Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

(1)

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN

DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh : LIDYA SUSANTI

NIM : 100200379

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN

DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh : LIDYA SUSANTI

NIM : 100200379

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP : 19570326198601101 Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH.,M.Hum

NIP : 196107021989031001 197407252002122002 Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Kajian Yuridis tentang Kewenangan Aparat Kepolisian Dalam Melakukan Tembak Di Tempat Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahnda Regen Siburian dan Ibunda Siti Herawaty Simangunsong atas semua doa, cinta kasih, dukungan moril dan materil yang tiada habisnya diberikan kepada penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan inii penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, Sh, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Suumatera Utara

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana 6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana 7. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum dan Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum selaku

Dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Seluruh pegawai pemasyarakatan Rutan Kelas II B Kabanjahe yang telah bersedia memberi data kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Kakak dan Abang tercinta, yang telah memberi dukungan doa, moril, dan materi dalam menyelesaikan menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada Teman-teman sperjuangan setambuk 2010, teman-teman satu jurusan hukum pidana, dan sahabat-sahabat saya Eldayani Sirait, Elia Lorenna Purba, Meliasta Julin, Yolanda Ursula, Dini Wahyuni, Febri Sri Utami.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan


(5)

semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, 2014 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..………. DAFTAR ISI………..……… ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..8

D. Keaslian Penulisan………...9

E. Tinjauan Kepustakaan………..10

1.Tugas Dan Fungsi Kepolisian……….10

2.Pemeriksaan Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana……16

3.Pengertian Tindakan Tembak Ditempat………..25

4.Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Hukum Acara Pidana…..31

F. Metode Penelitian……….………33

G. Sistematika Penulisan………..35

BAB II KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DITEMPAT TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH...………….37

A. Prosedur Penggunaan Wewenang Tembak Ditempat Oleh Aparat Menurut Undang-Undang Kepolisian………...………...37

B. Pemberlakuan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka………...44

C. Berlakunya Asas Praduga Tidak Bersalah Bagi Tersangka………….49

D. Kaitan Antara Asas Praduga Tidak Bersalah Dengan Tembak Ditempat………...52


(7)

BAB III PENGAWASAN TERHADAP TINDAKAN TEMBAK DITEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP TERSANGKA………...64

A. Pengawasan Internal Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Dengan Prosedur………..64 B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang

Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Prosedur………...72

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………

A. Kesimpulan ……….90

B. Saran………92


(8)

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABSTRAKSI Lidya Susanti* Abul Khair, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Aparat Kepolisian dituntut agar mampu mengambil tindakan cepat yang terbaik menurut penilaiannya dalam menghadapi tersangka yang secara tiba-tiba dapat membahayakan nyawa manusia. Kewenangan yang dimiliki aparat Kepolisian ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian diantaranya adalah tembak di tempat. Namun yang menjadi masalah apakah dalam pelaksanaan tembak di tempat telah sesuai dengan prosedur dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku, karena dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP dikenal asas praduga tidak bersalah terhadap tersangka.

Metode penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin, keadaan atau gejala-gejala tertentu. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data skunder dan disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Bahan penelitian ini juga didukung oleh data primer yaitu berupa hasil wawancara dengan narasumber terkait judul skripsi ini. Seluruh data dianalisis secara yuridis kualitatif yaitu data yang telah diperoleh disusun secara sistematis dan ditarik suatu kesimpulan.

Tembak di tempat yang dilakukan oleh aparat Kepolisian harus sesuai prosedur, dimana prosedurnya telah diatur pada Pasal 48 huruf b Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada pasal ini disebutkan bahwa petugas Kepolisian harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas, memberi perintah untuk berhenti; mengangkat tangan; dan meletakkan senjata, memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi, memberikan tembakan peringatan yang selanjutnya tembak ditempat oleh petugas Kepolisian apabila cara tersebut tidak dipatuhi oleh tersangka. Pasal 48 huruf a menegaskan bahwa petugas Kepolisian wajib memahami dan menerapkan prinsip penegakkan hukum yaitu legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Apabila ketiga unsur dapat terpenuhi maka asas praduga tak bersalah dapat dikesampingkan oleh petugas Kepolisian. Aparat Kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur akan mendapat sanksi berupa hukum pidana, peraturan disiplin Polri, dan etika profesi Kepolisian. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan HAM adalah meningkatkan SDM Kepolisian, yakni dengan cara pemeliharaan kesiapan personil Polri, berupa perawatan kemampuan, pembinaan mental, pengembangan kekuatan personil, peningkatan kualitas pendidikan baik pada tingkan pendidikan pengembangan kejuruan dan spesialisasi fungsi kepolisian. Serta didukung dengan sarana prasarana yang menunjang, dan budaya yang meliputi unsur struktur (tugas yang dilakukan dan diberikan secara tepat dan benar) dan substansial (peraturan perundang-undangan).


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat ditelusuri dari seejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Kehadiran polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan.1

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Kepolisian merupakan salah satu institusi negara yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Sebagai institusi pelindung masyarakat, aparat kepolisian haruslah memberikan contoh yang baik dalam menciptakan rasa aman tersebut, yaitu dalam menjalankan tugas serta kewajibannya aparat kepolisian senantiasa harus bertindak berdasarkan

1

Bibit Samad Rianto. 2006. Pemikiran Menuju POLRI Yang Profesional, Mandiri,


(10)

normahukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Tugas yang dijalankan oleh aparat Kepolisian merupakan tugas yang cukup berat dan terkadang tugas-tugas tersebut dilaksanakan secara individu serta Polisi dituntut untuk mampu mengambil suatu keputusan secara pribadi dalam menghadapi situasi yang nyata. Di dalam pengambilan suatu keputusan tersebut, Polisi dituntut untuk mengambil suatu keputusan yang matang dan selalu memperhatikan hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang tanpa terkecuali tersangka.

Oleh karena itu, setiap tindakan yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian saat berada di lapangan dan berhadapan langsung terhadap tersangka, semuanya itu telah diatur dalam Undang-undang dan Polisi dalam menggunakan wewenangnya harus sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

Penegakkan hukum dalam hubungan dengan tugas polisi adalah penegakkan hukum pidana. Tugas polisi senantiasa diukur dengan upaya menciptakan rasa keadilan masyarakat bukan rasa keadilan individu perorangan. Pengambilan keputusan yang dilakukan aparat kepolisian menyangkut masalah ketertiban dan keamanan masyarakat yang erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Terkadang ada beberapa aparat kepolisian yang keliru dalam mengambil keputusan guna mencegah sesuatu masalah, akibatnya ada anggota masyarakat tertentu merasa dilanggar hak-haknya dan memberikan tanggapan negatif kepada Polisi. Sebagai contohnya; Polisi salah tembak yang mengakibatkan seorang buruh tani tewas. Peristiwa ini terjadi di Semarang, dimana aparat kepolisian yang


(11)

bertugas melakukan tembak ditempat yang tidak sesuai prosedur. Kronologi kejadian yang dituturkan dalam surat kabar Semarang, empat orang aparat kepolisian menghampiri rumah korban (Supri Handoko) guna mencari Slamet (kakak korban) yang merupakan buronan karena diduga melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Pada saat memasuki rumah korban, aparat kepolisian yang bertugas tersebut mendapati Baryadi, Arifin, dan Suharjo yang merupakan kerabat korban sedang menonton tv. Tanpa permisi dan menyebutkan identitasnya, aparat kepolisian tersebut menanyakan keberadaan Slamet kepada para saksi tersebut, dan para saksi menjawab Slamet tidak ada dirumah dan mereka tidak tahu keberadaannya. Korban yang sedang tidur di dalam kamar terbangun karena mendengar suara berisik dari luar. Aparat kepolisian mengira Handoko (korban) adalah buronan yang mereka cari. Dua aparat mengikuti korban dari belakang. Saat di depan pintu, terdengar suara letusan senjata api sebanyak dua kali. Para saksi bergegas kearah pintu dan mendapati korban telah tergeletak bersimba darah. Korban mengalami dua luka tembak di bagian leher dan punggung kiri. Korban dilarikan ke rumah sakit, tetapi akhirnya tewas. Menurut Baryadi (saksi), Slamet (buronan) yang dicari oleh Polisi memang sempat datang ke rumah korban pada sore hari namun hanya singgah sebentar dan pergi lagi ntah kemana. Atas kejadian ini keluarga korban menuntut aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tersebut agar diproses sesuai hukum yang berlaku yaitu dengan diberi sanksi yang tegas baik itu sanksi indisipliner sebagai anggota kepolisian maupun sanksi pidana atas perbuatannya itu. Kapolres Purworejo AKBP M.Taslim Chairuddin mengatakan bahwa pihaknya masih


(12)

melakukan proses penyelidikan terhadap kasus tersebut, dan aparat kepolisian yang diduga melakukan penembakan sudah diamankan di Mapolres Purworejo, dan apabila terbukti bersalah Polisi tersebut akan diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.2

Pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi.Adapun pengertian diskresi Kepolisan menurut Thomas J. Aaronadalah ”Suatu wewenang yang diberikan kepada Polisi,untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan sendiri dan menyangkut masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”.

Setiap melakukan tindakan, aparat kepolisian mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri dan hal inilah yang terkadang disalahgunakan oleh aparat Kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi :

“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

3

Penerapan di lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka dan pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka bersifat situasional, yaitu berdasarkan pada prinsip proporsionalitas dalam penanggulangan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat keadaan tertentu.

pada tanggal 8 Februari 2014

3

M.Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita, hal.16


(13)

Polisi dalam menangani kasus yang bersifat individual diperlukan tindakan individual pula. Berdasarkan karakter profesi yang seperti itu, Kepolisian memberlakukan prinsip atau asas diskresi. Dengan prinsip diskresi ini, seorang Polisi boleh dan dapat mengambil keputusan dan tindakan sendiri, berdasarkan pertimbangan individual.

Seorang Polisi yang sedang melakukan operasi dapat memutuskan sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak. Setelah ia memutuskan untuk ”menarik pelatuk” atau ”tidak menarik pelatuk” maka anggota Polisi yang bersangkutan akan mempertanggung jawabkan keputusannya kepada atasannya.

Menurut Sutanto, penerapan atas asas diskresi tidak semudah teori, terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban pasca tindakan. Seorang polisi yang mengambil keputusan untuk menembak seseorang tersangka kemudian harus mempertanggung jawabkan keputusan itu kepada atasannya dan ia harus dapat memberikan alasan mengapa perlu menembak tersangka. Tetapi mungkin saja terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang Polisi tidak melakukan penembakan dan ternyata tersangka lolos dari pengejaran atau dalam situasi lain dimana ia tidak menembak, padahal seorang penjahat mengancam nyawa oarng lain dengan senjata, dalam hal ini, ia tetap harus mempertanggung jawabkan keputusan mengapa ia tidak menarik pelatuk senjatanya.4

Pada dasarnya penggunaan senjata api oleh anggota Polisi dalam menanggapi pelanggar hukum ada ketantuan-ketentuan yang mengaturnya. J. M. Van Bemmelen berpendapat sebagai berikut : ” Polisi tidak boleh menembak,

4


(14)

apabila kasus atau peristiwa tersebut dapat ditangani dengan tanpa senjata api atau dengan tangan, dan dia tidak boleh menembak apabila seorang pelanggar lalu lintas yang ringan melarikan diri.” 5

Dari isi kedua ketentuan diatas dapat dilihat bahwa kedua ketentuan tersebut mempunyai pengertian yang sama, yaitu ketentuan-ketentuan tersebut memberikan asas praduga tak bersalah. Dengan adanya asas ini, hak asasi Untuk mencapai sasaran penegakan hukum, segala tindakan para penegak hukum disesuaikan dengan Pancasila. Salah satunya dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Asas yang mengatur perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang terdapat dalam Undang-undang ini ialah perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah, yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan angka ke-3 sub c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.

Penjelasan point ke-3 sub c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 :

“ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh hukum yang tetap”. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

5


(15)

seseorang harus dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Tindakan Polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan Polisi dari menterjemahkan Undang-undang, kemudian diterapkan di lapangan dalam tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum. Lain lagi halnya dengan fungsi Polisi sebagai penyelidik dalam bidang reserse yaitu bagian penegakan hukum di bidang kriminal, hal-hal yang tidak diinginkan secara akal sehat ditemui di lapangan yang menuntut Polisi segera bertindak. Pilihan tindakan sepenuhnya berada ditangan Polisi sebagai pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai dengan kekuasaan diskresi-fungsional Kepolisian yang diberikan pada aparat kepolisian.

Secara formal prosedur penggunaan senjata api telah diatur. Namun, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan tersebut dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Kepolisian, umpamanya yang bersifat situasional. Yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “tembak di tempat” terhadap para pelaku tindak pidana kategori residivis atau yang sadis dalam melakukan kejahatannya. Maka dari itu penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul ”Kajian


(16)

Yuridis Tentang Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan aparat kepolisian dalam melakukan tembak ditempat terhadap tersangka dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah? 2. Bagaimana Pengawasan terhadap tindakan tembak ditempat oleh aparat

kepolisian terhadap tersangka ?

C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan

Adapun tujuan dan manfaat dari pembahasan dalam tulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui serta mengkaji kaitan antara kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian dengan asas praduga tidak bersalah.

b. Untuk mengetahui pengawasan terhadap tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan masukan serta sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum dan mendalami tugas dan kewenangan aparat kepolisian


(17)

b. Dapat dijadikan referensi untuk menelaah lebih dalam makna,pemberlakuan, dan ketentuan dari tembak ditempat oleh aparat kepolisian serta aturan yang mengaturnya.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi sumbangsih sebagai bahan masukan serta untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada instansi yang terkait yaitu pihak yang berwenang dalam menerapkan hukum.

b. Menjadi sumbangsih sebagai bahan masukan serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kewenangan kepolisian serta pelaksanaannya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Ditempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah ini benar merupakan hasil karya Penulis sendiri, yang mana sumbernya Penulis peroleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, literature-literatur hukum, dan media elektronik yang berhubungan dengan skripsi ini.

Sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Ditempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah belum pernah ada yang menulis sebelumnya.


(18)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tugas dan Fungsi Kepolisian

a. Tugas Kepolisian

Kepolisian mempunyai tugas-tugas umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Dimana Pasal 13 merupakan tugas pokok Kepolisian, sebagai berikut :

1. Memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat 2. Menegakkan hukum

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 merupakan tugas bagian dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian bertugas sebagai berikut ;

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undanganlainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(19)

Agar dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian sebagaimana tersebut di atas dapat berjalan dengan baik, pelaksanaan tugasnya itu dapat dipatuhi, ditaati, dan dihormati oleh masyarakat dipatuhi dalam rangka penegakan hukum, maka oleh Undang-undang Polri diberi kewenangan secara umum yang cukup besar yang tercantum dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, antara lain: 1. menerima laporan dan/atau pengaduan;

2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;

3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyekit msyarakat;

4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 9. mencari keterangan dan barang bukti;

10.menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

11.mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

12.memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan msyarakat;

13.menerima dan menyimpa barang temuan untuk sementara waktu.

Selain kewenangan umum yang diberikan oleh Undang-Undang sebagaimana tersebut di atas, maka diberbagai Undang-undang yang telah mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini dalam Undang-undang itu juga telah memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan tugas sesuai dengan Pasal 15 ayat (2)Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang mengaturnya tersebut antara lain;

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;


(20)

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

f. memberikan izin dan malakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Bidang penegakan hukum publik khususnya yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, Polri sebagai penyidik utama yang menangani setiap kejahatan secara umum dalam rangka menciptakan keamanan dalam negeri, maka dalam proses penannganan perkara pidana Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah menetapkan kewenangan sebagai berikut;

1. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

2. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

4. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. memanggil orang untuk didengan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

8. mengadakan penghentian penyidikan;

9. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10.mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yng disangka melakukan tindak pidana;


(21)

11.memnberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12.mengadakan tindakan lain menurut hukum yng bertanggung jawab, yaitu tindakan penyelidik dan penyidik yang dilaksankan dengan syarat sebagai berikut;

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan e. menghormati hak azasi manusia.

b. Fungsi Kepolisian

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering disingkat dengan Polri dalam kaitannya dengan Pemerintahan adalah salah suatu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,yaitu:

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Fungsi Kepolisian dapat dijabarkan sebagai berikut:6

6


(22)

a. Selaku alat negara penegak hukum berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan :

1. Melaksanakan penindakan/represif terhadap setiap pelanggaran hukum. 2. Menjaga tegaknya hukum, yaitu agar tidak terjadi pelanggaran hukum. 3. Memberikan bimbingan kepada masyarakat agar terwujud kesadaran

hukum dan kepatuhan hukum masyarakat.

b. Melindungi dan mengayomi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan :

1. Melindungi masyarakat, pribadi maupun harta bendanya dengan melakukan patrol, penjagaan dan pengawalan.

2. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan kepolisian.

3. Mengayomi masyarakat agar mampu mengamankan diri dan harta bendanya antara lain melalui upaya-upaya sistem keamanan swakarsa. c. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang

terselenggaranya keamanan dan ketertiban masyarakat. Dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan :

1. Memberi penerangan dan penyuluhan tentang pentingnya keamanan dan ketertiban masyarakat bagi kelancaran jalannya pembangunan nasional. 2. Penerangan dan penyuluhan tentang sistem keamanan swakarsa.

3. Kegiatan lain yang bersifat mendorong masyarakat guna terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat.


(23)

Menurut C.H. Niewhuis, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok, aparat kepolisian memiliki 2 fungsi utama yaitu:7

1. Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa aparat kepolisian itu berkewajiban melindungi negara beserta lembaga-lembaganya, ketertiban dan ketahanan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan mencegah dilakukannya perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan-perbuatan lainnya yang pada hakikatnya dapat mengancam dan membahayakan ketertiban dan ketentraman umum.

2. Fungsi represif atau pengendalian, yang berarti bahwa aparat kepolisian itu berkewajiban menyidik perkara-perkara tindak pidana, menangkap pelaku-pelakunya dan menyerahkannya kepada penyidikan untuk penghukuman.

Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendapat perhatian ialah tugas dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai penegak hukum, Polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana , sebagai salah satu subsistem. Di dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan “pintu gerbang” bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini menempatkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan (bila perlu), penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan.8

Satjipto Rahardjo menyebut tugas kepolisian sebagai “multi fungsi”, yaitu tidak sebagai polisi saja tetapi juga sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Polisi dalam menangani sebuah kasus harus mampu menentukan apakah kasus tersebut

7

Ibid., hal.43 8

Rusli Muhammad . 2011. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: UI Press, hal.14


(24)

merupakan tindak pidana, siapa pelakunya, bagaimana melakukan penangkapan terhadap tersangkanya. Setelah itu polisi harus mampu menentukan peraturan ataupun Undang-undang apa yang dilanggar oleh tersangka untuk dituntut pertanggungjawaban dari tersangka tersebut.9

2. Pemeriksaan Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana

Dalam sistem peradilan pidana, Polisi memiliki fungsi sebagai penyelidik dan sebagai penyidik tindak pidana.

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP, walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata tersebut berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Kata sidik diberi sapaan el menjadi selidik yang artinya banyak menyidik. Jadi, menyelidik dan menyidik sebenarnya memiliki arti yang sama. Sisipan el hanya memperkeras (banyak) menyidik.10

Perbedaan lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan

Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan, namun jika ditelaah kedua istilah tersebut sungguh berbeda. Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat Polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983).

9

Ibid., hal.15 10


(25)

mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.

a) Penyelidikan

Dalam Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa;

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.”

Hal ini berarti bahwa tindakan Penyelidikan ini merupakan tindakan untuk mendahului penyidikan dan merupakan tahap pertama dari tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian, dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, dengan berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan


(26)

ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.11

Tindakan penyelidikan mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh seorang yang dicurigai sebagai pelaku. Oleh karena itu pada tahap penyelidikan, penyelidik harus mendapatkan gambaran tentang tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelaku melakukan tindak pidana, apa akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, apa akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, siapa yang melakukan tindak pidana itu, dan benda-benda apa saja yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai barang bukti.12

Tugas penyelidikan yang harus dilaksanakan oleh penyelidik meliputi kegiatan :

Hal penyelidikan, maka tugas polri ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Rumusan dari pasal ini memuat rincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan hukumm acara pidana.

13

1. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana; 2. menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan;

11

Mahmud Mulyadi, 2009. Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana. Medan: USU Press, hal.10

12

Ibid., hal.13 13


(27)

3. mencari serta mengumpulkan barang bukti;

4. membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi; 5. menemukan tersangka pelaku tindak pidana.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.14

a. karena kewajiban mempunyai wewenang:

Pasal 4 Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa; “Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Republik Indonesia.”

Berdasarkan hal tersebut, Pasal 5 Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan Penyelidik yang dimaksud ialah :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang adanya tindak pidana 2. mencari keterangan dan barang bukti

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4) Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.

14


(28)

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa; “untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.”

Adapun bukti permulaan yang cukup adalah keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara :15

1. Laporan polisi;

2. Berita acara pemeriksaan polisi; 3. Laporan hasil penyelidikan; 4. Keterangan saksi/ saksi ahli; 5. Barang bukti.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada tahap penyelidikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi penyidikan tindak pidana tersebut harus dapat dikumpulkan. Sehingga dari hasil penyidikan itu didapatkan kepastian tentang bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan, karena segala data dan fakta yang dibutuhkan bagi penyidikan tindak pidana tersebut telah terkumpul melalui usaha penyelidikan.

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

15


(29)

sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangann kekuasaan para aparat penegak hukum.

Kekeliruan pejabat penyelidik dalam menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana dan atas tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan, akan membawa konsekuensi berupa kegagalan pada tahap penyidikan. Kekeliruan tersebut juga dapat menyebabkan Kepolisian sebagai aparat penyidik dihadapkan pada suatu sanksi hukum yang dapat dituntut melalui lembaga praperadilan seperti diatur dalam KUHAP, yaitu terdapat dalam Pasal 77 KUHAP :

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Setelah berakhirnya tingkat penyelidikan, maka dilanjutkan dengan penyidikan. Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala fakta dan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan. Dengan telah ditentukannya bahwa sudah terjadi suatu peristiwa pidana, maka penyidikan tindak lanjut dari penyelidikan.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa penyelidikan memiliki peran yang penting, karena penyelidikan merupakan tindakan awal dari keseluruhan tindakan-tindakan dalam proses penyelesaian perkara. Untuk menentukan suatu peristiwa adalah suatu tindak pidana atau bukan memerlukan pengetahan dan pengalaman yang memadai. Meskipun dalam KUHAP dinyatakan bahwa setiap anggota


(30)

Kepolisian adalah penyelidik , namun penyelidikan ditangani oleh petugas-petgas kepolisian yang memenuhi syarat ditinjau dari pengalaman dan pengetahuannya.

b) Penyidikan

Pasal 1 angka 2 Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memberikan pengertian penyidikan sebagai berikut:

“Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) yang berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.16

Fungsi Polri sebagai Penyidik suatu tindak pidana dalam sebuah penyidikan merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan

Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan, sehingga pengertian penyidikan erat kaitannya dengan penyelidikan. Pada saat penyidik akan memulai suatu penyidikan, sebagai penyidik ia telah dapat memastikan bahwa peristiwa yang akan disidik itu benar-benar merupakan suatu tindak pidana dan terdapat cukup bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka pelakunya.

16


(31)

menemukan pelakunya. Pada saat melakukan penyidikan Polri diberi wewenang seperti tercantum pada Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Namun wewenang Polri dalam hal Penyidikan lebih jelas terlihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:

a. Menerima laporan pengaduandari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindkan pertama pada saat ditempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka; h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Kewenangan yang dimiliki oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan yang menyatakan suatu peristiwa pidana dan harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang dimbil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana dan mencari serta menemukan pelaku tindak pidana tersebut.17

Penyidikan dimulai sejak penyidik menggunakan kewenangan penyidikan yang berkaitan langsung dengan hak tersangka, seperti menggunakan upaya paksa penangkapan. Hal ini dijelaskan dalam Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP diberikan penjelasan sebagai berikut : “Pengertian mulai dilakukan penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan upaya paksa dari penyidik , seperti pemanggilan proyustisi penangkapan, penahanan,

17


(32)

pemeriksaan, penyitaan, dan sebagainya”.18

Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian penyidikan tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Sesuai dengan Pasal 77 butir a KUHAP, apabila penuntut umum atau korban ataupun keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pengadilan Negeri akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian

Saat penggunaan upaya paksa tersebut maka timbullah kewajiban penyidik untuk memberitahukan telah dimulainya penyidikan atas suatu tindak pidana kepada penuntut umum. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekannisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal ini diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan merupakan tindak pidana.

Pasal 109 ayat (2) menyatakan :

“Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan diberhentikan demi hukum, dan penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan”.

18

Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 pada butir 3


(33)

penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan Penyidik, maka penghentian penyidikan sah adanya tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat, maka penyidikan wajib dilanjutkan.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Penyerahan ini dilakukan dalam 2 tahap, yakni :

a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. Dalam hal penyidik dianggap sudah selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Jika pada penyerahan tahap pertama, penuntut umum berpendapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat :

a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk. (Penuntut Umum menerbitkan P-18 dan P-19)

b. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI)

Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.

3. Pengertian Tindakan Tembak Ditempat

Kata tembak ditempat merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh masyarakat ataupun pihak media massa terhadap aparat kepolisian yang melakukan suatu tindakan berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak ditempat dalam kepolisian dikenal dengan suatu tindakan tegas , dimana tindakan


(34)

tersebut berupa tindakan tembak ditempat, bila tembak ditempat diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan tembak adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan, meriam) dan di tempat adalah menunjukkan keterangan di suatu tempat atau lokasi, sehingga tembak ditempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan pelurudari senjata api pada suatu tempat atau lokasi.19

a) Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang ; melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;

Bila tembak ditempat dikaitkan dengan tugas dan wewenang kepolisian maka tembak ditempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh aparat kepolisian terhadap tersangka disuatu tempat atau lokasi.

Setiap melakukan tindakan tembak di tempat, aparat kepolisian selalu berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri. Hal ini yang sering disalahgunakan oleh oknum aparat kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi.

Tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri. Dasar hukum diskresi bagi aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia :

19

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Februari 2014


(35)

b) Pasal 16 ayat (1) huruf l : dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam tindakan lain harus memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai berikut :

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

3. Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkup jabatannya. 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

5. Menghormati Hak Asasi Manusia. c) Pasal 18 ayat (1) menyatakan :

“untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”

Ayat (2) : “pelaksanaan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan , serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Tindakan diskresi legal oleh aparat kepolsian juga dapat dilihat padaUndang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menunjuk adanyatindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 1 ayat (1) huruf j KUHAP; “yang memberikan wewenang kepada penyidik karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab.”

Diskresi berasal dari kata bahasa Inggris “disrection” yang menurut kamus umum yang disusun John M.Echols,dkk diartikan kebijaksanaan, keleluasaan.


(36)

Menurut Alvina Treut Burrow, disrection adalah “ability to choose wisely or to

judge for onself”, yang artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau

mempertimbangkan bagi diri sendiri.20

Dengan demikian apabila kata diskresi itu digabungkan dengan kata kepolisian, maka istilahnya menjadi Diskresi Kepolisian, yang dapat diartikan suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Sedangkan menurut Thomas J.Aaron ;“disrection is power authority conferred by law to action on the basic of

judgement or conscience, and it’s use is more an idea of morals than law”, yang

dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.

Sedangkan menurut kamus hukum, diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.

21

Kadri Husein berpendapat bahwa; pemberian diskresi itu sebenarnya bukan masalah sederhana, disini kadang-kadang terjadi konflik kepentingan antara hukum dan masyarakat. Disini dituntut bukan saja pertimbangan pengabdian dan kewajiban untuk segera menyelesaikan saja, tetapi diperlukan dukungan

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa diskresi itu sesungguhnya suatu keputusan/ tindakan kepolisian yang dengan sadar tidak melakukan kewajiban/tugasnya selaku penegak hukum berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum itu sendiri.

20

M.Faal .Op.Cit., hal.15 21


(37)

intelektual bagi si anggota Polisi itu agar dampaknya betul-betul efektif dan efisien. Dia harus mampu memilih keputusan yang paling/terbaik diantara berbagai alternatif. Sehingga nantinya apa yang diputuskan dilapangan itu diharapkan sebagai manifestasinya Polisi selaku penegak hukum, sebagai bapak, sebagai teman, sebagai pengabdi, moralis, sebagai jagoan bahkan sebagai penembak jitu selaku penegak hukum dan ketertiban masyarakat.22

Maka untuk mewujudkan profil Polisi yang demikianitu harus dimiliki persyaratan-persyaratan intelektual atau kecerdasan yang memadai, serta harus dimiliki jiwa kejuangan atau yang dikenal sebagai pejuang professional yang tangguh. Maka dengan itu, dari segi psikologis cirri-ciri yang perlu dimiliki oleh anggota Polisi anatara lain dari segi kecerdasan, fisik dan kepribadian.23

Syarat-syarat kecerdasan antara lain:24

1) Taraf kecerdasan harus cukup tinggi setidak-tidaknya pada taraf rata-rata untuk Bintara dan diatas rata-rata untuk Perwira.

2) Daya analisis dan daya sintetis yang cukup tajam untuk memungkinkannya mengamati dan memecahkan masalah dengan cepat dan tepat

3) Daya pemahaman social yang tinggi agar polisi yang bersangkutan cukup peka dan cepat bereaksi terhadap kondisi social di lingkungannya.

4) Daya imajinasi dan kreatifitas yang cukup baik sehingga tidak terpaku pada kaidah-kaidah yang baku secara kaku yang mungkin akan menyulitkannya dalam menghadapi masalah-masalah dadakan atau yang tidak lazim dijumpai.

22

Ibid., hal.21 23

Ibid., hal.22 24


(38)

Sikap kerja disyaratkan :25 1. Ketekunan dalam bekerja

2. Daya tahan fisik dan psikis yang tinggi 3. Disiplin yang tinggi

4. Solidaritas sesama rekan sejawat 5. Dapat dipercaya, jujur, dan taat asas

Syarat kepribadian :26 1. Kepercayaan diri yang besar

2. Kemampuan untuk mengambil keputusan 3. Kemampuan persuasi ( meyakinkan orang lain) 4. Loyalitas, setia kepada kesatuan dan atasan 5. Konservatif, setia kepada peraturan yang berlaku 6. Motivasi yang tinggi

7. Khusus untuk perwira : berjiwa kepemimpinan.

Namun terlepas dari bagaimana keadaan sesungguhnya Polisi itu dengan tuntutan persyaratan yang diharapkan, Polisi di dalam memberikan diskresi kepolisian harus benar-benar proporsional, agar sedapat mungkin profil Polisi sebagai penegak hukum, sebagai bapak, sebagai teman sejawat, moralis dan pelindung masyarakat bisa terealisasi dan terhindar dari penyalahgunaan wewenang.

25

Ibid., hal.23 26


(39)

4.Asas Praduga Tidak Bersalah

Undang-undang dirasa belum dapat mengakomodasikan harapan para pencari keadilan, terutama mengenai penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah yang merupakan asas hukum yang penting dalam proses peradilan pidana dan merupakan asas yang paling pokok dari prosedur peradilan pidana modern.

Menurut Romli Atmasasmita, unsur mutlak dalam hukum adalah asas dan kaidah; kekuatan jiwa hukum terletak pada dua unsur tersebut, bahwa unsur asas hukum merupakan jantung pertahanan hidup hukum dalam masyarakat. Semakin dipertahankan asas hukum, semakin kuat dan bermakna kehidupan dan pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Sebaliknya, semakin diingkari penegakan asas hukum pidana terhadap perbuatan yang merugikan atau membahayakan anggota masyarakat, dan semakin ditinggalkan atau diabaikan asas hukum pidana dalam praktik, hukum pidana seakan hidup tak mau matipun enggan. Oleh karena itu, untuk menegakkan dan melaksanakan undang-undang, terlebih dahulu harus sudah dapat dipahami dan dilaksanakan asas-asas hukum yang pokok dan penting dalam rangka melaksanakan undang-undang tersebut secara adil; demikian pula dalam Hukum Acara Pidana, yaitu tentang makna dan penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah.27

Fungsi undang-undang tentang hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana dan bertugas melaksanakan hukum pidana materil. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana harus

27

Mien Rukmini. 2007. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah


(40)

dapat melindungi para tersangka dan terdakwa terhadap tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan yang melanggar hukum tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa KUHAP memberikan kewenangan-kewenangan hukum kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan.28

28

Ibid., hal.6

Hal ini merupakan sumber kewenangan dan kekuasaan bagi berbagai pihak yang terlibat dalam proses ini (polisi,jaksa,hakim).kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan upaya paksa dari para penegak hukum , yang dalam hal ini sering melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan. Hal ini menunjukkan adanya suatu benturan antara penerapan asas praduga tidak bersalah dan upaya paksa tersebut, karena tidak sesuai prosedur dan undang-undang.

Asas Praduga Tidak Bersalah tidak secara tegas diatur dalam UUD 1945, demikian pula tidak dicantumkan pada perubahan (amandemen) kedua UUD 1945, melainkan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu : UU No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo UU No.35 Tahun 1999, Pasal 8 yang menyatakan;

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”

Demikian pula secara tersirat didalam pasal 35 dan 36 UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, tersirat dalam Pasal 66 yang menyatakan “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”


(41)

Selain itu didalam penjelasan umum butir 3huruf c secara tegas dinyatakan tentang Asas Praduga Tidak Bersalah, bahwa :

“…setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Di dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa :

“setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Di dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tersirat dalam Pasal 10 yang berbunyi :

“dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa asas praduga tidak bersalah telah secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan tersurat secara tegas dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

F. Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif, yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada


(42)

berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2) Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer.

a. Data Sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan makalah-makalah hukum.

b. Data sekunder diperoleh dari: 1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan tentang asas-asas hukum pidana , kepolisian, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan para pakar hukum, buku-buku, dan juga mass media. Juga diperoleh beberapa dari media massa serta jurnal dan internet.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier berupa hasil penelitian para pakar hukum yang telah dijadikan sebagai laporan ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

c. Data Primer merupakan suatu bahan yang bersumber dari hasil suatu wawancara dengan narasumber yang terkait dengan judul skripsi.


(43)

d. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan skripsi dilakukan dengan studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu studi juga diarahkan terhadap artikel ilmiah yang dimuat di media massa internet.

e. Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang diperoleh penulis kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan dalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar.

G. Sistematika Penulisan

Agar sistematika pembahasan ini dapat menghasilkan suatu penulisan yang teratur, dan mempermudah pembaca untuk mengikuti pembahasan skripsi ini selanjutnya. Maka sistematika dalam skripsi ini dibagi menjadi beberapa Bab, yang masing-masing Bab secara garis besarnya akan menguraikan hal-hal berikut: Bab I : Pendahuluan

Pada Bab ini diuraikan latar belakang munculnya pemikiran untuk menulis skripsi ini, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodote penelitian, dan sistematika penulisan.


(44)

Bab II: Kewenangan Aparat Kepolisian Dalam Melakukan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

Pada Bab ini akan dibahas mengenai Prosedur penggunaan wewenang tembak ditempat aparat kepolisian, pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka, berlakunya asas praduga tidak bersalah bagi tersangka, dan kaitan antara asas praduga tidak bersalah dengan tembak ditempat.

Bab III : Pengawasan Terhadap Tindakan Tembak Ditempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka

Pada Bab ini dibahasmengenai pengawasan internal terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur, serta pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur.

Bab IV: Kesimpulan dan Saran

Pada Bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dan saran dari semua pembahasan sebelumnya.


(45)

BAB II

KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN

DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

A. Prosedur tentang pengambilan suatu keputusan tembak ditempat terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang kepolisian

Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu. Tanpa wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan tidak mempunyai landasan yang kuat. Maka agar tindakan yang dilakukan khusus dalam melaksanakan tugas, dapat dianggap sah, si pelaku harus diberi wewenang untuk itu.

Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh aparat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan kewenangan tembak ditempat serta sesuai dengan situasi dan kondisi kapan perintah tembak ditempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalam pelaksanaan tembak ditempat harus sesuai dengan asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan, dan asas kepentingan. Pada dasarnya tindakan tembak di tempat menjadi prioritas apabila posisi petugas terdesak dan pelaku mengancam keselamatan anggota polisi. Dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat harus menghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan karena kedua hak itu dijamin dengan undang-undang. Serta perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat agar nantinya dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat itu tidak melanggar hukum.


(46)

Menurut Binner, aparat kepolisian harus diberi ruang gerak lebih lapang pada asas oportunitas, asas diskresi, dan kewenangan umum kepolisian karena pekerjaan Polisi berbeda dengan penegak hukum lainnya, seperti jaksa, hakim, dan pengacara yang menerima kasus matang dari Polisi. Aparat kepolisian harus mampu menemukan titik terang bagi sebuah kasus, dimana belum diketahui secara jelas siapa tersangka, barang bukti, bahkan korbannya, semua harus dibuat terang oleh Aparat Kepolisian.29

Tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian merupakan suatu tugas Polisi yang bersifat represif, yaitu bersifat menindak. Tugas represif Polisi adalah tugas kepolisian yang bersifat menindak terhadap para pelanggar hukum untuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik didalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Hal ini jelas bukanlah hal yang mudah bagi aparat kepolisian karena itu Polri harus mempunyai ruang gerak lebih terkait asas oportunitas, asas diskresi dan kewenangan umum kepolisian, karena tak selamanya kasus yang ditemui dilapangan saat berhadapan langsung dengan tersangka dapat diselesaikan seperti teori yang telah dipelajari oleh aparat kepolisian. Pada kenyataannya di lapangan, aparat kepolisian dituntut untuk berimprovisasi guna menemukan suatu titik terang akan sebuah kasus.

30

Kewenangan melakukan tugas represif dalam hal ini tembak ditempat oleh aparat kepolisian disebut dengan diskresi kepolisian aktif, dan umumnya tugas ini kewenangannya diberikan kepada aparat kepolisian unit reserse.31

29

Anton Tabah. 2001.Membangun Polri Yang Kuat (Belajar dari Macan-macan Asia). Jakarta : PT.Sumbersewu Lestari., hal.66

30

M.Faal. Op.Cit., hal.61 31


(47)

Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak ditempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak ditempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Sebagai penegak hukum di lini terdepan dari proses pelaksanaan sistem peradilan, yang berkewenangan melakukan upaya paksa dalam tindakan represif, yang potensial menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan padanya, maka aparat kepolisian harus diikat dengan hukum acara yang ketat. Dan untuk dapat bersikap dan bertindak santun harus diikat dengan Etika Kepolisian yang ditegakkan dengan konsekwen dan konsisten.Oleh karena itu setelah pelaksanaan kewenangan tembak ditempat selesai dilakukan maka setiap aparat kepolisian yang terlibat dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat harus membuat laporan ataupun berita acara dalam bentuk pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya dihadapan hukum. Pelaksanaan kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian ini harus sesuai dengan ketentuan penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian serta juga harus sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan ketentuan hukum tentang hak asasi manusia karena secara moral Polisi berkewajiban penuh untuk menegakkan dan menghormati HAM, sebab jika melanggar dapat diadili melalui peradilan umum ataupun melalui peradilan HAM sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.

Prosedur tembak ditempat sudah diatur secara jelas dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak ditempat, dimana dalam menggunakan senjata api harus :


(48)

a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.

b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara :

1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.

2. Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. 3. Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.

Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah :

1. Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkanbahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

2. Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

3. Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :

a. untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota polri atau masyarakat.

b. untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

4. Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.

Setiap anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan dalam melakukan suatu tinadakan terhadap bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau


(49)

tersangka, Tahapan ini pun diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 terdiri dari :

a. Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. b. Tahap 2 : perintah lisan.

c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak. d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.

e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.

f. Tahap 6 :kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat.

Namun sebelum aparat kepolisian melakukan tindakan tembak ditempat ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, dimana hal ini sudah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika aparat kepolisian tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dapat dilakukan apabila tersangka melarikan diri, dan penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Namun dalam hal nyawa masyarakat ataupun jiwa aparat kepolisian terancam saat berhadapan dengan tersangka, maka aparat kepolisian dapat melakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan lisan untuk menhentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Sedapat mungkin tindakan tembak ditempat ini dihindarkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan pendekatan secara halus terhadap tersangka pidana tanpa adanya


(50)

kekerasan, namun tidak selamanya harus halus dan lemah lembut tetapi juga boleh keras dan kasar, asal proporsional.32

a. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak ditempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya sebagai berikut :

b. Tindakan kekerasan hanya diterapkan bila sangat diperlukan;

c. Tindakan kekerasan hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah; d. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;

e. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan sesuai dengan hukum;

f. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat penerapan dalam tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;

g. Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras;

h. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan/tindakan keras harus seminimal mungkin.

Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian sangatlah ketat aturannya dan penggunaan senjata api ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh aparat kepolisian, karena semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan aparat kepolisian harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam hal ini setelah menggunakan senjata api. Bila tindakan keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk

32

Anton Tabah. 1990. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka, hal. 94


(51)

melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan pasal Pasal 47 ayat (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia . Selain itu menurut Pasal 47 ayat (2) pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk :

a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;

b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau mengancam jiwa orang;

e. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.

f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Dari uraian dapat dipahami bahwa penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian hanya boleh dilakukan demi melindungi nyawa manusia yang terancam jiwanya baik dari kalangan masyarakat maupun aparat kepolisian itu sendiri yang berhadapan langsung dengan pelaku tindak pidana atau tersangka.

Berdasarkan isi Resolusi PBB No.34/168 Tahun1980 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api Oleh Aparat Penegak Hukum nomor 5, apabila penggunaan kekuatan dan senjata api secara sah tidak dapat dihindari maka aparat penegak hukum harus :

1. Melaksanakan pengekangan diri dalam penggunaan kekuatan dan senjata api tersebut dan bertindak secara proporsional terhadap keseriusan pelanggaran yang sedang berlangsung serta terhadap tujuan absah yang hendak dicapai; 2. Memperkecil kemungkinan kerusakan dan luka-luka, dan menghormati serta

memelihara kehidupan manusia;

3. Memastikan bahwa bantuan kemanusiaan dan bantuan medis diberikan dalam waktu secepat mungkin kepada setiap orang yang terluka atau terkena dampak lain;

4. Memastikan bahwa kerabat atau teman dekat orang yang terluka atau yang terkena dampak diberitahu secepat mungkin.


(52)

Aparatur penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata api terhadap seseorang kecuali dalam usaha membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi, dilakukan untuk mencegah suatu tindakan kejahatan yang sangat serius yang menyangkut ancaman besar terhadap kehidupan, untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri, dan hanya dilakukan apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini.

B. Pemberlakuan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka

Salah satu tugas aparat kepolisian adalah menangkap orang yang melakukan suatu tindak pidana, masyarakat di luar kepolisian selalu menganggap bahwa tugas penangkapan selalu berjalan dengan lancar apabila dilakukan dengan ramah tamah dan penuh bijaksana. Memang banyak peristiwa penangkapan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada unsur perlawanan yang gigih dari tersangka yang akan ditangkap. Namun tidak jarang juga ditemui peristiwa dimana tersangka yang akan ditangkap melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian, karena di dalam diri tersangka sudah tertanam suatu anggapn bahwa kejahatan yang dilakukannya hanya akan berhasil jika dilakukan dengan menggunakan kekerasan.

Para tersangka yang melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian saat akan ditangkap berusaha agar bebas dari pertanggungjawaban atas perbuatannya. Para tersangka biasanya sudah memikirkan suatu rencana, bagaiman bila kejahatan yang dilakukannya diketahui oleh pihak berwajib, dan bagaimana tindakan yang akan diambilnya, lari atau melawan, atau membuat alasan-alasan tertentu yang masuk akal agar bebas dari penangkapan aparat


(53)

kepolisian. Terkadang tersangka bertindak secara terang-terangan dalam melakukan kejahatannya dan melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian.

Pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sebelum melakukan tindakan tembak ditempat seorang aparat kepolisian harus mempertimbangkan secara matang hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian harus mampu dipertanggungjawabkan terhadap atasannya dan terhadap hukum yang mengatur.

Tindakan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan suatu bentuk perintah dari atasan kepolisian terhadap anggotanya yang bertugas dilapangan untuk menangkap tersangka pidana, namun prosedur pelaksanaannya telah diatur secara jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Umumnya perintah ini dikeluarkan oleh atasan kepolisian untuk diberlakukan terhadap tersangka pidana yang telah melakukan kejahatan pidana berat berulang kali (residivis) dan terhadap tersangka yang membahayakan nyawa manusia saat penangkapannya oleh aparat kepolisian, dalam hal ini tindakan tembak ditempat itu diputuskan oleh aparat kepolisian yang berhadapan langsung dengan tersangka dilapangan.33

Senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka berat Untuk mencegah terjadinya

33


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Prosedur tembak ditempat diatur dalam Pasal 48 Peraturan Kepala KepolisianNegara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum dimana petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Sebelum munggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polri yang sedang bertugas, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya, memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. Serta dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan. Asas praduga tidak bersalah dalam poin ke-3 sub c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dapat dikesampingkan oleh petugas kepolisian dalam menangkap tersangka. Pengenyampingan asas praduga tidak bersalah tersebut harus disertai denga adanya bukti-bukti permulaan yang cukup dan terpenuhinya asas Legalitas, Nesesitas, dan Proporsionalitas sesuai dengan Pasal 48 Perkap Nomor 8 Tahun 2009 huruf a.


(2)

Apabila keempat unsur tersebut telah terpenuhi maka petugas kepolisian dapat memberlakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka yang melakukan perlawanan atau akan melarikan diri.

2. Aparat Kepolisian dalam menjalankan tugasnya selalu diawasi oleh unit Propam Polri, yang bertugas untuk mengawasi perbuatan aparat kepolisian agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya.

B. Saran

1. Diperlukannya penguasaan pengendalian diri dan pemahaman akan prosedur tindakan keras Kepolisian, khusunya tindakan keras menggunakan senjata api terhadap tersangka, mempertimbangkan hal-hal yang lebih penting atau pencapaian tujuan hukum dalam pengambilan keputusan oleh petugas Kepolisian untuk melakukan tindakan keras atau tidak terhadap tersangka. Selain itu diperlukannya Undang-undang khusus yang seharusnya mengatur secara tegas mengenai prosedur tembak di tempat yang dianggap terlalu mudah untuk mengambil suatu keputusan untuk melakukan tembak di tempat


(3)

seperti yang terdapat dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum. Jika hal ini tidak diatur secara tegas, maka bisa terjadi penyalahgunaan wewenang terhadap penggunaan senjata api oleh petugas kepolisian.

2. Perlu diadakannya suatu aturan untuk membatasi pemberlakuan asas praduga tak bersalah pada poin ke-3 sub c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 bagi tersangka. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya suatu pemahaman asas praduga tak bersalah oleh setiap pelaku tindak pidana secara berlebihan, sehingga asas praduga tak bersalah tidak dijadikan tameng oleh pelaku tindak pidana.

3. Sangat perlu adanya upaya untuk meminimalisir tembak di tempat dimana dapat dimulai dari kesadaran atas tugas dan wewenang yang diberikan terhadap petugas kepolisian, adanya aturan yang lebih tegas tentang batasan pemberlakuan tembak ditempat, dimana batasan tidak hanya berdasarkan pada Pasal 48 Perkap Nomor 8 Tahun 2009, melainkan memahami dan mengerti akan tindakan tembak ditempat tersebut, adanya sarana dan prasarana yang menunjang bagi petugas kepolisian, dan setiap calon anggota kepolisian memilki SDM yang baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Barker, Thomas. 1999. Police Deviaence (Penyimpangan Polisi) Edisi Ketiga. Jakarta: Cipta Manunggal.

Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Harahap, Yahya M. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP:

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Kaligis, O.C. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni.

Kunarto. 1997. Tri Brata Catur Prasetya. Jakarta : Cipta Manunggal.

Muhammad, Rusli. 2011. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.

Mulyadi, Mahmud. 2009. Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana. Medan: USU Press.

Rianto, Samad Bibit. 2006. Pemikiran Menuju POLRI Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa Dan Dicintai Rakyat. Jakarta: PTIK Press & Restu Agung Rukmini, Mien. 2007. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah

Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum. Bandung: Alumni

Sitompul, DPM. 1985. Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Bandung: Tarsito.

Sutanto. 2008. Manajemen Investigasi. Jakarta: Pensil

Tabah, Anton. 1990. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.


(5)

---. 2001. Membangun Polri Yang Kuat (Belajar dari Macan-macan Asia). Jakarta : PT.Sumbersewu Lestari.

Wibowo, Ari. 2012. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Surat Keputusan Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982. Resolusi PBB No.34/168 Tahun1980 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata

Api Oleh Aparat Penegak Hukum.

Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Keputusan Kapolri Nomor : Kep/54/X/2002.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan.

Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik


(6)

3. Internet

diakses pada tanggal 8 Februari 2014

Jurnal Srigunti

diakses

pada tanggal 28 Februari 2014

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggal 10 Februari 2014