KEMUNAFIKAN: “DAHULU, KINI DAN ESOK”

KEMUNAFIKAN: “DAHULU, KINI DAN ESOK”
ADA sebuah hadits yang sangat populer, yang menjelaskan tentang
kriteria orang munafik. Tiga kriteria tersebut, kata para ulama, cukup memadai
untuk mendeteksi siapakah orang munafik itu hingga kini. Karena, dengan
mengenal tiga kriteria tersebut, kita bisa mengenal derivasinya dengan sangat
mudah. Benarkah?
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu menyatakan, bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

َ َ
ْ َ َ ََ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
َ ْ َ
َُُ ‫اؤت‬
ُ
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
‫و‬
ُ
،
‫ف‬

‫خ‬
‫أ‬
ُ
ُ
ّ
‫ع‬
‫و‬
ُ
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
‫و‬
ُ
،
‫ب‬
‫ذ‬
‫ك‬
ُ
ُ
‫ث‬

ّ
‫ح‬
ُ
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
ُ
:
‫ث‬
ُ
‫ا‬
‫ث‬
ُ
ُ
‫ف‬
‫ا‬
ِ
ِ
ِ ِ ‫آيةُ ُا‬
ِ

ِ
َ َ
ُ‫انل‬
ُ ‫خ‬
“Tanda orang munafik ada tiga. Jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia
mengingkari, jika diberi amanah ia berkhianat.” (Hadits Riwayat al-Bukhari
dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 15, hadits
no. 33, dan Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 56, hadits no. 220).
Sementara itu, ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhu menyatakan,
bahwa untuk memahami siapa orang munafik itu, secara lebih akurat, beliau
menyatakan bahwa kriterianya ada 4 (empat). Sebagaimana Sabda Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

َ
َ َ
ُْ َ‫ُ َو َم ُْ ُ ََن‬،‫ن ُم َاف ً ا ُ َخا ًصا‬
َ
ْ
ْ
َ

َُُ ْ ‫ت ُفي ُُ َخ ْص َةُ ُ ِم‬
َ
ِ
ِ ُ َُُِ ‫أربعُ ُم ُُك ُ ُ ِفي‬
ِ ِ
َ ْ َ
َ
ْ َ
َ
َ َ
َ َ
َ َ َ َ
ُ‫ ُ َو ِإذا‬،‫ّ ُيَ ُّع َ ا ُ ِإذا ُاؤت ِ َُ ُخان‬
ُ ‫اق ُح‬
ُِ ِّ‫ت ُ ِفي ُِ ُخص ةُ ُ ِم َُ ُا‬
ُ ْ ‫َن‬
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ُ‫اص َُُف َج َُرل‬
‫ُو ِإذاُخ‬،‫ُو ِإذاَُه ُُّغّر‬،‫ثُكذب‬
ُ ّ‫ح‬

“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafik tulen,
dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut
maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika
diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan
jika berseteru curang.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 15, hadits no. 34)
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Jâmi'ul
‘Ulûm wal Hikam, juz I, hal 430-431, membagi kemunafikan dalam dua jenis.
Pertama, kemunafikan besar (nifâq akbar), yang biasa dikenal dengan
istilah: “nifâq i'tiqâdiy.” Pelakunya – biasanya -- berkamuflase mengaku
beriman kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ, Para Malaikat Allah, Kitab-kitab
Allah, Para Rasul Allah, Takdir Allah dan Hari Akhir. Tetapi, di balik itu ia
mendustakan semua atau sebagian darinya. Kemunafikan seperti ini pernah ada
1

pada zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Para ulama, bahwa
ada seorang yang ‘Abdullah bin Ubay yang – dengan sengaja -- menyebarkan
HOAX (Kabar Bohong), yang dikenal di dalam sejarah Islam dengan sebutan
Hadîtsul Ifki, bahwa antara Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ dan
Shafwan bin Mu'aththal radhiyallâhu ‘anhu ‘ada affair’. Dialah orang yang

dianggap melakukan nifâ q akbar.
Kedua, kemunafikan kecil (nifâq asghar), yang ditandai dengan
tindakan-tindakan, atau bersifat ‘amaliy. Biasanya, si pelaku bersikap hipokrit
(munafik) dengan menampakkan kebaikan yang sejatinya tidak demikian.
Sebagian ciri-ciri kemunafikan seperti ini ditunjukkan dengan: “kebohongan,
ingkar janji, dan khianat.”
Semua orang sudah memahami, bahwa kebohongan -- utamanya dalam
berbicara -- adalah sifat yang tidak terpuji. Apalagi kalau kebohongan itu
dilakukan kepada kepada orang yang percaya akan kejujuran si pembicara.
Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda,

َ َ ََْ ِ َ
َ َ َ ً َ َ َ َ َ َِ ْ َ ًَ َ ْ َ َ
ُ ُُّ ‫ن‬
ُ ‫ت ُ ِخيان ُة ُأ‬
ُ ُ‫ك‬
ُُِ ِ‫ل ُب‬
ُ ُ‫ت‬
ُ ‫اك ُح ِّيثا ُه ُ ُ ُ ُبِ ُِ ُ صّقُ ُوأن‬

ُ ‫ث ُأخ‬
َ
ُ‫َ ِذب‬
“Sebuah pengkhianatan yang besar jika kamu berbicara dengan saudaramu dan
ia percaya kepadamu (bahwa kamu tidak akan berdusta), sedangkan kamu
berdusta kepadanya.” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Nawwas bin
Sam’an radhiyallâhu ‘anhu, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 183, hadits

no. 17672, dan Abu Dâwud dari Sufyan bin Asid al-Hadhrami radhiyallâhu
‘anhu, Sunan Abî Dâwud, juz IV, hal. 293, hadits no.4971)
Sementara itu, ingkar janji adalah perkara yang dilarang keras dalam
Islam, baik dalam urusan yang besar maupun remeh.
Abdullah bin Amir radhiyallâhu ‘anhu pernah bercerita,

َ ََ ََ َْ َ َ َ َ
َْ َ
َ َْ
ُ،ُ ‫ف ُبي ِت ُا‬
ُ ِ ُ ُّ‫اّ ُع ي ُِ ُوس ُ ُقا ِع‬
ُ ُّ

ُ ‫ل ُص‬
ُِ ‫ّ ُيَ ْ ًما ُ َو َرس لُ ُا‬
ُ ِ ‫ن ُأ‬
ُ ِ ‫دعت‬
َ
َ َ َ َ
َ َ ََ َ ْ َ ََ َ ْ َ ََ
ُ:َُُ ‫اُّ َع يْ ُُِ َو َس‬
ُ ُّ
ُ ‫لُص‬
ُِ ‫الُ َ اُ َرس لُُا‬
ُ ‫ُف‬، ‫الُأع ِطي‬
ُ ‫ُهاُتع‬:‫ت‬
ُ ‫ف ال‬
َ َ ََ ًَْ
َ َ
ْ ْ َ َ
ْ َْ ََْ ََ
َ
َ

ُ ِ ‫وما ُأرد‬
ُّ
ُ ‫ل ُص‬
ُِ ‫ال ُ ا ُرس لُ ُا‬
ُ ‫ ُف‬،‫ُأع ِطي ُِ ُت را‬:‫ت‬
ُ ‫ن ُتع ِطي ِ ؟ ُقال‬
ُ ‫ت ُأ‬
َ َ ْ َ ًْ َ
ْ
ْ َْ َْ َ ََ َ َ َ َ َْ َ َ
ْ
َ
ُ‫تُع ي ِ ُُ ِكذبةُل‬
ُ ‫ُأماُ ِإن ِ ُُ ُُ ُُتع ِط ُُِشيئاُك ِتب‬:ُ ‫اُّع ي ُُِوس‬
ُ

2

“Suatu ketika (Rasulullah) Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkunjung
ke rumah kami. Ketika itu aku masih kecil. Tatkala aku hendak keluar rumah

untuk bermain, ibuku memanggilku, (Abdullah) Kemarilah! Ibumu mempunyai
sesuatu untukmu.” Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bertanya,
“Apa yang akan kamu berikan untuk anakmu?” “Akan kuberi kurma,” jawab
ibuku. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Seandainya
kamu tidak memberi apa-apa kepada anakmu maka kamu dicatat telah berbuat
dusta.” (Hadits Riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Amir radhiyallâhu ‘anhu,
Sunan Abî Dâwud, juz IV, hal. 298, hadits no. 4991).
Mengenai amanah, ia merupakan perwujudan kepercayaan orang
kepada yang diamanahi. Sangat tidak wajar jika ada orang yang menitipkan
barangnya kepada pengkhianat. Selayaknya seorang Muslim membalas
kepercayaan saudaranya dengan menjaga amanah yang dibebankan kepadanya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ََ ََ َ ْ َ َ َ َ
ُ‫لل‬
ُ ُُّ ‫لُع‬
ُ ُُ ِ ُُ ‫لُ ِدي‬
ُ ‫ُو‬،‫لُأمان ُةُل‬
ُ ُُ ِ ُ‫ان‬
ُ ‫لُ ِإي‬

ُ

“Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanahnya; dan tiada agama
pada orang yang tidak menunaikan janjinya.” (Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz
III, hal. 135, hadits no. 12406)

Simpulan pentingnya, bahwa menjaga diri dari tiga sifat atau empat di
atas sangatlah perlu. Jika tiga atau empat sifat itu bersemayam dalam diri
seseorang dan tidak segera diobati, maka sifat-sifat itu pun pada akhirnya akan
menggiring dirinya pada nifâq akbar (kemunafikan besar), yang ancamannya
adalah: “api neraka.” Na’ûdzu billâhi min dzâlik!

Oleh karena itu, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pada masa
lalu, pernah mengingatkan pada diri umatnya untuk berhati-hati agar tidak
memiliki sifat-sifat yang mengindikasikan kemunafikan itu. Maka pada saat ini
dan (juga) di masa yang akan datang, ‘kita’ harus selalu menjaga diri, agar diri
kita tidak memiliki atau – dengan kata lain – ‘memelihara’ sifat-sifat tersebut.
Agar kita tehindar dari bahaya ‘kemunafikan’, naik dalam bentuk nifâq ashghar
(kemunafikan keci), apalagi nifâq akbar (kemunafikan besar).

Ibda’ bi nafsik!
Yogyakarta, Kamis – 9 Februari 2017

3