PENERAPAN REHABILITASI MEDIS BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

ABSTRAK
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS BAGI PENGGUNA NARKOTIKA
(Studi pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

Oleh
DARVI JULIANSYAH
Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan
mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.
Pemidanaan yang relevan terhadap pecandu narkotika adalah rehabilitasi.
Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penerapan rehabilitasi medis
bagi pengguna narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ? (2)
Apakah faktor-faktor penghambat penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna
narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang, Dokter Spesialis Jiwa pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan: (1) Penerapan rehabilitasi medis
bagi pengguna narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan yang diterbitkan oleh

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mengacu pada Ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu dengan tindakan
terapi secara komprehensif, detoksifikasi/rawat inap untuk menghilangkan
ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga pencandu dapat hidup secara
normal kembali dan menyembuhkan tubuh para pecandu dari keterikatan narkotika.
(2) Faktor penghambat penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung adalah: a) Faktor substansi hukum,
yaitu adanya multitafsir dan potensi salah pemahaman terhadap Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;
b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya
personil penyidik, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami
peningkatan. Sumberdaya manusia pada RSJ Bandar Lampung belum memahami
tentang tugas pokok dan fungsinya, keterbatasan ketrampilan, komitmen, dan
reward atau honor yang kurang memadai; c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu
tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang
perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke BNN
Jakarta. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang memadai yaitu belum adanya
pusat rehabilitasi khusus pecandu narkotika di Provinsi Lampung; d) Faktor
masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk


Darvi Juliansyah
menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan
narkotika; e) Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan
masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak
memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku penyalahgunaan
narkotika.
Saran penelitian ini adalah: (1) Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Lampung dapat meningkatkan mutu layanan rehabilitasi terhadap anak
sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung. Selain itu penghambat atau kendala yang dihadapi dalam penerapan
rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung hendaknya diatasi agar rehabilitasi medis dapat dilaksanakan secara
maksimal. (2) Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung dapat mengatasi penghambat atau kendala yang dihadapi dalam
penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Lampung. (3) Pemidanaan bagi para pengguna (bukan pengedar)
hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut
setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat
secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.

Kata Kunci: Penerapan, Rehabilitasi, Pengguna Narkotika

PENERAPAN REHABILITASI MEDIS BAGI PENGGUNA NARKOTIKA
(Studi pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

Oleh
DARVI JULIANSYAH

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 10 Juli
1993, merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis merupakan putra dari pasangan Bapak Indavia
Achyar dan Ibu Dahlia Susilawati.

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Teladan 02 Rawalaut diselesaikan
pada tahun 2005, SMP Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008,
SMA Negeri 01 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011. Pada tahun 2011
Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada
tahun 2015, mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Tanjung Setia Kecamatan
Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat.

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT
atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,
Kupersembahkan Skripsi ini kepada :
Kedua Orang Tua Tercinta,

Papa Indavia Achyar dan Mama Dahlia Susilawati
Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih
untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa menjadi
seseorang yang kuat dan konsisten kepada cita-cita
Kakak-kakakku: Dafvrin Natalia dan David Raafian Satria
yang selalu memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku
Almamater tercinta Universitas Lampung

MOTO

Sesunnguhnya yang paling takut kepada Allah
di antara hamba-hambaNya adalah orang yang beriman
(Q.S. Al Fathir: 28)
Semua orang punya masa lalu
tetapi tidak semua orang mempunyai masa depan
( Penulis )

SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi,
yang berjudul: Penerapan Rehabilitasi Medis Bagi Pengguna Narkotika (Studi
pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung). Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini tidak terlepasa dari bantuan,
bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing II yang
telah bersedia membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar
terselesaikannya skripsi ini.
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah
bersedia


membantu,

mengkoreksi

dan

memberi

masukan

agar

terselesaikannya skripsi ini.
5. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah bersedia membantu,
mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak Muhammad Farid, S.H., M.H; selaku Pembahas II yang telah bersedia
membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi
ini
7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu dan pengetahuan kepada penulis yang kelak akan sangat berguna bagi
penulis, serta seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan, semangat serta dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga segala kebaikan dapat diterima sebagai pahala oleh Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, namun demikian penulis
berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, April 2015
Penulis

Darvi Juliansyah

DAFTAR ISI

I

II


III

IV

PENDAHULUAN .................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...................................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................

7


D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................

8

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

14

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................

16

A. Pengertian Narkotika.........................................................................

16

B. Tindak Pidana Narkotika...................................................................

17


C. Rehabilitasi Terhadap Pencandu Narkotika ......................................

18

D. Tujuan Pemidanaan ...........................................................................

23

METODE PENELITIAN .....................................................................

34

A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

34

B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................

34

C. Narasumber Penelitian .....................................................................

36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................

36

E. Analisis Data .....................................................................................

37

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................

38

A. Karakteristik Narasumber .................................................................

38

B. Penerapan Rehabilitasi Medis Bagi Pengguna Narkotika
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ..............................

39

V

C. Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Rehabilitasi Medis
Bagi Pengguna Narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Lampung .............................................................................

62

PENUTUP ...............................................................................................

72

A. Simpulan ...........................................................................................

72

B. Saran ..................................................................................................

73

DAFTAR PUSTAKA

1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila
penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi
penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,
sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan
peredaran gelap narkotika menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan
berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan,
penanggulangan dan pemberantasan peredaran narkotika mengingat kemajuan
perkembangan komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi saat
ini.
Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara
ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pemidanaan
pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama
lain. pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung
jawab moralnya masing-masing. Selain itu pemidanaan dapat bermanfaat dalam
untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingindihasilkan dengan dijatuhkannya
pidana itu.
Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana

2

dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain
dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan adalah:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 1
Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua
kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku.
pemidanaan

mengakui

asas-asas

atau

keadaan

yang

meringankan

Pemidanaan,mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan
kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata
lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi
masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan
merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Berdasarkan peraturan Undang-Undang Narkotika yang ada maka diketahui
bahwa pelaku tindak pidana narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan
berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati
1

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP.
Semarang. 2001. hlm. 75.

3

selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan
psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana
terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana
pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan
pidana denda.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mengatur penjatuhan dua
hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada
hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP
hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Sebagai tindak pidana yang
bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkotika , hakim diperbolehkan untuk
menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada umumnya
berupa pidana badan (pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara)
dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan bagi pelakunya dan agar tindak
pidana dapat ditanggulangi di masyarakat.
Pengguna narkotika secara ilegal merupakan suatu tindak pidana terhadap pelaku
pengedar atau pengguna harus dikenakan pidana sebagai upaya mencegah
meluasnya tindak pidana narkotika (upaya represif) berupa penegakan hukum
tetapi juga merupakan upaya preventif dalam menanggulangi kejahatan narkotika.
Resosialisasi pelaku tindak pidana kembali ke masyarakat menjadi baik sesuai
dengan prinsip pemasyarakatan, bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang
jiwanya tersesat sehingga perlu diayomi. Tujuan pemidanaan itu baik, tetapi pada
pelaksanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan tidak sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana,
antara lain tindakan kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan, alasan

4

hilangnya hak keperdataan seseorang (seperti hak waris), setelah keluar dari
lembaga pemasyarakatan susah mencari pekerjaan, karena timbulnya stigma atau
label negatif terhadap mantan narapidana. Kendala lain adalah mantan narapidana
dapat berpotensi kembali melakukan tindak pidana setelah keluar dari penjara.
Mengingat dampak negatif yang sedemikian luas maka dicarikan upaya-upaya
lain untuk menghindari pidana penjara, antara lain berupa mengefektifkan pidana
denda, pidana kerja sosial dan secara khusus berdasarkan Pasal 54 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Tujuan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika itu pada dasarnya adalah baik,
yaitu untuk mengurangi dampak negatif apalagi terhadap pelaku tindak pidana
narkotika, pelakunya masih remaja yang pada umumnya adalah sebagai korban,
tidak sepatutnya dipidana penjara tetapi direhabilitasi. 2
Terhadap pengguna narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri
yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya,
dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur
kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dilaksanakan untuk
memulihkan kondisi fisik, psikis, mental, dan sosial bekas korban narkotika serta

2

Dharana Lastarya. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. 2006. hlm.43.

5

mengembangkan ketrampilan kerja sehingga bekas korban narkotika dapat
kembali menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan hidup mandiri di dalam
masyarakat. Pembinaan dan bimbingan sosial yang diberikan meliputi pembinaan
fisik, bimbingan mental spiritual, bimbingan mental psikologis, bimbingan sosial,
latihan ketrampilan, dan reintegrasi sosial mantan penyalahgunan narkotika
kepada masyarakat.
Pemidanaan kepada pelaku melalui rehabilitasi bertujuan untuk mencapai
perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan yaitu bahwa jika suatu tindak
pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana
pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah
sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini juga
sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa
penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis
yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya.
Pelaku tindak pidana penyalagunaan narkotika yang telah dijatuhi sanksi pidana
berupa rehabilitasi akan dilakukan proses penanganan dan tindakan rehabilitasi
yang dilakukan oleh lembaga atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam
hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk di Propinsi Lampung,
salah satu instansi yang ditunjuk adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Provinsi
Lampung. Pada tahun 2014 RSJ Kurungan Nyawa telah melaksanakan rehabilitasi
medis terhadap 8 terpidana yang dijatuhi pidana rehabilitasi oleh pengadilan.
Dasar hukum tentang penunjukan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
sebagai lembaga rehabilitasi medis pecandu narkotika adalah Surat Edaran

6

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial. Angka (3) SEMA Nomor 04 Tahun 2010 menyatakan
bahwa dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis harus
menunjukkan secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalam amar
putusannya tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah:
a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan
diawasi oleh Badan Narkotika Nasional
b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta
c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkes RI)
d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial dan Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD)
e. Tempat-tempat rujukan panti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapatkan akreditasi dari departemen Kesehatan atau
Departemen Sosial (dengan biaya sendiri)
Ketentuan lainnya terdapat Pasal 4 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 25
Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan:
1. Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor.
2. Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri.
3. Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

7

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung sebagai salah satu Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) milik Pemerintah Provinsi Lampung, berdasarkan SEMA
tersebut secara otomatis menjadi lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu
narkotika di provinsi Lampung. Berdasarkan uraian di atas maka penulis
melaksanakan penelitian dalam Skripsi yang berjudul: Penerapan Rehabilitasi
Medis Bagi Pengguna Narkotika (Studi pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ?
b. Apakah faktor-faktor penghambat penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna
narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian substansi
mengenai penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor
penghambat penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika. Ruang
lingkup lokasi penelitian ini adalah pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung Bandar Lampung. Penelitian dilaksanakan Tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:

8

a. Untuk mengetahui penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penerapan rehabilitasi medis bagi
pengguna narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah terdiri dari kegunaan secara teoritis dan secara
praktis sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penerapan rehabilitasi medis
bagi pengguna narkotika. Selain itu diharapkan bermanfaat bagi pembuat
undang-undang dalam rangka menyempurnakan pengaturan mengenai
rehabilitasi medis bagi pengguna narkotika.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran
bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan pemidanaan dalam bentuk
rehabilitasi medis sebagai pengganti pidana penjara terhadap pengguna
narkotika. Selain itu sebagai salah satu sumber informasi atau referensi bagi
masyarakat yang akan melakukan dengan kajian mengenai pemidanaan dalam
bentuk rehabilitasi medis di masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau
dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya

9

penelitian hukum3. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu Narkotika
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pecandu narkotika mempunyai posisi sedikit berbeda dengan pelaku tindak
pidana lainnya, yakni masalah pecandu narkotika menurut ketentuan undangundang, di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika, namun di sisi lain merupakan korban. Pecandu narkotika menurut
undang-undang di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika adalah dengan adanya ketentuan undang-undang narkotika yang
mengatur mengenai pidana penjara yang diberikan kepada para pelaku
penyalahgunaan narkotika. Kemudian, di sisi lainnya dapat dikatakan bahwa
menurut undang-undang narkotika, pecandu narkotika tersebut merupakan
korban adalah ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa terhadap pecandu
narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi. Hal ini berarti undang-undang di
satu sisi masih menganggap pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana,
dan di sisi lain merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang
dilakukannya.
Pasal 1 Ayat (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

3

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.72

10

Narkotika. Pasal 1 Ayat (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyatakan bahwa Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan masyarakat.
Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika

menyatakan

bahwa

yang

dimaksud

dengan

”korban

penyalahgunaan narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan
narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk
menggunakann narkotika.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan.
Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori
treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation)

kepada

pelaku

kejahatan

sebagai

pengganti

dari

penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga
membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

4

b. Teori Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum
Penegakan hukum mempunyai makna menegakkan, melaksanakan ketentuanketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang
lebih luas penegakan hukum merupakan kelangsungan perwujudan konsep-konsep
abstrak yang menjadi kenyataan. Pada proses tersebut hukum tidak mandiri,
4

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.23-24

11

artinya ada faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan proses penegakan
hukum yang harus diikutsertakan, yaitu masyarakat dan aparat penegak hukum.
Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang
mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian
hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan
maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula
peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna
melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Proses
merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme
aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam
menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya.
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

12

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa
kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran
adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap
lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,
terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peranan semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan
penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan
hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat,
maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin
banyak

penyesuaian

antara

peraturan

perundang-undangan

dengan

13

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.
Apabila

peraturan-peraturan

perundang-undangan

tidak

sesuai

atau

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.5
2. Konseptual
Konsep adalah pengertian dasar yang membuat istilah-istilah, batasan-batasan
yang akan dijabarkan dalam penulisan. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran
penafsiran serta memudahkan pengertian, maka dalam uraian di bawah ini akan
diuraikan beberapa istilah sebagai berikut:
a. Rehabilitasi medis menurut Pasal 1 Ayah (16) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
b. Narkotika menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
c. Penguna narkotika adalah orang yang menggunakan semua jenis narkotika
atau prekursor narkotika dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan atau
mendapatkan halusinasi ketenangan dalam penggunaan tersebut6

5

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta. 1986. hlm.8-11
6
Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam
Aspek
Hukum dan Pelaksanaannya, Buana Ilmu, Surakarta, 2002, hlm.4.

14

d. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum [Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009].
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disajikan ke dalam lima bab dengan sistematika penulisan skripsi yaitu
sebagai berikut:
I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar
Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian tentang narkotika,
tindak pidana narkotika, rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, tujuan
pemidanaan dan faktor-faktor penghambat penerapan hukum pidana.

III

METODE PENELITIAN
Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari
Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel,
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil
penelitian, yang terdiri dari penerapan rehabilitasi medis bagi pengguna
narkotika dan dan faktor-faktor penghambat penerapan rehabilitasi medis
bagi pengguna narkotika

15

V

PENUTUP
Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan
kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Narkotika

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi).1
Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan
kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut
kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga sebagai zat
psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran2
Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut:

1

Dharana Lastarya. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. 2006. hlm.15.
Erwin Mappaseng. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam
Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Buana Ilmu. Surakarta. 2002. hlm.2

2

17

1. Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan
tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi
menimbulkan ketergantungan, (Contoh: heroin/putauw, kokain, ganja).
2. Narkotika Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh:
morfin, petidin).
3. Narkotika Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh: kodein) 3

B. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat
menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya4

3

Ibid. hlm.3
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 14.

4

18

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan
bahwa pemberlakuan Undang-Undang Narkotika bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah,

melindungi,

dan

menyelamatkan

bangsa

Indonesia

dari

penyalahgunaan Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna
dan pecandu Narkotika.

Berdasarkan Undang-Undang Narkotika yang ada maka diketahui bahwa pelaku
tindak pidana narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan
dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana
penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan psikotropika
termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya
dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok
sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana
denda.

C. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan
bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

19

Pasal 1 Ayat (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Pasal
1 Ayat (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan narkotika”
adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakann narkotika.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan
bahwa:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyatakan bahwa: ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu
Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan narkotika,

20

khususnya untuk pecandu narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang
tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan
bimbingan terhadap anak-anaknya. Yang dimaksud dengan “belum cukup umur”
dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun.
Pecandu narkotika mempunyai posisi sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana
lainnya, yakni masalah pecandu narkotika menurut ketentuan undang-undang, di
satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun di sisi
lain merupakan korban. Pecandu narkotika menurut undang-undang di satu sisi
merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah dengan adanya
ketentuan undang-undang narkotika yang mengatur mengenai pidana penjara yang
diberikan kepada para pelaku penyalahgunaan narkotika. Kemudian, di sisi
lainnya dapat dikatakan bahwa menurut undang-undang narkotika, pecandu
narkotika tersebut merupakan korban adalah ditunjukkan dengan adanya
ketentuan bahwa terhadap pecandu narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi. Hal
ini berarti undang-undang di satu sisi masih menganggap pecandu narkotika
sebagai pelaku tindak pidana, dan di sisi lain merupakan korban dari
penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai
ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika yaitu:
a) Pasal 116
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

21

rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
b) Pasal 121
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan II terhadap orang lainatau memberikan Narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar
rupiah).
2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).
c) Pasal 127
1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun .
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54, Pasal 55, dan Pasal 103.
3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor adalah
kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah
cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika

22

yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan:
(1) Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib
Lapor.
(2) Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri.
(3) Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial.

Perkembangan selanjutnya adalah diterbitkannya Peraturan Bersama Nomor:
01/PB/MA/III/2014 antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, serta Badan Narkotika Nasional tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal
tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment
yaitu

untuk

memberi

tindakan

perawatan

(treatment)

dan

perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

23

Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 5

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran
ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.
Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Perbuatan seseorang tidak
bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang
melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam
kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktorfaktor biologis, maupun lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat
lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial
menjadi

standar

dalam

menjustifikasi

suatu

perbuatan,

daripada

pertanggungjawaban moral dan keadilan.

D. Tujuan Pemidanaan
Jenis pidana menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
pidana mati di Indonesia merupakan hukuman yang paling berat dari sekian
banyak putusan

yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

Pemberlakuan pidana mati selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak
hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara

5

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.23-24

24

Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan
bahwa pidana mati tidak

sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Ancaman

terberat yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah dijatuhinya
pelaku dengan pidana mati. Terlepas dari berbagai kontroversi mengenai pidana
mati tersebut maka haruslah dilihat terlebih dahulu mengenai relevansinya dengan
nilai dan norma Pancasila. Pancasila haruslah menjiwai dan menjadi dasar seluruh
tertib hukum yang ada di Indonesia. Ini berarti masalah hukum di Indonesia harus
diselesaikan berdasarkan Pancasila. Salah satu masalah tersebut adalah mengenai
ancaman dan pelaksanaan pidana mati. 6.
Formulasi pemidanaan bagi pengedar narkotika harus sesuai dengan semangat
tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP salah satunya adalah perlindungan
masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penerapan
tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, RUU KUHP
mengatur tentang adanya penentuan pidana minimum dan maksimum dalam
delik-delik tertentu.
Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam
penjelasan RUU KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum
khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat
mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih
mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang
dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai
6

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 78.

25

pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada
prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya
untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan,
atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau
diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan
maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan
masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Hal inipun berlaku bagi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Psikotropika.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RUU KUHP memberikan kesempatan
untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku
yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan
narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih
berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan
perubahan atau penyesuaian dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa
pidana atau tindakan; dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan adalah
berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa
terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan
perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan
yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini
maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana
hanyalah untuk kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana dan perubahan yang
akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.
Pengaturan tentang pemidanaan telah mengalami kemajuan di mana tujuan
pemidanaan dan pedoman pemidanaan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci

26

sebagai bagian untuk menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan
penentuan bobot pemidanaan (the level of sentencing). Ketentuan dalam
pemidanaan ini kemudian dipertegas dengan penentuan jenis-jenis sanksi yang
memberikan alternatif bagi pengadilan untuk menentukan sanksi yang patut bagi
pelaku berdasarkan tingkat kejahatan, kondisi pelaku dan keadaaan-keadaaan
lainnya sehingga tidak ada peny