KAMMI Hari Ini Esok dan Masa Depan oleh

KAMMI : Hari Ini, Esok, dan Masa Depan
(Sikap Sejarah, Tauhid dan Rasional dalam meruntuhkan Mitos)
Oleh : DHARMA SETYAWAN1
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta

Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid
“Ketuhanan, Keindahan dan Kebijaksanaan” (R.A Kartini)
Maka, ketika sebuah karya bernama proyek intelektual profetik justru “dimatikan” (oleh aktivis
KAMMI sendiri-ed.) hanya karena dipandang terlalu elitis, ini merupakan sebuah afirmasi bahwa
KAMMI masih menjadi bocah yang terlalu dini ........ Justru, para aktivis KAMMI seharusnya tidak boleh
berhenti hingga pada titik ketika mereka dipandang gagal oleh sanubari mereka; oleh rekan-rekan
mereka. Aktivis KAMMI jangan berintrospeksi, menoleh ke belakang hingga melakukan pembalikan
kerja-kerja besar, hanya karena mereka memosisikan dirinya di cermin: sebagai bocah yang terlalu
payah untuk menjadi dewasa. (Yusuf Maulana)

Sejarah, Mitos dan Pengetahuan
Memaknai sejarah adalah memaknai fakta yang pernah terjadi dimasa lalu. Anggapananggapan yang terjadi pada kehidupan manusia tidak perlu dinisbatkan pada cara-cara
menyerahkannya pada sosok yang pantas mengatur tanpa adanya nalar yang bertanggungjawab.
Sehingga cara berfikir menghadapai masalah yang seharusnya dipecahkan oleh individu manusia
itu sendiri muncul pada gejala-gejala i-rasional. Satu contoh dalam hal berfikir tentang sebuah
kemandekan gerak fikir masyarakat yang menyerahkannya pada pihak tertua, hal ini sering

muncul fenomena hegemoni struktural. Lebih jauh upaya untuk kaderisasi pengetahuan akhirnya
mandek pada titik umur (kaum tua), dimana menjadi pijakan untuk menentukan basis kebijakan.
Sejarah ke-nusantara-an kita telah hancur oleh budaya seperti ini. Padahal kebenaran
sejarah merupakan cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu perubahan guna
membangun masa depan yang lebih baik. 2 Pram menyebut problem kebangsaan Indonesia ini
dengan istilah “bangsa panutan”. Satu sikap dimana upaya untuk membangun pengetahuan yang
terus berkesinambungan terhalangi oleh mitos. Bukan karena tanpa sebab, bahwa mitos bukan
1

Direktur Eksekutif Adzkiya Centre (pusat kajian dan penelitian ekonomi syariah, koperasi, dan green economics),,
Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, sesekali menulis di media cetak dan online. Website:
www.dharmasetyawan.com dan www.adzkiyacentre.com, email : dharmasetyawan@rocketmail.com
2
Lihat Joesoef Isak (ed) dalam novel, Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata, 1995, hal viii

alami, bahwa mitos sendiri adalah buah upaya sadar dan tidak sadar manusia untuk mempercayai
tentang zat di luar diri manusia yang lebih kuat, berpengaruh dan sangat berkaitan dengan gejala
yang sedang dihadapi. “Bangsa Panutan” ini yang kemudian menjadi bentuk feodalisme3
kontemporer di zaman yang seharusnya pengetahuan menjadi basis pijakan dan perubahan. Jika
membaca epos sejarah pra-Indonesia abad 16 pasca tumbangnya Majapahit oleh kepongahan

Feodalisme sampai pada kekalahan Mataram oleh militer Belanda di sepanjang laut Jawa, sangat
terlihat bagaimana tetua adat mempengaruhi setiap kebijakan yang muncul di masyarakat. 4
Muncul kemudian mitos tentang Nyai Roro Kidul yang melegenda menjadi cerita mistik
dalam balutan sastra rakyat. Penggambaran Ratu pantai selatan yang menjadi penguasa laut Jawa
menepis anggapan rakyat dan menjadi penguasa maya hingga ber abad-abad. Para Raja Mataram
yang dipercayai menikah ghaib dengan Nyai Roro Kidul adalah mitos yang dibangun pujangga
Jawa saat itu. Pakaian hijau menggambarkan perlawanan yang kuat seolah-olah telah
menundukkan warna hijau pasukan kompeni Belanda yang di fakta sejarah menang teritorial
secara total. Mitos ini yang tidak akan pernah sampai pada kesadaran sejarah dan kesadaran hari
ini sebagai sebuah problem “Bangsa Panutan”. Sastra mitos ini juga tidak hanya terjadi di Jawa
tapi sebagai bagian dari kepercayaan yang turun-temurun dan menyebar di daerah-daerah lain di
Luar Jawa.
Bukan hanya dalam tokoh fiktif, mitos juga muncul dalam bentuk sosok-sosok yang
benar-benar pernah hadir dalam sejarah perlawanan bangsa ini. Kartini dalam pengertian Pram
juga menarik untuk dilihat sebagai fakta yang berubah menjadi mitos. Dalam kata pengantar
bukunya Panggil Aku Sebagai Kartini Saja menyebut : “sampai sedemikian jauh, kartini disebutsebut diberbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa,
yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya
dalam dunia dewa-dewa. Tambah kurang pengetahuan orang tentangnya tambah kuat

3


Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga raja di Inggris abad keemasan saat negara ini
menjadi imperialis dan adi daya dunia. Istilah ini dalam level yg lebih lokal mengarah pada kalangan ningrat atau
priyayi di Indonesia; khususnya kalangan suku Jawa yg oleh Cliffort Geertz (dalam bukunya Priyayi, Santri dan
Abangan) dibagi ke dalam tiga kasta seperti yg tertulis dalam judul bukunya.
Orang yg berasal dari kalangan aristokrat atau ningrat ini disebut kalangan feodal dg ciri khas sifat dan sikapnya yg
feodalistik. Apa itu feodalisme, feodal, dan feodalistik?
Feodalisme dulu ditunjukkan dg sikap jumawa bagai raja, permaisuri, putri dan pangeran. Sikap angker kalangan
ningrat. Sikap anggun dan kecongkakan terutama pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu
level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah
kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan).
4
Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata, 1995

kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas
menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos.
Padahal Kartini jauh lebih agung dari pada total jendral mitos-mitos tentangnya.”
Pram ingin menyatakan bahwa mitos dapat muncul dari fakta sesuatu yang pernah ada
sekalipun. Kartini yang hanya diperingati oleh bangsa ini sebagai ingatan hari lahirnya, pakaian
khas jawanya dan sebuah gambaran simbol lainnya, telah menjadi mitos yang sangat

mengganggu basis pengetahuan tantang tindakannya yang sebenarnya lebih mengagumkan.
Pengetahuan tantang Kartini sebagai wanita cerdas, pemberani dan memperjuangkan hak-hak
perempuan hilang dari ingatan bangsa ini. Mitos itu tumbuh dan mereduksi substansi dari cara
berfikir Kartini sebagai pendobrak feodalisme jawa terhadap diskrminasi perempuan. Maka
mitos itu dibantah oleh pram dengan menulis “Panggil Aku Kartini Saja”. Perlu pula kita
membuka sejarah lain, sebagai sebuah penghargaan yang jujur bahwa diluar Kartini juga ada
pejuang wanita lain yang tidak dikenal namun berjasa dalam perjuangan bangsa ini dan terlupa
karena tidak di mitos-kan sebagaimana Kartini. Pejuang lain yang juga berjasa namun tidak
mendapat ingatan sejarah sebagaimana mitos Kartini seperti Opu Daeng Risadju (1880–1964),
Rangkayo Rasuna Said (1910–1965), Nyi Ageng Serang (1752–1828), Maria Walanda Maramis
(1872–1924), Raden Dewi Sartika (1884–1947), Tjoet Nja‟ Meutia (1870–1910), Tjoet Nja‟
Dhien (1848–1908) dan masih banyak yang lainnnya.
Pengetahuan Tauhid Meruntuhkan Mitos
Pengetahuan itu akan memusnahkan mitos. Mitos ini yang menjadi sikap sakralis sejarah
ke-nusantara-an memandang banyak hal menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa. Tidak hanya
pada kebudayaan nusantara, mitos itu muncul dalam aspek politik dan agama. Sakralisme itu
menjadi beban tersendiri mengungkap kebenaran. Sehingga yang muncul adalah bentuk cara
pandang yang kaku dan dogmatis terhadap sebuah anggapan kebenaran fakta sejarah bahkan
kebenaran dalam konteks Tauhid (aspek Tuhan yang monoteisme). Mitos yang dibangun dalam
sosok Kartini contohnya, menjadi sikap pongah terhadap sejarah kita memandang Kartini

sebagai sosok yang tidak membumi tapi hanya membayangi ingatan bangsa. Pengetahuan dalam
diri kartini lupa untuk diingat dan ditafsirkan sebagai bentuk Ijtihad berfikir Kartini melawan
feodalisme saat itu.
Sedikit tentang bagaimana Kartini dalam upayanya berjuang dan mengirim surat kepada
Nn. Zeehandelaar tertanggal 6 Nopember 1899 : “Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku

terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang
serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar rumah besar, berhalaman yang luas
sekelilingnya, tetapi sekitar

halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi

penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu bila senantiasa harus tinggal
di sana sesak juga rasanya. Teringat aku betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang
tiada terhingga lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa
tertutup itu dan kepada dinding batu bengis itu. Arah kemana juga aku pergi, setiap kali putus
juga jalanku oleh tembok batu dan pintu terkunci.” (Habis Gelap Terbitlah Terang, Terjemahan
Armijn Pane, Balai Pustaka, 1982)
Bagaimana Kartini ingin menjelaskan dengan surat itu tersiksa fisik dan batinnya atas
ketidakbebasan dirinya menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan. Dalam surat lainnya

Kartini bicara tentang Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Keindahan dan
Kebijaksanaan) yang kemudian baru sekarang kita mengerti maksud Kartini bahwa Innallaha
jamillun yuhibbuljamal (Tuhan itu indah dan berkenan akan keindahan), atau habis gelap
terbitlah terang atas pemahaman mina zulumati ila nur (dari gelap menuju cahaya). Namun mitos
itu telah mendominasi terlalu dalam pada benak kesadaran kita yang tidak kunjung siuman.
Sehingga problem mitos itu tidak pernah kita gapai dengan pengetahuan, salah satunya tentang
sejarah negeri ini, sejarah tentang ke-Indonesiaan kita. Mitos terhadap Kartini menyeruak pada
simbol saja, tentang kebaya, tentang perlombaan diperingatan kelahirannya. Tanpa disadarkan
bahwa Kartini sangat menarik yaitu bukan pada simbol tapi perlawanan pemikiran yang
mendobrak zaman saat itu. Memberi kesadaran kultural dan menuding struktur masayrakat
feodal saat itu menempatkan wanita pada garis terbelakang. Sehingga saat ini pun usaha Kartini
melawan mitos feodal itu harus diterimanya pupus, akibat kesadaran generasi sesudahnya yang
tidak kunjung sadar malah mengganti sosok Kartini sebagai mitos baru bukan kesadaran sejarah.
Ketika Raden Ajeng Kartini menuliskan surat kepada sahabat-sahabat penanya di
Belanda, rapat-rapat umum, pemogokan, partai, dan demonstrasi sama sekali belum ada di
Hindia. Istilah-istilah vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju), vakbonden (serikat
burh), mogok, cummunisme, Islamisme, cursussen (kursus) atau debat, tidak punya arti apa-apa
dan kedengaran asing ditelinga pribumi. 5 Selain Kartini, ingatan sejarah tentang Tirto

5


Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, penerjemah Hilmar Farid, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hal 470

Adhisoerjo6 seorang pribumi yang menerbitkan koran sendiri dengan bahasa melayu (kelak :
Indonesia) seperti Medan prijaji, Poetri Hindia bukti bahwa gerakan itu menandai menancapnya
perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Tirto juga mendirikan Sarekat Dagang
Islamiyah (SDI) di Batavia, serta membuka bisnis hotel dan lembaga bantuan hukum.
KAMMI dan Mitos Bangsa Panutan
“Bangsa Panutan” tidak selesai pada pra-Indonesia, pasca kemerdekaan hingga hari ini
Budaya Panutan menjadi problem latah bangsa ini. Upaya untuk membuka ruang ijtihad menjadi
sakral dalam konsep berfikir, bergerak dan menumbuhkan sesuatu yang dianggap baru adalah
tabu. Bangsa Panutan ini lahir dari budaya Priayi. Golongan Priayi ini lahir dari perkawinan
kolonialisme dengan feodalisme. Orang-orang Jawa yang berkasta priayi kemudian menjadi
birokrat-birokrat Belanda untuk melanggengkan kepanjangan tangan menjajah Nusantara atas
pusat kekuasaan Batavia di Pulau Jawa. Soekarno telah jauh hari ingin memutus mata rantai
mitos Budaya Panutan ini dengan memindahkan pusat Ibukota Indonesia ke Palangkaraya,
Kalimantan. Hal ini karena Batavia sejak dulu menjadi pusat Ibukota Pemerintahan Hindia
Belanda. Hingga pada akhirnya cita-cita belum terlaksana, Soekarno tumbang oleh sejarah yang
tidak berpihak pada perlawanan mitos, ditambah sikap tidak tepat Demokrasi Terpimpin

Soekarno, menunjukkan gaya kepemimpinan yang populis bukan demokratis.
Pasca terlaksana Sarasehan Inteligensia KAMMI oleh gerakan Kultural, dicurigai sebagai
bentuk makar gerakan di kancah pertemuan 22-23 Desember 2012 di Balai Kota Yogyakarta.
KAMMI kemudian seolah terpecah menjadi dua kubu. Bagi penulis ini akibat mitos yang timbul
dan kurang upaya yang komunikatif untuk menjelaskan duduk persoalan. Gerakan Kultural
dianggap sebagai kelompok kepentingan yang berorientasi pada kepentingan Muktamar 2013.
Hal ini juga sah-sah saja keluar dari statement Pengurus Struktural mengingat ada kesalahan
komunikasi yang dilakukan beberapa individu sehingga upaya dialektika terhenti pada titik
kecurigaan.
KAMMI bukanlah mitos gerakan! Pendapat ini bukan tanpa sadar, gejala menempatkan
dialektika di bawah ketiak Struktur menandakan KAMMI sedang masuk dalam jebakan mitos
lebih jauh pada gerakan KAMMI sebagai gerakan EO (event organizer) dan berada pada bayangbayang komunitas lain. Dalam system kebudayaan, Ben Anderson telah memberikan pendapat
tantang komunitas agama dan alam dinasti (dynastic realm) sebagai modal komunitas.
6

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003, hal 11

Sebagaimana Indonesia dibayangkan adalah bentuk komunitas agama yang hadir secara kultur
dan struktur tapi juga fakta sejarah dinasti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah ada sebelum
Indonesia. Ini yang kemudian disebut Komunitas Terbayang (imagined community).7 Pada

akhirnya komunitas terbayang atas sejarah agama dan dinasti diproklamirkan oleh Soekarno dkk
menjadi Negara bernama Indonesia.
Begitu juga KAMMI sebagai entitas gerakan mahasiswa yang sadar akan komunitas
agama dan struktur (dynastic) sebagai pijakan gerakan mahasiswa masa lalu (Jong Islamiten
Bond, Himpunan Mahasiswa Islam, Pelajar Islam Indonesia dan lainnya), fakta ini menjadi
dasar terbentuknya gerakan KAMMI dari komunitas terbayang para pendahulunya. Jadi kalau
kemudian hari ini yang terjadi bahwa setiap ideologi, cara berfikir, bergerak dan rancangan
masa depan KAMMI adalah sesuatu yang masih dogmatis tanpa kehadiran pengetahuan (sejarah,
tauhid dan rasional), KAMMI akan kembali terjebak pada mitos dan sulit melakukan kekenyalan
dalam bergerak, sebagaimana dulu KAMMI hadir dari imagined community. Mitos itu kemudian
menjadi penutup kesadaran internal, sehingga merasa sangat kaku dan takut mendobrak tatanan
yang ada dalam mitos di tubuh KAMMI itu sendiri. Mitos tentang kemandirian, kedaulatan,
independensi, ideologi gerakan dan perlawanan terhadap hegemoni struktural entitas lain tidak
mampu dilawan KAMMI.
Pada titik ini tauhid menjadi terhenti pada sikap takut melawan, takut memberi argumen
yang rasional untuk menjelaskan dan memposisikan apa dan bagaimana seharusnya logika
KAMMI sebagai gerakan mahasiswa. Ketakutan itu tumbuh dan menyalahi tauhid yang final
pada upaya menemukan Tuhan dalam spirit gerakan. Ketakutan yang berlebih akan sebuah
struktur yang lebih kuat dari dirinya dan menjadikan ketergantungan struktur seperti KAMMI
adalah lemahnya sikap internal melawan mitos. Ini bisa disebut sebagai Paganisme baru dalam

gerakan, dimana sebuah gerakan sangat percaya bahwa antar gerakan dapat menjinakkan pola
berfikir dan bergerak, penjinakkan antar struktur yang berbeda sehingga gerakan yang mengaku
tunduk dibawahnya menjadi ta‟at, sampai tidak mampu keluar pada titik kesadaran dan
perlawanan yang berbasis pengetahuan.
Gerakan Kultural Bukan Anti Struktural
Muncul kemudian pertanyaan untuk apa hadir Gerakan KAMMI Kultural? Penulis secara
pribadi tidak menghendaki ini menjadi bagian KAMMI dalam menampilkan gerak struktur.
7

Benedict Anderson, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, 1986, London, Verso, p. 15-16

Ungkapan Kultur bagi penulis adalah bentuk gerakan kebudayaan bukan kekuasaan (struktur).
Sebagaimana arti kebudayaan adalah buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Pendekatan kultural lebih pada dialektika yang
menggunakan sopan santun dan corak ragamnya untuk memandang pengetahuan sebagai hak
siapapun sehingga penyadaran terhadap pengetahuan tidak hanya hadir dari pusat-pusat
kekuasaan (struktur), tapi dari tingkat bawah (grassroot) menuju ke atas (kultur).
Apakah Kultural memiliki agenda kepentingan struktural? Secara pengetahuan sangat
mungkin bagi penulis, tapi secara kepentingan kekuasaan dalam arti bentuk struktur sangat tidak
mungkin karena berakibat pada resistensi penolakan ide. Jadi gerakan KAMMI Kultural memang

bukan mengacu pada bentuk, tapi tawaran strategi mencapai kesetaraan pengatahuan. Sehingga
secara tidak langsung ini positif membantu kaderisasi untuk mencerdaskan generasi KAMMI
lebih baik dari sebelumnya. Kesetaraan pengetahuan inilah yang dulu diinginkan Soekarno
dalam menangkap pesan-pesan Nasionalisme, Islam dan Marxisme pada tawaran kerjasama
melawan Kolonialisme dan Imperialisme.”Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam
geraknja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis” ucap Soekarno.8 Kesadaran dalam
kemajemukan ini yang juga Cak Nur sebut berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya
sendiri, sehingga semuanya akan bertemu pada satu “titik pertemuan”, „Common Platform” atau
dalam istilah Al-Quran, “Kalimah sawa”.9
Pengetahuan Kultural berupaya membongkar kasta intelektual yang dijaga oleh pusatpusat kekuasaan (sruktural). Upaya kultural lebih memberi kesadaran bahwa tidak semua caracara struktur mampu menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam pengetahuan, karena ini
mendekati sikap feodal yang menempatkan kasta pada para pemikir yang memiliki kekuasaan di
tubuh KAMMI. Sehingga feodal berfikir juga menciptakan pada kasta berfikir raja atau pamong
praja (government) dan kelas rakyat jelata (the governed). Kelayakan berfikir yang hanya
mengacu pada penguasa struktural, penulis yakini akan memandulkan gagasan yang seharusnya
hadir dari bawah ke atas dan juga dari atas ke bawah.
Pengetahuan adalah basis untuk saling belajar dan berfikir setara, sehingga yang
diperlukan adalah adab dalam memenuhi kehausan pengetahuan itu sendiri. KAMMI Kultural
8

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga, Panitia penerbit DBR, Djakarta, 1964,
hal 5
9
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan
dan kemoderenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hal 184

dan Struktural juga harus menanggalkan sikap su‟ul adab (adab jelek, mengumpat, menghardik,
mencaci dan lainnya). Sehingga kaidah pengetahuan sebagaimana penyampaian pengetahuan
yang cerdas dan manusiawi. Metode umum dakwah menurut Al-Qur'an, (S.16:125) yaitu bil
hikmah (dengan hikmah) dan Wal mauizatil hasanah (dengan nasihat yang baik). Di ayat lain
„adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin. Karena Rosul
menyatakan bahwa “addiinu nashihat” – agama adalah nasehat. Hasan Al Bana menyampaikan
slogan “likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal” setiap tempat ada perkataan yang pas dan
setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas. Point-point adab ini yang kelak menjadi
kesadaran pembuktian masa depan, bahwa gerakan Kultural menolak tegas orientasi gerakannya
untuk kepentingan menuju kepentingan kekuasaan (struktural) yang kelak dapat memecah belah
KAMMI pada narasi kekuasaan semata.
Pram kemudian menyimpulkan dalam tulisan Sastra, Sensor dan Negara,”jadi seberapa
jauh karya sastra (bagian budaya pengetahuan) dapat berbahaya bagi negara? Menurut
pendapat saya pribadi karya sastra, disini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi
negara. Ia, ditulis dengan nama jelas, diketahui dari masa asalnya, dan juga jelas bersumber
dari hanya seseorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, mau pun barisan
pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan polapola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua dan kehabisan kekenyalan”.10 Kritik sastra
terhadap kekejaman orde baru yang represif terhadap ide, baginya hanya akan mengganggu tidur
para individu-individu yang menghianati kekuasaan. Seorang diri Pram, jika tidak punya daya
upaya untuk memiliki barisan kuat militer yang sejak dulu dikuasai oleh hegemoni Angkatan
Darat (struktural).
Jika dikaitkan dengan kasus KAMMI, di sini jelas letak gerakan pengetahuan
(kebudayaan) tidak berbahaya bagi struktural KAMMI, malah semakin meneguhkan sebagai
bagian gerakan pencerdasan menguatkan barisan ilmiah ditengah ke-kaku-an bergerak. Gerakan
pengetahuan yang jelas ditulis oleh kader KAMMI yang jelas asalnya, domisilinya dan jujur
menawarkan sumbangsih ide adalah bagian dari sikap kedewasaan menemukan wacana yang
panjang dan mengarah pada perbaikan KAMMI. Ide-ide yang ditawarkan itu semakin
10

Pramoedya Ananta Toer, Sastra, Sensor, dan Negara:Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?. (Pidato tertulis Pramoedya
yang disampaikan ketika menerima Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in
recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian
people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995)

memperkaya khasanah dialektika KAMMI dan tidak akan membahayakan struktural KAMMI
baik daerah maupun nasional. Mungkin bisa saja tulisan-tulisan itu akan mengganggu pihakpihak individu yang merasa terancam dengan adanya kritik yang mengarah pada perbaikan,
namun hal itu sah bagi tumbuhnya gerakan KAMMI sebagai gerakan yang terus berproses dan
bergerak di masa depan. Pada wilayah ini, kritik pengetahuan tidak akan berbahaya bagi
struktural KAMMI, tapi berbahaya bagi individu-individu struktural yang menolak untuk terbuka
dalam khazanah pengetahuan.
Fundamentalisme Rasional
Menarik atas apa yang ditulis Yusuf Maulana 11 tentang pengantar pijakan menuju
Fundamentalisme Rasional. Teori ini dimunculkan oleh Murad Wilfried Hoffman12 (seorang
11

Yusuf Maulana, Tantangan Masa Depan dan Budaya KAMMI : Pengantar tentang Pijakan FundamentalismeRasional, Ketua Departemen Humas KAMMI DIY 2000-2002. (arsip KAMMI Yogyakarta)
12
Murad Wilfried Hofmann terlahir pada 6 Juli 1931, dengan nama Wilfred Hoffman, dari sebuah keluarga
Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Pada tahun 1957 ia meraih
gelar gelar Doktor dalam bidang Undang-undang Jerman, dari Universitas Munich. Dan pada tahun 1960, ia meraih
gelar magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-undang Amerika. Ia kemudian bekerja di
kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah
pertahanan nuklir. Ia pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan
terakhir Duta Besar Jerman di Maroko, hingga tahun 1994. Kini bersama isterinya, seorang muslimah asal Turki, ia
menikmati masa-masa pensiun di Istambul. Sambil berpikir dan mengarang buku.
Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam,
terutama Al Quran. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar memperaktekkan ibadah-ibadahnya. Pada
tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin
mendekatkan dirinya kepada keimanan, dengan terharu ia mengungkapkan dalam memoarsnya (edisi bahasa
Indonesia: Pergolakan Pemikiran): "Aku harus menjadi seorang Muslim!" Maka pada tanggal 25 September 1980, di
Islamic Center Colonia, ia dengan pasti mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ia memilih nama baru nama baru bagi dirinya: "Murad". Muhammad Asad, seorang Muslim Austria, yang
sebelumnya bernama Leopold Weist, dalam pengantarnya terhadap memoar Murad Hoffman, yang telah diterbitkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul Pergolakan Pemikiran, lebih jauh menjelaskan makna filosofis nama tersebut:
"Murad artinya 'yang dicari', dan pengertiannya yang lebih luas adalah 'tujuan', yaitu tujuan tertinggi hidup Willfred
Hoffman."Murad Hoffman telah menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985 ia menulis memoarnya,
yang diterbitkan pada bahasa Inggris pada tahun 1987, dalam bahasa Perancis pada tahun 1990, dalam bahasa Arab
pada tahun 1993, dan bahasa Indonesia pada tahun 1998 (dengan judul Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian
Muslim Jerman).Bukunya yang menggegerkan; Der Islam als Alternative, juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa
Inggris dan bahasa Arab, pada tahun 1993. Annie Marie Schimmel dengan hangat memberikan kata pengantar
dalam buku tersebut, dan dengan antusias menutup pengantarnya itu sambil menyitir Goethe: "Jika Islam berarti
ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islamlah selayaknya kita hidup dan mati!" Memang, menurut
pengamatan Murad Moffman, sebentar lagi Schimmel akan terus terang memeluk Islam.
Dalam buku Trend Islam 2000, Murad Hoffman mencoba menatap potensi futuristik peradaban Islam. Dengan tujuh
bagian kajian, ia memulai dengan melihat tiga sikap kaum Muslimin terhadap masa depan mereka.
Pertama: kelompok yang pesimis, yang melihat bahwa perjalanan sejarah pada dasarnya selalu menurun.
Kedua: kelompok yang melihat sejarah umat Islam seperti gelombang yang terdiri dari gerakan naik turun. Dan
Ketiga: kelompok yang amat optimis, yang melihat bahwa sejarah Islam terus menuju kemajuannya.
Ketiga kelompok tersebut, masing-masinng mempunyai sandarannya dari teks agama Islam. Hoffman mengajak kita
untuk bersikap optimis, menatap mentari esok dengan semangat dan usaha. Maka ia mulai mencari faktor-faktor

mualaf

asal

Jerman).

Hoffman

membedakan

Fundamentalisem Literer adalah secara eksklusif

dua

jenis

fundamentalisme.

Pertama,

menetapkan susunan kata-kata asli dari

sumbernya. Fundamentalisme literer tidak bermaksud melakukan konstruksi. Kedua,
Fundamentalisme Rasional adalah berusaha untuk kembali kepada sumbernya tanpa batasanbatasan metodis.
Tokoh Fundamentalisme literer disini diantaranya Syaikh Wali Allah, Muhammad Ibn
„Abdul Wahhab, Muhammad Ibn „Ali As-Sanusi, Ikhwan al Muslimin dan Jamaat-Islami.
Sedangkan tokoh Fundamentalisme Rasional Muhammad Abduh, M Rasyd Ridha, Syaikh Ibn
Badis, Al-Ibrahimi dan Muhammad Asad. Yusuf Maulana mencoba membuka tabir KAMMI
yang saat ini masih ekstrim pada titik Fundamentalisme Literer. Walaupun dalam pandangan
penulis saat ini tidak semua kader KAMMI kategori dalam Fundamentalisme literer.
Fundamentalisme Rasional merupakan jalan tengah, moderasi, dari praktik ekstrim literer
dan juga substansialisme literer. Satu sisi pemahaman ke-Islaman terjebak pada teks-teks
sehingga melahirkan apologi yang berlebihan. Disisi lain pemahaman yang mengedepankan
aspek substantif dari ke-Islaman juga bukannya tanpa persoalan. Pada titik ekstrimnya,
pemahaman terakhir ini malah melahirkan anarkisme : mengapriorikan bahkan mengapatisi teksteks sumber Islam. 13
Pada posisi ini tidak mudah, Fundamentalisme rasional cenderung dicurigai karena tidak
mengindahkan kaidah-kaidah ke-Islaman dalam bentuk teks. KAMMI akhirnya menjadi terjebak
dalam mazhab dan tafsir yang menyeret pada perbedaan cara pandang bukan menampilkan
dialektika substansi. Yang dihadapi KAMMI sama persis dengan apa yang menjadi perilaku KH

yang mendorong optimisme tersebut, kemudian dibandingkan dengan situasi agama Kristen dan Yahudi, sambil
membaca hubungan Islam dan Barat. Kemudian ia kembali bertanya, apakah mungkin membangkitkan Islam
kembali? Untuk menjawab itu, ia mengajukan skala prioritas pembaruan yang harus dilaksakanakan sebagai
prasyarat kebangkitan itu, yaitu: perbaikan mutu pendidikan dan teknologi, melepaskan belenggu kaum perempuan,
perbaikan dalam hak-hak asasi manusia, merumuskan teori negara dan ekonomi, memberikan sikap tegas terhadap
sihir dan khurafat, dan memperbaiki sarana transportasi dan komunikasi di dunia Islam. Sambil dengan tegas
membedakan antara: Islam sebagai agama dan sebagai peradaban, sunnah yang sahih dan yang tidak, syari'ah dan
pemahaman fuqaha (fiqh), serta al Quran dan as Sunnah. Ia terutama memberikan prioritas pada perbaikan
pendidikan dan kemampuan teknologi. Karena masa depan kita, ia menambahkan, diciptakan dari dua bidang ini.
Seperti ia ungkapkan dalam prakata bukunya tersebut: "Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain
bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islamlah satu-satunya alternatif itu!" Oleh karena itu,
tidak aneh ketika buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara
televisi saluran I dengan Murad Hoffman; dan dalam wawancara tersebut, Hoffman bercerita tentang bukunya yang
--ketika itu-- sebentar lagi akan terbit itu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Murad_Hoffman)
13
Ibid., Yusuf Maulana, hal 4

Ahmad Dahlan tentang Legenda al-Maun dengan pengembangan Islam model protestan. 14 Pada
saat itu terlihat KH Ahmad Dahlan dikafirkan karena menggabungkan tradisi dengan
modernisme. Seperti mengajar dengan bangku-bangku, padahal kaum Islam saat itu
menggunakan metode surau (pesantren). KH Ahmad Dahlan membangun Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO) (sekarang Rumah Sakit Muhammadiyah Yogyakarta) dengan
menggandeng dokter-dokter dari Belanda. Stigma Kiai Kafir kemudian muncul oleh para Kiai
lain saat itu (fundamentalisme leterer).
Fundamentalisme Rasional mengingini aplikasi Islam tidak tercerabut dari akar
tradisional, namun tidak terjebak pada aspek bernostalgia. Sehingga bila KAMMI ingin
menjadikannya sebagai budaya organisasi, maka aktivitasnya harus berani memerluaskan
pemahaman tentang sejarah. Sejarah tidak hanya tentang aspek normatif sebagaimana banyak
dijalankan sekarang ini oleh aktivitas KAMMI. Sejarah juga harus disadari sebagai persolan
kemanusiaan, sehingga bisa membaca masa lalu tidak sebagai fakta yang sakral. Dari sini
diharapkan timbul etos untuk proporsional meletakkan sejarah dan mengapresiasi sejarah. 15
KAMMI Meruntuhkan Mitos
KAMMI harus menyadari dirinya adalah bagian dari pembentukan fase sejarah dimana
metamorfosis gerakan itu akan muncul sesuai dengan tantangan zamannya. KAMMI menyadari
sejarah, bahwa gerakan Islam sebelumnya telah ikut andil membangun karakter KAMMI yang
saat ini ada. Mulai kesadaran eksistensi Jong Islamiten Bond (JIB) dan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) yang pernah militan di Indonesia. Wawasan sejarah ini memunculkan perilaku yang
rasional dan tidak a-historis. KAMMI yang a-historis menafikan peran gerakan Indonesia dan
mengira bahwa Ikhwanul Muslimin adalah gerakan yang pas dan diterapkan hegemonik di tubuh
KAMMI.
Rasionalisasi perilaku hidup dapat disimak pada upaya re-interprestasi doktrin keIslaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bernapaskan pada rasionalitas dan
kemajuan. Islam dan kemajuan di-rekonsiliasikan.16 Yusuf Maulana menegaskan di pengantar
awal bahwa, Fundamentalisme-Rasional menjadi salah satu tawaran agar kekosongan dalam
tradisi intelektual direkatkan lagi ke dalam sebuah budaya organisai. Fundamentalisme-Rasional
14

Abdul Munir Mulkhan, Kiai Ahmad Dahlan, Jejak pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan, Jakarta, Penerbit
Buku Kompas, 2010 hal 65-68
15
Ibid, Yusuf Maulana, hal 4
16
Ibid., Abdul Munir Mulkhan, hal 68

bukanlah sebuah dekonstruksi nilai lama, melainkan rekonstruksi agar pemahaman ke-Islaman
KAMMI makin berilmu, makin sadar zaman, makin holistik, makin kosmopolit, makin adaptif,
tidak apriori, tidak apologi dan seharusnya kritis. 17

Jadi murni Gerakan Fundamentalisme

Rasional bagi penulis hanya ada pada kebutuhan berfikir dan sikap internal KAMMI bukan
memaksa pada berfikir gerakan lain bahkan memaksa untuk menjadi perilaku gerakan lain.
Berintelektual di KAMMI adalah rasional substansi. Bahwa demokrasi dipahami dengan
pengetahuan bukan mitos itu sendiri. Partai dalam demokrasi juga dipahami dengan pengetahuan
bukan ketakutan mitos, sehingga KAMMI memilah-milih kritik terhadap partai dengan alasan
bahwa ada partai dakwah. Bagi kesadaran rasional KAMMI, partai Islam sekalipun seharusnya
dipahami sebagai alat organisasi bukan mitos yang sulit untuk dikritik. Kesadaran pengetahuan
ini menjadi modal KAMMI berani mencari panutan yang benar (Muhammad SAW) dan tauhid
menuju monoteisme (Allah SWT). Bangsa panutan yang melekat dan menempel pada unsurunsur mistis dilawan dengan sejarah, tauhid dan rasionalitas KAMMI meneguk haus-nya
pengetahuan. Sehingga KAMMI menyadari dirinya adalah potensi besar sebagai gerakan yang
tidak tunduk atas dasar mitos yang selama ini sakral dan membonsai pertumbuhan KAMMI.
Bahwa KAMMI mampu menentukan masa depan sendiri dengan keyakinan yang dibangun dari
Konstitusi, Prinsip, Kredo, Paradigma, Cita-cita, dan bentuk gagasan Nilai Perjuangan KAMMI
yang harus diyakini sebagai modal meneguk pengetahuan di masa depan.
KAMMI butuh arus kritis sehingga bersikap pada bentuk pencerdasan bersama menuju
kemajuan organisasi Islam yang egaliter yaitu terbuka dan mengarah pada kemampuan KAMMI
bergerak cerdas, solid dan rasional. KAMMI dan kesadaran kritis akan menyadari dirinya adalah
entitas perubahan, kumpulan pemuda yang genial intelektualnya, progresif gerakan massa-nya,
gerakan yang kritis pada porsi menuntut pelayanan publik, mendekat dalam nadi rakyat, dan
tidak lengah hingga berakhir merapat dalam arena kekuasaan pragmatis. Kesadaran KAMMI
sebagai gerakan politik ekstraperlementer adalah entitas pemuda yang memberi pencerahan
kemasyarakat tentang pilihan-pilihan logis yang rasional atas demokrasi yang semakin antiklimaks ini. Jika KAMMI tidak adil dalam pemikiran, maka KAMMI tidak adil dalam perbuatan.
Perlu kerjasama sinergis dari KAMMI untuk masa depan yang lebih baik, secara Struktural dan
Kultural!

17

Ibid, Yusuf Maulana, hal 5

Daftar Pustaka
Ananta Toer, Pramoedya. Sang Pemula, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003.
Ananta Toer, Pramoedya. Sastra, Sensor, dan Negara:Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?.
(Pidato tertulis Pramoedya Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina,
1995)
Anderson, Benedict. Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, 1986, London,
Verso.
http://id.wikipedia.org/wiki/Murad_Hoffman
Isak, Joesoef (ed). dalam novel, Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata,
1995.
Madjid,Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah telaah kritis tentang masalah
keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta,
1992.
Maulana, Yusuf. Tantangan Masa Depan dan Budaya KAMMI : Pengantar tentang Pijakan
Fundamentalisme-Rasional, Ketua Departemen Humas KAMMI DIY 2000-2002.
(arsip KAMMI Yogyakarta)
Munir Mulkhan, Abdul. Kiai Ahmad Dahlan,

Jejak pembaharuan Sosial dan

Kemanusiaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak : radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, penerjemah
Hilmar Farid, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga, Panitia penerbit
DBR, Djakarta, 1964.