http://digitale fire.com/education/toxicity/chromiu m.html [12 Feb 2009]

Boyer RF. 1993. Modern Experimental Biochemistry. Ed ke-2. California: The Benjamin Cummings Publishing Co. Inc.

Cabe Mc WL et al. 2001. Unit Operation of Chemical Engineering. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill.

Cimino et al. 1990. Acute Toxicity of Heavy Metals to Aerobic Digestion of Waste Cheese Whey. Biol Wastes 33 (1990) 201-210.

Clark J. 2006. Double Beam UV-Visible Absorption Spectrometer. [terhubung berkala].

http://www.chemguide.co.uk/analysi s/uvvisible/spectrometer. htm. [8 Ags 2008].

Clesceri IS, Arnold EG, Andrew DE. 1989. Standar Methods for The Examination of Water and Wastewater. Ed ke-20. Washington DC: Alpha Awwa wes.

Currel G. 1987. Instrumentation. New York: John Wiley and Sons.

Denney RC, Sinclair R, Mowthorpe D, editor. 1993. Visible and Ultraviole Spectroscopy. New York: John Wiley and Sons.

Donmez and Aksu. 2002. Removal of chromium (VI) from saline wastewater by Dunaliella species. Process Biochem. 38, 751-762.


(14)

LIMBAH ARANG SEKAM PADI SEBAGAI ADSORBEN ION

Cr(III) DAN Cr(VI)

PARAMITHA MESSAYU

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(15)

8

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Limbah arang sekam padi dapat digunakan sebagai adsorben ion Cr(III) dan Cr(VI). Kondisi optimum adsorpsi oleh limbah arang sekam padi terhadap Cr(III) dan Cr(VI) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 gram, dan konsentrasi awal 250 ppm. Hal ini berbeda dengan kondisi optimum adsorpsi terhadap Cr(III) dan Cr(VI) oleh arang aktif pada waktu 90 menit, bobot 0.5 gram, dan konsentrasi awal 250 ppm.

Nilai kapasitas adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) dan Cr(VI) menunjukkan nilai yang yang sama sebesar 8.400 mg/g. Hal ini berbeda dengan nilai kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada Cr(VI) berturut-turut dengan nilai 8.573 dan 7.580 mg/g. Berdasarkan hasil penelitian nilai efisiensi adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) dan Cr(VI) menunjukkan nilai yang yang sama sebesar 84%. Hal ini berbeda dengan nilai kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada Cr(VI) berturut-turut dengan nilai 85.73 dan 75.80%. Karakterisasi dengan Scanning electron microscopy-energy dispersive x-ray (SEM-EDX) menunjukkan data secara kualitatif bahwa ion logam Cr(III) dan Cr(VI) dapat teradsorpsi pada permukaan arang sekam padi.

Saran

Pada tahap penelitian selanjutnya perlu dilakukan perluasan kisaran variasi faktor yang digunakan karena beberapa kondisi optimum teramati pada ujung-ujung variasi faktor. Selain itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap berbagai jenis ion logam berat yang dapat mencemari lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah. 2006. Biosorpsi biru metilena oleh ganggang cokelat (Sargassum binderi) [skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

[Anonim]. 2007. Spectrophotometer Absorbsi UV/VIS. [terhubung berkala]. http://sentrabd.com/main/info/Insight /Spectrophotometer.htm. [18 Jul 2008].

Barros JLM et al. 2003. Biosorption of cadmium using the fungus Aspergillus niger . Braz J Chem Eng 20:1-17.

Bastarache E. 2002. Chromium and Coumpounds. http://digitale fire.com/education/toxicity/chromiu m.html [12 Feb 2009]

Boyer RF. 1993. Modern Experimental Biochemistry. Ed ke-2. California: The Benjamin Cummings Publishing Co. Inc.

Cabe Mc WL et al. 2001. Unit Operation of Chemical Engineering. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill.

Cimino et al. 1990. Acute Toxicity of Heavy Metals to Aerobic Digestion of Waste Cheese Whey. Biol Wastes 33 (1990) 201-210.

Clark J. 2006. Double Beam UV-Visible Absorption Spectrometer. [terhubung berkala].

http://www.chemguide.co.uk/analysi s/uvvisible/spectrometer. htm. [8 Ags 2008].

Clesceri IS, Arnold EG, Andrew DE. 1989. Standar Methods for The Examination of Water and Wastewater. Ed ke-20. Washington DC: Alpha Awwa wes.

Currel G. 1987. Instrumentation. New York: John Wiley and Sons.

Denney RC, Sinclair R, Mowthorpe D, editor. 1993. Visible and Ultraviole Spectroscopy. New York: John Wiley and Sons.

Donmez and Aksu. 2002. Removal of chromium (VI) from saline wastewater by Dunaliella species. Process Biochem. 38, 751-762.


(16)

9

Houston DF. 1972. Rice Hulls. H. 301-342 dalam: D.F. Houston. (ed.) Rice: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Shemists., St. Paul, Minnosata. Johns et al. 1998. Agricultural by-products as

granular activated carbons for adsorbing dissolved metal and organics. J. Chem. Technology. Biotechnology. 71, 131-140.

Kim et al. 2002. Toxixity of hexavalent chromium to Daphnia magna: influence of reduction reaction by ferrous iron. J Hazard Mater. A93, 155-164.

Klimmrk et al. 2001. Comperative Analysis of Biosorption of Cadmium, Lead, Nickel, and Zinc by Algae. Environ Sci Tech. 35 (21) 4283-4288.

Kusnoputranto H. 1996. Toksikologi Lingkungan Logam Toksik dan B-3. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, UI.

Kusumawati T. 2006. Penetapan Limit Deteksi dan Limit Respons Linear serta Pengaruh Oksidasi terhadap Pengukuran Krom dengan Spektrofotometri Sinar Tampak [skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Lotfi and Adhoum. 2002. Modified activated

carbon for the removal of copper, zinc, chromium, and cyanide from wastewater. Separ Purif Tech. 26, 137-146.

Mahvi AH et al. 2004. Potential of Rice Husk and Rice Husk Ash for Phenol Removal in Aqoueos Systems. H 321-326. American Journal of Applied Science. Vol. 1 No. 4. Asian Network for Scientific Information. Martha F. 2004. Penetapan limit deteksi dan

limit respon linear serta pengaruh oksidasi terhadap pengukuran kromium dengan spektrofotometri sinar tampak. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Mauri et al. 2001. Solvent extraction of

chromium and cadmium from contaminated soils. AIChE J. 47, 509-512.

Melita. 2006. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses Pembuatannya). Terhubung berkala. http://library.usu.ac.id. [13 Desember 2006].

Namasivayan et al. 1995. Adsorption of chromium (VI) by a low-cost adsorbent: biogas residual slurry. Chemosphere 30, 561-578.

Noroozifar M, Khorasani-Motlagh M. 2003. Spesific Extraction of Cromium as Tetrabutylammonium-Chromate and Spectrophotometric Determination by Diphenylcarbazide: Speciaton of Chromium in Efluent Stream. Anal Sci 19:705-708.

Ozer et al. 1997. A study on the Cr (VI) Removal from aqueous solution by steel wool. Environ Pollut 97 (1-2), 107-112.

Pehlivan et al. 2008. Biosorption of chromium (VI) ion from aqueous solutions using walnut, hazelnut, and almond shell. J Hazard Mater 155 (2008), 378-384. Reid TA, Miller JA, Barber DG. 1981.

Control of System Energy in a Single Beam Spectrophotometer. [terhubung berkala].

http://www.freepatentsonline.com/ 4373813.html. [7 Ags 2008]. Rengaraj et al. 2003. Kinetics of removal of

chromium from water and electronic process wastewater by ion exchange resins. J Hazard Mater. B102, 257-275.

Shinohara et al. 2004. Quatitative analysis of tridymite and cristobalite crystallized in rice husk ash by heating. H 277-285. J Indus Health 42. Japan. Sinaga, T et al. 2003. Terhubung berkala.


(17)

10

Singhania NP. 2005. Rice Husk Ash. http://www.ricehuskash.com. [16 Jan 2009]

Sugiarto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: UI press.

Sugiyarto HK. 2003. Dasar-dasar Kimia Anorganik Logam. Yogyakarta; UGM Press.

Sulistyawati S. 2008. Modifikasi tongkol jagung sebagai adsorben logam berat Pb(II) [skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Wang et al. 2009. Removal of chromium (VI) from aqueous solution using walnut hulls. J Environ Manage 90 721-729. Wijayanti E. 2005. Ekstraksi kromium

heksavalen sebagai tetrabutil ammonium kromat dan pengukuran secara spektrofotometri sinar tampak. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Yang et al. 2003b. Characteristics of activated carbons prepared from pistachio-nut shells by potassium hydroxide activation. Microporous and Mesoporous Materials 63, 113-124.


(18)

LIMBAH ARANG SEKAM PADI SEBAGAI ADSORBEN ION

Cr(III) DAN Cr(VI)

PARAMITHA MESSAYU

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(19)

ABSTRAK

PARAMITHA MESSAYU G44052938.

Limbah Arang Sekam Padi Sebagai

Adsorben Ion Cr(III) dan Cr(VI). Dibimbing oleh

ETI ROHAETI DAN

IRZAMAN.

Sumber utama pencemaran logam berat di lingkungan disebabkan oleh limbah

industri. Logam kromium dan senyawanya memiliki aplikasi yang luas di sektor

industri. Kromium dapat membentuk dua macam senyawa, yaitu Cr(III) dan

Cr(VI). Toksisitas kromium trivalen tidak begitu berarti karena dapat larut dalam

keadaan pH yang mendekati netral. Kromium heksavalen bersifat sangat

karsinogen dan berperan dalam merusak proses transkipsi DNA dalam sel tubuh.

Terdapat banyak cara dilakukan dalam mengurangi pencemaran lingkungan, salah

satunya dengan menggunakan produk samping dari pertanian yang berpotensial

digunakan sebagai adsorben. Penelitian ini memanfaatkan limbah arang sekam

padi (ASP) sebagai adsorben Cr(III) dan Cr(VI). ASP diaktivasi dengan

menggunakan KOH. Sebagai pembanding, digunakan Arang Aktif (AA)

komersial yang berasal dari tempurung kelapa. Adsorpsi dilakukan dengan ragam

waktu kontak, bobot adsorben, dan konsentrasi awal larutan Cr(III) dan Cr(VI).

Kondisi optimum dari ASP sebagai adsorben Cr(III) dan Cr(VI) diperoleh pada

waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi sebesar 250 ppm. Kondisi optimum

untuk AA sebagai adsorben Cr(III) diperoleh pada waktu 90 menit, 0.5 g, dan

konsentrasi sebesar 250 ppm. Kondisi optimum untuk AA sebagai adsorben

Cr(VI) diperoleh pada waktu 90 menit, 0.5 g, dan konsentrasi sebesar 250 ppm.

Pada larutan tunggal dari Cr(III) dan Cr (VI), ASP memiliki kapasitas adsorpsi

sebesar 8.400 mg/g; dengan efisiensi adsorpsi sebesar 84.00 %.


(20)

ABSTRACT

PARAMITHA MESSAYU G44052938.

Waste Carbonized Rice Husk As Ion

Cr(III) and Cr(VI) Adsorbent. Supervised by

ETI ROHAETI AND IRZAMAN.

The major sources of heavy metal contaminations are industrial effluents.

Chromium metal and its compound have wide application in industrial sector. Its

two most stable states are Cr(III) and Cr(VI). Trivalent chromium toxicity is

negligible because it often forms insoluble hydroxide at netral pH. Hexavalent

chromium is considered powerful carcinogenic agent Lots of waste treatment

efforts are conducted; one of which is to make use of agricultural by products that

are potential to be utilized as adsorbent. This paper utilizes carbonized rice husk

from rice husk stove as Cr(III) and Cr(VI) adsorbent. Carbonized rice husk was

activated potassium hydroxide (KOH). As a comparison, activated carbon that

originated from coconut shell, a commercially-used adsorbent, was used.

Adsorption was carried out by varying adsorption time, adsorbent weight, and

initial concentrations of Cr(III) and Cr(VI). The optimum condition of carbonized

rice husk adsorbent for Cr(III) and Cr(VI) were 60 minutes; 0.5 g; and 250 ppm.

The optimum conditions for activated carbon, as comparison, for Cr(III) were 90

minutes; 0.5 g; and 250 ppm. And the optimum conditions for activated carbon, as

comparison, for Cr(VI) were 90 minutes; 0.5 g; and 250 ppm. In single solution

test of Cr(III) and Cr(VI), adsorption capacity for carbonized rice husk were 8.400

mg/g; with adsorption efficiency were 84.00 %.


(21)

LIMBAH ARANG SEKAM PADI SEBAGAI ADSORBEN ION

Cr(III) DAN Cr(VI)

PARAMITHA MESSAYU

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(22)

Judul

: Limbah Arang Sekam Padi Sebagai Adsorben Ion Cr(III) dan

Cr(VI)

Nama

: Paramitha Messayu

NIM

: G44052938

Menyetujui:

Pembimbing I,

Dr. Eti Rohaeti

NIP 196008071987032001

Pembimbing II,

Dr. Irzaman

NIP

196307081995121001

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP 191603281986011022


(23)

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Agustus 2009 di Laboratorium Kimia Analitik, Laboratorium Bersama Departemen Kimia, serta Laboratorium Material Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor adalah Limbah Arang Sekam Padi Sebagai Adsorben Ion Cr(III) dan Cr(VI).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Eti Rohaeti dan Bapak Dr. Irzaman selaku pembimbing, Bapak Drs. Ahmad Sjahriza atas bimbingan dan arahannya. Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak (Alm.), Ibu, dan adikku tercinta: Medi yang selalu memberikan cinta, semangat, dorongan, bantuan materi, doa yang tulus, kesabaran, dan kasih sayang tiada henti.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Om Eman, Bu Enung, Pak Rudi dan seluruh staf Kimia Analitik IPB atas fasilitas dan kemudahan yang diberikan; Teh Adhew atas bantuannya selama penelitian di Laboratorium Bersama Kimia IPB. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan kimia 42 atas kebersamaan dan dukungannya, Ikhwan wa Akhwat MIPA dan IPB atas ukhuwah yang indah serta keluarga besar Nabila Bateng.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2009

Paramitha Messayu


(24)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1987 dari pasangan

Puguh Martyasa (Alm.) dan Kulia K. Purwoleksono. Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Serpong dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata

kuliah Kimia TPB pada tahun ajaran 2006/2007, Pendidikan Agama Islam pada

tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009, Kimia Analitik Layanan pada

tahun ajaran 2007/2008. Penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum

For Scientific Student (FORCES). Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2008,

penulis melaksanakan praktik lapangan di Pusat Sarana Pengendalian Dampak

Lingkungan, Puspiptek Serpong.


(25)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Sekam

Padi

...

1

Adsorpsi

...

2

Arang

Aktif

...

2

Kromium

...

2

Kondisi Optimum Adsorpsi ... 3

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ... 3

Lingkup

Penelitian

...

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva Standar Kromium ... 4

Kondisi Optimum Limbah Sekam Arang Padi ... 5

Kondisi Optimum Arang Aktif ... 6

Adsorpsi Larutan Tunggal Cr(III) dan Cr(VI) ... 6

Karakteristik

...

7

SIMPULAN ... 8

SARAN ... 8

DAFTAR PUSTAKA ... 8

LAMPIRAN ... 12


(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Kurva standar kromium ... 5

2

Kapasitas adsorpsi ASP dan AA pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI)

...

6

3

Efisiensi adsorpsi ASP dan AA pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI)

...

7

4

Karakteristik ASP tanpa aktivasi ... 7

5

Karakteristik ASP dengan aktivasi KOH ... 8

6

Karakteristik ASP setelah proses adsorpsi Cr(III) ... 8

7

Karakteristik ASP setelah proses adsorpsi Cr(VI) ... 8

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir umum penelitian ... 13

2 Penentuan panjang gelombang maksimum larutan Cr(III) dan Cr(VI) ... 14

3 Konsentrasi dan adsorban larutan Cr(III) dan Cr(VI) pada pembuatan kurva

standar (

λ

=542.5 nm) ... 14

4 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum

adsorben ASP pada ion Cr(III) ... 15

5 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi

optimum adsorben ASP pada ion Cr(III) ... 16

6 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum

adsorben ASP pada ion Cr(VI) ... 17

7 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi

optimum adsorben ASP pada ion Cr(VI) ... 18

8 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum


(27)

9 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi

optimum adsorben AA pada ion Cr(III) ... 20

10 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum

adsorben AA pada ion Cr(VI) ... 21

11 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi

optimum adsorben AA pada ion Cr(VI) ... 22

12 Karakteristik SEM-EDX permukaan ASP tanpa aktivasi ... 23

13 Karakteristik SEM-EDX permukaan ASP dengan aktivasi KOH ... 23

14 Karakteristik SEM-EDX permukaan ASP teraktivasi setelah adsorpsi Cr(III)

... 24

15 Karakteristik SEM-EDX permukaan ASP teraktivasi setelah adsorpsi Cr(VI)


(28)

PENDAHULUAN

Pencemaran logam berat pada perairan menjadi permasalahan yang populer sepanjang satu dekade terakhir. Logam berat merupakan komponen sangat toksik yang memiliki efek bahaya pada tumbuhan dan hewan serta mengakibatkan kepunahan. Meningkatnya pengetahuan mengenai efek toksikologi dari logam berat terhadap lingkungan, memberikan informasi mengenai metode yang digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan perairan. Sumber utama kontaminasi logam berat pada lingkungan adalah limbah industri. Hal ini menyebabkan meningkatnya presistensi dan pencemaran lingkungan. Polutan senyawa mikro anorganik menjadi perhatian utama karena sifatnya yang non-biodegradable, toksisitas tinggi, dan memiliki efek karsinogenik (Cimino et al. 1990, Madoni 1996).

Terdapat beberapa logam berat yang mencemari lingkungan, salah satunya adalah kromium yang merupakan limbah pada beberapa industri seperti pengawetan kayu, pewarnaan tekstil, elektroplating, dan pelapisan logam (Kim et al. 2002; Donmez dan Aksu 2002). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung, dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Metode konvensional yang sering digunakan dalam mengurangi efek pencemaran logam berat pada lingkungan antara lain dengan menggunakan presipitasi secara kimia (Ozer et al. 1997), penjerapan dengan menggunakan arang aktif (Lotfi dan Adhoum 2002), presipitasi secara elektrokimia (Namasivayam dan Yamuna 1995), penukar ion (Rengaraj et al. 2003), ekstraksi pelarut (Mauri et al. 2001), dan

proses osmosis. Proses yang dilakukan didasarkan pada aspek ekonomi sehingga metode yang dilakukan efektif dalam mengurangi cemaran logam kromium dalam lingkungan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Saat ini dicari adsorben yang mudah didapat serta bernilai ekonomis. Adsorben alami yang berasal dari limbah pertanian dan bahan biologis menjadi beberapa alternatif dalam penanganan cemaran logam berat pada ligkungan. Bahan yang berasal dari limbah pertanian merupakan salah satu adsorben potensial yang digunakan dalam mengurangi cemaran logam berat.

John et al. (1998) menyatakan bahwa arang aktif yang berasal dari sekam padi memiliki kemampuan yang baik dalam mengurangi cemaran benzena, toluena, metanol, aseton, dan asetonitril pada limbah cair yang ada di lingkungan. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah arang sekam padi yang berasal dari pembakaran tungku sekam padi dalam mengadsorpsi logam berat kromium dari larutan tunggalnya, menentukan kondisi optimum adsorpsi yang meliputi waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal adsorbat serta karakteristiknya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sekam Padi

Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari batang padi dan merupakan hasil sampingan yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Singhania (2005) menyatakan bahwa setiap ton produksi padi akan menghasilkan 220 kg (22%) sekam padi, dan apabila dibakar akan menghasilkan 55kg (25%) abu sekam padi atau rice husk ash (RHA) yang mengandung hampir 85-90% silika. Menurut Shinohara et al. (2004) sekam padi mengandung 13.2-29.0% bahan anorganik, dengan komponen utamanya merupakan silika padi yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia abu sekam padi. Parameter

(%) Abu Sekam Padi*

SiO2 92.95

TiO2 0.02

Al2O3 0.31

Fe2O3 0.26


(29)

2

MgO 0.55 CaO 0.53

Na2O 0.08

K2O 2.06

Total 96.88 *Shinohara et al. (2004)

Menurut James & Rao (1986 dalam Basha et al., 2005) kualitas abu sekam padi yang dihasilkan dari proses pembakaran dipengaruhi oleh suhu pembakaran, lama pembakaran, laju pendinginan abu, dan kondisi selama penggilingan.

Arang sekam padi juga telah dimanfaatkan sebagai penjerap atau adsorben. Mahvi et al. (2004) menyatakan bahwa dengan dosis minimum abu sekam padi 0.3g dapat menghilangkan 500µg/L fenol dalam 100ml larutan dengan pH larutan 7 dengan efektivitas sebesar 96%.

Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses pemisahan dengan komponen-komponen tertentu dalam dalam fase cair di transfer ke permukaan adsorben fase padat. Sebagian adsorben adalah materi berpori. Adsorpsi biasanya terjadi pada dinding-dinding pori atau pada sisi spesifik dalam partikel (Cabe Mc 2001). Proses pengikatan terjadi pada permukaan padatan atau cairan adsorben terhadap atom-atom, ion-ion, atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya (adsorbat) yang melibatkan ikatan intramolekul diantarakeduanya.

Terdapat dua metode adsorpsi, yaitu tumpak (batch) dan lapik tetap (fixed bed). Pada metode tumpak larutan contoh dicampur dan dikocok bersamaan dengan bahan penjerap sampai tercapai kesetimbangan. Jerapan fase padat-cair ini mencapai kesetimbangan saat adsorben telah jenuh oleh adsorbat. Zat yang tidak teradsorpsi dipisahkan dari adsorbat dengan cara penyaringan. Ketika kesetimbangan telah tercapai, kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi sisa dalam larutan. Misalnya, pada adsorpsi kromium heksavalen oleh zeolit, jumlah kromium heksavalen yang teradsorpsi dihitung berdasarkan selisih kromium awal dengan kromium sisa perendaman.

Metode lapik tetap merupakan metode adsorpsi dengan menempatkan adsorben dalam kolom sebagai lapik dan adsorbat dialirkan ke dalam kolom tersebut sebagai

influen. Larutan yang keluar dari kolom merupakan sisa zat yang tidak teradsorpsi yang disebut efluen. Influen dialirkan melewati lapik hingga padatan lapik tersebut mendekati jenuh dan pemisahan yang diinginkan tidak dapat diperoleh lagi. Aliran tersebut kemudian dialirkan ke lapik berikutnya hingga adsorpsi jenuh dapat digantikan atau diregenerasi.

Arang Aktif

Arang aktif merupakan karbon amorf yang daya adsorpsinya ditingkatkan dengan membuka pori-pori yang ada dipermukaannya melalui proses yang disebut aktivasi. Arang aktif tersusun dari plat-plat datar atom karbon yang bersifat amorf dan terikat satu sama lain dengan ikatan kovalen membentuk kisi heksagonal. Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas permukaan arang aktif berkisar 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan arang aktif mempunyai sifat sebagai adsorben.

Arang aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu. Sifat adsorpsi bergantung pada volume pori-pori dan luas permukaan (Sinaga et al. 2003). Definisi lain menyatakan bahwa arang aktif adalah bentuk generik dari berbagai macam produk yang mengandung karbon yang telah diaktivasi untuk meningkatkan luas permukaannya.

Penelitian ini menggunakan arang aktif komersial sebagai pembanding untuk mengetahui kemampuan adsorben limbah arang sekam padi dalam mengadsorpsi ion Cr(III) dan Cr(VI). Arang aktif merupakan adsorben komersial yang banyak digunakan oleh industri. Hal ini karena arang aktif memiliki kemampuan yang efektif dalam mengadsorpsi berbagai senyawa, baik itu logam berat maupun zat warna. Proses adsorpsi pada arang aktif melalui tiga tahap dasar. Pertama-tama zat teradsorpsi pada arang aktif bagian luar, lalu bergerak menuju pori-pori, dan selanjutnya teradsorpsi ke dinding bagian dalam dari arang aktif.

Kromium

Kromium merupakan salah satu logam berat yang termasuk dalam unsur transisi


(30)

3

golongan VI-B periode 4. Kromium mempunyai nomor atom 24 dan nomor massa 51.996 merupakan logam berwarna putih perak dan lunak jika dalam keadaan murni dengan massa jenis 7.9 g/cm3 mempunyai titik didih 2658 ºC (Sugiyarto 2003). Kromium dapat membentuk dua macam senyawa yang masing-masing berasal dari proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu +3 disebut kromium trivalen dan +6 disebut kromium heksavalen. Kromium divalen bersifat kurang stabil dan bersifat pereduksi kuat, kromium trivalen suatu penyusun yang stabil dan bersifat amfoter, sedangkan kromium heksavalen sebagai bahan kimia yang banyak digunakan di bidang industri (Bastarache 2002).

Kromium trivalen merupakan bentuk yang paling banyak berada di lingkungan. Kromium trivalen dibutuhkan untuk kebutuhan manusia, karena bersama-sama dengan insulin dapat menjaga kadar gula darah. Jumlah kromium rata-rata yang masuk ke dalam tubuh orang dewasa sehari-hari berkisar antara 0.03-0.1 mg, lebih dari 90% berasal dari makanan. Pada konsentrasi yang rendah kromium trivalen berguna untuk metabolisme karbohidrat pada mamalia dan mengaktifkan insulin. Apabila terjadi kekurangan kromium akan mengganggu pertumbuhan dan proses metabolisme lemak dan protein. Pada tingkat yang lebih tinggi dapat menimbulkan keracunan secara akut ditandai dengan gejala mual, sakit perut, kejang, dan koma. Keracunan secara kronis dapat mengenai organ-organ tertentu seperti efek pada paru-paru, ginjal, dan hati (Kusnoputranto 1996).

Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik jika dibandingkan dengan kromium trivalen. Respon yang umum, yaitu terjadi alergi kulit. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, perdarahan, kerusakan saluran pernapasan, dan kanker paru. Paparan jangka panjang terhadap saluran pernapasan dan kulit dapat menyebabkan peradangan rongga hidung, perdarahan hidung dan jaringan ulkus kulit (Kusnoputranto 1996).

Beberapa metode telah digunakan untuk pengukuran kromium total dan kromium heksavalen pada berbagai material seperti tanah dan air. Salah satunya adalah spektrofotometri sinar tampak. Kromium heksavalen bila ditambah 1,5-difenilkarbazida (DPC) dalam larutan asam membentuk kompleks berwarna violet yang intensitasnya sebanding dengan banyaknya kromium

heksavalen dalam contoh. Pewarnaan dengan DPC cukup sensitif dengan nilai adsorptivitas molar berkisar 40.000 L/mol cm pada panjang gelombang 540 nm (Clesceri et al. 1989). Pada pengukuran kromium total menggunakan metode spektrofotometri diperlukan suatu pengoksidasi kuat sehingga kromium dengan tingkat oksidasi lebih rendah dapat di analisis dengan metode ini. Menurut Clesceri et al. (1989) oksidator yang dapat digunakan, antara lain: KMnO4, K2S2O8, dan

HClO4. Selain itu, Noroozifar et al. (2003)

menyatakan bahwa serium juga efektif untuk mengoksidasi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen. Kemampuan serium dalam mengkonversi kromium trivalen menjadi kromium heksavalen sebesar 100.01% (Wijayanti 2005), nilai ini lebih baik jika dibandingkan dengan KMnO4 yang

mampu mengkonversi 91.00% (Martha 2004). Kondisi Optimum Adsorpsi

Penentuan kondisi optimum dilakukan karena setiap adsorben memilki pencirian yang berbeda dalam proses adsorpsi, sehingga kondisi yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi juga berbeda. Selain penentuan kondisi optimum juga dapat dilakukan agar saat aplikasi terhadap limbah industri, adsorben dapat mengadsorpsi logam berat dengan optimal sehingga diperoleh hasil yang baik. Pada penelitian ini digunakan tiga parameter, yaitu waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal logam berat. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh melalui model Statistika Modde 5.0, yaitu kondisi ketika adsorben memiliki kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah CrCl3.6H2O (Merck) sebagai Cr

3+

, K2Cr2O7

(Merck) sebagai sumber Cr6+, arang aktif

komersial, dan limbah arang sekam padi. Alat-alat yang digunakan antara lain spektrofotometer UV-1601 UV Visible Shimadzu dan Scanning electron microscopy- Energy dispersive x-ray (SEM-EDX).

Lingkup Penelitian

Penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu pemanasan sekam padi pada tungku sekam,


(31)

4

preparasi limbah arang sekam padi, aktivasi limbah arang sekam padi, penentuan kondisi optimum adsorpsi meliputi waktu, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion Cr(III) dan Cr(VI), serta karakteristik limbah arang sekam padi.

Preparasi Limbah Arang Sekam

Preparasi limbah arang sekam padi meliputi penggilingan dan pengayakan. Limbah arang sekam padi digiling dengan mortar, lalu diayak sehingga diperoleh arang sekam padi dengan ukuran 20-40 mesh. Sebanyak 40 gram limbah arang sekam padi dicampurkan dengan KOH 1 M dan diaduk selama 3 jam kemudian dipanaskan dalam oven selama 2 jam (Yang et al. 2003). Setelah itu, arang sekam dimasukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang.

Metode jerapan limbah arang sekam padi yang dipilih adalah metode tumpak (batch adsorption). Hal ini dikarenakan kapasitas jerapan metode tumpak lebih besar daripada metode lapik tetap. Selain itu, metode tumpak lebih efektif dan efisien dari segi waktu dibandingkan metode lapik tetap.

Pembuatan Kurva Standar Kromium Pembuatan kurva standar digunakan larutan standar Cr(III) dari CrCl3.6H2O dan

Cr(VI) dari K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0,

0.5, 1.0, 1.5, 2.0, dan 2.5 ppm. Sebanyak 10 mL larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2 mL DPC 0.25 %, lalu

dikocok dan diukur serapannya pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer (Clesceri et al. 2005).

Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Adsorben dengan ragam bobot 0.5; 1.0; dan 1.5 g (Pehlivan et al. 2008) dimasukkan ke dalam 100 ml larutan Cr(III) dan Cr(VI) dengan konsentrasi awal 150, 200, dan 250 ppm (Wang et al. 2009), kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi 30; 60; dan 90 menit (Pehlivan et al. 2008). Setelah itu, campuran disentrifus untuk memisahkan larutan dari arang sekam padi. Supernatan yang diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan ditentukan konsentrasi Cr dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum, kemudian ditentukan kapasitas dan efisiensi adsorpsinya.

Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Efisiensi adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

%E : efisiensi adsorpsi

Q : kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (µg/g adsorben)

V : volume larutan

Cawal : konsentrasi awal larutan (ppm) Cakhir : konsentrasi akhir larutan (ppm) M : massa adsorben (g)

Desain penentuan kondisi optimum adsorpsi dilakukan menggunakan metode response surface dengan rancangan acak lengkap faktorial. Kondisi yang digunakan sebagai faktor adalah waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion kromium, sedangkan responsnya adalah kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva Standar Kromium

Percobaan diawali dengan memperoleh kurva standar (Gambar 1) yang diukur pada panjang gelombang maksimum, yaitu 542.5 nm (Lampiran 1). Data absorbansi larutan kromium pada pembuatan kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 3. Kurva standar menggambarkan hubungan antara serapan sinar (absorbans) dengan konsentrasi zat yang menyerap sinar tersebut, sehingga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu zat, yang dalam penelitian ini adalah ion Cr(III) dan Cr(VI). Kurva standar yang diperoleh melalui metode regresi linear memberikan persamaan y = 0.08609x + 0.21949 dengan linearitas sebesar 99.985%.


(32)

5

Gambar 1 Kurva standar kromium. Kondisi Optimum Limbah Arang

Sekam Padi

Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi, yaitu waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion logam. Adsorben limbah arang sekam padi dapat digunakan untuk mengadsorpsi kromium dengan baik dalam larutan tunggalnya dengan bentuk Cr(III) dan Cr(VI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum adsorben dilakukan pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi dalam proses adsorpsi ion Cr(III) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 4). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.4000 mg/g dan 84.00%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.4000 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 84.00% dari konsentrasi awal ion Cr(III).

Kondisi optimum adsorben limbah sekam arang padi dalam proses adsorpsi ion Cr(VI) pada waktu 60 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 6). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.4000 mg/g dan 84.00%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.400 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 84.00% dari konsentrasi awal ion Cr(VI). Nilai tersebut bukanlah nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi maksimum, akan tetapi dinyatakan optimum karena pada kondisi yang sama keduanya memiliki nilai yang cukup tinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 4 dan 6) diketahui bahwa nilai kapasitas adsorpsi tidak selalu berbanding

lurus dengan nilai efesiensi adsorpsi. Sebagai contoh terdapat pada Lampiran 4, pada kondisi waktu dan konsentrasi yang sama, kenaikan bobot adsorben menyebabkan penurunan kapasitas adsorpsi akan tetapi meningkatkan efisiensi adsorpsi. Hal ini terjadi karena kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya adsorbat yang diadsorpsi per bobot adsorben, sehingga nilainya dipengaruhi oleh besarnya bobot adsorben. Jika bobot adsorben dinaikkan, sedangkan waktu adsorpsi dan konsentrasi adsorbat tetap, peningkatan jumlah tapak aktif akan meningkatkan penyebaran adsorbat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan akan lebih lama. Sebaliknya, efisiensi adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam yang teradsorpsi oleh adsorben sehingga nilainya hanya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion logam setelah diadsorpsi oleh adsorben, semakin banyak adsorben yang digunakan, maka semakin banyak ion logam yang dapat diadsorpsi. Hal ini memperkuat penelitian Barros et al. (2003) yang menyatakan bahwa pada saat ada sebuah peningkatan bobot adsorben, maka terjadi penurunan kapasitas adsorpsi dan peningkatan efisiensi adsorpsi.

Waktu optimum adsorpsi ASP yang diperoleh untuk Cr(III) dan Cr(VI) adalah 60 menit. Setelah melewati waktu optimum, kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena kondisi adsorben telah jenuh oleh adsorbat sehingga apabila dilanjutkan, kemungkinan akan terjadi proses desorpsi atau pelepasan kembali antara adsorben dan adsorbat (Lampiran 4 dan 6).

Pengaruh konsentrasi terhadap kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi memiliki hubungan berbanding lurus, semakin tinggi konsentrasi awal ion logam, maka nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi juga meningkat. Hal yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Amirullah (2006) dan Sulistiyawati (2008) yang menyatakan bahwa kapasitas adsorpsi akan terus mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya konsentrasi adsorbat. Jika konsentrasi dinaikkan, maka menyebabkan peningkatan jumlah ion logam yang terikat pada permukaan adsorben, sehingga nilai kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi juga semakin meningkat. Konsentrasi awal yang diperoleh untuk ion logam Cr(III) dan Cr(VI) adalah 250 ppm. Nilai ini belum dapat dikatakan sebagai nilai optimum, melainkan nilai terbaik yang diperoleh melalui percobaan


(33)

6

karena mungkin saja jika konsentrasi dinaikkan maka kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi akan semakin meningkat.

Kondisi Optimum Arang Aktif Penentuan kondisi optimum arang aktif menggunakan parameter yang sama dengan adsorben limbah arang sekam padi, yaitu waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi awal ion logam. Berdasarkan hasil penelitian kondisi optimum arang aktif komersial dalam proses adsorpsi ion Cr(III) pada waktu 90 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 8). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 8.573 mg/g dan 85.73%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 8.573 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 85.73% dari konsentrasi awal ion Cr(III). Kondisi optimum adsorben limbah arang sekam padi dalam proses adsorpsi ion Cr(VI) pada waktu 90 menit, bobot 0.5 g, dan konsentrasi awal 250 ppm (Lampiran 10). Pada kondisi optimum tersebut diperoleh kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (%E) berturut-turut sebesar 7.580 mg/g dan 75.80%. Hal ini berarti setiap 0.5 g adsorben mengadsorpsi 7.580 mg/g adsorbat dengan presentasi penurunan konsentrasi sebesar 75.80 % dari konsentrasi awal ion Cr(VI).

Pengaruh waktu adsorpsi dan bobot adsorben terhadap kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi oleh arang aktif komersial dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 10. Berbeda dengan adsorben limbah arang sekam padi, pada proses adsorpsi ion Cr(III) oleh arang aktif komersial didapatkan kondisi optimum dimana waktu adsorpsi dan konsentrasi awal adsorbat merupakan nilai tertinggi dari ragam yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi antara kapasitas dan efisiensi adsorpsi terbaik terjadi pada waktu adsorpsi dan konsentrasi awal adsorbat yang tertinggi.

Berdasarkan hasil penelitian konsentrasi awal adsorbat optimum yang diperoleh antara limbah arang sekam padi dengan arang aktif komersial menunjukkan nilai yang sama yaitu 250 ppm. Kondisi optimum yang diperoleh Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa arang aktif mencapai kondisi optimumnya pada ujung-ujung taraf, karena pada kondisi ini diperoleh nilai tertinggi dari kombinasi kapasitas dan efisiensi adsorpsi.

Adsorpsi Larutan Tunggal Ion Cr(III) dan Cr(VI)

Arang Aktif (AA) merupakan adsorben komersial digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui kemampuan adsorben limbah arang sekam padi (ASP) dalam mengadsorpsi ion Cr(III) dan Cr(VI). Respon pembanding yang digunakan adalah kapasitas dan efisiensi adsorpsi yang telah diperoleh pada kondisi optimum masing-masing (Tabel 2 dan 3). Gambar 2 menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi arang aktif pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(III) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada limbah arang sekam padi berturut-turut dengan nilai 8.573 dan 8.400 mg/g. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi limbah arang sekam padi pada kondisi optimum dalam mengadsorpsi Cr(VI) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada arang aktif berturut-turut dengan nilai 8.400 dan 7.580 mg/g.

Gambar 2 Kapasitas adsorpsi ASP dan AA pada larutan tunggal ion Cr(III) dan Cr(VI).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa AA memiliki kapasitas adsorpsi lebih besar pada proses adsorpsi ion Cr(III) dan ASP memiliki kapasitas adsorpsi lebih besar pada adsorpsi ion Cr(VI).

Hal yang berbeda terlihat pada efisiensi adsorpsi. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai efisiensi adsorpsi adsorben arang aktif (AA) lebih tinggi daripada arang sekam padi (ASP) pada proses adsorpsi ion Cr(III) dengan nilai berturut-turut 85.736 dan 84.00%. Sedangkan Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai efisiensi adsorpsi adsorben arang sekam padi (ASP) lebih tinggi daripada arang aktif (AA) pada proses adsorpsi ion Cr(VI) dengan nilai berturut-turut 84.00 dan 75.80%.


(1)

Lampiran 8 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum adsorben arang aktif komersial pada ion Cr(III)

Waktu (menit) Bobot (gram) Konsentrasi awal (ppm) Konsentrasi akhir

(ppm) Q (mg/g)

Efisiensi Adsorpsi (%)

30 0.5003 150.00 23.18 5.0728 84.547 60 0.5001 150.00 22.17 5.1132 85.220 90 0.5000 150.00 32.16 4.7136 78.560 30 1.0004 150.00 13.73 2.7254 90.846 60 1.0003 150.00 13.62 2.7276 90.920 90 1.0001 150.00 15.19 2.6962 89.873 30 1.5002 150.00 23.38 1.6882 84.410 60 1.5000 150.00 26.51 1.6465 82.320 90 1.5005 150.00 33.18 1.5576 77.880 30 0.5002 200.00 41.93 6.3228 79.035 60 0.5001 200.00 43.38 6.2648 78.310 90 0.5005 200.00 41.85 6.3260 79.075 30 1.0006 200.00 46.61 3.0678 76.695 60 1.0002 200.00 11.96 3.7608 94.020 90 1.0005 200.00 26.44 3.4712 86.780 30 1.5006 200.00 42.45 2.1006 78.775 60 1.5003 200.00 25.48 2.3269 87.260 90 1.5004 200.00 20.76 2.3898 89.620 30 0.5000 250.00 48.59 8.0564 80.564 60 0.5001 250.00 60.39 7.5844 75.844

90 0.5002 250.00 35.66 8.5736 85.736

30 1.0001 250.00 52.85 3.9430 78.860 60 1.0002 250.00 51.97 3.9606 79.212 90 1.0001 250.00 52.82 3.9436 78.887 30 1.5003 250.00 60.85 2.5220 75.660 60 1.5001 250.00 52.78 2.6296 78.888 90 1.5002 250.00 51.97 2.6404 79.212


(2)

Lampiran 9 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum adsorben arang aktif pada ion Cr(III)


(3)

Lampiran 10 Kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum adsorben arang aktif komersial pada ion Cr(VI)

Waktu

(menit) Bobot (gram)

Konsentrasi awal (ppm)

Konsentrasi akhir

(ppm) Q (mg/g)

Efisiensi Adsorpsi (%) 30 0.5003 150.00 128.24 0.8704 14.500

60 0.5001 150.00 58.49 3.6604 61.000 90 0.5000 150.00 30.42 4.7832 79.720 30 1.0004 150.00 128.24 0.4352 14.500

60 1.0003 150.00 71.44 1.5712 52.370

90 1.0001 150.00 36.66 2.2668 75.560 30 1.5002 150.00 132.67 0.2318 11.550 60 1.5000 150.00 72.52 1.0330 51.630 90 1.5005 150.00 31.24 1.5834 79.173

30 0.5002 200.00 61.99 5.5204 69.005

60 0.5001 200.00 43.13 6.2748 78.435 90 0.5005 200.00 56.00 5.7600 72.000 30 1.0006 200.00 77.22 2.4556 61.390 60 1.0002 200.00 39.48 3.2104 80.260

90 1.0005 200.00 37.40 3.2520 81.300

30 1.5006 200.00 80.62 1.5917 59.690 60 1.5003 200.00 49.25 2.0100 75.375 90 1.5004 200.00 32.90 2.2280 83.550 30 0.5000 250.00 104.77 5.8092 58.092

60 0.5001 250.00 84.65 6.6166 66.140

90 0.5002 250.00 60.48 7.580.8 75.808

30 1.0001 250.00 95.85 3.0830 61.660 60 1.0002 250.00 80.65 3.3870 67.740 90 1.0001 250.00 53.11 3.9370 78.756

30 1.5003 250.00 84.65 2.2046 66.140

60 1.5001 250.00 80.62 2.2584 67.752 90 1.5002 250.00 43.80 2.7493 82.480


(4)

Lampiran 11 Respon kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi pada penentuan kondisi optimum adsorben arang aktif pada ion Cr(VI)


(5)

Lampiran 12 Karakterisasi SEM-EDX permukaan ASP tanpa aktivasi

Lampiran 13 Karakterisasi SEM-EDX permukaan ASP dengan aktivasi KOH Energi

KeV

KeV


(6)

Lampiran 14 Karakterisasi SEM-EDX permukaan ASP teraktivasi setelah adsorpsi Cr(III)

Lampiran 15 Karakterisasi SEM-EDX permukaan ASP teraktivasi setelah adsorpsi Cr(VI)

KeV

KeV

Energi