Mengenai Hukum Acara dan Pembuktian Pe buktia dala Bukti Elektro ik

27 Terkait dengan keberlakuan dan tafsir yang sebangun dengan Pasal 310 dan 311 KUHP yang merupakan delik aduan absolut sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHP, maka diperhatikan putusan Mahkamah Agung No 183 KPid2010. Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa oleh karena yang menjadi obyek pencemaranpenistaan adalah badan hukum, yaitu PT Duta Pertiwi maka mengingat delik tersebut merupakan delik aduan absolut maka yang seharusnya mengajukan pengaduan adalah Direktur Utama PT tersebut, bukan kuasa hukum PT Duta Pertiwi. Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar PT.Duta Pertiwi sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang dapat mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbang, SH. , MH., kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi , sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi “e agai delik adua a solut, aka ya g oleh elaporka ha yalah ora g ya g e jadi kor a penghinaan secara la gsu g da lapora tidak oleh dilakuka oleh ora g lai selai kor a Karena terkait langsung dengan korban perlu diperhatikan mengenai penyebutan nama. Apabila dalam suatu pernyataan tidak ada penyebutan nama secara langsung yang dibarengi dengan adanya tuduhan maka pernyataan tersebut tidaklah memiliki muatan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pengadilan Negeri Raba Bima menegaskan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi dengan adanya tuduhan. 38 Me i a g, ah a setelah Majelis Hakim mencermati komentar-komentar Terdakwa sebagaimana tersebut di atas, Terdakwa tidak pernah menyebut nama saksi Dra. NURFARHATI, M.Si dan Terdakwa juga tidak pernah menyerang nama baik saksi Dra. NURFARHATI, M.Si dengan menuduhkan sesuatu ; 39 Menimbang, bahwa dengan demikian dokumen elektronik tersebut tidak memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, 40 de ga de ikia u sur De ga “e gaja Da ta pa Hak Mendistribusikan DanAtau Mentransmisikan DanAtau Membuat Dapat diaksesnya Informasi Elektronik DanAtau Dokumen Elektronik Yang Memiliki Muatan Penghinaan DanAtau Pencemaran Na a Baik tidak terpe uhi.

5.2. Mengenai Hukum Acara dan Pembuktian Pe buktia dala Bukti Elektro ik

Perdagangan dan peristiwa kejahatan yang terjadi pada saat ini sudah semakin berkembang, terutamanya dengan maraknya perdagangan dan aktivitas komersial yang ditopang oleh kehadiran teknologi informasi. Perkembangan pesat dari teknologi informasi memungkinkan aktvitas perdagangan menjadi lebih dinamis begitu juga dengan kemungkinan terjadinya kejahatan di dalam aktivitas perdagangan yang menggunakan teknologi informasi 38 Lihat Putusan Nomor : 292Pid.B 2014PN. Rbi 39 ibid 40 Ibid 28 Dengan kemajuan tersebut, maka pelanggaran hukum yang terjadi juga sangat dimungkinkan dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi, untuk itu diperlukan pengaturan bukti terutama yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi dalam sebuah perisitwa pelanggaran hukum. Dengan maraknya pelanggaran hukum yang terhubung dengan penggunaan teknologi informasi telah menghadirkan suatu jenis baru dari alat bukti yang secara tradisional telah dikenal yaitu bukti elektronik digital evidence Menurut Casey, bukti elektronik adalah informasi elektronik yang dapat digunakan untuk menghubungkan dengan terjadinya tindak pidana dan pelaku kejahatan tersebut. 41 Sementara menurut Cohen, pada dasarnya bukti elektronik digital evidence adalah produk dari proses forensik digital. 42 Karena itu, forensik digital adalah identifikasi kegiatan yang memerlukan investigasi termasuk menentukan sumber digital yang bersangkutan, mengumpulkan informasi, memastikan keaslian informasi dari perubahan yang disengaja, menganalisis informasi, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Menurut Kerr, bukti elektronik memiliki konteks yang berbeda daripada bukti yang secara tradisional telah diketahui karena dalam bukti elektronik hanya ada dalam bentuk nol dan satu, sementara bukti lain memiliki memiliki manifestasi fisik. 43 Karena perbedaan mendasar itulah maka diperlukan perlakuan yang berbeda dalam hal penanganannya dan penjelasannya. Dalam legislasi dan praktek yang berlangsung International Criminal Court ICC, pada dasarnya ICC jarang mengakui bukti elektronik sebagai bukti langsung dan malah diperlakukan sebagai bukti pendukung dengan nilai pembuktian yang lebih rendah dari alat bukti lainnya seperti keterangan yang diucapkan secara lisan viva voce. 44 Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 2007 di Eropa, menunjukkan bahwa bukti elektronik dalam kerangka legislasi Negara – Negara di Eropa adalah setara dengan bukti yang telah dikenal secara tradisional. Secara umum ada tiga klasifikasi bentuk bukti elektronik yang telah diidentifikasi, yaitu dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen surat, yang kedua tanda tangan elektronik disetarakan dengan tanda tangan dengan tulisan tangan, dan menyetarakan surat elektronik dengan surat pos biasa. 45 Untuk itu, diperlukan validasi lanjutan seperti halnya bukti fisik yang secara tradisional telah dikenal Alat Bukti dalam peraturan di Indonesia diatur dalam ketentuan hukum acara, baik hukum acara perdata ataupun hukum acara pidana. Pasal 184 ayat 1 KUHAP telah menentukan bahwa terdapat lima jenis 41 Lihat Amanda R. Ngomane, The Use of Electronic Evidence in Forensic Investigation, University of South Africa, 2010, halaman 28 42 Lihat Judges Awareness, Understanding, and Application of Digital Evidence, Gary Craig Kessler, Graduate School of Computer and Information Sciences, Nova Southeastern University, 2010, halaman 1 43 Ibid, halaman 2 44 Lihat Aida Ashouri, Caleb Bowers and Cherrie Warden, An Overview of the Use of Digital Evidence in International Criminal Courts, Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 2014, halaman 115 45 Lihat Fredesvinda Insa 2007 The Admissibility of Electronic Evidence in Court A.E.E.C.: Fightin against High- Tech Crime —Results of a European Study, Journal of Digital Forensic Practice, 1:4, 285-289, DOI: 10.108015567280701418049 29 alat bukti yaitu: 1 Keterangan saksi; 2 Keterangan ahli; 3 Surat; 4 Petunjuk; dan 5 Keterangan terdakwa. Meski tak ada satupun ketentuan hukum acara yang menyebutkan kedudukan dari bukti elektronik digital evidence, namun KUHAP telah meletakkan fondasi bagi diakuinya bukti elektronik berdasarkan ketentuan Pasal 41 46 , Pasal 184 ayat 1 huruf c, dan Pasal 187 huruf d. Berdasarkan ketentuan ini, pada dasarnya bukti elektronik telah diakomodir dalam sistem pembuktian di sistem peradilan pidana. Hal ini juga diperkuat melalui surat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung untuk merespon terhadap keberadaan bukti elektronik setelah diberlakukannya KUHAP. Pada 1988, Mahkamah Agung melalui Surat MA No 39TU88102Pid, 14 Januari 1988, menyatakan bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Selepas reformasi, cukup banyak peraturan yang dilahirkan dengan mengadopsi bukti elektronik menjadi bagian dari alat bukti yang sah yang dapat digunakan di Pengadilan. Perppu No 1 Tahun 2002 yang disahkan oleh UU No 15 Tahun 2003 merupakan UU pertama yang disahkan dengan mengadopsi bukti elektronik sebagai bagian dari alat bukti di Pengadilan. 47 Dalam konteks regulasi pemberantasan korupsi, bukti elektronik dinyatakan sebagai bagian dari alat bukti petunjuk dan alat bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP. 48 Namun dalam UU KPK, bukti elektronik menjadi alat bukti yang berdiri sendiri terlepas dari alat bukti yang ada dalam KUHAP. 49 Setelah 2002, bukti elektronik menjadi alat bukti baru dapat diketemukan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 50 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukti elektronik selain menjadi bagian dari alat bukti surat 51 dan alat bukti petunjuk 52 sebagaimana diatur dalam KUHAP, ia juga menjadi alat bukti baru disamping alat bukti yang telah ada dalam KUHAP. 53 Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang juga dinyatakan bahwa bukti elektronik merupakan jenis alat bukti baru disamping alat bukti yang telah ada di dalam KUHAP. 54 Dari kerangka tersebut, kedudukan bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak terlampau jelas terkait dengan penempatan status dan kedudukan bukti elektronik tersebut. 46 Lihat Penjelasan Pasal 41 KUHAP yang menyatakan bahwa surat termasuk surat kawat, surat teleks, dan lain sejenisnya yang mengandung berita 47 Lihat Pasal 27 Perppu No 1 Tahun 2012 48 Lihat Pasal 26 A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 49 Lihat Pasal 44 ayat 2 UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 50 Lihat Pasal 29 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 51 Lihat Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 52 Lihat Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 53 Lihat Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 54 Lihat Pasal 73 huruf b UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 30 Berdasarkan kerangka legislasi Indonesia, bukti elektronik mendapatkan 3 status yang dapat terpisah namun bercampur sekaligus dalam satu waktu tertentu yaitu sebagai alat bukti surat, alat bukti petunjuk, sekaligus alat bukti yang berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan para pembuat Undang – Undang untuk menentukan jenis dan spesifikasi dari bukti elektronik. Hal yang paling penting untuk dipahami adalah persoalan pengakuan bukti elektronik di depan Pengadilan. Persoalan ini muncul karena bukti elektronik dapat di manipulasi oleh pihak ketiga dan menimbulkan pertanyaan serta perdebatan siapakah pemilik bukti elektronik tersebut. Kelima jenis bukti elektronik yakni situs, komunikasi di media sosial, surat elektronik, sms, dokumen yang disimpan oleh komputer memiliki tantangan yang unik dalam hal agar bukti elektronik tersebut dapat diakui sebagai bukti di Pengadilan. Pada dasarnya bukti elektronik hanya memiliki kedudukan sebagai bukti pendukung yang masih harus dikonfirmasi melalui alat bukti lainnya. Bukti elektronik juga memiliki kedudukan pembuktian yang lebih rendah ketimbang alat bukti keterangan saksi yang disampaikan di Pengadilan. Sebagai bukti pendukung, maka dalam konteks Indonesia, kedudukan bukti elektronik sama halnya dengan barang bukti yang nilai pembuktiannya masih harus dikuatkan melalui alat bukti lainnya diantaranya melalui surat atau keterangan ahlisaksi. Pada dasarnya suatu alat bukti adalah sah apabila prosedur pengambilan alat buktinya atau didapatnya suatu alat bukti dilakukan menurut cara – cara yang ditentukan oleh Undang – Undang dan dilakukan oleh otoritas yang berwenang Karena itu, tidak semua alat bukti dapat dihadirkan di persidangan, terutama apabila alat bukti tersebut didapatkan dengan cara – cara yang melanggar hukum. Terkait dengan bukti elektronik digital evidence UU No 11 Tahun 2008 tentang Informai dan Transaksi Elektronik mengkategorikan pengambilan alat bukti tanpa dilakukan menurut cara – cara yang ditentukan oleh Undang – Undang dan dilakukan oleh otoritas yang berwenang adalah perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 30 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer danatau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer danatau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh InformasiElektronik danatau Dokumen Elektronik. 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer danatau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan Karena itu bukti percakapan dalam bentuk fotokopi yang pada dasarnya diambil dengan cara melanggar hukum serta tanpa perintah dari otoritas yang berwenang tidak dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan 31 Bahwa validasi bukti elektronik digital evidence dalam proses peradilan pidana harus dilakukan dengan memperhatikan syarat – syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat 4 yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan Bahwa berdasarkan ketentuan diatas tersebut, Pengadilan harus memperhatikan bahwa bukti elektronik dianggap sah apabila: 1 dapat diakses, 2 ditampilkan, 3 dijamin keutuhannya, dan 4 dapat dipertanggungjawabkan yang seluruhnya digunakan untuk dapat menerangkan suatu keadaan Keempat syarat tersebut adalah syarat yang bersifat kumulatif dan imperative untuk dapat mengklasifikasi apakah suatu bukti elektronik dapat dinyatakan layak sebagai alat bukti yang dihadirkan ke Pengadilan Salah satu persoalan penting dalam penerapan penghinaan pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah mengenai bukti elektronik dan validasi bukti elektronik tersebut. Dari 20 kasus tersebut, ICJR mencatat ada dua kasus yang dengan cermat mempertimbangkan soal bukti elektronik dan validasi bukti elektronik terutama terkait dengan uns ur delik setiap ora g Dalam kasus Muhammad Fajrika Firza alias Boy bin A. Ganie Mustafa yang diduga sebagai pengelola akun twitter fajriska yang dianggap telah mencemarkan nama baik dari Marwan Effendi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan soal apakah akun fajriska benar – benar dimiliki atau dikelola oleh terdakwa. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 55 mengkonfirmasi kepemilikan akun dengan melakukan eksaminasi dan memperhatikan dari seluruh keterangan saksi – saksi yang dihadirkan di persidangan. Pada pokoknya, berdasarkan keterangan saksi – saksi tersebut, seluruh saksi tidak mengetahui dan melihat apakah akun twitter tersebut benar dimiliki terdakwa Menimbang, bahwa keterangan saksi – saksi yang menyatakan bahwa dalam twitter tersebut adalah milik terdakwa oleh karena tertulis Fajriska yaitu nama terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksipun yang mengetahui bahwa akun twitter Fajriska adalah milik terdakwa; Menimbang, bahwa menurut Majelis nama pada suatu akun twitter bisa saja dibuat oleh orang lai de ga e uat a a ora g terte tu… Informasi mengenai kepemilikan seseorang terhadap akun twitter tertentu menjadi isu hukum terpenting dimana Pengadilan melakukan validasi dengan cara mencocokkan keterangan seluruh saksi yang pada umumnya hanya sekedar mengasosiasikan nama akun dengan nama seseorang. Padahal belum tentu pemilik akun sebenarnya adalah orang yang dituduhkan dan dihadirkan ke Persidangan 55 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel 32 Dalam kasus lain dimana memiliki isu hukum yang serupa di Pengadilan Negeri Makassar 56 ada perbedaan cara validasi yang digariskan oleh Pengadilan. Dalam kasus tersebut Muhammad Arsyad dihadapkan ke Pengadilan karena dituduh membuat personal status BBM yang dianggap menyerang kehormatan dari H. A Kadir Halid yang sedang mengikuti proses Pemilihan Walikota Makassar pada 2013. Dalam kasus tersebut barang bukti yang diperlihatkan adalah hasil print out personal status dengan No PIN 215A000AA, dimana hasil print out personal status BBM tersebut dibuat oleh Muh. Zulhamdi Alamsyah. Karena itu Pengadilan Negeri Makassar mempertimbangkan menggunakan dua cara validasi atas hasil print out tersebut yaitu Pertama, dengan cara menghadirkan 2 orang atau lebih yang berteman dalam contact BBM dengan No PIN orang yang dituduhkan untuk membuktikan bahwa pemilik No PIN BBM tersebut adalah benar milik orang tersebut Kedua, jika tidak ada saksi yang menerangkan maka harus dilakukan pemeriksaan melalui digital forensic oleh Ahli ITE untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan No PIN tersebut dan memastikan apakah rangkaian kata –kata yang ditulis tersebut memang benar berasal dari Ponsel dengan akun BBM dan No PIN orang yang dituduhkan itu. Bahwa untuk memastikan apakah seseorang adalah pemilik dari akun BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan, maka dapat dibuktikan dengan melalui cara yaitu menghadirkan 2 dua orang atau lebih saksi yang berteman contact BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan guna menerangkan bahwa seseorang tersebut adalah benar sebagai pemilik dari No. Pin orang yang dituduhkan tersebut serta 2 dua orang atau lebih saksi tersebut harus memperlihatkan fisik smartphone Black Berry miliknya yang berteman contect BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan tersebut ;--- Bahwa bilamana tidak dapat dibuktikan akan hal seperti keterangan 2 dua orang saksi yang berteman contact BBM dengan No. Pin orang yang dituduhkan tersebut, maka harus dilakukan melalui pemeriksaan digital forensik oleh ahli ITE untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan No. Pin. orang yang dituduhkan itu dan memastikan apakah rangkaian kata-kata yang tertulis dalam status BBM tersebut adalah berasal dari Smartphone Black Berry akun BBM dan No. Pin. orang yang dituduhkan itu Pada perkara lain yang tidak terkait dengan penggunaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Persoalan bukti elektronik terutama mengenai validasi alat bukti menjadi kunci untuk membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan pidana. Dalam perkara mengenai percakapan yang dianggap melanggar kesusilaan yang dilakukan melalui medium Facebook, Pengadilan Tinggi Bandung 57 menempatkan perhatian khusus atas validasi bukti elektronik yang dihadirkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat 4 jo Pasal 6 UU ITE. Bahwa Majelis Pengadilan Tinggi memperhatikan tentang Validasi bukti Percakapan dalam Facebook antara Terdakwa dengan Nugraha Mursyid, karena yang dijadikan bukti adalah foto 56 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Makassar No 390Pid.B 2014PN. Mks 57 Lihat Putusan No 178Pid.Sus-ITE2015PT.Bdg 33 kopy dari dokumen pengalihwujudan percakapan elektronik menjadi tercetak dan digandakan oleh saksi Harry Budiman atas perintah saksi pelapor H.Haska Etika; Bahwa oleh karena bukti berupa foto kopy dokumen elektronik yang print outnya diserahkan oleh saksi pelapor kepada penyidik tanpa disertai dengan aslinya, oleh karenanya haruslah dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat yang sebagaimana diketentuan pasal 6 UU ITE. Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam pasal 5 ayat 4 yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik danatau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, validasi bukti elektronik yang menjadi pangkal persoalan utama dalam sebuah kasus penghinaan melaui medium internet menjadi sangat penting untuk dicermati dengan baik.

5.3. Mengenai Alasan Pembenar