PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

Oleh

FEGA SURY MALINDA BUJUNG

Pemidanaan berupa pidana penjara kepada anak sebagai pecandu narkotika ini dipandang sudah tidak relevan lagi dengan konteks tujuan pemidanaan, karena pecandu narkotika pada dasarnya adalah korban kejahatan atau tindak pidana narkotika. Formulasi pemidanaan yang dinilai tepat untuk para pecandu ini adalah rehabilitasi. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung? Apakah faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Dokter RSJ Provinsi Lampung dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung sudah dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mengacu pada Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu dengan tindakan terapi secara komprehensi, detoksifikasi/rawat inap untuk menghilangkan ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga pencandu dapat hidup secara normal kembali dan menyembuhkan tubuh para pecandu dari keterikatan narkotika. Faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung adalah: a) Faktor substansi hukum, yaitu adanya multitafsir dan potensi salah pemahaman terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial


(2)

Fega Sury Malinda Bujung

b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya personil penyidik, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami peningkatan. Sumberdaya manusia pada RSJ Bandar Lampung belum memahami tentang tugas pokok dan fungsinya, keterbatasan ketrampilan, komitmen, dan reward atau honor yang kurang memadai c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke BNN Jakarta. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang memadai yaitu belum

adanya pusat rehabilitasi khusus pecandu narkotika di Provinsi Lampung. d) Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat

untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. e) Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.

Saran penelitian ini adalah: Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat meningkatkan mutu layanan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat mengatasi penghambat atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.


(3)

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Kasus Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung )

Oleh

FEGA SURY MALINDA BUJUNG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

(Skripsi)

FEGA SURY MALINDA BUJUNG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pengertian Tindak Pidana ... 18

B. Ketentuan Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika... ... 20

C. Rehabilitasi... ... 22

III METODE PENELITIAN ... 25

A. Pendekatan Masalah ... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 27

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 28


(6)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Karakteristik Responden ... 30

B. Pelaksanaan Rehabilitasi terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ... 31

C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Rehabilitasi terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung ... 62

V PENUTUP ... 73

A. Simpulan ... 73

B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(8)

Judul Skripsi : PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

Nama Mahasiswa : FEGA SURY MALINDA BUJUNG

No. Pokok Mahasiswa : 0842011045 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. NIP. 196312171988032002

Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. NIP.198011182008011008

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(9)

MOTTO

Berfikirlah realistis kedepan dan janganlah melihat kebelakang atas kesalahan

yang telah terjadi, karena itu hanya akan menghantui keberhasilah kita.

Nikmatilah hidup seperti menikmati makanan saat lapar

(Fega Sury Malinda Bujung)

Seseorang harus menguatkan diri tanpa harus

kehilangan kelembutan hati


(10)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Papa Hi.Makruf Indra Bujung,S.Pd,MM dan Mama Hj. Junaidah

sebagai kedua orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan

membimbingku menjadi anak yang KUAT dan TEGAR dalam menjalani

pelik dan terjalnya kehidupan, serta selalu memberikan KASIH SAYANG

yang tulus dan penuh CINTA tanpa mengharapkan imbalan dan setiap TETES

AIR MATA yang keluar hanya untuk menDOAkan KEBERHASILANku

Memberikan SEMANGAT yang tak pernah putus

untuk setiap langkah serta tidak pernah meninggalkanku

dalam keadaan terpuruk sekalipun

Kakak ku Frizcilia Eka Fitri Bujung,S.Pt

yang sebentar lagi akan menempuh hidup yang baru bersama calon imam nya.

Adik-

Adik ku Fitto Anggoman Bujung, dan Fa’sya Alam Nasyroh Bujung

yang selalu menjadi motivasi untuk selalu berpikir maju memikirkan masa

depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Serta Sepupu-sepupuku, keponakan-keponakanku yang sangat ku kasihi

Canda tawa mereka yg slalu menjadi penghibur dikala duka

Dandi Permana

yang setia menemani, membantuku, tak henti memberikan semangat

Motivasi, inspirasi dan dukungan untuk terus berjuang

serta memberikan arti kerja keras untuk sebuah keberhasilan

Sahabat-sahabat

ku HUEX’08

(Redo,One,Wee,Nces,UU, Hun, Tama)

yang slalu bersama, membantu dan memberikan motivasi yang luar biasa

kepadaku selama ini. Terimakasih atas persahabatan yang tercipta begitu indah

yang telah kalian berikan dan waktu yang telah kalian luangkan

selama KITA bersama


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 26 November 1990, merupakan putri kedua dari empat bersaudara, pasangan Bapak Hi. Makruf Indra Bujung,S.Pd, M.M., dan Ibu Hj. Junaidah.

Penulis menempuh pendidikan TK Bina Asih Natar selesai pada tahun 1996, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Natar Lampung Selatan diselesaikan pada Tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Natar Lampung Selatan diselesaikan pada Tahun 2005, Sekolah Menegah Atas (SMA) 1 Natar Lampung Selatan diselesaikan pada Tahun 2008. Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(12)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembimbing I yang bersedia memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(13)

4. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang memberikan masukan dan saran selama proses perbaikan skripsi ini.

6. Ibu Dona Raisa. M, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah banyak memberikan masukan, saran dan kritik yang membangun untuk memperbaiki dan kesempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bu Arnia, Mba Sri, Mba Yani, Mas Narto, Kyai Jamroni, Kyai Aprianto yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung, yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian. 10.Ginda Briptu Aulia Akbar yang telah memberikan bantuan tenaga dan selalu

memberikan semangat kepada penulis.

11.Sahabat-sahabatku We En Ce Indah Syafitri,S.H, Mariska Susianingrum,S.H, Dea Frisca Rusdara,S.H, Adelia Rizky Andari, S.H., yang selalu saling mendukung satu sama lainnya.

12.Arif Sugandi, A.Md.IP terima kasih untuk doa dan untuk segala hal yang membuat penulis semakin dewasa, memberikan dorongan, semangat,


(14)

motivasi, canda tawa yang senantiasa menghibur, dan setia menemani, serta memberikan arti kerja keras untuk sebuah keberhasilan.

13.Sahabat Seperjuangan HUEX’08 “One Dani, Sister Lulu, Wee, Tama, Doo, Nces, Aji, Dedot “1 4 all 4 1” Kalian semua membuat hari-hari berwarna, penuh kehangatan, slalu bersama kala suka dan duka, serta buat Bunda Elfina, Te Ismi, Azis, Meifi, Ria n Yessy terimakasih atas suport dan doanya. 14.Bapak Sigit Sudarmono,Bc.IP,SIP selaku Kepala Bapas Bandar Lampung

yang senantiasa berbagi pengalaman hidup, membimbingku agar lebih baik di masa yang datang dan telah memberikan kelonggaran waktu yang berbenturan dengan pekerjaan serta seluruh senior seniorku yang tak pernah bosan menasehatiku dan tak henti menyemangatiku untuk menyelesaikan studi . 15.Almamaterku Tercinta

16.Rekan-rekan serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kurang sempurnanya skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada khususnya dan khalayak pada umumnya.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis


(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus menerus termasuk dibidang keamanan dan ketertiban serta dibidang kesejahteraan rakyat dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya dan penyalahgunaan narkotika, prikotropika dan zat adiktif (narkoba) lainnya. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, prikotropika dan zat adiktif (narkoba) lainnya dapat mengancam kehidupan individu, ketahanan nasional, bangsa dan negara Indonesia, serta merupakan masalah bersama yang dihadapi oleh negara-negara di dunia yang harus ditanggulangi secara nasional maupun internasional melalui kerjasama bilateral, regional dan multilateral.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan


(16)

2

yang ketat dan seksama. Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.1

Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Penyalahgunaan narkoba mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan upaya pemberantasan peredaran gelap mengingat kemajuan perkembangan komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi saat ini.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Di Indonesia menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, jumlah tindak pidana narkotika dan psikotropika terus meningkat. Penegakan hukum ini diharapkan mampu manjadi faktor

1


(17)

3

penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika. Namun, dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan narkotika tersebut2

Data pada Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa pada tahun 1997 hanya terjadi 622 kasus narkotika. Memasuki tahun 2000-an, terjadi lebih dari 3.000 kasus. Di atas tahun 2005, kasus narkotika mencapai 15.350. Tahun 2011, kasus narkotika yang terungkap sebanyak 26.560 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 32.876 orang.3

Peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika yang juga telah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.

Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga Negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang.

2

Erwin Mappaseng. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam

Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta 2002. hlm. 2

3


(18)

4

Masalah penyalahgunaan narkotika memerlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:

a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 4

Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.5

Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap

4

Martono, Lydia Harlina dan Satya Joewana. Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya. Balai Pustaka. Jakarta.2006.hlm.43

5

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 87


(19)

5

disebut dengan self victimization atau victimless crime (Taufik Makarao, dkk, 2003: 53).

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa:

1. Rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri;

2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.


(20)

6

Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk pendekatan keagamaan, tradisional dan pendekatan alternatif lainnya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan pecandu narkotika” adalah orang yang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Alasan hakim memberikan putusan rehabilitasi biasanya karena hakim menilai bahwa terdakwa hanyalah sebagai korban pengguna narkotika dan juga mereka berstatus pelajar atau mahasiswa yang notabene masih anak-anak yang masih memiliki masa depan yang panjang.

Pelaku tindak pidana penyalagunaan narkotika yang telah dijatuhi sanksi pidana berupa rehabilitasi akan dilakukan proses penanganan dan tindakan rehabilitasi yang dilakukan oleh lembaga atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk di Propinsi Lampung, salah satu instansi yang ditunjuk adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kurungan Nyawa Propinsi Lampung. Pada tahun 2012 RSJ Kurungan Nyawa telah melaksanakan rehabilitasi medis terhadap 8 terpidana yang dijatuhi pidana rehabilitasi oleh pengadilan.


(21)

7

Berdasarkan paparan di atas, penulis melaksanakan penelitian tentang: ”Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan pokok dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung?

b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan kajian mengenai pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung, dan faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Ruang lingkup lokasi adalah di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2013.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(22)

8

1. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis sebagai tambahan wawasan bagi penulis mengenai pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

2. Secara praktis sebagai kontribusi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum6. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: sebagai berikut:

6


(23)

9

a. Teori Pemidanaan

Pemidanaan dalam aliran hukum secara garis besar dapat dibagi dua yaitu aliran klasik dan aliran modern, aliran klasik dipengaruhi paham indeterministis, yaitu paham yang menganggap manusia mempunyai kehendak bebas dalam melakukan tindakan dan pidana ditentukan secara pasti. Aliran klasik ini berpijak pada tiga asas sebagai berikut:

(1) Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa Undang-Undang, tiada tindak pidana tanpa Undang- Undang dan tiada penuntutan tanpa Undang-Undang.

(2) Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana bukannya dengan sengaja atau kealpaan.

(3) Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengar maksud untuk mencapai sesuatu basil yang bermanfaat, melainkan stimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan. 7

Aliran modern dipengaruhi paham determinisme, yaitu paham yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan tindakannya dan dipengaruhi watak pribadi, faktor biologis dan faktor lingkungan masyarakat. Aliran klasik melihat terutama pada yang dilakukan dan menghendaki pidana yang dijatuhkan itu sesuai dengan perbuatan tersebut. Aliran modern terutama meninjau perbuatannya dan menghendaki individualisasi dari terpidana, artinya da1am pemidanaan memperhatikan sifat-sifat dan keadaan perbuatannya. Dapat dikatakan bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang sedangkan aliran modern melihat ke depan. Melihat ke belakang maksdnya adalah pemidanaan bertujuan untuk memberikan pembalasan atau ganjaran atas kesalahan

7


(24)

10

terpidana di masa yang lalu, sedangkan melihat ke depan adalah pemidanaan bertujuan untuk memperbaiki perbuatan dan kepribadian terpidana agar menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang

Terkait dengan pemidanaaan, terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu:

1) Teori Absolut atau pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar menawar. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuhan terakhir yang masih dipidana di dalam penjara harus dipidana sebelum resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilaksanakan karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka sernua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.8

2) Teori Relatif atau Tujuan

Tujuan pidana bukanlah sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya.

Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

8

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1984. Hlm.32.


(25)

11

pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Sedangkan prevensi umum dirnaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. 9

3) Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya kemungkinan untuk menagadakan sirkulasi terhadap teori pernidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus.

Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit untuk menentukan berat ringannya pidana diragukankan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. Dalam teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatantan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri.

9Ibid


(26)

12

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa secara umum tujuan pemidanaan adalah:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat.

2) Memasyarakatkan dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna.

3) Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4) Membebaskan rasa bersaIah pada terpidana Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia10

Rehabilitas merupakan bentuk pemidanaan terhadap pecandu norkotika, hal ini diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan:

(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri;

(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.

Selanjutnya Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

10


(27)

13

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan:

(1) Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor.

(2) Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri.

(3) Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 11

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari

11

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum


(28)

14

penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi.

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan


(29)

15

secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. (2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

(5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.12

2. Konseptual

Konsep adalah pengertian dasar yang membuat istilah-istilah, batasan-batasan yang akan dijabarkan dalam penulisan. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran penafsiran serta memudahkan pengertian, maka dalam uraian di bawah ini akan diuraikan beberapa istilah sebagai berikut:

12

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11


(30)

16

a. Narkotika menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

b. Pecandu narkotika menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

c. Pertanggungjawaban pidana adalah mekanisme hukum yang menggariskan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.13

d. Rehabilitasi medis menurut Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

e. Rehabilitasi sosial menurut Pasal 1 butir 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu

13

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44


(31)

17

narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

f. Menurut Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemasyarakatan dijelaskan bahwa Balai Permasyarakatan Klas II B Bandar Lampung merupakan salah satu balai pemasyarakatan yang merupakan salah satu tempat untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan serta pembelaan terhadap anak yang mempunyai masalah hukum. Hal ini sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Pemasyarakatan yaitu melakukan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan terhadap anak yang mempunyai masalah hukum termasuk dalam penyalahgunaan narkotika.


(32)

18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan

1

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.


(33)

19

dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 3

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

3. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

2

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22

3

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996 hlm. 16.


(34)

20

4. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal4

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: 1. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melawan hukum yang objektif

5. Unsur melawan hukum yang subyektif. 5

B. Ketentuan Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika

Pecandu narkotika mempunyai posisi sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya, yakni masalah pecandu narkotika menurut ketentuan undang-undang, di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun di sisi lain merupakan korban.

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

5


(35)

21

Pecandu narkotika menurut undang-undang di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah dengan adanya ketentuan undang-undang narkotika yang mengatur mengenai pidana penjara yang diberikan kepada para pelaku penyalahgunaan narkotika. Kemudian, di sisi lainnya dapat dikatakan bahwa menurut undang-undang narkotika, pecandu narkotika tersebut merupakan korban adalah ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa terhadap pecandu narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi. Hal ini berarti undang-undang di satu sisi masih menganggap pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana, dan di sisi lain merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika yaitu:

a) Pasal 116

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

b) Pasal 121

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lainatau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus


(36)

22

juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah).

2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).

c) Pasal 127

1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun .

2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

C. Rehabilitasi

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 1 Ayat (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.


(37)

23

Pasal 1 Ayat (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakann narkotika.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa:

1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya untuk pecandu narkotika, maka


(38)

24

diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.


(39)

25

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

1


(40)

26

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder bersumber dari bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan secara lebih terperinci terhadap bahan hukum primer, di antaranya:

1) Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2012

2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika


(41)

27

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Dokter pada RSJ Provinsi Lampung dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Dokter pada RSJ Provinsi Lampung = 2 orang 2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +


(42)

28

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan, adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan, adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.


(43)

29

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian2.

2


(44)

73

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka kesimpulan hasil penelitian ini adalah:

1. Pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung sudah dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mengacu pada Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu dengan tindakan terapi secara komprehensi, detoksifikasi/rawat inap untuk menghilangkan ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga pencandu dapat hidup secara normal kembali dan menyembuhkan tubuh para pecandu dari keterikatan narkotika.

2. Faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung adalah:

a. Faktor substansi hukum, yaitu adanya multitafsir dan potensi salah pemahaman terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.


(45)

74

b. Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya personil penyidik, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami peningkatan. Sumberdaya manusia pada RSJ Bandar Lampung belum memahami tentang tugas pokok dan fungsinya, keterbatasan ketrampilan, komitmen, dan reward atau honor yang kurang memadai

c. Faktor sarana dan prasarana, yaitu tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke BNN Jakarta. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang memadai yaitu belum adanya pusat rehabilitasi khusus pecandu narkotika di Provinsi Lampung.

d. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.

e. Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka saran penelitian ini adalah:

1. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat meningkatkan mutu layanan rehabilitasi terhadap anak sebagai


(46)

75

korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

2. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat mengatasi penghambat atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Effendy, Marwan.2007. Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang - Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


(48)

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Per-067/A/JA/07/2007 Tentang Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK www.bnn.go.id. Diakses Rabu, 22 November 2012.


(1)

berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian2.

2


(2)

73

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka kesimpulan hasil penelitian ini adalah:

1. Pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung sudah dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mengacu pada Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu dengan tindakan terapi secara komprehensi, detoksifikasi/rawat inap untuk menghilangkan ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga pencandu dapat hidup secara normal kembali dan menyembuhkan tubuh para pecandu dari keterikatan narkotika.

2. Faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung adalah:

a. Faktor substansi hukum, yaitu adanya multitafsir dan potensi salah pemahaman terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.


(3)

kurangnya personil penyidik, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami peningkatan. Sumberdaya manusia pada RSJ Bandar Lampung belum memahami tentang tugas pokok dan fungsinya, keterbatasan ketrampilan, komitmen, dan reward atau honor yang kurang memadai

c. Faktor sarana dan prasarana, yaitu tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke BNN Jakarta. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang memadai yaitu belum adanya pusat rehabilitasi khusus pecandu narkotika di Provinsi Lampung.

d. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.

e. Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka saran penelitian ini adalah:

1. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat meningkatkan mutu layanan rehabilitasi terhadap anak sebagai


(4)

75

korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

2. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung dapat mengatasi penghambat atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Effendy, Marwan.2007. Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang - Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


(6)

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Per-067/A/JA/07/2007 Tentang Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK www.bnn.go.id. Diakses Rabu, 22 November 2012.