Ekologi Helicoverpa armigera (HUBNER) (Lepidoptera : Noctuidae) pada Pertanaman Tomat

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomat, Lycopersicon esculentum Mill., merupakan salah satu tanaman
sayuran penting di Indonesia. Pada saat ini rataan produksi tomat per hektar
adalah 5,33 tonlha (Tabel Lampiran 1. I), masih jauh lebih rendah dibanding
dengan potensi produksinya yang dapat mencapai 25 tonlha (Sahat 1992).
Rendahnya produksi tersebut antara lain karena serangan hama Helicoverpa

armigera (Hiibner) (Lepidoptera : ~octuidbe)(Setiawati et al. 1993).
Helicoverpa spp. (Lepidoptera : Noctuidae) merupakan harna utama tanaman
tomat di berbagai negara (Goncalves et al. 1989; Kennedy et al. 1983; Lange &
Bronson 1981; Martin et al. 1990; Ogunwolu 1989; Walgenbach et al. 1989;
Walgenbach et al. 1991; Walgenbach & Ester 1992). Larva menimbulkan
kerusakan dengan cara menggerek ke dalam buah. Serangan berat dilaporkan
terjadi pada musim kemarau dengan kerusakan buah mencapai 80 % (Uhan &
Suriaatrnadja 1993).
Pada saat ini, pengendalian yang biasa dilakukan petani adalah aplikasi insektisida secara berjadwal, dengan frekuensi dan dosis melebihi yang direkomendasikan (Uhan & Suriaatmadja 1993). Praktek pengendalian seperti itu selain mahal
juga dapat menimbulkan hal-ha1 yang tidak diinginkan seperti resistensi dan
riserjensi hama, pencemaran lingkungan, serta residu insektisida pada buah
tomat.

Ketergantungan petani pada insektisida dalam pengendalian ulat buah tomat
antara lain karena teknik pengendalian alternatif yang tepat dan rasional belum
tersedia. Teknik pengendalian yang tepat dan rasional adalah pengendalian yang

2

efektif dan efisien tanpa menimbulkan dampak negatif. Teknik pengendalian
tersebut dapat diwujudkan melalui penerapan konsepsi pengendalian hama terpadu
(PHT). Karena PHT pada dasarnya adalah ekologi terapan, maka pengembangan
PHT memerlukan pemahaman ekologi dari hama sasaran. Dengan pemahaman
itu, titik-titik lemah kehidupan hama dan komponen-komponen lingkungan yang
berpengaruh terhadap perkembangan hama dapat diketahui dan dapat dimanipulasi
untuk pengendalian populasinya.
Informasi ekologi H. armigera pada ekosistem tanaman tomat di Indonesia
belum banyak diketahui. Kepustakaan yhng berkaitan dengan ulat buah tomat
pada umumnya terbatas pada pengujian aplikasi insektisida (Setiawati et al. 1993;
Uhan & Suriaatmadja 1993). Dengan latar belakang hal-ha1 yang diuraikan di
atas maka penelitian ini dilakukan untuk memahami ekologi H. armigera pada
pertanaman tomat.
Pemahaman ekologi H. armigera mancakup pengkajian terhadap perkembangan populasinya dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan populasi hama
meliputi tanaman sebagai sumber daya, faktor abiotik seperti curah hujan, suhu,
cahaya, dan kelembaban, dan faktor biotik yang meliputi predator, parasitoid, dan
patogen (Clark et al. 1967). Hubungan antara faktor-faktor tersebut dicantumkan pada Gambar 1.1.
Untuk menerapkan konsepsi PHT secara mantap diperluhan pengetahuan yang
menyeluruh dari semua faktor tersebut, baik masing-masing faktor maupun interaksinya. Untuk mewujudkan ha1 itu perlu dilakukan penelitian secara bertahap
dalarn jangka waktu yang relatif lama. Mengingat keterbatasan waktu yang tersedia, maka lingkup penelitian ini difokuskan pada tanaman, parasitoid dan preda-

3

tor yang memegang peranan kunci dalam mempengaruhi perubahan kelimpahan
populasi.

Persebaran

Gambar 1.1. Hubungan Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Populasi H. amzigera.
Tanaman tomat merupakan sumber daya makanan dan ruang bergerak dan
berlindung bagi H. armigera. Oleh karena itu, kelimpahaq populasi hama tergantung dari kesesuaian antara fenologi hama dengan tanaman inang skbagai sumber
daya. Ngengat H. armigera mengin~asi~dan
meletakkan telur karena tertarik

pada aroma kimia (chemical odour) atau warna dari tanaman tomat. Bunga
diduga merupakan bagian tanaman yang mengeluarkan aroma kimia danlatau
warna yang dapat menarik ngengat untuk meletakkan telur pada tanaman tomat.

4

Karena kelimpahan bunga selama pertumbuhan tanaman bervariasi, maka ha1 itu
akan berpengaruh pada peletakan telur. Selain itu keberhasilan bertahan hidup
larva yang muncul dari telur tergantung pada ketersediaan buah sebagai makanannya. Informasi tentang hubungan antara peletakan telur dengan pembungaan
tanaman tomat belum tersedia. Di samping itu perkembangan populasi H.
armigera dan kaitannya dengan kerusakan buah masih perlu diteliti.
Pemantauan populasi inerupakan komponen penting dari PHT. Oleh karena
itu hal-ha1 yang berhubungan dengan pemantauan seperti pola persebaran perlu
juga dipahami. Pemahaman pola persebaran diperlukan untuk menentukan
metode penarikan contoh yang tepat, baik untuk pengambilan keputusan pengendalian maupun untuk pendugaan populasi.
Musuh alami merupakan faktor biotik yang sangat besar peranannya dalam
menentukan kelimpahan dan keseimbangan populasi. Pada ekosistem tanaman
tomat di Indonesia, jenis-jenis musuh alami H. armigera belum banyak diketahui.
Dengan demikian, penelitian ini juga mencakup pemahaman musuh alami H.
armigera, dengan penekanan pada parasitoid dan predator.


Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk memahami ekologi H. amigera, yang meliputi:

(1) hubungan antara peletakan telur dengan pembungaan tanaman tomat; (2)
perkembangan populasi telur dan larva H. armigera pada pertanaman tomat; (3)
pola persebaran spasial telur dan larva dan pengembangan metode penarikan
contoh beruntun; serta (4) studi musuh alami H. armigera pada pertanaman
toinat, dan pemanfaatannya dalam pengendalian H. armigera.

Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, diharapkan informasi yang diperoleh dalam
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menentukan saat dan metode penarikan
contoh yang tepat (tujuan 1 dan 3). Hasil penelitian juga bermanfaat dalam
mewaspadai atau memperkirakan kehilangan hasil yang mungkin terjadi (tujuan
2), serta memanfaatkan musuh alami sebagai upaya pengendalian yang rasional
dan efektif dalarn rangka mengurangi ketergantungan terhadap aplikasi insektisida
I

(tujuan 4 dan 5).

Daftar Pustaka

Clark, L.R., P. W. Geiler, R.D Hughes, & R.F. Morris. 1967. The Ecology of
Insect Population in Theory and Practice. Methuen & Co. Ltd., London.
232 hal.
Goncalves, M., F. Martin, A.M.P. Lavadinho & J.B. Sobreiro. 1989. Infestation levels of Heliothis armigera in tomato in Portugal. Bull. SROP. 13(3)
: 100-103.
Kennedy, G.G., L.R. Romanow, S.F. Jenkins & D.C. Sanders. 1983. Insect and
diseases damaging tomato fruits in the Coastal Plain of North Carolina. J.
Econ. Entomol. 76: 168-173.
Lange, W. H. & L. Bronson. 1981. Insect pests of tomatoes. Annu. Rev. Entomol. 26: 345-371.
Martins, F., A.M.P. Goncalves, & J.B. Sobreiro. 1990. Extent of the attack of
Heliothis armigera in tomatoes for industrial processing. Act de Horticultura: 154-159.
Ogunwolu, E.O. 1989. Effects & insecticidal suppression of damage by Heliothis
armigera (Hbn) om rain-fed tomatg in Nigeria. Trop. Pest Management.
35(4) :406-409.

Sahat, S. 1992. Results of highland vegetable research. Dalam Permadi, A.H. ;
Sahat, S.; Sastrosiswojo, S . ; & Bahar, F.A. (ed). Proceedings of the
National Vegetable Workshop : Evaluation and Planning of Vegetable

Research and Development in the Indonesian Vegetable Production and
Industry. Hal. 43-59.
Setiawati, W., Rustaman, E . , Soeriaatmadja & Duskarno. 1993. Effektivitas
feromonoid seks dan ambang kendali terhadap serangan Helicoverpa
armigera (Hbn) pada tanaman tomat. Bul. Penel. Hort. 25 (3) : 121-127.

Uhan, T.S. & R. E. Suriaatmadja. 1993. Pengendalian ulat buah tomat (Heliothis
armigera Hiibn) dengan insektisida organophosphat dan pirethroid buatan.
Bul. Penel. Hort. 25 (4): 29-34.
Walgenbach, J.E. & E.A. Ester. 1992. Economics of insecticide use on staked
tomatoes in Western North Carolina, J. Econ. Entomol. 85(3) : 888-894.
Walgenbach, J.F., R.B. Leidy & T.J. Sheets. 1991. Persistence of insecticides
on tomato foliage and implications for control of tomato fruitworm
(Lepidoptera : Noctuidae). J. Econ. Entomol. 84(3): 978-986.
Walgenbach, J.F., P.B. Shoemaker & K. A. Soremen. 1989. Timing pesticide
applications for control of Heliothis zea (Boddie) (Lepidoptera : Noctuidae), Alternaria solani (Ell. and G . Martin) Sor., and Phytophthora infestans (Mont.) De Bary, on tomatoes in Western North Carolina. J. Agric.
Entomol. 6: 159-168.

Tabel Lampiran 1.1. Luas Panen dan Produktivitas Tomat di Indonesia
(1990 - 1994).

--

Tahun

Luas Panen (ha)

Produksi (toniha)

Jumlah

227.784

26,657

Sumber : Survei Pertanian : Produksi Sayur-sayuran
1990 - 1994, Biro Pusat Statistik.

BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA


Genus Heliothis merupakan kompleks serangga kosmopolit yang bersifat
polifag (Mitter, Poole & Mathew 1993). Hardwick (1965) mengkaji kompleks

Heliothis di Amerika Utara berdasarkan metode filogenetik. Ia menyimpulkan
bahwa di antara kompleks Heliothis itu terdapat kelompok yang memiliki karakter
yang unik. Hardwick (1965) mengusulkan genus Helicoverpa untuk kelompok

Heliothis yang disebutkan terakhir ini, sedangkan sisanya tetap digolongkan dalam
genus Heliothis, kecuali Heliothis virescens. Analisis filogenetik dan morfologi
lebih lanjut membuktikan bahwa genus Helicoverpa terdiri dari beberapa kelompok (Mitter et al. 1993) seperti tertera pada Gambar 2.1. Kelompok gelotopoeon
merupakan kelompok primitif, sedangkan kelompok armigera yang meliputi

Helicoverpa armigera dan Helicoverpa helenae adalah kelompok mutakhir
(Garnbar 2.1).
Morfologi Larva dan Imago
Hingga kini, larva spesies Helicoverpa belum dapat dibedakan dengan jelas.
Meskipun demikian, untuk kepentingan praktis, beberapa penulis mempelajari
morfologi larva untuk membedakan spesies. Misalnya Kirkpatrick (1961)
mencoba menyusun kunci untuk memisahkan empat spesies Helicoverpa yang
ada di Australia yaitJ H. armigera, H. punctigera, H. rubrescens dan H. assulta

berdasarkan ciri-ciri larva. Brown & Cantrell (1978) menyatakan bahwa larva H.

armigera dan H. punctigera mempunyai ciri-ciri yang sama. Stanley (1978)
membedakan larva instar lanjut H. armigera dan H. punctigera, berdasarkan

9

bentuk sklerit pada bagian dorsal dari ruas abdomen I dan berdasarkan warna
tungkai.

[AUS TRALO THIS ]
HELICOVERPA :
Kelompok Gelotopoeon
gelotopoeon
titicacae
I
bracteae
I
atacamae
-I

Kelompok Puntigera :
I
7
puntigera
LI
Kelompok Hawaiiensis

Persebaran :
Indo-Australia

4

Amerika Selatan
Argentina, Paraguay
Peru
Chili, Peru

,

Australia


I

--

I

I I
I I

4
I

C pallid'!
ha wallensis

I

Hawai Barat
Hawai Timur

Kelompok Zea
minuta
assulta
-fletcheri
pacifica
prepodes
tibetensis
toddi
con fusa

LI

Madagascar, Afrika Timur
Hawai Timur
Amerika Utara dan Selatan

Kelompok Armigera :

;-armigera
L

Hawai Barat
Afrika, Asia, Indo-Australia
Afrika
Hawai Timur
Australia
Ti bet

helenae

Eropa, Asia dan Afrika
Kepulauan Helena

Garnbar 2.1. Dugaan Hubungan Filogenetik spesies Helicovelpa (Mitter et
al. 1993) (- - - - - Berarti Hubungan Filogenetik Masih Belum
Pasti).
Pada H. arrnigera sklerit dorsal ruas I abdomen berbentuk pelana dan tungkainya
berwarna gelap, sedangkan pada H. punctigera tidak terdapat pelana pada ruas I
abdomen dan tungkainya berwarna pucat. Daly & Gregg (1985) menyatakan
bahwa metode Stanley tersebut belum dapat digunakan secara umum. Hal itu
menunjukkan bahwa ciri morfologi larva tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk

membedakan spesies Helicoverpa.
Imago H. armigera dan H. punctigera dapat dibedakan dengan jelas berdasarkan adanya garis melintang pada sayap depan. Pada H. armigera garis melintang
pada sayap depan sangat jelas, sedangkan pada H. punctigera tidak begitu jelas.

Biologi
Telur
Telur Helicoverpa spp. pada umumnya berbentuk bulat dengan diameter
I

kurang lebih 0,5 mm. Pada waktu diletakkan telur adalah bening (Setiawati
1991; Zalucki et al. 1986), kemudian berangsur-angsur berubah menjadi kekuningan, dan menjelang menetas berbintik hitam. Lama stadia telur tergantung
dari suhu. Setiawati (1991) melaporkan bahwa di Lembang pada kondisi laboratorium dengan suhu 18" - 28"C, telur H. armigera menetas dalam waktu 10
sampai 18 hari setelah diletakkan. Pada suhu yang lebih tinggi, stadia telur
berlangsung lebih singkat. Elna (1988) melaporkan bahwa di Bogor pada suhu
rata-rata 27"C, telur menetas antara tiga dan empat hari setelah diletakkan.

Perkembangan Larva
Lama perkembangan larva bervariasi tergantung antara lain dari jenis
tanaman inang. Goyal & Rathore (1988) melaporkan bahwa terdapat variasi lama
stadia perkembangan dan indeks pertumbuhan pada berbagai tanaman inang.
Pada tanaman kapas dan tomat perkembangan lebih cepat dan indeks pertumbuhan
lebih tinggi dibanding dengan pada tanarnan lain. Elna (1988) melaporkan bahwa
larva H. armigera yang dipelihara pada tanaman kapas terdiri dari enam instar,
dengan stadia perkembangan 25,l hari. Setiawati (1991) melaporkan bahwa larva

11

H. armigera yang dipelihara pada kacang buncis segar terdiri dari lima instar.
Singh & Rembold (1988) melaporkan bahwa larva yang dipelihara pada makanan
buatan dari bahan kacang buncis dan kedelai terdiri dari lima instar, sedangkan
dari bahan jagung enam instar.
Suhu juga mempengaruhi lama perkembangan. Di Australia pada suhu 16" 18"C, H. armigera membutuhkan waktu 73 hari untuk berkembang dari telur
menjadi dewasa, sedangkan pada suhu 28°C pada musim panas memerlukan
waktu 34 hari (Zalucki et al. 1986). Di Lembang pada suhu 18"-26"C, lama
f

perkembangan H. armigera mulai dari telur sampai ngengat mati adalah 52 - 82
hari (Setiawati 1991).

Pupa
Pupa yang baru terbentuk berwarna kekuningan, kemudian berubah menjadi
kuning-kecoklatan dan menjelang imago keluar berwarna coklat tua. Lama stadia
pupa bervariasi antara 15 dan 21 hari. Bentuk pupa betina dapat dibedakan dari
jantan. Pada ruas terakhir abdomen pupa betina terdapat celah yang berbentuk
segi tiga, sedangkan pada jantan terdapat celah yang bentuknya membulat (Setiawati 1991).

Imago
Ngengat biasanya muncul dan aktif pada malam hari. Ngengat betina H.

punctigera berkopulasi dalam waktu satu sampai dua hari setelah muncul dari
kepompong, dan dapat berkopulasi hingga enam kali selama hidupnya, serta
menghasilkan telur rata-rata 1395 dan 1437 masing-masing pada suhu 19" dan
24°C (Zalucki et al. 1986). Lama hidup ngengat H. armigera di laboratorium
berkisar antara 11 - 14 hari, dan seekor betina dapat meletakkan telur rata-rata

4 16 butir (Setiawati 1991).
Berdasarkan hasil pemantauan dengan lampu perangkap, Persson (1976)
melaporkan bahwa ngengat H. punctigera lebih banyak tertangkap sebelum tengah
malam, sedangkan H. armigera setelah tengah malam. Persson (1976) menyatakan bahwa puncak aktivitas betina berkaitan dengan puncak peletakan telur.
Aktivitas peletakan telur Helicoverpa spp. umumnya berhubungan dengan
pembungaan dan produksi nektar (Adjei-Maafo & Wilson 1983; Wardhaugh,
Room & Greenup 1980; Wilson, Basinski & Thomson 1972; Wilson 1976).
7

Pada kedelai, kapas dan tembakau, ngengat betina mulai meletakkan telur
menjelang pembungaan (Broadley 1978; Wardhaugh et al. 1980; ).
Zalucki et al. (1986) menyatakan bahwa ngengat betina meletakkan telur satu
per satu pada berbagai bagian tanaman seperti daun, kuncup tunas, bunga, buah
dan batang. Saour & Causse (1993) mengadakan penelitian tentang perilaku
peletakan telur oleh H. armigera pada tanaman tomat. Kedua peneliti ini melaporkan bahwa daun paling disukai untuk peletakan telur terutama yang letaknya
dekat tandan bunga dan buah. Sebagian telur diletakkan pada bunga, kuncup
bunga, batang, dan buah.

Helicoverpa spp. sebagai Hama Tanaman
Status serangga fitofag dapat digolongkan ke dalam salah satu dari empat
kelompok hama, tergantung dari posisi keseimbangan umum (PKU) relatif terhadap posisi tingkat kerusakan ekonomi (TKE) (Stern et al. 1959). Keempat
kelompok tersebut adalah : 1) serangga yang TKE-nya jauh di atas posisi PKUnya, sehingga serangga tersebut tidak pernah menimbulkan kerugian secara
ekonomis; 2) serangga yang populasinya kadang-kadang mencapai TKE, yamg

13

disebut dengan harna kadang-kadang (occasinal pest); 3) serangga yang TKE-nya
sedikit lebih tingg i dar i PKU, sehingga setiap kali populasinya meningkat mencapai TKE, dan serangga demikian tergolong dalam hama tahunan (perennial
pest); dan 4) serangga yang TKE-nya di bawah PKU, sehingga merupakan hama
sepanjang musim, dan oleh karena itu disebut sebagai hama utarna (severe pest).
Status Helicoverpa spp. sebagai hama tergantung dari jenis tanaman yang
diserangnya. H. zea yang menyerang alfalfa, populasinya tidak pernah mencapai
TKE, sedangkan jika menyerang kapas, H. zea termasuk hama tahunan, serta
t

bila menyerang jagung manis H. zea termasuk hama penting (Luckmann &
Metcalf, 1982).

Pertumbuhan Tanaman Tomat dan Peletakan Telur
Pertumbuhan Tanaman Tomat
Sifat pertumbuhan tanaman tomat dapat digolongkan ke dalam determinate,
indeterminate, dan semi determinate. Pada tomat yang determinate, pertumbuhan
vegetatif berhenti bila telah terjadi pertumbuhan generatif atau telah berbunga,
sedangkan pada indeterminate, pertumbuhan vegetatif berlangsung terus meskipun
tanaman telah berbunga.
Varietas Taiwan tergolong tipe indeterminate, dan merupakan varietas impor
yang banyak ditanam oleh petani di dataran tinggi. Saat ini varietas Taiwan (TW)
yang dijumpai di pasar terdiri dari beberapa nomor seri, yaitu TW 303, TW 305,

TW 375. Varietas yang disebut terakhir lkbih disukai oleh petani tomat di Desa
Tugu, karena pertumbuhannya lebat, bunga dan buahnya banyak, dan produksinya tinggi.
Pada varietas tomat yang determinate, umur berbunga dan banyaknya bunga

-

14

per tandan cukup beragam (Budi, Anggara & Etti 1986). Mereka melaporkan
bahwa tanaman mulai berbunga pada umur antara 45 hingga 60 hari setelah tanam
(hst), dengan dua hingga enam bunga per tandan. Untuk varietas Taiwan yang
pertumbuhannya bersifat indeterminate umumnya mulai berbunga pada umur 37
-

hst (Etti & Ali 1990), dan khusus varietas Taiwan nomor seri 305 (TW 305)
inulai berbunga pada umur 30 hst (Etti et al. 1990). Pada pengarnatan pendahuluan oleh penulis (tidak dipublikasikan) pada musim tanam akhir November 1994,
varietas TW 375 mulai berbunga pada umur antara 23 hingga 25 hst, dengan 4 i

12 bunga per tandan.

Perilaku Peletakan Telur
Peletakan telur merupakan salah satu tahapan dari proses kolonisasi. Renwick
& Chew (1994) menyatakan bahwa proses peletakan telur menyangkut perilaku

pencarian, orientasi, penemuan, turunlhinggap, evaluasi permukaan, dan penerimaan inang . Perilaku pencarian, orientasi hingga penemuan tanaman inang ,
biasanya dituntun oleh adanya senyawa volatil dari tanaman, seperti dilaporkan
untuk Trichoplusia ni dan Plutella maculipennis (Khan et al. 1987; Gupta &
Thorsteinson 1960). Liu et al. (1988) melaporkan bahwa 4-hexen- 1-01 acetat,
2-2-dimethyl hexanal, dan 2-hexenal merupakan senyawa yang berkaitan dengan
peletakan telur oleh T. ni.
llnggap ngengat terhadap senyawa volatil juga dapat berkaitan dengan upaya
mencari sumber nektar. Phenylacetaldehyde, benzaldehyde dan benzyl acetat
pada bunga Abelia grandiflora dan bungsmelati (jasmine) dilaporkan memikat
ngengat T. ni (Haynes et al. 1991; Heath et al. 1992). Wiesenborn & Baker
(1990) menyatakan bahwa Pectinophora gossypiella tanggap terhadap senyawa
volatil dari bunga tanaman kapas. Indera mekanik dan kimia yang terdapat pada

15

tarsi, antena, probosis, dan ovipositor sangat berperan dalam menentukan kesesuaian inang (Renwick & Chew 1994). Tekstur permukaan tanaman berkaitan
dengan pemilihan tempat peletakan telur yang sesuai. Permukaan tanarnan yang
berambut dan kasar sesuai untuk peletakan telur, karena ngengat dapat berpijak
dengan baik dan telur tidak mudah terlepas (Renwick & Chew 1994; Callahan.
1957). Hal yang sama dilaporkan pula untuk H. armigera dan H . puntigera
(Cullen 1969; Hassan 1985).

Pola Persebaran
Persebaran hama dalam habitatnya merupakan fenomena ekologi yang khas
untuk setiap spesies (Taylor 1984), yang dapat mengikuti pola acak, mengelompok, atau beraturan. Pola persebaran merupakan cerminan interaksi antara perilaku dan keragaman lingkungan, khususnya tanaman inang sebagai sumber daya
makanan dan ruang (Southwood 1978; Iwao 1979).
Persebaran serangga pada umumnya tidak mengikuti pola acak (Taylor 1984).
Populasi serangga sebagai mahluk hidup mempunyai saling ketergantungan
antara satu dengan yang lain. Serangga dari golongan Lepidoptera dalam siklus
hidupnya mempunyai lebih dari satu fase perkembangan yang berbeda. Telur
dan larva merupakan fase perkembangan yang relatif kurang aktif, dan persebarannya sangat ditentukan oleh ngengat betina yang aktif mencari dan mendapatkan inang yang sesuai' (Renwick & Chew 1994). Perilaku ngengat meletakkan
telur beragam. Ada yang meletakkan telu; satu per satu atau berkelompok, dan
peletakan telur umumnya terbatas pada tanaman tertentu yang sudah berbunga
(Southwood 1978). Price (1986) menjelaskan pengaruh kondisi tanaman inang
terhadap pemencaran serangga herbivora dengan mengambil contoh tanaman

16

Pastinaca sativa (parsnip) yang diserang oleh ulat lamat (webworm). Pada
tanaman yang sedikit menghasilkan bunga ditemukan sedikit ulat, sedangkan
pada yang banyak menghasilkan bunga ditemukan banyak ulat. Interaksi perilaku
serangga dengan kondisi tanaman inang seperti yang disebutkan itu menentukan
pola persebaran. Selain sumber daya, kerapatan populasi juga turut menentukan
persebaran. Misalnya pada kerapatan populasi rendah, persebaran populasi
mungkin mengikuti pola acak (Taylor 1984). Tetapi dengan meningkatnya kerapatan, persebaran berubah menjadi mengelompok. Di samping itu, perilaku
kanibalisme juga dapat mempengaruhi pola persebaran. Kanibalisme biasanya
terjadi jika sumber daya makanan terbatas. Pada serangga yang bersifat kanibal,
persebaran populasinya cenderung mengikuti pola acak atau teratur.

.

Musuh Alamai Helicoverpa spp.
Kerapatan populasi hama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat
ke tempat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah musuh
alami, yang meliputi parasitoid, predator, dan patogen.

Parasitoid
Parasitoid merupakan unsur pengendali populasi hama yang umumnya bersifat
spesifik, sehingga dapat menekan populasi inangnya pada tingkat yang lebih
rendah. Sifat itulah yang menyebabkan parasitoid lebih sering digunakan dalam
pengendalian hayati dibanding dengan serangga predator (Price 1975).
Telur dan larva Helicoverpa spp. dapat diparasit oleh berbagai jenis parasitoid. Pada masing-masing tanaman inang , jenis parasitoid serta tingkat parasitisasinya dapat berbeda-beda. Hal itu terjadi mungkin karena parasitoid dalam proses

'

17

mendapatkan serangga inang pada umumnya melalui beberapa tahapan. Menurut
Doutt (1973) tahap-tahap tersebut adalah 1) penemuan habitat serangga inang, 2)
penemuan serangga inang, 3) penerimaan inang dan 4) kesesuaian inang. Dalam
proses tersebut tanaman inang memegang peranan penting sebagai habitat

- serangga inang. Dout (1973) menjelaskan lebih jauh bahwa pada tanaman yang
rnenghas ilkan madu atau nektar, betina parasitoid akan tertarik pada tanaman
tersebut walaupun tidak ada serangga inangnya. Hasil percobaan Sathe (1990)
memperlihatkan bahwa betina parasitoid Eriborus argenteopilosus awalnya tertarik oleh daun tanaman inang dan kemuditm aktif melakukan pencarian serangga
inang. Faktor-faktor tanaman seperti adanya eksudat yang bersifat lengket pada
permukaan daun tanaman, adanya rambut yang banyak pada permukaan tanaman,
dan mekanisme antibiosis oleh tanaman merupakan ha1 yang dapat menjelaskan
mengapa komunitas parasitoid dan tingkat parasitisasinya dapat berbeda-beda
(Nyambo, 1990).
Studi parasitoid Helicoverpa spp. telah banyak dilakukan di berbagai negara
pada berbagai komoditi. Di Virginia (Arnerika Serikat), H. zea yang menyerang
tanaman kedelai diparasit oleh Microplitis croceipes (Cresson) (Hymenoptera :
Braconidae). Parasitoid tersebut merupakan parasitoid larva instar I11 dan IV
dengan tingkat parasitisasi 93 hingga 98 %. Parasitoid larva yang kurang penting
adalah Cotesia marginiventris (Cresson) (Hymenoptera : Braconidae), Compoletis

flavicincta (Ashmead) (Hymenoptera : Ichneumonidae), Architas marmoratus
(Townsend) (Diptera : Tachinidae), dan Lespesia aletiae (Riley) (Diptera : Tachinidae) (Zehnder et al. 1990). Nyambo (3 990) memberikan daftar secara rinci
parasitoid larva H. armigera pada beberapa tanaman inang di Tanzania (Tabel
2. l), dan Zalucki et al. (1986) menyusun daftar parasitoid Helicovelpa spp. yang
ada di berbagai belahan bumi.

Tabel 2.1. Parasitoid Larva H. armigera pada Beberapa Tanaman Inang Di
Tanzania. (Nyambo 1990).
Jenis parasitoid

Tanarnan inang

Hymenoptera
Braconidae
Cardiochiles spp.
Apanteles sp.
Chelonus sp.
Meteorus sp.
Ichneumonidae
Charops sp.
Netalia sp.
Pristomerus sp .
Emelucha sp.
Diptera
Tachinidae
Paradrimo halli (Curr)
Palexorista laxa (Curr)

C1, t, ch, k, s, j.
C1, t, k, s, j.
C1, ch, k, s, j.
C1, k.
C1, t, ch, k, s, j.
CL, t, k, s, j.
C1, t, k, s, j.
C1.
C1, j, s, k, ch, t.
.C1, j, s, k, ch, t.

Keterangan : C1 = Cleome sp., t = tomat, ch = chickpea,
k = kapas, s = sorghum, j = jagung.
Di Indonesia larva H. armigera pada tanaman kapas diparasit oleh sejumlah
parasitoid yang selengkapnya tercantum pada Tabel 2.2 (Nurindah & Bindra
1988).

Trichogramma spp. merupakan parasitoid telur Helicoverpa. Parasitoid
penting dari telur H. zea di Amerika Serikat adalah T. exiguum, T. semifunctum,
T. pretiosum dengan tingkat parasitisasi 46 - 100 % (Graham 1970; Hoffmann et

al. 1990; Oatman & Platner 1971, 1978). Di Portugal telur H. armigera pada
pertanaman tomat diparasit oleh T. rhenana Voegele & Rum dan Telenomus spp.
*

(Meierrose & Araujo 1986; Meierrose, Silva & Araujo 1991). Di India (Hunachal Paradesh) selain T. exiguum, parasitoid telur H. armigera adalah T. bra-

silience, T. chilonis , T. perkinsi dan T. minutum (Kakar, Sharma & Dogra

1990), sedangkan di Australia adalah T. australicum Girauet dan T. ivelae Pang
& Chen (Zalucki et al. 1986). Di Indonesia telur H. armigera pada tanaman

kapas diparasit oleh Trichograrnma australicum, T. chilonis, T. chilotraea, T.

japonicum, T. minutum, Trichogrammatoidea armigera, T. guanensis, dan T.
nana (Nurindah & Bindra 1988).
Tabel 2.2. Parasitoid Larva H. armigera pada Tanaman Kapas Di Indonesia
(Nurindah & Bindra 1988)
Ordo

Farnili

Hymenoptera

Braconidae

Diptera

Spesies

Apanteles sp.
Chelonus sp.
Microgaster demolitor
Ichneumonidae Diadegma sp.
Enicospilus sp.
Eriborus argenteopilosus
Sphecidae
Ammophila insolita
Vespidae
Antepipona sp .
Carcelia kockiana
~achinidae*
Carcelia sp.
Compsilura concinnata
Exorista sp.

* oleh Nurindah & Bindra (1988) digolongkan dalam

famili Sarcophagidae.

Predator
Selain parasitoid, predator mempakan faktor mortalitas yang mempengaruhi
perkembangan populasi hama. Berdasarkan pengamatan Nyambo (1990) di
Tanzania, predator H. armigera meliputi Chrysopa sp., semut, Coccinella sp. ,
larva Syrphidae, dan belalang Mantidae. ' Larva Chrysopa memangsa telur dan
larva instar awal, dan semut memangsa semua instar larva (Reed 1965).
Nurindah & Bindra (1988) melaporkan bahwa H. armigera pada tanaman kapas
di Indonesia dimangsa oleh sejumlah predator (Tabel 2.3).

Tabel 2.3. Predator H. armigera pada Tanaman Kapas di Indonesia .
(Nurindah & Bindra 1988).
Inang

Jenis Predator
-

Ordo
Telur

Coleoptera

Hemiptera

Neuroptera
Larva

Coleoptera
Dermaptera
Hemiptera

Famili

Spesies

Coccinella repanda
Menochilus sexmaculatus
Scyrnnus roepkei
Verania discolor
V lineata
Nitidulidae
, Cybocephalus sp.
Staphylinidae
Paederus fasciatus
Anthocoridae Orius tantillus
Lygaeidae
Geocoris sp.
Germalus sobrinus
Miridae
Compylomma diversicomis
Deraeocoris indianus
Chrysopidae
Chrysopa sp.
Hemerobiidae Micromussp.
Staphylinidae
Paederus fasciatus
Carcinophoridae Euborielia annulipes
Forficulidae
Exypnus pulchripennis
Anthocoridae Orius tantillus
Lygaeidae
Geocoris sp.
Miridae
Cryptopeltis sp .
Deraecoris indianus
Pentatomidae
Eocanthecona furcellata
E. rufescens
Reduviidae
Rhinocoris fuscipes
Rhinocoris sp .

Coccinellidae

Patogen
Sejumlah patogen yang ditemukan menginfeksi larva Helicoverpa spp. antara
lain NPV dan bakteri (Nyambo 1990). Zalucki et al. (1986) menyatakan bahwa
cendawan (Beauveria bassiana dan Nomu+aea rileyi), protozoa (Noserna heliothidis) , dan nematoda {Heterorhabditis bacteriophora) merupakan patogen yang
dapat menyebabkan kematian pada larva Helicoverpa. Di Indonesia .larva H.
annigera diserang oleh NPV dan jarnur Metarrhizium (Kalshoven 1981; Nurindah
& Bindra 1988).

Pemanfaatan Parasitoid Telur
Pengendalian hayati merupakan inti dari pengendalian hama terpadu, dan
umumnya dilakukan dengan menggunakan parasitoid. Berdasarkan kepustakaan
..

yang ada, parasitoid telur telah banyak diteliti untuk pengendalian hama (Smith
1996). Pengendalian pada fase telur lebih baik karena telur belum menyebabkan
kerusakan.
Keberhasilan pengendalian hayati dengan parasitoid telur tergantung dari
beberapa faktor, di antaranya adalah spesjles yang digunakan, kualitas dan cara
pembiakan massal (Smith 1996). Pemilihan spesies yang baik untuk pelepasan
merupakan faktor yang paling penting karena spesies tertentu hanya dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim, habitat dan inang tertentu. Hassan (1994)
menyatakan bahwa spesies lokal lebih baik digunakan karena spesies tersebut
sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Oleh karena itu, sebelum
pelepasan perlu dilakukan inventarisasi spesies parasitoid (Wajnberg 1994).
Kualitas parasitoid perlu mendapat perhatian berkaitan dengan keberhasilan
program pelepasan. Smith (1996) menyatakan bahwa parasitoid yang berkualitas
baik adalah yang mempunyai keperidian tinggi, lama hidup imago panjang,
persentase keturunan betina lebih banyak, preferensi yang tingg i, kemampuan
mencari inang yang baik, dan toleransi yang tinggi terhadap cuaca setempat.
Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mencirikan kualitas adalah
ukuran tubuh, yang ditunjukkan oleh panjang tibia tungkai belakang dan panjang
sayap. Kedua parameter tersebut dilaporkan berkorelasi positif dengan
keperidian, lama hidup, kemampuan mencari inang dan daya pencar (Bai et al.
1995; Bigler 1994).

22

Dalam pembiakan massal parasitoid, perhatian umumnya lebih banyak ditujukan pada mudahnya pelaksanaan pembiakan agar diperoleh parasitoid dalam
jumlah besar, dan kurang memperhatikan kualitas parasitoid yang dihasilkan.
Oleh karena itu, tidak jarang hasil pelepasan parasitoid tidak memuaskan (Smith
1996).
Upaya perbanyakan massal parasitoid telur umumnya menggunakan telur
Sitotroga cerealella, Ephestia kuehniella dan Corcyra cephalonica (Flanders
1930). Namun hasil penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan telur inang yang berukuran lebih besar, seperti telur ulat sutera
(silkworm) dan Ostrinia nubilalis, dapat dihasilkan parasitoid yang lebih besar
dan persentase betina y.ang lebih banyak (Burbutis & Koepke 1981; Li 1982).
Di Amerika Serikat, parasitoid telur Tnchogramma telah dimanfaatkan dalam
program PHT H. zea (Oatman & Platner 1971, 1978; Oatman et al. 1983). Di
Indonesia, pelepasan Trichogramma sebagai pengendali hayati H. armigera
pernah dilakukan pada pertanaman kapas (Nurindah 1989). Dari pengalaman di
luar negeri, hasil pelepasan Tnchogramrna dalarn menekan hama sangat beragam.
Oatman & Platner (1 97 1) melaporkan bahwa pelepasan 32.800 T.
pretiosumlminggu/0,4 ha, menghasilkan rataan parasitisasi 55,7 % , sedangkan
dengan pelepasan 40.200 parasitoid/minggu/0,4 ha parasitisasi meningkat menjadi
8 1,2 % . Penelitian lain menunjukkan dengan pelepasan 200.000 parasitoid/0,4
ha diperoleh tingkat parasitisasi 53,l %, sedangkan dengan pelepasan 3 18.000
parasitoid/0,4 ha selama pertumbuhan tanahan tomat diperoleh tingkat parasitisasi 85,4 %. Oatman & Platner (1971) menyimpulkan bahwa keberhasilan
pelepasan parasitoid Trichogramrna ditentukan oleh banyaknya parasitoid yang
dilepas dan selang waktu pelepasan.

Daftar Pustaka
Adjei-Maafo, I.K. & L.T. Wilson. 1983. Association of cotton nectar production
with Heliothis punctigera (Lepidoptera : Noctuidae) oviposition. Environ.
Entomol. 12 : 1166-1170.
Bai, S., S. Cobanoglu & S. M. Smith. 1995. Assessment of Trichogramma species for biological control of forest lepidopteran defoliators. Entomol.
Exp. Appl. 75 : 135 - 143.
Bigler, F. 1994. Quality control in Trichogramma production. Dalam Wajnberg,
E. & S.A. Hassan (ed). Biological control with egg parasitoids. Oxon,
UK. CAB International. Hal. 93 - 112.
Broadley, R. H. 1978. Distribution of Hekothis spp. (Lepidoptera : Noctuidae)
eggs and 1st instar larvae on pre-flowering flue-cured tobacco plants in
north Queensland. Queensl. J. Agric. Anim. Sci. 35 : 73-76.
Brown, E.H. & B.K. Cantrell. 1978. Key to the larva of the common species of
army worm, cutworm and budworms found in Queensland. Queensl. J.
Agric. Anim. Sci. 35 : 91-94.
Budi, J., Anggara H. P. & Etti P. 1986. Introduksi dan evaluasi tomat (Lycopersicon esculentum) asal AVRDC. Bul. Pen. Hort. 16 (2) : 1-7.
Burbutis, P.P. & C.H. Koepke. 1981. European corn borer control in peppers by
Trichogramma nubilale. J . Econ. Entomol. 74 : 246 - 247.
Callahan, P.S. 1957. Oviposition response of the corn eanvorm to differences in
surface texture. J. Kans. Entomol. Soc. 30 : 59 - 63.
Common, I. F.B. 1953. The Australian species of Heliothis (Lepidoptera : Noctuidae) and their pest status. Aust. J. Zool. 1 : 319-344.
Cullen, J.M. 1969. The reproduction and survival of Heliothis punctigera
Wallengren in South Australia, Disertasi, University of Adelaide.
Daly,J. & P. Gregg. 1985. Genetic variation in Heliothis in Australia : Species
identification and gene flow in the two pest species H. armigera (Hubner)
and H. punctigera (Wallengren) (Lepidoptera : Noctuidae). Bull. Entomol. Res. 75 : 169-184.
Doutt, R.L. 1973. Biological characteristics of entomophagous adult. Dalam
DeBach, P. (Ed). Biological Control of Insect Pests and Weeds; Chapman and Hall Ltd., London. Hal. 145-167.
Elna, K. R. 1988. Penarikan contoh beruntun Heliothis armigera pada pertanaman kapas. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB.

Etti, P. & Ali, A. 1990. Seleksi varietas tomat untuk perbaikan kualitas. Bul.
Pen. Hort. 20 (1): 98-105.

., Hanudin, A. Ali, & G. Setiani. 1990. Seleksi progeni tomat tahan
terhadap bakteri layu dan berkualitas baik di dataran rendah. Bul. Pen.
Hort. V18 (2): 89-97.
Flanders, S.E. 1930. Mass production of egg parasites of the genus Trichogramma. Hilgardia. 4 : 465 - 501.
Goyal, S.P. & V. S. Rathore. 1988. Pattern of insect plant relationship determining susceptibility of different hosts to Heliothis armigera Hiibner.
Indian J. Entomol. 50(2) : 193-201.
Graham, H.M. 1970. Parasitism of eggs of bollworms, tobacco budworms and
loopers by Trichogramma semifunctum (Hymenoptera : Trichogrammatidae) in the lower Rio Grande Valley, Texas. J. Econ. Entomol. 63 : 686688.
Gupta, P.D., & A.J. Thorsteinson. 1960. Food plant relationships of the diamondback moth (Plutella maculipennis (Curt.)) 11. Sensory regulation of
oviposition the adult female. Entomol. Exp. Appl. 3 : 305 - 314.
Hassan, S .T. S . 1985. Distribution of Heliothis armigera (Hiibnner) and Heliothis
punctigera (Wallengren) (Lepidoptera : Noctuidae) eggs and larvae, and
insecticide spray droplets on cotton plants. Disertasi, University of
Queensland.
Hassan, S.A. 1994. Strategies to select Trichogramma spesies for use in biological control. Dalam Wajnberg, E. & S.A. Hassan (ed). Biological control
with egg parasitoids. Oxon UK. CAB International. Hal. 55 - 73.
Haynes, K.F., J.Z. Zhao, & A. Latif. 1991. Identification of floral compounds
from Abelia grandij7ora that stimulate upwind fligth in cabbage looper
moths. J. Chem. Ecol. 17 : 637 - 646.
Heath, R.R, P.J. Landolt, B. Dueben, & B. Lenczewski. 1992. Identification of
floral compounds of nigth-blooming Jessamine attractive tocabbage looper
moths. Environ. Entomol. 21 : 854 - 859.
Hoffmann, M.P., L.T. Wilson, F.G. Zalon & R. J. Hilton. 1990. Parasitism of
Heliothis zea (Lepiodoptera : Noctuidae) eggs : Effect on pest management decision rules for processing'tomatoes in the Sacramento Valley of
California. Environ. Entomol. 19(3) : 753-763.
Iwao, S. 1979. Analysis of spatial distribution paterns and density estimation in
insect populations with particular reference to pests of the rice plants.
Dalam Proceedings of the ROC - Japan symposium on rice productivity.
Hal. 111 - 122.

Kakar, K.L., J.P. Sharma, & G.S. Dogra. 1990. Feasibility of using Trichogramma spp. against Heliothis armigera Hilbner on tomato. Indian J.
Plant Protec. 18(2): 237-239.
Khan, Z.R., A. Ciepiela, & D.M. Norris. 1987. Behavioral and physiological
responses of cabbage looper, Trichoplusia ni (Hbn), to steam distillates
from resistant versus susceptible soybean plants. J. Chem. Ecol. 13 : 1903
- 1915.
Kirkpatrick, T. H . 1961. Comparative morphological studies of Heliothis species
(Lepidoptera : Noctuidae) in Queensland. Queensl. J. Agric. Sci. 18 :
179-194.
Li, L.Y. 1982. Integrated rice pest control in the Guangdong Province of China.
Entomophaga. 27 : 81 - 88.
t

Liu, S. H., D.M. Norris, & E. Marti. 1988. Behavioral responses of female
adult Trichoplusia ni to volatiles from soybeans versus a preferred host,
lima bean. Entomol Exp. Appl. 49 : 99 - 109.
Luckmann, W.H. & R.L. Metcalf. 1982. The pest management concept. Dalam
Metcalf & Luckmann (Ed), Introduction To Insect Pest Management. John
Wiley & Sons, Inc. New York, London, Sydney, Toronto. Hal. 1-29.
Meierrose, C., I. Silva, & J. Araujo. 1991. Egg parasitoids from Heliothis
armigera on tomato in Southern Portugal. Colleques-de-1 IRNA. No. 56 :
22 1-226.
Meierrose, C. & J. Araujo. 1986. Natural egg parasitism of Helicoverpa (Heliothis) armigera Hbn. (Lepidoptera : Noctuidae) in South Portugal. Z.
Angew. Entomol. 101: 11-18.
Mitter, C., R.W. Poole & M. Mathew. 1993. Biosystematics of the Heliothinae
(Lepidoptera : Noctuidae). Annu. Rev. Entomol. 38 : 207 - 225.
Nurindah. 1989. Studies on Trichogramma spp . (Hymenoptera : Trichogrammatidae) in the control of Heliothis armigera (Hiibner) (Lepidoptera :
Noctuidae). Biotrop Spec. Publ. 36 : 165 - 172.

. & O.S. Bindra. 1988. Studies on biological control of cotton pests.
Indust. Crops Res. J. l(1) : 59 - 83.
Nyambo, B.T. 1990. Effects of natural Cnemies on the cotton bollworm, Heliothis armigera Hiibner (Lepidoptera : Noctuidae) in Western Tanzania.
Trop. Pest Management 36(1) :50-58.

Oatrnan, E.R., J.A. Wyman, R.A. van Steenwyk & M.W. Johnson. 1983. Integrated control of the tomato fruitworm (Lepidoptera : Noctuidae) and
other lepidopterous pests on fresh-market tomatoes in Southern California.
J. Econ. Entomol. 76 : 1363-1369.
Oatman, E.R. & G.R. Platner. 1971. Biological control of tomato fruitworm,
cabbage looper and hornworms on processing tomatoes in Southern California, using mass releases of Trichogramma pretiosum. J. Econ. Entomol. 64 : 501-506.

. 1978. Effect of mass releases of Tn'chogramma pretiosum against lepidopterous pests on processing tomatoes in
Southern California, with notes on host egg population trends. J. Econ.
Entomol. 71 : 896-900
Persson, B. 1976. Influence of weather an'd nocturnal illumination on the activity
and abundance of populations of noctuids (Lepidoptera) in south costal
Queensland. Bull. Entomol. Res. 66 : 33-63.
Price, P. W. 1975. Insect Ecology. John Wiley & Son, Inc. New York, London,
Sydney, Toronto, 5 14 hal.
Price, P.W. 1986. Ecological aspects of host plant resistance and biological
control : Interactions among three trophic level. Dalam Boethel, D.J. &
R.D. Eikenbary (ed). Interactions of plant resistance and parasitoids and
predators of insects. Hal. 1 - 30.
Reed, W. 1965. Heliothis armigera (Hb) (Noctuidae) in Western Tanganyika 11.
Ecology and natural and chemical control. Bull. Entomol. Res. 56: 127140.
Renwick, J. A. A. & F. A. Chew. 1994. Oviposition behaviour in Lepidoptera.
Annu. Rev. Entomol. 39 : 377 - 400.
Saour, G. & R. Causse. 1993. Oviposition behaviour of Heliothis armigera
Hiibner (Lepidoptera : ~octucdae)on tomato. J. Appl. Entomol. 115(2):
203-209.
'

Sathe, T.V. 1990. Impact of host food plant on parasitization behaviour in a
larval parasitoid of Heliothis armigera (Hubner). Anim. Sci. 99(3) : 233242.
Setiawati, W. 1991. Daur hidup ulat buah tomat, Heliothis armigera Hbn (Lepidoptera : Noctuidae). Bul. Penel. Hort. 20 (4): 112-117.
Singh, A.K. & H. Rembold. 1988. Developmental value of chickpea, Cicer arietinum, soybean, Glycine max and maize,zea mays flour for Heliothis
armigera (Lepidoptera : Noctuidae) larvae. J. Appl. Entomol. 106 (3) :
286-296.

Smith, S.M. 1996. Biological control with Trichograrnma : Advances, successes,
and potential of their use. Annu. Rev. Entomol. 41 : 375 - 406.
Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods with Particular Reference to The
Study of Insect Populations. London. Chapman & Hall. 524 hal.
Stanley, S. M. 1978. Comparative interactions between the larvae of Heliothis
armigera (Hiibner) and Heliothis punctigera (Wallengren) (Lepidoptera :
Noctuidae). Ph.D. Thesis. Australian National University, Carnberra.
Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch & K.S. Hagen. 1959. The Integrated
control concept. Hilgardia 29 (2): 81 - 101.
Taylor, L. R. 1984. Assessing and interpreting the spatial distributions of insect
populations. Annu. Rev. Entomol. 29 : 321 - 357.
I

Wajnberg, E. 1994. Intra-population genetic variation in Trichogramrna. Dalam
Wajnberg, E. & S.A. Hassan (ed). Biological control with egg parasitoids. Oxon, UK. CAB International. Hal. 245 - 273.
Wardhaugh, K. G., P. N. Room, & L. R. Greenup. 1980. The incidence of Heliothis armigera and H. punctigera (Lepidoptera : Noctuidae) on cotton and
other host plants in the Namoi Valley of New South Wales, Australia.
Bull. Entomol. Res. 70: 113-132.
Wiesenborn, W. D. & T. C. Baker. 1990. Upwind fligth to cotton flowers by
~ectino~hora
gossypiella ( ~ e ~ i d o p t e:r ~elechGdae).
a
Environ. ~ntomoi.
19 : 490 - 493.
Wilcox, J., A.F. Howland, & R.E. Campbell. 1956. Investigations of the
tomato fruitworm : Its seasonal history and methods of control. USDA.
Tech. Bull. No. 1147. 47 hal.
Wilson, A.G.L. 1976. Varietal responses of grain sorghum to infestation by
Heliothis armigera. Exp. Agric. 12: 257- 265.
Wilson, A.G.L., J.J. Basinski & N. J. Thomson. 1972. Pests, crop damage and
control practices with irrigated cotton in a tropical environment. Cotton
Grow. Rev. 49 : 308 - 340.
Zalucki, M.P., G. Daglish, S. Firempong & P. Twine. 1986. The biology and
ecology of Heliothis armigera (Hubner) and H . punctigera Wallengren
(Lepidoptera : Noctuidae) in Auaralia : What do we know?. Aust. J.
2001. 34 : 779 - 814.
Zehnder, G.W., D.A. Herbert, R.M. McPherson, J. Speese 111, & T. Moss.
1990. Incidence of Heliothis zea (Lepidoptera : Noctuidae) and associated
parasitoids in Virginia soybeans. Environ. Entomol. 19(4): 1135-1140.

BAB I11
HUBUNGAN ANTARA PELETAKAN TELUR Helicoverpa armigera
(HUBNER) (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE) DENGAN
PEMBUNGAAN TANAMAN TOMAT
ABSTRAK

-

Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peletakan telur Helicoverpa annigera
(Hiibner)(Lepidoptera : Noctuidae) dengan pembungaan tanaman tomat. Penelitian dilakukan di
Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor pada musim kemarau 1995. Penelitian
dilakukan pada lahan seluas f 600 m2 yang ditanami tomat varietas TW 375. Populasi H.

armigera berasal dari infestasi secara alami. Pengamatan telur dilakukanpada 20 satuan contoh,
sedangkan pengamatan jumlah bunga dilakukan patla 10 satuan contoh, dimulai sejak tanaman
berumur 15 hst hingga f 100 hst. Pengamatan telur dibedakan berdasarkan letalcnya pada daun,
bunga, batang, dan buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara
peletakan telur dengan jumlah bunga mekar. H. armigera mulai meletakkan telur pada pertanaman tomat pada saat kuncup bunga mulai mekar. Perkembangan populasi telur mengikuti
perkembangan ketersediaan bunga mekar. Puncak populasi telur terjadi hampir bersamaan dengan
puncak ketersediaan bunga mekar. Telur pada umumnya diletakkan pada permukaan atas daun
serta tangkai bunga, rambut tangkai bunga, dan kelopak bunga. Sebagian kecil dari telur diletakkan pada kelopak buah dan kadang-kadang pada permukaan buah serta pada batang. Telur lebih
banyak diletakkan pada setengah bagian atas tajuk, tempat terdapatnya bunga mekar. Dengan
demikian, upaya pengamatan telur selayaknya dimulai pada saat kuncup bunga mulai mekar dan
pemeriksaan telur itu diarahkan pada tajuk bagian atas.

Pendahuluan
Ulat H. armigera adalah hama utama pada pertanaman tomat. Hama ini
menimbulkan kerugian karena larvanya menggerek ke dalarn buah. Pada keadaan
serangan berat, kerusakan buah tomat dapat mencapai 80 % (Uhan & Suriaatmadja 1993). Usaha untuk mendapatkan cara pengendalian yang efektif memerlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai kehidupan hama, termasuk di
antaranya adalah pemahaman hubungan peneluran dengan pembungaan. Dengan

29

pemahaman ini, waktu pemantauan dan bagian tanaman yang diamati dapat
ditentukan dengan tepat. Hubungan peneluran Helicoverpa spp dengan pembungaan tanaman inang seperti kedelai, kapas, tembakau, sorghum telah banyak
dilaporkan (Broadly 1978; Wardhaugh et al. 1980; Adjei-Maafo & Wilson 1983;
Wilson, Bansiski & Thomson 1972; Wilson 1976). Pada tanaman tomat, informasi peneluran Helicoverpa spp. masih terbatas pada preferensi peletakan telur
pada bagian tanaman (Rodriguez, Leigh, & Lange 1982; Snodderly & Lambdin
1982; Saour & Cause 1993). Informasi tentang hubungan peneluran H.
I

armigera dengan pembungaan tanaman tomat belum banyak diketahui. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara peneluran H. armigera dengan
pembungaan tanaman tomat.

Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor mulai Juli hingga Oktober 1995. Lokasi penelitian berjarak f 2 krn dari Perkebunan Teh Gunung Mas. Sepanjang tahun, lahan
di sekitar lokasi penelitian ditanami sayur-sayuran terutama tomat, kubis, buncis,
petsai, bawang daun, wortel, dan jagung. Pada umumnya petani setempat
menanarn tomat secara tumpang gilir dengan kubis atau petsai. Kubis atau
kadang-kadang petsai ditanam lebih awal, dan setelah tanaman berumur satu
bulan atau lebih di antara tanaman kubis atau petsai ditanami tomat. Kadangkadang setelah tomat menghasilkan buahl9diantara tanaman tomat ditanami lagi
dengan buncis.
Lahan seluas f 600 m2 ditanami tomat varietas Taiwan 375, salah satu
kultivar yang umum-ditanam oleh petani di lokasi penelitian. Jarak tanam yang

30

digunakan adalah 50 cm x 60 cm, sehingga seluruhnya terdapat f 2.000 tanaman.
Budidaya tomat yang dilakukan pada petak percobaan mengikuti cara petani
setempat. Pertanaman tomat dipupuk dua kali dengan NPK (15- 15- 15) dengan
dosis 650 kglha.

Pemupukan pertama (setengah dari dosis) dilakukan pada saat

tanaman berumur 14 hst, dan pemupukan kedua pada umur 35 hst. Selain itu
dilakukan juga pemangkasan, pembuatan guludan, penyiangan, penyiraman,
pengajiran, dan pengendalian penyakit dengan penyemprotan fungisida. Pemangkasan tunas atau cabang non-produktif dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada
I

saat tanaman berumur 28, 42, dan 56 hst. Pembuatan guludan dan penyiangan
gulma dilakukan setelah pemupukan pertama, dan pengajiran dilakukan pada saat
tanaman berumur 30 hst. Tiap empat tanaman yang berdekatan, ujung atas ajirnya diikat menjadi satGagar tanaman tidak mudah rebah.
Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya telur, saat berbunga, dan
banyaknya bunga mekar. Telur diamati pada 20 satuan contoh tetap selama
pertumbuhan tanaman. Tiap satuan contoh terdiri dari empat tanaman yang ada
dalarn satu ikatan ajir. Satuan contoh ditentukan secara sistematik, dan diupayakan menyebar di seluruh petak pertanaman. Telur yang ditemukan dibedakan
berdasarkan letaknya pada daun, bunga, buah dan batang.
Pengamatan bunga dilakukan pads' 10 satuan contoh dari 20 satuan contoh
yang digunakan untuk pengamatan telur. Penentuan 10 dari 20 satuan contoh
tersebut dilakukan dengan mengambil secara acak dua satuan dari empat satuan
contoh yang ada pada tiap baris tanaman*contoh. Pengamatan dilakukan setiap
minggu, sejak tanaman berumur 15 hst hingga ~nenjelangpanen (+ 100 hst).

Hasil
Hubungan Penelwan dengan Pembungaan
Peletakan telur mempunyai kaitan yang erat dengan pembungaan. Telur
pertama kali ditemukan pada saat tanaman mulai menghasilkan bunga mekar,
yaitu pada umur 29 hst (Gambar 3.1). Populasi telur meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah bunga mekar. Puncak peletakan telur (3,l butir per empat
tanaman) terjadi pada umur 50 hst, atau seminggu sebelum puncak pembungaan (23,l bunga mekar per empat tanaman). Setelah itu, populasi telur
menurun hingga pada umur 85 hst, dan pada umur 92 hst telur tidak ditemukan
lagi (Gambar 3.1). Pada umur itu tanaman tidak menghasilkan bunga lagi sehingga tidak menarik bagi ngengat H. amzigera.

Umur Tanaman (Hst)

Gambar 3.1. Kurva Hubungan antara Jumlah Telur H. armigera dan Bunga
Mekar pada Tanaman Tomat.
Analisis selanjutnya (Gambar 3.2) menunjukkan bahwa populasi telur cende-

32

rung berkorelasi positif dengan banyaknya bunga mekar. Adanya keterkaitan
antara peletakan telur dengan pembungaan juga dilaporkan untuk H. obsoleta
pada tanaman kapas (Gaines 1932, 1933) dan H. zea pada tanaman tomat
(Snodderly & Lambdin 1982).

Jumlah Bunga Mekar per 4 Tanaman

Garnbar 3.2. Diagram Pencar Hubungk antara Jumlah Telur H. armigera
dengan Jumlah Bunga Mekar.

Persebaran telur pada tanaman. Telur umumnya ditemukan pada daun
dan bunga, tetapi kadang-kadang juga pada batang dan buah. Pada bunga, telur
ditemukan pada rambut tangkai bunga, kelopak bunga, dan kadang-kadang pada
tangkai

Dokumen yang terkait

Penggunaan Tanaman Jagung Sebagai Perangkap Untuk menekan Populasi Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera; Noctuidae) Pada Tanaman Tomat

1 42 77

ENGARUH KOMPOSISI PUPUK TERHADAP PENGGEREK BATANG (Ostrinia furnacalis Guenee ) DAN PENGGEREK TONGKOL (Helicoverpa armigera Hubner) PADA PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays)

0 7 35

Kajian pelepasan populasi Trichogrammatidae untuk pengendalian helicoverpa armigera (Hubner) dan dampaknya terhadap komunitas artropoda pada pertanaman kedelai

0 7 82

Ekologi Helicoverpa armigera (HUBNER) (Lepidoptera Noctuidae) pada Pertanaman Tomat

0 4 130

Patogenisitas Tiga Isolat Helicoverpa Armigera Nucleopolyhedrovirus (Hearnpv) Terhadap Penggerek Buah Kapas Helicoverpa Armigera Hübner

1 9 57

Kajian pelepasan populasi Trichogrammatidae untuk pengendalian helicoverpa armigera (Hubner) dan dampaknya terhadap komunitas artropoda pada pertanaman kedelai

0 11 72

Uji Efektivitas Jamur Metarhizium anisopliae (Metch.) dan Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Terhadap Larva Penggerek Tongkol Jagung Helicoperva Armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) di Lapangan

1 7 51

Pengaruh Dosis Helicoverpa Armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (Hanpv) Terhadap Konsumsi Makan, Berat Badan Dan Berat Pupa Larva Helicoverpa Armigera (Hubner) - Influence Of Infection Dosages Of The Helicoverpa Armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (Hanpv)

0 0 11

BIOEKOLOGI Helicoverpa armigera

0 0 10

Karakter morfologi, biologi, dan molekuler tiga isolat Helicoverpa armigera Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) terhadap penggerek buah kapas Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae)

0 1 10