Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU
PERKAWINAN TIDAK TERCATAT
(Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)
SKRIPSI Diajukan Oleh :
M. Ridwan Nasution
070901033
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan di hadapan panitia penguji Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh : Nama : M. Ridwan Nasution
NIM : 070901033
Judul : Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)
Hari/Tanggal : Pukul :
TIM PENGUJI
Ketua Penguji : ( )
Penguji Utama : ( )
(3)
ABSTRAK
Masyarakat sebagai sebuah kelompok memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.Pela ku pernikahan siri dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat (kelas sosial), usia, status sosial dan sebagainya. Masyarakat juga membedakan perni kahan siri kedalam dua kategori menurut caranya. Pertama adalah pernikahan siri yang hanya tanpa melalui pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugas kan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. Objek pada penelitian ini adalah orientasi dan status sosial perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat atau siri.
Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Sumatera Utara. Teknik pengumpul an data dilakukan dengan observasi, wawancara secara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah perempuan atau istri yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan datadata yang didapat dari hasil observasi, waw ancara.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa perempuan melakukan perkawinan tidak tercatat merupakan tindakan rasional yang berlandaskan faktor ekonomi, karena dilakukan atau berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan orientasi yang terbaik pada situasi yang dihadapi oleh perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat. Perilaku nikah di bawah tangan memang dapat dikategorikan sebagai tindakan rasional, baik dalam pengertian tradisional maupun afektif. Ia dapat dikatakan sebagai tindakan yang sah secara adat dan agama karena tidak melanggar norma-norma asusila pada masyarakat meski negara tidak mensahkan atau merupakan tindakan yang menyalahi aturan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Mereka melakukannya atas pertimbangan ekonomi yang kurang mampu yang dilakukan secara sadar dan disertai pertimbangan. Tindakan tersebut merupakan tindakan afektif, karena tindakan itu didominasi oleh perasaan atau emosi refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar karena
(4)
merupakan kebutuhan-kebutuhan sosial yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai layaknya manusia sebagai mahkluk sosial.
(5)
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat” (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Provinsi Sumatera Utara), disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Syahrum Nasution dan Ibunda Ima Herlina yang telah merawat, membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
(6)
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Pembimbing Akademik, dan dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.
3. Drs. T. Ilham Saladin, M.Sp., selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.
5. Paling teristimewa penulis ucapkan terima kasih bahkan tak terucap rasa bangga penulis kepada keluarga besar penulis, Ayahanda & Ibunda tercinta, Bang Ridho, dan kedua adik kesayanganku Ririn & Nurul yang telah bersabar, memberi support penulis dengan mencurahkan kasih sayangnya yang tidak terbatas, selalu memberikan doa’ dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada penulis.
6. Secara khusus dan istimewa penulis ucapkan terima kasih kepada Almarhum Bapak Surianto dan Ibu Rohana yang sudah seperti orang tua kandung penulis.
7. Kepada sahabat-sahabatku yang telah turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini terutama Dino, Royan, Aspipin, Emby, Adrian, Hadi, Neko dan sahabat-sahabatku Thakashi, Indra, Angga, Adit, Irol dan teman-teman
(7)
Sosiologi angkatan 2007 yang tidak dapat sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Kepada Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan pihak yang membutuhkan, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak.
Medan, 24 April 2014 (Penulis)
M. Ridwan Nasution NIM. 070901033
(8)
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8
1.4.2 Manfaat Praktis ... 9
1.5 Definisi Konsep ... 9
BAB. II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif ………... 12
2.2 Konsep Gender ... 13
2.3 Gender dan Perempuan ... 15
2.4 Syarat-Syarat Sah Perkawinan …... 16 2.5 Kedudukan Suami-Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan 20
(9)
2.6 Perempuan, Agama dan Perkawinan ... 21
2.7 Posisi Sosial Perempuan Dalam Keluarga ... 24
2.8 Konsep Nikah Siri ………... 25
2.9 Faktor-Faktor Penyebab Nikah Siri ………... 27
2.10 Nikah Siri Dalam Rancangan Undang-Undang ….……… 29
BAB. III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ………... 31
3.2 Lokasi Penelitian ………. ... 31
3.3 Unit Analisis dan Informan ………... 32
3.3.1 Unit Analisis ...……….…………... 32
3.3.2 Informan ... 33
3.4 Teknik Pengumpulan Data …..……….……… 33
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer ...… 34
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder ….…....….. 35
3.5 Jadwal Penelitian ……..……….…...……... 37
BAB. IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan ... 38
(10)
4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk ... 39
4.2.2 Komposisi Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga ... 40
4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41
4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ... 42
4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang dianut ... 43
4.2.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 44
4.2.7 Komposisi Pasangan Usia Subur (PUS) Ber-KB ... 46
4.3 Sejarah Perkawinan Tidak Tercatat di Indonesia ... 47
4.4 Tata Cara Perkawinan Siri ... 49
4.5 Prosedur Pengesahan Pernikahan Siri ... 53
4.5.1 Pengajuan Istbat Nikah (Pengesahan Nikah ... 53
4.5.2 Pernikahan Ulang ... 54
4.6 Profil Informan ... 56
4.6.1 Informan Kunci ... 56
4.6.2 Informan Biasa ... 59
4.7 Hasil Interpretasi Data ... 62
(11)
4.7.2 Status Sosial Pada Perempuan Pelaku
Perkawinan Tidak Tercatat ... 66
BAB. V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 72 5.2 Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
ABSTRAK
Masyarakat sebagai sebuah kelompok memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.Pela ku pernikahan siri dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat (kelas sosial), usia, status sosial dan sebagainya. Masyarakat juga membedakan perni kahan siri kedalam dua kategori menurut caranya. Pertama adalah pernikahan siri yang hanya tanpa melalui pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugas kan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. Objek pada penelitian ini adalah orientasi dan status sosial perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat atau siri.
Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Sumatera Utara. Teknik pengumpul an data dilakukan dengan observasi, wawancara secara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah perempuan atau istri yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan datadata yang didapat dari hasil observasi, waw ancara.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa perempuan melakukan perkawinan tidak tercatat merupakan tindakan rasional yang berlandaskan faktor ekonomi, karena dilakukan atau berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan orientasi yang terbaik pada situasi yang dihadapi oleh perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat. Perilaku nikah di bawah tangan memang dapat dikategorikan sebagai tindakan rasional, baik dalam pengertian tradisional maupun afektif. Ia dapat dikatakan sebagai tindakan yang sah secara adat dan agama karena tidak melanggar norma-norma asusila pada masyarakat meski negara tidak mensahkan atau merupakan tindakan yang menyalahi aturan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Mereka melakukannya atas pertimbangan ekonomi yang kurang mampu yang dilakukan secara sadar dan disertai pertimbangan. Tindakan tersebut merupakan tindakan afektif, karena tindakan itu didominasi oleh perasaan atau emosi refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar karena
(13)
merupakan kebutuhan-kebutuhan sosial yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai layaknya manusia sebagai mahkluk sosial.
(14)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelom yang membentuk sebua besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur, memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama.
Masyarakat seri pencaharian. Pakar masyarakat pastoral nomadis, masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat menganggap masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural ki/Masyarakat diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2013 pukul 14.15 WIB)
(15)
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapatchiefdom, dan masyarakat
society berasal dari bahasa
persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Sebagai sebuah kelompok, masyarakat memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat sebagai kelompok sosial memiliki aturan tertentu yang menjadi acuan dasar dari mekanisme pernikahan. Legalitas pernikahan merupakan salah satu masalah pokok dalam pernikahan.
Pada konsep masyarakat yang lebih kecil, semisal masyarakat adat, legalitas pernikahan ditentukan dengan tingkat pelaksanaan aturan lokal (adat) yang berlaku dan dianggap memiliki kekuatan hukum sebagai landasannya. Aturan tersebut dibuat sebagai landasan perjanjian yang mengikat kedua individu maupun dua institusi keluarga yang terlibat, dan menjaga kepentingan sosial, ekonomi, dan hukum antar individu dan keluarga yang terlibat dalam hubungan pernikahan.
Sedangkan pada konsep masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat negara, landasan dan aturan tentang pernikahan antar individu ditentukan melalui
(16)
undang-undang yang diatur oleh negara melalui bidang legislatif dan dilaksanakan sepenuhnya oleh bidang yudikatif dan eksekutif (pemerintahan sipil). Di Indonesia sendiri, lembaga pemerintahan yang diserahi wewenang mengurusi masalah pernikahan adalah Kantor Urusan Agama dan Dinas Catatan Sipil yang dibawahi langsung oleh Kementrian Agama dan Kementrian Dalam Negeri. (Mansour 2004:76)
Selain hukum adat, dan hukum negara, pernikahan juga diatur dalam hukum yang bersifat spiritual melalui hukum agama. Agama memegang peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap pernikahan. Ada persepsi dalam masyarakat bahwa aturan agama mengenai pernikahan jauh lebih ringan dari pada aturan pernikahan yang ditetapkan oleh hukum adat maupun hukum negara sekaligus lebih mapan dan lebih penting dari pada hukum adat. Pada Agama Islam contohnya, syarat seseorang untuk dapat melaksanakan pernikahan hanya membutuhkan kesiapan dari sisi materi, dan mental. hukum agama khususnya Agama Islam bahkan memperbolehkan seorang laki-laki untuk memperistri lebih dari satu dengan batasan empat orang perempuan dalam pernikahannya.
Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat (Solikah, 2011: 7). Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung
(17)
ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya. Pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya (Mansyur, 1994 : 19). Keluarga merupakan satu unit masyarakat terkecil, masyarakat keluarga yang akan menjelma menjadi suatu masyarakat besar sebagai tulang punggung negara.
(18)
Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan dalam dua jenis berdasarkan persepsi atas proses dan motif pelaksanaannya. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Legalitas pernikahan sendiri diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 oleh Pemerintahan Republik Indonesia yang hanya mengakui jenis pernikahan monogami. UU No 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa jaminan negara atas perkawinan yang dilakukan warga negaranya hanya diberikan kepada istri/suami sah satu-satunya yang dibuktikan dengan tercatat dalam catatan KUA dan Dinas Catatan Sipil, hal ini menjelaskan bahwa hukum Indonesia menempatkan pernikahan yang tidak tercatat pada Dinas Catatan Sipil merupakan bentuk dari deviasi sosial.
Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Pelaku pernikahan siri dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat (kelas sosial), usia, status sosial dan sebagainya (Basith, 2011: 2-3). Masyarakat juga membedakan pernikahan siri kedalam dua kategori menurut caranya. Pertama adalah pernikahan siri yang hanya tanpa melalui
(19)
pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugaskan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. (Khofi, 2006 : 216)
Pada masyarakat partriarki, posisi perempuan menyangkut jaminan sosial, dan ekonominya dalam sebuah kontrak sosial dari sebuah perkawinan sangat rentan. Masyarakat patriarkhi memberikan kuasa penuh atas aset sosial dan ekonomi keluarga pada suami/ laki-laki. Sistem pemberian uang mahar oleh pihak laki-laki kepada keluarga calon istri memperjelas wilayah dominasi laki-laki atas perempuan sampai batas kepemilikan privat. Hal ini menjelaskan subordinasi posisi perempuan dalam institusi keluarga, sehingga melahirkan asumsi bila posisi dan kepentingan perempuan dalam perkawinan harus dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan asumsi hukum negara, pernikahan siri yang sering berlandaskan pada hukum adat dan hukum agama pada praktiknya dianggap lebih menguntungkan bagi kepentingan laki-laki. Kasus-kasus pernikahan siri yang melibatkan publik figur seperti yang terjadi pada mantan Bupati Garut Aceng Fikri memberikan gambaran fenomena nikah siri yang diasumsikan memberatkan keterjaminan kepentingan perempuan. (http://www .tempo.co/read/news/2012/12/23/058449969/ diakses pada 19 November 2013).
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan resmi (pemerintah) dengan pernikahan siri. Pernikahan siri hanya sah dalam pandangan agama disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi,
(20)
tetapi belum diakui oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat. Sedangkan nikah secara resmi (legal pemerintah), selain diakui oleh pemerintah juga sah secara agama. Ada pun beberapa motif yang mendorong pernikahan siri diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi, dan agama. Pada faktor sosial terdapat problem poligami, undang-undang usia, tempat tinggal yang tidak menetap, mobilitas status sosial, dan menghindari anggapan zina.
Sedangkan untuk faktor ekonomi beberapa beranggapan bahwasannya nilai mahar menjadi suatu kebanggaan. Dimana calon pasangan suami istri yang hanya mampu dengan mahar yang relatif murah menempuh pernikahan siri karena khawatir nilai maharnya menjadi perbincangan oleh masyarakatnya. Untuk faktor agama sebagian orang menempuh jalan ini untuk mempermudah keinginan mereka tinggal bersama sebagai pasangan suami istri dengan kekasihnya. Faktor legalitas dalam agama dijadikan landasan untuk melakukan pernikahan siri. (http://wahidabdurahman.blogdetik.com/ diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2013 pukul 14.20 WIB)
Berangkaian dengan uraian yang telah dipaparkan diatas maka penulis mencoba mengangkat Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan tidak Tercatat di Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang. Dimana pada kawasan Kelurahan Tanjung Sari ini terdapat rumah sewa dan kost-kostan yang sebagian bebas dalam menerima penghuninya dan sebagian dari penghuni rumah sewa dan kost-kostan ini merupakan orang pendatang yang merupakan pencari kerja dari berbagai daerah di sekitar kota Medan dan mahasiswa yang berkuliah di
(21)
Universitas Santo Thomas dan diantara dari penghuni tersebut merupakan terdapat pasangan perkawinan tidak tercatat. Hal ini yang melatarbelakangi penulis dalam pemilihan lokasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang di jadikan sarana penelitian, yaitu:
1. Apa orientasi yang melandasi perempuan pelaku perkawinan tidak
tercatat di Kelurahan Tanjung Sari melakukan pernikahannya?
2. Apa status sosial bagi perempuan pada perkawinan tidak tercatat di
lingkungan masyarakatnya di Kelurahan Tanjung Sari?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui orientasi perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat
melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.
2. Untuk mengetahui dampak sosial bagi perempuan pelaku perkawinan
tidak tercatat di lingkungan sosialnya di Kelurahan Tanjung Sari.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran rinci kepada peneliti maupun juga pembaca mengenai Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan tidak Tercatat yang nantinya dapat menambah wawasan dalam
(22)
membahas dan menanggapi wacana perkawinan tidak tercatat dan mengenai isu gender khususnya perempuan dalam bentuk kajian sosiologis kedepannya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam bidang isu gender dan dapat menjadi tolak ukur penguasaan dan usaha meningkatkan kemampuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu secara teoritis dan metodologis yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan persyaratan bagi penyelesaian studi yang harus dipenuhi di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universtitas Sumatera Utara.
1.5 Definisi Konsep 1. Perempuan
Kata perempuan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan lafaz yang berbeda, antara lain mar`ah, imra`ah, nisa`, dan unsa. Kata mar`ah dan imra`ah jamaknya
nisa`. Ada yang mengatakan bahwa akar kata nisa` adalah nasiya yang artinya lupa disebabkaan lemahnya akal. Akan tetapi pengertian ini kurang tepat, karena tidak semua perempuan akalnya lemah dan mudah lupa. Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puka, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan dewasa. Dari sini dapat diketahui, bahwa perempuan adalah manusia yang
(23)
mempunyai puka tidak dibedakan umurnya. Pada penelitian ini adalah perempuan pelaku (istri/pasangan) yang melakukan perkawinan tidak tercatat.
2. Orientasi
Orientasi adalah peninjauan untuk menentukan sikap, arah, tempat dan sebagainya yang tepat dan benar atau pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.
3. Status Sosial
Status sosial adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.
4. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.
(24)
5. Perkawinan tidak tercatat
Perkawinan yang tidak mempunyai legalitas dalam undang-undang negara karena tidak melakukan prosedural perkawinan yang sah menurut pemerintah yakni tidak melakukan pelaporan dan pencatatan tentang adanya pernikahan yang terjadi sehingga tidak memiliki kekuatan hukum untuk melindungi hak-hak pelakunya (khususnya istri dan anak). Akan tetapi memiliki kesah-an secara hukum adat & agama.
6. Pernikahan Siri
Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.
7. Perkawinan Bawah Tangan
Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami dan/atau calon isteri, dan pada dasarnya secara agama dan adat perkawinan tersebut telah sah, akan tetapi secara hukum, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.
8. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan Perkawinan adalah suatu tindakan dari instansi yang diberikan tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian dalam buku register dan dilakukan menurut ketentuan yang berlaku.
(25)
9. Catatan Sipil
Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.
(26)
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para Sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Pandangan Parsons tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
(27)
tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma.
1. Pelaku atau aktor, aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.
2. Tujuan, tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
3. Situasi tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
4. Standar-standar normatif ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku. (Kamanto, 2004 : 65)
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
(28)
2.2 Konsep Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sahily, 1983: 256). Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Encylopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat (Ritzer, 2004:94). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini. Hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sehari-hari, dibentuk dan dirubah. Sedangkan gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, artinya bahwa bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan dipengaruhi oleh sosial, kepercayaan agama, dan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, gender dimaknai secara berbeda dalam budaya yang beragam.
Tidak jauh berbeda, seksualitas juga merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial. Sebagai hasilnya, maka seksualitas dialami dan diekspresikan setiap orang dengan cara yang beragam. Seksualitas tidak terbatas pada perilaku atau tindakan seksual, tapi memiliki dimensi yang luas yang berhubungan dengan identitas seseorang. Bagi sebagian orang seksualitas bisa berarti orientasi seksual, namun bagi
(29)
sebagian lainnya seksualitas bisa dimaknai sebagai kebebasan untuk mengekspresikan diri dan mengambil keputusan atas tubuh mereka. Keberagaman pengalaman dan isu yang berhubungan dengan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan.
Jadi, Gender dapat dimaknai sebagai pembedaan atara laki-laki dan perempuan secara nilai dan tingkah laku yang dibentuk oleh konstruksi sosial kemasyarakatan tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu.
2.3 Gender dan Perempuan
Perempuan secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Pembahasan tentang perempuan sebagai suatu kelompok memunculkan sejumlah kesulitan. Konsep “Posisi perempuan” dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana tentang “Posisi perempuan” yang universal, tetapi di sebagian besar masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan bersama (Triwijati 2010 : 1). Perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Ada perempuan kaya, ada perempuan miskin, dan latar belakang kelas kaum perempuan mungkin sama penting dengan jendernya dalam
(30)
menentukan posisi mereka di masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, latar belakang etnis seorang perempuan, bahkan mungkin lebih penting daripada kelas.
Istilah gender juga berguna, karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang dapat berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dan pendefinisian perilaku jender yang semestinya dilakukan olah masyarakat
2.4 Syarat-Syarat Sah Perkawinan
Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat dari sudut padang Hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah terpenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam agama Islam. Yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam (sebelum) perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. (http://ayonikah.net/prosedur-nikah diakses pada tanggal 2 Desember 2013 pukul 07.45 WIB).
(31)
Beberapa syarat sah sebelum dilangsungkannya perkawinan adalah.
a. Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang termaktub dalam ketentuan QS II ayat 221 (perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). (Moh. Idris Ramulyo, 2002 : 50)
b. Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islam akan berbeda menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.
c. Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh dipaksakan.
d. Adanya wali nikah (untuk calon pengatin perempuan) yang memenuhi syarat yaitu; laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat dan berlaku adil. (Mawardi, 1984 : 10)
e. Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa, dan adil.
f. Membayar Mahar (mas kawin) calon suami kepada calon isteri berdasar QS. An-Nisa ayat 25.
g. Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (kehendak dan penerimaan).
Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut:
a. Adanya pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan Pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Beberapa syarat itu diantara imam
(32)
madzhab berbeda pendapat baik madzhab syafi,i dan maliki, serta jumhur ulama. (Abd, Rahman Ghazaly, 2003: 47-48)
b. Adanya wali perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukum dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah.
c. Adanya dua orang saksi dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak antara suami dan isteri. Misalnya terjadi tuduhan atau kecurigaan orang lain terhadap keduanya maka degan mudah keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinannya.
d. Adanya sighat aqad nikah. Sighat aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau calon isteri. Sighat aqad nikah ini terdiri dari "ijab" dan "qobul". Ijab yaitu pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oelh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qobul yaitu pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon isterinya menjadi istrinya. selain rukun beserta syarat yang sudah diuraikan diatas, masih ada hal yang dianurkan dipenuhi sebagai kesempurnaan perkawinan, yaitu acara walimatul ursy (pesta perkawinan). Namun demikian acara walimahan ini sifatnya hanya anjuran.
(33)
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu dikeluarkan Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undan-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebukan: 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dan pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9/1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur tatacara perkawinan;
a. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
b. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pecatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Mempertegas UUP dan PP tersebut diatas, dalam berkaitan dengan itu diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan; Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan perkawinan untuk menjamin ketertiban dan dilakukan oleh PPN (Pasal 5 & 6), akta nikah dan itsbat nikah (Pasal 7). Rukun perkawinan adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan Ijab Kabul (Pasal 14 - Pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
(34)
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Pasal 30 - Pasal 38). Larangan Perkawinan karena beberapa sebab (Pasal 39-44). (Wasian, 2010 : 26)
Bila dicermati dari penjabaran HPI diatas lalu dibandingkan degan uraian menurut hukum Islam sebelumnya maka dijumpai adanya perbedaan dalam hal pencatatan perkawinan. Hukum perkawinan Islam tidak mengharuskan suatu perkawinan dicatat oleh lembaga negara sementara dalam Hukum Perkawinan Indonesia perkawinan harus dilakukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang biasanya dari Kantor Urusan Agama (KUA) tempat domisili calon pengantin akan melangsungkan perkawinan. Bila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (tindakan administratif).
2.5 Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan
Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami isteri dalam undang-undang perkawinan dapat ditemukan di Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan sosial. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 1-3). Suami isteri harus mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal 32). suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia memberi
(35)
bantuan lahir batin yang pada yang lain (Pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadialn (Pasal 34 ayat 1-3).
2.6 Perempuan, Agama, dan Perkawinan
Perkawinan adalah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan tersebut makhluk hidup dapat berkembang biak atau mengembangkan keturunannya sehingga dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya di alam. Perkawinan, bagi manusia, sebagaimana makhluk-makhluk hidup yang lain, adalah suatu cara yang dipilih sebagai jalan untuk beranak, berkembang biak untuk kelestarian hidupnya, setelahnya masing-masing pasangan melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Perkawinan dalam Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah kontrak antara pasangan anak manusia yang setara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Sehingga dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
(36)
Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan (suami dan istri). Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagai modal dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan istri (laki-laki dan perempuan).
Jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan suami mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskrimansi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan.
Hukum Islam berdasarkan gender dalam hukum keluarga (mencakup perkawinan) dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama laki-laki dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan satu laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Kedua seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-istrinya tanpa kewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap seseorang atau otorita. Sebaliknya perempuan, dapat bercerai hanya dengan kerelaan suami atau
(37)
dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri. (Zahroh, 2010 : 13)
Sehingga dari hukum tersebut tercipta asumsi relasi subyek obyek antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang tergambarkan sebagai berikut. Pertama laki- laki yang berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai pihak yang dinikahi. Mahar atau mas kawin, suatu unsur yang dalam aturan perkawinan mirip dengan pembayaran harga dalam perdagangan, diserahkan laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya. Kedua, keharusan agama atas perempuan untuk memenuhi permintaan suami, termasuk untuk hal-hal yang menurut agama sunnah dilaksanakan. Misalnya permintaan suami agar istrinya tidak lagi membiasakan puasa Senin Kamis. Terutama permintaan yang berkaitan dengan hasrat seksual, anjuran agama sangat kuat agar istri mengabulkannya. Dan adanya larangan perempuan (istri) untuk keluar rumah tanpa seijin laki-laki (suami).
Hak-hak perkawinan (Marital Right) merupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Akan tetapi jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut. (Apik, 2006 : 16)
(38)
Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwaacara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman disurat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telahdilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan pasangan suami/isteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguholeh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada familinya (keluarga-keluarganya). Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang sepantasnya mendapat perhatian besar.
(39)
2.7 Posisi Sosial Perempuan dalam Keluarga
Peran wanita adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan kepada wanita. Peran menerangkan pada apa yang harus dilakukan wanita dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain.
Posisi perempuan dalam keluarga ialah sebagai istri dan pendamping suami, mencakup sikap hidup yang mantap bisa mendampingi suami dalam situasi senang atau sedih disertai rasa kasih sayang, kecintaan dan loyalitas kesetiaan pada partner hidupnya juga mendorong suami untuk berkarir dengan cara-cara yang sehat (http://endahpurnasari.blogspot.com/2010/08/status-sosial-wanita.html diakses tanggal 17 November 2013). Disamping menjadi pendamping seorang suami, perempuan juga berperan sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Setelah melahirkan perempuan akan berperan sebagai ibu. Bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, dan menyenangkan serta penuh kasih sayang dalam mendidik akan menciptakan moralitas dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya.
Sebagai pengatur dan pengelola rumah tangga. Dalam hal ini terdapat relasi-relasi formal dan semacam pembagian kerja (devision of labour), dimana suami bertindak sebagai pencari nafkah, istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga tetapi tidak sedikit juga istri berperan sebagai pencari nafkah. Dalam pengurusan rumah tangga ini yang sangat penting ialah faktor kemampuan membagi waktu dan
(40)
tenaga untuk melakukan berbagai macam tugas pekerjaan dirumah tangga dari pagi sampai larut malam.
2.8 Konsep Nikah Siri
Nikah siri, biasa juga diistilahkan dengan Perkawinan siri, yang berasal dari kata Nikah dan siri. Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sering diartikan dalam 1. Nikah tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) karena
wali pihak perempuan mungkin tidak setuju; atau karena menganggap sahnya Nikah tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan syariat.
2. Nikah yang sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya.
(41)
3. Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
4. Nikah yang tidak adanya pencatatan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Istilah “Nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Nikah berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya kebalikan dari Nikah yang dilakukan menurut hukum dan perkawinan menurut hukum yang diatur dalam Undang-undang Nikah. (Chaeruddin, 2007 : 5)
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
(42)
2.9 Faktor-faktor yang menyebabkan Pernikahan Siri
Salah satu dari penyebab pernikahan siri adalah faktor kesadaran hukum, maksudnya adalah kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan peryataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk memcatatkan perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 2 UU No.1 tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, serta pola pikir yang dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Faktor agama, dengan mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama islam oleh masyarakat yang beragama islam. Sehingga beberapa orang yang beragama islam tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama islam, pencatatan nikah itu diharuskan karena pernikahan termasuk kegiatan muamalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian hutang piutang. Faktor ekonomi, faktor ini juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah siri tetapi tidak menjadi faktor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin. Maka mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak. (Khofi, 2006 : 8)
(43)
Dengan adanya faktor-faktor tersebut tindakan untuk melakukan nikah siri makin marak dijumpai, baik dari kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alasan lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan akibat melakukan praktek nikah siri mungkin mereka akan segan untuk melakukannya.
Karena akibat yang ditimbulkan nanti kedepannya akan merepotkan diri sendiri. Jika ada seorang perempuan yang kemudian diajak menikah siri oleh seorang laki-laki, yang ada dibenaknya hanyalah pemikiran tentang hal yang indah-indah saja tanpa ada pemikiran panjang akan akibat kedepannya. Jika mereka dikaruniai seorang anak, maka dengan otomatis status anak tersebut menjadi persoalan. Apakah dia menjadi anak sah atau tidak. Mengapa demikian, karena dalam hal ini anak tidak memsapatkan akta kelahiran mengingat kedua orangtuanya melakukan nikah siri yang sah secara agama tetapi belum sah dimata hukum karena tidak tercatat di KUA . Maka dengan begitu anaklah yang menjadi korban, status anak tidak diakui oleh Negara.
Apabila dikemudian hari pasangan suami isteri tersebut bercerai, maka cara bercerai mereka berbeda dengan pernikahan yang dilakukan secara sah dimata hukum atau yang dicatatatkan di KUA. Cara perceraian pernikahan siri adalah apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada isteri maka dengan begitu sudah sahlah perceraian mereka dan dengan adanya perceraian tersebut isteri tidah berhak
(44)
menuntut harta gono-gini atau apapun yang telah didapat selama perkawinan berlangsung. Karena dalam hal ini si isteri dianggap orang lain meskipun secara agama telah diakui sebagai isteri tetapi secara hukum tidak dapat dianggap sebagai isteri yang sah.
2.10 Nikah Siri dalam Rancangan Undang-Undang
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat. (http://lk2fhui.wordpress.com diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 11.15 WIB)
1. Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
2. Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang
(45)
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
(46)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek peneliti penelitian kualitatif juga diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari yang diamati (Lexi Moleong, 2006 : 6)
3.2 Lokasi Penelitian
Kelurahan Tanjung Sari berada di Kecamatan Medan Selayang, Kota Madya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Merupakan salah satu dari 6 kelurahan yang berada di bagian kecamatan Medan Selayang, Medan Sumatera Utara. Kelurahan ini memiliki luas kurang lebih 5,10 km2 atau 24,83% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Medan Selayang dan berada pada ketinggian 26-50 meter di atas permukaan laut.
Batas-batas wilayah Kelurahan Tanjung Sari :
Sebelah Timur berbatasan dengan : Kelurahan Padang Bulan I, Kelurahan Padang Bulan II, dan Kelurahan Beringin
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Sempakata dan Kecamatan Medan Tuntungan
Sebelah Barat berbatasan dengan : Kelurahan Asam Kumbang Sebelah Utara Berbatasan dengan : Kecamatan Medan Sunggal
(47)
Kelurahan Tanjung Sari merupakan salah satu pintu gerbang utama untuk memasuki kecamatan Medan Selayang begitu pula dengan akses kota Medan. Kelurahan Tanjung Sari juga merupakan poros tengah kekuatan sektor ekonomi untuk Kecamatan Medan Selayang. Wilayah Kelurahan Tanjung Sari yang turut dilintasi jalan lintas Sumatera kota Medan, banyak dihuni oleh warga pendatang dari wilayah Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, dan beragam suku lainnya. Sebagian dari warga pendatang merupakan mahasiswa yang berkuliah pada Universitas Santho Thomas, sedangkan sebagian lagi kebanyakan merupakan pencari kerja dari berbagai daerah di sekitar Kota Medan. Pada kelurahan ini banyak terdapat rumah sewa dan kost-kostan yang sebagian bebas dalam menerima penghuninya. Banyak diantara penghuninya merupakan pasangan dengan status hubungan yang tidak jelas. Hal ini melatarbelakangi pemilihan lokasi.
3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis
Salah satu cara atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut “Unit Of Analysis”. Hal ini dimungkinkan, karena setiap objek penelitian memiliki ciri dalam jumlah yang cukup luas seperti karakteristik individu tentunya meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial, dan tingkat penghasilan. Ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu: individu, kelompok, organisasi, sosial, artefak. Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Surharsimi Arikunto, 2006: 143)
(48)
Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah:
1. Subjek Penelitian : Perempuan (istri) dan Masyarakatnya yang berada di lingkaran keluarga perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.
2. Objek Penelitian : Orientasi dan status sosial yang dialami oleh perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.
3.3.2 Informan
Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh informan dengan menggunakan cara snowbolling sampling, hal ini dikarenakan peneliti tidak tahu siapa yang memahami informasi mengenai objek penelitian (Burhan Bungin, 2008: 77).
Menemukan informan menggunakan snowbolling sampling melalui langkah-langkah: (1) menemukan gatekeeper, yaitu orang pertama yang dapat menerima peneliti dan memberikan informasi awal mengenai objek penelitian. (2) meminta gatekeeper menunjukan informan lain yang lebih memahami mengenai objek penelitian. (3) terus menerus meminta informan menunjukan informan lain yang lebih memahami objek penelitian hingga data yang diperoleh jenuh (Burhan Bungin, 2008: 77)
Gatekeeper ditentukan dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu yang dirasa peneliti berhubungan dan dapat memberikan penjelasan awal mengenai objek penelitian. Gatekeeper dalam penelitian ini ditentukan dengan memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Informan Kunci : Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.
(49)
2. Informan Biasa : Masyarakat yang tinggal disekitar keluarga yang melakukan perkawinan tidak tercatat.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer
Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:
a. Metode Observasi
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian. Data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan data yang akan mendukung hasil wawancara.
Data yang diperoleh melalui observasi atau pengamatan yang akan dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti melakukan Beberapa pengamatan yang akan dilakukan peneliti ada yang berperan serta terbatas, maksudnya adalah peneliti tidak merahasiakan identitas diri, akan terlibat ringan dengan yang sedang dilakukan si informan pada saat pengamatan langsung, misalnya keseharian hidup informan berinteraksi dengan subjek dan objek yang berkaitan dengan penelitian, hal tersebut
(50)
adalah untuk membina hubungan yang lebih baik dengan informan. (Nawawi, 1989 : 45)
b. Metode Wawancara
Metode wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam merupakan proses tanya jawab secara langsung yang di tujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan wawancara. Wawancara mendalam yang dimaksudkan adalah percakapan yang sifatnya luwes, terbuka, dan tidak baku. Intinya adalah peneliti akan mengadakan pertemuan berulang kali secara langsung dengan informan, dengan harapan informan dapat mengungkap informasi atau data yang diharapkan dengan datanya sendiri. 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari berbagai buku-buku referensi, dokumen, foto-foto dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.
Bentuk pengumpulan data sekunder yang dilakukan adalah Penelitian Kepustakaan yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, tulisan, karangan ilmiah, laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian.
Beberapa komponen mungkin terdiri dari diskusi mengenai perencanaan untuk menganalisa data. Proses analisa data adalah memilih; tidak ada “right way” (jalan
(51)
yang benar). Metafora (Kiasan) dan Analogi sama tepatnya dengan pertanyaan terbuka-tertutup.
Analisis data mengharuskan peneliti merasa nyaman dengan kategori mengembangkan dan membuat perbandingan serta perbedaan. Analisis data juga mensyaratkan bahwa peneliti terbuka untuk kemungkinan dan melihat pertentangan atau penjelasan alternatif untuk penemuan juga kecendrungannya adalah untuk peneliti pemula untuk mengumpulkan lebih banyak informasi dari pada yang dapat mereka kelola atau kurangi menjadi analisis yang penuh makna. (Idrus, 2009 : 32)
1. Dalam analisa data kualitatif ada beberapa langkah yang dapat membantu pengembangan analisa data yaitu; (a) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (b) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu.
2. Berdasarkan tujuan-tujuan analisis data itu, maka ada tiga kelompok besar metode analisis data kualitatif, yaitu; (a) kelompok metode analisis teks dan bahasa; (b) kelompok analisis tema-tema budaya; dan (c) kelompok analisis kinerja dan pengalaman individual, serta perilaku intitusi.
(52)
3.5 Jadwal Penelitian
No. KEGIATAN BULAN KE
1 2 3 4 5 6 7
1 Pra- Observasi √
2 Pengajuan Judul √
3 ACC Judul √
4 Penyusunan Proposal Penelitian
√
5 Seminar Proposal √ 6 Revisi Proposal dan
Penguatan Referensi
√ 7 Persiapan Instrument
Penelitian
√ 8 Administrasi dan Pengurusan
Izin
√ 9 Operasi Penelitian:
Penelusuran Literatur Observasi
Wawancara Mendalam
√ √
10 Penyusunan Laporan Penelitian
Pengelompokan dan Analisis Data Konsep Laporan Perbaikan dan Penyempurnaan Laporan Penelitian √ √ √
(53)
BAB IV
TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA
4.1 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan
Kelurahan Tanjung Sari berada di Kecamatan Medan Selayang, Kota Madya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Merupakan salah satu dari 6 kelurahan yang berada di bagian Kecamatan Medan Selayang, Medan Sumatera Utara. Kelurahan ini memiliki luas kurang lebih 5,10 km2 atau 24,83% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Medan Selayang. Kelurahan Tanjung Sari dihuni oleh 33.063 penduduk dengan kepadatan penduduk 6.483 per km2 dan berada pada ketinggian 26-50 meter di atas permukaan laut.
Batas-batas wilayah Kelurahan Tanjung Sari :
Sebelah Timur berbatasan dengan : Kelurahan Padang Bulan I, Kelurahan Padang Bulan II, dan Kelurahan Beringin Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Sempakata dan Kecamatan
Medan Tuntungan
Sebelah Barat berbatasan dengan : Kelurahan Asam Kumbang Sebelah Utara Berbatasan dengan : Kecamatan Medan Sunggal
Kelurahan Tanjung Sari merupakan salah satu pintu gerbang utama untuk memasuki kecamatan Medan Selayang begitu pula dengan akses kota Medan. Kelurahan Tanjung Sari juga merupakan poros tengah kekuatan sektor ekonomi
(54)
untuk Kecamatan Medan Selayang. Wilayah Kelurahan Tanjung Sari yang turut dilintasi jalan lintas Sumatera kota Medan, banyak dihuni oleh warga pendatang dari wilayah Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, dan beragam suku lainnya. 4.2 Komposisi Penduduk
4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk, Luas Kelurahan kepadatan penduduk per Kmdirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun2012.
Tabel 1.
(55)
4.2.2 Komposisi Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga
Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata anggota Rumah Tangga, Jenis Kelamin, Kelompok Umur, dan Agama yang dianut dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2012.
Tabel 2.
(56)
Dari Tabel 2 dapat dilihat jumlah rumah tangga di Kelurahan Tanjung Sari memiliki jumlah rumah tangga terbanyak di Kecamatan Medan Selayang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 3,50 yang memenuhi kuota lebih kurang 30% dibanding kelurahan lainnya di Kecamatan Medan Selayang.
4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 3.
(57)
Dari Tabel 3 dapat disimpulkan Kelurahan Tanjung Sari memiliki keseimbangan penduduk secara jenis kelamin sama halnya dengan kelurahan lainnya yang berada di Kecamatan Medan Selayang.
4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tabel 4.
(58)
Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Medan Selayang memiliki keseimbangan yang cukup dalam kelompok umur dan jenis kelamin.
4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama yang dianut Tabel 5.
(59)
Pada Tabel 5 dapat diperhatikan Kelurahan Tanjung Sari mayoritas penduduknya menganut agama Islam sebanyak 18.152 jiwa, dan penganut agama Kristen sebanyak 8.565 jiwa.
4.2.6 Komposisi Mata Pencaharian
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2012.
Tabel 6.Komposisi Mata Pencaharian Penduduk
(60)
Dari Tabel 6 dapat dilihat Kelurahan Tanjung Sari mayoritas penduduk merupakan pegawai swasta, dan dari sektor ekonomi perdagangan jumlah pedagang di Kelurahan Tanjung Sari memiliki penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang yang terbanyak pada Kecamatan Medan Selayang dibandingkan dengan kelurahan lainnya.
(61)
4.2.7 Komposisi Pasangan Usia Subur (PUS) Ber-KB Tabel 7.
(62)
4.3 Sejarah Perkawinan Tidak Tercatat di Indonesia
Praktek Perkawinan siri (tidak dicatatkan) yang kini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh tradisi Islam di Negara-negara Arab yang dilakukan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan dan bahkan penyimpangan apa yang dilakukan pada masa pensyiaran agama Islam di negara Arab waktu itu dan di
(63)
Indonesia kini. Bahkan istilah nikah siri berkembang diindonesiakan menjadi kawin bawah tangan, meski antara istilah kawin siri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Setidak-tidaknya ketidaksamaan itu adalah bila kawin siri identik dengan orang-orang (pelaku) Islam sementara istilah kawin bawah tangan biasa dilakukan oleh siapa saja (berbagai agama).
Namun demikian kedua istilah ini (kawin siri dan kawin bawah tangan) biasa dipahami sebagai suatu perkawinan yang mendasarkan dan melalui tata cara pada agama dan kepercayaan serta adat istiadatnya tanpa dilakukan dihadapan dan dicatat pegawai pencatat nikah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nukah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk
walimatul-‘ursy (pesta) atau dalam bentuk yang lain.
Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain dan diumumkan kepada masyarakat dan tetangga sekitarnya
(64)
sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Diantara para ahli fiqih terdapat perbedaan pendapat memahami hal ini.
Nikah siri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan diatas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. (Asmin, 1986 : 17)
4.4 Tata cara Perkawinan Siri
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Kesemuanya itu berlangsung melalui tahap-tahap proses yang di atur oleh peraturan negara dan secara aturan adat dan agama kepercayaan masing-masing.
Tata cara perkawinan tidak tercatat (siri) itu sendiri sebenarnya adalah sama dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan berbeda dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 12 yang menentukan tata cara pelaksanaan perkawinan untuk selanjutnya diatur dan dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
(65)
Perkawinan Siri dilakukan dihadapan tokoh agama atau di pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai dengan dihadari oleh beberapa orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan siri ini cukup datang ketempat Kyai yang diinginkan dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang saksi. Biasanya bagi kyai setelah menikahkan pasangan kawin siri ini, Kyai menyarankan pada mereka agar segera mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama setempat. Dalam perkawinan siri ini yang bertidak sebagai kadhi atau orang yang menikahkan adalah tokoh agama atau kyai tersebut setelah menima pelimpahan dari wali nikah calon mempelai wanita.
Orang tuannya atau walinya sebenarnya yang wajib menikahkan namun dengan berbagai sebab kadang dilimpahkan atau dipercayakan kepada tokoh agama atau kyai. Bila yang menikahkan orang tua atau walinya sendiri maka tokoh agama atau kyai tersebut bertindak sebagai saksi. Pelakasanaan ijab dan qabul dari pihak wali dan dari calon mempelai pria dilaksanakan dalam satu tempat atau majelis yang diucapkan dengan tanpa tenggang waktu yang lama. Artinya diucapkan penyerahan atau ijab dari wali nikah dan disambut penerimaan atau kabul dari mempelai pria itu tanpa adanya tenggang waktu yang lama.
Dengan demikian pelaksanaan perkawinan siri ini dilakukan secara lisan dan tidak dicatatkan dalam suatu bukti tertulis atau akta atau dalam bentuk pencatatan lain. Semua identitas para pihak dan hari, tanggal, tahun dan lain-lain tidak dicatat. Setelah prosesi perkawinan tidak meninggalkan jejak yang bisa dijadikan bukti telah terjadi perkawinan kecuali kamer atau video shooting, bila diabadikan dengan media itu.
(66)
Di beberapa tempat berlangsungnya perkawinan siri ada yang telah menjadikan setiap prosesi perkawinan itu sebagai ’lahan bisnis’ dengan melakukan pembukuan yang rapi dan memberikan ‘bukti nikah’ kepada kedua mempelai sebagai bukti telah melakukan perkawinan. Namun demikian bukti nikah itu bukan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA atau pejabat pencatat nikah secara resmi, melainkan bukti nikah yang dikeluarkan oleh penyelenggara (diurus oleh orang lain = calo). Makanya banyak kalangan yang menyebut buku nikah aspal. (Zamhari Hasan MM, dimuat Jumat, 22 Mei 2009 http:www.kanwildepag-dki.com)
Tidak semua prosesi perkawinan siri tersebut dilakukan memenuhi ketentuan, syarat dan rukun sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan islam. penyimpangan itu biasanya terjadi ketiadaan/ketidakhadiran orang tua atau wali dari calon pengantin perempuan. Hal itu terjadi biasanya di kalangan mahasiswi yang jauh dari orang tua atau walinya bahkan juga terjadi karena perkawinan itu tidak disetujui terutama oleh orangtua pihak perempuan. Hukum Perkawinan Islam menganggap tidak sah suatu perkawinan tanpa adanya wali. Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasullullah saw bersabda; “tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali”. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke- 2648)
Hadits diatas menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ‘tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasannya Rasulullah pernah bersabda;
(67)
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya
batil; penikahannya batil; pernikahannya batil.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke- 2649)
Tidak dapat dipungkiri praktek perkawinan yang jelas-jelas kurang memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut masih tetap dijalani dengan berbagai alasan seperti: orangtua atau walinya jauh darinya, untuk menghindari zina, akibat pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil diluar nikah, dan lain-lain. Apapun alasannya ketidakberadaan wali dalam perkawinan tanpa adanya kuasa atau pelimpahan wewenang dari wali yang sesungguhnya (ayah atau wali calon mempelai perempuan) maka perkawinan tersebut tidak sah. Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan Islam berdampak positif terhadap keberlangsungan hidup berumahtangga yang dijalaninya. Begitu pula sebaliknya perkawinan yang tidak sah menurut hukum perkawinan Islam akan berdampak negatif bagi kehidupan pasangannya.
Perkawinan siri telah dijalani oleh pasangan suami isteri. Bagaimana bila dalam menjalani kehidupan rumah tangga tanpa diduga dan direncanakan terjadi putus perkawinan baik suaminya meninggal dunia atau dengan terpaksa terjadi perceraian (talak)? Jawabannya dikembalikan pada ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang telah mengaturnya. Baik perkawinan secara siri maupun perkawinan secara dzahri (terang-terangan) sepanjang telah sah memenuhi syarat dan rukunnya akan mendapat perlakuan yang sama di mata hukum perkawinan islam.
(68)
Prosedur Pengesahan Pernikahan Siri
Menurut Kenotariatan pada Universitas Diponegoro, yang berjudul “Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) Terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta
Kekayaannya ditinjau dari Hukum Islam dan UU Perkawinan”, ada beberapa upaya hukum yang dilakukan yaitu:
4.5.1 Pengajuan istbat nikah (pengesahan nikah)
Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu:
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No.
(69)
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
4) Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Namun sejak disahkannya UU No. 1 tahun 1974 pengajuan istbat nikah sulit untuk dikabulkan kecuali pengajuan istbat nikah dalam rangka perceraian. Tentunya sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian, selain itu proses yang akan dijalani akan memakan waktu yang lama.Mengenai tingkat keberhasilan itsbat nikah sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Bila hakim mengabulkan permohonan istbat nikah Nina dan Bimo, maka pernikahan mereka sah secara hukum perdata. Pengajuan istbat nikah dapat diikuti dengan pengajuan penetapan asal usul anak yaitu pengakuan oleh ayah kandung atas anak yang lahir di pernikahan yang sah secara hukum. (Hadikusuma, 2004 : 56)
4.5.2 Pernikahan ulang
Pernikahan yang dilakukan layaknya pernikahan secara agama, yang tujuannya untuk melengkapi pernikahan pertama (siri). Namun pernikahan ini harus disertai dengan pencatatan pernikahan oleh pejabat yang berwenang (KUA).
Menurut artikel yang ditulis oleh Nur Mujib mengenai “Pengesahan Nikah (Itsbat Nikah)” (http://www.patanjungpinang.net) ada 2 cara di dalam mengajukan itsbat nikah, yaitu:
(70)
Produk hukum PA terhadap permohonan pengesahan nikah berbentuk Penetapan. Oleh karena itu pengesahan nikah yang diajukan secara voluntair, adalah apabila pasangan suami isteri yang pernah nikah siri itu bersama-sama menghendaki pernikahan sirinya itu disahkan. Mereka bertindak sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Kalau hanya salah satunya saja yang menghendaki, misalnya suami mau mengesahkan nikah sirinya sementara isterinya tidak mau, atau sebaliknya isterinya mau mengesahkan nikah sirinya, tetapi suaminya tidak mau, maka tidak bisa ditempuh secara voluntair (bentuk permohonan) tetapi harus berbentuk gugatan (Kontentius). Pihak yang mengendaki nikah sirinya disahkan bertindak sebagai Pemohon dan pihak yang tidak menghendaki nikah sirinya disahkan dijadikan sebagai Termohon.
2) Dengan cara mengajukan gugatan pengesahan nikah (Kontentius)
Produk hukum PA terhadap gugatan pengesahan nikah berbentuk Putusan. Bila ada kepentingan hukum dengan pihak lain, maka pengesahan nikah tidak bisa diajukan secara voluntair (permohonan) tetapi harus diajukan dalam bentuk gugatan pengesahan nikah. Hal ini terjadi terhadap nikah siri dalam/oleh:
a. Pernikahan serial (poligami),
b. anak, wali nikah atau pihak lain yang berkepentingan hukum dengan pernikahan siri itu dan salah satu dari suami isteri pelaku nikah siri sudah meninggal dunia.
(71)
4.6 Profil Informan 4.6.1 Informan Kunci
Informan Kunci pada penelitian ini ialah Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.
Ida Rahma
Bu Ida begitulah sehari-hari ia dipanggil oleh tetangga di lingkungannya, saat ini ia berusia 31 tahun dan beragama Islam. Perempuan keturunan Jawa ini tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Flamboyan Raya No. 34 dan mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA. Dalam kesehariannya Bu Ida bekerja sebagai pegawai toko di Pasar Melati dan telah menikah dengan Hadi Wijaya pria berdarah Jawa yang bekerja sebagai buruh bangunan dan telah dikarunia dua orang anak, Anis (10 tahun) dan Bambang (7 Tahun) yang masing-masing bersekolah di sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah kontrakan yang keluarga ini tinggali.
Pada 11 Tahun yang lalu Bu Ida dan suaminya melangsungkan pernikahan mereka secara sah dengan proses perkawinan secara Islam yang pada saat pernikahan tersebut wali nikah Bu Ida sendiri adalah ayah kandung dari Ibu Ida sendiri. Berlangsung di kediaman orang tuanya yang dihadiri keluarga kedua mempelai dan seorang Ustadz sebagai penghulu nikah. Pasangan Bu Ida dan Pak Hadi pada saat melangsungkan pernikahannya tersebut tidak melakukan pencatatan secara negara atau melakukan pernikahan secara sipil.
Herna Safira Lubis
Bu Herna adalah seorang perempuan berusia 41 tahun untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarganya ibu yang memiliki 3 orang anak ini
(1)
PANDUAN WAWANCARA
I. Profil Informan
1. Nama : 2. Umur : 3. Suku Bangsa : 4. Agama : 5. Alamat : 6. Pendidikan : 7. Pekerjaan :
II. Orientasi diri melakukan perkawinan tidak tercatat
1. Apa orientasi anda melakukan perkawinan tidak tercatat?
2. Apa yang menjadi alasan anda untuk melakukan perkawinan tidak tercatat?
3. Apakah ada orang yang mempengaruhi anda untuk melakukan perkawinan tidak tercatat?
4. Bagaimanakah proses yang anda lalui untuk melakukan perkawinan tidak tercatat?
5. Apa manfaat yang anda dapatkan dengan melakukan perkawinan tidak tercatat?
(2)
1. Apakah anda mengetahui tentang perkawinan tidak tercatat? 2. Apakah anda melakukan perkawinan tidak tercatat?
3. Apakah anda mengetahui syarat-syarat sah perkawinan? 4. Apakah anda mengetahui tata cara perkawinan tidak tercatat? 5. Apakah anda setuju dengan perkawinan tidak tercatat?
6. Bagaimana pandangan anda tentang perkawinan tidak tercatat? 7. Apakah anda mengenal pelaku perkawinan tidak tercatat?
8. Apa dan bagaimanakah hubungan anda dengan pelaku perkawinan tidak tercatat?
9. Bagaimana pandangan sosial anda terhadap pelaku perkawinan tidak tercatat?
10.Apakah anda mengetahui alasan pelaku melakukan perkawinan tidak tercatat?
11.Apakah anda mengetahui dampak positif melakukan perkawinan tidak tercatat?
12.Apakah anda mengetahui dampak negatif melakukan perkawinan tidak tercatat?
13.Bagaimanakah hukum perkawinan tidak tercatat pada agama yang anda anut?
14.Bagaimana tanggapan anda mengenai RUU Nikah Siri?
15.Bagaimanakah menurut anda solusi yang tepat pada fenomena perkawinan tidak tercatat?
(3)
(4)
(5)
(6)