Pengendalian Colletotrichum Spp Terbawa Benih Cabai Menggunakan Gelombang Mikro

PENGENDALIAN Colletotrichum spp. TERBAWA BENIH
CABAI MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO

LILIH NAELUN NAJAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pengendalian
Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai Menggunakan Gelombang Mikro”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juni 2016
Lilih Naelun Najah
NIM A251130161

RINGKASAN
LILIH NAELUN NAJAH. Pengendalian Colletotrichum spp. Terbawa Benih
Cabai Menggunakan Gelombang Mikro. Dibimbing oleh MOHAMAD
RAHMAD SUHARTANTO dan WIDODO.
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani Indonesia karena memiliki
nilai ekonomi tinggi. Cabai memiliki peranan penting dalam perekonomian
nasional karena harganya yang sering mengalami fluktuasi dan bahkan
mempengaruhi inflasi.
Penyakit penting pada tanaman cabai salah satunya adalah penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. Spesies
cendawan Colletotrichum yang paling banyak ditemukan di Indonesia antara lain
C. acutatum, C. capsici, dan C. gloeosporioides. Perlu adanya alternatif
pengendalian yang mudah, murah, cepat dan ramah lingkungan seperti
penggunaan gelombang mikro (microwave).

Gelombang mikro merupakan gelombang elektromagnetik yang mempunyai
frekuensi super tinggi yaitu berkisar antara 300 MHz-300 GHz. Gelombang mikro
dapat digunakan dalam komunikasi, navigasi dan industri. Pemanasan gelombang
mikro dalam bidang industri digunakan untuk pengeringan, ekstraksi minyak,
aplikasi medis, pengendalian hama, dan meningkatkan perkecambahan benih.
Frekuensi yang biasa digunakan adalah 2 450 MHz karena frekuensi tersebut
mudah diserap oleh molekul air yang ada di setiap sel hidup. Perlakuan benih
dengan menggunakan gelombang mikro dapat menjadi alternatif pengendalian
patogen terbawa benih yang efektif dan efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengendalikan Colletotrichum spp. terbawa
benih cabai menggunakan gelombang mikro dengan tetap mempertahankan mutu
fisiologis benih. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Benih, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juli sampai dengan Desember 2015.
Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas
dua faktor, faktor pertama adalah kadar air benih terdiri atas tiga taraf yaitu 4.31,
6.33, dan 8.25%, dan faktor kedua adalah lama pemanasan gelombang mikro
terdiri atas enam taraf yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 detik. Kadar air terbaik
digunakan pada percobaan kedua. Percobaan kedua menggunakan RAL satu
faktor yaitu lama pemanasan gelombang mikro terdiri atas tujuh taraf yaitu 0, 10,
20, 30, 40, 50 detik dan perlakuan fungisida sistemik berbahan aktif benomil 0.5 g

L-1 sebagai pembanding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Colletotrichum spp. yang ditemukan
pada benih cabai terdiri atas 4 spesies yaitu C. acutatum, C. capsici, C.
gloeosporioides, and Colletotrichum sp. Cendawan C. acutatum merupakan
cendawan yang paling banyak menginfeksi benih cabai dibandingkan dengan
spesies Colletotrichum lainnya. Gelombang mikro dapat mengendalikan C.
acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 64.3% serta dapat mempertahankan
viabilitas benih cabai pada kadar air rendah (4.31%) dan lama pemanasan
gelombang mikro 40 detik.
Kata kunci : benomil, efikasi, kadar air benih, tular benih

SUMMARY
LILIH NAELUN NAJAH. Control on Colletotrichum spp. Seed Borne Pathogen
of Chili Using Microwave. Supervised by MOHAMAD RAHMAD
SUHARTANTO and WIDODO.
Chili (Capsicum annuum L.) is one of horticulture commodities that
cultivated by many Indonesian farmers because of high economy values. Chili
plays role in national economy because of the fluctuating price and its impact to
inflation.
One of the important disease in chili is anthracnose which caused by

Colletotrichum spp fungal. Colletotrichum species which can be found in
Indonesia are Colletotrichum acutatum, C. capsici, and C. gloeosporioides. There
are need to find alternative ways for disease controlling that are uncomplicated,
inexpensive, rapid, and eco-friendly like microwave.
Microwave is an electromagnetic wave having extremely high frequency
from 300 MHz-300 GHz. Microwave usually used in communication, navigation,
and industries. In industries, microwave heating used for drying, oil extraction,
medical application, pest control, and increasing seed germination. The frequency
which commonly used is 2 450 MHz because of easy absorbed by water
molecules which exist in every living cell. Seed treatment using microwave can be
an alternative way to control seed borne pathogens of chili effectively and
efficiently.
The purpose of this research was to control the seedborne Colletotrichum
spp. of chili using microwave while still maintain the physiological seed quality.
The research was conducted at the Seed Science and Technology Laboratory of
Bogor Agricultural University from July to December 2015. The first experiment
used a completely randomized design (RAL) with two factors, the first factor was
seed water content consisted of three levels of 4.31, 6.33, and 8.25%, and the
second one was microwave heating duration consisted of six levels of 0, 10, 20,
30, 40, 50 seconds. The best seed water content then was used in the second

experiment. The second experiment used RAL with one factor that was
microwave heating duration consisted of seven levels of 0, 10, 20, 30, 40, 50
seconds and systemic fungicide with active ingredient benomyl 0.5 g L-1 as check
treatment.
The results showed that there were four species of Colletotrichum spp which
could be found, that were C. acutatum, C. capsici, C. gloesporioides, and
Colletotrichum sp. Colletotrichum acutatum is the most infected chili seeds
compared with other Colletotrichum species. Microwave could control C.
acutatum with efficacy rate of 64.5% and also maintained the viability of chili
seed on low water content (4.31%) and microwave heating period for 40 seconds.
Keywords: benomyl, efficacy, seed water content, seedborne

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGENDALIAN Colletotrichum spp. TERBAWA BENIH
CABAI MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO

LILIH NAELUN NAJAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS


Judul Tesis : Pengendalian Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai
Menggunakan Gelombang Mikro
Nama
: Lilih Naelun Najah
NIM
: A251130161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M. Rahmad Suhartanto, MSi
Ketua

Dr Ir Widodo, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Benih


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 25 April 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dengan judul Pengendalian Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai
Menggunakan Gelombang Mikro dilaksanakan sejak bulan Juli 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr Ir M. Rahmad Suhartanto, MSi
selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Widodo, MS selaku anggota komisi
pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis; Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS dan Dr Dewi Sukma, SP MSi yang telah

memberikan saran dalam penyempurnaan tesis ini. Dr Ir Endah Retno Palupi,
MSc selaku ketua program studi Ilmu dan Teknologi Benih, dan seluruh dosen
atas ajaran dan bimbingannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Pemerintah Daerah Provinsi Maluku atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana yang
telah penulis terima selama ini serta Pimpinan dan Staf Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih/Bibit Pertanian Peternakan Provinsi Maluku atas dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami (Basnainy
Thio), anak-anak (M. Rizky Thio, Fauzan Althaf Thio, Zaidan Azka Thio), dan
seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya. Teman-teman Ilmu
dan Teknologi Benih 2013, teman-teman Fitopatologi 2013 dan 2014, serta
seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala ilmu dan
kebaikan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016
Lilih Naelun Najah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Benih Cabai
Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai
Gelombang Mikro
Kadar Air Benih


3
3
4
7
9

3 METODE
9
Tempat dan Waktu Penelitian
9
Sumber Bahan
9
Pelaksanaan Percobaan
10
Percobaan I Pengaruh Kadar Air dan Lama Pemanasan Gelombang Mikro
Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Cabai
11
Percobaan II Pengaruh Lama Pemanasan Gelombang Mikro Terhadap
Perkembangan Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai
13
Analisis Data
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
15
Pengaruh Gelombang Mikro Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Cabai 15
Pengaruh Gelombang Mikro Terhadap Infeksi Colletotrichum Spp. dan
Hubungannya Dengan Daya Berkecambah Benih
18
5 KESIMPULAN
Kesimpulan

22
22

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1 Interaksi kadar air dan lama pemanasan gelombang mikro terhadap
viabilitas benih
2 Interaksi kadar air dan lama pemanasan gelombang mikro terhadap
vigor benih
3 Persentase tingkat infeksi Colletotrichum spp.
4 Hasil identifikasi berdasarkan pertumbuhan koloni pada media PDA
selama 14 hari dan bentuk konidia Colletotrichum spp.
5 Pengaruh lama pemanasan gelombang mikro terhadap daya
berkecambah (%) dan tingkat infeksi Colletotrichum spp.
6 Tingkat efikasi pemanasan gelombang mikro dan fungisida benomil
terhadap tingkat infeksi C. acutatum

15
17
18
19
20
22

DAFTAR GAMBAR
1 Irisan melintang benih cabai: kotiledon (C), endosperm (E), hipokotil
(H), mikrofil (M), radikula (R), kulit benih (SC)
2 Konidia C. acutatum (a), C. capsici (b), C. gloeosporioides (c)
3 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai
4 Komponen-komponen oven microwave
5 Diagram alir penelitian
6 Nilai LD50 berdasarkan persentase DB benih cabai kadar air 4.31%
selama pemanasan gelombang mikro

4
5
6
8
10
17

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani Indonesia karena memiliki
nilai ekonomi tinggi. Cabai juga mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional karena harganya yang sering mengalami fluktuasi dan
bahkan mempengaruhi inflasi. Produktivitas cabai nasional pada tahun 2014
adalah sebesar 8.35 ton ha-1 (BPS 2015). Nilai tersebut masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan potensi hasilnya yang dapat mencapai 20 ton ha-1 (Syukur et
al. 2010). Salah satu penyebab dari rendahnya produktivitas cabai adalah karena
penggunaan benih yang bermutu rendah.
Pengunaan benih bermutu merupakan faktor utama dalam peningkatan
produktivitas cabai. Benih bermutu mempunyai beberapa karakteristik
diantaranya viabilitas dan vigor yang tinggi, murni tidak tercampur oleh varietas
lain, bersih tidak tercampur kotoran atau benih tanaman lain, dan bebas dari
organisme pengganggu tanaman (OPT) (Sumarni & Muharam 2005).
Karakteristik tersebut digolongkan menjadi mutu fisiologis, genetik, fisik, dan
patologis (kesehatan benih). Jika suatu benih tidak memenuhi syarat keempat
karakteristik tersebut maka akan menyebabkan penurunan hasil produksi (Ilyas
2012).
Benih merupakan penyebar pasif dari beberapa penyakit terbawa benih
(seedborne) yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti cendawan, bakteri,
virus dan nematoda. Patogen terbawa benih tersebut dapat menyebar bersama
benih, di permukaan maupun di dalam benih yang biasanya dapat mengakibatkan
kehilangan hasil produksi yang cukup besar (Chigoziri & Ekefan 2013). Benih
yang secara visual tampak sehat, bukan berarti benih tersebut sehat. Benih yang
terinfeksi penyakit merupakan sumber inokulum yang akan menularkan dan
menyebar di lapangan. Perlu adanya pengujian kesehatan benih untuk mengetahui
status kesehatan suatu lot benih, sehingga hasilnya dapat menentukan cara
perlakuan benih dalam upaya pengendalian patogen terbawa benih atau
mengurangi resiko penularan penyakit (Dirjen Tanaman Pangan 2005).
Cendawan merupakan kelompok terbesar dari patogen yang dapat terbawa
benih atau tertular (transmitted) melalui benih. Cendawan masuk ke dalam
tanaman dan benih melalui bukaan alami seperti hidatoda, mikrofil, stomata, dan
melalui luka yang disebabkan oleh gesekan air hujan, tiupan angin, serangga,
binatang, manusia, atau mikroorganisme lain (Agarwal & Sinclair 1996).
Penyakit penting pada tanaman cabai salah satunya adalah penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. (Duriat et al.
2007). Penyakit ini dapat menurunkan hasil produksi cabai di Indonesia sebesar
10 - 80% pada musim hujan dan 2 - 35% pada musim kemarau. Spesies cendawan
Colletotrichum yang paling banyak ditemukan antara lain Colletotrichum
acutatum, C. capsici, dan C. gloeosporioides (Widodo 2007). Penyakit antraknosa
dapat menginfeksi buah muda maupun buah matang dan membuat buah menjadi
busuk. Gejala pada buah, yaitu terdapat luka melingkar membentuk lekukan ke

2
dalam berwarna merah tua sampai coklat muda, dengan berbagai bentuk jaringan
konsentrik dari aservuli cendawan yang seringkali basah dan berwarna gelap.
Spora yang berwarna pucat kekuningan sampai warna merah muda tersebar pada
garis-garis konsentrik. Buah cabai bisa hancur 100% karena antraknosa (Duriat et
al. 2007; Than et al. 2008).
Upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen
terbawa benih yang biasa dilakukan yaitu dengan perlakuan benih menggunakan
bahan kimia seperti fungisida sistemik, namun penggunaannya dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan akan berpengaruh terhadap kesehatan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Zhang et al. 2011) dan
juga dapat menimbulkan resistensi cendawan patogen terhadap fungisida (Deising
et al. 2008). Oleh karena itu perlu adanya alternatif pengendalian lain yang mudah,
murah, cepat dan ramah lingkungan seperti penggunaan gelombang mikro
(microwave).
Gelombang mikro merupakan gelombang elektromagnetik yang mempunyai
frekuensi sangat tinggi yaitu berkisar antara 300 MHz-300 GHz. Gelombang
mikro dapat digunakan dalam komunikasi, navigasi dan industri. Pemanasan
gelombang mikro dalam bidang industri digunakan untuk pengeringan, ekstraksi
minyak, aplikasi medis, pengendalian hama, dan meningkatkan perkecambahan
benih (Brodie 2012). Frekuensi yang biasa digunakan adalah 2 450 MHz karena
frekuensi tersebut mudah diserap oleh molekul air yang ada di setiap sel hidup.
Gelombang mikro memiliki efek panas karena dapat meningkatkan suhu.
Peningkatan suhu tersebut dihasilkan oleh energi yang diserap akibat pergerakan
medan listrik (Iuliana et al. 2013).
Pemanfaatan gelombang mikro untuk mengendalikan cendawan patogen
terbawa benih telah banyak dilaporkan antara lain dapat mengendalikan Fusarium
semitectum pada benih jagung (Vassanacharoen et al. 2006), Alternaria alternata
pada benih aster cina (Han 2010), Penicillium spp. pada benih buncis (Tylkowska
et al. 2010), Fusarium spp. dan Microdochium nivale pada benih gandum (Knox
et al. 2013), Fusarium subglutinan dan Aspergillus niger pada benih jagung manis
(Arengka 2014). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif pengendalian
penyakit tanpa merusak mutu fisiologis benih, serta dapat digunakan secara cepat,
tepat dan mudah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengendalikan Colletotrichum spp. terbawa
benih cabai menggunakan gelombang mikro serta dapat mempertahankan mutu
fisiologis benih.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Benih Cabai
Benih merupakan faktor penentu keberhasilan dalam budidaya tanaman.
Penggunaan benih bermutu dapat mengurangi resiko kegagalan budidaya tanaman.
Untuk mendapatkan benih bermutu tersebut, selain diperlukan benih sumber
dengan mutu genetik tinggi, perlu diperhatikan juga cara budidaya tanaman yang
optimal, pemeliharaan, panen, pasca panen, dan penyimpanan benih yang baik
(Kusandriani & Muharam 2005).
Benih bermutu mempunyai empat karakteristik, yaitu mutu genetik, mutu
fisiologis, mutu fisik, dan mutu kesehatan benih. Mutu genetik berhubungan
dengan kemurnian genetik, tidak tercampur varietas lain. Isolasi dan seleksi perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya persilangan antar varietas sehingga mutu
genetik tetap terjaga. Mutu fisiologis berhubungan dengan waktu panen benih
yang sangat berpengaruh terhadap mutu benih awal dan umur simpan benih yang
lebih panjang, sehingga panen sebaiknya dilakukan pada saat buah mengalami
masak fisiologis yang ditandai dengan buah sudah berwarna merah. Mutu fisik
berhubungan dengan fisik benih yang harus tampak bersih bebas dari kotoran dan
tidak tercampur dengan benih tanaman lain, sehat, bernas, tidak rusak, tidak
keriput dan berukuran normal. Mutu kesehatan benih berhubungan dengan ada
tidaknya serangan penyakit pada benih baik itu penyakit yang terbawa benih atau
tidak (Kusandriani & Muharam 2005).
Struktur benih terdiri dari embrio, cadangan makanan dan kulit benih.
Embrio merupakan bagian yang paling penting dari benih, memiliki ukuran yang
pada umumnya sangat kecil dibandingkan dengan bagian benih lainnya. Embrio
seperti tanaman miniatur yang terdiri dari radikula, plumula, satu atau dua
kotiledon dan epikotil atau hipokotil tergantung dari jenis tanaman. Cadangan
makanan terdapat pada kotiledon, endosperm atau perisperm. Kotiledon berasal
dari zigot dan merupakan bagian dari embrio. Pada beberapa spesies tanaman,
cadangan makanan terdapat pada kotiledon, dan perkembangan embrio menyerap
semua endosperm. Kulit benih terdiri dari testa dan tegmen. Testa merupakan
lapisan luar yang dapat bersifat keras seperti batu, kasar, tipis atau berdaging. Di
atas testa terdapat hilum yang merupakan bekas tempat menempelnya benih pada
funikulus, dan juga mikrofil yang merupakan titik pada benih berupa lubang ovul
tempat masuknya tabung polen. Tegmen merupakan lapisan dalam yang tipis dan
pada umumnya berwarna keputihan (Nome et al. 2002).
Struktur benih cabai terdiri dari embrio (radikula, kotiledon, hipokotil),
endosperm, kulit benih dan mikrofil (Gambar 1). Benih cabai berbentuk elipsoid,
dengan ukuran panjang 2.94 mm, lebar 3.23 mm ketebalan 0.71 mm dan berat
1000 butir 5.18 g. Posisi ovul termasuk tipe campylotropus atau membengkok,
embrio berbentuk melengkung dan rata (Dias et al. 2013). Sebagian besar benih
mengandung dua atau lebih cadangan makanan dalam jumlah cukup, yang
disintesis selama perkembangan benih. Cadangan makanan utama benih adalah
karbohidrat, protein dan lemak, umumnya diakumulasikan dalam kotiledon untuk
dikotil dan endosperm untuk monokotil (Widajati et al. 2013). Benih cabai
sebagian besar cadangan makanan berupa protein dan lipid (Chen & Lott 1992).

4

SC
M

C

R
E
H

Gambar 1 Irisan melintang benih cabai: kotiledon (C), endosperm (E), hipokotil
(H), mikrofil (M), radikula (R), kulit benih (SC). Sumber: Dias et al.
(2013)
Benih berpotensi membawa berbagai macam mikroorganisme seperti
cendawan, bakteri, virus dan nematoda yang dapat menyebabkan penyakit di
persemaian maupun pada tanaman. Ada beberapa yang hidup di permukaan benih
dan tidak mempengaruhi penampilan fisik benih, namun ketika kondisi
lingkungan mendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi maka akan menjadi
sangat berbahaya. Mikroorganisme lain hidup pada perikarp atau kulit benih dan
menyerang perkecambahan ketika kondisi lingkungan mendukung. Ada yang
terbawa benih, baik pada atau di dalam embrio dan endosperm. Biasanya tidak
mematikan benih, namun dapat menghambat perkecambahan dan menghasilkan
kecambah yang lemah. Ada yang bertahan di embrio dan kecambah untuk
menginfeksi pertanaman bila ditanam dari benih tersebut (Copeland & McDonald
1995).
Colletotrichum Terbawa Benih Cabai
Penyakit antraknosa berasal dari bahasa Yunani yang artinya batubara,
merupakan nama umum untuk penyakit tanaman yang mempunyai gejala seperti
bercak berwarna hitam, memiliki luka yang membentuk cekungan dan
mengandung spora. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada daun, batang,
buah pra dan pascapanen (Isaac 1992) serta dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang cukup tinggi di daerah tropis dan subtropis termasuk China, Korea,
India, Indonesia dan Thailand (Voorrips et al. 2004; Kim et al. 2008; Than et al.
2008; Xia et al. 2011).
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan dari genus Colletotrichum
(Deuteromycetes), yang merupakan anamorf (bentuk aseksual) dari genus
Glomerella (Ascomycetes). Cendawan ini merupakan patogen yang paling
penting selain karena terbawa benih, juga dapat menyebabkan infeksi laten.
Infeksi tersebut menunjukkan fenomena kepasifan, yaitu gejala tidak berkembang
sampai buah matang (Jeffries et al. 1990). Penyakit antraknosa disebabkan oleh
beberapa spesies Colletotrichum termasuk C. acutatum, C. capsici, C.
gloeosporioides (Widodo 2007). Cendawan C. acutatum merupakan spesies yang
paling merusak dan mempunyai penyebaran yang luas (Voorrips et al. 2004; Xia
et al. 2011).

5
Identifikasi dan karakterisasi Colletotrichum dilakukan berdasarkan karakter
morfologi dan karakter kultur. Karakter tersebut digunakan untuk membedakan
species Colletotrichum seperti ukuran dan bentuk konidia, apresoria, keberadaan
setae atau teleomorf, warna koloni, produksi pigmen, tekstur dan kecepatan
tumbuh (Smith & Black 1990).
Ivey et al. (2004) melaporkan bahwa koloni C. acutatum berwarna putih
pada awal perkembangan kemudian menjadi oranye, semakin lama semakin
berwarna abu-abu kehijauan, jika dibalikkan akan berwarna oranye kecoklatan.
Kumpulan konidia berwarna oranye cerah berada pada koloni bagian tengah.
Kultur yang lebih lama menghasilkan aservuli berwarna hitam pada bagian tengah
koloni. Miselia bercabang, bersekat dan hialin. Konidia hialin, bersel satu,
bentuknya silinder dengan ujung meruncing, berukuran panjang 14.7 µm dan
lebar 3.85 µm. Than et al. (2008) melaporkan bahwa pertumbuhan koloni C.
acutatum sangat lambat 5.8 mm/hari, bentuk konidia fusiform dengan salah satu
atau kedua ujungnya meruncing berukuran panjang 14 µm dan lebar 3.5 µm
(Gambar 2).
Than et al. (2008) melaporkan bahwa koloni C. capsici berwarna putih
sampai abu-abu, dengan kumpulan konidia berwarna abu-abu kecoklatan.
Pertumbuhan koloni pada kultur tergolong cepat, yaitu 7.1 mm/hari, bentuk
konidia falcate seperti bulan sabit berukuran panjang 21 µm dan lebar 3 µm
(Gambar 2). Chai et al. (2014) melaporkan bahwa C. capsici mempunyai koloni
berwarna coklat keabu-abuan, kumpulan konia berwarna kuning pucat, acervuli
berwarna cokelat tua sampai hitam, setae berwarna coklat muda sampai coklat tua.
Konidia berwarna hialin, bentuknya falcate dengan ujung tajam, berukuran
panjang 22-26.2 µm dan lebar 3-5.5 µm.
Koloni C. gloeosporioides mempunyai warna yang bervariasi dari putih
keabu-abuan sampai abu-abu tua. Pertumbuhan koloni pada kultur paling cepat,
yaitu 11 mm/hari, bentuk konidia silinder dengan kedua ujungnya membulat
berukuran panjang 13.5 µm dan lebar 4 µm (Gambar 2) (Than et al. 2008).

a

b

c

Gambar 2 Konidia C. acutatum (a), C. capsici (b), C. gloeosporioides (c).
Sumber: Than et al. (2008)
Penyakit antraknosa pada buah sering menyebabkan busuk lunak pada kulit
buah. Gejala yang khas pada buah, yaitu luka yang membentuk cekungan,
melingkar dan meluas dengan aservuli (struktur aseksual pada cendawan parasit)
berwarna hitam yang membentuk cincin konsentris, sering basah dan
menghasilkan kumpulan konidia berwarna merah muda sampai oranye. Pada
serangan berat, buah menjadi kering, keriput dan berwarna seperti jerami (Gambar
3).

6

Gambar 3 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai
Infeksi awal dari patogen ini merupakan rangkaian proses mulai dari adanya
konidia di permukaan tanaman, perkecambahan konidia dengan membentuk
tabung kecambah, produksi appresoria yang berfungsi untuk melekat dengan kuat
pada jaringan tanaman, penetrasi pada jaringan epidermis, pertumbuhan dan
kolonisasi jaringan tanaman, produksi aservuli dan pembentukan spora (Prusky et
al. 2000). Mekanisme infeksi patogen pada benih terdapat dua cara, yaitu infeksi
sistemik dan kontaminasi atau infestasi. Infeksi sistemik terjadi melalui empat
cara, yaitu: 1) infeksi sistemik melalui bunga, buah atau funiculus, 2) penetrasi
melalui stigma, 3) penetrasi melalui dinding ovari dan kulit benih, 4) penetrasi
melalui luka atau bukaan alami. Kontaminasi terjadi melalui dua cara yaitu
patogen menempel pada permukaan benih dan tercampur pada benih selama
proses produksi benih dari mulai panen, ekstraksi, seleksi sampai pengemasan
(Nome et al. 2002).
Colletotrichum merupakan patogen yang dapat bertahan hidup pada benih
maupun pada kulit benih, dalam bentuk aservuli atau miselia. Keberadaan aservuli
yang melimpah menyebabkan rusaknya lapisan parenkim dari kulit benih dan
mengurangi cadangan makanan di endosperm dan embrio (Chitkara et al. 1990).
Cendawan pada kondisi tertentu dapat hidup pada inang alternatif seperti tanaman
golongan solanaceae lainnya, legum, sisa-sisa tanaman, dan buah yang busuk di
lapangan (Pring et al. 1995).
Pencegahan dan pengendalian cendawan Colletotrichum spp. terbawa benih
cabai yang dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan benih yang bersertifikat,
tidak mengikutsertakan biji yang berbentuk dan berwarna abnormal , memberi
perlakuan perendaman dengan air panas ± 55 °C selama 30 menit, atau fungisida
dari golongan sistemik selama kurang lebih satu jam. Penggunaan fungisida
berlebih selain tidak efisien juga dapat menimbulkan berbagai masalah serius
seperti akumulasi residu pestisida, penyakit menjadi resisten, epidemi penyakit,
terbunuhnya musuh alami dan pencemaran lingkungan (Duriat et al. 2007).
Fungisida sistemik bahan aktif benomil dapat digunakan untuk mengendalikan
cendawan Colletotrichum spp. (Peres et al. 2004; Setiyowati et al. 2007).

7
Gelombang Mikro
Gelombang mikro merupakan bagian dari gelombang radio yang memiliki
frekuensi antara 300 Mhz-300 Ghz dengan panjang gelombang antara 1 m sampai
1 mm. Panjang gelombang berbanding terbalik dengan frekuensi. Semakin besar
frekuensi suatu gelombang maka panjang gelombang semakin pendek dan
semakin kecil frekuensi suatu gelombang maka panjang gelombang semakin
panjang. Frekuensi gelombang mikro memiliki spektrum yang luas terdiri dari
ultra high frequency (UHF) yaitu frekuensi antara 300 Mhz-3 Ghz, super high
frequency (SHF) yaitu frekuensi antara 3 GHz-30 GHz, dan extremely high
frequency (EHF) yaitu frekuensi antara 30 GHz-300 GHz. Perangkat elektronik
yang memancarkan gelombang mikro dapat mengganggu telekomunikasi,
pertahanan, dan aplikasi maritim, sehingga pemerintah membatasi penggunaan
frekuensi yang diperbolehkan yaitu frekuensi Industrial, Science and Medical
(ISM) untuk peralatan elektronik (Saltiel & Datta 1999).
Oven gelombang mikro (microwave) merupakan alat pemanas yang
menghasilkan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi sekitar 2 450 Mhz
setara dengan 2.4 Ghz, yang dapat bekerja dengan cepat dan efisien. Gelombang
mikro tersebut memantul dalam oven dan diserap oleh material mengandung air,
lemak dan gula, yang ditempatkan dalam oven. Apabila material tidak
mengandung air, maka pemanasan tidak akan terjadi dan akan tetap dingin.
Gelombang mikro yang diserap akan menghasilkan panas. Proses ini tidak
memerlukan konduksi panas seperti di oven biasa, sehingga bisa dilakukan
dengan cepat. Gelombang mikro pada frekuensi tersebut tidak diserap oleh bahanbahan gelas, keramik, dan sebagian jenis plastik. Bahan logam bahkan dapat
memantulkan gelombang ini, sehingga oven microwave ini bersifat selektif dalam
memanaskan.
Edgar & Osepchuk (2001) menjelaskan komponen-komponen utama oven
microwave antara lain: 1) power supply merupakan catu daya terdiri dari
trasformator, kapasitor dan dioda, 2) magnetron merupakan bagian inti yang dapat
mengubah energi listrik menjadi gelombang mikro, 3) waveguide merupakan alat
yang berfungsi untuk mengarahkan gelombang, 4) stirrer merupakan alat yang
menyerupai baling-baling yang berfungsi untuk menyebarkan gelombang mikro di
dalam oven, 5) oven cavity merupakan ruangan berdinding logam yang akan
memantulkan gelombang mikro ke segala arah dan diserap oleh material, 6) air
flow merupakan aliran udara yang dapat mendinginkan transformator dan
magnetron (Gambar 4).
Mekanisme pemanasan oven microwave, yaitu gelombang mikro yang
dihasilkan oleh magnetron ditransmisikan ke dalam waveguide kemudian
dipantulkan ke dalam stirrer dan dinding logam di dalam oven, kemudian
gelombang tersebut diserap material. Gabriela & Simina (2011) menyatakan
bahwa aliran energi panas dari dalam material ke keluar terjadi akibat absorbsi
energi elektromagnetik oleh molekul air yang terkandung dalam material. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kelembaban material akibat adanya
transfer panas dari bagian dalam benih ke luar.
Aplikasi gelombang mikro dalam bidang industri, salah satunya yaitu
digunakan untuk perlakuan benih. McCormack (2004) menyatakan bahwa
perlakuan benih yang ideal seharusnya sangat efektif menekan patogen terbawa

8
benih, relatif aman, tidak menimbulkan toksik terhadap hewan, tanaman maupun
manusia, efektif untuk waktu yang lama selama penyimpanan, mudah digunakan,
cocok dan praktis, serta ekonomis. Perlakuan benih dengan gelombang mikro
memenuhi kriteria tersebut, karena penggunaannya yang mudah hanya
memerlukan beberapa detik, sehingga lebih efektif dan tidak menimbulkan toksik.
Wei (2004) meyatakan bahwa keuntungan dari teknik pemanasan gelombang
mikro, yaitu: 1) startup cepat, meningkatkan produksi panas secara cepat,
mengurangi biaya produksi dan tenaga kerja, 2) suhu yang lebih tinggi di dalam
material dari pada di luar material, 3) proses pemanasan dan pengeringan secara
selektif, 4) pemanasan elektromagnetik tanpa polusi, mudah digunakan dan
otomatis.

Gambar 4 Komponen-komponen oven microwave.
Sumber: Edgar & Osepchuk (2001)
Perlakuan benih dengan menggunakan gelombang mikro merupakan
pemanasan dielektrik yang biasa digunakan dalam proses pengeringan. Dielektrik
adalah suatu zat yang mampu mendukung medan listrik dan umumnya dianggap
sebagai isolator yang baik daripada konduktor arus listrik. Bouraoui et al. (1993)
menyatakan bahwa pemanasan dielektrik merupakan suatu proses yang
menggunakan radiasi elektromagnetik frekuensi tinggi untuk memanaskan
material dielektrik melalui deretan dipolar molekul air. Ketika material dielektrik
seperti benih yang terkena radiasi gelombang mikro, maka penyusunan kembali
molekul air menciptakan gesekan yang menghasilkan panas dan meningkatkan
suhu benih. Wei (2004) menyatakan bahwa ada dua konsep fisika yang terjadi
dalam proses pemanasan dielektrik yaitu osilasi dipolar dan pergerakan ion.
Mekanisme pemanasan dielektrik selain refleksi dan transmisi energi gelombang
mikro, material dielektrik juga memiliki kemampuan untuk menyerap dan
menghilangkan energi dalam jumlah besar dalam medan elektromagnetik.
Perlakuan benih dengan menggunakan gelombang mikro efektif dalam
meningkatkan perkecambahan benih, mengendalikan penyakit pada benih serta
menekan gulma. Benih yang mengalami pemanasan dengan gelombang mikro
akan terjadi peningkatan suhu secara cepat yang mengakibatkan rusaknya dinding
sel cendawan, degradasi protein yang memicu terjadinya inaktivasi enzim,
penurunan viabilitas konidia cendawan dan kematian sel-sel hifa cendawan
(Nelson 2011). Perlakuan gelombang mikro merupakan perlakuan fisik yang

9
dapat menjadi altenatif pengendalian OPT tanpa meninggalkan residu kimia yang
membahayakan kesehatan manusia.
Kadar Air Benih
Kadar air benih merupakan berat air yang hilang karena pengeringan dan
dinyatakan sebagai persentase dari berat awal benih (ISTA 2014). Kadar air
merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan pada kegiatan
pemanenan, pengolahan, penyimpanan dan pemasaran benih. Kadar air benih
menentukan tingkat kerusakan mekanis saat pengolahan, kemampuan benih
mempertahankan viabilitasnya selama di penyimpanan dan menentukan kelulusan
pada proses sertifikasi benih ( Widajati et al. 2013).
Kadar air berperan dalam perdagangan benih untuk menetapkan nilai jual
benih. Kandungan air yang tinggi pada benih menandakan mutu benih yang
rendah, yang menyebabkan daya simpan benih rendah. Kadar air dapat dinyatakan
dengan dua cara yaitu: 1) berdasarkan berat kering yang digunakan dalam ilmu
pengetahuan dan penelitian, dan 2) berdasarkan berat basah yang digunakan
dalam industri benih dan ISTA. Kadar air bersifat dinamis, dapat menguap atau
mendesorbsi air tergantung tingkat kelembaban udara disekelilingnya (Dirjen
Tanaman Pangan 2013).
Kadar air benih ortodoks pada saat panen masih sangat tinggi sekitar 2030%, dan harus dikeringkan sampai kadar air optimum untuk mencegah
perkecambahan, mempertahankan viabilitas dan vigor selama penyimpanan.
Benih ortodoks tahan terhadap pengeringan sampai kadar air rendah (4%) dan
dapat disimpan pada suhu rendah (