Bahasa Indonesia

  

Pertemuan 1

PENTINGNYA BAHASA INDONESIA DIPELAJARI

1. Materi

1.1 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

  Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa tersebut memiliki bahasa daerah. Oleh karena itu, untuk keperluan berkomunikasi antarsuku bangsa diperlukan bahasa perantara (lingua

  

franca). Bahasa perantara yang terpilih adalah bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan

  melalui sa lah satu pernyataan Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Hal ini mengandung pengertian bahwa bahasa Indonsia berkedudukan sebagai bahasa nasional. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pula pasal 36 (Bab XV) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yaitu sebagai bahasa negara. Dengan demikian, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928 dan berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

  Dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia. Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan penuturnya. Atas dasar kebanggan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia perlu dijunjung sehingga memiliki identitas. Sebagai alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku bangsa, bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi yang penting bagi penuturnya dalam wilayah Indonesia sehingga setiap orang dapat leluasa menjelajahi wilayah Indonesia tanpa ada kendala bahasa. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda.

  Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar di dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam berbagai kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan, bahasa Indonesia digunakan di lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia, kecuali di daerah-daerah, seperti di Pulau Jawa, daerah Sunda dan Jawa yang menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar. Sehubungan dengan fungsinya yang ketiga, bahasa Indonesia adalah alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dengan kata lain, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan bangsa Indonesia membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah.

1.2 Variasi Bahasa Indonesia dalam Pemakaian

  Dalam kehidupan sehari-hari, pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, terurtama bagi orang asing yang baru mempelajarinya. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari tidaklah sama dengan bahasa Indonesia yang ada dalam buku pelajaran. Tentu hal ini pun menyulitkan bagi sebagian besar mahasiswa asing yang belajar di Universitas Padjadjaran.

  Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia dalam pemakaian sehari- hari (lisan) berbeda. Faktor tersebut banyak bergantung pada diri si penutur, terutama yang menyangkut daerah, usia, dan pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, wilayah pemakaian bahasa Indonesia sangatlah luas, membentang dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, sebagian besar daerah di Indonesia, bukanlah daerah yang berbahasa Indonesia (Melayu) melainkan daerah yang berbahasa daerah. Bahasa daerah tersebut merupakan bahasa ibu (mother tongue) bagi sebagian besar penduduk daerah tersebut.

  Jawa Barat adalah daerah yang bukan berbahasa Indonesia, pada umumnya masyarakat Jawa Barat berbahasa Sunda dalam komunikasi sehari-harinya. Bahasa Sunda memiliki kesamaan struktur dengan bahasa Indonesia, tetapi kosakatanya sudah tentu banyak yang berbeda. Dengan demikian, dalam kehidupan berbahasa masyarakat Jawa Barat, setidaknya, mengenal dua bahasa, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Pemakaian dua bahasa ini, bahasa daerah (Sunda) sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, mau tidak mau mempengaruhi perilaku berbahasa masyarakat Jawa Barat (Sunda) sehingga terjadilah percampuran kedua bahasa itu, yang dikenal dengan bahasa Indonesia ragam Jawa Barat. Misalnya, dalam hal pelafalan, sebagian masyarakat Jawa Barat melafalkan kata bahasa Indonesia saya, apa, siapa sini, sana, situ dengan penambahan bunyi [h] di belakang kata tersebut,[s a y a h], [a p a h],[s i a p a h],[s i n i h],[s a n a h],[s i t u h]. Kondisi ini sudah barang tentu mempengaruhi pelafalan kata lain, seperti kata mempersilakan dewasa ini sering dilafalkan dengan [m e m p e r s i l a h k a n]. Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa lafal yang benar untuk kata tersebut adalah tanpa bunyi [h].

  Faktor lain yaitu terkait dengan tingkat pendidikan, terutama pelafalan kata serapan dari bahasa asing yang mengandung fonem, misalnya, /f/, /v/, dan /ks/ seperti pada kata fakultas, televisi, kompleks. Kata-kata tersebut oleh sebagian masyarakat yang tidak berpendidikan tinggi diucapkan dengan [p a k u l t a s], [t e l e p i s i], dan [k o m p l e k]. Hal ini dapat menjadi model pelafalan yang tidak standar bagi pembelajar bahasa Indonesia.

  Dalam segi kosakata, masyarakat Sunda sering mencampurkan kosakata bahasa Sundanya ke dalam percakapan bahasa Indonesia mengingat dalam kosakata bahasa Indonesia tidak terdapat kosakata tersebut. Misalnya, “Ini teh apa?” dan “Saya

  mah dari Bandung

  ”. Kata (partikel) teh dan mah marak muncul dalam percakapan- percakapan bahasa Indonesia sehari-hari di wilayah Jawa Barat. Kata-kata tersebut tidak ada padananan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kedua kalimat tersebut memiliki kesepadanan dengan kalimat bahasa Indonesia, “Ini apa?” dan “(Kalau) saya (b erasal) dari Bandung, (sedangkan kamu…)”.

  Dalam segi struktur, sering terdengar kalimat “Uangnya dikesayakan saja” dan “Sudah ditulis oleh saya”. Tentu saja kalimat tersebut tidak akan ditemukan dalam percakapan masyarakat lain di luar wilayah Jawa Barat sebab kalimat tersebut berasal dari struktur bahasa Sunda “Artosna dikaabdikeun weh” dan “Parantos diserat

  ku abdi ”. Dalam bahasa Indonesia, konstruksi ke saya dan oleh saya tidak dikenal.

  Padanan dalam bahasa Indonesia yang baku untuk kedua kalimat tersebut adalah “Uangnya dititipkan saja kepada saya” dan “(Surat) sudah saya tulis”.

  Dewasa ini penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari merambah ke kota-kota besar di Indonesia, tidak terkecuali Bandung. Di Bandung remaja tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi formal, tetapi dalam situasi nonformal pun bahasa Indonesia digunakan, misalnya di tempat-tempat umum. Akan tetapi, bahasa Indonesia yang digunakan bukanlah bahasa Indonesia standar, melainkan bahasa Indonesia ragam Jakarta. Dalam pertuturan remaja di Bandung, dan juga di kota-kota besar di Indonesia, sering terdengar kosakata gua(e)

  „saya‟ dan

  lu

  „kamu‟. Di samping itu, dalam pelafalan kata-kata seperti apa, mana, ada, fonem /a/ di akhir kata-kata tersebut dilafalkan [e], seperti [ape], [mane], [ade]. Yang lebih menggejala adalah pemakaian akhiran

  • –in. Akhiran dari bahasa Melayu Betawi itu

  kini merasuk pada bahasa Indonesia remaja menggantikan akhir

  • –kan. Dengan

  demikian, kata bawain, kerjain, habisin lebih banyak digunakan menggantikan kata- kata bahasa Indonesia formal bawakan, kerjakan, habiskan. Fenomena ini tidak terlepas dari pusat pengaruh sosial, budaya, dan ekonomi, yakni kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia, kota kosmopolitan, yang menjadi simbol kemodernan dan “gaul” bagi kalangan remaja di kota-kota besar di Indonesia. Gejala ini merambah ke kota- kota besar di Indonesia terjadi karena, di antaranya, maraknya tayangan-tayangan televisi yang menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam ini. Sikap bahasa sebagian masyarakat Indonesia ini tentu saja memprihatinkan sebab tidak menutup kemungkinan bahasa Indonesia yang benar semakin jauh dari pemiliknya. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini Pusat Bahasa melalui Lembaga Bahasa yang ada di daerah-daerah, aktif menggalakkan penyuluhan bahasa Indonesia meskipun bagi kalangan terbatas. Hal ini paling tidak menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya kecermatan dalam berbahasa karena kegiatan berbahasa mencerminkan kegiatan berpikir pula. Bahasa yang digunakannya kacau, pikiran si penutur pun kacau.

  Keragaman ini semakin tampak jika kita menjelajahi wilayah Indonesia di luar Pulau Jawa, misalnya Sumatra dan Bali. Di Sumatra, masyarakat Batak dalam berbahasa Indonesia sangat tampak karena tekanan kata yang sangat jelas. Di Bali pelafalan yang mencolok yaitu sehubungan dengan bunyi /t/ dan /d/-nya. Semua itu menimbulkan aksen berbahasa Indonesia yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik bahasa ibunya.

1.3 Sifat Bahasa yang Selalu Berubah

  Bahasa berhubungan erat dengan masyarakat. Masyarakat berubah sudah barang tentu bahasanya pun turut berubah. Hal ini paling tidak tampak dalam kosakata. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka sehingga dapat bergaul dengan bangsa lain dari mana pun. Hal itu terbukti dengan adanya kosakata yang berasal dari beberapa negara, seperti Arab, Belanda, Cina, dan Portugis. Adanya kosakata serapan tersebut tidak terlepas dari faktor sejarah Indonesia. Misalnya, banyaknya kosakata yang berasal dari bahasa Belanda terjadi karena bangsa Indonesia telah dijajah oleh negara ini cukup lama. Mau tidak mau kondisi ini mengharuskan bahasa Indonesia berkontak dengan bahasa Belanda. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia dikenal kosakata seperti antre (antreden), apotek (aphoteek), proklamasi

  

(proklamatie), dan teknik (techniek). Kata-kata ini yang dalam perkembangan

selanjutnya penulisannya muncul beragam, yaitu antri, apotik, proklamir, dan tehnik.

  Tentu saja hal ini membingungkan pemelajar bahasa Indonesia tatkala harus menulis kata bahasa Indonesia secara benar, apakah penulisan yang benar itu apotik atau

  apotek, tehnik atau teknik, selanjutnya praktek atau praktik, analisa atau analisis?

  Perubahan bahasa Indonesia tidak saja terkait karena faktor sejarah, faktor orientasi masyarakat pun turut menentukan perubahan tersebut. Masyarakat Indonesia sebelumnya lebih banyak berorentasi pada pertanian sehingga kosakata yang menyangkut kosakata ini lebih marak. Akan tetapi, sekarang era teknologi, tentu saja hal ini menambah kosakata bahasa Indonesia dalam bidang tersebut, seperti adanya kosakata handphone, internet, komputer, dan laptop. Kosakata tersebut ada yang memiliki padananan dalam bahasa Indonesia, ada pula yang tidak, seperti

  

internet dan komputer masih digunakan kata yang sesuai dengan kata aslinya,

  sedangkan handphone dan laptop ada yang memadankannya dengan telepon genggam dan komputer pangku.

  Dewasa ini perkembangan kosakata bahasa Indonesia semakin disemarakkan oleh bahasa Inggris, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dibiarkan tanpa kendali, tentu akan mengikis jati diri bahasa Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melakukan anitisipasi masuknya kosakata asing melalui pemadanan-pemadanannya dalam bahasa Indonesia. Upaya itu dapat dilakukan dengan menggali kata bahasa Indonesia yang memiliki makna sama dengan kata asing itu, kalau tidak ada, selanjutnya dicari dalam bahasa Indonesia lama, selanjutnya dicari dalam bahasa daerah, kalau tidak ditemukan barulah kata asing itu digunakan dengan menyesuaikan ejaannya dengan bahasa Indonesia. Misalnya, kata asing network memiliki padanan dengan jaringan, pain memiliki padanan dalam bahasa Sunda nyeri, tetapi shuttle cock, masih digunakan kata tersebut karena tidak ada padanan yang tepat, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa daerah.

  Kosakata asing yang marak lainnya dalam bahasa Indoneia dewasa ini adalah kosakata dari bahasa Jepang. Kosakata dari bahasa Jepang terutama yang menyangkut makanan dan otomotif, seperti kata sukiyaki, hoka-hoka bento, samurai, katana, dan

  

suzuki. Namun, sebelumnya kosakata bahasa Jepang seperti arigato, sayonara,

harakiri, taiso telah dikenal oleh masyarakat Indonesia pada zaman sebelum

  kemerdekaan.

  Perubahan itu tidak saja terjadi karena pengaruh bahasa asing, tetapi dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Hal ini terjadi karena semakin kritis dan bernalar penutur bahasa Indonesia dalam kegiatan berbahasa. Kata kesimpulan dan saingan, dulu dianggap sebagai bentuk yang benar, tetapi dengan melihat keberaturan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, bentuk kata tersebut bukanlah bentuk yang benar lagi sebab dewasa ini disadari bentuk yang benar dari kata-kata tersebut adalah simpulan dan pesaing, dengan pemahan akhiran

  • an dalam bahasa Indonesia menyatakan hasil, perhatikanlah kata tulisan dan karangan yang masing-masing berasal dari kegiatan

  

menulis dan mengarang. Oleh karena itu, saingan dipahami sebagai hasil dari

  kegiatan bersaing/menyaingi. Dengan demikian, untuk menunjuk pada orang, bentuk yang benar bukanlah saingan, melainkan pesaing sebab dalam bahasa Indonesia awalan pe- dapat bermakna „orang yang melakukan…‟. Begitu pula dengan bentuk kata pengrajin dan menterjemahkan, awalan pe- tidak memunculkan nasal ketika berhadapan dengan fonem /r/ dan fonem /t/ diawal kata luluh jika mendapat awalan

  

meN-. Dengan demikian, disadari bentuk yang benar dari kata pengrajin dan

menterjemahkan adalah perajin dan menerjemahkan.

  2. Pustaka Acuan

  Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Bahasa. Arifin, Zaenal & S. Amran Tasai. 1995. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Aka- Demika Presindo. Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik. Jakarta: Pustaka Jaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1976. Politik Bahasa Nasional. Jakar- ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

  3. Latihan

  Jawablah pertanyaan berikut dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar! 1.

  Mengapa bahasa Indonesia sangat penting dipelajari, baik oleh masyarakat Indonesia sendiri maupun oleh masyarakat lain yang berkepentingan dengan Indonesia, terutama yang menimba ilmu di perguruan tinggi? 2. Bagaimana situasi kebahasaan di daerah Anda? 3. Mengapa bahasa Indonesia ragam tulis tidak sama dengan bahasa Indonesia ragam lisan?

  

Pertemuan 2

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

1. Materi

1.1 Sumber Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal berasal dari bahasa Melayu (Riau).

  Bahasa Melayu sendiri sejak dulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua

  

franca) di Kepulauan Nusantara. Bahkan, pemakaian bahasa Melayu juga hampir di

seluruh Asia Tenggara.

  Bahasa Melayu sudah dijadikan alat komunikasi sudah sejak zaman Sriwijaya. Berbagai prasasti menunjukkan akan hal itu, seperti batu tulis (prasasti) kuno yang ditemukan, yaitu (1) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang tahun 683, (2) Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684, (3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686, dan (4) Prasasti Karang Brahi atara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688, yang tertuilis Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno. Di samping itu, prasasti- prasasti yang juga tertulis di dalam bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli, tahun 832) dan di Bogor (Prasasti Bogor, tahun 942). Kedua prasasti di Pulau Jawa tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa Melayu dipakai juga di Pulau Jawa, selain di Pulau Sumatra. Bukti yang lainnya pun mencerminkan bahwa bahasa Melayu telah tersebar ke seluruh nusantara yakni dengan adanya bahasa Melayu dalam berbagai ragam daerah, seperti dialek Melayu Jakarta, Manado, dan Ambon.

  Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu berfungsi sebagai berikut.

  1. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.

  2. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antarsuku di Indonesia.

  3. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan, terutama di sepanjang pantai, baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun bagi pedagang-pedagang yang datang dari luar Indonesia.

  4. Bahasa Melayu befungsi sebagai bahasa resmi kerajaan.

1.2 Peresmian Nama Bahasa Indonesia

  Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang terus. Dalam waktu yang relatif tidak lama bahasa Indonesia tumbuh menjadi bahasa yang modern. Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan peristiwa bersejarah bagi peresmian bahasa Indonesia. Pada saat itu bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan.

  Sumpah Pemuda berisi tiga pernyataan sebagai berikut. Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia.

  Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pertanyaan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah

  Republik Indonesia adalah satu kesatuan tumpah darah yang disebut tanah air Indonesia. Pernyataan yang kedua adalah pengakuan bahwa manusia-manusia yang menempati bumi Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia. Pernyataan yang ketiga merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.

  Bahasa Indonesia tumbuh semakin pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Kongres Bahasa Indonesia I di Solo setahun setelah Sumpah Pemuda. Selanjutnya, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tahun 1954 dan kongres yang terakhir (Kongres Bahasa Indonesia VI) di selenggarakan di Jakarta pada tahun 1993. Setiap kongres tersebut menghasilkan putusan yang strategis bagi perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini. Berikut ini adalah peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan bahasa Indonesia.

  1) Pada tahun 1901 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.

  2) Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan

  Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka.Balai Pustaka menerbitkan buku-buku novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, dan buku-buku pengetahuan lainnya.

  3) Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal 28 oktober 1928 itulah para pemuda mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

  4) Pada tanggal 25 – 28 Juni 1938 dilangsungkan kongres Bahasa Indonesia I di

  Solo. Kongres ini menetapkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar. 5)

  Masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi resmi antara pemerintah Jepang dengan rakyat Indonesia karena niat mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang sebagai alat komunikasi tidak terlaksana. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahsa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan dan untuk keperluan ilmu pengetahuan. 6)

  Pada tanggal 18 agustus 1945 ditandatangani Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. 7)

  Pada tanggal 19 maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. 8)

  Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tanggal 28 Oktober-2 November 1954 adalah juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus menerus menyempurnakan bahasa Indonesia. 9)

  Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan di depan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

  10) Pada tanggal 13 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meneyapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh Indonesia.

  11) Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28

  Oktober

  • – 2 Novemeber 1978 merupakan peristiwa yang penting bagi kehidupan bahasa Indonesia. Kongres tersebut selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

  12) Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada 21-26

  November 1983. Kongres ini memutuskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan. 13)

  Kongres Bahasa Indonesia V juga diadakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober-3 November 1988. Kongres ini merupakan kongres yang terbesar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Kongres ini meluncurkan karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di nusantara, yakni berupa (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2)

  Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan (3) buku-buku bahan penyuluhan bahasa Indonesia.

  14) Kongres Bahasa Indonesia VI yang diadakan di Jakarta pada tanggal 28

  Oktober-2 November 1993 memantapkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan bangsa, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembinaan kehidupan bangsa. Seperti kongres sebelumnya, kongres ini dihadiri oleh berbagai kalangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 15)

  Kongres Bahasa Indonesia VII diadakan di Jakarta pada tanggal 26-30 Oktober 1998. Kongres ini mengusulkan adanya Badan Pertimbangan Bahasa yang dapat memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 16)

  Kongres Bahasa Indonesia VIII diadakan di Jakarta pada tanggal 14-17 Oktober 2003. Kongres ini memantapkan peranan bahasa Indonesia dalam era global.

1.3 Alasan Mengapa Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Indonesia?

  Tentu kita bertanya-tanya, mengapa bahasa Melayu dijadikan bahasa nasional Indonesia? Faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut.

  1) Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca Indonesia, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan.

  2) Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena bahasa ini tidak mengenal tingkat tutur (speech levels), seperti dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, yaitu bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

  3) Suku lain penutur bahasa mayoritas, seperti Jawa dan Sunda serta suku-suku yang lain dengan sadar menerima bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional.

  4) Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai kebudayaan dalam arti yang luas.

  2. Pustaka Acuan

  Arifin, Zaenal & S. Amran Tasai. 1995. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Aka- Demika Presindo. Junus, Husain & Aripin Banasaru. Bahasa Indonesia: Tinjauan Sejarahnya dan Pe- Makaian Kalimat yang Baik dan Benar. Surabaya: Usaha Nasional. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1976. Politik Bahasa Nasional. Jakar- ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

  3. Latihan

  Jawablah pertanyaan berikut dalam bahasa Indonesia yang benar! 1.

  Sudah dipahami bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.

  Perbedaan apa yang mencolok pada bahasa Indonesia dewasa ini? 2. Pada butir (3) sumpah pemuda bukan berupa pengakuan terhadap bahasa

  Indonesia, mengapa? 3. Bagaimana upaya bangsa Indonesia agar bahasa Indonesia dapat menjadi ba- hasa yang modern dalam era global ini?

  

Pertemuan 3

RAGAM DALAM BAHASA INDONESIA

1. Materi

1.1 Ragam Lisan dan Ragam Tulis

  Sebagaimana telah disebutkan, bahasa Indonesia digunakan secara luas di wilayah Indonesia. Mengingat penutur bahasa Indonesia memiliki berbagai latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi, sudah tentu melahirkan sejumlah ragam bahasa. Ragam yang paling mudah diamati dalam bahasa Indonesia adalah ragam lisan dan ragam tulis. Bahasa Indonesia ragam lisan berbeda dengan bahasa Indonesia ragam tulis.

  Berikut perbedaan antara ragam lisan dan tulisan. Pertama, ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berada di depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan demikian. Kedua, di dalam ragam lisan unsur kalimat, seperti subjek, predikat, dan objek tidak selalu hadir. Unsur-unsur tersebut kadang-kadang dapat dihilangkan. Hal ini terjadi karena dalam berkomunikasi secara lisan dapat dibantu oleh gerak, mimik, intonasi, dsb. Contoh: Orang menawar ongkos naik ojek.

  A: “Mas, berapa ke kampus?”

  B: “Tujuh ribu.”

  A: “Empat ribu ya?”

  B: “Lima ribu saja.” Unsur kalimat dalam ragam tulis harus lebih lengkap karena pada ragam tulis kawan bicara tidak berada di depan pembicara sehingga informasi yang disampaikan menjadi jelas. Ketiga, ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Keempat, ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca.

  Di samping perbedaan di atas, berikut ini dapat bandingkan bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis. Perbandingan ini didasarkan atas perbedaan penggunaan bentuk kata, kosakata, dan struktur kalimat.

a) Ragam Lisan

  1. Penggunaan bentuk kata (1a) Anak itu nyuri mainan di took. (2a) Dia bisa ngoordinir acara itu.

  2. Penggunaan kata (3a) Sepatu yang dibikin pabrik itu kualitasnya bagus. (4a) Setiap hari saya selalu ngasih dia uang.

  3. Penggunaan struktur kalimat (5a) Tugas itu sudah dikedosenkan.

  (6a) Pengumuman itu sudah ditulis oleh saya.

b) Ragam Tulis

  1. Penggunaan bentuk kata (1b) Anak itu mencuri mainan di took. (2b) Dia bisa mengkoordinasikan acara itu.

  2. Penggunaan kata (3b) Sepatu yang dibuat pabrik itu kualitasnya bagus. (4b) Setiap hari yang selalu memberi dia uang.

  3. Penggunaan struktur kalimat (5b) Tugas itu sudah diserahkan kepada dosen.

  (6b) Pengumuman itu sudah saya tulis.

1.2 Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku

  Pada dasarnya ragam tulis dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam buku.

  Ragam baku itu mempunyai sifat-sifat sebagi berikut.

  a) Kemantapan Dinamis Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasa. Jika kata rasa diberi awalan pe-, akan terbentuk kata perasa. Oleh karena itu, menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi awalan pe- akan menjadi perajin, bukan pengrajin.

  Dinamis artinya tidak statis, tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya bentuk mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan. Dalam hal ini, tokonya disebut langganan dan orang yang berlangganan itu disebut pelanggan.

  b) Cendekia Ragam baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat resmi. Perwujudan ragam baku ini adalah orag-orang yang terpelajar. Hali ini terjadi karena pembinaan dan pengembangan bahasa lebih banyak melalui jalur pendidikan formal (sekolah).

  Di samping itu, ragam baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Ragam baku dapat pula memberikan gambaran yang jelas dalam pikiran pendengar atau pembaca. Contoh kalimat yang tidak cendekia adalah sebagai berikut.

  4. Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima beasiswa. Frasa mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal mengandung konsep ganda, yaitu mahasiswanya yang terkenal atau perguruan tingginya yang terkenal. Dengan demikian, kalimat itu tidak memberikan informasi yang jelas. Agar menjadi cermat kalimat tersebut dapat diperbaiki sebagai berikut.

  4a. Mahasiswa yang terkenal dari perguruan tinggi itu menerima beasiswa. 4b. Mahasiswa dari perguruan tinggi yang terkenal itu menerima beasiswa. c) Seragam Ragam baku bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa ialah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian penyeragaman. Misalnya, pelayan kapal terbang dianjurkan untuk memakai istilah pramugara dan pramugari. Beranalogi pada bentuk yang sudah ada, kata yang mengandung konsep “pelayan” digunakan pramu-, seperti pramusaji (pelayan restoran), pramuniaga (pelayan toko), dan pramuwisma (pelayan rumah/pembantu).

  1.3 Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan

  Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah. Ragam baku tulis dapat mengacu pada buku

  

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum

Pembentukan Istilah, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  Ragam baku lisan belum memiliki pedoman seperti ragam baku tulis. Hal terjadi karena sulitnya mencarai lafal yang standar bagi penutur bahasa Indonesia yang majemuk ini. Lafal yang baku untuk sementara ini adalah lafal yang tidak mencerminkan lafal kedaerahan atau dialek daerahnya. Misalnya, lafal yang baku untuk kata beberapa adalah dengan bunyi e pepet [b b r a p a], bukan dengan e taling [b E b E r a p a].

  1.4 Ragam Sosial dan Ragam Fungsional

  Ragam sosial yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Misalnya, ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab dapat merupakan ragam sosial . Selain itu, ragam sosial berhubungan pula dengan tinggi atau rendahnya status kemasyarakatan lingkungan sosial yang bersangkutan.

  Ragam fungsional (profesional) adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lungkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. Ragam fungsional dapat menjadi bahasa negara dan bahasa teknis keprofesian, seperti bahasa dalam lingkungan keilmuan/teknologi, kedokteran, dan keagamaan.

  1.5 Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

  Pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar menyangkut pula pemahaman pada bahasa baku. Kebakuan suatu kata sudah menunjukkan masalah benar kata itu. Walaupun demikian, masalah baik tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat, tetapi sifat efektifnya suatu kalimat.

  Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila bentuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.

  Sebuah bentuk kata dikatakan benar jika memperlihatkan proses pembentukan yang benar menurut kaidah yang berlaku. Kata standarisasi, misalnya, tidak benar penulisannya karena pemunculan kata itu tidak mengikuti kaidah penyerapan yang telah ditentukan. Pembentukan penyerapan yang benar ialah standardisasi karena diserap dari kata standardization, bukan dari kata standar + -isasi.

  Pengertian baik pada suatu kata atau kalimat menyangkut pada pilihan kata (diksi). Dalam suatu situasi kita dapat memakai kata yang sesuai dengan situasi tersebut sehingga kata-kata yang digunakan tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata mati memiliki sinonim seperti mampus, tewas, meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah, gugur dsb. Kata- kata tersebut tentu penggunaannya tidak sembarangan. Dalam suatu situasi, tidak memungkinkan seseorang mengatakan, “Pencopet itu telah gugur”. Hal ini terjadi karena kata gugur memiliki nilai yang positif dan digunakan untuk orang yang terhormat, seperti pahlawan.

  Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bahasa yang benar adalah bahasa yang mengandung kaidah yang benar, sedangkan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya.

  2. Pustaka Acuan

  Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Bahasa. Arifin, Zaenal & S. Amran Tasai. 1995. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Aka- Demika Presindo. Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

  3. Latihan 1.

  Ciri apa yang tampak dalam ragam lisan dan tulis suatu bahasa? 2. Mana di antara kalimat berikut yang mengandung kata yang tidak baku.

  a. Adik ngedorong meja.

  b. Dari tadi saya nyari kamu.

  c. Ibu nyuci baju.

  d. Ayah membaca koran.

  3. Bagaimana pemahaman Anda terhadap berbahasa yang baik dan benar?

  

Pertemuan 4

DIKSI (PILIHAN KATA)

1. Materi

  1.1 Pengertian Diksi

  Dalam berkomunikasi sebenarnya kita memilih-milih kata yang sesuai dengan tujuan berkomunikasi itu sendiri. Pilihan kata sering pula disebut diksi. Ketepatan suatu pesan komunikasi sampai kepada pembaca/pendengar tidak terlepas dari diksi yang digunakan. Dengan demikian, diksi merupakan unsur yang sangat penting dalam kegiatan berbahasa.

  Diksi secara lebih luas dapat dipahami mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Diksi dipahami juga kemampuan membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Oleh karena itu, pilihan kata yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah kosakata bahasa tersebut.

  1.2 Makna Denotatif dan Konotatif

  Makna denotatif adalah makna apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Makna denotatif disebut makna referensial, konseptual, atau ideasional karena makna kata tersebut mengacu pada acuan (referen), konsep, atau ide tertentu. Di samping itu, makna ini disebut pula makna kognitif atau proposional karena berhubungan dengan kesadaran atau pengetahuan atau berhubungan dengan pernyataan faktual. Kata amplop, misalnya, bermakna pembungkus surat.

  Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Makna ini disebut pula makna emotif atau evaluatif. Kata amplop dalam makna konotatif dapat berarti uang suap.

  Makna konotatif dan makna denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan pemakaian bahasa. Makna denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya, sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran dan peranan yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Oleh karena itu, makna denotatif adalah makna yang bersifat umum, sedangkan makna konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus. Bandingkanlah kata cantik dan manis pada kalimat.

  1. Gadis itu cantik.

  2. Gadis itu manis. Kata manis bermakna konotatif, sedangkan cantik bermakna denotatif. Dalam kata manis terkandung maksud suatu perasaan (terpesona, terpukau).

  1.3 Makna Umum dan Khusus

  Makna umum dipahami sebagai kata yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat pemakai bahasa tersebut. Dengan kata lain, kosakata umum adalah kata- kata umum yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu. Di samping itu, kosakata umum bermakna umum dan dipahami secara luas sehingga sering digunakan dalam berkomunikasi. Penguasaan kosakata umum dapat dilakukan melalui kamus umum.

  Makna khusus adalah kata yang memiliki makna khusus. Kosakata ini digunakan dalam bidang ilmu atau lingkungan tertentu. Penguasaan kosakata khusus dapat dilakukan melalui kamus bidang ilmu tertentu. Contoh berikut menampakkan perbedaan antara kosakata umum dan khusus, kata burung memiliki makna umum karena memiliki makna yang luas, belum ada spesifikasi jenis apa. Namun, kalau kita menyebutkan, misalnya merpati, beo, dan cendrawasih, kata-kata tersebut termasuk kosakata khusus karena sudah mengacu pada satu jenis burung.

  1.4 Kata Konkret dan Abstrak

  Kata konkret adalah kata yang acuannya nyata atau dapat dicerap oleh pancaindera, misalnya buku, rumah, dan dingin. Kata-kata tersebut dapat dirasakan keberadaannya melalui indera kita. Sebaliknya, kata abstrak adalah kata yang acuannya tidak dapat dicerap oleh pancaindera, misalnya demokrasi, reformasi, dan

  karunia.

  Kata abstrak digunakan untuk mengungkapkan gagasan yang rumit. Di samping itu, kata abstrak dapat membedakan gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Akan tetapi, dalam karangan ilmiah senantiasa digunakan kata konkret untuk menghindari acuan yang samar dan tidak cermat.

  1.5 Sinonim

  Sinonim adalah dua kata atau lebih yang pada asasnya mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.

  Pemakaian sinonim ini bertujuan, di antaranya, kalimat yang dihasilkan tidak membosankan. Di samping itu, pemakaian kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan memperjelas pesan komunikasi karena pemakai bahasa dapat memilih bentuk kata mana yang paling tepat, sesuai dengan kebutuhan dan situasi. Sebagai contoh, kata benar bersinonim dengan betul. Kedua kata tersebut dapat saling menggantikan dalam kalimat berikut.

3. Pilihlah jawaban yang benar.

  betul Akan tetapi, dalam kalimat berikut kedua kata tersebut tidak dapat saling menggantikan. Perhatikanlah:

  4. Cincinnya seperti emas *benar. betul

  2. Pustaka Acuan

  Arifin, Zaenal & S. Amran Tasai. 1995. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Aka- Demika Presindo. Keraf, Gorys. 1991. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Pateda, Mansoer. 1995. Kosakata dan Pengajarannya. Ende: Nusa Indah. Soedjito. 1989. Sinonim. Bandung: Sinar Baru.

  3. Latihan 1.

  Mengapa diksi atau pilihan kata merupakan unsur yang penting, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam menyusun karangan ilmiah?

2. Kata-kata berikut termasuk pada makna denotatif ataukah konotatif? Jelaskan! a.

  penonton – pemirsa b. sesuai – harmonis c. mati – mampus 3. Sebutkanlah kata khusus dari kata umum berikut ini! a. warna b. kendaraan c. penyakit 4. Sebutkanlah lima kata abstrak dan buatlah kalimatnya! 5. Kata-kata berikut bersinonim. Jelaskan perbedaan dan persamaan kata-kata tersebut dan berilah contoh melalui penggunaannya dalam kalimat! a. jam – pukul b. ialah – adalah c. masing-masing – tiap-tiap

  

Pertemuan 5

TATA BENTUK KATA I

1. Materi

  1.1 Kata Dasar

  Kosakata bahasa Indonesia berdasarkan bentuknya dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu kata dasar dan kata bentukan. Kata dasar adalah kata yang belum mengalami proses morfologis apapun. Contoh kata dasar dalam bahasa Indonesia di antaranya adalah makan, rumah, dan indah.

  Dalam hubungannya dengan kalimat, dalam bahasa Indonesia dikenal dua jenis kata dasar, yaitu kata dasar yang tidak dapat digunakan di dalam kalimat sebelum kata-kata tersebut mengalami pengimbuhan, misalnya kata juang, henti, dan baring. Kata-kata tersebut perlu diberi imbuhan dalam penggunaanya dalam kalimat, misalnya menjadi berjuang, berhenti, dan berbaring. Perhatikanlah contoh berikut: 1a. *Wanita itu sedang juang melawan penyakitnya.

  b. Wanita itu sedang berjuang melawan penyakitnya. 2a. *Mobil itu tiba-tiba henti di tengah jalan.

  b. Mobil itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. 3a. *Kini ia hanya bisa baring tanpa daya.

  b. Kini ia hanya bisa berbaring tanpa daya Kata dasar lainnya yaitu kata dasar yang tanpa penambahan imbuhan atau proses morfologis sudah dapat digunakan dalam kalimat, misalnya buku, gambar, dan

  merah.

  1.2 Kata Berimbuhan Kata berimbuhan adalah kata-kata yang sudah mengalami proses morfologis.

  Menurut proses yang dialami oleh kata tersebut dapat dibedakan adanya empat macam kata berimbuhan dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) kata berafiks, (2) kata berinfiks, (3) kata bersufiks, dan (4) kata bersimulfiks.

  Kata berafiks adalah kata-kata yang mengandung awalan (afiks). Dalam bahasa Indonesia dikenal afiks ber-, me-, di-, ter-, pe-, dan se-. Setiap kata memiliki kemampuan daya gabung yang berbeda-beda dengan tiap-tiap afiks tersebut. Contoh kata berafiks adalah berjanji, menulis, disiksa, terbaca, penyanyi, dan setinggi. Kata- kata tersebut berasal dari kata dasar janji, tulis, siksa, baca, nyanyi, dan tinggi.

  Kata berinfiks adalah kata-kata yang mengandung sisipan (infiks). Infiks dalam bahasa terbatas jumlahnya, yaitu