Patogenisitas Tiga Isolat Helicoverpa Armigera Nucleopolyhedrovirus (Hearnpv) Terhadap Penggerek Buah Kapas Helicoverpa Armigera Hübner

1

PATOGENISITAS TIGA ISOLAT Helicoverpa armigera
NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (HearNPV) TERHADAP
PENGGEREK BUAH KAPAS Helicoverpa armigera HÜBNER
(LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE)

FARRIZA DIYASTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini berjudul Patogenisitas Tiga

Isolat Helicoverpa armigera Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) terhadap Penggerek
Buah Kapas Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Farriza Diyasti
NIM A351130251

4

5

RINGKASAN
FARRIZA DIYASTI. Patogenisitas Tiga Isolat Helicoverpa armigera
Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) terhadap Penggerek Buah Kapas Helicoverpa
armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae). Dibimbing oleh TEGUH

SANTOSO dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH.
Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan salah
satu hama utama kapas di Indonesia. H. armigera merusak tanaman kapas dengan
cara menggerek kuncup bunga, bunga, dan buah kapas. Satu individu larva H.
armigera dapat menghabiskan 40-57% kuncup, bunga dan buah kapas dalam satu
pohon selama fase hidupnya. Teknik pengendalian yang selama ini diterapkan
oleh petani yaitu menggunakan insektisida kimiawi, namun hal tersebut
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Beberapa bahan aktif insektisida
dilaporkan telah menyebabkan resistansi terhadap hama ini. Dengan demikian,
alternatif pengendalian yang ramah lingkungan sangat diperlukan untuk
mengurangi kehilangan hasil akibat serangan hama ini. NPV merupakan virus dari
golongan Baculovirus yang memiliki inang spesifik, aman bagi vertebrata dan
tumbuhan, serta mudah dalam rekayasa genetik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan infeksi Baculovirus di antaranya biologi inang,
virulensi virus, dan ekologi virus. Isolat Baculovirus yang diperoleh dari spesies
yang sama di lokasi geografis yang berbeda sering menunjukkan variasi genetik
dan perbedaan dalam biologinya.
Negara besar seperti Indonesia memiliki variasi agroklimat yang beragam,
sehingga memungkinkan ditemukan variasi strain virus. Karakterisasi molekuler
melalui teknik PCR merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen.

Gen Late expression factor-8 (lef-8) merupakan primer universal untuk
menganalisis DNA Lepidoptera NPV. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
perbedaan isolat HearNPV dari beberapa wilayah sentra perkebunan kapas di
Indonesia. Tiga isolat dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan dipilih untuk dikaji terkait patogenisitas dan karakterisasi molekulernya.
Pipilan jagung muda dicelupkan pada tiap suspensi isolat dengan kerapatan
2.5x103, 2.5x104, 2.5x105, 2.5x106, dan 2.5x107 POBs/mL serta kontrol
menggunakan aquabides kemudian diberikan pada larva H. armigera instar-1.
Setiap perlakuan terdiri atas 20 larva uji dengan empat ulangan. Peubah yang
diamati adalah nilai LC50, LC90, LT50, dan LT90 menggunakan analisis probit
dengan software SAS for Windows versi 9.1 untuk mengukur patogenisitas ketiga
isolat HearNPV tersebut. Morfologi polihedra dari tiap isolat diamati
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Karakterisasi molekuler
dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer gen lef-8 pada DNA total,
kemudian dilakukan analisis penjajaran dengan program Bioedit, dan analisis
filogeni dengan program Mega-5.
Pada 7 hari setelah inokulasi (HSI), isolat HearNPV Jawa Timur
menunjukkan persentase mortalitas tertinggi dengan nilai LC50 dan LC90 terendah
yaitu 6.38 POBs/mL dan 6.56x103 POBs/mL. Pada kerapatan 2.5x107 POBs/mL,
isolat HearNPV Sulawesi Selatan menunjukkan nilai LT50 dan LT90 terendah dan

tidak berbeda nyata dengan isolat HearNPV Jawa Timur yaitu 2.7 HSI dan 4 HSI.

6
Pengamatan dengan SEM menunjukkan tidak adanya perbedaan bentuk dan
ukuran polihedra di antara ketiga isolat HearNPV tersebut. Begitu pula dengan
hasil pengurutan DNA menunjukkan kesamaan nukleotida, serta tanda dan gejala
yang tampak pada larva yang terinfeksi HearNPV tidak berbeda di antara ketiga
isolat HearNPV tersebut.
Kata kunci: Filogeni, gen lef-8, homologi, kerapatan, mortalitas.

7

SUMMARY
FARRIZA DIYASTI. Pathogenicity of Three Helicoverpa armigera
Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) Isolates against Cotton Bollworm, Helicoverpa
armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae). Supervised by TEGUH
SANTOSO and R. YAYI MUNARA KUSUMAH.
Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae) is a major pest of
cotton in Indonesia. H. armigera damages cotton plant by eating the flower buds,
flowers, and bolls. One larva of H. armigera can consume 40-57% buds, flowers

and bolls in one cotton plant during its life. Farmers use chemical insecticides to
control this pests, but they cause negative impacts on the environment. Some
insecticide active ingredients are reported to cause resistance to these pests. Thus,
alternative method is needed to minimize yield losses due to these pests, and to
prevent the environmental degradation. Nucleopolyhedrovirus is a virus from the
Baculovirus group that has specific host, safe for vertebrates and plants, and easy
to manipulate in genetic engineering. Some factors that influence the success of
Baculovirus infection of the host are the pathogenicity and the virus ecology.
Baculovirus isolates obtained from the same species from different geographic
locations often shows genetic variations and differences in biology.
A large country like Indonesia with diverse agroclimatic, may have virus
strain variations. Molecular characterization by polymerase chain reaction (PCR)
technique is one way to identify a gene. Late expression factor-8 gene (lef-8) is a
universal primer for analyzing DNA of Lepidoptera NPV. This study aims to
assess the difference among HearNPV isolates from different cotton plantation
areas in Indonesia. Three isolates from Central Java, West Java, and South
Sulawesi province are choosen to study their pathogenicity, and molecular
character.
Shelled of young corn cob was dipped in each HearNPV isolate suspension
at a density of 2.5x103, 2.5x104, 2.5x105, 2.5x106, 2.5x107 POBs /mL and control,

then fed to the first instar larvae of H. armigera. Each treatment consisted of 20
larvae test with four replicates. Probit analysis was used to determine LC50 and
LC90. The process of identification based on molecular character consists of DNA
total extraction, amplification by using PCR, visualization, sequencing, and data
analysis. Probit analysis with SAS software for Windows version 9.1 has been
applied to measure the pathogenicity of three isolates HearNPV. Polyhedra
morphology of each isolates were observed using Scanning Electron Microscopy
(SEM). Molecular characterization performed by PCR using primers lef-8 gene in
total DNA, then analysis alignment with Bioedit program, and phylogeny analysis
with Mega-5 program.
The result showed that in 7 days post infection, HearNPV isolate from East
Java was the most virulent isolates with the lowest LC50 and LC90 values, which
are 6.38 POBs/mL and 6.56x103 POBs/mL respectively. HearNPV isolate from
South Sulawesi showed lowest LT50 and LT90 that had no significant to HearNPV
isolates from East Java, were 2.7 and 4 days post infection. Observation by SEM
showed no difference in the shape and size of the polyhedra among the three
isolates. Meanwhile, DNA sequencing result showed similar nucleotide among

8
three HearNPV isolates. Neither different signs nor symptoms were detected

between three viral isolates.
Keywords: Density, homology, lef-8 gene, mortality, phylogeny.
.

9

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10

11


PATOGENISITAS TIGA ISOLAT Helicoverpa armigera
NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (HearNPV) TERHADAP
PENGGEREK BUAH KAPAS Helicoverpa armigera HÜBNER
(LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE)

FARRIZA DIYASTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

12


Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Pudjianto, MSi

13
Judul Tesis

Nama
NIM

: Patogenisitas Tiga Isolat Helicoverpa armigera
Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) terhadap Penggerek Buah
Kapas Helicoverpa armigera HÜBNER
(Lepidoptera: Noctuidae)
: Farriza Diyasti
: A351130251
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Teguh Santoso, DEA
Ketua


Dr Ir R Yayi Munara Kusumah, MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Pudjianto, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
27 Januari 2016

Tanggal Lulus:

14


15

PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena
limpahan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul Patogenisitas Tiga Isolat Helicoverpa armigera Nucleopolyhedrovirus
(HearNPV) terhadap Penggerek Buah Kapas Helicoverpa armigera HÜBNER
(Lepidoptera: Noctuidae). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Master Sains di Sekolah Pascasarjana Program Studi Entomologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Teguh Santoso, DEA dan
Bapak Dr Ir R Yayi Munara Kusumah, MSi selaku komisi pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis. Kepada Dr
Ir Pudjianto, MSi selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi
diucapkan terima kasih atas saran dan penyempurnaannya. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada pihak instansi Direktorat Jenderal Perkebunan dan Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kementerian
Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan Magister Sains di IPB. Kepada semua pihak yang telah
membantu kelancaran proses penelitian diucapkan banyak terima kasih, di antaranya
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya,
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi
Selatan, Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc, Sari Nurulita, rekan-rekan
laboratorium Virologi Tumbuhan-IPB, rekan-rekan laboratorium Patologi SeranggaIPB (Bu Silvi, Bu Sempurna, Agung, Ferdika, Susilawati, Umami, Amel, Saka),
rekan-rekan Entomologi 2013, Hafsah, Indah, Nia, Uche, sahabat setia penulis
Haeriyah, aceu, USB family, dan pihak lainnya yang tidak sempet disebutkan satu per
satu.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua terkasih, ayah
dan ibunda yang tidak henti-hentinya memanjatkan doa, mertua, serta kakak dan
adik yang secara tidak langsung membantu kelancaran penelitian, suami dan
ananda tercinta Ashalina Syifa Prawira atas motivasi yang tak ternilai harganya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Pada akhirnya besar harapan penulis agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat
dan menjadi sumber semangat untuk terus berkarya. Aamiin yaa rabbal alamiin.
Bogor, April 2016
Farriza Diyasti

16

17

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kapas
Biologi Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae)
Nucleopolyhedrovirus (NPV)
Gen late expression factor-8 (Gen lef-8)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosedur Penelitian
Uji Patogenisitas HearNPV
Perbanyakan Serangga Uji
Isolasi dan Perbanyakan NPV
Bioassai NPV terhadap H. armigera
Penampang Polihedra Isolat HearNPV melalui
Scanning Elecron Microscopy (SEM)
Karakterisasi Molekuler
Pemurnian Virion dan Ekstraksi DNA
Amplifikasi DNA HearNPV menggunakan PCR
Analisis Data
Bioassai HearNPV
Pengurutan DNA dan Analisis Filogeni
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Patogenisitas HearNPV
Bentuk dan Ukuran Polihedra
Karakter Molekuler
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
x
1
1
3
3
3
4
4
6
8
10
12
12
12
12
12
13
13
14
14
14
15
16
16
16
17
17
17
23
24
27
33
33
33
34
39

18

DAFTAR GAMBAR
1 Buah kapas tua
2 Siklus hidup H. armigera
3 Gejala larva H. armigera terserang NPV
4 Wadah peletakan telur oleh imago H. armigera
5 Teknik gradien sukrosa pada tabung mikro
6 Alat pelapis emas pada sampel preparasi SEM
7 Ilustrasi tabung kolom VB yang digunakan dalam ekstraksi DNA
8 Mortalitas probit (lethal concentration) tiga isolat HearNPV
terhadap H. armigera pada 3 HSI
9 Mortalitas probit (lethal concentration) tiga isolat HearNPV
terhadap H. armigera pada 7 HSI
10 Mortalitas probit (lethal time) tiga isolat HearNPV terhadap
H. armigera pada kerapatan 2.5x103 POBs/mL
11 Mortalitas probit (lethal time) tiga isolat HearNPV terhadap
H. armigera pada kerapatan 2.5x107 POBs/mL
12 Tanda dan gejala larva H. armigera terinfeksi oleh tiga isolat
HearNPV pada 4 HSI
13 Tanda dan gejala pupa H. armigera terinfeksi HearNPV
14 Polihedra HearNPV di bawah mikroskop cahaya (400x)
15 Polihedra tiga isolat HearNPV melalui SEM 5000x
16 Hasil visualisasi DNA HearNPV menggunakan primer gen lef-8
17 Pohon filogeni Lepidoptera NPV diolah dengan program Mega-5

5
7
9
12
13
14
15
19
20
21
22
23
23
24
24
25
27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Pengaruh tiga isolat HearNPV terhadap mortalitas kumulatif larva
H. armigera (%)
Nilai virulensi tiga isolat HearNPV terhadap mortalitas larva
H. armigera pada 3 HSIa
Nilai virulensi tiga isolat HearNPV terhadap mortalitas larva
H. armigera pada 7 HSIa
Kecepatan membunuh tiga isolat HearNPV terhadap
larva H. armigera pada kerapatan 2.5 x 103 POBs/mL
Kecepatan membunuh tiga isolat HearNPV terhadap
larva H. armigera pada kerapatan 2.5 x 107 POBs/mL
BLASTN gen lef-8, genom penuh (www.ncbi.nlm.nih.gov)
Homologi HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
gen lef-8 dengan sampel dari GenBank
Spesies Lepidoptera NPV gen lef-8 sebagai pembanding Helicoverpa
NPV hasil BLASTN, genom sebagian (www.ncbi.nlm.nih.gov)

18
19
19
21
21
25
26
27

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan tanaman perdu semusim dari
famili Malvaceae, ordo Malvales yang menjadi salah satu komoditas andalan sub
sektor perkebunan. Kapas dapat menghasilkan serat alam untuk bahan baku
industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) serta bidang kesehatan dan kecantikan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka permintaan bahan baku
kapas pun meningkat. Kebutuhan serat kapas mencapai 1.5 juta ton kapas berbiji
atau sekitar 1.2 juta ha pertanaman kapas pada tingkat produksi 1 250 kg/ha
(Ditjenbun 2013). Produksi serat kapas dalam negeri hanya mencukupi 0.5%
kebutuhan nasional, sebagian besar diperoleh melalui impor. Luas areal kapas
didominasi oleh perkebunan rakyat (PR), mencapai 6 486 ha dengan nilai
produksi 1 871 ton pada tahun 2013. Nilai ini mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya dengan luas lahan 10 750 ha dan nilai produksi 2 275 ton (Ditjenbun
2014). Penurunan produksi sangat mungkin disebabkan oleh turunnya
produktivitas tanaman. Pada tahun 2008 produktivitas kapas masih berada pada
kisaran 3.9 kuintal per ha, namun pada tahun 2012 produktivitasnya menurun
menjadi 2.8 kuintal per ha. Impor kapas mencapai 611 800 ton. Hal ini sangat
mengkhawatirkan karena kebutuhan serat kapas terus mengalami peningkatan 3%
per tahun. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi impor serat
kapas, di antaranya melalui penerapan program intensifikasi kapas rakyat (IKR)
dan pengelolaan hama terpadu (PHT) perkebunan rakyat, namun upaya ini
mengalami hambatan karena sulitnya pengelolaan hama (Subiyakto 2010). Biaya
pengelolaan hama pada tanaman kapas tergolong tinggi, mencapai 41% dari biaya
produksi (Basuki et al. 2002). Salah satu hama utama pada tanaman kapas yaitu
penggerek buah Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae) yang
dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi hingga 70% (Indrayani et al. 2013).
Hama ini merusak tanaman kapas dengan cara menggerek kuncup bunga, bunga,
dan buah kapas, sehingga menyebabkan badan buah kapas tersebut tidak dapat
berkembang dan gugur. Satu individu larva H. armigera dapat menghabiskan 4057% kuncup bunga dan buah kapas dalam satu pohon selama fase hidupnya
(Nasreen et al. 2004). Selain kapas, hama ini juga menyerang kacang-kacangan,
jagung, tembakau, tomat, kentang, dan beberapa jenis gulma (Ditlinbun 2004).
Hingga saat ini, hama ini dilaporkan masih banyak menyerang perkebunan
kapas di Indonesia. Teknik pengelolaan yang sering diterapkan oleh para petani
kapas yaitu dengan mengaplikasikan insektisida kimiawi. Hal ini dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan, di antaranya berpotensi
menyebabkan serangan hama sekunder yang lebih berbahaya dan resistansi hama.
Penggunaan insektisida kimiawi juga dapat mengancam keanekaragaman hayati,
khususnya serangga berguna termasuk musuh alami yang sangat penting perannya
dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Selain itu, insektisida kimiawi
juga mengakibatkan pencemaran lingkungan dan terjadinya keracunan pada
serangga bukan sasaran termasuk manusia dan hewan. Berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pasal 20
menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT yang

2
menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Salah satu alternatif
pengelolaan hama H. armigera yang sejalan dengan prinsip PHT tersebut yaitu
dengan memanfaatkan Nucleopolyhedrovirus (NPV) (Arifin et al. 2006). Virus ini
memiliki inang spesifik, tidak membahayakan lingkungan, dan kompatibel dengan
komponen PHT lainnya (Starnes et al. 1993).
NPV merupakan virus dari famili Baculoviridae yang mampu menginfeksi
lebih dari 400 spesies serangga dan menyebabkan epizootic pada hama
Lepidoptera. NPV mudah dideteksi melalui mikroskop cahaya, sehingga
penelitian mengenai virus ini cukup berkembang pesat. NPV termasuk golongan
virus yang memiliki kerja cepat dalam menginfeksi serangga yaitu 4-7 hari
(Grzywacz et al. 2011). Pada skala lapangan, NPV dapat menekan kerusakan
buah kapas, sehingga mengurangi kehilangan hasil produksi kapas berbiji ratarata 21.37% (255.2 kg/ha) (Indrayani et al. 1998). Aplikasi NPV di laboratorium
mampu menurunkan konsumsi makan H. armigera antara 25-50% dari berat
kering pakan normal (Rustama & Niloperbowo 2009). Penggunaan NPV secara
berulang tidak mengakibatkan kemunculan respon kekebalan pada H. armigera
(Sanjaya 2000).
Beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan infeksi Baculovirus yaitu
biologi inang, virulensi virus dan ekologi virus (Trevor et al. 2005). Isolat
Baculovirus yang diperoleh dari spesies yang sama di lokasi geografis yang
berbeda sering menunjukkan variasi genetik dan perbedaan dalam virulensi (Cory
et al. 2005). Variasi genetik virus dari beberapa wilayah geografis yang berbeda
dapat dikarakterisasi berdasarkan siklus hidup, patogenisitas, kecepatan
membunuh dan kondisi lapangan (Hodgson et al. 2001). Menurut Guo et al.
(2006), dua isolat Helicoverpa armigera NPV (HearNPV) asal Cina menunjukkan
patogenisitas yang berbeda, isolat HearNPV G4 menunjukkan hasil yang lebih
baik dibandingkan isolat HearSNPV C1. Secara mikroskopis, penampang kedua
isolat tersebut tidak jauh berbeda, baik dari ukuran maupun jumlah polihedra.
Penelitian yang dilakukan Mehrvar et al. (2008) pada tujuh isolat HearNPV asal
India menunjukkan perbedaan virulensi maupun genetik. Isolat NPV dengan
virulensi tinggi berpotensi besar sebagai agens pengendali hayati. Teknik rekayasa
genetika virus saat ini sedang berkembang dalam rangka meningkatkan toksisitas
virus sebagai pestisida hayati (Inceoglu et al. 2001). Dengan demikian, evolusi
Baculovirus dan mekanisme molekuler yang terjadi di dalamnya mencakup
replikasi dan infeksi, serta sekuen dari genom merupakan hal yang sangat penting
untuk dikaji (Zhang et al 2004). Secara garis besar pengetahuan akan hubungan
genetik di antara Baculovirus belum diperoleh secara lengkap (Woo et al. 2006).
Penelitian terkait variasi strain Baculovirus di Indonesia telah dilakukan oleh
Zelazny et al. (1977) yang menemukan adanya variasi genetik dan virulensi
Baculovirus Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) yang menyerang
hama Oryctes rhinoceros pada sentra perkebunan kelapa di Indonesia. Variasi
strain virus ini dapat disebabkan oleh kondisi iklim yang memengaruhi suatu
wilayah tersebut (Gopali & Lingappa 2001), selain itu ekologi inang juga
memegang peran penting dalam koeksistensi genotipe Baculovirus yang berbeda
(Hodgson et al. 2004). Dengan berbagai variasi agroklimat yang beragam pada
bentang wilayah yang cukup luas di Indonesia memungkinkan adanya variasi
strain Baculovirus pada ekosistem lain, salah satunya kapas. Sentra kapas di
Indonesia tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi

3
Tenggara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Bali.
Karakterisasi molekuler melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)
merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen. Dengan
menggunakan primer gen late expression factor 8 (lef-8) yang dapat
mengamplifikasi DNA NPV pada Lepidoptera diharapkan dapat memberikan
informasi karakter molekuler dari isolat HearNPV di Indonesia.
Tujuan Penelitian
a. Mengukur tingkat patogenisitas isolat HearNPV dari wilayah yang berbeda di
Indonesia.
b. Membandingkan karakter molekuler melalui urutan nukleotida tiap isolat
HearNPV dengan menggunakan primer gen lef-8.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai isolat
HearNPV pada sentra perkebunan kapas di Indonesia yang memiliki perbedaan
patogenisitas maupun genetik, sehingga strain dengan virulensi tinggi dapat
dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati hama penggerek buah kapas yang
efektif dan ramah lingkungan.
Hipotesis
a. Paling tidak satu isolat HearNPV menunjukkan patogenisitas lebih tinggi
dibandingkan isolat lainnya.
b. Paling tidak satu isolat HearNPV menunjukkan susunan nukleotida yang
berbeda dibandingkan isolat lainnya dengan menggunakan primer gen lef-8.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kapas
Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan kelompok tanaman semusim
yang menjadi salah satu komoditas andalan sub sektor perkebunan. Serat yang
dihasilkan oleh kapas bermanfaat bagi industri tekstil. Dalam proses pengolahan
serat kapas, hanya sekitar 10% dari berat kotor (bruto) produk yang hilang berupa
lemak, protein, malam (lilin), dan residu lainnya, sisanya adalah polimer selulosa
murni dan alami. Selulosa ini tersusun sedemikian rupa sehingga memberikan
kekuatan, daya tahan (durabilitas), dan daya serap yang tinggi pada kapas. Selain
industri tekstil, serat kapas juga dimanfaatkan oleh industri kertas, kosmetik, dan
kesehatan. Oleh karena itu, kebutuhan akan serat kapas cukup tinggi setara
dengan 1.5 juta ton kapas berbiji atau sekitar 1.2 juta ha pertanaman kapas pada
tingkat produksi 1 250 kg/ha (Ditjenbun 2013).
Adapun klasifikasi tanaman kapas menurut Fryxell (1965), sebagai berikut:
Dunia : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Dycotyledonae
Ordo
: Malvales
Tanaman kapas umumnya dikembangbiakkan dari biji. Biji berbentuk bulat
telur, berwarna cokelat kehitaman dengan berat 0.06 – 0.17 gram bergantung pada
varietas. Serat melekat erat pada biji berwarna putih yang disebut fuzz (kabukabu). Kulit biji menebal membentuk lapisan serat berderet pada kulit bagian
dalam. Kapas mempunyai akar tunggang yang panjang dan dalam, dapat
mencapai lebih dari 15 cm bergantung pada umur, besarnya tanaman, aerasi, dan
stuktur tanah. Dari setiap ruas batang tumbuh cabang dan daun. Cabang buah
yang pertama biasanya dihasilkan pada ketiak daun ke-6 sampai ke-8 pada batang
pokok. Jumlah cabang generatif 8 sampai 20 cabang (Edmisten 2010).
Tanaman kapas mulai berbunga pada umur 30 sampai 45 hari dan mulai
mekar 45 sampai 60 hari bergantung pada jenis dan varietas kapas. Tiap cabang
generatif dapat tumbuh 6 sampai 8 bunga. Kuncup bunga berbentuk piramid kecil
ada pula yang melintir (frego) dan berwama hijau. Bunga mulai mekar pada pagi
hari (pukul 6-7) dan layu pada siang hari, kemudian kepala putik membuka
(reseptit). Bagian tangkai yang mengandung tepung sari juga segera membuka
dan menghamburkan tepung sarinya. Tepung sari dapat melekat pada kepala putik
dan mampu bertahan sampai 12 jam. Tepung sari berkecambah dalam waktu yang
singkat dan mencapai bakal buah dalam waktu 12 sampai 30 jam setelah
penyerbukan. Setelah terjadi penyerbukan, buah segera terbentuk. Dari bunga
sampai menjadi buah masak membutuhkan 40 sampai 70 hari. Buah yang masak
akan retak dan terbuka (Gambar 1). Sebagian besar buah terdiri atas 3-5 ruang
(Mauney 1984).
Kapas dapat tumbuh pada wilayah dengan ketinggian 10–150 meter di atas
permukaan laut. Pertumbuhan yang optimal menghendaki suhu rerata 25–30 oC
dengan kelembaban 70% dan radiasi surya paling sedikit 5 jam/hari. Tanaman
kapas dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah dengan drainase baik dan

5
memiliki kapasitas tukar kation (KTK) tinggi dengan pH 5.5–8.5, serta kadar
bahan organik > 3.5% (nisbah C/N 10–12). Penyerapan hara N, P dan K terjadi
mulai fase perkecambahan sampai pemasakan buah. Serapan hara terbanyak
(lebih dari 80%) terjadi sejak pembentukan bunga sampai waktu pembentukan
dan pemasakan buah (umur 35–120 hari). Pada awal pertumbuhan kapas, serapan
hara kurang dari 20%. Walaupun kebutuhan NPK pada awal pertumbuhan kecil,
tapi hara tersebut perlu tersedia, Kekurangan N pada periode ini akan
menghambat pertumbuhan dan mengurangi pembentukan kuncup bunga.
Kekurangan P dapat menghambat perkembangan akar, dan kekurangan K dapat
mengurangi vigor tanaman, mengurangi ketahanan kapas terhadap kekeringan dan
penyakit. Dengan demikian kekurangan hara pada fase pertumbuhan akan
berpengaruh langsung pada produksi (Ditjenbun 2011).

Gambar 1 Buah kapas tua
Curah hujan optimal yang dibutuhkan kapas berada pada kisaran 500-1 500
mm. Kapas memerlukan air sekitar 6 000 – 9 000 m3/ha selama 140-150 hari
pertumbuhannya. Kebutuhan air cukup besar saat setelah pembentukan kuncup
bunga dan mencapai maksimal (8-10 mm/hari) pada periode pembungaan dan
pengisian buah. Pada periode ini kapas sangat rentan terhadap kekeringan, karena
akan menyebabkan keguguran kuncup bunga, bunga, dan buah muda. Kebutuhan
air mulai berkurang setelah buah pertama merekah. Namun demikian tetap
membutuhkan air, dan kekurangan air pada periode ini dapat menurunkan kualitas
serat. Panjang serat bervariasi bergantung pada jenis dan varietas kapas. Panjang
serat yang dikembangkan di Indonesia sekitar 26-29 mm. Satu buah kapas dapat
menghasilkan serat sebanyak ± 3.5 – 4 gram. Keterbatasan air pada periode
pemanjangan serat dapat mengurangi panjang serat (Ditjenbun 2011).
Selain faktor ketersediaan air, kehadiran organisme pengganggu juga dapat
memengaruhi produktivitas kapas. Beberapa hama utama pada tanaman kapas
antara lain hama penggerek buah kapas, Helicoverpa armigera (Lepidoptera :
Noctuidae); hama penggerek pucuk kapas, Earias sp. (Lepidoptera : Noctuidae);
hama penggulung daun, Pectinophora gossypiela (Lepidoptera : Gelechiidae);
hama pemakan daun, Agrotis sp. (Lepidoptera : Noctuidae); ulat grayak,
Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae); hama penghisap daun, Sundapteryx
biguttula (Hemiptera : Jassidae); kutukebul, Bemisia tabaci (Hemiptera :
Aleyrodidae); kutudaun, Aphis gossypii (Hemiptera : Aphididae); dan tungau,
Tetranychus sp. (Acarina : Tetranychidae). Biaya pengendalian hama pada

6
tanaman kapas tergolong tinggi, mencapai 41% dari biaya produksi (Basuki et al.
2002).
Agribisnis kapas diharapkan dapat memberikan kontribusi pada industri
TPT sekitar 30% dari kebutuhan bahan baku kapas saat ini hingga tahun 2025.
Tantangan yang dihadapi oleh pengembangan kapas Indonesia cukup kompleks,
berawal dari ketidaktersediaan benih bermutu, adanya serangan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) sampai dengan kelangkaan modal petani.
Ketersediaan sumber daya alam terutama lahan kering masih cukup luas di luar
Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur
yang memberikan peluang bagi pengembangan kapas nasional. Oleh karena itu,
komoditas kapas merupakan salah satu komoditas yang diprioritaskan untuk
dikembangkan dalam mendukung revitalisasi perkebunan (Balittas 2008).
Biologi Helicoverpa armigera HÜBNER (Lepidoptera: Noctuidae)
Hama penggerek buah kapas, H. armigera HÜBNER (Lepidoptera:
Noctuidae) merupakan salah satu hama utama tanaman kapas yang serangannya
berpotensi merusak dan mengakibatkan produksi buah kapas menurun hingga
70% (Indrayani et al. 2013). Serangan hama ini ditemukan hampir di seluruh
pertanaman kapas pada setiap musim tanam. Serangan biasanya dimulai saat
pembentukan kuncup bunga kapas yaitu pada 30-35 hari setelah tanam (HST) dan
berakhir hingga menjelang panen. Hama ini dapat merusak mulai dari daun muda,
kuncup bunga, bunga, buah muda, hingga buah tua yang masih berwarna hijau.
Buah yang terserang sering menjadi busuk dan berlubang (Nasreen et al. 2004).
Berdasakan kunci taksonomi (CABI 2015), H. armigera termasuk dalam :
Dunia
: Animalia / Metazoa
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Uniramia
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae
Hama ini bermetamorfosis secara sempurna (holometabola) dengan telur
menyerupai bola berukuran 0.05 cm, mula-mula berwarna putih kekuningan dan
mengkilap kemudian berubah menjadi kehitaman menjelang menetas. Sebagian
telur diletakkan di bagian atas tanaman seperti pucuk, kuncup bunga, dan buah
muda. Telur menetas setelah 3–4 hari. Larva instar pertama disebut neonate
dengan ukuran sangat kecil 0.1 cm dengan ukuran kepala lebih besar dari tubuh
dan berwarna hitam (blackhead). Larva instar-1 dan 2 biasanya lebih suka
memakan daun muda. Instar-3 dan 4 bersifat kanibal, menyerang kuncup bunga
dan bunga, sedangkan instar-5 dan 6 lebih banyak merusak buah-buah muda.
Larva instar akhir memiliki variasi warna tubuh yaitu kehitaman, coklat atau
kehijauan, agak kemerahan sampai kuning pucat. Pada bagian punggung larva
terdapat garis berwarna gelap memanjang disertai garis berwarna putih di kedua
sisinya. Larva instar akhir berukuran ± 4 cm, berumur 16-19 hari dengan 5 kali
ganti kulit. Dalam satu buah, jarang ditemukan lebih dari satu larva. Biasanya satu
individu larva dapat merusak sampai 12 buah, bila kuncup dan buah tidak ada lagi
maka larva akan menyerang daun, sehingga tanaman tidak dapat berproduksi.

7
Prapupa masih dalam bentuk larva, aktivitas makan mulai berkurang. Larva
kelihatan lemah dan pucat, cenderung membenamkan di dalam pasir atau tanah.
Pupa berwarna coklat kekuningan, dan berwarna coklat gelap pada akhir
fase. Panjang pupa 1.5-2 cm. Stadia pupa berada dalam tanah, kadang-kadang
dapat ditemukan juga pada tanaman. Imago berupa ngengat dengan panjang tubuh
± 2 cm dengan rentang sayap ± 2.5 cm. Pada sayap depan terdapat garis
memanjang berbercak gelap pada bagian tengah. Ngengat jantan berwarna coklat
cerah sampai suram, sedangkan betina berwarna coklat cerah. Ngengat betina
mulai meletakkan dalam waktu 3 hari setelah kawin. Satu individu imago betina
dapat meletakkan telur lebih dari 1 000 butir telur (Ditlinbun 2004). Lama siklus
hidup H. armigera dari fase telur hingga imago yaitu sekitar 31-47 hari
(Subiyakto 2000) (Gambar 2).

a

f ♀ Rentang sayap = 2.5 cm
d= 0.05 cm

b
♂ Rentang sayap = 2.1 cm

p = 0. 1 cm

e

c

d

p=1.8 cm

p = 2 cm

p = 3.5 cm

Gambar 2 Siklus hidup H. armigera, (a) telur, (b) larva instar pertama (neonate),
(c) larva instar akhir, (d) prapupa, (e) pupa, (f) imago betina (atas) dan
jantan (bawah). Nucleopolyhedrovirus (NPV)
Baculoviridae adalah kelompok utama virus yang menyerang arthropoda
(Herniou & Jehle 2007). Nucleopolyhedrovirus merupakan genus terpenting dari

8
famili Baculoviridae, karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang
serangga termasuk dalam genus ini. NPV paling banyak pada ordo Lepidoptera
(86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain
itu, NPV juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan
Neuroptera. Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang
sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resistan terhadap
insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan
residu di alam. Umumnya NPV menginfeksi stadia larva Lepidoptera, sedikit
sekali laporan yang menyebutkan bahwa NPV dapat menginfeksi pupa dan imago
(Koul & Dhaliwal 2002). Penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana
pertama kali diisolasi dan diidentifikasi (CABI 2000). NPV yang menyerang larva
Helicoverpa armigera (Lepidoptera : Noctuidae) disebut Helicoverpa armigera
NPV (HearNPV). Secara taksonomi (ICTV 2014), HearNPV termasuk ke dalam :
Famili
: Baculoviridae
Subfamili
: Eulobaculovirinae
Genus
: Alphabaculovirus
Klasifikasi virus didasarkan pada materi genetik penyusun dan ada tidaknya
amplop/kapsid penyelubung virion. NPV merupakan virus golongan I dengan
materi genetik DNA untai ganda yang memproduksi dua tipe virion, yaitu
occlussion derived virus (ODV), dan budded virus (BV) (Jehle et al. 2006). ODV
diproduksi dalam matriks protein kristal yang disebut badan oklusi (OB),
bertanggung jawab pada infeksi primer serta untuk penyebaran virus di antara
serangga (Szewczyk et al. 2006). ODV disebarkan melalui kotoran serangga yang
terinfeksi (Vasconcelos 1996). BV diproduksi setelah infeksi primer selesai,
berfungsi untuk menularkan virus ke jaringan lain dalam serangga yang terinfeksi.
Secara filogenetis, NPV terbagi menjadi NPV tipe I yang mengandung fusi
protein Gp64, diperlukan agar virus mudah masuk ke dalam sel, sedangkan NPV
tipe II tidak mengandung fusi protein Gp64, namun memiliki F protein yang
memiliki peran yang sama dengan Gp64. Protein ini juga dapat ditemukan
beberapa virus vertebrata (Szewczyk et al. 2006). Menurut Li & Blissard (2009)
gen gp64 yang terdapat pada badan oklusi NPV memegang peranan penting
sebagai reseptor pengikat sel serangga inang dan memudahkan virus masuk ke
dalam sel inang melalui proses endositosis. Virion terbungkus dalam protein
kristalin berupa badan oklusi (occlusion bodies) yang disebut dengan polihedra.
Polihedra berukuran 0.5-15 µm (Vega & Kaya 2012), dapat dengan mudah
diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya, berbeda dengan jenis virus
lainnya yang cenderung sulit terlihat (Grzywacz et al. 2011). Virion NPV
memiliki nucleocapsid tunggal (SNPV) atau nukleokapsid jamak (MNPV). Pada
SNPV tiap envelope berisi satu nuckleokapsid, sedangkan pada MNPV berisi
lebih dari satu sampai 39 nukleokapsid (Kalmakoff & Ward 2003). Pada
umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik dibandingkan dengan
MNPV (Ignoffo & Couch 1981). Nukleokapsid berbentuk batang yang
mengandung untaian ganda asam deoksiribonukleat (DNA) sirkular dengan
panjang 250 – 400 nm dan lebar 40 – 70 nm (Tinsley & Kelly 1985).
NPV mulai menginfeksi saat polihedra tertelan bersamaan dengan pakan
oleh larva. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga pada saat
meletakkan telur atau melalui luka tubuh yang mungkin disebabkan oleh serangan
musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah terinfeksi

9
pada keturunannya melalui telur (transovarial), maupun telur yang terkontaminasi
oleh virus dari lingkungannya (transovum). Apabila virus telah masuk ke dalam
tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan virion pada
sel-sel saluran pencernaan tengah (mesenteron) yang bersuasana alkalin (pH 9.010.5). Virion menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga
tubuh, kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan hingga syaraf. Dalam waktu 1-2
hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi
keruh. Tahap ini disebut infeksi primer. Replikasi virion terjadi di dalam inti sel
(nukleus). Nukleus lama-kelamaan akan membengkak karena dipenuhi oleh
massa padat virus yang disebut viroplan. Pada tahap selanjutnya (infeksi
sekunder) virus akan menyerang sel-sel dari organ tubuh yang lain, namun
sebelumnya untuk menembus keluar dari dinding sel, virus membentuk BV
dengan tunas pada bagian ujungnya yang disebut peplomer. Pembentukan badan
oklusi (polihedra) terjadi sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel
hemolimf, trakea, hypodermis, dan badan lemak. Larva yang terinfeksi NPV pada
umumnya ditandai dengan berkurangnya kemampuan makan, gerakan yang
lambat, dan tubuh membengkak akibat replikasi atau perbanyakan partikelpartikel virus. Integumen larva mengalami lisis sehingga menjadi lunak, rapuh
sehingga mudah sobek (Vega & Kaya 2012). Pada akhirnya tubuh larva pecah dan
mengeluarkan cairan kental berwarna coklat susu yang mengandung milyaran
polihedra NPV dengan bau yang sangat menyengat (Gambar 3). Larva serangga
inang yang terinfeksi NPV akan mengalami abnormalitas secara morfologi,
fisiologi dan perilakunya (Pionar & Thomas 1984). Hoffmann & Frodsham
(1993) menyatakan bahwa virus yang berbeda akan menimbulkan tanda dan
gejala yang berbeda pula. Di lapangan, kematian larva akibat terinfeksi NPV
sering ditemukan dengan tanda tubuh larva menggantung dengan tungkai semu
menempel pada daun atau ranting tanaman. Kematian larva muda (instar-1 sampai
3) terjadi dalam 2 hari, sedangkan larva tua (instar-4 sampai 6) dalam 4-9 hari
setelah polihedra tertelan (Vega & Kaya 2012).

Gambar 3 Gejala larva H. armigera yang terserang NPV
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempercepat daya bunuh, antara
lain (a) mengaplikasikan NPV pada saat larva masih muda (Okada 1977), (b)
mendapatkan strain NPV dengan virulensi tinggi, (c) mengkombinasikan NPV
dengan insektisida, dan (d) mengembangkan NPV rekombinan yang memiliki
daya bunuh 2-3 hari. Teknik DNA rekombinan dilakukan dengan cara
menyisipkan gen spesifik ke dalam genom NPV (Starnes et al. 1993). Treacy
(1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kelemahan kinerja NPV secara

10
bioteknologi telah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu dengan
menghilangkan gen (gene deletion) tertentu dari genom virus dan menyisipkan
gen (gene insertion) yang mengekspresikan protein yang bersifat virulen pada
genom virus.
Gen late expression factor 8 (Lef-8)
Keanekaragaman genetik merupakan variasi gen dalam satu spesies di antara
individu dalam satu populasi atau di antara populasi yang terpisah secara
geografis (Indrawan et al. 2007). Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan
nukleotida penyusun deoxyribonucleic acid (DNA) (Suryanto 2003). Variasi alel
dari gen dapat memengaruhi fisiologi dan perkembangan suatu individu. Tingkat
keanekaragaman genetik ini berperan dalam proses adaptasi terhadap lingkungan
(Indrawan et al. 2007). Besarnya tingkat keanekaragaman di dalam suatu spesies
bergantung pada jumlah individu, penyebaran wilayah geografis, dan sistem
genetiknya (Elrod & Stansfield 2007). Informasi keanekaragaman genetik ini
bermanfaat untuk mendapatkan spesies dengan beberapa sifat unggul, dalam hal
ini diperlukan informasi mengenai strain NPV dengan virulensi tinggi.
Berdasarkan spesifik inangnya, famili Baculoviridae dibagi menjadi empat genus,
yaitu Alphabaculovirus yang merupakan spesifik Lepidoptera terbagi atas sub
grup I dan II, Betabaculovirus yang merupakan golongan granulovirus spesifik
Lepidoptera, Gammabaculovirus yang merupakan spesifik Hymenoptera, dan
Deltabaculovirus yang merupakan spesifik Diptera (Jehle et al. 2006). Perbedaan
antara urutan genom yang terdapat pada Baculovirus ini menjadi sumber kunci
identifikasi yang disebut dengan gen inti (core gene). Gen inti ini dapat
menunjukkan beberapa fungsi biologi di antaranya gen ekspresi virus, struktur
produksi virion, mekanisme perkembangan infeksi maupun pembatalan infeksi
terhadap inang (Van Oers et al. 2007).
Ekspresi gen pada Baculovirus diklasifikasi ke dalam empat fase, yaitu
ekspresi awal-cepat, awal-tunda, lambat, dan sangat lambat. Beberapa penelitian
menghubungkan ekspresi gen ini untuk mengidentifikasi karakterisasi molekuler
NPV di dunia, salah satunya dengan menggunakan pola situs pemotongan enzim
restriksi untuk memperoleh variasi genetik pada isolat yang berbeda. Pendekatan
metode polymerase chain reaction (PCR) sangat sensitif untuk
mengklasifikasikan Baculovirus ini. Metode ini menggunakan pendekatan daerah
konservasi hasil amplifikasi oligonukleotida dari genom dan memungkinkan dapat
dengan mudah dianalisis menggunakan program digital pendukung. Ekspresi gen
pada NPV diatur pada tingkat transkripsi (Friesen & Miller 1986). Kunci
pengaturan ini diperankan oleh gen ekspresi awal hingga gen ekspresi akhir yang
bekerja secara bergantian dalam mekanisme polimerase. Gen transkripsi awal
virus membawa inang RNA polymerase II (bersifat sensitif a-amanitin) yang
mengkode produk protein virus secara bebas atau dengan kata lain berperan dalam
replikasi DNA virus. Di sisi lain, gen ekspresi lambat dan sangat lambat bekerja
dengan hambatan a-amanitin RNA polymerase yang dibentuk selama infeksi
berlangsung (Fuchs et al. 1983). Proses transkripsi juga bergantung transaktivator
ekspresi awal virus dan inang (Acharya & Gopinathan 2002).

11
Beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan infeksi Baculovirus adalah
biologi inang, virulensi virus dan ekologi virus (Trevor et al. 2005). Isolat
Baculovirus yang diperoleh dari spesies yang sama di lokasi geografis yang
berbeda sering menunjukkan variasi genetik dan perbedaan dalam biologinya
(Cory et al. 2005). Karakterisasi molekuler dari susunan dan organisasi gen
berfungsi menunjukkan hubungan evolusi di antara anggota Baculoviridae.
Sekuen dari gen late expression factor-8 (lef-8) dapat digunakan untuk
mengamplifikasi DNA NPV Lepidoptera (Acharya & Gopinathan 2002). Variasi
diamati berdasarkan urutan kode genom DNA yang merupakan kunci identifikasi
(Herniou et al. 2001). Li et al. (2009) mengemukakan bahwa dua spesies
dikatakan identik apabila persentase kemiripan >73%. Prosedur PCR
menggunakan urutan nukleotida dari gen lef-8 terbukti menjadi cara yang mudah
dan dapat diandalkan untuk mengidentifikasi isolat Baculovirus (Jose et al. 2013).

12

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2014 – Agustus 2015. Sampel
isolat HearNPV diperoleh dari perkebunan kapas di Kabupaten Gowa-Provinsi
Sulawesi Selatan, Kab. Wonogiri-Prov. Jawa Tengah dan Kab. Situbondo-Prov.
Jawa Timur. Uji bioassai dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Patologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Karakterisasi
molekuler dilakukan di laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Pengamatan morfologi polihedra dilakukan di
laboratorium Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-Cibinong.
Prosedur Penelitian
Uji Patogenisitas HearNPV
Perbanyakan Serangga Uji. Larva H. armigera diperoleh dari pertanaman
jagung di Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara dan dipelihara secara
individual dalam mangkok plastik berdiameter 5.5 cm dan tinggi 4.7 cm
menggunakan pakan tongkol jagung muda. Pupa yang terbentuk dipindahkan ke
wadah plastik berdiameter 34 cm dan tinggi 35 cm yang bagian dasarnya diisi
dengan serbuk gergaji. Bagian atas wadah ditutup dengan kain kasa sebagai
tempat peletakan telur. Ngengat diberi pakan larutan madu 10% yang diresapkan
pada kapas. Telur yang diletakkan pada kain kasa dipanen setiap hari (Gambar 4).
Setelah 24 jam, dilakukan sterilisasi terhadap permukaan telur menggunakan
sodium hypoclorite 0.1%. Larva yang diperoleh digunakan untuk tahap penelitian
selanjutnya.
Penutup kain kasa,
Sebagai tempat peletakan telur

Larutan madu 10% diresapkan
pada kapas

Serbuk kayu

Gambar 4 Wadah peletakan telur oleh imago H. armigera

13
Isolasi dan Perbanyakan NPV. Sampel cadaver ulat H. armigera yang
menunjukkan gejala terserang NPV dari ketiga wilayah (Provinsi Sulawesi
Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), dikumpulkan kemudian dimurnikan di
laboratorium. Cadaver digerus dengan mortar dalam larutan SDS 0.1 %,
kemudian disaring menggunakan kain kasa berukuran 100 mesh. Filtrat dituang ke
dalam tabung mikro 2 mL, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2 000 rpm
selama 1 menit. Pelet yang terbentuk dibuang, supernatan diambil dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 5 000 rpm selama 20 menit. Pelet yang
terbentuk ditambahkan beberapa tetes aquabides (Cheng 1998). Irisan jagung
dicelupkan ke dalam suspensi tersebut untuk selanjutnya digunakan sebagai pakan
larva instar-3 H. armigera. Ulat yang mati setelah mengonsumsi pakan tersebut,
dikumpulkan dan diproses dengan metode yang sama untuk mendapatkan NPV
yang diperlukan untuk tahap penelitian selanjutnya.
Bioassai NPV terhadap H. armigera. Pemurnian virus dilakukan dengan
metode gradien sukrosa yang dibuat secara kontinyu pada tabung mikro 2 mL
(Grzywacz et al. 2011). Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm
selama 99 menit. Pita putih yang terbentuk diambil dengan menggunakan pipet
pasteur dan disuspensikan kembali dengan menambahkan beberapa tetes
aquabides (Gambar 5). Suspensi tersebut disentrifugasi kembali pada 7 000 rpm
selama 20 menit. Endapan yang terbentuk diambil dan ditambahkan aquabides,
kemudian kerapatan polihedra HearNPV dalam suspensi tersebut ditentukan
dengan menggunakan haemacytometer. Kerapatan yang digunakan yaitu 2.5x103,
2.5x104, 2.5x105, 2.5x106, dan 2.5x107 POBs/mL. Pipilan jagung muda
dicelupkan ke dalam masing-masing suspensi HearNPV dan diberikan pada larva
H. armigera instar-1 sebanyak 20 individu tiap perlakuan. Perlakuan diulang
sebanyak empat kali. Kontrol menggunakan pipilan jagung muda yang dicelupkan
ke dalam aquabides.

Suspensi NPV
40%
45%
50%
55%
60%

a

b

Gambar 5 Teknik gradien sukrosa pada tabung mikro, (a) sebelum dan (b) setelah
sentrifugasi membentuk garis awan putih berisi polihedra NPV murni
(panah)

14
Penampang Polihedra Isolat HearNPV melalui Scanning Elecron Microscopy
(SEM)
Suspensi polihedra murni ditempatkan pada coverglass sebanyak satu lup
inokulasi kemudian dikeringanginkan. Setelah kering, coverglass tersebut
ditempelkan pada stub dengan menggunakan double tape carbon. Sampel
kemudian dilapisi (coated) dengan emas menggunakan ion sputtering device
(JEOL FINE COAT tipe JFC-1100 E) selama 4 menit dengan arus listrik sebesar
10 A untuk memperoleh lapisan setebal 30 Ǻ (Gambar 6). Hal tersebut dilakukan
untuk meningkatkan jumlah elektron yang masuk dan memantul dari sampel
sehingga dapat ditangkap dengan alat penginderaan. Setelah pelapisan, sampel
tersebut diamati dengan menggunakan SEM (Tipe JEOL JSM-5200) pada
perbesaran 5000 kali. Gambar yang diperoleh kemudian diabadikan dengan
menggunakan kamera Polaroid.

Gambar 6 Alat pelapis emas pada sampel preparasi SEM, tampak samping (kiri)
dan tampak atas (kanan)
Karakterisasi Molekuler
Pemurnian virion dan ekstraksi DNA. Polihedra yang telah dimurnikan
menggunakan gradien sukrosa pada metode sebelumnya diresuspensi dengan
larutan sodium karbonat (Na2CO3, pH 11), dan didiamkan pada suhu 37 oC selama
30 menit, kemudian disentrifugasi kembali menggunakan tabung mikro 2 mL
pada 13 000 rpm selama 1 jam hingga terbentuk pelet yang merupakan kumpulan
virion NPV. Virion dimurnikan dengan metode yang sama pada pemurnian
polihedra (Cheng 1998), selanjutnya dilakukan ekstraksi DNA dengan
menggunakan Viral nucleic acid extraction kit II (Geneaid VR050). Proses
ekstraksi DNA genom virus meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Lisis : Proses ini bertujuan mengeluarkan isi sel dengan cara
merusak/menghancurkan dinding sel. Sebanyak 200 µl virion murni
dimasukkan ke dalam tabung mikro kemudian ditambahkan 400 µl VB lysis
buffer. Suspensi tersebut dikocok menggunakan vortex kemudian diinkubasi
pada suhu ruangan selama 10 menit.
2. Pengikatan asam nukleat : Pada suspensi ditambahkan 450 µl AD buffer,
kemudian dipindahkan ke tabung mikro yang di dalamnya terdapat tabung
kolom VB (Gambar 7), kemudian disentrifugasi pada 13 000 rpm selama 1
menit. Cairan yang tertampung pada dasar tabung mikro dibuang.

15
3. Pencucian : Sebanyak 400 µl W1 Buffer ditambahkan pada tabung kolom VB,
kemudian disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit. Cairan
yang tertampung pada dasar tabung balance dibuang. Pada tabung kolom VB
ditambahkan 600 µl wash buffer yang berfungsi mencuci DNA dari pengotor,
kemudian disentrifugasi kembali pada 13 000 rpm selama 1 menit. Cairan yang
tertampung pada dasar tabung mikro dibuang, kemudian disentrifugasi kembali
pada 13 000 rpm selama 3 menit hingga dasar tabung kolom VB kering.
4. Elusi asam nukleat: Pindahkan tabung kolom VB ke dalam tabung mikro yang
baru, kemudian ditambahkan 50 µl RNAase free water yang berfungsi
mengikat RNA yang termasuk dalam pengotor, setelah itu didiamkan selama 3
menit. Setelah itu disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit.
Cairan akhir yang tertampung di dasar tabung mikro merupakan DNA hasil
ekstraksi (fungsi semua bahan)

Tabung kolom VB
Tabung mikro

Ekstrak DNA virus

Gambar 7 Ilustrasi tabung kolom VB yang digunakan dalam ekstraksi DNA
Amplifikasi DNA HearNPV menggunakan PCR. Amplifikasi
menggunakan primer gen lef-8 dengan urutan oligonukleotida primer forward 5’ATGAATTGCAAACTCTCCGCCCAG-3’ dan reverse 3’-TCGACTGCAGACCGCCGAAGA-5’ (Kaur et al. 2014). Untuk amplifikasi tiap isolat HearNPV,
sebanyak 2 μl DNA hasil ekstraksi

Dokumen yang terkait

Uji Ketahanan Beberapa Varietas Jagung Terhadap Penggerek Batang (Ostrinia furnacalis Guenee) dan Penggerek Tongkol (Helicoverpa armigera Hubner) Di Lapangan Uji Terbatas

10 124 56

ENGARUH KOMPOSISI PUPUK TERHADAP PENGGEREK BATANG (Ostrinia furnacalis Guenee ) DAN PENGGEREK TONGKOL (Helicoverpa armigera Hubner) PADA PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays)

0 7 35

Ekologi Helicoverpa armigera (HUBNER) (Lepidoptera : Noctuidae) pada Pertanaman Tomat

0 47 270

Ekologi Helicoverpa armigera (HUBNER) (Lepidoptera Noctuidae) pada Pertanaman Tomat

0 4 130

Perbanyakan Inokulum Nomuraea Rileyi (FARL ) Sams. dan Virulensinya Terhadap Ulat Perusak Buah Helicoverpa armigera (HBN)

1 15 55

Kajian pelepasan populasi Trichogrammatidae untuk pengendalian helicoverpa armigera (Hubner) dan dampaknya terhadap komunitas artropoda pada pertanaman kedelai

0 11 72

Kajian Tentang Patogenisitas Helicoverpa Armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (Hanpv) Pada Beberapa Spesies Serangga - The Study of Patogenicity of Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) in Several Insects Larvae.

0 0 16

Pengaruh Dosis Helicoverpa Armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (Hanpv) Terhadap Konsumsi Makan, Berat Badan Dan Berat Pupa Larva Helicoverpa Armigera (Hubner) - Influence Of Infection Dosages Of The Helicoverpa Armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (Hanpv)

0 0 11

BIOEKOLOGI Helicoverpa armigera

0 0 10

Karakter morfologi, biologi, dan molekuler tiga isolat Helicoverpa armigera Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) terhadap penggerek buah kapas Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae)

0 1 10