TUGAS SEJARAH KELAS X SMA

MESIR
SEJARAH DAN PERADABAN

OLEH : ALVIN SAPUTRA
KELAS : X.4
TUGAS AKHIR SEJARAH SEMESTER II .
SMAN 4 KOTA BEKASI
TAHUN AJARAN 2012/2013

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira
besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Sejarah
dan Peradaban Mesir”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah
memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah
semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini dapat lebih
baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Bekasi , Mei 2010
Penyusun
Alvin Saputra

Sejarah Mesir
Sejarah Mesir merupakan sejarah berterusan paling panjang, sebagai sebuah negeri bersatu,
antara negara-negara di dunia. Lembah Nil sudah menjadi kawasan petempatan kekal
manusia sejak Zaman Paleolitik. Penduduk awal bercucuk tanam, memburu, serta
memancing untuk menyara hidup. Menjelang 6000 S.M., kehidupan penduduk menjadi lebih
berorganisasi. Firaun Menes telah menyatukan wilayah-wilayah di lembah Nil dan
menubuhkan kerajaan Mesir yang pertama pada 3200 S.M. Dengan ini, pemerintahan Mesir
secara dinasti bermula.

Dinasti Mesir Purba


Sphinx
Rencana utama: Mesir Purba


Zaman Protodinastik (3200 - 3000 S.M.)



Zaman Dinasti Awal (~3000 - 2575 S.M.)
o Dinasti Pertama (~3000 - 2890 S.M.)
o Dinasti Kedua (2890 - 2575 S.M.)



Kerajaan Lama (~2630 - ~2150 S.M.)



Zaman Pertengahan Pertama (~2150 - 2055 S.M.)




Kerajaan Tengah (~2030 - 1640 S.M.)



Zaman Pertengahan Kedua (~1640 - ~1549 S.M.)



Kerajaan Baru (1550 - 1077 S.M.) - pemerintahan Tutankhamun



Zaman Pertengahan Ketiga (1070 - 644 S.M.)



Zaman Lewat (672 - 330 S.M.)

o Empayar Achaemenid (penaklukan Parsi pada 525 S.M.)



Zaman Graeco-Rom
o Dinasti Ptolemy (305 - 30 S.M.)

Semasa Dinasti Ptolemy (Dinasti Ptolemeus) di bawah firaun Cleopatra VII, Mesir
ditewaskan dan ditakluk oleh Empayar Rom selepas Pertempuran Actium. Selepas pemisahan
Empayar Rom, Mesir diletakkan di bawah Empayar Rom Timur, iaitu Empayar Byzantine
yang beragama Kristian. Pada 639 M pula, Mesir dikuasai oleh kerajaan Arab yang dipimpin
oleh Khalifah. Pada zaman inilah penduduk Mesir memeluk agama Islam. Mesir
kemudiannya ditakluk oleh kerajaan Turki Uthmaniyyah pada 1517.

Zaman Moden
Terusan Suez dibina pada 1869 dan menjadikan Mesir sebagai pusat perhubungan dan
pengangkutan sedunia. Pertikaian antara kerajaan Uthmaniyyah dan British mendorong
kepada pengambilan kawasan Mesir oleh pihak British pada 1914. British melantik Husayn
Kamil sebagai Sultan Mesir.
Akibat gerakan nasionalisme yang hebat, British mengiytiharkan kemerdekaan Mesir pada 22

Februari 1922. Kerajaan baru ditubuhkan dan bersifat raja berperlembagaan. Pada 1948,
Mesir terlibat dalam serangan oleh negara-negara Arab terhadap Israel tetapi kalah dalam
perang tersebut. Golongan nasionalis yang tidak puas hati telah menggulingkan institusi
beraja pada 1952 dalam Revolusi Mesir dan mengisytiharkan Republik Arab Mesir pada
1953.
Gamal Abdel Nasser menjadi Presiden Republik pada 1954 dan mengisytiharkan
kemerdekaan penuh daripada United Kingdom. Tindakan Abdel Nasser memiliknegarakan
Terusan Suez pada 1956 mambangkitkan kemarahan United Kingdom dan Perancis, dan
mengakibatkan konflik tentera, iaitu Krisis Suez. Dalam Perang Enam Hari 1967, wilayah
Mesir, iaitu Semenanjung Sinai dan Genting Gaza ditakluk oleh Israel.

Pengebumian Gamal Abdel Nasser
Abdel Nasser meninggal dunia pada 1970 dan digantikan oleh Anwar Sadat. Pada 1973,
Mesir dan Syria melancarkan Perang Yom Kippur bagi mendapat balik wilayah Semenanjung
Sinai dan Bukit Golan. Campur tangan pihak Amerika Syarikat dan Kesatuan Soviet berjaya
memulakan gencatan senjata. Pada 1977, Sadat menandatangani perjanjian damai dengan
Israel untuk mendapatkan balik Semenanjung Sinai. Tindakannya mencetuskan kemarahan
dalam kalangan penduduk Arab di dalam dan luar Mesir. Pada 1981, Sadat telah dibunuh.
Sadat digantikan oleh timbalannya Hosni Mubarak yang merupakan Presiden Mesir sehingga
hari ini.


Mesir Kuno

Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan Sphinx Agung Giza (± 2500 SM atau lebih tua).

Peta Mesir Kuno, menunjukkan kota dan situs utama pada periode dinasti (c. 3150 SM
hingga 30 SM)
Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat
di sepanjang hilir sungai Nil. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir
sekitar 3150 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium.
Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai
oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai
puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami
kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan
firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi
menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemeus sebagai bagian dari provinsi
Romawi. Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode
kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di
lembah sungai Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban
merdeka Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas pengendalian keseimbangan yang baik antara sumber
daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh:


irigasi teratur terhadap Lembah Nil;



pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;



perkembangan sistem tulisan dan sastra;



organisasi proyek kolektif;




perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta



kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan negara/suku
bangsa tetangga pada beberapa periode berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh penguasa sosial, politik, dan ekonomi,
yang berada di bawah pengawasan sosok Firaun.
Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen
seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem
irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui;[5] teknologi tembikar glasir
bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; sastra Mesir Kuno; dan traktat perdamaian
pertama yang pernah diketahui Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan
arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke
ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi inspirasi bagi pengelana dan
penulis selama berabad-abad.

Sejarah
Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya,

penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya,
semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir
Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan
Mesir.[7] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk
mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi
landasan bagi sejarah peradaban manusia.
Periode Pradinasti
Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah
Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan
fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan
merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini,
banyak hewan yang didomestikasi.

Guci pada periode pradinasti.

Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah
berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban
mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang
tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah
Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.

Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia, yang menunjukkan
beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia
dengan Kanaan dan pantai Byblos.
Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas
kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang
Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda
lain yang terbuat dari flake.[13] Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang
dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka
berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[14] Setelah mendirikan
pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III
memperluas kekuasaan mereka ke utara.[15]
Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukkan
peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat,
vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari
emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan
nama tembikar glasir bening.[16] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai
menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk
menulis bahasa Mesir kuno.[17]
Periode Dinasti Awal
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Dinasti Awal Mesir


Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho, mengelompokan garis keturunan firaun yang
panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari
ini.[19] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau
Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan

Hilir (sekitar 3200 SM).[20] Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih
bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada
catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes"
mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada
pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[21]
Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka
terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat
mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant yang penting dan
menguntungkan.. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal
dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat
di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[22]
Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara
atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir
kuno.[23]
Kerajaan Lama
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Lama

Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama.
Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang dimungkinkan
karena pemerintahan pusat dibina dengan baik.[24] Di bawah pengarahan wazir, pejabatpejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi untuk meningkatkan hasil
panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan
sistem keadilan untuk menjaga keamanan.[25] Dengan sumber daya surplus yang ada karena
ekonomi yang produktif dan stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek
kolosal dan menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun oleh
Djoser, Khufu, dan keturunan mereka, merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling
diingat.
Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis
(sesh[26]) dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai bayaran atas
jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada struktur-struktur kultus kamar mayat dan
kuil-kuil lokal untuk memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya
yang cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode Kerajaan Lama,
lima abad berlangsungnya praktik-praktik feudal pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi
firaun. Firaun tak lagi mampu membiayai pemerintahan terpusat yang besar.[27] Dengan
berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang
kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200
hingga 2150 SM,[28] sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan
selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.[29]
Periode Menengah Pertama Mesir
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Menengah Pertama Mesir

Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan Lama, pemerintah
tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi negara. Gubernur-gubernur
regional tidak dapat menggantungkan diri kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan
pangan dan sengketa politik meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil.

Meskipun berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak berhutang
upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk mengembangkan budaya di
provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi
lebih kaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik di
antara kelas-kelas sosial lainnya.[30] Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin
provinsial menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi oleh
Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan optimisme dan
keaslian periode.[31]
Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai berebut kekuasaan.
Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis menguasai Mesir Hilir, sementara
keluarga Intef di Thebes mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef,
serta perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua dinasti sudah tak
terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara Thebes di bawah pimpinan Nebhepetre
Mentuhotep II berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua
negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal sebagai Kerajaan
Pertengahan.[32]
Kerajaan Pertengahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Pertengahan Mesir

Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.

Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara,
sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.[33]
Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat
I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM),
memindahkan ibukota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[34] Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12
melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara
kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara
pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "temboktembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[35]
Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan
pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami
peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh
dewa-dewa di akhirat.[36] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang

canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[31] sementara relief dan
pahatan potret pada periode ini menampilkan ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang
mencapai tingkat baru dalam kesempurnaan teknis.[37]
Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III, memperbolehkan pendatang dari
Asia tinggal di wilayah delta untuk memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk
penambangan dan pembangunan. Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah
dengan meluapnya sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran selama
masa dinasti ke-13 dan ke-14. Semasa kemunduran, pendatang dari Asia mulai menguasai
wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir sebagai Hyksos.[38]
Periode Menengah Kedua dan Hyksos
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Menengah Kedua Mesir

Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan,
imigran Asia yang tinggal di kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa pemerintah
pusat mundur ke Thebes. Di sanam firaun diperlakukan sebagai vasal dan diminta untuk
membayar upeti.[39] Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan
menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu dengan budaya
Zaman Perunggu Pertengahan mereka.
Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan
sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush, di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa
stagnansi, pada tahun 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk
melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[39] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose
berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I, berhasil mengusir
Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan Baru, kekuatan militer menjadi
prioritas utama firaun agar dapat memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan
atas wilayah Timur Dekat.
Kerajaan Baru
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Baru

Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak tertandingi
sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik dengan tetangga-tetangga
diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III
memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka
jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu. Firaun-firaun Kerajaan juga
memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di
Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka
sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan
propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya. Masa kekuasaannya yang
berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan,
pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.

Patung Ramses II di pintu masuk kuil Abu Simbel.

Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta
dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten.
Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan
dewa-dewa lain.[44] Akhenaten juga memindahkan ibukota ke kota baru yang bernama
Akhetaten (kini Amarna). Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik
dengan gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus Aten segera
ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb,
menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.
Ramses II naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan
patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun
lain dalam sejarah. Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin
tentaranya melawan bangsa Het dalam pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga
mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat
sekitar 1258 SM.
Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Laut dan
Libya. Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan kehilangan
kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman luar diperburuk dengan masalah
internal seperti korupsi, penjarahan makam, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil
Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka
memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[

Pada tahun 730 SM, orang-orang Libya dari barat memecahkan kesatuan politik
Mesir Kuno.

Periode Menengah Ketiga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Menengah Ketiga Mesir

Setelah kematian firaun Ramses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan
Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh
pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja. Pada
masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan kepala-kepala suku penetap
tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka. Pangeran-pangeran Libya mengambil alih
delta di bawah pimpinan Shoshenq I pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti
Bubastite yang akan berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir
selatan dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting.
Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan
ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia
berhasil menguasai Thebes dan delta.
Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh
kedalam pengaruh Asiria, dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak
terhindarkan lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang Mesir.
Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik
melawan Asiria. Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke Nubia.
Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.
Periode Akhir
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Akhir Mesir Kuno

Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan
Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun

653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran
Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh
Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di
delta.
Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya.
Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai
penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam
pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota
Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan
meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia
secara permanen.
Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6
Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga
dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30
berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, kadangkadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM,
penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa
perlawanan.
Dinasti Ptolemeus
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Ptolemeus

Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan
dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan
sistem Mesir, dengan ibukota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukkan kekuatan dan
martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di
Perpustakaan Iskandariyah. Mercusuar Iskandariyah membantu navigasi kapal-kapal yang
berdagang di kota tersebut, terutama setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan
perdagangan dan usaha-usaha, seperti produksi papirus.
Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus
mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru
dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai
firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan
sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga memengaruhi
motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga,
dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan
antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.
Lebih lagi, bangsa Romawi memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi
politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta
musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi
mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.