KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

(1)

ABSTRAK

KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Oleh

SOFYAN JAILANI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Pendekatan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, sumber data penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang di dapat dari studi kepustakaan, analisis data yang digunakan adalah analisis preskriptif. Hasil pembahasan menunjukan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka/independen

menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah pertama Independensi Kekuasaan

kehakiman sebelum amandemen belum tercapai karena secara struktural dan fungsional

kekuasaan kehakiman masih dipengaruhi oleh eksekutif. Kedua Independensi

Kekuasaan kehakiman sesudah amandemen adalah independensi hakim secara personal/individual hakim yang bebas dari semua pengaruh yang dapat mempengaruhi putusanya, serta independensi secara struktural/lembaga yang terpisah dari kekuasaan lainya.


(2)

ABSTRACT

INDEPENDENT JUDICIAL POWER UNDER THE 1945 CONSTITUTION

By

SOFYAN JAILANI

This study aims to determine independent judicial in the Constitution of 1945. before and after the amendment of the 1945 Constitution, the approach used is a problem normative approach This study uses data sources primary data and secondary data were obtained from the literature study analysis of the data used is descriptive analysis. The results show that the discussion of an independent judicial power according to the Constitution in 1945 was the first independent before amandement can’t sucsses because abaout institutionaly and function judicial power in suggest of executive, second independent after amandement of the 1945 constitustion is independent judge as personality and free from suggest to make dicision and independent as institutional not be suggest executif and legislative.


(3)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Artinya sebagai negara hukum menegaskan bahwa segala tindakan pemerintah dan rakyatnya harus berlandaskan atas hukum. Paham negara hukum dalam khazanah negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan, karena pada hakikatnya hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara (pemerintahan) dipahami sebagai hukum yang membingkai atas dasar kekuasaan yang bersumber dari kedaulatan rakyat, dengan kata lain meminjam istilah yang

sering dilafalkan oleh para ahli hukum yakni rechstaat dan rule of law

Pengertian rechstaat dan rule of law bila diterjemahkan menurut KBBI

sama-sama negara hukum, namun jika ditelisik lebih dalam kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda sebagaimana diidentifikasikan oleh Roscoe Pound,

bahwa rechstaat memiliki karakter administratif sedangkan rule of law

berkarakter yudisial.1 Sebagai negara hukum menegaskan bahwa segala sesuatu

yang dilakukan harus berlandaskan/berdasarkan hukum, hal ini sesuai dengan

1

Mustafa Lutfi dan Lutfi J Kurniawan, Perihal Negara Hukum dan Kebijakan Publik, (Malang: Setara Press, 2011), hlm 01


(4)

2

konsep rechstaat yang diilhami oleh Freidrich Julius Stahl, menurut Stahl

unsur-unsur negara hukum (rechstaat)2 adalah:

1. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia;

2. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; dan

3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;

Sedangkan unsur-unsur the rule of law:

1. adanya supremasi aturan hokum;

2. adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan

3. adanya jaminan perlindungan HAM

Pada waktu yang hampir bersamaan adapula konsep negara hukum pancasila dimana ciri-ciri hubungan yang erat antara agama dan negara yang bertumpu pada ketuhanan Yang Maha Esa dengan memberi kebebasan beragama dalam arti positif. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan dengan unsur utamanya adalah sistem konstitusi, persamaan dan peradilan yang bebas. Seperti ketahui Konstitusi Negara Indonesia adalah UUD

tahun 19453.

Salah satu materi muatan atau bidang yang diatur dalam bidang UUD Tahun 1945 adalah mengenai kekuasaan kehakiman. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting dari negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan.4 Salah satu materi penting yang selalu ada dalam konstitusi adalah

2

Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 3.

3

Azhary, H.M. Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi

Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.

( Bogor: Kencana, 2003)

4

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana ilmu populer, 2007), hlm 512


(5)

3 tentang lembaga negara, kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan kedalam tugas dan wewenang lembaga negara, UUD tahun 1945 sebagai suatu dokumen hukum mengandung aturan-aturan pokok mengenai ketatanegaraan suatu negara serta peraturan perundang-undangan dibidang ketatanegaraan yang bertalian dengan organisasi negara dan pemerintahan maka materi muatanya meliputi ketentuan mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan, jabatan (organ) negara,

dan pemerintahan.5 Tercapai tidaknya tujuan dari bernegara bergantung pada

bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang

konstitusionalnya6 dan pembagian kekuasaan negara dalam lembaga-lembaga

negara juga sejalan dengan logika demokrasi yang menghendaki difrensiasi peran antarlembaga negara dan situasi saling mengawasi antarlembaga negara guna menghindari pemusatan dan penyalahgunaan kekuasaan, pengaturan dan pembatasan kekuasaan itu juga menjadi ciri konstitusionalisme dan juga merupakan tugas dari konstitusi sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan

kekuasaan dapat dikendalikan7

Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan

Presiden serta memiliki hak untuk menguji yakni hak menguji formil (formele

toetsingrecht) dan hak menguji meteril (materiele toetsingrecht)8. Belum eksisnya

5

Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007), hlm 76

6

Zulkarnain Rildwan, Jurnal Konstitusi: kompetensi hakim konstitusi dalam penafsiran konstitusi, (Jakarta: MKRI, 2011), hlm 70

7

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 138

8

Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 2001) hlm 91


(6)

4 negara hukum modern menurut Imanuel kant menyebutkan bahwa disamping adanya perlindungan hak asasi manusia, juga terdapat pemisahan kekuasaan dalam negara yang menjamin keberadaan lembaga yang berfungsi memisahkan

persengketaan warga dalam negara penjaga malam (klassiekerechtstaat)9.

Penegasan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah berhubung dengan hal itu harus termaktub didalam undang-undang tentang kedudukan para hakim, bila dihubungkan dengan asas negara hukum maka adanya badan pemegang kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Agung tak lain sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum seperti diketahui syarat sebagai negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak terpengaruh kekuasaan lain serta tidak memihak, kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan

peraturan perundang-undangan10.

Usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197011 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dengan perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 35

9

Sudargo Gautama. Pengertian tentang Negara Hukum, dalam Muhtadi .Pengawasan Hakim Indonesia,Universitas Andalas,2008, hlm 122

10

Moh mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm 117

11


(7)

5

Tahun 199912 melalui perubahan tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala

urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi dan finansial berada dibawah satu atap yakni Mahkamah Agung, yang harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak disahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada dibawah Mahkamah Agung yang kemudian kembali diubah dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 200413 dan kemudian terjadi perubahan kembali dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 200914 tentang perubahan kedua dari

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. selanjutnya dalam

Pasal 4315 dan 4416 sejak dialihkanya organisasi, administrasi, dan finansial

tersebut maka terjadi perubahan terhadap tatanan badan peradilan di Indonesia menjadi dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ketentuan-ketentuan

12

LNRI Nomor 147 tahun 1999 TLNRI Nomor 3879

13

LNRI Nomor 08 tahun 2004 TLNRI Nomor 4358

14

LNRI Nomor 03 tahun 2009 TLNRI Nomor 4958

15

Pasal 43 (a)(b)(c) UU no 4 tahun 2004:

(a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;

(b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;

(c) semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung

16

Pasal 44 UU no 4 tahun 2004 :

a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;

b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.


(8)

6 undangan dan kelembagaan yang telah ada yang bersumber pada ketentuan tertentu dalam UUD tahun 1945 sebelum perubahan harus dilihat kembali

kesesuaianya dengan ketentuan hasil perubahan UUD tahun 194517.

Perubahan yang terjadi dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi, perubahan yang terjadi membawa kearah yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kelemahan dan ketidak sempurnaan UUD 1945 bahkan memang telah dinyatakan

oleh Soekarno18 pada rapat pertama PPKI tanggal 18 agustus 1945.19

Pasca amandemen UUD tahun 1945 telah ada dua lembaga dalam struktur kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang mempunyai fungsi kekuasaan kehakiman dimana tugas utamanya menegakan supremasi hukum. Ada beberapa alasan mengapa timbul

dua lembaga baru ini yang kiranya dapat dikemukakan yaitu20 :

1. Profesionalitas dan Kredibilitas lembaga yang ada terdahulu masih

diragukan dan dipertanyakan.

2. Kebutuhan dalam upaya penegakan supremasi hukum.

3. Ketidakpercayaan akan lembaga yang sudah ada.

4. Fungsi controling.

5. Kekuasaan kehakiman tidak ingin diawasi oleh lembaga lain.

17

Jimly Asshiddiqiie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hlm 250

18

Pidato Soekarno menyatakan “ tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara, kalau saya boleh memaknai ini adalah undang-undang dasar kilat nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat rakyat yang

dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna” lihat, Muhammad

Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid pertama, ( Jakarta: YayasanPrapanca, 1959, hal 410 dalam Jimly Asshidiqie “ Menuju Negara Hukum yang Demokratis

20


(9)

7 Sebagai implementasi dari ketentuan pasal 24, pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24 C Undang-undang Dasar tahun 1945 ketiga lembaga kehakiman tersebut diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi21, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan

kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub ketentuan

pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 194522.

Tiga tahun pertama sejak reformasi perubahan terhadap UUD 1945, penyempurnaan pemilihan legislatif, otonomi daerah dan lainya berjalan dengan cepat namun tidak dengan reformasi di bidang hukum, khususnya lembaga yudikatif (Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya) tidak terlihat

perubahan yang berarti bahkan dapat dikatakan pasif,23 sikap pasif tersebut

menimbulkan tekanan publik yang besar karena kekecewaan terhadap lembaga

21

LNRI nomor 70 tahun 2011 TLNRI Nomor 5226

22

UUD Tahun 1945 amandemen ketiga, Pasal 1 ayat (2) dan (3); pasal 3 ayat (1),(3), dan (4); pasal 6 ayat (1) dan (2); pasal 6A ayat (1),(2),(3); dan (5); pasal 7A, pasal 7B ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6), dan (7); pasal 7C; pasal 8 ayat (1) dan (2); pasal 11 ayat (2) dan (3); pasal 17 ayat( 4); BAB VIIA, pasal 22C ayat (1),(2),(3) dan (4); pasal 22D, ayat (1),(2),(3), dan (4); BAB VIIB, pasal 22E ayat (1),(2),(3),(4),(5), dan (6) pasal 23 ayat(1),(2),(3); pasal 23A; pasal 23C;Bab VIIIA; pasal 23E ayat (1),(2), dan( 3) pasal 23F; ayat (1) dan (2); pasal 23G ayat (1) dan (2), pasal 24 ayat (1)dan( 2); pasal 24A ayat (1),(2),(3),(4), dan (5), pasal 24B pasal (1),(2),(3), dan (4); pasal 24C ayat (1),(2),(3),(4),(5),dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

23

Rifqi Syarif Assegaf, Mahkamah Agung dan Gerakan Perubahan, dalam Arief T Surowidjojo, Pembaharuan Hukum : Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, lluni-FHUI, Jakarta 2004, hlm 231.


(10)

8 peradilan. Badan peradilan dianggap berpihak terhadap salah satu pihak yang

berperkara secara sewenang-wenang akibat penyalahgunaan kebebasan hakim24

Sejatinya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka (tanpa ikatan atau tanpa keberpihakan) dalam beberapa literatur ilmu hukum, dikenal adanya judicial independence (kemerdekaan yudisial). Independensi yang seperti apa yang diinginkan oleh konstitusi atau apakah makna kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945.

24

Bagir Manan, Mewujudkan independensi kekuasaan kehakiman, Jurnal Keadilan vol 2, No 6, Tahun 2002, hlm 12


(11)

9 1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1.2.1 Permasalahan

Apakah Makna Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 ?

1.2.2 Ruang Lingkup

Penelitian ini berada di dalam bidang Hukum Tata Negara pada umumnya, dan lebih dikhususkan lagi pada lingkup kelembagaan negara yang akan membahas mengenai aturan yang terdapat didalam konstitusi tentang makna kekuasaan kehakiman yang merdeka sebelum amandemen dan sesudah Amandemen UUD tahun 1945.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan pokok bahasan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami makna kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.


(12)

10 1.3.2 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan dalam

pengembangan daya pikir dan nalar serta sumbangan pemikiran yang sesuai dengan disiplin ilmu Hukum Tata Negara mengenai Kemerdekaan atau Independensi Kekuasaan Kehakiman

b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai Solusi serta

sumbangan pemikiran dalam proses ilmu pengetahuan dan pembelajaran bagi mahasiswa dalam memahami serta menganalisis makna kemerdekaan pada kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

c. Selain kegunaan diatas kegunaan lain dari tulisan ini sebagai salah satu syarat

dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu di Fakultas Hukum Universitas Lampung


(13)

1 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Independensi Kekuasaan Kehakiman

Istilah independen atau independensi merupakan serapan dari kata Independence

yang bearti The state of quality of being independent; a country freedom to

manage all its affairs, whether external or internal without countrol by other country.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan definisi

daripada independen tetapi memiliki padanan kata yakni mandiri2, kemandirian,

bebas yang memiliki makna tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk aktifitasnya, bebas, otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau lembaga lain, dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat suatu keputusan.

Jika frase kata independen atau kemandirian dilekatkan dengan kekuasaan Kehakiman, maka yang dimaksudkan adalah suatu kondisi yang menunjukan suatu kehendak yang bebas terhadap lembaga kekuasaan kehakiman yang

Merdeka3 dimana makna merdeka adalah berdiri sendiri; bebas dari

1

Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition, West group :United States of America, 1999 page 773

2

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm 655

3


(14)

2 penghambatan; penjajahan dan sebagainya , tidak terkena tuntutan; leluasa; tidak

terikat; tidak tergantung pada pihak tertentu atau freedom of independency

judiciary yang tidak terbatas dalam organ struktural dan fungsional. kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen itu bersifat universal.

Ketentuan universal sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of

HumanRights, Pasal 10 mengatakan: Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. Dalam artian secara bebas (Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).

Sehubungan dengan itu, Pasal 8 The Universal Declaration of Human Rights

berbunyi sebagai berikut: Everyone has the right to an effective remedy by the

competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law. (Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang dasar negara atau undang-undang).

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman terdiri dari dua komponen sebagaimana dikemukakan oleh Paulus E Lotulung yakni independensi institusional dan


(15)

3

independensi individual.4 Kekuasaan kehakiman tersebut tentunya dilaksanakan

oleh suatu lembaga negara dimana lembaga negara adalah lembaga pemerintahan

atau civilizated organization lembaga tersebut dibuat oleh negara, dari negara

untuk negara dan memiliki fungsi, tugas, dan kewenanganya yang diatur secara tegas dalam UUD tahun 1945 dan/atau oleh undang-undang.

Lembaga negara terkadang disebut sebagai lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen atau hanya lembaga negara dan asal pembentukan berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD tahun 1945 dan ada pula yang dibentuk dari undang-undang bahkan adapula yang hanya dibentuk berdasarkan keputusan Presiden. Hirarki atau kedudukanya tentu saja tergantung

pada derajat pengaturanya menurut undang-undang yang berlaku,5 memahami

pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat

mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State

Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen

menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is

an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh

suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ6 lembaga negara dalam hal ini

adalah oleh sebuah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1) sesudah amandemen ketiga berbunyi:

4

D Jhohansjah... Op Cit.. hlm 11

5

M Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi: Paradigma Baru Lembaga Negara, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi,2011)

hlm 52

6


(16)

4

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Ayat (2) mengatakan:

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Perbedaan dengan Pasal 24 lama adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang baru yaitu Mahkamah Konstitusi.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki UUD 1945, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak

semena-mena dan menindas. Independensi konstitusional (Constituionale

onafankelijkheid) adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin trias politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kehakiman harus independen dalam arti kedudukan kelembagaanya harus bebas

dari pengaruh politik.7

7

Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Akumni. Hlm 77


(17)

5 Akar dari konsep independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan

kekuasaan (separation of power) yang ide pertama kali dikemukakan oleh

Aristoteles dalam Politica dan memperoleh formulasi sempurnanya oleh

Monstesquieu yang menyatakan

“Again, there is not liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to albitary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive powers, then judge might behave with violence and oppression.”

“Sekali lagi, tiada kebebasan jika kekuasaan yudisial tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif jika bergabung dengan kekuasaan legislatif maka akan terjadi penyalahgunaan pengawasan karena hakim telah menjadi legislator, jika bergabung dengan kekuasaan eksekutif hakim dapat berbuat

kejam dan sewenang-wenang.”

Maka harus dipisahkan antara legislatif, eksekutif maupun yudikatif dan diberikan kepada suatu organ negara, apabila dua kekuasaan atau lebih digabungkan maka akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, kehadiran

kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu conditio sine quanon bagi

terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan dan pengendalian atas

jalannya pemerintahan negara. Dalam hal kekuasaan kehakiman yang merdeka Scheltema mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi

berfungsinya sistem hukum dengan baik.8

8


(18)

6 Kekuasaan kehakiman yang merdeka sehingga setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman

yang merdeka bebas memutus suatu perkara.9 Batasan mengenai ruang lingkup

merdeka, adalah bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan syarat utama demokrasi dalam hal tersebut terkandung penekanan bahwa independensi kekuasaan kehakiman harus terdapat dalam hubungan dengan eksekutif dan legislatif sebagaimana juga dalam hubungan dengan kelompok-kelompok politik, ekonomi, atau penekanan sosial yang dikemukaan oleh Macsonald, Matscher dan Petzold.10

Independensi kekuasaan kehakiman sangat diperlukan untuk menjamin hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan yang menjadi unsur penting dalam negara demokrasi, antara demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in terminis dimana keduanya bisa berada dalam suasana hidup yang

berdampingan secara damai (peacefull co-existance) tanpa salah satu diunggulkan

dari yang lainya karenasemua penting dalam gagasan negara modern11

9

Bagir Manan, Opcit hal 79

10

Jimly Asshiddiqiie, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta, 2004. hlm 51

11

A Ahsin Thohari, Demokrasi sekaligus Nomokrasi, Harian Kompas edisi Jumat 7 November 2003, hlm 4


(19)

7 Sir Ninian Stephen dalam J Djohansyah mengemukakan pengertian Independensi dengan cara menjelaskan apa yang dimaksud istilah suatu kekuasaan kehakiman

yang independen yaitu “a judiciary which dispenses justice according to law

without regard to the policies and inclinations of the goverment of the day” yang

artinya suatu peradilan yang menjalankan keadilan menurut hukum tanpa

pengaruh dari kebijakan dan tekanan pemerintah pada saat itu.12 Independensi

kekuasaan kehakiman diyakini sebagai sarana yang efektif bagi tercapainya keadilan dalam bentuk jaminan perlindungan warga negara dari tindakan melawan

hukum atau tindakan represif dari pihak penguasa13

Sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan mengenai pengertian untuk independensi kekuasaan kehakiman setiap negara memberi pengertian yang berbeda yang ditunjukan melalui struktur kekuasaan kehakiman dalam tata politik dan tata hukum suatu negara, serta independensi kekuasaan kehakiman adalah konsep yang bersifat relatif bukan absolut namun sebagai suatu konsep independensi kekuasaan kehakiman telah berkembang dan masuk dalam tata politik dan tata hukum negara-negara modern dewasa ini melalui konstitusi negara.

2.2. Prinsip Check and Balance

2.2.1. Prinsip Chek and Balance Lembaga Negara

12

J.Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2008), hlm 136

13


(20)

8

Prinsip checks and balances relatif masih baru diadopsi ke dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, utamanya setelah amandemen UUD 1945, sehingga

dalam praktiknya masih sering timbul “konflik kewenangan” antar lembaga

negara atau pun dengan/atau antar komisi-komisi negara. Ferguson dan McHenry

mendefinisikan checks and balances (sistem perimbangan kekuasaan)

sebagaimana yang dipraktikkan di Amerika Serikat “Separation of power is

implemented by an elaborate system of checks and balances. To mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the approval of both house, by the President’s veto and by the power of judicial review of the courts. Setiap negara pasti akan mengimplementasikan prinsip checks and balances sesuai dengan kondisi dan kebutuhan negaranya. Tidak terkecuali Indonesia. Reformasi politik 1998 yang disusul dengan reformasi konstitusi 1999-2002, menyepakati diadopsinya prinsip tersebut ke dalam sistem pemerintahan

Indonesia.14 Dari pengalaman praktik Indonesia menerapkan prinsip tersebut

memang belum sempurna karena kelembagaan negara pasca reformasi masih sangat banyak jumlahnya, terkadang tumpang tindih kewenangannya, dan belum ideal untuk menampung kebutuhan ketatanegaraan Indonesia. Akibatnya, konflik

kewenangan antar lembaga/komisi/badan negara tak terhindarkan15.

Jika negara dipandang dari sudut kekuasaan dan menganggap negara sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar 1945 dapat dipandang sebagai kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi atas beberapa

14

http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=100&Itemid=69 diunduh pada tanggal 5 Desember 2012 pukul 02:00 Wib

15


(21)

9 lembaga kenegaraan, misalnya pembagian kepada lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudisial sehingga setiap lembaga ini dapat bersinergis satu sama lain dapat dikatakan bahwa adanya pembagian kekuasaan menurut fungsi dan kewenangnya didalam suatu negara menunjukan bahwa negara tersebut

menganut paham demokrasi yang menggunakan prinsip chek and balances

didalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan terdapat berbagai lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan yang memiliki fungsi, wewenang, dan kedudukan yang berbeda yang merupakan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat, yang kemudian didistribusikan kedalam berbagai lembaga negara yang melaksanakan

dan menyelenggarakan kehidupan negara dalam upaya pelaksanaan chek and

balance tersebut, pembentukan lembaga negara yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan lembaga yang dibentuk oleh undang-undang. Lembaga yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (BAB II UUD 1945)

2. Lembaga Kepresidenan (BAB III UUD 1945, Pasal 4 ayat (1) sampai

Pasal 16.)

3. Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (2) UUD 1945)

4. Menteri dan Kementerian Negara (BABV Pasal 17 ayat (1), (2), dan

(3)

5. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan

sebagai menteri Triumvirat ( Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)

6. Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16 UUD 1945)

7. Duta ( Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUD 1945

8. Konsul ( Pasal 13 ayat (1) UUD 1945 )

9. Pemerintah Daerah Provinsi ( Pasal 18 ) UUD 1945 )

10. Gubernur Kepala Pemerintahan Daerah ( Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 )

11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi ( Pasal 18 ayat (3) UUD

1945)

12. Pemerintah Daerah Kabupaten ( Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7)

UUD 1945)

13. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten ( Pasal 18 ayat (4) UUD

1945 )

14. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten ( Pasal 18 ayat (3) UUD


(22)

10

15. Pemerintah Daerah Kota ( Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) UUD

1945)

16. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota ( Pasal 18 ayat (4) UUD

1945 )

17. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota ( Pasal 18 ayat (3) UUD 1945)

18. Satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa ( Pasal

18 B ayat (1) UUD 1945)

19. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ( BAB VII UUD berisi Pasal 19

sampai 22B)

20. Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22 C dan 22 D UUD 1945)

21. Komisi Penyelengara Pemilu ( Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945)

22. Bank Sentral ( Pasal 23 D UUD 1945)

23. Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23 E ayat (1), (2), (3), Pasal 23 F

ayat (1), (2), Pasal 23 G ayat (1), (2) UUD 1945 )

24. Mahkamah Agung ( Pasal 24 dan Pasal 24 A UUD 1945 )

25. Mahkamah Konstitusi ( Pasal 24 dan Pasal 24 C UUD 1945 )

26. Komisi Yudisial ( Pasal 24 dan Pasal 24 B UUD 1945 )

27. Tentara Nasional Indonesia (TNI), ( Pasal 30 UUD 1945 )

28. Angkatan Darat ( Pasal 10 UUD 1945)

29. Angkatan Laut ( Pasal 10 UUD 1945)

30. Angkatan Udara ( Pasal 10 UUD 1945)

31. Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Pasal 30 UUD 1945)

adapula lembaga Negara yang kemunculanya diperintahkan oleh undang-undang yaitu:

1. Komisi Informasi Publik (KIP) oleh UU Nomor 14 tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik

2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) oleh UU

Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh UU Nomor 30 tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

4. Komisi Ombudsman oleh UU Nomor 37 tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia

5. Komisi Penyiaran Publik UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

6. Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh UU Nomor 5 tahun 1999

tentang Larangan Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat

7. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh UU Nomor 27 tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

8. Komisi Perlindungan Anak Indonesia oleh UU Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

9. Dewan Pers oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers

10. Dewan Pengupahan oleh UU Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

11. Komisi Banding Paten oleh UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten

12. Komisi Banding Merek oleh UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek

13. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia oleh UU Nomor 36 tahun


(23)

11 Adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari eksekutif ke legislatif memberikan satu pertanda ditinggalkannya prinsip “pembagian

kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi

“pemisahan kekuasaan” (separation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ideal. Kehadiran DPR dan DPD yang oleh UUD 1945 keduanya diberi kewenangan bidang legislasi, praktik checks and balances belum dapat dijalankan sepenuhnya karena kedudukan dan

kewenangan antara DPR dan DPD tidak seimbang16. Sehingga dalam

pembentukan undang-undang lebih didominasi oleh DPR. Andaipun ada usulan RUU dari DPD, di disain UUD 1945 belum memungkinkan DPD ikut membahas RUU tersebut bersama-sama DPR dan Presiden.

16


(24)

12 2.2.2. Prinsip Check and Balance Terhadap Kekuasaan Kehakiman

Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu

sama yang lain dalam posisi setara melakukan kontroling (cheks and balances),

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak

asasi manusia17. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya

struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis, profesional dan proporsional.

Suatu konsekwensi logis bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai

negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prisip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini mengkehendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak maupun dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan (independensi) kekuasaan kehakiman namun tidak melampaui kewenanganya

melalui sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balance) sehingga

masing-masing cabang kekuasaan tidak saling menggerogoti ataupun terisolasi dari yang lain

Judicial is of belonging to judgement in a court of law, or to a judge in relation to this function pertaining to the administration of justice; proper to a court of law or legal tribunal...18

17

Jimly, Opcit, Konstitusi... hlm 289

18


(25)

13 Kehakiman semestinya diadakan untuk mengadili di dalam sebuah pengadilan hukum, atau untuk mengadili yang berkaitan dengan hukum administrasi yang berarti Kehakiman merupakan lembaga peradilan hukum dalam kaitannya dengan fungsi ini berkaitan dengan administrasi peradilan serta untuk pengadilan atau mahkamah.

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Sebagaimana klausul pasal 24A bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara yang mempunyai kewenangan:

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada

tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung;

b. Menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang

terhadap undang-undang; dan

c. Kewenangan lainya yang diberikan undang-undang

Mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga negara yang berfungsi menangani perkara dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Sedangkan pasal 24C menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusanya bersifat final untuk:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tahun


(26)

14

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain kewenangan diatas Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya atau perbuatan tercela dan atau tidak agi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selain itu Undang-Undang Dasar 1945 telah mengintroduksikan lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang mendisain

relasi antar lembaga negara dengan prinsip chek and balance yaitu Komisi

Yudisial dalam Pasal 24 B UUD Tahun 1945 yang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan keluhuran martabat serta prilaku hakim.

Dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial adalah sama yaitu sama-sama mendapat kewenangan atribusi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai lembaga negara yang mandiri

2.3. Kekuasaan Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945

Seiring dengan perkembangan kesadaran demokrasi dan kenegaraan indonesia pasca reformasi, UUD 1945 sebagai konstitusi dasar negara ikut mengalami


(27)

15 perubahan yang signifikan berupa amandemen kesatu sampai dengan amandemen keempat akibatnya sistem ketatanegaraan mengalami perkembangan.

Ketika membahas organisasi negara ada dua unsur pokok yang saling berkaitan

yaitu organ dan functie, organ adalah bentuk atau wadahnya sedangkan functie

adalah isinya dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit hanya fungsinya ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsinya atau kewenanganya akan diatur dalam undang-undang yang

lebih rendah.19 Telah diuraikan sebelumnya dalam Undang-Undang Dasar 1945

tidak kurang terdapat 34 organ yang disebutkan keberadaanya didalam UUD 1945. Organ-organ negara tersebut dapat dibedakan mejadi dua segi yaitu secara hierarki dan dari segi fungsinya jika dilihat dari segi hierarki lembaga negara itu dapat dibedakan menjadi tiga lapis, organ lapis pertama disebut lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut lembaga negara sedangkan organ lapis ketiga

disebut lembaga daerah20

Lembaga-lembaga negara tersebut dapat dikatagorikan kedalam organ utama atau

primer (primary constitutional organ) dan ada pula yang merupakan organ

pendukung atau penunjang (auxiliary state organ) untuk membedakan keduanya

lembaga negara tersebut dibedakan menjadi tiga ranah yaitu kekuasaan eksekutif

19

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm 84

20


(28)

16

atau pelaksana (administratur, bestuurzorg); kekuasaan legislatif dan fungsi

pengawasan; kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemeritahan negara ada presiden dan wakil presiden yang merupakan kesatuan institusi. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945

menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah

menurut Undang-Undang Dasar” pada ayat (2) menyatakan “Dalam melakukan

kewajibanya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden” hal ini cukup jelas

bahwa kekuasaa eksekutif atau pelaksana dipegang oleh presiden dan wakil presiden.

Dalam cabang kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tetapi adapula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan dan prilaku hakim keberadaan fungsi komisi yudisial ini bersifat

penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman, komisi yudisial

bukanlah lembaga penegak hukum tetapi lembaga penegak etika hakim. Ketentuan mengenai MA, MK dan KY diatur dalam Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman. Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan;

1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada dibwahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan militer dan oleh sebuah Mahkamah Agung.

Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh MA dan MK adalah kekuasaan yang merdeka atau kemerdekaanya dijamin oleh konstitusi.


(29)

17 MA adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer, mahkamah ini

pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang (the guardian of indonesian

law) sedangkan MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum

tertinggi dapat ditegakna sebagaimana mestinya oleh karena itu MK disebut

sebagai (the guardian of the constitution).21

Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif terdapat empat organ atau lembaga yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam UUD 1945 dalam rangka fungsi legislatif lembaga utamanya adalah DPR. Pasal 20 ayat (1)

menegaskan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang”. Pembentukan DPD dimaksudkan dalam rangka mereformasi

struktur parlemen menjadi dua kamar (bikameral) sehingga diharapkan proses

legislasi dapat diselenggarakan dengan sistem double-check yang memungkinkan

representasi kepentingan seluruh rakyat dapat disalurkan dengan lebih luas. DPR

merupakan cermin representasi politik (political representatition) sedangkan DPD

mencerminkan representasi teritorial atau regional (regional representation).

2.4. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945

Istilah konstitusi berasal dari bahasa prancis (constituer) yang berarti membentuk.

Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara

21


(30)

18

atau menyusun dan menyatakan suatu negara22 dinegara yang menggunakan

bahasa Inggris sebagai bahasa nasional dipakai istilah constitution yang dalam

bahasa Indonesia disebut konstitusi.23 Pengertian konstitusi dalam praktik dapat

berarti lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar tetapi ada juga yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar.

Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang

dalam bahasa Belanda Gronwet perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia undang-undang, dan ground yang berarti tanah/dasar. Konstitusi pada

umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara,

kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi24

Dalam Oxford Dictionary of Law, perkataan constitution dapat diartikan sebagai

“the rule and practice that determine the composition and function of the

organs of the central and local goverment in a state and regulate the

relation between individual and the state”25

Artinya yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis tetapi juga apa yang dipraktikan dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan yang diatur itu

22

Wirjono Projodikoro, Asas asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm 10

23

Sri Soemanteri M, Susunan ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm 29

24

Ibid hlm 31

25

Asshiddiqie, Jimly. 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,: Jilid I, Konstitusi Press. Jakarta. Hlm 120


(31)

19 tidak saja yang berkenaan dengan organ negara berserta komposisi dan fungsinya

baik ditingkat pusat maupun ditingkat pemerintahan daerah (local goverment)

tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara.

Negar Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik ketatanegaraan namun para ahli tetap dapat menyebut adanya

konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.26 Jika antara norma yang

terdapat dalam konstitusi bersifat mengikat itu dipahami, diakui dan diterima oleh subjek hukum yang terikat maka dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai

normatif27

Menurut penulis Konstitusi memiliki pengertian yang lebih luas dan kompleks karena konstitusi meliputi peraturan yang tertulis dan peraturan yang tidak tertulis yang berkembang dan menjadi kebiasaan dimasyarakat, sedangkan Undang-Undang Dasar adalah peraturan tertinggi dari pada undang-undang serta memiliki kekuatan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa UUD adalah bagian daripada Konstitusi, konstitusi atau UUD diartikan sebagai suatu bentuk peraturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah negara.

26

O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.

27

Jazim Hamidi dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm 274


(32)

20 Mengenai hal pemahaman atau penafsiran atas Konstitusi yakni dengan menggunakan metode interpretasi atau penafsiran baik terhadap undang-undang

maupun hukum, metode interpretasi28 yang lazim digunakan adalah sebagai

berikut:29

1. Interpretasi Gramatikal atau penafsiran menurut Bahasa

2. Interpretasi teleologis atau sosiologis

3. Interpretasi Sistematis atau logis

4. Interpretasi Historis

5. Interpretasi Komparatif atau perbandingan

6. Interpretasi Futuris

28

Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2010), hlm 70

29

Interpretasi Gramatikal atau interpretasi menurut bahasa merupakan metode penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang untuk menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya, ketentuan konstitusi atau undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum tetapi tentunya tetap harus logis

Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan dengan interpretasi teleologis ini undang-undang masih berlaku tetapi tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan masa kini atau peraturan yang lama dibuat aktual.

Interpretasi sistematis atau logis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkanya dengan undang-undang lain

Interpretasi historis adalah menafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Ada dua macam interpretasi historis yaitu:

1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang; 2. Penafsiran menurut sejarah hukum.

Menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukanya, pikiran yang mendasari interpretasi ini adalah adalah undang-undang sebagai kehendak dari pembuat undang-undang dan disebut juga sebagai interpretasi subjektif karna penafsiran menempatkan diri pada penfsiran subjektif pembentuk undang-undang. Sedangkan metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut Interpretasi menurut sejarah hukum Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran dengan membandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan membandingkan adalah untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang, Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan asas-asas hukumnya (rechtbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtregel), disamping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.

Interpretasi futuris atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum dan Interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum ( hukum atau undang-undang yang dicitakan)


(33)

21

7. Interpretasi Tekstual 30

8. Interpretasi Doktrinal

9. Interpretasi Struktural

10.Interpretasi Etikal

11.Interpretasi Yudisial

Interpretasi atau penafsiran konstitusi yang dapat digunakan dalam memberikan penjelasan dan keterangan mengenai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada

umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus)31, yaitu:

1. Kesepakatan (consensus) tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general

goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan negara (the basis of government).

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan pertama yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat

menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme karena cita-cita itulah

30

Ibid hlm 75

Interpretasi tekstual adalah penafsiran konstitusi dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata terhadap dokumen atau teks yang dibuat oleh lemabaga legislatif ( meaning of the word in the legislatif text ) dengan kata lain penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemehaman terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau undang-undang.

Interpretasi doktrinal dilakukan dengan cara memehami aturan undang-undang melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan dan metode penafsiran doktrinal ini banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang dilakukan sebagi pendekatanya.

Interpretasi struktural adalah menafsirkan dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur ketatanegaraan

Interpretasi etikal adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar, metode penafsiran ini dikonstruksikan dari tipe berpikir konstitusional dengan menggunakan metode pendekatan falsafati aspirasi atau moral.

31

William G Andrew, Constitutions and Constitutionalism 3 edition, New Jersey: Van Nostrand Company, 1968, hlm 9


(34)

22 yang menunjukan abstraksinya yang paling mungkin mencerminkan kesamaan kepentingan diantara warga masyarakat yang hidup didalam pluralisme maka diperlukan perumusan tujuan dan cita-cita bersama yang biasa disebut sebaagi

falsafah negara atau cita-cita Negara (Staatside) yang berfungsi sebagai

filosofische grondslag dan common platforms diantara sesama warga negara di

Indonesia dasar-dasar filosofis itulah yang disebut sebagai Pancasila32 yang berarti

lima sila atau lima prinsip dasar untuk mewujudkan tujuan negara.

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa pemerintahan berdasarkan hukum

dan konstitusi, karena didalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah

didasarkan pada rule of the game33 yang ditetukan bersama, hal ini berarti hukum

dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yakni Konstitusi, dari sinilah kita mengenal

adanya istilah constitutional state yang merupakan ciri penting dari negara

demokrasi, maka kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan pada hukum.

32

Lima prinsip atau lima dasar itu mencakup sila: (i) Ketuhanan yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kemanusiaan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila itulah yang dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mencapai tujuan atau cita-cita negara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejateraan umum; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial

33

Rule of the game dipelopori oleh A.V. Dicey, bahkan di Amerika serikat dikembangkan menjadi

jargon The Rule of law, and not of Man yang menyatakan bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah dalam suatu negara bukan manusia atau orang.


(35)

23

Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan bangunan organ negara dan

prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaanya; hubungan-hubungan antar organ-organ itu satu sama lain; serta hubungan antara organ-organ-organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan ini maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karenabenar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang akan dikembangkan.

Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memuat sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia telah beberapa kali terjadi pergantian Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 yang dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaanya diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Pada tahun 1949 ketika bentuk negara Republik Indonesia berubah menjadi Negara Serikat (Federasi) diadakan pergantian konstitusi dari UUD tahun 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 yang kemudian pada tahun 1950 ketika bentuk negara Indonesia berubah kembali menjadi negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang

Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.34 Kemudian dibentuklah lembaga

34

atas dasar hasil Konferensi Meja Bundar yang berkait dengan pengakuan kedaulatan. Sejak itu berlaku Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949, sementara itu UUD 1945 berlaku di Negara Bagian Proklamasi yang berpusat di Jogyakarta. Setelah ada kesepakatan kembali menggunakan bentuk negara kesatuan, Konstitusi RIS diubah, dan UUD 1945 ditinggalkan, diganti dengan UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 1950. Perubahan Konstitusi RIS dilakukan dengan Undang-Undang Federal Nomor 7 Tahun 1950.


(36)

24 konstituante yang bertugas membentuk dan menyusun konstitusi yang bersifat tetap dari tahun 1956-1959 akan tetapi usaha ini gagal dilaksanakan. Kemudian pada 5 juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan yang dikenal

dengan Dekrit Presiden 5 juli 195935 membubarkan Konstituante dan menetapkan

berlakunya kembali UUD tahun 1945 menjadi Konstitusi Indonesia hingga saat ini.

Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Perubahan UUD tahun 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada sidang tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat

kesepakatan arah perubahan UUD 1945, yaitu:36

1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD tahun 1945;

2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil;

4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam penjelasan UUD 1945 kedala pasal-pasal UUD 1945; dan

5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

35

Dengan tidak berhasilnya Konstituante Republik Indonesia menyusun UUD baru, UUD 1945 diberlakukan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959. dari sejarah berlakuknya UUD di Indonesia, ternyata UUD itu pernah dinyatakan berlaku dengan berbagai cara; yaitu pertama, dilakukan dengan maklumat, yakni Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945; kedua, dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945; dan ketiga, sejak sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) IV perubahan dilakukan dengan menggunakan Ketetapan MPR(S).

36

Lima kesepakatn tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk melanjutkan perubahan UUD tahun 1945


(37)

25 Perubahan kemudian terjadi secara bertahap menjadi salah satu agenda sidang

tahunan MPR37 dan bersamaan dengan kesepakatan dibentuk pula Komisi

Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD tahun 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan pertama dalam sidang tahunan MPR tahun 1999 yang arahnya

membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.38Perubahan kedua dilakukan dalam

sidang tahunan MPR tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintah daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat

kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci dalam HAM.39

Perubahan ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001

meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara dan hubungan antar

lembaga negara dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.40 Perubahan

keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 meliputi ketentuan

37

Sidang Tahunan MPR baru dikenal ada masa reformasi berdasarkan pasal 49 dan Pasal 50 TAPMPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR

38

Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan( 3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.

39

Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.

40

Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.


(38)

26 tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, pengahapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan

peralihan serta aturan tambahan.41

Perubahan diatas hampir meliputi keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatn MPR yang kemudian menjadi lampiran dari TAPMPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah karena memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan diantara warga masyarakat yang kenyataanya hidup dalam pluralisme. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita

bersama yang biasa disebut sebagai falsafah kenegaraan atau Staatsidee. (cita

negara). Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik, secara umum dikatagorikan kedalam empat yang mewarnai penyelenggaraan negara yaitu sistem politik demokrasi liberal-parlementer (1945-1959), terpimpin (1959-1966),

demokrasi Pancasila (1966-1998) dan demokrasi berdasarkan UUD42.

41

Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

42


(39)

1 III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research)

yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu1

3.2 Tipe Penelitian

Penulisan ini, tipe penelitian yang dipakai adalah tipe penelitian deskriptif analisis, yaitu dengan melakukan penelitian dan menganalisa dengan cara memahami, menerangkan pasal-perpasal secara jelas, terperinci, dan sistematis sehingga di peroleh informasi serta tafsiran atas suatu permasalahan yang belum sepenuhnya di mengerti dan/atau masih terdapat perbedaan pendapat mengenai permasalahan tersebut.

1


(40)

2 3.3 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan normatif. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka (library research)2 atau data sekunder. Masalah yang akan dikaji akan

dikembalikan terhadap ketentuan yang telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta aturan-aturan lain yang juga berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pendekatan

undang-undang (statute approach), yang menurut tulisan ini disebut pendekatan

yuridis normatif adalah pendekatan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani3.

3.4 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan bahan hukum atau data yang diperoleh dari studi kepustakaan dalam studi tersebut sebagaimana di bawah ini :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang

bersifat autoriatif artinya mempunyai sifat memaksa4. Bahan hukum

primer bersumber dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang permasalahan dalam penulisan. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2

Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif, dalam Muhtadi, Pengawasan Hakim di Indonesia, padang, 2008. hlm 33

3

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, , Jakarta, 2008), hal.93.

4


(41)

3

b. Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman;

c. Undang-Undang nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan kedua

atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

d. Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan

e. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 05/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

2. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan semua publikasi berupa penjelasan-penjelasan yang digunakan untuk menganalisis dan memahami data primer berupa pandangan para ahli konstitusi, akademisi, ataupun praktisi melalui penelusuran dokumen-dokumen, buku-buku literatur ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum.

Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah Teori Lembaga Negara yaitu kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui dua pilihan yaitu


(42)

4

(distribution atau division of power) konsep pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti pemisahan kekuasaan dalam fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dalam saling mengimbangi (check and balance)

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder,5 misalnya berupa Kamus

Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Oxford Dictionary, Jurnal

Hukum, maupun kamus online

3.5 Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan dan mengidentifikasi data-data tersebut melalui serangkaian membaca, mencatat dan mengutuip dari peraturan

perundang-undangan, buku-buku dan publikasi hukum yang

berhubungan dengan objek dari permasalahan penulisan. Kemudian mengklasifikasikanya agar lebih memudahkan dalam upaya melakukan sistematisasinya.

5 Ibid.


(43)

5

2. Metode Pengolahan Data

Seluruh data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan upaya-upaya sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data, dilakukan dengan memilih data secara

selektif untuk mengetahui apakah data tersebut sesuai dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, dilakukan dengan cara menetapkan dan

menempatkan data untuk disesuaikan dengan pokok bahasan.

c. Sistematisasi data, dilakukan dengan cara menyusun data

sesuai dengan bidang pembahasan dan disusun secara sistematis.

3.6 Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif6, yaitu

analisis yang dilakukan dengan cara menggambarkan kenyataan-kenyataan atau keadaan-keadaan atas suatu obyek dalam bentuk uraian kalimat berdasarkan keterangan-keterangan yang berhubungan langsung dengan penelitian tersebut. Hasil analisis tersebut kemudian di interpretasikan guna memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan.

6


(44)

6

Penafsiran menggunakan interpretasi harfiah7 yakni menggunakan kalimat dari

peraturan sebagai pegangannya dengan kata lain interpretasi harfiah merupakan

interpretasi yang tidak keluar dari litera legis (kalimat undang-undang). Sehingga

penafsiran ini akan mampu memahami maksud yang sebenarnya dari suatu undang-undang.

Penelitian hukum normatif pengolahan data pada dasarnya adalah untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis, Sistematisasi dimaksud adalah membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut agar lebih mudah dalam menganalisis dan kontruksi. Ada pola atau cara untuk menganalisis

data dan bahan hukum, yaitu:8

1. Memilih pasal yang berkaitan dengan kaidah hukum mengenai

Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

2. Membuat Sistematik dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan

suatu klasifikasi tertentu.

3. Data berupa peraturan perundang-undangan dianalisis secara induktif

kualitatif yaitu analisis dengan mengelompokan undang-undang yang umum ke undang-undang pelaksana.

7

Ibid hlm 97

8

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 186


(45)

Halaman I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

1.2.1 Permasalahan ... 9

1.2.2 Ruang Lingkup ... 9

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Independensi Kekuasaan Kehakiman ... 11

2.2 Prinsip Check and Balance ... 17

2.2.1 Prinsip Check and Balance Lembaga Negara ... 17

2.2.2 Prinsip Check and Balance Kekuasaan Kehakiman ... 22

2.3 Kekuasaan Negara menurut Undang-undang Dasar 1945 ... 25

2.4 Konstitusi dan Undang-undang Dasar 1945 ... 28

III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitan ... 36

3.2 Tipe Penelitian ... 36

3.3 Pendekatan Masalah ... 37


(46)

3.6 Analisa Data dan Bahan Hukum ... 41

IV. PEMBAHASAN 4.1 Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka sebelum Amandemen UUD 1945..40

4.1.1. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 19 Tahun 1948 ... 50

4.1.2. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 19 Tahun 1964 ... 52

4.1.3. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 14 Tahun 1970 ... 53

4.1.4. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 35 Tahun 1999 ... 55

4.2 Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka sesudah Amandemen UUD 1945 . 58 4.2.1. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 04 Tahun 2004 ... 69

4.2.2. Kekuasaan Kehakiman pada UU Nomor 48 Tahun 2009 ... 71

V. PENUTUP 5.1. Simpulan ... 78

5.2. Saran ... 78


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqiie, Jimly, 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,

Jakarta, Sinar Grafika.

________________, 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta:

PT Bhuana Ilmu Populer.

________________, 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,

Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

________________,2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,: Jilid I,

Jakarta. Konstitusi Press.

________________, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Pers.

________________, 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, Jakarta,

ELSAM.

Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK, 2010, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK.

Azhary, H.M. Tahir, 2003. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-

Prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bogor, Kencana.

Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka

Utama.

Daud Busroh, Abu. 2001. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta.

Bina Aksara.

Djohansyah, J, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan

Kehakiman, 2008, Jakarta: Kesaint Blanc.

Fatwa. A.M. 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta,

Kompas.

Firmansyah dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar

Lembaga Negara, Jakarta, KRHN.

Gautama, Sudargo, 2008, Pengertian tentang negara hukum, dalam Muhtadi

.Pengawasan Hakim Indonesia,universitas andalas.

Hamidi, Jazim dkk, 2008, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta,


(1)

PERSEMBAHAN

Semua Nikmat dan Anugerah yang kumiliki

Tak pernah lepas dari kuasa Mu, wahai Rabb pemilik Jiwa ini

Segala Puji dan Syukur hanyalah kepada Mu

Sebuah karya kecil yang bergoreskan pemikiran ini kupersembahkan kepada inspirasi terbesar dalam hidupku

Ibuku Asna Julita dan Ayahku Sutarman

Adik-adikku tercinta

Thomas Sugara, Muhammad Sidiq Firdaus dan Darmaghandi

Sahabat seperjuangan dan pergerakan

serta

Almamater Tercinta,


(2)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, yang Maha Agung, dan menjadikan apapun yang ada dibumi dan dilangit atas kehendak-Nya. Shalawat teriring salam tak lupa saya hanturkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai suri tauladan terbaik, dan semoga syafaat beliau dapat menyelamatkan para hambanya diyaumil akhir nanti, Amin.

Sebuah penghantar dan persembahan bagi tiap-tiap orang yang telah banyak memberikan inspirasi, tenaga, bantuan dan pemikiran dalam penyelesaian tulisan sederhana tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka menurut Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga penulis pada akhirnya mampu menyelesaikan dan merasakan keberhasilan yang membuatnya dirinya kini merasa bangga dan bahagia. Seberapapun kalimat yang ditulis ini takkan mampu mewakili ungkapan haru yang sebenarnya, namun tak ada cara lain selain mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Yulia Netta, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama, terima kasih

atas bimbingan serta nasihat yang telah Ibu berikan selama ini.

2. Bapak Yusdiyanto,S.H.,M.H. selaku Dosen pembimbing II selama ini telah menjadi pembimbing penulis, selain skripsi tetapi juga dalam penulisan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), dan Program Mahasiswa Wirausaha


(3)

(PMW) terima kasih atas segala bimbingannya bang, walaupun kita gagal mewakili Unila untuk mengikuti PIMNAS, tetapi setidaknya kita telah melakukan yang terbaik.

3. Bapak Armen Yasir, S.H., M. Hum, selaku Pembahas utama penulis. Terima kasih atas masukan dan telaah tajam selama ini, selain telah menjadi seorang pembahas yang cermat dan kritis, bapak juga telah banyak mengajarkan nilai kejujuran serta nilai moral kepada diri penulis.

4. Bapak Muhtadi, S.H.,M.H., selaku Pembahas II, yang telah banyak memberikan kritik dan komentar kritis bagi penulis untuk terus memperbaiki penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Bapak Rudy,S.H.L.LM.,L.LD selaku ketua bagian Hukum Tata Negara yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis, dan sebagai tempat berkonsultasi tentang segala hal terimakasih atas ilmunya selama ini.

7. Bapak Ahmad Zazili,S.H.,M.H, dosen pembimbing akademik penulis. Terima kasih atas bimbingan dan nasehatnya selama ini.

8. Dosen-dosen Hukum Bagian Hukum Tata Negara Pak Iwan Satriawan, Pak Shaleh, Pak Budiono, Pak Zulkarnain, Bu Chandra, Bu Siti Asiah, Bu Erna Sari dan Yunda Martha yang telah berbagi ilmu kepada penulis. Telah memberikan wawasan baru kepada penulis. Terima kasih sebesar-besarnya.

9. Bapak Hi. Sudirman Mechsan,S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III periode 2007-2012 sekaligus dosen yang selama ini banyak memberikan bantuan kepada penulis terutama dalam hal keorganisasian, dan telah banyak


(4)

berbagi pengalamannya serta memberi petuah, terimakasih atas nasihatnya selama ini.

10.Dosen-dosen Fakultas Hukum yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan di Fakultas Hukum Unila. 11.Pak Marjiyono,S.Pd, Pak Sujarwo, dan Pak Supendi yang telah menjadi bapak

dan teman bagi penulis, yang selalu bisa diajak berdiskusi.

12.Kedua Orangtuaku, penyemangat sekaligus guruku selama ini, yang telah banyak memberikan ketauladanan dan membentuk karakter didalam diriku, kalianlah sosok yang paling menginspirasi diriku, segala keberhasilan dan prestasi yang aku dapat, aku persembahkan untuk kalian, demi mengharapkan simpul senyum bangga diwajah kalian wahai Ayah dan Ibu.

13.Adik-adikku, Thomas Sugara, Muhammad Sidiq Firdaus, dan Darmaghandi, yang selama ini telah menjadi teman bermain dan bercanda dalam keluarga kecil kita yang bahagia. Kalau kakak sarjana kelak kalian harus sarjana juga. 14.Bakwoh Darmawan dan Makwoh yang selalu menasihati dan memberi petuah

berharga dalam setiap hari-hariku serta selalu sabar mengarahkanku kalian orang tua keduaku

15.Kakak sepupuku Jhon Iwan Kurniawan, S.H., yang telah memberikan banyak nasihat, bimbingan dan arahan mengenai politik kampus, organisasi, kepemimpinan, kewirausahaan hingga proposal bisnis dari awal kuliah hingga selesai pendidikan strata satu ini. Terimakasih kak.

16.Keluarga besarku Way Tenong Lampung Barat dan Bukit Kemuning Lampung Utara terimakasih atas kasih sayangnya selama ini, semoga kelak aku selalu dapat membanggakan kalian.


(5)

17.Saudara-saudara sepupuku Titin Dayanti, Ririn Novita Sari, Rangga Ivan K, Johan Irawan, Joni Iskandar, dan Hengky Fernando, Devi, Aldo, Rocky, Weli, Ratna, Enjang, Agis, Ulfa, Yusuf, Noven, Husna, terimakasih atas dukungan dan semangat yang telah kalian berikan, kelak kita akan terus berjuang mengarungi masa muda ini dengan karya dan prestasi.

18.Vera Amelia, yang banyak memberikan dukungan dan selalu memotivasiku dalam mengejar segala impian, pencapaian yang kini kuraih, tentunya banyak atas dukungan dan bantuanmu jadilah Radiografer handal “every King need Queen”

19.Teman-temanku yang telah berjuang bersama mengarungi pahit dan manisnya perjalanan kampus dan dakwah bersama Lembaga Dakwah Kampus FOSSI FH Unila sekaligus awak Mabes. SM Munawar Harun, Muhammad Faisal, Pimal Ibrahim, Andhika Prayoga, Saputro Prayitno, Muhammad Yudho S, Muhammad Amin Putra, Riki Indra, Gigih Suci, Raden Permata, Syukri Ramadhan, Roni Septian M, Hidayat Fadilah, Andry Rahman Arif, Garda Arian, Handi Alifta, Harmawan Pranayudha, Adam Tiansyah, Tajudin, Rafli, Rivan, Malicia, Winda, Denty, Uci.

20.Serta adik-adik Fossi Agung, Echo, Fadli, Andhika & Andhika, Yomi, Yoga, Ruhly, Andi & Andi, Afrizal dan lainya

21.Rekan-rekanku di HIMA HTN, Amin Putra, Muhammad Yudho, Riki Indra, Zulqadri Anand, Mushab Rabbani, Malicia, Reisa, Dinarti Andarini, Nico Noviansah, dll terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama ini.

22.Kakak-kakakku yang selama ini menjadi guru spritual, memberikanku nasehat, Kak Zul, Ust Agung, Kak Azmi, Kak Prawoto,terimakasih atas bimbingannya


(6)

23.Guru-guruku di SDN 1 Tanjung Raya, SMPN 1 Way Tenong, SMAN 1 Way Tenong, yang telah memberikan ilmu serta tauladan, segala jasa yang telah kalian berikan begitu berharga, akan selalu kuingat sepanjang hayatku.

24.Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah memperlancar semua urusan akademik penulis.

25.Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.

26.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada Bapak, Ibu, serta rekan-rekan semua. Sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini hanyalah separuh perjalanan dalam menempuh kehidupan.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Bandar Lampung, 8 Maret 2013

Penulis