KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT

(1)

ABSTRAK

KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN

TEMBAK DI TEMPAT Oleh

ANAND FAIZA BERLIAN

Anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penegakan hukum pidana diberikan kewenangan di antaranya kewenangan untuk menembak dengan senjata api atau lebih sering dikenal dengan kewenangan tembak di tempat. Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya oleh anggota Polri agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia? (2) Bagaimanakah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Kepolisian Daerah Lampung, Pegawai Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri dari: a) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. b) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengendalian Masa c) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki (2) Kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat merupakan tindakan terakhir yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam prosedur penggunaan senjata api setelah memberikan tembakan peringatan dengan cara menembak bagian tubuh tersangka dengan tujuan melumpuhkan bukan untuk mematikan. Kewenangan ini dibatasi oleh asas legalitas, nesesitas dan proporsionalitas agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai pembatasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan tembak di tempat.


(2)

dan pendataan terhadap anggota Polri yang memegang senjata api, sehingga dapat diantisipasi dan ditempuh langkah-langkah kongkrit pencegahan penyalahgunaan senjata api oleh anggota kepolisian. (2) Perlu diberikan tindakan dan hukuman tegas kepada anggota polri yang terbukti menyalahgunakan senjata api, hal ini akan memberikan efek jera dan sebagai pelajaran bagi anggota polri lainnya agar tidak menyalahgunakan senjata api. (3) Perlu ditingkatkan kedisiplinan dalam melaksanakan prosedur penggunaan senjata api ketika melaksanakan tugas di lapangan. Selain itu anggota kepolisian yang memegang senjata api hendaknya mampu memisahkan kepentingan dinas dan permasalahan pribadi atau keluarga secara proporsional, sehingga tidak berpengaruh negatif pada pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, terutama yang dapat berpotensi penyalahgunaan senjata api. Kata Kunci: Kewenangan, Tembak di Tempat


(3)

KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN

TEMBAK DI TEMPAT (Skripsi)

Oleh

ANAND FAIZA BERLIAN

0912011007

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 5

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Polri ... 16

B. Pengertian Tembak di Tempat dan Alasan Polri Berkaitan Instruksi Tembak di Tempat ... 20

C. Dasar Hukum Instruksi Tembak di Tempat ... 22

D. Kebijakan Tembak di Tempat Dihubungkan dengan HAM ... 31

III METODE PENELITIAN ... 43

A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Sumber dan Jenis Data ... 43

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 45

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 45

E. Prosedur Pengolahan Data ... 46


(5)

A. Karakteristik Responden ... 48

B. Pengaturan Kewenangan Tembak di Tempat yang Dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 49

C. Kewenangan Yang Dimiliki Kepolisian Republik Indonesia Dalam Pelaksanaan Tembak di Tempat ... 59

V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003


(7)

Judul Skripsi : KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM

PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT

Nama Mahasiswa : ANAND FAIZA BERLIAN

No. Pokok Mahasiswa : 0912011007

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H.

NIP. 19631217 198803 2 003

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H.


(8)

MOTTO

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah

dilaksanakan / diperbuatnya

(Ali Bin Abi Thalib)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit

kembali setiap kali kita jatuh

(Confusius)

Tidak ada kekayaan yang melebihi akal dan tidak ada kemelaratan yang

melebihi kebodohan


(9)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT

atas Rahmat dan Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah

Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Ibu,

sebagai orang tua tercinta penulis yang telah mendidik, membesarkan

dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan

kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus

untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak dan adikku tercinta

Adhitya Berlian, Dipo Satria berlian dan Athira Azzahra,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju

memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi

dari sekarang.

Almamaterku Tercinta

Universitas Lampung


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 18 Desember 1990, merupakan putra ketiga, anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Hudiani Berlian dan Ibu Rosnawati.

Penulis menempuh pendidikan TK Pertiwi Teladan Kota Metro selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Teladan Kota Metro diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kota Metro diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Metro diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

i

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul: Kewenangan Yang Dimiliki Kepolisian Republik Indonesia Dalam Pelaksanaan Tembak Di Tempat, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembahas I Skripsi, yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan Skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing I, atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(12)

ii

ini.

5. Bapak A. Irzal Ferdiansyah, S.H., M.H., selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini.

6. Bapak Charles Jackson, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan masukan dan saran yang diberikan selama menempuh studi. 7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah lampung beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin penelitian serta bantuan kepada penulis selama proses penelitian.

10.Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI Kantor Wilayah Lampung beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin penelitian serta bantuan kepada penulis selama proses penelitian.

11.Nenekku Tercinta Alm. Siti Zainab yang selalu memberikan dukungan dan support kepadaku selama menjalani studi, sebelum akhirnya Nenekku Meninggal Dunia.

12.Keluarga Besar Siwa Gilir Tercinta, Umik, Semuhun, Razaa, Lati anah, Maksu, Pak muda, Pak ami, Ohti, Ibu, Uda Aci, Abah, Papah, dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(13)

iii

tidak bisa disebutkan satu persatu.

14.Teman wanita terdekatku Ika Meyta Sari yang selalu memberikan dukungan dan support kepadaku selama menjalani studi.

15.Seluruh teman-teman angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya.

17.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sejak terpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Ketetapan MPR RI nomor VI/MPR/2000 telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu tidak hanya pada struktural organisasi Polri saja melainkan juga perubahan pada fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Polri. Setelah berpisah dari TNI, Polri sekarang ini memiliki kedudukan dan yang lebih mandiri (independent) dimana Polri Polri lagi berada di bawah panglima TNI melainkan langsung di bawah Presiden.

Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Dengan kedudukan yang seperti itu, Polri langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Polri pada era sekarang ini, harus mampu mengikuti perkembangan kemajuan yang ada di masyarakat terutama perkembangan di bidang hukum.1

Polri sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat harus mampu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak melanggar HAM. Melihat kondisi keamanan di Negara Indonesia sekarang

1


(15)

lebih berat, karena sejak bergulirnya reformasi kejahatan yang bersifat transnasional mulai merebak di Negara Indonesia ini. Kejahatan seperti kejahatan terorisme yang dulunya sebelum reformasi jarang terjadi sekarang ini sering terjadi, hal ini dapat kita lihat dengan adanyan serangan Bom Bali 1 dan 2, serta kejahatan tentang peredaran narkoba yang bersifat internasioanal.2

Adanya tantangan yang semakin berat tersebut, Polri yang sekarang sudah mandiri diharapkan dapat menunjukkan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk menunjang pelaksanaan kerjanya tersebut Polri dibekali dengan berbagai kewenangan. Salah satunya adalah kewenangan untuk menembak dengan senjata api atau lebih sering kita kenal dengan kewenangan tembak di tempat. Penggunaan kewenangan ini oleh anggota Polri sering digunakan untuk menangkap pelaku tindak pidana yang kadang dari pelaksanaan kewenangan tersebut kadang dapat menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana. Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat kian hari kian marak digunakan oleh aparat kepolisian, hal ini dapat kita lihat dari berbagai media massa baik itu media televisi maupun koran yang hampir tiap hari memberitakan tentang penggunaan kewenangan ini.

Reformasi hukum di Indonesia dalam menerapkan asas praduga tak bersalah adalah pada legal guilt bukan pada factual guilt, namun demikian dalam berbagai kasus pidana yang menimpa para penyelenggara Negara Indonesia, dengan memahami asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah secara hakiki,maka logikanya harus dibalik, para penyelenggara negara yang terlibat perkara pidana harus mampu memberikan teladan melalui menon-aktifkan diri

2 Ibid


(16)

dari jabatannya sampai ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.3

Tindakan Polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan Polisi dari menterjemahkan Undang-undang, kemudian diterapkan di lapangan dalam tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum. Fungsi lain Polisi adalah di bidang reserse yaitu bagian penegakan hukum di bidang kriminal, hal-hal yang tidak diinginkan secara akal sehat ditemui di lapangan yang menuntut Polisi segera bertindak, pilihan tindakan sepenuhnya berada ditangan Polisi sebagai pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai dengan kekuasaan diskresi-fungsional Kepolisian yang diberikan pada Polisi.

Prosedur penggunaan senjata api secara formal telah diatur, tetapi belum menjamin pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Polri, umpamanya yang bersifat situasional yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “tembak di tempat” terhadap pelanggar hukum pada setiap hari raya nasional. Juga perintah serupa ditujukan pada para pelaku tindak pidana kategori residivis yang tertembak atau sadis dalam melakukan kejahatannya.

3


(17)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

a. Bagaimanakah pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia?

b. Bagaimanakah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat ?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana yang meliputi pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada Tahun 2013.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:


(18)

a. Manfaat Teoritis

Secara Teoritis, peneliti berharap agar hasil dari penelitian dapat mengetahui sekaligus menganalisis pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara Praktis, peneliti berharap bahwa hasil penelitian berupa skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat luas pada umumnya terutama yang berhubungan dengan pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Asas kepastian hukum tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke empat tentang keadilan sosial. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam tata urutan peraturan hukum di Indonesia, merupakan peraturan hukum tertinggi yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan dibawahnya. Dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), dimana negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaann pemerintahannnya didasarkan atas hukum dan menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi.

4


(19)

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Negara hukum yaitu:

“Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam negara saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.”

Suatu perbuatan dalam sistem hukum Indonesia, merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.”5

Pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan oleh Pasal 28-I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan dengan demikian memperoleh jaminan secara konstitusional. Pasal 28-I ayat (1) menyatakan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”6

Salah satu tugas Polisi adalah menegakkan hukum yang di dalam banyak digunakan penerapkan hukum atau Undang-Undang. Dalam kenyataannya banyak ketentuan Undang-undang yang didalam penerapannya di lapangan membutuhkan diskresi kepolisian, hal ini disebabkan karena situasi dan keadaan yang dihadapi

5

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2004, hlm. 74

6


(20)

oleh Polisi di lapangan sangat berbeda. Misalnya Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4 KUHAP yang menyatakan bahwa karena kewajibannya (setiap anggota polisi) mempunyai wewenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.7

Arti dari Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4 KUHAP amat luas dan tidak mudah diterapkan dalam tindakan Kepolisian, karena seorang Polisi harus memiliki kemampuan untuk menafsirkan Undang-undang, walaupun sudah ada penjelasannya pada KUHAP Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4. Adapun batasan dari Pasal 5 ayat (1) tentang tindakan lain, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Polisi dalam melaksanakan tugasnya, dapat menggunakan kekerasan asal dalam batasan-batasan yang diperbolehkan oleh peraturan Perundang-undangan. Jadi disatu sisi hukum mencegah kekerasan yang semena-mena, namun disisi lain hukum boleh menggunakan kekerasan apabila dalam keadaan terpaksa. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

7

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers Cetakan kedua, Jakarta, 2007, hlm. 26.


(21)

Anggota polisi dalam bertugas di lapangan dituntut dapat menerapkan Pasal Undang-undang yang kadang-kadang belum diatur jelas ketentuannya, untuk itu penerapan diskresi Kepolisian perlu dipelajari Polisi dan perlu dipahami model-model permasalahan apa yang dapat didiskresi. Penggunaan senjata api dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut bukanlah hal yang mustahil, penggunaan senjata api secara formal diatur dengan ketat, misalnya saat menghadapi bentuk-bentuk ancaman/perlawanan, ancaman terhadap anggota Polri, ancaman terhadap masyarakat dan ancaman terhadap diri tersangka itu sendiri. Juga ada asas-asas penggunaan senjata api yang berpatokan pada asas legalitas (setiap tindakan Kepolisian harus didasarkan pada peraturan yang berlaku) dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi (penggunaan senjata api harus mempertimbangkan manfaat dan kepentingannya serta harus ditujukan untuk terwujudnya kepastian hukum dan menjamin kepentingan umum).8

Tindakan-tindakan yang dilakukan sebelum meningkat pada taraf penggunaan senjata api lebih dulu dilakukan pengawasan Polisi dimana dilakukan untuk melihat pada sasaran sampai sejauh mana pelanggaran hukum telah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok, kemudian Polisi memberikan peringatan dan anjuran dimana diberikan kepada seseorang atau sekelompok apabila diketahui akan terjadi suatu pelanggaran hukum.

Penggunaan kekerasan dengan senjata api dalam tugas Polisi merupakan tindakan paling terakhir, apabila penggunaan kekerasan dengan suara keras dan penggunaan kekerasan dengan tenaga jasmani tidak berhasil untuk mengatasi

8

Arman Pasaribu. Penyimpangan Tembak di Tempat oleh Aparat Kepolisian Sebuah


(22)

ancaman yang dapat menyerang anggota Polisi tersebut dan Masyarakat Penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh anggota Polisi harus terlebih dahulu memperhatikan asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Legalitas

Asas legalitas dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des

Lois, sebagai suatu asas yang bertujuan untuk melindungi manusia dari tindakan kesewenang-wenangan.9 Asas legalitas adalah setiap tindakan polisi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan (Asas legalitas ini berlaku pula terhadap ketentuan penggunaan senjata api oleh Polisi dimana penggunaannya harus berdasarkan undang-undang). Rumusan mengenai kepastian hokum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (1) dikenal sebagai asas legalitas.

b. Asas Plichtmigheid (asas kewajiban)

Menurut Oemar Seno Adji asas kewajiban adalah:

“Setiap tindakan Polisi harus berdasarkan pada kewenangan hukum yang diberikan kepada Polisi yang bersangkutan, dan didasarkan kepada kewajiban Polisi untuk bertindak mengatasi gangguan Kamtibnas yang sedang terjadi, berdasarkan penilaian dari Anggota Polisi yang bersangkutan, dengan Asas ini memperkenankan Polisi mengambil langkah dan tindakan dalam keadaan terpaksa, untuk mengatasi gangguan atau keamanan dan ketertiban umum.”10

c. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar. Harus diingat ketika

9

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta. 2008. hlm. 37.

10


(23)

seseorang dicurigai dan akan ditangkap, orang tersebut tidak saja kehilangan kebebasannya tetapi harga dirinya juga hancur. 11 Oleh sebab itu, ada baiknya seorang Polisi menyimak beberapa hal berikut ini:

a) Jangan gunakan kekerasan lebih dari seperlunya pada saat melakukan penangkapan.

b) Menghukum orang yang melanggar hukum bukanlah tugas polisi, itu adalah tugas dan fungsi pengadilan.

c) Jelaskan kepada orang yang dicurigai atau tersangka pelanggaran apa yang telah dilakukan.

d) Hargai hak asasi manusia dari yang menjadi tersangka.12

Melakukan kekerasan fisik secara etis dalam perpolisian didasarkan pada satu prinsip, yaitu proporsionalitas. Meurut prinsip ini, pertama-tama petugas kepolisian harus bertanya kepada dirinya sendiri, tujuan apa yang ingin ia capai dalam sebuah situasi dan metode apa yang ingin digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dimana Polisi hanya boleh menggunakan kekuatan secukupnya saja.13

Pelaku kejahatan sering berkeliaran dan bercampur baur dengan masyarakat. Pelaku kejahatan ini kadang-kadang sulit untuk dibedakan dengan warga masyarakat biasa, karena mereka berpura-pura taat pada hukum, tetapi apabila ada kesempatan mereka dengan cepat melakukan kejahatan. Para pelaku kejahatan dewasa ini dalam melakukan kejahatannya cenderung menggunakan kekerasan fisik.

11Ibid

, hlm 97

12 Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Organisasi Internasional Untuk Migrasi, Perpolisian Masyarakat, Jakarta 2006, hlm. 43

13Ibid


(24)

Alasan-alasan mengapa para penjahat cenderung untuk melakukan kekerasan, karena mereka beranggapan:

a. Penjahat tersebut mempunyai anggapan bahwa kejahatan itu hanya akan berhasil kalau dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik (senjata api, pisau dan golok).

b. Untuk membuktikan keberaniannya, para penjahat tersebut sengaja melakukan kekerasan fisik agar ia disegani dalam kelompoknya.

c. Adanya kelainan jiwa dalam diri sipenjahat tersebut.

d. Kekerasan fisik yang dilakukannya itu dengan tujuan agar ia tidak tertangkap Polisi.14

Achmad Ali berpendapat bahwa:

“Asas praduga tak bersalah berdasarkan arti sebenarnya seharusnya digunakan hanya di dalam sidang pengadilan, menurut anggota Komnas HAM itu, jika dalam setiap kasus diterapkan prinsip praduga tak bersalah, maka kapan polisi akan bisa menangkap pelaku kejahatan atau tersangka. Ia mengatakan polisi berdasarkan bukti yang cukup dapat menangkap tersangka, karena menduga orang tersebut bersalah telah melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum dan peraturan.”15

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Kalimat dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh

kekuatan hukum tetap”.

14

Sitompul, Op.Cit, hlm. 46.

15

Achmad Ali, Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah Sudah Kebablasan, www.republika.co.id, Juni, 2009


(25)

Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt

yang berarti” (dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau

tidak dapat diragukan sama sekali.16

Setiap anggota Polisi harus memperlakukan setiap orang yang dihadapinya tidak bersalah secara sopan, hormat dan profesional. Selain itu setiap anggota Polisi tidak boleh sama sekali menggunakan alat-alat yang penggunaannya dibatasi untuk menghukum tersangka, dimana alat-alat tersebut hanya dapat digunakan jika memang diperlukan, seperti untuk mencegah tersangka melarikan diri atau tindakan tersangka yang dapat membahayakan petugas.

Berdasarkan Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh Petugas Kepolisian, terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh Polisi dalam menggunakan senjata api yaitu:

a. Cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu. b. Kekerasan dipakai hanya bila sangat diperlukan.

c. Kekerasan dipakai hanya untuk tujuan penegakkan hukum yang sah d.Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

e.Penggunaan kekerasan harus selalu proporsional dengan tujuannya (yang sesuai dengan hukum).

f. Harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan. g. Kerusakan dan luka-luka harus dikurangi.

h.Harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam.

i. Semua petugas harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam.

j. Semua petugas harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan.17

16

Romli Atmasasmita, Hukum Asas Paduga Tak Bersalah Reaksi Atas Paradigma, wordpress,com, 15 November, .2012.

17

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, Jakarta, 2006, hlm. 105.


(26)

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konnsep- konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti.18

a. Kewenangan tembak di tempat adalah kekuasaan atau tindakan khusus yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada anggota kepolisian untuk menembak para pelaku kejahatan atau tindak pidana yang berpotensi kuat membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa petugas atau orang lain di sekitarnya, serta bertujuan untuk melumpuhkan pelaku, bukan untuk mematikan.19

b. Kepolisian Republik Indonesia menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Tembak di tempat adalah adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak media masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak di tempat didalam Kepolisian dikenal dengan Suatu Tindakan Tegas, dimana tindakan tegas tersebut berupa tindakan tembak di tempat. Bila tembak di tempat diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan, Tembak adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan, meriam), Di adalah kata depan untuk menandai sesuatu perbuatan atau tempat, Tempat adalah tempat

18Ibid

, hlm. 132

19

http://kuliahkomunikasi.blogspot.com/2009/01/kewenangan-dan-legitimasi.html, diakses tanggal 29 November 2012.


(27)

adalah sesuatu untuk menandai atau memberi keterangan disuatu tempat, dan Di tempat adalah menunjukkan keterangan di suatu tempat atau lokasi.20

E. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat .

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Data Jenis, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

20

Baharudin Djavar, Tembak Di Tempat, www.harianglobal.com, Diakses tanggal 29 November 2012


(28)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang yaitu pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat.

V. PENUTUP

Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi Tugas dan Wewenang Polri

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:


(30)

1) Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

2) Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri. Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Kepolisian adalah:

1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2) Menegakkan hukum

3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, memiliki fungsi yaitu:

1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan

3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa

7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya 8) Melaksanakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium

forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian

9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia


(31)

10)Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

11)Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian

12)Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, wewenang Kepolisian adalah:

1) Menerima laporan dan/atau pengaduan

2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakatantara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsaAliran yang dimaksud adalah semua atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9) Mencari keterangan dan barang bukti

10)Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

11)Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

12)Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat

13)Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor 3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor


(32)

5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan

7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian

8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional

9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait

10)Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional

11)Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Penyelenggaraan tugas sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam proses pidana diatur dalam Pasal 16, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan

3) Membawa dan menghadapkan orang pada penyidik dalam rangka penyidikan 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

8) Mengadakan penghentian penyidikan

9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

10)Mengajukan permintaan secara langsung pada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana

11)Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan dari penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum

12)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, slaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati Hak Asasi Manusia.


(33)

B.Pengertian Tembak di Tempat dan Alasan Polri Berkaitan dengan Instruksi Tembak di Tempat

Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak media masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istila tembak di tempat didalam Kepolisian dikenal dengan Suatu Tindakan Tegas, dimana tindakan tegas tersebut berupa tindakan tembak di tempat.1

Tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api disuatu tempat atau lokasi. Bila tembak di tempat dikaitkan dengan tugas dan wewenang kepolisian maka tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh Polisi terhadap tersangka disuatu tempat atau lokasi. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi kepolisian.

Pada dasarnya yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh Polri. Setelah pelaksanaan kewenangan tembak di tempat selesai maka setiap anggota Polri yang terlibat dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus membuat laporan/berita acara sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus mempertanggung jawabkan tindakannya di hadapan hukum.

1

Baharudin Djavar, Tembak Di Tempat, www.harianglobal.com, Diakses tanggal 29 November 2012


(34)

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tindakan polisi setelah melakukan tindakan tembak di tempat polisi wajib:

a. Mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api. b. Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak.

c. Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api.

d. Membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Tindakan yang harus dilakukan setelah menggunakan senjata api, disarankan untuk melakukan tindakan berikut ini:

a. Memberikan perawatan medis bagi semua yang terluka (korban dan penyerang yang memerlukan perawatan medis).

b. Mengijinkan dilakukan penyelidikan bila diperlukan.

c. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut. d. Memberitahu keluarga dan teman-teman orang yang terluka. e. Melaporkan kejadian.

Penggunaan senjata api terdapat berbagai tingkatan tanggung jawab, tergantung pada orang-orang yang menggunakannya, tujuan yang hendak dicapai, tempat kejadian dan tingkat tanggung jawab yang mereka miliki terhadap warga atau pihak-pihak yang tidak terlibat. Dalam hal laporan kejadian dimana laporan dan tinjauan atasan harus dilakukan setelah terjadinya penggunaan kekerasan dan senjata api. Setelah itu atasan harus bertanggung jawab atas semua tindakan anggota polisi yang berada di bawah kepemimpinannya, jika atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui terjadinya penyalahgunaan wewenang maka tindakan yang harus dilakukan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) adalah:

a. Petugas wajib memberikan penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan, dan akibat dari tindakan yang telah dilakukan.

b. Pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang dirugikan.


(35)

c. Tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Laporan yang harus dibuat dan diberikan kepada atasan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian memuat antara lain:

a. Tanggal dan tempat kejadian.

b.Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan Kepolisian.

c. Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan. d. Rincian kekuatan yang digunakan.

e. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan.

f. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

Informasi yang harus dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 yang memuat antara lain:

a.Bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) ayat (1) huruf d, e, dan huruf f. b. Mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan.

c.Mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri dan atau masyarakat.

d.Bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan peningkatan kemampuan profesional anggota Polri secara berkesinambungan.

e. Bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan. f. Bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait

penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan.

C.Dasar Hukum Instruksi Tembak di Tempat

Baharudin Djavar berpendapat:

“Perintah tembak di tempat berlaku bagi pelaku kejahatan yang telah meresahkan warga dan akan dilakukan sesuai prosedur serta melihat situasi yang ada, meski demikian, menurut Baharudin, tindakan tegas berupa tembak di tempat harus diseimbangkan dengan Undang-Undang yang berlaku di kepolisian. Setiap Polisi tahu kapan menembak karena semuanya itu diatur oleh undang-undang.”


(36)

Baharudin pun mengatakan setiap anggota polisi tetap bertindak tegas dalam menangani kasus kejahatan. Hanya saja, ketegasan dalam bertindak tidak bisa diukur dari penembakan atau tidak. Ketegasan Polisi bukan dilihat orang yang ditembak mati, tetapi siapa yang melanggar hukum akan ditindak tegas.2

Tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri. Dasar hukum diskresi bagi petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:

a. Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

b. Pasal 16 ayat (1) huruf l: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dimana tindakan lain harus memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai berikut:

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

3) Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. 4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

5) Menghormati hak asasi manusia.


(37)

c. Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan Perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab.

Menurut kamus umum yang disusun oleh Alvina Trent Burrow yang dikutip dari Erlyn Indarty mengartikan diskresi sebagai “Kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri”3

Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T. Simorangkir, dan kawan-kawan diskresi diartikan sebagai: “Kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.4

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan terdapat 8 (delapan) unsur yang terkandung di dalam pengertian diskresi tersebut, kedelapan unsur dimaksud meliputi:

3Ibid 4


(38)

a. Kemerdekaan.

b. Otoritas/kewenangan.

c. Kebijaksanaan, termasuk dalam hal ini bijaksana. d. Pertimbangan.

e. Pilihan, diambil dari memilih. f. Keputusan.

g. Tindakan.

h. Ketepatan, khususnya dalam kaitan ini tepat.5

Berdasarkan penggabungan kedelapan unsur di atas diskresi secara lebih luas dapat diartikan sebagai Kemerdekaan dan atau otoritas (seseorang/ sekelompok/suatu institusi) untuk secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan/atau mengambil tindakan tertentu yang dipandang paling tepat.

Hal di atas bermakna bahwa apabila kata diskresi itu digabungkan dengan kata Kepolisian, maka menjadi Diskresi Kepolisian yang dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.6

Thomas J. Aaron merangkum diskresi kepolisian yang dikutip dalam bukunya Erlyn Indarty sebagai:

“Suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada Polisi untuk mengambil

keputusan dalam situasi tertentu, yang membutuhkan pertimbangan tersendiri dan menyangkut masalah moral serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”.7

Mengkritisi pengertian diskresi yang disodorkan oleh Thomas J. Aaron, Erlyn Indarty mencoba mengkombinasikan dan mencangkup unsur-unsur diskresi yang

5

Erlyn Indarty, Ibid, hlm. 16

6

Erlyn Indarty, Ibid, hlm. 16

7

M Fall, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Praduya Pramita, Jakarta, 1991, hlm. 15.


(39)

ada untuk kemudian menawarkan dan mendapatkan pengertian diskresi Kepolisian, yakni:

“Kemerdekaan dan atau otoritas Polisi baik sebagai individu maupun

institusi untuk secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan atau mengambil tindakan kepolisian tertentu uang dipandang paling tepat”.8

Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka pada dasarnya merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak di tempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya:

a. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu.

b. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan.

c. Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah. d.Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum. e.Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan

secara proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan hukum.

f. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.

g.Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras.

h.Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.

Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia dan bila tindakan keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka hal ini sesuai dengan pasal Pasal 47 ayat (1). Selain itu menurut ayat (2) pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk:

8


(40)

a. Dalam menghadapi keadaan luar biasa.

b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat.

c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat . d. Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang.

e.Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.

f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Polisi dalam menghadapi tersangka yang melakukan tindak kejahatan terkadang harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu kewenangan tersendiri bagi polisi. Dalam terminologi hukum kewenangan tersebut disebut sebagai tindakan diskresi.

Menurut Untung S. Radjab dalam bukunya Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan berpendapat bahwa:

“Untuk memelihara tegaknya keamanan dan ketertiban umum sering dengan

terpaksa dilakukan tindakan-tindakan kekerasan, yang secara faktual pasti dapat dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam kaitan ini, para pakar lalu menempatkan Polisi pada posisi diperbolehkan bertindak apa saja.”9

Sadjijono mengemukakan bahwa dalam pemberlakuan tindakan tembak di tempat terhadap tersangka oleh polisi harus berdasrkan pada asas-asas hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian yaitu sebagai berikut:

a. Asas legalitas (Legaliteitsbeginsel rechtmatigheid), yaitu asas dimana tindakan kepolisian harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. b. Asas kewajiban (Plichmatigheid beginsel plicmatigheid), yaitu asas yang menyatakan bahwa kepolisian dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan kewajiban dan tanggungjawab demi kepentingan umum. Asas keharusan/kewajiban ini didasarkan pada suatu syarat antara lain:

1) Tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan Perundang-undangan.

9

Untung S. Radjab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan. Tangga Pustaka. Jakarta. 2003, hlm. 3


(41)

2) Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.

3) indakan yang dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang.

c. Asas Partisipasi (deelneming beginsel), yaitu tindakan yang dilakukan kepolisian diusahakan mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat, karena tugas-tugas yang diemban oleh polisi tidak akan dapat terwujud sesuai dengan harapan tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat.

d. Asas preventif (Preventife beginsel), bahwa tindakan kepolisian lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan dan

e. Asas subsidaritas (subsidieren beginsel) yakni adalah asas dimana dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepolisian mengadakan bantuan dan hubungan serta kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun diluar negeri yang bersifat fungsional.10

Pada Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak di tempat, dimana dalam menggunakan senjata api harus:

a. Petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.

b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:

1) Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.

2) Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya.

3) Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain

10

Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian, Laksabang Mediatama, Surabaya, 2006, hlm. 17.


(42)

disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.

Penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan fungsi kepolisian, dimana dapat dibagi berdasarkan tahapannya adalah:

a. Untuk tahapan Preemptif yaitu mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau penyimpangan terhadap fungsi intelejen.

b. Untuk tahapan Preventif yaitu mencegah kejahatan atau penyimpangan yang terjadi serta bimbingan dan tindakan Kepolisian yang bersifat administrasi terhadap fungsi Sabhara serta lalu lintas.

c. Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu ditegakkan, maka terdapat tahap Represif yaitu dalam kaitannya dalam proses peradilan pidana atau Criminal Justice System. Selain itu lalu lintas, Reserse, adalah fungsi yang terutama melakukan itu.

d. Adapun Brimob adalah fungsi kepolisian para militer yang bias bertugas dalam rangka Represif maupun Preventif, khususnya terkait kejahatan berintensitas tinggi.11

Polisi dalam memilih tindakan yang harus diambil dan tindakan tersebut ternyata memilih kekerasan yang harus digunakan, polisi harus memperhatikan tingkatan kerjasama si tersangka dalam situasi tertentu serta mempertimbangkan rangkaian logis dan hukum sebab akibat. Dalam situasi tersebut polisi harus memutuskan cara apa yang akn ditempuh, teknik spesifik dan tingkat kekerasan yang akan digunakan berdasarkan keadaan.

11

Adrianus Meliala, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Jurnal teropong Vol V No.2, www.adrianusmeliala.com, Diakses Tanggal 29 November 2012 Pada Pukul 16.54 WIB


(43)

Bila prosedur dalam Pasal 48 dan dalam tabel diatas sudah dilaksanakan oleh petugas Kepolisian dalam menghadapi tersangka dan tersangka tidak mengindahkan hal-hal tersebut maka petugas kepolisian tersebut dapat melakukan upaya tembak di tempat terhadap tersangka untuk melumpuhkan dan memberhentikan tersangka agar tidak melakukan hal-hal yang lebih membahyakan bagi pelaku, petugas kepolisian, dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kerasa kepolisian berupa tembak di tempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:

(1) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

(2) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

(3) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota Polri atau masyarakat.

b. Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

(4) Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.


(44)

Setiap anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan dalam melakukan suatu tindakan terhadap bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka, Tahapan ini pun diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 terdiri dari:

a. Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. b. Tahap 2: perintah lisan.

c. Tahap 3: kendali tangan kosong lunak. d. Tahap 4: kendali tangan kosong keras.

e.Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.

f. Tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat.

D.Kebijakan Tembak di Tempat Dihubungkan dengan HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Hal yang perlu diingat bahwa Hak asai Manusia merupakan hak yang bersifat perlindungan minimal, melekat pada manusia, universal atau berlaku umum, tidak dapat dipisahkan, kesetaraan, tidak dapat dibagi, fundamental, dan tidak bersifat absolut.

Pada dasarnya anggota Polri diberikan perlindungan HAM dimana perlindungan tersebut diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Peraturan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009. Dengan adanya perlindungan HAM bagi anggota Polri maka dapat meminimalisir adanya pelanggaran HAM yang


(45)

dilakukan oleh Polri. Dimana pelanggaran HAM dapat terjadi pada orang-orang yang mempunyai kewenangan. Dalam kaitan tersebut berdasarkan Undang-undang, polisi adalah salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk membatasi Hak Asasi Manusia seseorang. Sesuai dengan peran Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban, masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, maka dalam melaksanakan tugasnya tersebut Polri wajib dan bertanggung jawab melindungi, menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia, yakni:

a) Dalam rangka perlindungan dan pelayanan masyarakat, antara lain:

(1) Melayani laporan dan pengaduan terjadinya pelanggaran hukum termasuk pelanggaran HAM.

(2) Memberikan perlindungan terhadap tempat-tempat yang telah dan diperkirakan dapat menjadi sasaran pelanggaran HAM

b) Dalam rangka pembimbingan masyarakat, antara lain:

(1) Memberikan informasi kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman HAM.

(2) Mengarahkan dan mendayagunakan masyarakat agar menghormati hukum dan ketentuan HAM.

(3) Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan unsur Satpam, Polsus dan unsur potensi masyarakat lainnya untuk membantu Polri dalam penegakkan HAM.

c) Dalam menjalankan tugas penegakan hukum, misalnya memanggil, untuk sebagai saksi, ataupun tersangka, menangkap, memeriksa, menahan, menyita harus sesuai hukum acara, dengan tetap menghormati HAM dan hak-hak


(46)

masyarakat lainnya, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocent) meskipun polisi melakukan tindakan awal dengan presumtion of guilty (praduga bersalah secara terbatas).

d) Dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

(1) Melarang masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri dalam menghadapi pelanggaran HAM atau kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat setempat.

(2) Memberi contoh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat sehar-hari dengan berperilaku yang baik dan sopan dan menghormati HAM.

(3) Cepat tanggap dan membantu kelompok rentan yang berpotensi terjadi pelanggaran HAM, dilingkungan tempat tinggal atau tempat-tempat yang dicurigai.

Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.

Pasal 14 ayat (1) menyatakan:

“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

huruf I Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.”


(47)

Pasal 16 ayat (2):

“Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang

dimaksud dalam huruf E yaitu: “Menghormati Hak AsasiManusia.”

Pasal 19 ayat (1):

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.”

Tindakan kekerasan yang melanggar HAM dalam hal-hal tertentu tindakan kekerasan dibenarkan oleh Konvensi HAM yaitu Pasal 29 Deklarasi Umum HAM, tindakan kekerasan tersebut bermaksud untuk menjamin hak orang lain, moral, ketertiban dan keselamatan umum yang harus ditegakkan oleh Undang-Undang. Dimana peran utama kepolisian ditunjukkan melalui sifat-sifat untuk melakukan hal-hal berdasarkan pada:

1.Wewenang yang diberikan kepada polisi dalam penangkapan dan penahanan.

2. Kesanggupan anggota polisi untuk bekerja selama 24 jam setiap hari. 3. Kesanggupan anggota polisi untuk melakukan tindakan segera.12

Berdasarkan ketentuan/peraturan tentang HAM, unsur-unsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat pada saat melaksanakan tugas, yaitu:

a. Bahwa telah ada suatu tindakan mengurangi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang HAM. Pengurangan hak hidup seseorang tersebut dilakukan dengan cara memakai kekerasan berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur.

b. Bahwa selain merupakan tindakan pembatasan hak hidup seseorang, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian juga merupakan tindakan penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang HAM. Dimana aparat kepolisian bertindak diluar batas kemanusiaan

12HAM dan Penegakan Hukum

, (Human Rights and Law Enforcement) Manual Pelatihan HAM bagi Polisi, New York dan Jenewa, 1997


(48)

ketika sedang melaksanakan tugasnya dan tidak lagi menghormati hak hidup seseorang.

Bahwa perbuatan pengurangan hak hidup seseorang dan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada saaat melaksanakan tugasnya, khususnya pada saat menggunakan senjata api telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab dari kepolisian sebagai bagian dari pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Undang-undang HAM, yang menyebutkan bahwa:

“Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,

menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM

yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi-Konvensinya menyatakan keadaan ini sebagai tindakan kekerasan yang eksepsional. Hal ini juga disebut dengan diskresi. Didalam kriminologi, terdapat teori-teori kriminologi yang fokus terhadap situasi dimana terjadinya tindak kejahatan. Terdapat tiga (3) pendekatan yaitu, environmental criminology, the rational choice perspective dan routine activity approach. Ketiganya sering disebut sebagai opportunity theories karena analisis yang digunakan mempertimbangkan variabel situasi yang didalamnya terdapat kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan secara spesifik.13

Reserse Kriminal selaku unsur teknis operasional, Bareskrim bertugas menemukan pelaku pelanggaran hukum maupun kejahatan untuk diproses sesuai hukum yang berlaku karena lebih memfokuskan pada tindakan atau penindakan terhadap para pelanggar hukum. Bareskrim Polri lebih dominan dalm upaya represif daripada preventifnya. Reserse melaksanakan praktek-praktek kepolisian

13

Tindak Kejahatan, www.harian-global.com, diakses tanggal 29 November 2012 pada pukul 16.30 WIB


(49)

represif dari penyidikan, penanggkapan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan sampai penahanan. Faktor-faktor yang berkenaan dengan diskresi kepolisian, dalam kaitannya dengan penegakkan hukum dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar:

a. Faktor dasar, yakni faktor-faktor yang melatarbelakangi atau mengawali munculnya diskresi, yang dapat digolongkan lebih lanjut kedalam 3 (tiga) kategori berikut ini:

1) Faktor dasar utama yang terdiri dari ketidakmungkinan dilakukannya penegakkan setiap hukum yang ada, dan Perlunya penerjemahan atau penafsiran terhadap hukum yang ada tersebut.

2) Faktor dasar pendukung, yaitu terbatasnya sumber daya yang ada pada Polisi, terutama sumber daya manusia atau personil, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

3) Faktor dasar tambahan, yang meliputi adanya keberatan dari pihak masyarakat bila penegakkan hukum, diberlakukan terhadap seluruh peraturan yang ada, dilakukan secara total atau sepenuhnya dan dilaksanakan sepanjang waktu, dan Kesadaran bahwa Polisi bukan

“superman” yang dapat melaksanakan semua peran dan tugasnya, serta

memenuhi semua tuntutan atau kebutuhan masyarakat.

b. Faktor Pengaruh, yaitu kelompok faktor-faktor yang menentukan arah diskresi, yang baru terlibat ketika diskresi mulai digunakan, ditetapkan, dijalankan, atau dilaksanakan, dan berasal baik dari dalam maupun luar Domain hukum. Faktor pengaruh ini lebih lanjut dapat dibagi kedalam 2 (dua) kategori sebagai berikut:

1) Faktor pengaruh legal, yakni segala hal yang berkenaan dengan penegakkan hukum, seperti penangkapan atau penahanan, yang memang secara eksplisit dinyatakan dalam hukum yang tertulis yang juga meliputi: pertimbangan material, yakni kuantitas dan kualitas informasi mengenai hukum dan peraturan perundang-undangan yang tersedia sebagai bahan pertimbangan guna menjustifikasi tindakan yang diambil, Pertimbangan praktikal, yaitu ada tidaknya tersangka dan/atau korban yang bersifat kooperatif atau bersedia bekerjasama, pertimbangan organisasional, yakni kebijakan administratif dan pola pengawasan yang diterapkan pada organisasi kepolisian yang bersangkutan serta pertimbangan instrumental, yaitu jenis dan derajat keseriusan dari pelanggaran hukum.

2) Faktor pengaruh external-legal, yaitu pertimbangan yang berpedoman pada pengetahuan yang diterima begitu saja (Taken for granted knowledge) oleh polisi dari pengalaman pelaksanaan tugas dalam praktek, bukan dalam teori, yang mempunyai karakteristik fokus pada masyarakat luas, yaitu karakter dan watak atau kecenderungan masyarakat. Fokus pada tersangka dan/atau korban yakni tingkat


(50)

polisi. Seperti perilaku, penampilan, dan status sosial, diantaranya ras, umur, gender, kekayaan, reputasi. Fokus pada petugas polisi di lapangan, yaitu Pendidikan, Pengalaman, Sikap mental, Kelelahan fisik si Polisi. Pertimbangan untung-rugi yang bias diantisipasi oleh petugas patroli atau polisi lapangan bagi dirinya sendiri, si tersangka dan/atau si korban, maupun masyarakat luas ketika terlibat dalam perkara. Fokus pada konteks ruang dan waktu kejadian perkara, yakni segala sesuatu yang berkenaan dengan dimana dan kapan suatu tindakan criminal atau pelanggaran hukum berlangsung.14

Menurut Joseph J. Senna & Larry J. Siegel Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi dilakukannya diskresi, yaitu:

a.Legal factors. Hal ini terkait dengan keseriusan dari kejahatan yang dilakukan, senjata yang digunakan, tipe kejahatan, dan luka yang ditimbulkan akibat kejahatan yang dilakukan.

b.Environmental factors. Hal ini terkait dengan kondisi sosial, sikap masyarakat, dan fasilitas perawatan.

c.Departmental factors. Hal ini terkait dengan perintah atasan, supervisor, dan kelompoknya.

d.Situational factors. Hal ini terkait dengan cara bersikap, tempat kejadian kejahatan, keberadaan saksi.

e.Extralegal factors. Hal ini terkait dengan kelas sosial, ras, gender, umur. Misal apabila pelaku penyimpangan berasal dari ras yang sama dengan polisi maka kemungkinan terjadinya diskresi akan lebih besar di banding yang berbeda ras.15

Prinsip-Prinsip Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh polisi pada dasarnya termasuk dalam Prinsip-Prinsip Dasar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang Perlindungan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar Hukum Tata Tertib bagi Petugas Penegak Hukum PBB. Dalam Pasal 3 Tata Tertib Bagi Petugas Penegak Hukum menjelaskan bahwa petugas penegak hukum hanya boleh mengunakan kekerasan bila sangat diperlukan dan hanya sebatas yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan

14

Erlyn Indarty, Op Cit, hlm. 23.

15

Sutanto, Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 90.


(51)

mereka. Penggunaan senjata api dianggap sebagai langkah ekstrim/langkah terakhir.

Selain itu dalam Ketentuan Nomor 19 dalam Prinsip-Prinsip Dasar tersebut menyatakan bahwa pemerintah dan pihak yang berwenang harus memastikan dan menjamin bahwa Polisi harus dilengkapi dengan keahlian dan kemampuan yang memadai tentang penggunaan kekerasan dan senjata api. Seperti tertera pada peraturan Nomor 9, anggota Polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa.16

Adapun beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam menggunakan tindakan kekerasan terhadap tersangka, yaitu:

a. Enam Prinsip Penggunaan Kekuatan, yaitu: 1) Legalitas (Harus sesuai hukum)

2) Nessesitas (Penggunaan kekuatan memang perlu diambil)

3)Proporsionalitas (Dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan Polri)

4)Kewajiban Umum (Petugas bertindak dengan penilaiaannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan kamtibmas) 5) Preventif (Mengutamakan pencegahan)

6)Masuk akal (Tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi)

16Ibid


(52)

b. Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan:

1)Kekuatan yang memiliki dampak deteren (Berupa kehadiran aparat Polri atau kendaran dengan atribut Polri atau lencana)

2)Perintah lisan (Ada komunikasi atau perintah, contoh: “Polisi, jangan

bergerak!”)

3)Kendali tangan kosong lunak (Dengan gerakan membimbing atau kuncian tangan yang kecil timbulkan cedera fisik)

4)Kendali tangan kosong keras (Ada kemungkinan timbulkan cedera, contoh dengan bantingan atau tendangan yang melumpuhkan)

5)Kendali senjata tumpul (Sesuai dengan perlawanan tersangka, berpotensi luka ringan, contoh dengan menggunakan gas air mata dan tongkat polisi) 6)Kendali dengan menggunakan senjata api (Tindakan terakhir dengan

pertimbangan membahayakan korban, masayarakat dan petugas)

c. Enam tingkat perlawanan tersangka atau massa:

1)Perlawanan tingkat 1 (Contoh diam di tempat dengan duduk ditengah jalan)

2)Perlawanan tingkat 2 (Berupa ketidak patuhan lisan dengan tidak mengindahkan himbauan polisi)

3)Perlawanan tingkat 3 (Perlawanan pasif dengan tidur di jalan dan diam saja walau duperintahkan bergeser hingga harus diangkat petugas)

4)Perlawanan tingkat 4 (Bertindak defensif dengan menarik, mengelak atau mendorong)

5)Perlawanan tingkat 5 (Bertindak agresif dengan memukul atau menyerang korban, petugas atau masyarakat lain)


(1)

F. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(2)

82

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri dari:

a. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang menyebutkan bahwa anggota Kepolisian dalam melaksanakan tugas di lapangan dalam situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, dapat melaksanakan penggunaan kekuatan beurupa tindakan tembak di tempat, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan denga aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati/ menjunjung tinggi hak asasi manusia.

b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengendalian Masa, yang menyebutkan bahwa dalam pengendalian massa diatur tindakan-tindakan kepolisian yang dianggap perlu dalam melaksanakan tugas di lapangan terutama pada situasi dan kondisi yang mendesak, sehingga perlu melaksanakan


(3)

penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yaitu melaksanakan kewenangan tembak di tempat.

c. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki, yang menyebutkan bahwa anggota Kepolisian dalam melaksanakan tindak di tempat harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Peraturan Kapolri, anggota tidak boleh melakukan tindakan di luar prosedur yang telah ditetapkan dan harus dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. 2. Kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam

pelaksanaan tembak di tempat merupakan tindakan terakhir yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam prosedur penggunaan senjata api setelah memberikan tembakan peringatan dengan cara menembak bagian tubuh tersangka dengan tujuan melumpuhkan bukan untuk mematikan. Kewenangan ini dibatasi oleh asas legalitas, nesesitas dan proporsionalitas agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai pembatasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan tembak di tempat.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu ditingkatkan mekanisme pengawasan dan pendataan terhadap anggota Polri yang memegang senjata api, sehingga dapat diantisipasi dan ditempuh langkah-langkah kongkrit pencegahan penyalahgunaan senjata api oleh anggota kepolisian. Selain itu perlu diberikan tindakan dan hukuman tegas kepada anggota polri yang terbukti menyalahgunakan senjata api, hal ini akan


(4)

84

memberikan efek jera dan sebagai pelajaran bagi anggota polri lainnya agar tidak menyalahgunakan senjata api.

2. Perlu ditingkatkan kedisiplinan dalam melaksanakan prosedur penggunaan senjata api ketika melaksanakan tugas di lapangan. Selain itu anggota kepolisian yang memegang senjata api hendaknya mampu memisahkan kepentingan dinas dan permasalahan pribadi atau keluarga secara proporsional, sehingga tidak berpengaruh negatif pada pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, terutama yang dapat berpotensi penyalahgunaan senjata api.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achmad Ali. 2006. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. PT. Gunung Agung Tbk. Jakarta.

Adrianus, Meliala. 2012. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Gramedia Pustaka. Jakarta.

Chryshnanda, D. L. Pelayanan Prima Kepolisian. Dharana Lastarya.org

Erlyn Indarty. 2007. Diktat Matakuliah Diskresi Kepolisian. Mabes Polri Akpol. Magelang.

Ermansjah, Djaja. 2008 Memberantas Korupsi Bersama KPK. Sinar Grafika. Jakarta.

HAM dan Penegakan Hukum. 1997. (Human Rights and Law Enforcement) Manual Pelatihan HAM bagi Polisi. New York dan Jenewa.

J.C.T Simorangkir. 2003. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2006. Buku Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Organisasi Internasional Untuk Migrasi, Perpolisian Masyarakat, Jakarta.

Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2006. Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri. Jakarta.

M. Fall. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi ( Diskresi Kepolisian). Praduya Pramita. Jakarta.

Moleong J. Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Romli, Atmasasmita. 2000. Hukum Asas Paduga Tak Bersalah Reaksi Atas Paradigma. Refika Aditama. Bandung.


(6)

Sadjijono. 2006. Mengenal Hukum Kepolisian. Laksabang Mediatama. Surabaya. Sitompul. 2000. Beberapa Tugas dan Peranan Polri. CV Wanthy Jaya. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sutan Remy, Sjahdeini. 2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Grafiti Pers Cetakan kedua. Jakarta.

Sutano. 2008. Manajemen Investigasi. Pensil 324. Jakarta.

Sutanto. 2006. Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Untung S. Radjab. 2003. Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan. Tangga Pustaka. Jakarta.

Wirjono, Prodjodikoro. 2004. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia.

C. Internet

Arman Pasaribu. Penyimpangan Tembak di Tempat oleh Aparat Kepolisian Sebuah Penyimpangan Arti Keadilan. www.wordpress.com


Dokumen yang terkait

Kajian Yuridis tentang Kewenangan Aparat Kepolisian Dalam Melakukan Tembak Di Tempat Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

4 55 106

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

3 86 106

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN KEWENANGAN MENEMBAK YANG DIMILIKI OLEH KEPOLISIAN NEGARA Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kewenangan Menembak Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

0 1 15

PENDAHULUAN Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kewenangan Menembak Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

0 0 11

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN KEWENANGAN MENEMBAK YANG DIMILIKI OLEH KEPOLISIAN NEGARA Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kewenangan Menembak Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1 3 21

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 7

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 1

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 36

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 27

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 3