Keterbobotan Sistem Voting DPR RI

48 Tabel 5.5 Data Keterwakilan Propinsi Partai Propinsi PDI P D E M P A N H A N G E R P K S P K B G O L P P P - 7 1 - - 2 - 2 1 Aceh 4 10 3 2 1 3 - 5 2 Sumatra Utara - 5 2 - - 2 - 3 2 Sumatra Barat 1 2 1 - - 1 1 4 1 Riau - 1 1 - - 1 - 1 - Bengkulu 1 2 2 1 - - - 1 - Jambi 3 3 1 1 2 2 - 4 - Sumatra Selatan 3 4 2 1 2 2 1 3 - Lampung 1 1 - - - - - 1 - Babel - 1 - - - 1 - 1 - Kepri 3 6 1 1 1 3 - 4 3 Banten 3 8 1 - 2 4 - 2 1 DKI 16 28 2 2 4 12 3 15 8 Jawa Barat 19 14 8 1 4 7 6 11 7 Jawa Tengah 2 2 1 - - 1 1 1 - D.I. Yogyakarta 18 21 7 2 5 6 13 11 4 Jawa Timur 4 2 - - 1 - - 2 - Bali 1 3 1 1 - 1 - 2 1 NTB 2 3 1 1 2 - - 4 - NTT 3 2 1 - - 1 - 2 1 Kalimantan Barat 2 1 1 - - - - 1 1 Kalimantan Tengah 1 2 1 - - 2 1 2 2 Kalimantan Selatan 1 2 - - 1 1 - 2 1 Kalimantan Timur - 1 1 - - - - 1 - Sulawesi Barat - 1 - - - - - 1 1 Gorontalo 2 1 1 - - - - 2 - Sulawesi Utara - 2 1 - - 1 - 1 - Sulawesi Tengara - 6 3 2 1 3 - 8 2 Sulawesi Selatan 1 1 1 1 2 Sulawesi Tengah 1 1 - - - - 1 1 - Maluku 49 1 1 - - - - - 1 - Maluku Utara - 1 - - - - - 2 - Papua Barat 1 3 1 1 - 1 3 - Papua Misalkan untuk sembarang sistem voting terbobot dengan sembarang dua koalisi pemenang G dan H, dengan setidaknya satu pemilih x di dalam G tetapi tidak di dalam H dan satu pemilih y di dalam H tetapi tidak di dalam G. Dari data keterwakilan di atas mengingat syarat 1, Partai Demokrat dan Partai Golkar berada dalam koalisi yang berbeda. Jika terjadi pertukaran antara x dan y maka syarat 1 akan selalui dipenuhi oleh minimal salah satu koalisi yang baru. Misalkan pemilih x dipertukarkan dengan pemilih y , sehingga diperoleh koalisi baru G dan H, selanjutnya dengan argumentasi yang sama dengan pembuktian Teorema 3.1, dapat dipahami bahwa sistem voting tersebut merupakan sistem voting yang bertukar kuat. Dalam Contoh 5.3 di atas tidak dapat disimpulkan apakah sistem voting tersebut terbobot atau tidak. Dalam Contoh 8 berikut ditunjukkan bahwa sistem voting pada Contoh 5.3 di atas merupakan sistem voting yang tidak berdagang kuat. Contoh 5.4 Misalkan diberikan sistem voting dengan aturan pemenangan seperti dalam Contoh 5.3 di atas dan diberikan dua koalisi pemenang A dan B seperti dalam Tabel 5.6 berikut. 50 Tabel 5.6 Daftar Koalisi Pemenang A dan B Koalisi A Bobot Koalisi B Bobot Demokrat 148 PDIP 94 Hanura 17 Gerindra 26 PKB 28 Hanura 17 PPP 38 Golkar 106 PKS 57 PAN 46 Jumlah Bobot 288 Jumlah Bobot 289 Pertukaran Golkar dengan PKB, PKS dan PPP diperoleh koalisi baru A dan B seperti dalam Tabel 5.7 berikut. Tabel 5.7. Daftar Koalisi A ’ dan B’ Koalisi A ’ Bobot Koalisi B Bobot Demokrat 148 PDIP 94 Hanura 17 Gerindra 26 Golkar 106 Hanura 17 PAN 46 PKB 28 PPP 38 PKS 57 Jumlah Bobot 271 Jumlah Bobot 306 51 Koalisi A adalah koalisi kalah karena bobot koalisi kurang dari yang disyaratkan. Koalisi B juga koalisi kalah karena Propinsi Papua Barat tidak terwakili. Jadi sistem voting ini tidak berdagang kuat. Dengan menggunakan kontraposisi Teorema 3.2 dapat disimpulkan bahwa sistem voting ini tidak terbobot.

B. Dimensi Sistem Voting DPR RI

Dengan diketahuinya bahwa sistem voting DPR RI dalam Contoh 5.3 adalah sistem voting yang tidak terbobot. Dengan demikian, itu sudah cukup untuk menghasilkan dua sistem terbobot, dengan himpunan yang sama dari pemilih sebagai sistem voting DPR RI.Berikut diberikan bobot pemilih dalam Sistem I dan Sistem II dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8 Bobot Pemilih dalam Sistem I dan Sistem II Partai Bobot Sistem I Sistem II PDIP 94 Gerindra 26 Hanura 17 Golkar 1 106 PAN 46 Demokrat 1 148 Hanura 17 PKB 28 52 PPP 38 PKS 57 Suara Mayoritas 1 281 Sekarang akan ditunjukkan bahwa koalisi yang menang di sistem voting DPR RI jika dan hanya jika menang dalam Sistem baik I dan di Sistem II. Misalkan kemudian bahwa X adalah koalisi yang menang dalam sistem voting DPR RI. Tanpa mengurangi perumuman, diasumsikan bahwa X adalah koalisi pemenang minimal. Dengan demikian, X terdiri dari partai Demokrat danatau partai Golkar ditambah dengan partai-partai dengan jumlahan bobot dalam sistem II setidaknya 281.

C. Sistem Voting DPR RI Terbobot-Vektor

Dengan diketahuinya bahwa Sistem Voting DPR RI dalam contoh 5.3 berdimensi 2, berakibat dapat ditetapkan 2-pasangan terurut sebagai bobot vektor. Entri pertama diisi untuk mengakomodasi syarat 1 dalam suara mayoritas. Entri kedua diisi untuk mengakomodasi syarat 2 dalam suara mayoritas. Berikut adalah bobot vektor dari sistem voting DPR RI. Tabel 5.8 Bobot Vektor Setiap Partai Partai Bobot Vektor PDIP 0,94 53 Gerindra 0,26 Golkar 1,106 PAN 0,46 Demokrat 1,148 Hanura 0,17 PKB 0,28 PPP 0,38 PKS 0,57 Dengan suara mayoritas yang ditetapkan adalah 1,281 dan dapat dinyatakan sebagai: 1,281; 1,148, 0,57, 0,38, 0,46, 0,28, 0,17, 0,26, 0,94, 1,106 . Sebagai contoh misalkan C adalah koalisi yang terdiri dari Demokrat, PKS, PPP dan Golkar sehingga jumlah bobotnya adalah 1,148 + 0,57 + 0,38 + 1,106 = 2,349. Ditemukan bahwa bobot koalisi ini memenuhi suara mayoritas oleh sebab 2,349 ≥ 1,281 sehingga koalisi C adalah koalisi pemenang. 54

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Terbukti bahwa sistem voting terbobot adalah bertukar kuat danatau berdagang kuat. 2. Pembobotan sistem voting setuju-tidak setuju yang tidak terbobot dapat dinyatakan dalam sistem voting berdimensi n dan dapat dinyatakan juga dalam sistem voting terbobot-vektor. Selain itu, ditemukan bahwa jika sistem adalah berdimensi n, maka bobot dan suara mayoritas masing-masing dapat diambil sebagai n-pasangan terurut tetapi tidak -pasangan terurut. 3. Sistem voting setuju-tidak setuju di DPR RI adalah sistem voting yang terbobot.

B. Saran

Adapun saran-saran yang diberikan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pemahaman keterbobotan sistem voting lebih lanjut, dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan voting setiap pemilih. 2. Dalam contoh sistem voting berdimensi , contoh yang digunakan adalah sistem voting berdimensi 2, untuk penelitian lebih lanjut dapat dicari sistem 55 voting berdimensi , guna menunjukan kegagalan dalam mencari sistem voting berdimensi .