Identifikasi, Tingkat Serangan, Dan Potensi Terbawa Benih Colletotrichum Sp., Pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L)
IDENTIFIKASI, TINGKAT SERANGAN, DAN POTENSI
TERBAWA BENIH Colletotrichum sp., PADA TANAMAN
MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
FERY PURNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI
RINGKASAN
FERY PURNAWATI. Identifikasi, Tingkat Serangan, dan Potensi Terbawa
Benih Colletotrichum sp., pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.).
Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan TITIEK SITI YULIANI.
Tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis
tanaman sayuran utama dari famili cucurbitaceae yang dibudidayakan oleh
petani di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Penyebaran pertanaman
mentimun di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi
mengalami produksi mentimun nasional mengalami penurunan. Salah satu
pembatas dalam budidaya tanaman mentimun di beberapa negara adalah
penyakit antraknosa, sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang
khusus terhadap identifikasi patogen dan kejadian penyakit ini pada
tanaman mentimun. Oleh karena itu, informasi tentang arti penting penyakit
antraknosa dan identifikasi patogen antraknosa pada mentimun di Indonesia
sangat diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menentukan kejadian penyakit di
pertanaman mentimun akibat serangan penyakit antraknosa, 2)
mendeskripsikan gejala penyakit antraknosa pada pertanaman mentimun, 3)
mengidentifikasi patogen antraknosa pada tanaman mentimun, dan 4)
menentukan potensi terbawa benih patogen antraknosa.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 – Desember 2014 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB dan di pertanaman mentimun milik petani (Kabupaten Klaten
dan Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor
Propinsi Jawa Barat). Benih mentimun contoh diperoleh dari toko-toko
benih. Metode yang digunakan adalah identifikasi morfologi dan surveilan
kejadian penyakit antraknosa. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode purposive random sampling. Identifikasi secara morfologi dengan
pemeriksaan langsung pada preparat slide terhadap 30 aservuli dari jaringan
yang bergejala antraknosa. Pengamatan koloni patogen dilakukan dengan
menanam aservuli dari bagian nekrotik pada daun mentimun ke dalam
cawan petri berisi PDA. Pengamatan apresoria dengan memproduksi
apresoria dengan teknik kultur slide. Deteksi Colletotrichum sp. sebagai
patogen terbawa benih dilakukan dengan blotter test.
Hasil identifikasi secara morfologi dan bentuk koloni menunjukkan
bahwa patogen antraknosa pada mentimun di Indonesia adalah
Colletotrichum orbiculare dan C. dematium. Hasil surveilan keadaan
penyakit antraknosa dari 11 lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta
Kabupaten Boyolali dan Klaten Jawa Tengah selama waktu sampling (JuniDesember) menunjukkan bahwa penyakit terjadi di empat lokasi
pengambilan sampel, pada stadia tanaman berbunga sampai dengan berbuah
yaitu di beberapa desa di Kabupaten Bogor (Lumbung, Tegalwaru,
Bantarsari) dan di Desa Pasungan, Kabupaten Klaten, dengan tingkat
kejadian penyakit bervariasi dari paling rendah (4 %) dan paling tinggi (92
%), serta persentase keparahan penyakit paling rendah (0.80 %) dan paling
tinggi (30.75%) bahkan dengan kondisi lingkungan yang kurang
mendukung perkembangan penyakit, yaitu musim kemarau. Hasil uji
deteksi patogen terbawa benih menunjukkan bahwa patogen antraknosa,
Colletotrichum sp., merupakan patogen terbawa benih dengan tingkat
infeksi 0.38 %.
Katakunci: antraknosa, benih, Colletotrichum, Indonesia, mentimun
SUMMARY
FERY PURNAWATI. Identification, Infection Rate, and Potential as Seedborne Pathogen of Colletotrichum sp. on Cucumber (Cucumis sativus L.).
Supervised by SURYO WIYONO dan TITIEK SITI YULIANI.
Cucumber (Cucumis sativus L.) is one of the main vegetables grown
by farmers in Indonesia, particularly in Java and Sumatra. The planting area
of cucumber in Indonesia continues to increase from year to year, but
national production of cucumber has decreased. The cultivation of cucumber
crop in several countries suffers severely because of anthracnose disease,
while identification on the pathogen and disease incidence of anthracnose
on cucumber crop in Indonesia has not been specifically investigated.
Therefore, this study aimed to identify pathogen and study of disease
incidence of the anthracnose on cucumber crop in Indonesia, also to
determine its potency as seed-borne pathogens. Therefore, information
about the importance of anthracnose disease and pathogen identification of
anthracnose on cucumbers in Indonesia is very necessary.
This research aims to 1) determine the incidence disease in cucumber
crops due to disease anthracnose, 2) describe the symptoms of anthracnose
disease in cucumber cultivation, 3) identify pathogens of anthracnose on
cucumber plants, and 4) determining the potency of antracnose pathogen as
seed-borne pathogen.
The experiment was conducted in June 2014 - December 2014 in
Plant Mycology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of
Agriculture of IPB and farmers' cucumber cultivation in Klaten and
Boyolali (Central Java) and Bogor (West Java). Sample of cucumber seeds
obtained from seeds stores. The method used was the morphological
identification and surveillance of disease incidence of anthracnose.
Sampling was done by purposive random sampling method. Morphological
identification carried by direct examination on slide glass on 30 acervulli
from symptomatic tissue of anthracnose. Colonies observations of
pathogens was carried out by planting acervulli of necrotic section of
cucumber leaves in a petri dish containing PDA. Observations apresoria by
induced apresoria formation with slide culture techniques. Detection of
Colletotrichum sp. as a seed-borne pathogens was carried out by blotter test.
The survey resulted four locations of eleven locations in West Java
(Bogor) and Central Java (Boyolali and Klaten) during sampling periodes
(June-December) indicate the severity of disease and the highest incidence
of disease occurs in fruiting plants growth stages in Bogor (Lumbung
Village, Tegalwaru Village, Bantarsari Village) and in Pasungan Village,
Klaten. The percentage of disease incidence from those four locations was
various from lowest (4%) to highest (92%). The percentage of severity
disease was various from lowest (5.53 %) to highest (30.75 %), eventhough
in dry season. Pathogen of cucumber anthracnose from sample area was
Colletotrichum orbiculare and C. dematium. Colletotrichum sp. in
cucumber, was a seed-borne pathogen with infection rates of 0.38%.
Keywords: anthracnose, Colletotrichum, cucumber, Indonesia, seed
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI, TINGKAT SERANGAN, DAN POTENSI
TERBAWA BENIH Colletotrichum SP., PADA TANAMAN
MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
FERY PURNAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni
2014 ini ialah patogen terbawa benih, dengan judul Identifikasi, Tingkat
Serangan, dan Potensi Terbawa Benih Colletotrichum sp., pada Tanaman
Mentimun (Cucumis sativus L.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr
dan Dr Ir Titiek Siti Yuliani, SU selaku pembimbing, serta Dr Ir Bonny
Poernomo Wahyu Soekarno, MS selaku penguji dan Ir. Ummu Salamah
Rustiani, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Karantina Pertanian selaku
pemberi beasiswa, Dr. drh. Syafril Daulay, MM beserta staf Balai Besar Uji
Standar Karantina Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali dan Ir.
Joko Siswanto, MSi beserta staf Dinas Pertanian Kabupaten Klaten, yang
telah membantu memberikan informasi pertanaman mentimun. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak-anak, seluruh
keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
FeryPurnawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode
10
10
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian dan Keparahan Penyakit
Gejala Penyakit
Identifikasi Morfologi Colletotrichum sp. pada
Mentimun
Deteksi Colletotrichum sp. sebagai Patogen Terbawa
Benih
13
15
20
27
5 SIMPULAN
30
6. SARAN
31
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
38
DAFTAR TABEL
1 Keadaan penyakit antraknosa di lapangan
14
2 Identifikasi Colletotrichum sp. dengan bentuk konidia falcate
23
3 Identifikasi Colletotrichum sp. dengan bentuk konidia clavate
27
4 Persentase jenis Colletotrichum berdasarkan pemeriksaan langsung
pada mentimun asal lokasi pengambilan sampel
28
5 Uji potensi patogen terbawa benih
29
6 Tingkat infeksi antraknosa dengan ukuran benih berbeda
30
DAFTAR GAMBAR
1
Gejala penyakit antraknosa pada daun dan tanaman mentimun
5
2
Gejala penyakit antraknosa pada buah mentimun
5
3
Siklus penyakit antraknosa pada berbagai tanaman
7
4
Karakterisasi morfologi C. orbiculare
7
5
Gejala antraknosa pada pertanaman mentimun
17
6
Konidiomata berupa aservuli
17
7
Distribusi gejala penyakit pada tanaman mentimun
18
8
Colletotrichum dematium asal mentimun di Lumbung
22
9
Koloni C. dematium asal mentimun di Lumbung
22
10 Colletotrichum sp. pada mentimun di Lumbung
24
11 Colletotrichum sp. pada mentimun di Bantarsari
24
12 Colletotrichum sp. pada mentimun di Tegalwaru
25
13 Colletotrichum sp. pada mentimun di Klaten
25
14 Koloni Colletotrichum orbiculare asal daun mentimun
26
15 Tanda penyakit pada benih hasil uji blotter test
28
16 Koloni cendawan pada benih hasil uji blotter test
29
17 Infeksi antraknosa pada benih
30
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data curah hujan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor
40
2 Data curah hujan Tegalwaru, Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor
44
3 Data curah hujan Kecamatan Cibungbunglan, Kabupaten Bogor
45
4 Data curah hujan Kabupaten Boyolali
46
5 Data curah hujan Kabupaten Klaten
47
6 Hasil Uji Blotter Benih
49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayur dari famili
cucurbitaceae yang cukup populer di hampir semua negara. Mentimun berasal
dari dataran tinggi Himalaya dan pada saat ini budidayanya sudah meluas ke
seluruh wilayah tropis dan subtropis (Elsya 2003). Mentimun memiliki nilai
ekonomi yang penting bagi masyarakat Indonesia karena merupakan salah satu
jenis sayuran pokok juga sebagai perawatan kecantikan tradisional ataupun
dengan teknologi modern. Menurut Prakoso et al. (2014), manfaat penting lain
buah mentimun adalah untuk terapi penyakit hipertensi. Hal tersebut karena
kandungan kalium yang tinggi dalam mentimun.
Tanaman mentimun merupakan salah satu jenis tanaman sayuran utama
yang dibudidayakan oleh petani di Indonesia selain bawang merah, cabai, kacang
panjang, kentang, kubis, dan tomat (Anwar et al. 2005). Pada tahun 1991, luas
areal panen mentimun nasional mencapai 55.792 ha dengan produksi 268.201 ton.
Daerah penyebaran yang menjadi pusat pertanaman mentimun adalah propinsi
Jawa Barat, Daerah Istimewa Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
(Rukmana 1994). Bahkan beberapa tahun terkahir, tanaman mentimun merupakan
tanaman yang penting dalam program diversifikasi dalam Arah dan Kebijakan
Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Panjang 2002-2025 Kementerian
Pertanian di Kalimantan, antara lain di Kota Singkawang, Kalimantan Barat dan
Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Lestari et al. 2011, Puspitasari
et al. 2013).
Penyebaran dan produksi mentimun di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat, tetapi produksi mentimun nasional dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2013 mengalami penurununan yaitu, secara berturut-turut, 583 139 ton; 547
141 ton; 521 535 ton; 511 525 ton; 491 636 ton (BPS 2014). Salah satu pembatas
dalam budidaya tanaman mentimun adalah penyakit tanaman. Sumber inokulum
bisa berasal dari lahan itu sendiri (sebelum tanam dan sisa tanaman), benih, atau
bibit, vegetasi sekitarnya dan dari tempat yang jauh. Status kesehatan benih
merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan keberhasilan budidaya
tanaman mentimun karena benih merupakan pembawa pasif dan tempat bertahan
hidup berbagai jasad renik, baik yang bersifat patogenik maupun saprofitik. Oleh
karena itu benih dapat berperan sebagai media pembawa yang utama dalam
penyebaran patogen tanaman dan insidensi penyakit di lapangan, khususnya
patogen yang bersifat terbawa benih.
Penyakit terbawa benih mempengaruhi pertukaran plasma nutfah dan
perdagangan benih internasional (Neergaard 1977). Perdagangan global benih saat
ini telah mengalami peningkatan baik dalam volume maupun frekuensi.
Perusahaan-perusahaan pengembang benih di Indonesia, terutama benih
hortikultura, saat ini telah banyak melakukan ekspor benih cucurbitaceae ke
beberapa negara lain seperti Jepang dan Cina. Hal ini semakin memberikan peran
yang penting bagi benih dalam menyebarkan suatu patogen penting ataupun
2
patogen baru terbawa benih dari suatu negara yang tidak bebas ke negara yang
masih bebas dari patogen tersebut.
Salah satu upaya pengendalian penyakit adalah dengan tindakan karantina,
khususnya untuk patogen-patogen yang persebarannya masih terbatas. Beberapa
tindakan karantina antara lain seperti deteksi patogen terbawa benih untuk
memastikan bahwa benih tersebut terbebas dari patogen yang dapat menyebabkan
benih tidak berkembang sebagaimana mestinya dan menjadi media pembawa
masuknya organisme pengganggu tanaman (OPT) dan pemantauan OPT sebagai
sistem peringatan dini status dan persebaran OPT. Salah satu penyakit penting
pada tanaman adalah penyakit antraknosa yang gejalanya terutama pada daun
tanaman semak, tanaman naungan maupun tanaman hias. Penyakit ini disebabkan
oleh patogen terbawa benih Colletotrichum sp. pada mentimun, Discula
destructive pada dogwood, Kabatiella caulivora pada Trifolium subterraneum dan
Apiognomonia errabunda pada tanaman oak (Helms 1977, Lee 2013, Li 2014,
Redlin 1991).
Colletotrichum sp. adalah salah satu genus cendawan patogenik yang paling
umum dan penting pada tanaman. Hampir semua tanaman yang dibudidayakan di
dunia rentan terhadap satu spesies Colletotrichum atau lebih. Cendawan ini
menyebabkan gejala bercak antraknosa dan hawar pada bagian tanaman di atas
tanah dan busuk pada komoditas pasca panen. Anggota genus ini merupakan
penyebab utama kehilangan hasil dari tanaman-tanaman yang memiliki nilai
ekonomi tinggi meliputi buah, sayuran dan tanaman hias. (Dean et al. 2012).
Penyakit antraknosa sukar dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat laten
dan sistemik, penyebaran inokulum dilakukan melalui benih (seed borne) serta
dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dalam tanah. Serangan patogen
antraknosa pada fase pembungaan menyebabkan persentase benih terinfeksi tinggi
walaupun benih tampak sehat (Sinaga et al. 1992). Sedangkan menurut hasil
penelitian Fitzel dan Peak (1984), penyakit antraknosa menyebar pada pohon
mangga dengan konidia C. gloeosporioides var. minor yang terbawa air.
Antraknosa adalah penyakit utama pada mentimun dan famili cucurbitaceae
lainnya di beberapa negara seperti Florida, Jepang, Thailand, Cina, Korea (Jeun et
al. 2008, Negishi et al. 2011, Palenchar et al. 2012, Photita et al. 2005, Qi et al.
2013, Tian et al. 2008). Penyakit ini dapat berkembang di semua bagian tanaman
di atas tanah dan menyebabkan hawar daun, bercak, kanker batang, dan busuk
buah selama musim tanam. Serangan epidemik selama musim tanam pada musim
panas yang basah dan hangat dapat menyebabkan penggundulan awal, kehilangan
hasil dan penurunan kualitas buah. Buah yang terserang dapat menghasilkan benih
yang terkontaminasi patogen. Penyebab penyakit antraknosa pada mentimun di
berbagai negara adalah C. orbiculare (Li 2014). Banyak sekali penelitian telah
menyimpulkan bahwa praktek manajemen penyakit sering tidak berhasil untuk
menghilangkan penyakit. Pemuliaan untuk mengembangkan varietas tahan juga
belum berhasil bertahan lama karena keterlibatan beberapa spesies Colletotrichum
infeksi antraknosa (Than et al. 2008a).
Deteksi dan identifikasi mikroorganisme yang berhubungan dengan benih
tamanan bernilai ekonomi tinggi penting bagi suatu negara karena merupakan
langkah pertama dan utama untuk mencapai sistem uji kesehatan benih yang
efisien (Alemu 2014). Identifikasi spesies Colletotrichum sangat penting untuk
epidemi penyakit karena untuk mengembangkan dan menerapkan strategi
3
pengendalian yang efektif dan untuk memahami epidemiologi penyakit. Sama
pentingnya adalah meneliti apakah patogen yang sama atau berbeda berhubungan
dengan penyakit pada jaringan inang yang berbeda. Selain itu identifikasi akurat
dari patogen juga penting dalam ilmu pemuliaan untuk resistensi terhadap suatu
spesies tertentu. Inang tunggal mungkin terinfeksi oleh beberapa spesies
Colletotrichum, sedangkan beberapa inang juga dapat terinfeksi oleh spesies
patogen (Freeman et al. 1998, Freeman 2000). Di Indonesia identifikasi penyakit
antraknosa pada mentimun belum dilakukan, sedangkan penyakit antraknosa
merupakan penyakit yang penting pada tanaman mentimun di beberapa negara
lain dan di Indonesia merupakan penyakit penting pada tanaman lainnya seperti
tanaman hias, cabai dan sengon. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui secara khusus mengenai patogen penyebab penyakit antraknosa pada
mentimun dan kejadian penyakit pada pertanaman di Indonesia.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas didapatkan suatu perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Belum ada identifikasi Colletotrichum sp. pada mentimun di Indonesia
2. Belum ada informasi tentang kejadian/keparahan penyakit antraknosa pada
tanaman mentimun di lapangan.
3. Gejala dan tanda patogen penyebab antraknosa pada mentimun belum
dideskripsikan.
4. Belum diketahui arti pentingnya penyakit antraknosa pada mentimun.
5. Belum diketahui potensi Colletotrichum terbawa benih mentimun.
Tujuan Penelitian
1. Menentukan kejadian penyakit di pertanaman mentimun akibat serangan
penyakit antraknosa.
2. Mendeskripsikan gejala penyakit antraknosa pada pertanaman mentimun.
3. Mengidentifikasi patogen antraknosa pada mentimun.
4. Menentukan potensi terbawa benih patogen antraknosa.
Manfaat Penelitian
Informasi dari hasil penelitian yaitu keberadaan penyakit antraknosa pada
pertanaman mentimun di Indonesia, spesies Colletotrichum sebagai patogen
antraknosa dan potensinya sebagai patogen terbawa benih, diharapkan bisa
menjadi dasar ilmiah untuk menentukan teknik pengendalian yang sesuai terhadap
penyakit antraknosa pada mentimun.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Penyakit Antraknosa
Antraknosa adalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh beberapa
cendawan yang menyerang tanaman semak, pohon peneduh dan tanaman
budidaya. Tanaman ini akan menentukan jenis cendawan yang menyebabkan
antraknosa tersebut. Sebagai contoh pada mentimun disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum sp., pada tanaman oak disebabkan oleh Apiognomonia sp. atau
pada maple disebabkan oleh Kabatiella sp. Colletotrichum sp., sebagai penyebab
penyakit antraknosa, mempunyai peranan penting pada ekonomi subsistem
pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari
monokotil hingga tanaman dikotil. Cendawan bertahan di sisa-sisa tanaman pada
saat overwinter atau memproduksi spora pada bulan April dan Mei ketika dingin
dan lembab. Patogen ini membentuk bintik-bintik kecil hingga bercak besar di
daun. Pada tanaman berkayu penyakit dapat menyebabkan kanker pada batang,
seperti mawar, yang akan membunuh batang dan bertahan selama musim dingin
di batang. Pohon yang bercak antraknosa berkembang akan sering rontok daunnya
pada Bulan Juni atau Juli. Pada beberapa kasus,daun dapat tumbuh kembali. Jika
pohon sangat terpengaruh dari tahun ke tahun, penyakit dapat melemahkan pohon.
Infeksi akan bertahan pada musim dingin sebagai kanker, pada tunas dan sisa-sisa
tanaman (Denkler 2013, Dickman 1993).
Penyakit antraknosa merupakan salah satu kendala dalam pembudidayaan
cabai di Indonesia. Dalam kondisi lingkungan yang optimal bagi patogen,
penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai. Kerugian
hasil selama transportasi dan penyimpanan dalam kurun waktu satu minggu dapat
mencapai lebih dari 25% (Prajnanta 1999).
Pada pertanaman mentimun di Rusia, Ukraina, dan Moldova, penyakit
antraknosa menyerang 30-100% pertanaman, perkembangan penyakit mencapai
50%, dan penurunan hasil mencapai 48% (Klopunova 2009). Menurut Giatgong
(1980) dalam Semangun (1989), penyakit antraknosa pada mentimun, yang
terdapat di Thailand dan Indonesia, disebabkan oleh C. lagenarium (Pass.) Ell. Et
Halst.
C. orbiculare (Berk. & Mont.) Arx adalah patogen penting penyebab
penyakit antraknosa pada famili Cucurbitaceae, khususnya mentimun (Cucumis
sativus), melon (C. melo), semangka (Citrullus lanatus), labu (Cucurbita pepo)
dan squash (C. maxima), tetapi juga dilaporkan memiliki 40 tanaman inang di
seluruh dunia (Farr dan Rossman 2013).
Gejala Penyakit Antraknosa
Gejala antraknosa terjadi pada semua bagian tanaman mentimun di atas
tanah. Bercak awal yang disebabkan oleh C. orbiculare yang muncul pada
kotiledon terlihat kecil dan basah, pucat, klorotik (kuning) atau nekrotik (coklat)
dan memiliki batas. Selama penyakit berkembang, bercak menjadi lebih besar,
menyatu, dan akhirnya kotiledon kering dan mati. Gejala yang sama muncul pada
5
daun (Gambar 1), pusat bercak yang lebih tua dapat retak atau rontok seluruhnya
(Palenchar et al. 2009).
a
b
c
d
e
f
Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada daun dan tanaman mentimun: (a-b)
bercak pada daun mentimun, (c) bercak daun 14 hari setelah
inokulasi buatan, (d) tanaman dengan bercak 6 hari setelah inokulasi,
(e) tanaman dengan bercak 10 hari setelah inokulasi, (f) tanaman
dengan bercak 14 hari setelah inokulasi (Sumber: Khlopunova 2009,
Langston 2009, Palenchar 2009)
Tangkai, pedisel buah, dan batang dapat juga terinfeksi yang berakibat
defoliasi tanaman, penurunan buah, dan kematian tanaman. Buah dapat terinfeksi
ketika mulai matang; bercak buah terlihat cekung, melingkar, basah, dan berwarna
gelap (Gambar 2). Seringkali patogen menghasilkan spora atau konidia, pada buah
yang terinfeksi, bercak terlihat basah dan pink salmon. Gejala pada buah dapat
berkembang tanpa gejala ketika masih di lapangan dan terus berkembang setelah
panen, sehingga buah mentimun yang terinfeksi memperlihatkan gejala ketika
dalam penyimpanan dan / atau transportasi (Li 2014; Seebold 2010).
Gambar 2
Gejala penyakit antraknosa pada buah mentimun (Sumber: Averre
2009)
6
Gejala antraknosa yang disebabkan oleh C. lagenarium, pada daun
umumnya bercak mulai dari tulang daun, yang meluas menjadi bercak coklat,
bersudut-sudut atau agak bulat, garis tengahnya mencapai 1 cm, atau bahkan
dapat lebih. Daun yang masih berkembang menjadi cekungan-cekungan.
Beberapa bercak dapat bersatu dan menyebabkan matinya seluruh daun. Bercak
pada tangkai dan batang agak mengendap, memanjang, berwarna coklat tua.
Bercak mulai tampak pada buah, saat buah mulai masak. Pada buah bercak
berbentuk bulat, melekuk, tampak kebasah-basahan, dan dapat sangat meluas.
Pada cuaca lembab di tengah bercak terbentuk massa spora yang berwarna merah
jambu (Semangun 1989).
Biologi dan Morfologi Patogen
Colletotrichum (Deuteromycetes) dan bentuk teleomorfnya Glomerella
(Ascomycetes) adalah cendawan patogen yang paling banyak berhasil
menginfeksi tanaman dengan kisaran inang yang sangat luas pada pertanaman
yang dibudidayakan di iklim sub tropis ataupun iklim tropis. Colletotrichum sp.
penyebab antraknosa pada mentimun memiliki daur hidup yang sama dengan
Colletotrichum lainnya, pada dasarnya melibatkan perkecambahan konidia pada
inang rentan, penetrasi jaringan inang melalui apresoria, fase biotrofik intraseluler
awal yang cepat berubah ke perkembangan nekrotik, perkembangan bercak sering
cekung, pembentukan konidiomata berseta dan penyebaran konidia biasanya
dengan percikan air. Perkembangan teleomorf pernah dilaporkan, namun
tampaknya sporadis dan belum menunjukkan hubungan antara anamorf dan
teleomorf (Bailey dan Jeger 1992, CABI 2007).
Menurut Agrios (2005) secara umum, cendawan ini bertahan pada
berbagai musim dalam batang, daun, dan buah sakit sebagai miselium atau spora,
dalam benih merupakan inang paling berpengaruh karena bertahan dalam periode
tahunan, dan dalam kanker merupakan cara bertahan yang abadi (Gambar 3).
Menurut Li (2014), di antara musim tanam, patogen bertahan di dalam benih, sisa
tanaman cucurbitaceae, dan sisa tanaman yang berperan sebagai inokulum primer.
Sumber inokulum utama Colletotrichum adalah konidia, yang diproduksi
dalam aservuli dan inokulum utama Glomerella adalah askospora, yang
diproduksi dalam dan dilepaskan dari peritesium. Konidia dalam aservuli dan
askospora dalam peritesium yang muda, terbungkus dalam materi lengket
hidrofilik yang lembab, yang sering disebut sebagai matriks spora. Matriks spora
ini merupakan campuran materi yang kompleks, yang sebagian besar terdiri dari
polisakarida, glikoprotein, dengan variasi komponen minornya beberapa enzim.
Ketika struktur ini matang pada kondisi kering, matriks berubah mengeras, yang
mengikat banyak spora. Matriks ini dapat menghambat perkecambahan. Ketika
konidia ini berada di dalam aservuli, matriks berperan dalam mencegah
perkecambahan prematur spora. Pencairan inokulum dan inhibitor terkait diduga
berperan penting untuk perkecambahan spora. Matriks spora juga menjaga
viabilitas spora pada kondisi kelembaban rendah, misalnya dalam aservuli yang
kering atau dalam massa spora yang berpencar. Selain itu, matriks spora juga
berfungsi melindungi spora dari temperatur ekstrim, sinar ultra-violet, dan dari
7
efek toksik metabolit tanaman. Penyebaran konidia dari aservuli yang muda
terjadi dengan bantuan percikan air (Bailey dan Jeger 1992).
Gambar 3 Siklus penyakit antraknosa pada berbagai tanaman (Sumber: Agrios
2005)
Gambar 4
Karakterisasi morfologi C. Orbiculare: (a-b) aservuli, (c) ujung
seta, (d) dasar seta, (e-f) konidiospora, (g) seta, (h-j) konidiospora,
(k-p) apresoria, (q-r) konidia (Sumber: Damm et al. 2013)
8
Konidia dilepaskan dari aservuli dan kontak dengan tanaman inang rentan
dan berkecambah ketika ada air dan suhu optimal (20-32 °C). Konidia
berkecambah dan menembus jaringan inang secara langsung (Ferreira dan Boley
1992). Infeksi antraknosa pada mentimun cenderung menurun ketika suhu
mencapai lebih dari 86 °F (30 °C), bahkan jika terdapat curah hujan (Thompson
dan Jenkins 1985).
Setelah berkecambah, konidia membentuk apresoria, yang dipisahkan dari
konidia dan tabung kecambah oleh sebuah septa. Apresoria ini sangat penting
untuk proses infeksi. Pematangan apresoria ini melibatkan perkembangan dinding
sel yang tebal dan multi-lapis yang mengandung melanin, yaitu sekresi lapisan
tipis dari ekstraseluler berlendir (Baley et al. 1992). Melanisasi dari antifungal
diasumsikan berkontribusi terhadap peningkatan daya tahan dalam kondisi yang
sulit, seperti iradiasi, lisis oleh mikroorganisme lain, radikal oksigen, atau suhu
tinggi (Kubo 2000). Selain penting untuk proses infeksi, apresoria ini juga
merupakan karakteristik morfologi yang penting dalam genus Colletotrichum
(Sutton 1992). Produksi apresoria ini dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik
(Struck 2006).
C. orbiculare (Gambar 4) dikarakterisasi dengan konidia yang lurus, ujung
tumpul dan meruncing ke arah dasar, kultur berwarna coklat gelap sampai hitam
atau keabu-abuan dan tingkat pertumbuhan lebih lambat daripada C.
gloeosporioides (Damm et al. 2013, Sutton 1992). Penyakit ini dianggap penting
di Amerika Serikat (Florida, Hawai), tempat tanaman cucurbitaceae tumbuh di
bawah kondisi yang sangat terkendali, tetapi cendawan memiliki distribusi di
seluruh dunia dan perlu mendapat perhatian di negara-hangat beriklim tropis atau
tempat tanaman cucurbitaceae tumbuh. Inokulasi eksperimental semangka dengan
C. orbiculare menyebabkan kerugian antraknosa dan hasil yang parah hingga
63% (CABI 2007). C. lagenarium merupakan anamorf dari Glomerella
lagenarium sedangkan G. lagenarium merupakan bentuk seksual atau perfect
stage (teleomorf) dari patogen ini (CABI 2007, Ferreira dan Bolley 1992).
Kemampuan Colletotrichum sp. Terbawa Benih
Benih merupakan unit hidup dan alat perkembangbiakan. Secara struktural,
terdiri dari embrio (plantlet baru), kulit pelindung - kulit biji, pericarp, atau
keduanya - dan bahan makanan cadangan, yang mungkin ada dalam endosperm,
perisperm, atau embrio. Benih memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap
pengeringan dan mempertahankan kelangsungan hidup di bawah lingkungan yang
tidak menguntungkan atau sampai berkecambah. Struktur benih ini penting untuk
membuat suatu komoditas bertahan dalam penyimpanan serta transportasi ke
daerah-daerah baru atau negara, untuk penanaman atau untuk dimakan. Benih
yang terinfeksi oleh mikroorganisme, akan bertindak sebagai media pembawa.
Jika organisme bertahan dalam benih akan menghasilkan penyakit pada tanaman
baru. Benih yang terinfeksi sering menjadi sumber penyebaran penyakit ke daerah
baru. Oleh karena itu, benih menjadi obyek karantina tumbuhan internasional.
Negara juga menggunakan sertifikasi domestik benih, termasuk pengujian
kesehatan benih, sebagai metode pengendalian mutu benih (Singh dan Mathur
2004).
9
Pengujian benih untuk patogen terbawa benih merupakan pekerjaan yang
sulit. Tidak seperti jaringan tanaman vegetatif yang terinfeksi, karena benih yang
terinfeksi dapat tidak memperlihatkan gejala, sehingga membuat deteksi visual
tidak bisa dilakukan (Walcot 2003). Menurut Cram dan Fraedrich (2009), patogen
terbawa benih didefinisikan sebagai setiap agen infeksi yang dibawa pada benih,
secara internal maupun eksternal, yang memiliki potensi untuk menyebabkan
penyakit baik biji atau tanaman.
Menurut Singh dan Mathur (2004), laporan jumlah mikroorganisme yang
berhubungan dengan biji meningkat secara bertahap selama paruh kedua abad ke20. Organisme yang berkaitan dengan benih baik sebagai kontaminan permukaan
benih, tercampur dengan benih, atau sebagai infeksi yang ada di dalam jaringan
benih. Cendawan merupakan kelompok besar patogen yang terbawa benih serta
tular-benih. Daftar cendawan saprofit dan parasit yang terkait dengan benih pada
tanaman yang berbeda ini sangat besar, dan meliputi semua kelas cendawan.
Anggota Deuteromycotina mendominasi dan khususnya kelas Hyphomycetes dan
Coelomycetes.
Menurut Nome (2002), proses infeksi benih dipengaruhi oleh kondisi
tempat tanaman tumbuh. Ada dua jenis infeksi benih, yaitu infeksi sistemik benih
dan kontaminasi atau infestasi benih. Infeksi sistemik benih adalah pembentukan
patogen dalam setiap bagian dari benih terinfeksi, melalui sistem vaskular atau
plasmodesmata atau langsung oleh luka alami atau buatan. Patogen yang sama
dapat menginfeksi benih menggunakan satu atau lebih dari mekanisme ini. Infeksi
sistemik dapat melalui empat cara yaitu (1) melalui bunga, buah atau funiculus;
(2) Penetrasi melalui stigma yaitu selama infeksi, patogen mengikuti jalan yang
sama seperti serbuk sari. Spora cendawan mencapai stigma dan berkecambah
serta memproduksi hifa yang mencapai ovarium, tempat mereka bisa bertahan
sebagai miselium dorman sampai perkecambahan biji; (3) Penetrasi melalui
dinding ovarium atau benih belum matang, yaitu menembus dinding ovarium
sebagai akibat dari perkecambahan dari teliospora pada stigma atau dinding
ovarium. Pro-miselium melalui dinding dan jaringan lain sampai mencapai
embrio; (4) Penetrasi melalui luka dan lubang alami. Sedangkan kontaminasi atau
infestasi mengacu pada hubungan pasif dari patogen dan biji. Patogen itu sendiri
atau bagian dari patogen dapat menempel atau bisa tercampur dengan biji dalam
setiap proses benih: panen, ekstraksi, seleksi dan pengepakan.
Cendawan patogen terbawa benih dapat sangat mempengaruhi kualitas
benih dan menyebabkan penyakit yang berdampak produksi bibit di pembibitan.
Kerugian untuk patogen terbawa benih termasuk mengurangi perkecambahan biji,
damping-off, dan kematian bibit yang lebih tua di bedengan. Pengaruh patogen
terbawa benih pada biji dan produksi bibit diketahui dapat sampai ekstrim yaitu
kegagalan perkecambahan terjadi di persemaian (Cram dan Fraederich 2009) atau
kerugian yang terjadi dalam kontainer (Campbell dan Landis 1990).
Hasil percobaan di lapangan di Himalaya pada C. lindemuthianum,
memperlihatkan kejadian penyakit dan keparahan penyakit paling tinggi terjadi
pada kacang buncis kultivar rentan Jawala. Infeksi terjadi karena terbawa benih
dan kontaminasi. Penurunan hasil yang diakibatkan kedua cara infeksi tersebut,
yaitu berturut-turut 75% dan 57.24% (Sharma et al. 2008).
Banyak patogen terbawa benih aktif setelah benih disemai, yang
menghasilkan benih yang busuk dan / atau pre- atau postemergence damping-off.
10
Hilangnya kemampuan berkecambah dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
spesifitas kultivar; tipe, jumlah dan lokasi inokulum; kondisi lingkungan; dan
faktor lainnya (Agarwal dan Sinclair 1987, Sutopo 1998).
Spesies Colletotrichum umumnya mampu bertahan di dalam atau pada biji
dan salah satu cara pada cabai adalah melalui transplan yang terinfeksi
(Manandhar et al. 1995). Menurut Jewsakun (1978) dalam Than et al. (2008),
infeksi C. capsici pada cabai terbukti memiliki dua jalur: invasi melalui kulit biji
dan invasi melalui bukaan dari testa. C. capsici menyebabkan busuk akar bibit.
Menurut Than et al. (2008) C. acutatum dapat menginfeksi benih cabai dengan
mengurangi tingkat perkecambahan atau menyebabkan damping-off bibit.
C. truncatum berkecambah pada permukaan benih kedelai dan hifa
mempenetrasi lapisan palisade dalam 24 hingga 30 jam. Setelah 48 jam
mengoloni lapisan palisade, pertumbuhan hifa melalui hipodermis dan masuk
dalam lapisan protein-rich aleuron. Setelah 72 jam, hifa membentuk aservuli
berwarna gelap pada lapisan epidermal (Agarwal dan Sinclair 1997).
Chikuo dan Sugimoto (1989) menemukan adanya variasi keberadaan
miselin C. dematium f.sp. spinaceae dalam benih yang diperoleh dari tanaman
Beta vulgaris yang diinokulasi secara alami pada awal dan akhir pembentukan
bunga. Infeksi menyebar pada rongga buah, dan hifa menginvasi biji yang sedang
berkembang, sehingga membuat biji rontok. Tetapi pada kondisi berikutnya,
miselium biasanya terbatas permukaan benih, hifa jarang terlihat pada pori apikal
dan di bawah kulit biji.
Apresoria diketahui membentuk piringan perekat yang tertanam pada
permukaan dan tetap laten sampai perubahan fisiologis terjadi pada buah-buahan
(Bailey dan Jeger 1992). Apresoria yang terbentuk pada buah yang belum matang
bisa tetap bertahan pada buah hingga perubahan ontogenik terjadi pada buahbuahan (Prusky dan Plumbley 1992).
11
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 – Desember 2014 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB dan di pertanaman mentimun milik petani (Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor Propinsi Jawa
Barat).
Bahan dan Alat
Benih mentimun contoh diperoleh dari toko-toko benih, yaitu varietas
yupiter, jawara, bandana, lumintu, dynasti, kancil, Alicia F1 serta varietas local
dari Klaten, Boyolali dan Sragen. Isolat cendawan diperoleh dari isolasi cendawan
dari daun di pertanaman petani dan benih. Metode isolasi yang digunakan adalah
blotter test (Mathur dan Kongsdal 2003), untuk uji deteksi patogen terbawa dan
metode isolasi propagul langsung dari daun mentimun di potato dextrose agar
(PDA). Alat yang digunakan adalah hand counter, mikroskop stereo, mikroskop
compound dan hand mikroskop Digital Microscope Basic AM2111 Series DinoLite.
Metode
Penentuan Sampel di Lapangan
Penelitian dilakukan secara survei pada bulan Juni-Desember 2014, di
tiga kabupaten sentra penghasil mentimun yaitu Bogor (Jawa Barat) serta
Boyolali dan Klaten (Jawa Tengah).
Survei pendahuluan. Survei dilakukan untuk menginventaris lokasi dan
penentuan kelompok sampel. Informasi yang diperlukan diperoleh dari data
primer dan sekunder, serta dilakukan pengamatan di pertanaman mentimun milik
petani.
Survei utama. Penentuan lokasi dan petani sampel dilakukan dengan metode
purposive random sampling, dengan luasan pertanaman paling kecil 1500 m2.
Setiap lokasi ditentukan 50 tanaman sampel pada petak tanaman yang ditemukan
tanaman yang bergejala penyakit antraknosa. Selanjutnya setiap tanaman dihitung
jumlah daun yang bergejala pada tanaman bagian bawah, tengah dan atas. Sampel
daun selanjutnya diambil dan dimasukkan dalam kertas amplop coklat dengan rapi,
masing-masing amplop berisi maksimal 5 lembar daun, yang tujuannya untuk
membuat herbarium daun. Keberadaan aservulus pada daun dilakukan secara
mikroskopis dan difoto dengan Digital Microscope Basic AM2111 Series Dino-Lite
sebelum sampel mengering. Pembuatan herbarium ini bertujuan membuat patogen
bertahan lama, sehingga dapat diamati 30 aservulli yang diambil langsung dari
jaringan tanaman dan diamati di bawah mikroskop compound.
12
Pengamatan Kejadian Penyakit di Lapangan
Variabel yang diamati di lapangan dan di pembibitan adalah persentase
keparahan penyakit (KpP) dan persentase kejadian penyakit (KjP). Penentuan
keparahan penyakit dilakukan berdasarkan nilai persentase luas daun yang
terinfeksi dibanding luas daun yang sehat (Villanueva 2008). Penghitungan luas
daun dilakukan dengan satuan kotak dalam kain strimin. Rumus KpP adalah
sebagai berikut:
KpP =
x 100%
Penentuan distribusi penyakit pada tajuk tanaman dengan menghitung
keparahan penyakit dibagi dalam 3 posisi daun pada tajuk tanaman yaitu bawah,
tengah dan atas. Kejadian penyakit dihitung sebagai persentase jumlah tanaman
yang sakit terhadap jumlah tanaman yang diamati pada satu varietas, dengan
rumus:
KjP =
x 100%
Identifikasi Morfologi dan Koloni Cendawan Patogen Antraknosa pada
Mentimun
Isolat Colletotrichum sp. diperoleh dengan pemeriksaan langsung pada
preparat slide terhadap 30 aservuli dari jaringan yang bergejala antraknosa.
Pengamatan koloni patogen dilakukan dengan menanam aservuli dari bagian
nekrotik pada daun mentimun. Cawan petri yang telah berisi PDA steril, ditandai
bagian tengah bawah dengan spidol permanen. Aservuli dari gejala nekrotik pada
daun, diambil dengan jarum serangga secara mikroskopis dan aseptik, selanjutnya
dibiakkan pada media PDA dalam cawan petri di bagian yang telah ditandai.
Cawan petri diinkubasi pada suhu kamar (25-30 °C) dan diamati pertumbuhan
koloni cendawan secara berkala. Pengamatan dilakukan terhadap warna, tekstur,
tampilan dan pinggir koloni, bentuk, ukuran dan warna aservuli. Aservuli dibuat
preparat slide dan selanjutnya bentuk, panjang dan lebar konidia dan seta
diidentifikasi secara mikroskopis dengan kunci identifikasi Damm et al. (2009),
Damm et al. (2013), Sutton (1980), serta Villanueva et al. (2008). Kultur murni
disimpan pada suhu 18 °C pada PDA miring.
Pengamatan apresoria dengan memproduksi apresoria dengan teknik kultur
slide, yaitu konidia dari koloni diinokulasikan ke pinggiran PDA block seluas ±1
cm2 yang diletakkan pada gelas obyek dalam cawan petri steril yang berisi kertas
saring yang telah dilembabkan dengan aquades steril. Selanjutnya PDA block
yang telah diinokulasi konidia ditutup dengan gelas penutup steril. Pengamatan
apresoria dilakukan 7-14 hari inkubasi (Damm 2013).
13
Deteksi Colletotrichum sp. sebagai Patogen Terbawa Benih
Benih mentimun sebanyak 800 biji dan 1600 biji ditanam dalam petridisih
berisi 3 lembar kertas saring yang telah dibasahi aquades steril, masing-masing
cawan petri ditanam sebanyak 25 biji, sehingga ada 16 ulangan setiap varietas
(Mathur dan Kongsdal 2003). Pertumbuhan miselium dan perkembangan aservuli
di sekitar benih diamati dan diidentifikasi secara morfologi di bawah mikroskop
stereo dengan kunci identifikasi Damm et al. (2009), Damm et al. (2013).
Persentase infeksi Colletotrichum sp. pada benih dihitung dengan rumus:
Tingkat infeksi =
x 100%
Massa konidia cendawan yang teramati secara morfologi sebagai
Colletorichum sp. diambil dan ditumbuhkan pada satu petridisih berisi PDA untuk
pemurnian isolat. Kemudian benih diinkubasi selama 7 hari dalam suhu 25-30 °C
dengan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang di laboratorium. Pengamatan
dilakukan terhadap warna, tekstur, tampilan dan pinggir koloni, bentuk, ukuran
dan warna aservuli. Bentuk, panjang dan lebar konidia dan setae diamati secara
mikroskopis.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian dan Keparahan Penyakit
Kejadian dan keparahan penyakit di setiap lokasi penelitian ini masingmasing nilainya berbeda sangat jauh karena waktu dan keadaan agroekosistem
masing-masing lokasi pengamatan berbeda mengikuti waktu tanam mentimun
petani serta varietas yang berbeda di lokasi tersebut. Menurut Dodd et al. (1992),
faktor lingkungan merupakan peran utama dalam perkembangan epidemi
penyakit. Hubungan antara intensitas hujan, durasi dan geometri tanaman dan
penyebaran inokulum menyebabkan tingkat keparahan penyakit yang berbeda.
Hasil surveilan keadaan penyakit antraknosa dari 11 lokasi di lapangan
(Tabel 1), menunjukkan bahwa penyakit terjadi di 4 lokasi dan kejadian penyakit
paling tinggi terjadi pada stadia tanaman berbuah di Lumbung (Bogor),
selanjutnya di Tegalwaru (Bogor), Bantarsari (Bogor), dan di Pasungan (Klaten)
dan kejadian penyakit pada stadia tanaman berbunga-berbuah terjadi di
Bantarsari, Bogor. Keparahan penyakit paling tinggi ditemukan pada stadia
tanaman mentimun berbuah di Tegalwaru diikuti di Lumbung, Bantarsari dan
Pasungan, sedangkan keparahan penyakit pada stadia tanaman berbunga-berbuah
ditemukan di Bantarsari (Bogor). Perkembangan penyakit di empat lokasi tersebut
didukung oleh kondisi iklim pada waktu tanam, terutama curah hujan dan suhu
udara, serta vegetasi sekitar tanaman mentimun, kecuali di Desa Pasungan,
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada pertanaman mentimun putih dengan
varietas lokal. Pengamatan di Pasungan dilakukan pada bulan September dengan
tidak ada hari hujan. Meskipun dengan kondisi cuaca yang kurang mendukung
untuk perkembangan penyakit, tetapi ditemukannya kejadian penyakit yang
mencapai 42.00% dan keparahan penyakit 5.53% menunjukkan bahwa penyakit
antraknosa merupakan penyakit penting pada tanaman mentimun.
Kejadian penyakit di Lumbung mencapai 92%, sedangkan di Bantarsari
hanya mencapai 46% pada stadia tanaman berbuah, hal ini karena varietas yang
sama ditanam pada kondisi curah hujan yang berbeda. Waktu tanam mentimun
varietas Bandana di Lumbung pada bulan Juli sampai dengan awal Agustus,
dengan rata-rata curah hujan 2.11 mm/hari. Waktu tanam mentimun varietas
Bandana di Bantarsari dilakukan pada bulan September sampai dengan
pertengahan bulan Oktober, dengan rerata curah hujan harian 1.13 mm/hari
(Freemeteo 2014). Pengamatan pada pertanaman mentimun varietas Venesa di
Tegalwaru, dilakukan pada bulan Desember saat musim hujan, dengan rerata
curah hujan harian 4.49 mm/hari, sehingga kejadian penyakit mencapai 60% dan
keparahan penyakit mencapai 30.75%. Selain pengaruh curah hujan, kejadian
penyakit yang tinggi di Lumbung dan Tegalwaru karena vegetasi sekitarnya
berupa pohon kayu tahunan yang banyak sehingga meningkatkan kelembaban
udara di agroekosistem tersebut, sesuai untuk perkembangan penyakit antraknosa,
sedangkan di Bantarsari, vegetasi di sekitarnya berupa tanaman hortikultura
semusim yaitu kangkung, bayam, terong dan pisang. Vegetasi sekitar pertanaman
mentimun di Pasungan adalah tanaman cabai, tembakau dan jagung. Menurut
Semangun (1989), cuaca lembab dengan banyak hujan sangat membantu
15
pembentukan konidium, pemencaran konidium, dan infeksi. Perkecambahan dan
pertumbuhan cendawan paling baik terjadi pada suhu 22-27 °C.
Tabel 1 Keadaan penyakit antraknosa di pertanaman petani
Lokasi
Kab. Bogor, Kec. Kemang
Lumbung
Bantarsari
Bantarsari
Bantarsari
Kab. Bogor, Kec. Kemang
Tg.waru
Cisasak
Dukuh
Kab. Klaten, Kec. Ceper
Pasungan
Tegalduwur
Kab. Klaten, Kec. Jambu
Kulon
Karangwuni
Kab. Boyolali, Kec.
Banyudono
Krecek I
Krecek II
Pandanan
Varietas
Stadia Tanaman
KjP (%)1) KpP (%)2)
Bandana
berbuah
Bandana
vegetatif
Bandana berbunga-berbuah
Bandana
berbuah
92.00
0.00
4.00
46.00
22.20
0.00
0.80
6.93
Venesa
Yupiter
Yupiter
berbuah
berbuah
berbuah
60.00
0.00
0.00
30.75
0.00
0.00
Lokal
Mercy
berbuah
berbunga-berbuah
42.00
0.00
5.53
0.00
Mercy
berbuah
0.00
0.00
Misano
Misano
Misano
berbunga-berbuah
berbuah
berbuah
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Keterangan: 1) KJP = Kejadian Penyakit, 2) KP = Keparahan Penyakit
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Colletotrichum sp. untuk
berhasil menginfeksi jaringan tanaman yang dilanjutkan dengan fase-fase lain
dalam siklus hidupnya sampai fase nekrotrofik dan menimbulkan gejala penyakit
antraknosa pada jaringan tanaman, membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan siklus hidupnya. Kondisi lingkungan ini meliputi adanya
percikan air, suhu udara antara 22-30 °C, kelembaban relatif yang cukup. Pada
lokasi pertanaman di Bantarsari keparahan penyakit mencapai 0.80 % pada stadia
tanaman berbunga, dan meningkat pada stadia tanaman berbunga-berbuah yaitu
6.93 %, tetapi nilai ini jauh lebih kecil dari keparahan penyakit yang terjadi di
Tegalwaru yaitu 30.75%, hal ini karena konidia Colletotrichum menginfeksi
pertanaman di Tegalwaru pada stadia tanaman berbunga pada musim hujan,
sedangkan di Bantarsari pada musim kemarau. Menurut Fitzel dan Peak (1984),
kejadian penyakit antraknosa pada tanaman mangga, sejumlah besar konidia
terjebak selama periode berkepanjangan hujan, dan ketika ini terjadi selama
pertumbuhan aktif atau berbunga, keparahan penyakit tercatat berat.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian antraknosa pada tanaman
lainnya, menurut Dillard (1989), produksi konidia C. coccodes, patogen antraknosa
pada tomat, meningkat dengan meningkatnya temperatur dari 16-28 °C dan
16
menurun pada temperatur di atas 31 °C, sedangkan perkecambahan spora mencapai
73,4% pada kelembaban relatif mendekati 100% (25 °C) dan menurun pada
kelembaban relatif 55-57% (27-30 °C). Selain itu insiden penyakit dan keparahan
penyakit juga meningkat sebanding dengan meningkatnya periode lapisan air pada
permukaan buah. Menurut Fernando et al. (2000), spora C.acutatum mencapai
perkecambahan sebesar 90% pada suhu 15-35 °C, dengan kelembaban relatif 95%.
Menurut Wilson et al. (1990), kejadian penyakit antraknosa buah strawberry
meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi basah permukaan buah, tetapi pada
buah yang matang menurun pada suhu di atas 35 °C, dari maksimal kejadian
penyakit yaitu 39%. Suhu optimal untuk terjadinya infeksi antraknosa pada buah
belum matang dan matang adalah 25-35 °C, dengan kejadian penyakit lebih besar
dari 80% pada periode basah permukaan buah setelah 13 hari.
Lokasi pengamatan di Kecamatan Ciampea (Jawa Barat) di 2 dusun, yaitu di
dusun Cisasak dan Dukuh, kejadian penyakit dan keparahan penyakit tidak
ditemukan, diduga karena pengamatan dilakukan pada bulan Juni (musim
kemarau) saat kondisi iklim di lokasi tersebut rendah curah hujannya yaitu ratarata 3.0 mm/hari. Pengamatan di Kecamatan Boyolali (Jawa Tengah), di 3 lokasi
yaitu di Pandanan dan 2 lokasi di Krecek dengan varietas Misano, juga tidak ada
kejadian penyakit. Hal ini karena pengamatan dilakukan pada bulan Juli, saat
curah hujan bulan tersebut sangat rendah sehingga tidak dapat terukur (kurang
dari 0.0 mm) dengan jumlah hari hujan 8 hari. Suhu yang tinggi ini tidak
mendukung untuk perkembangan penyakit yaitu menghambat proses
perkecambahan spora, dan curah hujan yang rendah tidak mendukung untuk
persebaran massa konidia.
Gejala Penyakit
Pengamatan gejala dilakukan di 4 lokasi yang terinfestasi penyakit
antraknosa (Tabel 1), yaitu di Kabupaten Bogor (Lumbung, Bantarsari,
Tegalwaru) dan Kabupaten Klaten (Pasungan). Gejala terlihat jelas ditemukan di
bagian daun (Gambar 5a, 5b, 5c) dan batang (Gambar 5d) pada tanaman stadia
berbuah, selain itu gejala juga ditemukan di bagian buah (Gambar 5e), meskipun
sedikit.
Gejala antraknosa pada daun dari pertanaman mentimun hijau di Lumbung,
Bantarkambing, dan Tegalwaru, berupa bercak nekrotik kecil dengan diameter
±0.5 cm, berwarna putih kekuningan pada awalnya. Dalam waktu 2 minggu,
bercak nekrotik membesar dengan diameter 1-4 cm, bulat atau tidak beraturan,
bagian jaringan pembuluh daun berwarna coklat lebih gelap sehingga, pinggiran
bercak berwarna coklat lebih gelap dan seperti memiliki bagian-bagian runcing,
bagian tengah bercak berwarna coklat muda-putih kecoklatan, cekung, mengering
dan akhirnya mudah rontok. Sedangkan gejala antraknosa dari pertanaman
mentimun putih di Ceper, memiliki diameter lebih besar yaitu mencapai 4.5 cm,
datar, dan juga memiliki warna putih kecoklatan pada bagian tengah bercak, serta
tidak cekung terhadap bagian daun yang sehat. Bagian coklat muda ini memiliki
banyak massa konidia berwarna oranye salmon (Gambar 6a dan 6b). Bercak yang
telah berkembang menjadi besar dan saling berdekatan akan menyatu.
17
Gambar 5
a
a
b
d
e
c
f
g
Gejala antraknosa pada pertanaman mentim
TERBAWA BENIH Colletotrichum sp., PADA TANAMAN
MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
FERY PURNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI
RINGKASAN
FERY PURNAWATI. Identifikasi, Tingkat Serangan, dan Potensi Terbawa
Benih Colletotrichum sp., pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.).
Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan TITIEK SITI YULIANI.
Tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis
tanaman sayuran utama dari famili cucurbitaceae yang dibudidayakan oleh
petani di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Penyebaran pertanaman
mentimun di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi
mengalami produksi mentimun nasional mengalami penurunan. Salah satu
pembatas dalam budidaya tanaman mentimun di beberapa negara adalah
penyakit antraknosa, sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang
khusus terhadap identifikasi patogen dan kejadian penyakit ini pada
tanaman mentimun. Oleh karena itu, informasi tentang arti penting penyakit
antraknosa dan identifikasi patogen antraknosa pada mentimun di Indonesia
sangat diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menentukan kejadian penyakit di
pertanaman mentimun akibat serangan penyakit antraknosa, 2)
mendeskripsikan gejala penyakit antraknosa pada pertanaman mentimun, 3)
mengidentifikasi patogen antraknosa pada tanaman mentimun, dan 4)
menentukan potensi terbawa benih patogen antraknosa.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 – Desember 2014 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB dan di pertanaman mentimun milik petani (Kabupaten Klaten
dan Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor
Propinsi Jawa Barat). Benih mentimun contoh diperoleh dari toko-toko
benih. Metode yang digunakan adalah identifikasi morfologi dan surveilan
kejadian penyakit antraknosa. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode purposive random sampling. Identifikasi secara morfologi dengan
pemeriksaan langsung pada preparat slide terhadap 30 aservuli dari jaringan
yang bergejala antraknosa. Pengamatan koloni patogen dilakukan dengan
menanam aservuli dari bagian nekrotik pada daun mentimun ke dalam
cawan petri berisi PDA. Pengamatan apresoria dengan memproduksi
apresoria dengan teknik kultur slide. Deteksi Colletotrichum sp. sebagai
patogen terbawa benih dilakukan dengan blotter test.
Hasil identifikasi secara morfologi dan bentuk koloni menunjukkan
bahwa patogen antraknosa pada mentimun di Indonesia adalah
Colletotrichum orbiculare dan C. dematium. Hasil surveilan keadaan
penyakit antraknosa dari 11 lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta
Kabupaten Boyolali dan Klaten Jawa Tengah selama waktu sampling (JuniDesember) menunjukkan bahwa penyakit terjadi di empat lokasi
pengambilan sampel, pada stadia tanaman berbunga sampai dengan berbuah
yaitu di beberapa desa di Kabupaten Bogor (Lumbung, Tegalwaru,
Bantarsari) dan di Desa Pasungan, Kabupaten Klaten, dengan tingkat
kejadian penyakit bervariasi dari paling rendah (4 %) dan paling tinggi (92
%), serta persentase keparahan penyakit paling rendah (0.80 %) dan paling
tinggi (30.75%) bahkan dengan kondisi lingkungan yang kurang
mendukung perkembangan penyakit, yaitu musim kemarau. Hasil uji
deteksi patogen terbawa benih menunjukkan bahwa patogen antraknosa,
Colletotrichum sp., merupakan patogen terbawa benih dengan tingkat
infeksi 0.38 %.
Katakunci: antraknosa, benih, Colletotrichum, Indonesia, mentimun
SUMMARY
FERY PURNAWATI. Identification, Infection Rate, and Potential as Seedborne Pathogen of Colletotrichum sp. on Cucumber (Cucumis sativus L.).
Supervised by SURYO WIYONO dan TITIEK SITI YULIANI.
Cucumber (Cucumis sativus L.) is one of the main vegetables grown
by farmers in Indonesia, particularly in Java and Sumatra. The planting area
of cucumber in Indonesia continues to increase from year to year, but
national production of cucumber has decreased. The cultivation of cucumber
crop in several countries suffers severely because of anthracnose disease,
while identification on the pathogen and disease incidence of anthracnose
on cucumber crop in Indonesia has not been specifically investigated.
Therefore, this study aimed to identify pathogen and study of disease
incidence of the anthracnose on cucumber crop in Indonesia, also to
determine its potency as seed-borne pathogens. Therefore, information
about the importance of anthracnose disease and pathogen identification of
anthracnose on cucumbers in Indonesia is very necessary.
This research aims to 1) determine the incidence disease in cucumber
crops due to disease anthracnose, 2) describe the symptoms of anthracnose
disease in cucumber cultivation, 3) identify pathogens of anthracnose on
cucumber plants, and 4) determining the potency of antracnose pathogen as
seed-borne pathogen.
The experiment was conducted in June 2014 - December 2014 in
Plant Mycology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of
Agriculture of IPB and farmers' cucumber cultivation in Klaten and
Boyolali (Central Java) and Bogor (West Java). Sample of cucumber seeds
obtained from seeds stores. The method used was the morphological
identification and surveillance of disease incidence of anthracnose.
Sampling was done by purposive random sampling method. Morphological
identification carried by direct examination on slide glass on 30 acervulli
from symptomatic tissue of anthracnose. Colonies observations of
pathogens was carried out by planting acervulli of necrotic section of
cucumber leaves in a petri dish containing PDA. Observations apresoria by
induced apresoria formation with slide culture techniques. Detection of
Colletotrichum sp. as a seed-borne pathogens was carried out by blotter test.
The survey resulted four locations of eleven locations in West Java
(Bogor) and Central Java (Boyolali and Klaten) during sampling periodes
(June-December) indicate the severity of disease and the highest incidence
of disease occurs in fruiting plants growth stages in Bogor (Lumbung
Village, Tegalwaru Village, Bantarsari Village) and in Pasungan Village,
Klaten. The percentage of disease incidence from those four locations was
various from lowest (4%) to highest (92%). The percentage of severity
disease was various from lowest (5.53 %) to highest (30.75 %), eventhough
in dry season. Pathogen of cucumber anthracnose from sample area was
Colletotrichum orbiculare and C. dematium. Colletotrichum sp. in
cucumber, was a seed-borne pathogen with infection rates of 0.38%.
Keywords: anthracnose, Colletotrichum, cucumber, Indonesia, seed
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI, TINGKAT SERANGAN, DAN POTENSI
TERBAWA BENIH Colletotrichum SP., PADA TANAMAN
MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
FERY PURNAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni
2014 ini ialah patogen terbawa benih, dengan judul Identifikasi, Tingkat
Serangan, dan Potensi Terbawa Benih Colletotrichum sp., pada Tanaman
Mentimun (Cucumis sativus L.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr
dan Dr Ir Titiek Siti Yuliani, SU selaku pembimbing, serta Dr Ir Bonny
Poernomo Wahyu Soekarno, MS selaku penguji dan Ir. Ummu Salamah
Rustiani, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Karantina Pertanian selaku
pemberi beasiswa, Dr. drh. Syafril Daulay, MM beserta staf Balai Besar Uji
Standar Karantina Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali dan Ir.
Joko Siswanto, MSi beserta staf Dinas Pertanian Kabupaten Klaten, yang
telah membantu memberikan informasi pertanaman mentimun. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak-anak, seluruh
keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
FeryPurnawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode
10
10
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian dan Keparahan Penyakit
Gejala Penyakit
Identifikasi Morfologi Colletotrichum sp. pada
Mentimun
Deteksi Colletotrichum sp. sebagai Patogen Terbawa
Benih
13
15
20
27
5 SIMPULAN
30
6. SARAN
31
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
38
DAFTAR TABEL
1 Keadaan penyakit antraknosa di lapangan
14
2 Identifikasi Colletotrichum sp. dengan bentuk konidia falcate
23
3 Identifikasi Colletotrichum sp. dengan bentuk konidia clavate
27
4 Persentase jenis Colletotrichum berdasarkan pemeriksaan langsung
pada mentimun asal lokasi pengambilan sampel
28
5 Uji potensi patogen terbawa benih
29
6 Tingkat infeksi antraknosa dengan ukuran benih berbeda
30
DAFTAR GAMBAR
1
Gejala penyakit antraknosa pada daun dan tanaman mentimun
5
2
Gejala penyakit antraknosa pada buah mentimun
5
3
Siklus penyakit antraknosa pada berbagai tanaman
7
4
Karakterisasi morfologi C. orbiculare
7
5
Gejala antraknosa pada pertanaman mentimun
17
6
Konidiomata berupa aservuli
17
7
Distribusi gejala penyakit pada tanaman mentimun
18
8
Colletotrichum dematium asal mentimun di Lumbung
22
9
Koloni C. dematium asal mentimun di Lumbung
22
10 Colletotrichum sp. pada mentimun di Lumbung
24
11 Colletotrichum sp. pada mentimun di Bantarsari
24
12 Colletotrichum sp. pada mentimun di Tegalwaru
25
13 Colletotrichum sp. pada mentimun di Klaten
25
14 Koloni Colletotrichum orbiculare asal daun mentimun
26
15 Tanda penyakit pada benih hasil uji blotter test
28
16 Koloni cendawan pada benih hasil uji blotter test
29
17 Infeksi antraknosa pada benih
30
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data curah hujan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor
40
2 Data curah hujan Tegalwaru, Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor
44
3 Data curah hujan Kecamatan Cibungbunglan, Kabupaten Bogor
45
4 Data curah hujan Kabupaten Boyolali
46
5 Data curah hujan Kabupaten Klaten
47
6 Hasil Uji Blotter Benih
49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayur dari famili
cucurbitaceae yang cukup populer di hampir semua negara. Mentimun berasal
dari dataran tinggi Himalaya dan pada saat ini budidayanya sudah meluas ke
seluruh wilayah tropis dan subtropis (Elsya 2003). Mentimun memiliki nilai
ekonomi yang penting bagi masyarakat Indonesia karena merupakan salah satu
jenis sayuran pokok juga sebagai perawatan kecantikan tradisional ataupun
dengan teknologi modern. Menurut Prakoso et al. (2014), manfaat penting lain
buah mentimun adalah untuk terapi penyakit hipertensi. Hal tersebut karena
kandungan kalium yang tinggi dalam mentimun.
Tanaman mentimun merupakan salah satu jenis tanaman sayuran utama
yang dibudidayakan oleh petani di Indonesia selain bawang merah, cabai, kacang
panjang, kentang, kubis, dan tomat (Anwar et al. 2005). Pada tahun 1991, luas
areal panen mentimun nasional mencapai 55.792 ha dengan produksi 268.201 ton.
Daerah penyebaran yang menjadi pusat pertanaman mentimun adalah propinsi
Jawa Barat, Daerah Istimewa Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
(Rukmana 1994). Bahkan beberapa tahun terkahir, tanaman mentimun merupakan
tanaman yang penting dalam program diversifikasi dalam Arah dan Kebijakan
Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Panjang 2002-2025 Kementerian
Pertanian di Kalimantan, antara lain di Kota Singkawang, Kalimantan Barat dan
Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Lestari et al. 2011, Puspitasari
et al. 2013).
Penyebaran dan produksi mentimun di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat, tetapi produksi mentimun nasional dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2013 mengalami penurununan yaitu, secara berturut-turut, 583 139 ton; 547
141 ton; 521 535 ton; 511 525 ton; 491 636 ton (BPS 2014). Salah satu pembatas
dalam budidaya tanaman mentimun adalah penyakit tanaman. Sumber inokulum
bisa berasal dari lahan itu sendiri (sebelum tanam dan sisa tanaman), benih, atau
bibit, vegetasi sekitarnya dan dari tempat yang jauh. Status kesehatan benih
merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan keberhasilan budidaya
tanaman mentimun karena benih merupakan pembawa pasif dan tempat bertahan
hidup berbagai jasad renik, baik yang bersifat patogenik maupun saprofitik. Oleh
karena itu benih dapat berperan sebagai media pembawa yang utama dalam
penyebaran patogen tanaman dan insidensi penyakit di lapangan, khususnya
patogen yang bersifat terbawa benih.
Penyakit terbawa benih mempengaruhi pertukaran plasma nutfah dan
perdagangan benih internasional (Neergaard 1977). Perdagangan global benih saat
ini telah mengalami peningkatan baik dalam volume maupun frekuensi.
Perusahaan-perusahaan pengembang benih di Indonesia, terutama benih
hortikultura, saat ini telah banyak melakukan ekspor benih cucurbitaceae ke
beberapa negara lain seperti Jepang dan Cina. Hal ini semakin memberikan peran
yang penting bagi benih dalam menyebarkan suatu patogen penting ataupun
2
patogen baru terbawa benih dari suatu negara yang tidak bebas ke negara yang
masih bebas dari patogen tersebut.
Salah satu upaya pengendalian penyakit adalah dengan tindakan karantina,
khususnya untuk patogen-patogen yang persebarannya masih terbatas. Beberapa
tindakan karantina antara lain seperti deteksi patogen terbawa benih untuk
memastikan bahwa benih tersebut terbebas dari patogen yang dapat menyebabkan
benih tidak berkembang sebagaimana mestinya dan menjadi media pembawa
masuknya organisme pengganggu tanaman (OPT) dan pemantauan OPT sebagai
sistem peringatan dini status dan persebaran OPT. Salah satu penyakit penting
pada tanaman adalah penyakit antraknosa yang gejalanya terutama pada daun
tanaman semak, tanaman naungan maupun tanaman hias. Penyakit ini disebabkan
oleh patogen terbawa benih Colletotrichum sp. pada mentimun, Discula
destructive pada dogwood, Kabatiella caulivora pada Trifolium subterraneum dan
Apiognomonia errabunda pada tanaman oak (Helms 1977, Lee 2013, Li 2014,
Redlin 1991).
Colletotrichum sp. adalah salah satu genus cendawan patogenik yang paling
umum dan penting pada tanaman. Hampir semua tanaman yang dibudidayakan di
dunia rentan terhadap satu spesies Colletotrichum atau lebih. Cendawan ini
menyebabkan gejala bercak antraknosa dan hawar pada bagian tanaman di atas
tanah dan busuk pada komoditas pasca panen. Anggota genus ini merupakan
penyebab utama kehilangan hasil dari tanaman-tanaman yang memiliki nilai
ekonomi tinggi meliputi buah, sayuran dan tanaman hias. (Dean et al. 2012).
Penyakit antraknosa sukar dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat laten
dan sistemik, penyebaran inokulum dilakukan melalui benih (seed borne) serta
dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dalam tanah. Serangan patogen
antraknosa pada fase pembungaan menyebabkan persentase benih terinfeksi tinggi
walaupun benih tampak sehat (Sinaga et al. 1992). Sedangkan menurut hasil
penelitian Fitzel dan Peak (1984), penyakit antraknosa menyebar pada pohon
mangga dengan konidia C. gloeosporioides var. minor yang terbawa air.
Antraknosa adalah penyakit utama pada mentimun dan famili cucurbitaceae
lainnya di beberapa negara seperti Florida, Jepang, Thailand, Cina, Korea (Jeun et
al. 2008, Negishi et al. 2011, Palenchar et al. 2012, Photita et al. 2005, Qi et al.
2013, Tian et al. 2008). Penyakit ini dapat berkembang di semua bagian tanaman
di atas tanah dan menyebabkan hawar daun, bercak, kanker batang, dan busuk
buah selama musim tanam. Serangan epidemik selama musim tanam pada musim
panas yang basah dan hangat dapat menyebabkan penggundulan awal, kehilangan
hasil dan penurunan kualitas buah. Buah yang terserang dapat menghasilkan benih
yang terkontaminasi patogen. Penyebab penyakit antraknosa pada mentimun di
berbagai negara adalah C. orbiculare (Li 2014). Banyak sekali penelitian telah
menyimpulkan bahwa praktek manajemen penyakit sering tidak berhasil untuk
menghilangkan penyakit. Pemuliaan untuk mengembangkan varietas tahan juga
belum berhasil bertahan lama karena keterlibatan beberapa spesies Colletotrichum
infeksi antraknosa (Than et al. 2008a).
Deteksi dan identifikasi mikroorganisme yang berhubungan dengan benih
tamanan bernilai ekonomi tinggi penting bagi suatu negara karena merupakan
langkah pertama dan utama untuk mencapai sistem uji kesehatan benih yang
efisien (Alemu 2014). Identifikasi spesies Colletotrichum sangat penting untuk
epidemi penyakit karena untuk mengembangkan dan menerapkan strategi
3
pengendalian yang efektif dan untuk memahami epidemiologi penyakit. Sama
pentingnya adalah meneliti apakah patogen yang sama atau berbeda berhubungan
dengan penyakit pada jaringan inang yang berbeda. Selain itu identifikasi akurat
dari patogen juga penting dalam ilmu pemuliaan untuk resistensi terhadap suatu
spesies tertentu. Inang tunggal mungkin terinfeksi oleh beberapa spesies
Colletotrichum, sedangkan beberapa inang juga dapat terinfeksi oleh spesies
patogen (Freeman et al. 1998, Freeman 2000). Di Indonesia identifikasi penyakit
antraknosa pada mentimun belum dilakukan, sedangkan penyakit antraknosa
merupakan penyakit yang penting pada tanaman mentimun di beberapa negara
lain dan di Indonesia merupakan penyakit penting pada tanaman lainnya seperti
tanaman hias, cabai dan sengon. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui secara khusus mengenai patogen penyebab penyakit antraknosa pada
mentimun dan kejadian penyakit pada pertanaman di Indonesia.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas didapatkan suatu perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Belum ada identifikasi Colletotrichum sp. pada mentimun di Indonesia
2. Belum ada informasi tentang kejadian/keparahan penyakit antraknosa pada
tanaman mentimun di lapangan.
3. Gejala dan tanda patogen penyebab antraknosa pada mentimun belum
dideskripsikan.
4. Belum diketahui arti pentingnya penyakit antraknosa pada mentimun.
5. Belum diketahui potensi Colletotrichum terbawa benih mentimun.
Tujuan Penelitian
1. Menentukan kejadian penyakit di pertanaman mentimun akibat serangan
penyakit antraknosa.
2. Mendeskripsikan gejala penyakit antraknosa pada pertanaman mentimun.
3. Mengidentifikasi patogen antraknosa pada mentimun.
4. Menentukan potensi terbawa benih patogen antraknosa.
Manfaat Penelitian
Informasi dari hasil penelitian yaitu keberadaan penyakit antraknosa pada
pertanaman mentimun di Indonesia, spesies Colletotrichum sebagai patogen
antraknosa dan potensinya sebagai patogen terbawa benih, diharapkan bisa
menjadi dasar ilmiah untuk menentukan teknik pengendalian yang sesuai terhadap
penyakit antraknosa pada mentimun.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Penyakit Antraknosa
Antraknosa adalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh beberapa
cendawan yang menyerang tanaman semak, pohon peneduh dan tanaman
budidaya. Tanaman ini akan menentukan jenis cendawan yang menyebabkan
antraknosa tersebut. Sebagai contoh pada mentimun disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum sp., pada tanaman oak disebabkan oleh Apiognomonia sp. atau
pada maple disebabkan oleh Kabatiella sp. Colletotrichum sp., sebagai penyebab
penyakit antraknosa, mempunyai peranan penting pada ekonomi subsistem
pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari
monokotil hingga tanaman dikotil. Cendawan bertahan di sisa-sisa tanaman pada
saat overwinter atau memproduksi spora pada bulan April dan Mei ketika dingin
dan lembab. Patogen ini membentuk bintik-bintik kecil hingga bercak besar di
daun. Pada tanaman berkayu penyakit dapat menyebabkan kanker pada batang,
seperti mawar, yang akan membunuh batang dan bertahan selama musim dingin
di batang. Pohon yang bercak antraknosa berkembang akan sering rontok daunnya
pada Bulan Juni atau Juli. Pada beberapa kasus,daun dapat tumbuh kembali. Jika
pohon sangat terpengaruh dari tahun ke tahun, penyakit dapat melemahkan pohon.
Infeksi akan bertahan pada musim dingin sebagai kanker, pada tunas dan sisa-sisa
tanaman (Denkler 2013, Dickman 1993).
Penyakit antraknosa merupakan salah satu kendala dalam pembudidayaan
cabai di Indonesia. Dalam kondisi lingkungan yang optimal bagi patogen,
penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai. Kerugian
hasil selama transportasi dan penyimpanan dalam kurun waktu satu minggu dapat
mencapai lebih dari 25% (Prajnanta 1999).
Pada pertanaman mentimun di Rusia, Ukraina, dan Moldova, penyakit
antraknosa menyerang 30-100% pertanaman, perkembangan penyakit mencapai
50%, dan penurunan hasil mencapai 48% (Klopunova 2009). Menurut Giatgong
(1980) dalam Semangun (1989), penyakit antraknosa pada mentimun, yang
terdapat di Thailand dan Indonesia, disebabkan oleh C. lagenarium (Pass.) Ell. Et
Halst.
C. orbiculare (Berk. & Mont.) Arx adalah patogen penting penyebab
penyakit antraknosa pada famili Cucurbitaceae, khususnya mentimun (Cucumis
sativus), melon (C. melo), semangka (Citrullus lanatus), labu (Cucurbita pepo)
dan squash (C. maxima), tetapi juga dilaporkan memiliki 40 tanaman inang di
seluruh dunia (Farr dan Rossman 2013).
Gejala Penyakit Antraknosa
Gejala antraknosa terjadi pada semua bagian tanaman mentimun di atas
tanah. Bercak awal yang disebabkan oleh C. orbiculare yang muncul pada
kotiledon terlihat kecil dan basah, pucat, klorotik (kuning) atau nekrotik (coklat)
dan memiliki batas. Selama penyakit berkembang, bercak menjadi lebih besar,
menyatu, dan akhirnya kotiledon kering dan mati. Gejala yang sama muncul pada
5
daun (Gambar 1), pusat bercak yang lebih tua dapat retak atau rontok seluruhnya
(Palenchar et al. 2009).
a
b
c
d
e
f
Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada daun dan tanaman mentimun: (a-b)
bercak pada daun mentimun, (c) bercak daun 14 hari setelah
inokulasi buatan, (d) tanaman dengan bercak 6 hari setelah inokulasi,
(e) tanaman dengan bercak 10 hari setelah inokulasi, (f) tanaman
dengan bercak 14 hari setelah inokulasi (Sumber: Khlopunova 2009,
Langston 2009, Palenchar 2009)
Tangkai, pedisel buah, dan batang dapat juga terinfeksi yang berakibat
defoliasi tanaman, penurunan buah, dan kematian tanaman. Buah dapat terinfeksi
ketika mulai matang; bercak buah terlihat cekung, melingkar, basah, dan berwarna
gelap (Gambar 2). Seringkali patogen menghasilkan spora atau konidia, pada buah
yang terinfeksi, bercak terlihat basah dan pink salmon. Gejala pada buah dapat
berkembang tanpa gejala ketika masih di lapangan dan terus berkembang setelah
panen, sehingga buah mentimun yang terinfeksi memperlihatkan gejala ketika
dalam penyimpanan dan / atau transportasi (Li 2014; Seebold 2010).
Gambar 2
Gejala penyakit antraknosa pada buah mentimun (Sumber: Averre
2009)
6
Gejala antraknosa yang disebabkan oleh C. lagenarium, pada daun
umumnya bercak mulai dari tulang daun, yang meluas menjadi bercak coklat,
bersudut-sudut atau agak bulat, garis tengahnya mencapai 1 cm, atau bahkan
dapat lebih. Daun yang masih berkembang menjadi cekungan-cekungan.
Beberapa bercak dapat bersatu dan menyebabkan matinya seluruh daun. Bercak
pada tangkai dan batang agak mengendap, memanjang, berwarna coklat tua.
Bercak mulai tampak pada buah, saat buah mulai masak. Pada buah bercak
berbentuk bulat, melekuk, tampak kebasah-basahan, dan dapat sangat meluas.
Pada cuaca lembab di tengah bercak terbentuk massa spora yang berwarna merah
jambu (Semangun 1989).
Biologi dan Morfologi Patogen
Colletotrichum (Deuteromycetes) dan bentuk teleomorfnya Glomerella
(Ascomycetes) adalah cendawan patogen yang paling banyak berhasil
menginfeksi tanaman dengan kisaran inang yang sangat luas pada pertanaman
yang dibudidayakan di iklim sub tropis ataupun iklim tropis. Colletotrichum sp.
penyebab antraknosa pada mentimun memiliki daur hidup yang sama dengan
Colletotrichum lainnya, pada dasarnya melibatkan perkecambahan konidia pada
inang rentan, penetrasi jaringan inang melalui apresoria, fase biotrofik intraseluler
awal yang cepat berubah ke perkembangan nekrotik, perkembangan bercak sering
cekung, pembentukan konidiomata berseta dan penyebaran konidia biasanya
dengan percikan air. Perkembangan teleomorf pernah dilaporkan, namun
tampaknya sporadis dan belum menunjukkan hubungan antara anamorf dan
teleomorf (Bailey dan Jeger 1992, CABI 2007).
Menurut Agrios (2005) secara umum, cendawan ini bertahan pada
berbagai musim dalam batang, daun, dan buah sakit sebagai miselium atau spora,
dalam benih merupakan inang paling berpengaruh karena bertahan dalam periode
tahunan, dan dalam kanker merupakan cara bertahan yang abadi (Gambar 3).
Menurut Li (2014), di antara musim tanam, patogen bertahan di dalam benih, sisa
tanaman cucurbitaceae, dan sisa tanaman yang berperan sebagai inokulum primer.
Sumber inokulum utama Colletotrichum adalah konidia, yang diproduksi
dalam aservuli dan inokulum utama Glomerella adalah askospora, yang
diproduksi dalam dan dilepaskan dari peritesium. Konidia dalam aservuli dan
askospora dalam peritesium yang muda, terbungkus dalam materi lengket
hidrofilik yang lembab, yang sering disebut sebagai matriks spora. Matriks spora
ini merupakan campuran materi yang kompleks, yang sebagian besar terdiri dari
polisakarida, glikoprotein, dengan variasi komponen minornya beberapa enzim.
Ketika struktur ini matang pada kondisi kering, matriks berubah mengeras, yang
mengikat banyak spora. Matriks ini dapat menghambat perkecambahan. Ketika
konidia ini berada di dalam aservuli, matriks berperan dalam mencegah
perkecambahan prematur spora. Pencairan inokulum dan inhibitor terkait diduga
berperan penting untuk perkecambahan spora. Matriks spora juga menjaga
viabilitas spora pada kondisi kelembaban rendah, misalnya dalam aservuli yang
kering atau dalam massa spora yang berpencar. Selain itu, matriks spora juga
berfungsi melindungi spora dari temperatur ekstrim, sinar ultra-violet, dan dari
7
efek toksik metabolit tanaman. Penyebaran konidia dari aservuli yang muda
terjadi dengan bantuan percikan air (Bailey dan Jeger 1992).
Gambar 3 Siklus penyakit antraknosa pada berbagai tanaman (Sumber: Agrios
2005)
Gambar 4
Karakterisasi morfologi C. Orbiculare: (a-b) aservuli, (c) ujung
seta, (d) dasar seta, (e-f) konidiospora, (g) seta, (h-j) konidiospora,
(k-p) apresoria, (q-r) konidia (Sumber: Damm et al. 2013)
8
Konidia dilepaskan dari aservuli dan kontak dengan tanaman inang rentan
dan berkecambah ketika ada air dan suhu optimal (20-32 °C). Konidia
berkecambah dan menembus jaringan inang secara langsung (Ferreira dan Boley
1992). Infeksi antraknosa pada mentimun cenderung menurun ketika suhu
mencapai lebih dari 86 °F (30 °C), bahkan jika terdapat curah hujan (Thompson
dan Jenkins 1985).
Setelah berkecambah, konidia membentuk apresoria, yang dipisahkan dari
konidia dan tabung kecambah oleh sebuah septa. Apresoria ini sangat penting
untuk proses infeksi. Pematangan apresoria ini melibatkan perkembangan dinding
sel yang tebal dan multi-lapis yang mengandung melanin, yaitu sekresi lapisan
tipis dari ekstraseluler berlendir (Baley et al. 1992). Melanisasi dari antifungal
diasumsikan berkontribusi terhadap peningkatan daya tahan dalam kondisi yang
sulit, seperti iradiasi, lisis oleh mikroorganisme lain, radikal oksigen, atau suhu
tinggi (Kubo 2000). Selain penting untuk proses infeksi, apresoria ini juga
merupakan karakteristik morfologi yang penting dalam genus Colletotrichum
(Sutton 1992). Produksi apresoria ini dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik
(Struck 2006).
C. orbiculare (Gambar 4) dikarakterisasi dengan konidia yang lurus, ujung
tumpul dan meruncing ke arah dasar, kultur berwarna coklat gelap sampai hitam
atau keabu-abuan dan tingkat pertumbuhan lebih lambat daripada C.
gloeosporioides (Damm et al. 2013, Sutton 1992). Penyakit ini dianggap penting
di Amerika Serikat (Florida, Hawai), tempat tanaman cucurbitaceae tumbuh di
bawah kondisi yang sangat terkendali, tetapi cendawan memiliki distribusi di
seluruh dunia dan perlu mendapat perhatian di negara-hangat beriklim tropis atau
tempat tanaman cucurbitaceae tumbuh. Inokulasi eksperimental semangka dengan
C. orbiculare menyebabkan kerugian antraknosa dan hasil yang parah hingga
63% (CABI 2007). C. lagenarium merupakan anamorf dari Glomerella
lagenarium sedangkan G. lagenarium merupakan bentuk seksual atau perfect
stage (teleomorf) dari patogen ini (CABI 2007, Ferreira dan Bolley 1992).
Kemampuan Colletotrichum sp. Terbawa Benih
Benih merupakan unit hidup dan alat perkembangbiakan. Secara struktural,
terdiri dari embrio (plantlet baru), kulit pelindung - kulit biji, pericarp, atau
keduanya - dan bahan makanan cadangan, yang mungkin ada dalam endosperm,
perisperm, atau embrio. Benih memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap
pengeringan dan mempertahankan kelangsungan hidup di bawah lingkungan yang
tidak menguntungkan atau sampai berkecambah. Struktur benih ini penting untuk
membuat suatu komoditas bertahan dalam penyimpanan serta transportasi ke
daerah-daerah baru atau negara, untuk penanaman atau untuk dimakan. Benih
yang terinfeksi oleh mikroorganisme, akan bertindak sebagai media pembawa.
Jika organisme bertahan dalam benih akan menghasilkan penyakit pada tanaman
baru. Benih yang terinfeksi sering menjadi sumber penyebaran penyakit ke daerah
baru. Oleh karena itu, benih menjadi obyek karantina tumbuhan internasional.
Negara juga menggunakan sertifikasi domestik benih, termasuk pengujian
kesehatan benih, sebagai metode pengendalian mutu benih (Singh dan Mathur
2004).
9
Pengujian benih untuk patogen terbawa benih merupakan pekerjaan yang
sulit. Tidak seperti jaringan tanaman vegetatif yang terinfeksi, karena benih yang
terinfeksi dapat tidak memperlihatkan gejala, sehingga membuat deteksi visual
tidak bisa dilakukan (Walcot 2003). Menurut Cram dan Fraedrich (2009), patogen
terbawa benih didefinisikan sebagai setiap agen infeksi yang dibawa pada benih,
secara internal maupun eksternal, yang memiliki potensi untuk menyebabkan
penyakit baik biji atau tanaman.
Menurut Singh dan Mathur (2004), laporan jumlah mikroorganisme yang
berhubungan dengan biji meningkat secara bertahap selama paruh kedua abad ke20. Organisme yang berkaitan dengan benih baik sebagai kontaminan permukaan
benih, tercampur dengan benih, atau sebagai infeksi yang ada di dalam jaringan
benih. Cendawan merupakan kelompok besar patogen yang terbawa benih serta
tular-benih. Daftar cendawan saprofit dan parasit yang terkait dengan benih pada
tanaman yang berbeda ini sangat besar, dan meliputi semua kelas cendawan.
Anggota Deuteromycotina mendominasi dan khususnya kelas Hyphomycetes dan
Coelomycetes.
Menurut Nome (2002), proses infeksi benih dipengaruhi oleh kondisi
tempat tanaman tumbuh. Ada dua jenis infeksi benih, yaitu infeksi sistemik benih
dan kontaminasi atau infestasi benih. Infeksi sistemik benih adalah pembentukan
patogen dalam setiap bagian dari benih terinfeksi, melalui sistem vaskular atau
plasmodesmata atau langsung oleh luka alami atau buatan. Patogen yang sama
dapat menginfeksi benih menggunakan satu atau lebih dari mekanisme ini. Infeksi
sistemik dapat melalui empat cara yaitu (1) melalui bunga, buah atau funiculus;
(2) Penetrasi melalui stigma yaitu selama infeksi, patogen mengikuti jalan yang
sama seperti serbuk sari. Spora cendawan mencapai stigma dan berkecambah
serta memproduksi hifa yang mencapai ovarium, tempat mereka bisa bertahan
sebagai miselium dorman sampai perkecambahan biji; (3) Penetrasi melalui
dinding ovarium atau benih belum matang, yaitu menembus dinding ovarium
sebagai akibat dari perkecambahan dari teliospora pada stigma atau dinding
ovarium. Pro-miselium melalui dinding dan jaringan lain sampai mencapai
embrio; (4) Penetrasi melalui luka dan lubang alami. Sedangkan kontaminasi atau
infestasi mengacu pada hubungan pasif dari patogen dan biji. Patogen itu sendiri
atau bagian dari patogen dapat menempel atau bisa tercampur dengan biji dalam
setiap proses benih: panen, ekstraksi, seleksi dan pengepakan.
Cendawan patogen terbawa benih dapat sangat mempengaruhi kualitas
benih dan menyebabkan penyakit yang berdampak produksi bibit di pembibitan.
Kerugian untuk patogen terbawa benih termasuk mengurangi perkecambahan biji,
damping-off, dan kematian bibit yang lebih tua di bedengan. Pengaruh patogen
terbawa benih pada biji dan produksi bibit diketahui dapat sampai ekstrim yaitu
kegagalan perkecambahan terjadi di persemaian (Cram dan Fraederich 2009) atau
kerugian yang terjadi dalam kontainer (Campbell dan Landis 1990).
Hasil percobaan di lapangan di Himalaya pada C. lindemuthianum,
memperlihatkan kejadian penyakit dan keparahan penyakit paling tinggi terjadi
pada kacang buncis kultivar rentan Jawala. Infeksi terjadi karena terbawa benih
dan kontaminasi. Penurunan hasil yang diakibatkan kedua cara infeksi tersebut,
yaitu berturut-turut 75% dan 57.24% (Sharma et al. 2008).
Banyak patogen terbawa benih aktif setelah benih disemai, yang
menghasilkan benih yang busuk dan / atau pre- atau postemergence damping-off.
10
Hilangnya kemampuan berkecambah dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
spesifitas kultivar; tipe, jumlah dan lokasi inokulum; kondisi lingkungan; dan
faktor lainnya (Agarwal dan Sinclair 1987, Sutopo 1998).
Spesies Colletotrichum umumnya mampu bertahan di dalam atau pada biji
dan salah satu cara pada cabai adalah melalui transplan yang terinfeksi
(Manandhar et al. 1995). Menurut Jewsakun (1978) dalam Than et al. (2008),
infeksi C. capsici pada cabai terbukti memiliki dua jalur: invasi melalui kulit biji
dan invasi melalui bukaan dari testa. C. capsici menyebabkan busuk akar bibit.
Menurut Than et al. (2008) C. acutatum dapat menginfeksi benih cabai dengan
mengurangi tingkat perkecambahan atau menyebabkan damping-off bibit.
C. truncatum berkecambah pada permukaan benih kedelai dan hifa
mempenetrasi lapisan palisade dalam 24 hingga 30 jam. Setelah 48 jam
mengoloni lapisan palisade, pertumbuhan hifa melalui hipodermis dan masuk
dalam lapisan protein-rich aleuron. Setelah 72 jam, hifa membentuk aservuli
berwarna gelap pada lapisan epidermal (Agarwal dan Sinclair 1997).
Chikuo dan Sugimoto (1989) menemukan adanya variasi keberadaan
miselin C. dematium f.sp. spinaceae dalam benih yang diperoleh dari tanaman
Beta vulgaris yang diinokulasi secara alami pada awal dan akhir pembentukan
bunga. Infeksi menyebar pada rongga buah, dan hifa menginvasi biji yang sedang
berkembang, sehingga membuat biji rontok. Tetapi pada kondisi berikutnya,
miselium biasanya terbatas permukaan benih, hifa jarang terlihat pada pori apikal
dan di bawah kulit biji.
Apresoria diketahui membentuk piringan perekat yang tertanam pada
permukaan dan tetap laten sampai perubahan fisiologis terjadi pada buah-buahan
(Bailey dan Jeger 1992). Apresoria yang terbentuk pada buah yang belum matang
bisa tetap bertahan pada buah hingga perubahan ontogenik terjadi pada buahbuahan (Prusky dan Plumbley 1992).
11
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 – Desember 2014 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB dan di pertanaman mentimun milik petani (Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor Propinsi Jawa
Barat).
Bahan dan Alat
Benih mentimun contoh diperoleh dari toko-toko benih, yaitu varietas
yupiter, jawara, bandana, lumintu, dynasti, kancil, Alicia F1 serta varietas local
dari Klaten, Boyolali dan Sragen. Isolat cendawan diperoleh dari isolasi cendawan
dari daun di pertanaman petani dan benih. Metode isolasi yang digunakan adalah
blotter test (Mathur dan Kongsdal 2003), untuk uji deteksi patogen terbawa dan
metode isolasi propagul langsung dari daun mentimun di potato dextrose agar
(PDA). Alat yang digunakan adalah hand counter, mikroskop stereo, mikroskop
compound dan hand mikroskop Digital Microscope Basic AM2111 Series DinoLite.
Metode
Penentuan Sampel di Lapangan
Penelitian dilakukan secara survei pada bulan Juni-Desember 2014, di
tiga kabupaten sentra penghasil mentimun yaitu Bogor (Jawa Barat) serta
Boyolali dan Klaten (Jawa Tengah).
Survei pendahuluan. Survei dilakukan untuk menginventaris lokasi dan
penentuan kelompok sampel. Informasi yang diperlukan diperoleh dari data
primer dan sekunder, serta dilakukan pengamatan di pertanaman mentimun milik
petani.
Survei utama. Penentuan lokasi dan petani sampel dilakukan dengan metode
purposive random sampling, dengan luasan pertanaman paling kecil 1500 m2.
Setiap lokasi ditentukan 50 tanaman sampel pada petak tanaman yang ditemukan
tanaman yang bergejala penyakit antraknosa. Selanjutnya setiap tanaman dihitung
jumlah daun yang bergejala pada tanaman bagian bawah, tengah dan atas. Sampel
daun selanjutnya diambil dan dimasukkan dalam kertas amplop coklat dengan rapi,
masing-masing amplop berisi maksimal 5 lembar daun, yang tujuannya untuk
membuat herbarium daun. Keberadaan aservulus pada daun dilakukan secara
mikroskopis dan difoto dengan Digital Microscope Basic AM2111 Series Dino-Lite
sebelum sampel mengering. Pembuatan herbarium ini bertujuan membuat patogen
bertahan lama, sehingga dapat diamati 30 aservulli yang diambil langsung dari
jaringan tanaman dan diamati di bawah mikroskop compound.
12
Pengamatan Kejadian Penyakit di Lapangan
Variabel yang diamati di lapangan dan di pembibitan adalah persentase
keparahan penyakit (KpP) dan persentase kejadian penyakit (KjP). Penentuan
keparahan penyakit dilakukan berdasarkan nilai persentase luas daun yang
terinfeksi dibanding luas daun yang sehat (Villanueva 2008). Penghitungan luas
daun dilakukan dengan satuan kotak dalam kain strimin. Rumus KpP adalah
sebagai berikut:
KpP =
x 100%
Penentuan distribusi penyakit pada tajuk tanaman dengan menghitung
keparahan penyakit dibagi dalam 3 posisi daun pada tajuk tanaman yaitu bawah,
tengah dan atas. Kejadian penyakit dihitung sebagai persentase jumlah tanaman
yang sakit terhadap jumlah tanaman yang diamati pada satu varietas, dengan
rumus:
KjP =
x 100%
Identifikasi Morfologi dan Koloni Cendawan Patogen Antraknosa pada
Mentimun
Isolat Colletotrichum sp. diperoleh dengan pemeriksaan langsung pada
preparat slide terhadap 30 aservuli dari jaringan yang bergejala antraknosa.
Pengamatan koloni patogen dilakukan dengan menanam aservuli dari bagian
nekrotik pada daun mentimun. Cawan petri yang telah berisi PDA steril, ditandai
bagian tengah bawah dengan spidol permanen. Aservuli dari gejala nekrotik pada
daun, diambil dengan jarum serangga secara mikroskopis dan aseptik, selanjutnya
dibiakkan pada media PDA dalam cawan petri di bagian yang telah ditandai.
Cawan petri diinkubasi pada suhu kamar (25-30 °C) dan diamati pertumbuhan
koloni cendawan secara berkala. Pengamatan dilakukan terhadap warna, tekstur,
tampilan dan pinggir koloni, bentuk, ukuran dan warna aservuli. Aservuli dibuat
preparat slide dan selanjutnya bentuk, panjang dan lebar konidia dan seta
diidentifikasi secara mikroskopis dengan kunci identifikasi Damm et al. (2009),
Damm et al. (2013), Sutton (1980), serta Villanueva et al. (2008). Kultur murni
disimpan pada suhu 18 °C pada PDA miring.
Pengamatan apresoria dengan memproduksi apresoria dengan teknik kultur
slide, yaitu konidia dari koloni diinokulasikan ke pinggiran PDA block seluas ±1
cm2 yang diletakkan pada gelas obyek dalam cawan petri steril yang berisi kertas
saring yang telah dilembabkan dengan aquades steril. Selanjutnya PDA block
yang telah diinokulasi konidia ditutup dengan gelas penutup steril. Pengamatan
apresoria dilakukan 7-14 hari inkubasi (Damm 2013).
13
Deteksi Colletotrichum sp. sebagai Patogen Terbawa Benih
Benih mentimun sebanyak 800 biji dan 1600 biji ditanam dalam petridisih
berisi 3 lembar kertas saring yang telah dibasahi aquades steril, masing-masing
cawan petri ditanam sebanyak 25 biji, sehingga ada 16 ulangan setiap varietas
(Mathur dan Kongsdal 2003). Pertumbuhan miselium dan perkembangan aservuli
di sekitar benih diamati dan diidentifikasi secara morfologi di bawah mikroskop
stereo dengan kunci identifikasi Damm et al. (2009), Damm et al. (2013).
Persentase infeksi Colletotrichum sp. pada benih dihitung dengan rumus:
Tingkat infeksi =
x 100%
Massa konidia cendawan yang teramati secara morfologi sebagai
Colletorichum sp. diambil dan ditumbuhkan pada satu petridisih berisi PDA untuk
pemurnian isolat. Kemudian benih diinkubasi selama 7 hari dalam suhu 25-30 °C
dengan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang di laboratorium. Pengamatan
dilakukan terhadap warna, tekstur, tampilan dan pinggir koloni, bentuk, ukuran
dan warna aservuli. Bentuk, panjang dan lebar konidia dan setae diamati secara
mikroskopis.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian dan Keparahan Penyakit
Kejadian dan keparahan penyakit di setiap lokasi penelitian ini masingmasing nilainya berbeda sangat jauh karena waktu dan keadaan agroekosistem
masing-masing lokasi pengamatan berbeda mengikuti waktu tanam mentimun
petani serta varietas yang berbeda di lokasi tersebut. Menurut Dodd et al. (1992),
faktor lingkungan merupakan peran utama dalam perkembangan epidemi
penyakit. Hubungan antara intensitas hujan, durasi dan geometri tanaman dan
penyebaran inokulum menyebabkan tingkat keparahan penyakit yang berbeda.
Hasil surveilan keadaan penyakit antraknosa dari 11 lokasi di lapangan
(Tabel 1), menunjukkan bahwa penyakit terjadi di 4 lokasi dan kejadian penyakit
paling tinggi terjadi pada stadia tanaman berbuah di Lumbung (Bogor),
selanjutnya di Tegalwaru (Bogor), Bantarsari (Bogor), dan di Pasungan (Klaten)
dan kejadian penyakit pada stadia tanaman berbunga-berbuah terjadi di
Bantarsari, Bogor. Keparahan penyakit paling tinggi ditemukan pada stadia
tanaman mentimun berbuah di Tegalwaru diikuti di Lumbung, Bantarsari dan
Pasungan, sedangkan keparahan penyakit pada stadia tanaman berbunga-berbuah
ditemukan di Bantarsari (Bogor). Perkembangan penyakit di empat lokasi tersebut
didukung oleh kondisi iklim pada waktu tanam, terutama curah hujan dan suhu
udara, serta vegetasi sekitar tanaman mentimun, kecuali di Desa Pasungan,
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada pertanaman mentimun putih dengan
varietas lokal. Pengamatan di Pasungan dilakukan pada bulan September dengan
tidak ada hari hujan. Meskipun dengan kondisi cuaca yang kurang mendukung
untuk perkembangan penyakit, tetapi ditemukannya kejadian penyakit yang
mencapai 42.00% dan keparahan penyakit 5.53% menunjukkan bahwa penyakit
antraknosa merupakan penyakit penting pada tanaman mentimun.
Kejadian penyakit di Lumbung mencapai 92%, sedangkan di Bantarsari
hanya mencapai 46% pada stadia tanaman berbuah, hal ini karena varietas yang
sama ditanam pada kondisi curah hujan yang berbeda. Waktu tanam mentimun
varietas Bandana di Lumbung pada bulan Juli sampai dengan awal Agustus,
dengan rata-rata curah hujan 2.11 mm/hari. Waktu tanam mentimun varietas
Bandana di Bantarsari dilakukan pada bulan September sampai dengan
pertengahan bulan Oktober, dengan rerata curah hujan harian 1.13 mm/hari
(Freemeteo 2014). Pengamatan pada pertanaman mentimun varietas Venesa di
Tegalwaru, dilakukan pada bulan Desember saat musim hujan, dengan rerata
curah hujan harian 4.49 mm/hari, sehingga kejadian penyakit mencapai 60% dan
keparahan penyakit mencapai 30.75%. Selain pengaruh curah hujan, kejadian
penyakit yang tinggi di Lumbung dan Tegalwaru karena vegetasi sekitarnya
berupa pohon kayu tahunan yang banyak sehingga meningkatkan kelembaban
udara di agroekosistem tersebut, sesuai untuk perkembangan penyakit antraknosa,
sedangkan di Bantarsari, vegetasi di sekitarnya berupa tanaman hortikultura
semusim yaitu kangkung, bayam, terong dan pisang. Vegetasi sekitar pertanaman
mentimun di Pasungan adalah tanaman cabai, tembakau dan jagung. Menurut
Semangun (1989), cuaca lembab dengan banyak hujan sangat membantu
15
pembentukan konidium, pemencaran konidium, dan infeksi. Perkecambahan dan
pertumbuhan cendawan paling baik terjadi pada suhu 22-27 °C.
Tabel 1 Keadaan penyakit antraknosa di pertanaman petani
Lokasi
Kab. Bogor, Kec. Kemang
Lumbung
Bantarsari
Bantarsari
Bantarsari
Kab. Bogor, Kec. Kemang
Tg.waru
Cisasak
Dukuh
Kab. Klaten, Kec. Ceper
Pasungan
Tegalduwur
Kab. Klaten, Kec. Jambu
Kulon
Karangwuni
Kab. Boyolali, Kec.
Banyudono
Krecek I
Krecek II
Pandanan
Varietas
Stadia Tanaman
KjP (%)1) KpP (%)2)
Bandana
berbuah
Bandana
vegetatif
Bandana berbunga-berbuah
Bandana
berbuah
92.00
0.00
4.00
46.00
22.20
0.00
0.80
6.93
Venesa
Yupiter
Yupiter
berbuah
berbuah
berbuah
60.00
0.00
0.00
30.75
0.00
0.00
Lokal
Mercy
berbuah
berbunga-berbuah
42.00
0.00
5.53
0.00
Mercy
berbuah
0.00
0.00
Misano
Misano
Misano
berbunga-berbuah
berbuah
berbuah
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Keterangan: 1) KJP = Kejadian Penyakit, 2) KP = Keparahan Penyakit
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Colletotrichum sp. untuk
berhasil menginfeksi jaringan tanaman yang dilanjutkan dengan fase-fase lain
dalam siklus hidupnya sampai fase nekrotrofik dan menimbulkan gejala penyakit
antraknosa pada jaringan tanaman, membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan siklus hidupnya. Kondisi lingkungan ini meliputi adanya
percikan air, suhu udara antara 22-30 °C, kelembaban relatif yang cukup. Pada
lokasi pertanaman di Bantarsari keparahan penyakit mencapai 0.80 % pada stadia
tanaman berbunga, dan meningkat pada stadia tanaman berbunga-berbuah yaitu
6.93 %, tetapi nilai ini jauh lebih kecil dari keparahan penyakit yang terjadi di
Tegalwaru yaitu 30.75%, hal ini karena konidia Colletotrichum menginfeksi
pertanaman di Tegalwaru pada stadia tanaman berbunga pada musim hujan,
sedangkan di Bantarsari pada musim kemarau. Menurut Fitzel dan Peak (1984),
kejadian penyakit antraknosa pada tanaman mangga, sejumlah besar konidia
terjebak selama periode berkepanjangan hujan, dan ketika ini terjadi selama
pertumbuhan aktif atau berbunga, keparahan penyakit tercatat berat.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian antraknosa pada tanaman
lainnya, menurut Dillard (1989), produksi konidia C. coccodes, patogen antraknosa
pada tomat, meningkat dengan meningkatnya temperatur dari 16-28 °C dan
16
menurun pada temperatur di atas 31 °C, sedangkan perkecambahan spora mencapai
73,4% pada kelembaban relatif mendekati 100% (25 °C) dan menurun pada
kelembaban relatif 55-57% (27-30 °C). Selain itu insiden penyakit dan keparahan
penyakit juga meningkat sebanding dengan meningkatnya periode lapisan air pada
permukaan buah. Menurut Fernando et al. (2000), spora C.acutatum mencapai
perkecambahan sebesar 90% pada suhu 15-35 °C, dengan kelembaban relatif 95%.
Menurut Wilson et al. (1990), kejadian penyakit antraknosa buah strawberry
meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi basah permukaan buah, tetapi pada
buah yang matang menurun pada suhu di atas 35 °C, dari maksimal kejadian
penyakit yaitu 39%. Suhu optimal untuk terjadinya infeksi antraknosa pada buah
belum matang dan matang adalah 25-35 °C, dengan kejadian penyakit lebih besar
dari 80% pada periode basah permukaan buah setelah 13 hari.
Lokasi pengamatan di Kecamatan Ciampea (Jawa Barat) di 2 dusun, yaitu di
dusun Cisasak dan Dukuh, kejadian penyakit dan keparahan penyakit tidak
ditemukan, diduga karena pengamatan dilakukan pada bulan Juni (musim
kemarau) saat kondisi iklim di lokasi tersebut rendah curah hujannya yaitu ratarata 3.0 mm/hari. Pengamatan di Kecamatan Boyolali (Jawa Tengah), di 3 lokasi
yaitu di Pandanan dan 2 lokasi di Krecek dengan varietas Misano, juga tidak ada
kejadian penyakit. Hal ini karena pengamatan dilakukan pada bulan Juli, saat
curah hujan bulan tersebut sangat rendah sehingga tidak dapat terukur (kurang
dari 0.0 mm) dengan jumlah hari hujan 8 hari. Suhu yang tinggi ini tidak
mendukung untuk perkembangan penyakit yaitu menghambat proses
perkecambahan spora, dan curah hujan yang rendah tidak mendukung untuk
persebaran massa konidia.
Gejala Penyakit
Pengamatan gejala dilakukan di 4 lokasi yang terinfestasi penyakit
antraknosa (Tabel 1), yaitu di Kabupaten Bogor (Lumbung, Bantarsari,
Tegalwaru) dan Kabupaten Klaten (Pasungan). Gejala terlihat jelas ditemukan di
bagian daun (Gambar 5a, 5b, 5c) dan batang (Gambar 5d) pada tanaman stadia
berbuah, selain itu gejala juga ditemukan di bagian buah (Gambar 5e), meskipun
sedikit.
Gejala antraknosa pada daun dari pertanaman mentimun hijau di Lumbung,
Bantarkambing, dan Tegalwaru, berupa bercak nekrotik kecil dengan diameter
±0.5 cm, berwarna putih kekuningan pada awalnya. Dalam waktu 2 minggu,
bercak nekrotik membesar dengan diameter 1-4 cm, bulat atau tidak beraturan,
bagian jaringan pembuluh daun berwarna coklat lebih gelap sehingga, pinggiran
bercak berwarna coklat lebih gelap dan seperti memiliki bagian-bagian runcing,
bagian tengah bercak berwarna coklat muda-putih kecoklatan, cekung, mengering
dan akhirnya mudah rontok. Sedangkan gejala antraknosa dari pertanaman
mentimun putih di Ceper, memiliki diameter lebih besar yaitu mencapai 4.5 cm,
datar, dan juga memiliki warna putih kecoklatan pada bagian tengah bercak, serta
tidak cekung terhadap bagian daun yang sehat. Bagian coklat muda ini memiliki
banyak massa konidia berwarna oranye salmon (Gambar 6a dan 6b). Bercak yang
telah berkembang menjadi besar dan saling berdekatan akan menyatu.
17
Gambar 5
a
a
b
d
e
c
f
g
Gejala antraknosa pada pertanaman mentim