Pembagian Waris Dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)

PEMBAGIAN WARIS DALAM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT
(Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

MUHAMMAD FAHRI
NIM : 1111044100062

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M

ABSTRAK
MUHAMMAD FAHRI, NIM 1111044100062, Pembagian Waris
Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami Tidak Tercatat di

Kelurahan Cipete Selatan, Strata Satu (S1), Jurusan Ahwal Syakhsiyyah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui cara pembagian waris yang
dilakukan oleh pelaku poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan dan untuk
mengetahui dasar hukum yang dijadikan landasan dalam pembagian waris tersebut.
Hal ini dikarenakan banyaknya pernikahan poligami yang tidak melakukan
pencatatan pernikahan di KUA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
melalui metode survei. Metode analisis yang digunakan adalah deskrifptif analitis
yaitu mengolah dan mendiskripsikan penelitian yang dikaji dalam tampilan data yang
lebih bermakna dan dapat lebih dipahami sekaligus menganalisis data tersebut.
Teknik pengumpulan data, melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pembagian harta waris pada
perkawinan poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan tidak sepenuhnya
melaksanakan hukum. Hal ini dapat dilihat pada keluarga Bapak H. Hasyim, H.
Tabroni dan H. Jaelani yang telah melaksanakan pembagian harta warisnya tanpa
membagikan pembagian istri 1/8 dibagi 2, seharusnya pembagian warisan mengikuti
ketetentuan pembagian dalam hukum islam sedangkan dalam praktinya istri-istri
tetap mendapatkan masing-masing 1/8. Sedangkan praktik pembagian harta warisan
untuk anak laki-laki dan perempuan pada masyarakat cipete menggunakan 2:1 dan

ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum islam, akan tetapi terkadang masih ada
praktik pembagiannya sama rata tanpa menggunakan 2:1. Bahkan ada penambahan
harta warisan untuk anak laki-laki baik berupah tanah, sawah ataupun yang lain.
Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang melainkan dengan benda
yang tidak bergerak seperti: rumah, tanah, sawah dan lain-lainnya. Terbukti dengan
pembagian harta waris pada keluarga bapak H. Jaelani.

Keyword: Poligami, Waris dan Cipete Selatan

iv

KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis
persembahkan kepada Alm. Ayahanda Hj. Samalih dan Ibunda Hj. Haironih yang
selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, serta doa tanpa mengenal

lelah sedikit pun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan,

namun

syukur

alhamdulillah

berkat

rahmat

dan

hidayah-Nya,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya

sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1.

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

v

2.

Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Arip Purqon, MA, Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Sri Hidayati, M.Ag, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.


4.

Hayatin Nupus, S.E.Sy, yang selalu memberikan semangat, mendengarkan
keluh kesah dan menemani penyusun selama penulisan skripsi ini.

5.

Kepada H. Ahmad Junaidi, Musthofa, Hj. Masronih dan yang lain-lainnya yang
telah meluangkan waktunya dan bersedia diwawancara sebagai narasumber
dari penelitian penyusun.

6.

Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
studi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

7.


Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8.

Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Ahmad Fatih, Ahmad
Fahru yang selalu membimbing dan kepada ananda , Wildan Anshori dan
Ahmad Hanif yang senantiasa memberikan do’a dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.

vi

9.

Sahabat seperjuangan penulis : Muhammad Munzir Kamil, Muhammad
Shandika Rizkiandi, Arif Maulana Thoir, Muhammad Nazir, Semua temanteman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Beserta teman bercanda Chairul Amin S.Thi, yang bersedia

menemani waktu-waktu luang sebagai sebuah refresing dalam penulisan ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini

Jakarta, 12 Oktober 2015

MUHAMMAD FAHRI

vii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................ iii
ABSTRAK……………………………………………………………………... iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v

viii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 4
A. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
5
B. Review Studi Terdahulu...............................................................
6
C. Metodologi Penelitian...............................................................
8
11
D. Sistematika Penulisan................................................................

BAB II

PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DAN POLIGAMI DI
INDONESIA

A. Pengertian.............................................................................
13
B. Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami.................................
27
C. Akibat Hukum Perkawinan Poligami Tidak Tercatat.................. 32

BAB III

PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
A. Dasar Hukum Pembagian Waris………………..........................
B. Ahli Waris...............................................................................
C. Pembagian Waris Sesuai dengan Ketentuan (Furud)....................
D. Pembagian Waris dalam Perkawinan Poligami............................

BAB IV

38
40
47
51


PEMBAGIAN HAK WARIS PERKAWINAN POLIGAMI DI
KELURAHAN CIPETE SELATAN
A. Gambaran Umum Tentang Kelurahan Cipete Selatan (Letak,
56
Keadaan, Profesi Dan Pendidikan)...............................................
B. Jumlah Kepala Keluarga yang Melaksanakan Perkawinan
58
Poligami Masyarakat Kelurahan Cipete Selatan...........................
C. Praktik Pembagian Waris Perkawinan Poligami di Kelurahan
60
Cipete Selatan..........................................................................
63
D. Interpretasi dan Pembahasan......................................................

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................
B. Saran......................................................................................

viii


69
70

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

71

LAMPIRAN......................................................................................................... 73

ix

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumahtangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1
Islam sangat menganjurkan pernikahan dengan berbagai cara. Terkadang
dengan menyebutnya sebagai salah satu sunah para nabi dan jalan hidup para
rasul yang merupakan para pemimpin yang jalan hidupnya patut diteladani.2
Perkawinan di Indonesia menganut azas monogami, poligami merupakan
pengecualian dengan persyaratan-persyaratan ketat yang ditentukan dalam
perundang-undangan. Poligami diatur sedemikian rupa dalam beberapa
Peraturan Perundang-undangan diantaranya adalah: UU Perkawinan dan PP No.
10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Walaupun sudah diatur dalam berbagai peraturan, nampaknya masyarakat
Indonesia belum mematuhi peraturan ini sebagaimana seharusnya. Namun
kenyataan di lapangan, masih banyak orang Islam yang melakukan poligami
1

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: CV. Karya
Gemilang, 2015), h. 71.
2

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah, Asep sobari, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h.

153.

1

2

liar hanya karena motif melampiaskan nafsu atau mendapat keuntungan materi,
sehingga tidak memperlihatkan hikmah poligami dan bukan untuk mencapai
kemaslahatan. Bahkan tidak jarang mengabaikan hak istri tua dan
membahayakan anak-anaknya dengan tidak memberikan mereka hak waris,
dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Jika ditelusuri alasan dan kepentingan masyarakat Islam Indonesia
melakukan poligami, setidaknya ada tiga faktor besar alasan mereka melakukan
poligami liar3:
1. Kuatnya budaya patriarkis yang kental dalam masyarakat Indonesia.
Patriarkis, laki-laki mendominasi seluruh lini kehidupan, dan perempuan
hanya merupakan sub-ordinasi dari laki-laki. Perempuan bukan sebagai
mitra sejajar dari laki-laki melainkan sebagai “bawahan” laki-lakilah yang
berkuasa dan penentu dalam rumah tangga. Dalam seperti ini perempuan
seolah-olah “terkunci” dan tidak melakukan apa-apa yang bisa merubah
nasibnya.
2. Pemahaman agama yang salah dalam poligami. Dalam konteks ini terjadi
karena kuatnya interpretasi agama yang bias gender dan tidak akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusian. Interpretasi agama yang memposisikan istri
sebagai obyek seksual, tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh.
Ada sebagian mayarakat yang menilai bahwa poligami itu merupakan
3

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ( Jakarta : Semesta Rakyat Merdeka, 2012 ), h. 166

3

sunnah Rasulullah, bahkan

menganggap karena Rasulullah sendiri juga

berpoligami. Demikian juga dengan ayat Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3
yang membolehkan poligami.
3. Lumpuhnya sistem hukum di Indonesia sehingga terjadi sifat dualisme
terhadap UU perkawinan dan peraturan-peraturan yang lainnya. Masyarakat
tidak menganggap bahwa UU perkawinan merupakan bagian dari UU
perkawianan Islam. Sehingga dianggapnya UU Perkawinan tidak mengikat
pada mereka. Di sisi lain, lemahnya pemerintah dalam melaksanakan UU
tersebut menjadi penentu.
Banyaknya praktik poligami sehingga banyak juga poligami yang dicatat
di petugas pencatat pernikahan dan poligami yang tidak tercatat di pegawai
pencatat perkawinan. Jika kita melihat pada negara-negara Islam seperti,
Yaman, Bahrain, Uni Emiret Arab memberlakukan bahwa seorang yang hendak
menikah harus mencatatkan dalam catatan resmi, apabila suatu perkawinan
tidak dicatatkan maka undang-undang akan memberi sanksi. Bahkan pada
negara Tunisia pada pasal 4 undang-undang hukum keluarga menyebutkan
tidak sah suatu perkawinan yang tidak dicatat secara resmi.4

4

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian, 2011), h. 268

4

Pencatatan perkawinan itu sangatlah penting melihat perkembangan yang
semakin maju dan dampak hukum apabila perkawinan tidak dicatatkan seperti
halnya pembagian waris.
Pembagian waris terkadang dapat memicu permasalahan dalam rumah
tangga. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 pengelompokan ahli waris
terdiri dari, menurut hubungan darah yaitu golongan laki-laki: ayah, anak lakilaki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari:ibu,
anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Apabila semua ahli waris ada
maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda.
Seorang yang berpoligami akan menimbulkan perbedaan dalam pembagian hak
waris. Karena dalam kehidupan masyarakat banyaknya poligami yang tidak
tercatat sehingga mendatangkan perbedaan pembagian hak waris dalam masingmasing rumah tangga. Dalam hal ini penulis merasa perlu membahas
permasalahan seperti ini yang dituangkan dalam skripsi berjudul: “Pembagian
Waris Dalam Perkawinan Poligami Tidak Tercatat”.

B.

Pembatasan dan Rumusan masalah
1. Pembatasan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis membatasi masalah
pada praktek pembagian waris terhadap ahli waris pada perkawinan poligami
yang tidak tercatat, yang terdapat di Kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan.

5

2. Rumusan masalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak
menjelaskan pembagian hak waris bagi yang berpoligami tidak tercatat,
sedangkan hukum Islam tidak membedakan pembagian hak waris baik yang
tercatat atau tidak.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka untuk memudahkan
pembahasan penulis merumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana praktik pembagian warisan dalam perkawinan poligami tidak
tercatat, pada masyarakat Betawi Cipete Selatan?
b. Apa alasan yang menjadi dasar atas pembagian warisan tersebut?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun dalam melakukan
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian waris terhadap perkawinan
poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan.
b. Untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar atas pembagian waris tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut di harapkan dari hasil
penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:

6

a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang
dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum keluarga
dan umumnya pada ilmu pengetahuan.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan dan memberikan
pencerahan khususnya kepada masyarakat Betawi Cipete Selatan yang
melaksanakan perkawinan poligami tidak tercatat, agar dapat mengetahui
pembagian hak waris secara hukum positif, hukum adat,

maupun hukum

Islam.

D.

Review studi terdahulu
Review studi terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data skripsi
atau penelitian tahun-tahun sebelumnya dengan tujuan dengan menganalisis
skripsi yang berkaitan dengan judul atau permasalahan penelitian. Dari sekian
banyak skripsi yang penyusun temukan, diantara penelitian yang dilakukan
sebelumnya, terkait mengenai permasalahan-permaslahan sebagai berikut:
Syarif Hidayatullah, “Hukum pengulangan Nikah sirri perspektif Hukum
Islam dan Hukum positif (studi kasus dilingkungan Kelurahan Kedoya Selatan,
Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat).”
Skripsi ini membahas tentang hukum pengulangan nikah sirri menurut
perspektif Hukum Islam dan Hukum positif yaitu bahwa pernikahan telah sah

7

apabila dicatatkan oleh PPN (pegawai pencatat nikah). Nikah sirri menurut
hukum positif yaitu pernikahan yang telah sah menurut agama tetapi ia “cacat”
karena pernikahannya tidak dicatatkan oleh PPN (pegawai pencatat nikah)
secara resmi.
Evi Hanifah, yang berjudul “Pengetahuan dan sikap Masyarakat
Terhadap Poligami dan Dampaknya Bagi Keluarga (studi pada masyarakat
kelurahan bukit duri kecamatan tebet kota madya Jakarta Selatan).”Pengadilan
Agama, 2008.
Skripsi yang berjudul Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap
Poligami dan Dampaknya Bagi keluarga, memaparkan tentang minimnya
pengetahuan masyarakat tentang poligami khususnya masyarakat Bukit Duri.
Sehingga membawa dampak yang negatif terhadap keluarga ketika poligami itu
dilakukan. Kekurangan skripsi ini dalam memaparkan sisi negatif serta
positifnya poligami bagi pelaku poligami itu sendiri serta orang-orang yang
disekitarnya. Kelebihanya pada latar belakang yang benar-benar memberikan
gambaran masyarakat kelurahan Bukit Duri.
Kedua skripsi tersebut menjalaskan, nikah sirri dalam hukum Islam dan
hukum positif dan mengetahui pengetahuan dari para pelaku poligami di dalam
berkeluarga serta melihat perkembangan sikap dan dampaknya bagi keluarga.
Dengan demikian perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian
sebelumnya yaitu: penelitian ini membahas bagaimana praktek pembagian

8

waris para pelakuperkawinan poligami tidak tercatat (sirri)

di Kelurahan

Cipete Selatan).
E.

Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun untuk
menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.5 Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan
optimal maka penyusun menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian lapangan
(field research) artinya penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung
ke daerah obyek penelitian untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan
pembahasan yang akan dibahas. Dalam hal ini untuk mengetahui secara pasti
bagaimana pembagian hak waris

masyarakat Betawi Cipete Selatan yang

berpoligami tidak tercatat.
Adapun sifat penelitian itu yang digunakan adalah “deskriptif
analitis”yaitu mengolah dan mendiskripsikan penelitian yang dikaji dalam
tampilan data yang lebih bermakna dan lebih dapat dipahami sekaligus
menganalisis data tersebut.6 Yakni menganalisa bagaimana cara pembagian hak

5

Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, cet-1 (Jakarta: Permata Puti Media. 2012).

h. 3
6

Nana sujatna, Tuntunan Penelitian Karya ilmiah, Makalah-Skripsi-Tensis-Disertasi.
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999), h. 77

9

waris pada masyarakatBetawi di Kelurahan Cipete Selatan Kecamatan
Cilandak.

2. Kriteria dan Sumber Data
a. Data primer yaitu data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan
wawancara penyusun terhadap responden para pelaku poligami tidak tercatat
atau ahli warisnya.
b. Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka yang
menunjang data primer, dalam hal ini data sekunder diperoleh dari bukubuku hukum, majalah, artikel, internet yang berhubungan dengan masalah
penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapat data-data yang terkait dengan tema penelitian ini maka
penyusun menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat. Mencatat
fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek
dalam fenomena tersebut. Observasi berarti pengamatan bertujuan untuk
mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau
sebagai alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan
yang diperoleh sebelumnya.7 Dalam kaitan ini, penyusun melakukan
7

Lin Tri Rahayu, Tristiadi Ardini, Observasi dan Wawancara, Ed-1, Cet-1. (Malang: Bayu
Media Publishing, 2004), h. 1

10

pendataan pelaku perkawinan poligami tidak tercatat secara langsung ke
lokasi penelitian. guna mendapatkan data yang diperlukan, antara lain:
jumlah yang melakukan perkawinan poligami tidak tercatat, jumlah praktek
pembagian waris yang dilakukan pada keluarga pelaku perkawinan poligami
tidak tercatat.
b. Wawancara
Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan
bertanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dengan berlandaskan
kepada tujuan penyidikan.8 Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data
yang diperlukan penyusun yang berupa data yang tidak tertulis. Yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah para pelaku poligami dan ahli warisnya
dalam hal ini para istri dan anak-anaknya. Dengan teknik wawancara yang
dilakukan ini, diharapkan dapat memperoleh data-data yang berkaitan dengan
pembagian hak waris dalam perkawinan poligami tidak tercatat.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan mencari konsepkonsep, teori-teori, pendapat atau penemuan yang relevan terkait yang hendak
diangkat oleh penyusun terhadap pokok masalah yang akan dibahas dalam
skripsi ini. Kepustakaan tersebut berupa buku-buku, karya ilmiahpara sarjana,
laporan lembaga, sumber-sumber lainnya.

8

Lin Tri Rahayu, Trisdiiani Ardi Ardini, observasi dan Wawancara,h. 63

11

4. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul dan mengidentifikasikan semua data baik
data primer atau data sekunder, penulis mulai mengolah data yang ada dimana
semua data terkumpul dianalisis dan menghasilkan pemaparan serta gambaran
yang bersifat pengamatan awal hingga akhir.
5. Metode Penulisan
Sedangkan dalam teknik penulisan, penulis berpandukan pada buku
pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.

F.

Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab dengan beberapa sub bab.
Agar sesuai dengan arahan maka penulis menggambarkan sebagai berikut
skema penulisan lengkapnya :
Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar
belakang permasalahan, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu, dan
sistematika penulisan.
Bab II adalah landasan teori yang memuat tentang Perkawinan Poligami
Tidak Tercatat dan Akibatnya, yang terdiri dari sub bab: Pengertian

12

Poligami,Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami, Akibat Hukum Perkawinan
Poligami Tidak Tercatat
Bab III membahas tentang Pembagian waris menurut Hukum Islam, yang
terdiri dari sub bab: Dasar Hukum Pembagian waris, Ahli waris, Pembagian
Waris Sesuai dengan Ketentuan (Furudh), Pembagian Waris dalam Perkawinan
poligami
Bab IV membahas tentang Praktek Pembagian waris para pelaku
Poligami Tidak Tercatat di Keluraham Cipete Selatan dan Analisa. Pada bab ini
dibagi dalam beberapa sub bab, yaitu: sekilat tentang geografis kelurahan
Cipete Selatan, Jumlah Kepala Keluarga yang melakukan poligami tidak
tercatat, Praktek pembagian Waris Perkawinan Poligami tidak tercatat, dan
analisa Penulis
Bab V merupakan bab penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulankesimpulan akhir yang didapat dari hasil penelitian dan saran.

BAB II
PERKAWINAN POLIGAMI TIDAK TERCATAT DAN AKIBATNYA

A.

Pengertian Poligami
Poligami

berasal

dari

bahasa

Yunani.

Kata

ini

merupakan

penggalan dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak,
dan

kata

digabungkan

“gamein”
akan

yang

berarti

artinya
suatu

kawin

perkawinan

atau

perkawinan.

yang

banyak.

Jika
Kalau

dipahami dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang
tidak

terbatas.Ada

istilah

lain

yang

maknanya

mendekati

makna

poligami yaitu “poligini” kata ini berasal dari “poli”atau “poli” atau
“polus” artinya “gini” atau “gene” artinya istri, jadi poligami artinya
beristri banyak. Dalam bahasa arab, disebut ta’adud az-zaujat.1
Dari uraian di atas dapat disimpulkan poligami atau poligini
adalah suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih
dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.2

1

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007, cet Petama), h. 680
2

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Intermedia 2012), h. 139

13

14

Kata-kata “poligami” terdiri dari kata”poli” dan “gami” secara
etimologi, poli artinya “banyak‟, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu
artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang
laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki
beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.
Berkaitan
sebagaimana

dengan
yang

masalah

dikutip

oleh

ini,

Rasyid

Ridha

mengatakan,

Abdul

Rahman

Ghozali,

sebagai

lebih

banyak

membawa

resiko/

berikut:
Islam

memandang

poligami

madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya
nature)

(human
mengeluh.

mempunyai

Watak-watak

watak

tersebut

akan

cemburu,
mudah

iri

hati,

timbul

dan

suka

dengan

kadar

tinggi, jika hidup dalam kehidupan yang poligamis3. Poligami ialah
mengawini

beberapa

lawan

jenis

di

waktu

yang

bersamaan.

Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami. Poligami sama
dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waktu
yang
Tahido

sama.

Menurut

Yanggo,

Sidi

Ghazalba

poligamiialah

yang

perkawinan

dikutip
antara

oleh

Huzaemah

seseorang laki-laki

dengan perempuanlebih dari seorang. 4
3

4

h.201

Abbdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010)

15

Poligami dalam bahasa Arab disebut dengan “ta’diiduz zaujat’
(berbilangnya

pasangan),

atau

dalam

istilah

fiqih

menyebutkan

“ta’adduduz zaujat’ (seorang laki-laki beristri lebih dari seorang).5
Pengertian
adalah

sistem

poligami

menurut

perkawinan

yang

Kamus
salah

Besar

satu

Bahasa

pihak

Indonesia

memiliki

atau

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.6
Para

ahli

membedakan

istilah

bagi

seorang

laki-laki

yang

mempunyai lebih dari seorang isteri dengan istilah poligini yang berasal
dari dari kata “polus” berarti banyak dan “gune” berarti perempuan.
Sedangkan bagi seorang isteri yang mempunyai lebih dari seorang
suami disebut poliandri yang berasal dari kata “polus” yang berarti
banyak dan “andros” berarti laki-laki.7
Poligami dalam kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai perkawinan
antara

seorang

dengan

dua

orang

atau

lebih.

(namun

cendrung

diartikan: perkawianan seorang suami dengan dua isteri atau lebih.8

5

6

A. Abdul Mujib, Mabrur Thalhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) h.352
KBBI, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

7

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nkah lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010),h.352.
8

Hendro Darmawan, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap dengan EYD dan pembentukan
Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Bintang Cermelang, 2010),h.43.

16

1. Dasar Hukum Poligami
Dasar hukum diperbolehkannya poligami menurut hukum Islam
adalah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 :

            

               

 
Artinya: “Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku
(hak-hak) perempuan yatim (bilaman kamu mengawininya),
kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
kamumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
berbuat aniaya.9”

adil
maka
tiga,
adil,
yang
tidak

Allah SWT memperbolehkan berpoligami sampai 4 orang istri
dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani
istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan segala hal yang
bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja
(monogami). Hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT sebagimana
di atas.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: yayasan penyelenggara
penerjemah Al-Qur‟an), 1984, h.115.
9

17

2. Hukum Berpoligami
Sebagaimana
bentuk

hukum,

hukum
maka

perkawinan
begitu

juga

yang

bisa

dengan

memiliki

poligami,

banyak

hukumnya

ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya
tetapi menyangkut kondisi dan perasaan orang lain. Dalam hal ini bisa
saja istrinya dan keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak
bisa dimentahkan begitu saja. Oleh karna itu, hukum poligami adalah
sebagai berikut:
a.

Menjadi wajib apabila kebutuhannya sangat mendesak, misalnya
dalam kondisi si suami mempunyai dorongan seks yang luar biasa,
kalau

tidak

poligami,

ia

pasti

akan

dapat

terjerumus

pada

perzinahan, si suami juga potensial untuk mempunyai keturunan.
dari sisi lain, si suami memang sholeh, bisa berbuat adil kepada
istri-istrinya,

dari

aspek

materi,

si

suami

berkecukupan

bisa

menafkahi lebih dari dua keluarga.
Dari sisi istri pertama, si istri sakit keras yang tidak dapat
melayani suami dan mandul pula, si istri tidak mau diceraikan oleh
suami, dan tidak keberatan untuk di poligami oleh suaminya, dan hal itu
ditunjukkan dengan pernyataan persetujuannya di pengadilan, dan calon
istri kedua juga mengatahui keberadaannya bahwa ia akan dijadikan

18

istri kedua oleh calon suaminya, dan sudah mendapatkan persetujuan
dari istri pertama, serta persetujuan untuk dijadikan istri kedua juga
dideklarasikan di depan pengadilan, dan lain-lain.
b.

Menjadi

sunnah,

misalnya

apabila

dalam

kondisi

suami

mempunyai dorongan seks yang luar bisa, kalau tidak poligami, ia
memungkinkan dapat terjerumus pada perzinahan, si suami juga
potensial untuk mempunyai keturunan. dari sisi lain, si suami
memang sholeh, bisa berbuat adil kepada istri-istrinya, dari aspek
materi, si suami berkecukupan bisa menafkahi lebih dari dua
keluarga.
Dari sisi istri pertama, si istri sakit keras yang tidak dapat
melayani suami dan mandul pula, si istri tidak mau diceraikan oleh
suami, dan tidak keberatan untuk di poligami oleh suaminya, dan hal itu
ditunjukkan dengan pernyataan persetujuannya di pengadilan, dan calon
istri kedua juga mengatahui keberadaannya bahwa ia akan dijadikan
istri kedua oleh calon suaminya, dan sudah mendapatkan persetujuan
dari istri pertama, serta persetujuan untuk dijadikan istri kedua juga
dideklarasikan di depan pengadilan.
Terlepas dari kondisi di atas, akhir-akhir ini sering terdengar
ungkapan

beberapa

kelompok

masyarakat

yang

menyatakan

bahwa

poligami itu sunnah, poligami membawa berkah, poligami itu indah.

19

Bagi

penulis,

ungkapan

itu

sebagai

pembenaran

terhadap

poligami.

Namun berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari
pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena
pada

kenyataannya,

sebagaimana

ditegaskan

dalam

Al-Qur;an

[Al-

Nisa: 129] berlaku adil itu sulit dilakukan.
c.

Menjadi mubah, apabila dalam sebuah pasangan suami istri, si
suami

memiliki

keinginan

kuat

untuk

melakukan

poligami,

materinya juga mampu untuk membiayai dua keluarga, si istri
pertama dan calon istri kedua tidak keberatan. Serta perkawinan
kedua berdasarkan persetujuan/kesepakatan tiga pihak, serta sudah
mendapatkan izin dari pengadilan.
d.

Menjadi makruh, apabila dalam sebuah pasangan suami istri, si
suami

memiliki

keinginan

kuat

untuk

melakukan

poligami,

materinya juga mampu untuk membiayai dua keluarga, si istri
pertama dan calon istri kedua tidak keberatan. Serta perkawinan
kedua berdasarkan persetujuan/kesepakatan tiga pihak, serta sudah
mendapatkan

izin

dari

pengadilan.

Namun,

si

suami

merasa

khawatir untuk tidak berlaku adil pada istri-istrinya. Atau si suami
khawatir ia lebih mencintai istri keduanya dari ketimbang istri
pertamanya.

20

e.

Menjadi

haram

apabila

ternyata

sisuami

ketika

melakukan

poligami hanya berorientasi pada pelampiasan syahwat belaka dan
tidak memperhatikan kondisi dan kemampuan materi dan mental.
Ia tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil kepada istriistrinya. Ketika seorang suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa
memenuhi

hak-hak

istri,

apalagi

sampai

menyakiti

dan

mencelakakannya, maka poligami hukumnya haram.10
3. Hukum Nikah
Syariat

nikah

berupa

anjuran

dan

beberapa

keutamaannya

merupakan realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada
satu sisi adalah sunnah yang dilakukan para nabi dan rasul dalam upaya
penyebaran dan penyapaian risalah illahiyah. Nikah pada sisi yang lain,
berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak
terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya
keberadaan status sosial seseorang.
Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi
generasi hadapan agar mereka berkaca dan menteladani hal-hal yang
baik
berarti

dan menjauhi
diambil

hal-hal

kesimpulan

yang buruk. Meskipun demikian, tidak
bahwa

menikah

menjadi

sesuatu

yang

mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi pendukungnya.
10

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islama dalam Hukum
Nasional. h. 149

21

Untuk mengetahui kedudukan nikah dilihat dari sundut pandang
hukum perlu dikemukakan beberapa hukum nikah.
Terhadap persoalan seputar hukum nikah, ulama fiqih (fuqaha)
berbeda

pendapat

dalam

menentukan

kedudukan

hukumnya.

Secara

umum ada pendapat tentang hukum nikah seperti sunnah menurut
kelompok

jumhur

dan

wajib

menurut

golongan

Zahiriyah.kelompok

pengikut madhab Malik yang belakangan memerinci kedudukan hukum
nikah berdasarkan kondisi, yaitu hukum wajib untuk sebagian orang
dan sunnah untuk sebagian yang lainnya dan dapat juga berhukum
mubah bahkan haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai
kemampuan

menghindarkan

diri

dari

perbuatan

tercela.

Berikutini

beberapa rincian hukum nikah:11
Pertama

:

sunnah.

Jumhur

berpendapat

bahwa

hukum

nikah

adalah sunnah bagi mereka yang khawatir dirinya yang terjerumus ke
perbuatan zina. Dasar pemikiran Jumhur adalah Firman Allah dalam
surat An-Nisa (4) ayat 3 :


Di dalam ayat

tersebut

menberi penjelasan bahwa pernikahan

hendaknya didasarkan selera yang dimiliki sang pelaku. Apabila yang

11

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab,
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 7

22

bersangkutan

tidak

berselera

untuk

melakukannya,

maka

tidak

ada

ikatan yang memaksa dan tidak pula berdosa. Kelanjutan ayat berbunyi:

  
Ayat ini ada yang mengomentari bahwa sitiran ayat mengandung
hukum sunnah, akan tetapi ada penjelasan bahwa hukum „Nadb‟ di sini
bukan hukum asal dari nikah, ayat tersebut ditujukan pada hukum
poligami.

Al-Istitaabahatau

kehendak

yang memunculkan

selera

rasa

senang terhadap wanita tertentu dalam ayat di atas berimplikasi hukum
nadb.
Selain

ayat,

seperti

disebutkan

jumhur

menegaskan

hukum

sunnah bagi suatu pernikahan berdasarkan dua pertimbangan:12
1. Bagi yang tidak khawatir terjebak dalam perbuatan zinah tanpa
nikah
2. Dan tidak khawatir berbuat zalim atas istrinya apabila ia menikah,
sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Wahai para pemuda, bagi kalian yang telah mampu
menikah, maka hendaklah ia menikah, karena dengan menikah
akan dapat lebih menjaga pandangannya dan dapat lebih
memlihara kemaluannya. Dan bilamana ia belum mampu untuk
menikah, maka hendaklah ia berpuasa sebab dengan puasa dapat
menjadi kendali syahwat.”
12

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab,
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 8

23

“..kaliankah
yang
mengatakan:ingin
sholat
malam
seterusnya, akan berpuasa sepanjang tahundan akan menjauhi
wanita (tidak menikah), adapun aku demi Allah!sesungguhnya
adalah orang yang paling takut akan Allah dan paling bertaqwa
diantara kalian, sungguhpun demikian, aku tetep berpuasa dan
berbuka, melaksanakan sholat dan tidur, sertra menikah. Maka,
bagi yang tidak menyukai sunnahku bukanlah dari golonganku.”
Subtansi dua hadist di atas, secara real dilakukan nabi SAW,
beliau menikah dan melanggengkannya. Demikian pula para sahabat
mengikuti

jejak

Nabi

SAW

dengan

melakukan

pernikahan

dan

mendawamkan (melenggengkan), dan kebiasaan itu diikuti mayoritas
kaum muslimin. Napak tilas atau penteladanan atas pekerjaan yang
dilakukan Nabi SAW menunnjukkan bahwa nikah menempati posisi
hukum sunnah.
Kedua : wajib. Diantara fuqaha yang berpendapat bahwa hukum
nikah wajib adalah kelompok Abu Daud al-Zahiriy, Ibnu Hazm melalui
riwayat Ahmad, Abu Awanah al-Isfaraini dari golongan al-syafi‟i dan
pendapat

ini

termasuk

pandangan

kelompok

ulama

salaf.

Dasar

pemikiran mereka ayat-ayat tentang seruan atau ajakan menikah antara
lain :
“dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian,
dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan juga perempuan. jika mereka miskin, allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas
(pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S ;24 :32)

24

Struktur

kata

ayat

di

atas,

menunjukkan

perintah

yang

berimplikasi bentuk wajib. Sehingga, kedudukan hukum nikah adalah
wajib.
Ketiga : haram. Hukum nikah bagi seseorang tertentu menjadi
haram manakala si lelaki yang akan melaksanakan pernikahan itu tidak
memiliki
istri,

kemampuan

dan

tidak

melakukan

memiliki

aktifitas

kemampuan

biologis

menjamin

hubungan

suami

pembelanjaan

atas

istrinya. Menilik literal nikah, makna yang langsung dapat dipahami
adalah

persetubuhan

halal

antara

seorang

laki-laki

dan

perempuan

dalam sebuah ikatan keluarga suami istri berdasarkan syariat.
4. Makna Ayat Poligami
Adapun sababun nuzul dari ayat 3 surat an-Nisa tentang poligami
diatas,

sebagaimanaBukhari

dan

Muslim

meriwayatkan

dari

Urwah

ibnu zubair, bahwa beliau bertanya tentang ayat ini, yang oleh aisyah
dijawab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang lelaki
yang suatu ketika menguasai anak yatim, kemudian dinikahinya. Ia
mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim
yang menjadi tanggungannya itu. Karena itu, di dalam pernikahan ia

25

tidak memberi apa-apa dan menguasai harta perserikatan itu, hingga
wanita itu tidak mempunyai kuasa apapun.13
Maksud

Qs.

ayat

(4)

an-nisa’

:

3yaitu

bahwa

Allah

menghadapkan titah-Nya kepada para pengasuh anak-anak perempuan
yatim, bahwa bila anak perempuan yatim itu berada di bawah asuhan
dan kekuasaan salah seorang diantara kamu dan kamu takut tidak
memberikan

kepadanya

mas

kawin

yang

sama

besarnya

dengan

perempuan lain, maka hendaklah kamu pilih perempuan lain saja, sebab
perempuan lain ini banyak dan Allah tidak akan mempersulit, bahkan
dihalalkan bagi seorang laki-laki kawin sampai empat orang istri. Jika
takut

akan

berbuat

perempuan, maka

aniaya

wajiblah ia

apabila

menikah

cukupkan

lebih

dari

seorang

dengan seorang saja

atau

mengambil budak perempuan yang ada dibawah kekuasaannya.14
Para

fuqaha

pun

bersepakat

bahwa

sudah

menjadi

kewajiban

seorang lelaki yang berpoligami untuk bisa berlaku adil. Seiring dengan
itu, para ulama Hanafi berpendapat bahwa perilaku adil merupakan
salah satu hak isteri dan menjadi kewajiban bagi suami. Mereka pun
berpendapat bahwa di saat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak
isteri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun
Hatta,Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabul Nuzul dan Terjemah,
Maghfirah Pustaka, h.77
13

14

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (terj) Muh. Thalib, (Bandung: al-Ma‟rif, 1974), h. 149.

26

diharap bisa memberi peringatan padanya dan juga menghukumnya atas
ketidakadilannya tersebut.15
Adapun

dasar

hukum

tentang

dituntutnya

untuk

berlaku

adil

dalam poligami terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129 :

             
          
 
Artinya:“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat di atas sebenarnya dengan jelas menunjukkan bahwa asas
perkawinan dalam Islam adalah monogami. Namun demikian, Islam
tidak

menutup

rapat-rapat

pintu

kemungkinan

untuk

berpoligami,

sepanjang persyaratan keadilan diantara istri dapat dipenuhi dengan
baik.16
Syarat adil menurut Imam Syafi‟i dan ulama-ulama Syafi‟iyyah
serta orang-orang yang setuju dengannya, syarat adil adalah syarat
dalam bentuk zhahiratau material saja dan bukan masalah cinta, bahkan
15

Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006,

16

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perseda, 2003),h.170

h.324

27

ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya
adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.17

B.

Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami
1. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh
Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, diIndonesia
dengan Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai
berikut18:

1.
2.

3.

Pasal 56 mengatur tentang izin poligami sebagai berikut.
Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama
Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975.
Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.

Pasal 57 mengatur tentang persyaratan boleh berpoligami.
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seseorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

127

17

Hk Auryato, Makna Keadilan dalam Poligami, (Jakarta: Balai Pustaka cet.I, 1971), h. 83

18

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademik Pressindo, 2010), h. 126–

28

Pasal

58

mengatur

persyaratan

dibolehkan

berpoligami

dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
1.

Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka
untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi
syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1
tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Dengan tidak mengurangi pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri
dapat diberikan secara tertulis atau lisan, tetapi sekalipun telah
ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan istri pada sidang Pengadlan Agama.
d. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri
atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena
sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Pasal 59
berpoligami.

tentang

persetujuan

istri

terhadap

suami

yang

ingi

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas
salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan terhadap penetapan ini istri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan poligami diatur
didalam pasal 40, 41, 43 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
Pasal 40 tentang permohonan suami yang ingin berpoligami.
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan.
Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

29

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi, ialah :
1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri;
2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan merupakan persetujuan
lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang
pengadilan;
Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan
hidup
istri-istri
dan
anak-anak,
dengan
memperlihatkan :
1. Surat
keterangan
mengenai
penghasilan
suami
yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
2. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;
4. Ada atau tidak adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan
pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 43 tentang pengesahan dari pengadilan untuk yang ingin
beristri lebih dari seorang.
Apabila pengadilan berpendapat, bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang , maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang.
Berdasarkan ketentuan Perundang-undangan tersebut diatas oleh
Menteri Agama RI mengeluarkan ketentuan-ketentuanpelaksanaanya
yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) No.
Tahun 1975. Ketententuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis
yang harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan
putusan/penetapan izin berpoligami, maupun oleh pejabat pencatat
nikah dalam menyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.19

19

Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berpekara di Peradilan Agama (Bandung:
CV. Armico. 1984). Cet 1. h.67

30

Pasal 8 ayat 2 mengatur mengenai surat izin.Bagi suami yang
hendak beristri lebih dari seorang, harus membawa surat izin dari
Pengadilan Agama.
Pasal 1 ayat 2 point (h) tentang penetapan yang berupa izin.izin
beristri lebih dari seorang dari Pengadilan Agama ialah penetapan yang
berupa izin beristri lebih dari seorang.
Pasal 14 ayat 1 mengatur permohonan secara tertulis.Apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasanya
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain yang
diperlukan; (Permenag No. 3/1975 pasal 14 (1)).
Yang dimaksud oleh Permenag pasal 1 ayat 1 di atas adalah atau
syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 Undangundang Perkawinan, sebagaimana pula dalam PP pasal 41.
Selanjutnya Permenag No. 3 tahun 1975 tadi menentukan:
Pasal
darurat.

15

ayat

4

mengenai

izin

berpoligami

dalam

keadaan

apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang kapada pemohon yang bersangkutan..20
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat
dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkaan keturunan bagi suami yang subur dan istri
mandul.
b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun
istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istrinya, atau ia
mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
20

Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975

31

c. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina
dan krisis akhlak lainnya.
d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal
di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari
kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
1. Hikmah poligami
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari
seorang,

bahkan

me