Preferensi risiko petani pada usahatani padi organic di Kabupaten Sragen

(1)

RETNO BUDI RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

RETNO BUDI RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

RETNO BUDI RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

PREFERENSI RISIKO PETANI PADA USAHATANI PADI ORGANIK

DI KABUPATEN SRAGEN

Merupakan hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2011

Retno Budi Rahayu NRP H 353080111


(3)

Sragen (NUNUNG KUSNADI as a Chairman and ANNA FARIYANTI as a Member of the Advisory Committee).

Organic paddy farming has more production risk than non organic paddy farming. Greater production risk is shown in productivity variance in organic farming than non organic farming. The purposes of this study are : (1) to determine inputs effect on risk production, (2) determine farmer risk preference and analyze relationship between socio economic factors and farmer risk preference, and (3) analyze effect of risk preference on farmer decision in organic paddy farming implementation. In this study we use Just-Pope production function model. Just Pope model construct the production function as the sum of two components, that are mean production function and variance function (as a risk function). Probit model is used to analyze the relation between socio-economic factors and probability farmer implement organic paddy farming, and Arrow-Pratt absolute risk averson (AR) is used to estimate farmer risk preference. The result shows that most farmers are risk averse. Organic paddy farmer tend to risk taker than non organic paddy farmer. Pesticides and labor are inputs that have a risk reducing effect in organic paddy farming. Seeds and manure inputs have a risk increasing effect. Farmer s off-farm income and land owner status are have significant effect to farmer s risk preference. Probability of farmer to adopt organic paddy farming have a positive relations with off-farm income, land owner status, experiences in paddy farming and have negative relation with age, and risk preference. Organic paddy farming have more production risk than non organic farming.

Key words : Organic paddy farming, Just-Pope production function model, expected utility, risk preference


(4)

Kabupaten Sragen (NUNUNG KUSNADI sebagai Ketua dan ANNA FARIYANTI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pada saat ini isu pelestarian lingkungan merupakan hal yang perlu dipertimbangan dalam melakukan usaha ekplorasi sumber daya alam. Sustainabilitas atau berkelanjutan yang terabaikan selama ini menjadi isu dalam pembangunan pertanian seluruh dunia, bahkan FAO mendorong agar diterapkan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Di Indonesia pembangunan pertanian berwawasan lingkungan merupakan konsep pembangunan pertanian yang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas. Hal tersebut bisa dicapai melalui peningkatan produksi pertanian baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu bentuk dari sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia adalah dengan diterapkannya pertanian organik.

Daerah Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah yang mengembangkan usaha padi organik. Selama 10 tahun mencanangkan program pertanian organik, kurang dari 1% petani padi yang menerapkan usaha padi organik secara murni. Padahal beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertanian organik merupakan usahatani yang mampu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani dan layak untuk diusahakan, karena mempunyai harga produksi premium dan memiliki viabilitas tinggi secara ekonomi dibanding dengan usahatani konvensional. Tetapi petani memberikan respon yang sangat lambat terhadap upaya pengembangan pertanian organik.

Rendahnya respon petani dalam penerapan inovasi usaha padi organik kemungkinan besar disebabkan karena risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi organik lebih besar dari pada risiko yang dihadapi oleh petani padi non organik. Keberadaan risiko produksi akan mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan alokasi input usahatani. Keputusan petani dalam alokasi dan penggunaan input dipengaruhi oleh preferensi risiko petani, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas usahatani. Berdasarkan hal tersebut, tujuan peneitian ini adalah : (1) menentukan input-input yang mempengaruhi risiko produksi, (2) menentukan preferensi risiko dan faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh, dan (3) menganalisis pengaruh preferensi risiko petani terhadap keputusan melakukan usaha padi organik.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Sragen, dengan 60 petani sampel terdiri dari petani padi organik dan non organik. Alat analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model fungsi Just Pope dan fungsi probit. Fungsi produksi Just Pope digunakan untuk menganalisis pengaruh input terhadap risiko produksi yang dihadapi petani. Sedangkan fungsi probit digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemungkinan petani melakukan atau menerapkan usaha padi organik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi di Kabupaten Sragen bersifat risk averse. Rata-rata nilai risk averse petani organik adalah 0.2298 dan rata-rata nilai risk averse petani non organik adalah 1.0813. Pada usahatani organik, input pestisida dan tenaga kerja merupakan input pengurang risiko,


(5)

pengalaman usahatani padi berpengaruh positif pada kemungkinan petani menerapkan usahatani padi organik. Umur petani, luas lahan dan tingkat risk averse petani berpengaruh negatif pada penerapan usahatani organik.

Kata kunci : Usahatani padi organik, model Just Pope, expected utility, preferensi risiko petani


(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

RETNO BUDI RAHAYU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(Dosen Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

(Dosen Departemen Agribisnis,


(9)

Nama Mahasiswa : Retno Budi Rahayu

NRP : H 353080111

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(10)

DAFTAR TABEL . xv

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang . 1

1.2. Rumusan Masalah . 8

1.3. Tujuan Penelitian .. 11

1.4. Manfaat Penelitian .11

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..12

II. TINJAUAN PUSTAKA .. 13

2.1. Pertanian Organik . 13

2.2. Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani 16 ..

2.3. Penelitian Mengenai Usahatani Organik .. ... 18 2.4. Tinjauan Studi Menggunakan Model Fungsi Just Pope 20 2.5. Model Probabilitas Penerapan Usahatani Padi Organik yang

Dipengaruhi Preferensi Risiko Petani . 22 .

III. KERANGKA TEORITIS .. 25

3.1. Teori Produksi .. . 25

3.2. Konsep Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani ... .. 29

3.3. Faktor Penentu Penerapan Usahatani Organik 41. .

3.4. Kerangka Pemikiran Operasional . 44 .

IV. METODE PENELITIAN ... 47

4.1. Lokasi Penelitian .. 47

4.2. Metode Pengambilan Sampel 48

4.3. Jenis dan Sumber Data .. 49

4.4. Metode Analisis Data 50

4.4.1 Analisis Pengaruh Input Terhadap Risiko Produksi .50 4.4.2 Analisis Preferensi Risiko Petani Serta Faktor-Faktor Sosial

Ekonomi yang Mempengaruhi Preferensi Risiko Petani 53 4.4.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani Melakukan


(11)

4.6. Definisi Operasional ..57

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .. . 59

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Sragen .. 59

5.2. Karakteristik Petani Sampel . 61

5.3. Usahatani Padi Organik di Kabupaten Sragen . 66 5.4. Produktivitas dan Penggunaan Input Usahatani .71 5.5. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Oranik 75 VI. PREFERENSI RISIKO PETANI PADA PENERAPAN USAHATANI

PADI ORGANIK 77

6.1. Pengaruh Penggunaan Input Terhadap Produktivitas dan Risiko

Produksi .. .. 77

6.2. Hubungan Preferensi Risiko Petani dengan Faktor-Faktor Sosial

Ekonomi Petani ... 87

6.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemungkinan Petani Melakukan

Usahatani Padi Organik .... 93

VII. KESIMPULAN DAN SARAN .. 99

7.1. Kesimpulan . 99

7.2. Saran 100

7.3. Saran Penelitian Lanjutan 101

DAFTAR PUSTAKA 103


(12)

1.

Kelompok Makanan tahun 2003 - 2009 .. 2

2. Rata-Rata Laju Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2000 - 2009 3 3. Perbandingan Rata-Rata Produktivitas Usahatani Padi Organik di

Kabupaten Sragen Tahun 2007 dan Rata-Rata Produktivitas Usahatani

Padi Non Organik di Kabupaten Klaten Tahun 2007 7 4. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Ketersediaan Sarana Irigasi di

Kabupaten Sragen Tahun 2008 60.

5. Keragaan Umur Petani Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten

Sragen Tahun 2010 ... 62

6. Distribusi Pendidikan Petani Padi Organik dan Non Organik di

Kabupaten Sragen tahun 2010 .. 63

7. Keragaman Pengalaman Petani dalam Melakukan Usahatani Padi di

Kabupaten Sragen Tahun 2010 63

8. Sebaran Luas Lahan Garapan Petani Padi Organik dan Non Organik

di Kabupaten Sragen Tahun 2010 64

9. Sebaran Status Lahan Garapan Petani Padi Organik dan Non Organik

Di Kabupaten Sragen Tahun 2010 65

10. Data Petani yang Mempunyai Penghasilan dari Luar Usahatani Padi di

Kabupaten Sragen Tahun 2010 66

11. Produktivitas dan Penggunaan Input Usahatani Padi Organik dan

Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 .. 72 12. Analisis Pendapatan Rata-Rata Usahatani Padi Organik dan Non Organik

di Kabupaten Sragen Tahun 2010 75

13. Perbandingan Pendapatan Rata-Rata per Hektar Usahatani Padi Organik

dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 . 75 .. 14. Hasil Estimasi Fungsi Produktivitas dan Fungsi Risiko Produksi

Usahatani Padi Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 .. 78 15. Hasil Estimasi Fungsi Produktivitas dan Fungsi Risiko Produksi

Usahatani Padi Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 84.. 16. Rekapitulasi Preferensi Risiko Petani Padi Organik dan Non Organik di

Kabupaten Sragen Tahun 2010 87

17. Rata-Rata Nilai Preferensi Risiko Petani Padi Organik dan Non

Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 . 88

18. Hasil Estimasi FungsiAbsolute Risk Aversion dengan Pendapatan Petani

Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 89 Rata-Rata Konsumsi kalori per Kapita Penduduk Indonesia Menurut


(13)

Preferensi Risiko Petani Padi di Kabupaten Sragen Tahun 2010 . 90 20. Data Statistik Diskriptif Aset yang Dimiliki Petani Padi Organik dan Non

Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 . 91

21. Data Statistik Pengalaman Usahatani Padi yang Dimiliki Petani Organik

dan Petani Padi Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010 92 . .. 22 Hasil Estimasi Fungsi Probabilitas Petani Menerapkan Usahatani Padi


(14)

Nomor Halaman 1. Tiga Tahap Kurva Produksi, Kurva Marginal dan Kurva Rata-Rata

Produksi .. 27

2. Respon Ketidakpastian ProduksiY Karena Penggunaan InputX dan

Kondisi Curah Hujan yang Berbeda . 32

3. KurvaIndifference yang Menghubungkan Varians Income dengan

Income yang Diharapkan 35

4 Teori Utilitas dan Pilihan-Pilihan yang Mengandung Risiko . 36

5. Kerangka Pemikiran Penelitian . 43

6. Tahapan Operasional Penelitian . 46

7. Bagan Penentuan Lokasi Penelitian 48 .


(15)

Nomor Halaman 1. Nilai AR per Input dari Petani Padi Organik . 109 2. Nilai AR per Input dari Petani Padi Non Organik 110. 3. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Usahatani Organik 111 . 4. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Usahatani Non Organik 112 . 5. Hasil Estimasi Fungsi Produktivitas Usahatani Organik 113 . 6. Hasil Estimasi Fungsi Produktivitas Usahatani Non Organik 114 . 7. Hasil Estimasi Parameter Untuk Pembobotan Organik 115.

8. Hasil Estimasi Parameter Untuk Pembobotan Non Organik 116 .

9. Hasil Estimasi Parameter Setelah Dilakukan Pembobotan Organik 117 . 10. Hasil Estimasi Parameter Setelah Dilakukan Pembobotan Non Organik 118 . 11. Hasil Estimasi Fungsi Risiko Organik Menggunakan SAS 9.1 dengan

LIML 119

12. Hasil Estimasi Fungsi Risiko Non Organik Menggunakan SAS 9.1

dengan LIML 120

13. Hasil Estimasi Fungsi Risiko Organik Menggunakan Frontier 4.1. .121 14. Hasil Estimasi Fungsi Risiko Non Organik Menggunakan Frontier 4.1. 122 . 15. Hasil Estimasi FungsiAbsolute Risk Aversion terhadap Pendapatan

Petani Organik . 123

16. Hasil Estimasi FungsiAbsolute Risk Aversion terhadap Pendapatan

Petani Non Organik 124.

17. Hasil Estimasi Fungsi Probit 125

18. Uji-t Perbedaan Aset Petani Organik dan Non Organik 127 . 19. Uji-t Perbedaan Nilai Absolute Risk Aversion Petani Organik dan

Non Organik 128

20. Uji-t Perbedaan Keuntungan Usahatani Organik dan Non Organik 129 . 21. Uji-t Perbedaan PengalamanPetani Organik dan Non Organik 130 . 22. Hasil Estimasi FungsiAbsolute Risk Aversion terhadap Faktor

Sosial Ekonomi Petani . 131

23. Uji-t Perbedaan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Organik

dan Non Organik .. . 132


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian yang didalamnya terdapat sub sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan dan peternakan mempunyai kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, diantaranya adalah kontribusi produk (product contribution), kontribusi pasar (market contribution), kontribusi pangan (food contribution), kontribusi tenaga kerja (employment contribution) dan kontribusi devisa (export earning contribution). Ditinjau dari kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia, maka pertanian berperan penting dalam kelangsungan ketahanan pangan nasional.

Sektor pertanian juga menghadapi tantangan yang semakin besar di masa yang akan datang. Kebutuhan pangan yang semakin meningkat dengan kendala konversi lahan subur yang terus berjalan, perubahan iklim global yang sedang terjadi, teknologi pertanian yang mengalami stagnasi sampai dengan kendala kebijakan pemerintah pada saat ini yang kurang berpihak pada sektor pertanian.

Kontribusi mendasar dari sektor pertanian adalah peran pertanian dalam pemenuhan pangan. Konsumsi pangan yang memerlukan pemenuhan dalam jumlah besar dan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat adalah kebutuhan beras. Hampir semua penduduk Indonesia pada saat ini menjadikan beras sebagai sumber karbohidrat sehari-hari, walaupun ada sebagian penduduk Indonesia yang memanfaatkan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat, sebagaimana digambarkan pada Tabel 1.


(17)

Tabel 1. Rata-Rata Konsumsi Kalori per Kapita Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Makanan Tahun 2003 – 2009

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Tabel 1 dapat diketahui bahwa kebutuhan bahan makanan berasal dari padi-padian (beras) menempati urutan teratas dari kebutuhan pangan sehari-hari. Hal ini yang mengakibatkan kebutuhan beras terus meningkat mengikuti peningkatan jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan sebesar 1.4% per tahun berarti kebutuhan penyediaan pangan nasional terus meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk. Dari data Badan Pusat Statistik diketahui bahwa rata-rata konsumsi beras per tahun untuk penduduk Indonesia adalah 125.8 kg per kapita. Sedangkan FAO menyebutkan bahwa kebutuhan beras rata-rata yang digunakan untuk kelangsungan peningkatan kualitas hidup sebesar 133 kg per kapita per tahun. Ini berarti kebutuhan beras untuk memenuhi konsumsi bagi penduduk di Indonesia sebesar 30.59 juta ton per tahun. Data laju produktivitas padi rata-rata yang dicapai oleh petani di Indonesia selama sepuluh tahun terahir, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun (yaitu tahun 2000-2009) laju kenaikan produktivitas rata-rata 1.2% berada dibawah laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1.4% per tahun. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah jika Indonesia tidak ingin menjadi negara yang bergantung pada impor beras,

No Komoditi

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Padi-Padian 1035.07 1024.08 1009.13 992.93 953.16 968.48 939.99

2 Umbi-Umbian 55.62 66.91 56.01 51.08 52.49 52.75 39.97

3 Ikan 46.91 45.05 47.59 44.56 46.71 47.64 43.52

4 Daging 41.71 39.73 41.45 31.27 41.89 38.60 35.72

5 Telur dan Susu 37.83 40.47 47.17 43.35 56.96 53.60 51.59

6 Sayur-Sayuran 40.95 38.80 38.72 40.20 46.39 45.46 38.95

7 Buah-Buahan 42.75 41.61 39.85 36.95 49.08 48.01 39.04

8 Minyak/Lemak 241.70 236.67 241.87 234.50 246.34 239.30 228.35


(18)

maka produksi padi Indonesia harus terus dingkatkan untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang ada. Dari The World Food Summit FAO di Roma pada tahun 1997 juga memprediksikan bahwa produksi pangan di negara berkembang harus meningkat 3 kali lipat pada tahun 2050 untuk memenuhi tuntutan pangan dalam mencapai standar hidup yang lebih tinggi bagi populasi manusia yang diperkirakan meningkat 2 kali lipat.

Tabel 2. Rata-Rata Laju Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2000 – 2009

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Revolusi hijau telah berhasil mencukupi kebutuhan pangan pada era tahun 60-an sampai dengan 80-an. Tetapi dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak dipertimbangkan pada saat revolusi hijau digulirkan baru dapat dirasakan dalam dasawarsa terahir. Revolusi hijau yang telah terjadi, dengan menggunakan benih varietas unggul yang memerlukan pemupukan yang lebih intensif serta menggunakan pestisida yang berlebihan telah menyebabkan lahan-lahan padi berada pada kondisi levelling off, yaitu kondisi dimana tanah tidak mampu ditingkatkan lagi produktivitasnya meskipun diberi banyak pupuk. Selain itu tanah kehilangan sifat porusnya sehingga kurang mampu menahan pupuk dan pengairan yang diberikan (Sulaeman, 2009).

Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas

(Hektar) (Ribu Ton) (Ton/Hektar)

2000 11 793 51 899 44.01

2001 11 499 50 461 43.88

2002 11 521 51 490 44.69

2003 11 488 52 138 45.38

2004 11 923 54 088 45.36

2005 11 839 54 151 45.74

2006 11 787 54 455 46.2

2007 12 148 57 157 47.05

2008 12 327 60 326 48.94


(19)

Pada saat ini semua potensi dari empat komponen dasar teknologi produksi padi yang dikembangkan mulai tahun 1960-an sudah dimanfaatkan. Keempat komponen tersebut adalah (1) introduksi varietas unggul menggantikan padi tradisional yang telah ada, dimana varietas unggul mempunyai daya hasil yang tinggi dan responsif terhadap pupuk Nitrogen, (2) peningkatan penggunaan pupuk mineral terutama pupuk Nitrogen, (3) penggunaan bahan kimia untuk perlindungan hama tanaman, dan (4) pembangunan dan rehabilitasi sarana irigasi, karena varietas unggul dapat beradaptasi dengan baik pada lahan sawah irigasi atau sawah tadah hujan dengan drainase yang baik. Namun para petani, terutama di Jawa masih berusaha terus meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan jalan peningkatan penggunaan pupuk Nitrogen dengan takaran yang tidak sesuai lagi dosis yang dianjurkan oleh pemerintah. Penggunaan pupuk Nitrogen dengan takaran 2 sampai 5 kali takaran wajar dengan maksud agar mampu meningkatkan produktivitas per luas lahan tetap tidak mampu menaikkan produktivitas sesuai dengan yang diharapkan (Sulaeman, 2009).

Sustainabilitas atau keberkelanjutan yang terabaikan selama ini menjadi isu dalam pembangunan pertanian seluruh dunia. Bahkan FAO mendorong agar diterapkan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Di Indonesia pembangunan pertanian berwawasan lingkungan merupakan suatu konsep pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani secara luas. Hal tersebut bisa dicapai melalui peningkatan produksi pertanian baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Salikin dalam Sulaeman, 2009). Menurut Hong (1994), komponen utama dari pertanian berkelanjutan meliputi budaya dan perilaku, pengelolaan tanah dan air, pemakaian


(20)

obat-obatan non-kimia, produksi tanaman dan ternak yang terintegrasi dan melakukan daur ulang terhadap limbah pertanian.

Pertanian berkelanjutan diwujudkan dalam bentuk pertanian dengan penggunaan input dari luar lingkup usahatani yang rendah (low external input sustainable agriculture atau LEISA) dan salah satu bentuk penerapannya di Indonesia yaitu dengan pertanian organik. Petani dalam mengelola usahataninya menurunkan penggunaan input yang tidak bisa diperbaharui (pupuk dan pestisida kimia) digantikan dengan input yang telah tersedia di lingkungan usahatani, misalnya penggunaan pupuk yang berasal dari limbah pertanian (pupuk organik kompos atau pupuk kandang). Hal ini perlu mendapatkan perhatian sebagai alternatif lain dari pola pikir yang telah terbentuk atas keberhasilan swasembada beras yang tercapai pada masa lalu. Keberhasilan petani-petani Sragen dan Padang dalam memproduksi padi dengan menggunakan pupuk kimia yang dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik membuktikan bahwa LEISA maupun pertanian organik mampu mempertahankan bahkan meningkatkan swasembada pangan (Sulaeman, 2009).

Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah yang mengembangkan usahatani padi organik maupun semi organik. Selama 10 tahun mencanangkan program pertanian organik, data menunjukkan bahwa dari 39 759 hektar lahan sawah yang ada, 4 508 hektar menerapkan usahatani padi semi organik (Data Profil Kabupaten Sragen, 2008 dan Data Badan Pelaksana Penyuluhan/Bappeluh Kabupaten Sragen, 2008). Dari jumlah total lahan sawah yang terdapat di Kabupaten Sragen tersebut, sekitar 180 hektar (kurang dari 1% dari total lahan sawah) yang menerapkan usahatani padi organik secara murni atau telah memiliki sertifikasi organik1. Dilihat dari data tersebut maka dapat dikatakan bahwa petani padi di Kabupaten Sragen

1


(21)

memberikan respon yang sangat lambat terhadap upaya pengembangan usahatani padi organik yang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen. Padahal beberapa penelitian yang dilakukan Rubinos et al. (2007), Pazek dan Rozman (2007), Medina dan Iglesias (2008) menyatakan bahwa pertanian organik merupakan usahatani yang mampu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani dan layak untuk diusahakan, karena mempunyai harga produksi premium dan memiliki viabilitas tinggi secara ekonomi dibanding dengan usahatani konvensional.

Berbagai usaha dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen untuk mengembangkan usahatani padi organik, diantaranya melakukan gerakan peningkatan pembinaan, sosialisasi/penyuluhan mengenai usahatani padi organik, mengembangkan pemasaran hasil usahatani padi organik, dan peningkatan pengawasan terhadap petani. Juga diadakan pelatihan dan studi banding mengenai pertanian padi organik ke daerah lain yang diikuti oleh beberapa anggota dan ketua kelompok tani. Dinas Pertanian Kabupaten Sragen juga menjalin kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Organik Inofice dalam rangka mengembangkan pertanian padi organik. Disamping itu juga diadakan pertemuan/sarasehan kelompok tani dengan pakar pertanian organik pada Sragen Expo 2010 dan diselenggarakan beberapa seminar mengenai sistem pertanian organik.

Data perbandingan produktivitas usahatani padi organik dan non oranik di tingkat nasional tidak tersedia, maka untuk mengetahui perbandingan variasi prodktivitas usahatani organik dan non organik digunakan data usahatani padi organik di Kabupaten Sragen tahun 2007 dengan produktivitas usahatani padi non organik pada tahun yang sama di Kabupaten Klaten. Dari kedua kelompok data tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi organik mempunyai variasi produktivitas yang lebih besar bila dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Hal ini


(22)

menunjukkan bahwa risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi organik lebih tinggi dibandingkan dengan risiko produksi yang dihadapi oleh petani non organik. Data statistik perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Rata-Rata Produktivitas Usahatani Padi Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2007 dan Rata-Rata Produktivitas Usahatani Padi Non Organik di Kabupaten Klaten Tahun 2007

Sumber : Data Bappeluh Kabupaten Sragen Tahun 2007 dan Dinas Pertanian Kabupaten Klaten Tahun 2007 (Diolah)

Data Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil paling rendah yang dicapai oleh petani padi organik adalah 44.07 kuintal per hektar dan hasil tertinggi 76.81 kuintal per hektar, sedang produktivitas maksimum yang dapat dicapai oleh usahatani padi non organik adalah 59.6 kuintal per hektar dan produktvitas minimumnya adalah 46.1 kuintal per hektar. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa variasi produktivitas usahatani padi organik lebih tinggi dibandingkan dengan variasi produktivitas usahatani non organik, dari data tersebut dapat dikatakan bahwa risiko produksi pada usahatani padi organik lebih besar dari pada risiko produksi usahatani padi non organik.

Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa sikap petani sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan suatu teknologi dalam bidang pertanian. Seperti penelitian yang dilakukan Lawal dan Oluyole (2008), Ogada et al. (2010), Sauer dan Zilberman (2009) dan Villano et al. (2005). juga menyebutkan bahwa pada penerapan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, tidak semua petani menerapkan teknologi tersebut. Bahkan sedikit demi (Kuintal/Hektar) Produktivitas

Non Organik Organik

Maksimum 59.61 76.81

Minimum 46.14 44.07

Rata-rata 55.64 59.21

Varians 10.90 93.84

Std. Deviasi 3.30 9.69


(23)

sedikit petani meninggalkan teknologi yang dianjurkan, dan kembali menggunakan teknologi yang telah mereka gunakan sebelumnya. Sauer dan Zilberman (2009) yang mengadakan penelitian perilaku persepsi risiko petani terhadap penerapan teknologi baru menyatakan bahwa persepsi risiko petani terhadap rendahnya hasil yang dicapai menyebabkan menurunnya penggunaan teknologi tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap petani sangat berpengaruh pada penerapan suatu teknologi baru. Villano et al. (2005) juga menyatakan bahwa preferensi risiko petani mempunyai pengaruh penting pada keputusan petani dalam mengalokasikan input usahataninya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa preferensi risiko petani dalam menghadapi perubahan teknologi input yang berbeda, akan sangat menentukan keberhasilan penerapan teknologi tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh preferensi risiko petani terhadap penerapan suatu teknologi baru.

1.2. Rumusan Masalah

Pertanian padi organik di Indonesia belum dapat diterapkan secara murni mengingat terdapat cukup banyak kendala yang dihadapi. Pada tahap awal penerapan usahatani padi organik, masih perlu dilengkapi dengan penggunaan pupuk kimia, terutama pada kondisi tanah yang miskin unsur hara. Secara berangsur penggunaan pupuk kimia dikurangi penggunaannya sejalan dengan pemulihan kembali tingkat kesuburan tanah dan digantikan dengan penggunaan pupuk organik. Seperti yang dilakukan petani di Kabupaten Sragen, bahwa pada saat pertama kali petani mencoba melakukan usahatani padi organik, pada tahap awal penerapannya masih perlu tambahan pupuk kimia. Produktivitas rata-rata yang dicapai pada saat pertama kali


(24)

melakukan usahatani padi organik adalah 54 kuintal per hektar, setelah melewati masa tanam tahun ketiga produktivitasnya akan terus meningkat hingga rata-rata mencapai 64.8 kuintal per hektar (Bappeluh Kabupaten Sragen, 2009).

Dalam melakukan usahatani padi organik, variasi hasil yang dicapai petani organik diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penggunaan input pestisida organik. Pestisida organik yang digunakan adalah pestisida hewani (pestisida berbahan dasar urine sapi) atau pestisida nabati berasal dari bahan nabati yang ada lingkungan petani, misalnya daun mimba (Azadirachta indica). Pengendalian hama secara organik ini mempunyai efek mematikan/mengusir lebih lambat dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia. Keberhasilan petani organik dalam mengendalikan serangan hama dan penyakit akan sangat mempengaruhi produktivitas yang dicapai. Seperti dinyatakan oleh Robison dan Barry (1987), bahwa input pestisida merupakan input yang bersifat pengurang risiko, sehingga keberhasilan pengendalian hama dan penyakit akan berpengaruh terhadap penurunan risiko produksi.

Jumlah dan jenis input yang digunakan petani akan mempengaruhi risiko produksi yang dihadapi oleh petani, karena input usahatani bisa bersifat pengurang risiko atau memperbesar risiko produksi. Input yang bersifat pengurang risiko diantaranya : pestisida, pupuk dan sarana irigasi. Menurut Villano et al. (2005) risiko produksi timbul sebagai akibat dari keputusan dalam mengalokasikan input. Fariyanti et al.(2007) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa input luas lahan, benih dan obat-obatan merupakan input yang bersifat mengurangi risiko produksi, sedangkan input pupuk urea, TSP, KCl dan tenaga kerja merupakan input yang menimbulkan risiko produksi pada usahatani kentang di Pengalengan. Guan dan Wu (2009) juga menyatakan bahwa input lahan bersifat meningkatkan risiko produksi dan


(25)

input pupuk dapat mengurangi risiko produksi. Dari uraian tersebut maka perlu untuk dikaji apakah input yang digunakan pada usahatani padi organik berpengaruh pada risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi organik ? Dan bagaimanakah pengaruh masing-masing input terhadap risiko produksi tersebut ?

Kumbhakar (2002) menyatakan bahwa keputusan alokasi input usahatani berada dibawah kontrol petani dan dipengaruhi oleh sikap petani terhadap risiko/preferensi risiko. Sedangkan preferensi risiko petani dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang melekat pada diri petani. Seperti yang diungkapkan Guan dan Wu (2009) dalam hasil uji hubungan antara preferensi risiko dengan faktor sosial ekonomi petani menunjukkan bahwa umur dan pendidikan petani tidak berpengaruh pada preferensi risiko petani, sedangkan jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani dan besarnya subsidi berpengaruh pada preferensi risiko petani. Sehingga masalah yang akan dikaji berikutnya adalah faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi preferensi risiko petani ?

Dari data variasi produktivitas usahatani menunjukkan bahwa usahatani padi organik diduga mempunyai risiko produksi lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Keberhasilan penerapan usahatani padi organik akan berhubungan dengan preferensi risiko petani. Keputusan petani untuk melakukan usahatani padi organik yang mempunyai risiko produksi lebih tinggi atau memutuskan untuk melakukan usahatani padi non organik dengan risiko yang lebih rendah, akan dipengaruhi oleh preferensi risiko petani. Sebagaimana hasil penelitian Frisvold et al. (2009) menyimpulkan bahwa pada penerapan terhadap sepuluh langkah manajemen pengelolaan usahatani Best Management Practices (BMPs) dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, pendidikan, hasil yang diharapkan dan risiko hasil. Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apakah preferensi risiko


(26)

petani berpengaruh terhadap keputusan melakukan usahatani padi organik ? Bagaimanakah pengaruhnya terhadap penerapan usahatani organik tersebut ? Apakah ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap penerapan usahatani padi organik ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi.

2. Menentukan preferensi risiko dan faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh. 3. Menganalisis pengaruh preferensi risiko petani terhadap keputusan petani

melakukan usahatani padi organik.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapan penelitian ini nantinya akan bermanfaat :

1. Dengan mengetahui pengaruh input usahatani terhadap risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi organik, diharapkan akan membantu dalam menentukan sifat input yang digunakan, sehingga diharapkan akan meminimalkan risiko produksi yang disebabkan karena penggunaan input.

2. Bagi pihak yang berkepentingan dalam memajukan pertanian padi organik, penelitian ini akan membantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerapkan atau melakukan usahatani padi organik. 3. Dengan mengetahui preferensi risiko petani, diharapkan akan memudahkan

dalam mencari solusi permasalahan penerapan usahatani padi organik.

4. Memajukan usahatani padi organik demi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan petani padi organik ataupun petani padi berwawasan lingkungan.


(27)

5. Salah satu bentuk apresiasi dalam gerakan Go Organik Indonesia, pelestarian lingkungan, hemat energi dan mengurangi pemanasan global (global warming).

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada usahatani padi sawah organik di daerah Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah yang memenuhi kriteria :

1. Usahatani padi sawah dengan menggunakan pupuk organik baik berasal dari pupuk limbah pertanian berupa kotoran ternak maupun pupuk kompos, tanpa menggunakan pupuk kimia.

2. Pestisida yang digunakan adalah pestisida organik, baik berupa pestisida hewani (berasal dari hewan) dan pestisida nabati (berasal dari tumbuhan).

3. Petani padi organik objek penelitian adalah petani organik yang telah melakukan usahataninya lebih dari 3 kali musim tanam, dengan pertimbangan bahwa petani telah melewati masa fluktuasi produktivitas selama 3 kali masa panen dan lahan sawah relatif terbebas residu pupuk dan pestisida kimia.

4. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani organik mendapatkan sertifikasi pertanian organik, sehingga penentuan usahatani padi organik dalam penelitian ini bukan hanya berdasarkan pada sertifikat pertanian padi organik yang dimiliki oleh petani, tetapi berdasar pada kondisi usahatani di lapangan serta berdasar pada wawacara yang dilakukan langsung dengan petani, PPL atau ketua kelompok tani setempat.

5. Risiko produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah risiko produksi yang ditimbulkan karena penggunaan input usahatani. Risiko produksi yang timbul karena cuaca belum tercakup dalam penelitian ini, karena adanya keterbatasan waktu dan biaya penelitian.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

Produksi pangan dunia meningkat secara drastis karena ditunjang dengan adanya revolusi hijau, sehingga mampu mengatasi masalah rawan pangan di negara-negara berbagai belahan dunia termasuk Asia. Peningkatan produksi pangan tersebut sangat erat kaitannya dari penggunaan benih unggul, pupuk kimia atau pupuk anorganik, pestisida kimia, herbisida dan zat pengatur tumbuh. Akan tetapi program revolusi hijau tersebut hanya dapat berhasil pada wilayah dengan sumberdaya tanah dan air yang baik, serta infrastruktur yang mendukung (Sutanto, 2002)

Menurut pengamat dan ahli dalam bidang ekologi, teknologi pertanian modern pada saat ini (yaitu pertanian yang bergantung dengan bahan kimia) berdasarkan fisik dan ekonomi dianggap telah berhasil mengatasi bahaya rawan pangan, tetapi ternyata harus ditukar dengan biaya yang mahal karena semakin meningkatnya kerusakan atau degradasi yang terjadi di lingkungan pertanian, seperti desertifikasi, kerusakan hutan, penurunan keragaman hayati, penurunan kesuburan tanah, akumulasi senyawa kimia dalam tanah maupun perairan, erosi tanah. Sampai saat ini masih menjadikan dilema berkepanjangan antara usaha meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan pupuk kimia dan usaha pelestarian lingkungan yang berusaha mengendalikan ataupun membatasi penggunaan bahan-bahan tersebut dengan menggantikannya dengan bahan-bahan organik (Sutanto, 2002).

Di Indonesia, produksi pangan terutama beras meningkat sejak revolusi hijau (green revolution), ini terbukti pada tahun 1985 Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras. Namun di sisi lain, dosis penggunaan pupuk dan pestisida sintetik yang bertujuan untuk memacu peningkatan produksi cenderung semakin tinggi. Menurut


(29)

Martodirekso dan Suriyatna (2001), bahwa dosis rekomendasi pupuk untuk padi adalah Urea 100 - 200 kg per hektar, TSP 50-75 kg per hektar. Pada saat ini dosis rekomendasi pupuk mencapai 200-250 kg per hektar Urea, 100-150 kg per hektar TSP, 50 kg per hektar ZA dan KCL 50-100 kg per hektar. Bahkan dilaporkan bahwa di Jawa, Lampung, dan Sulawesi Selatan tingkat penggunaan pupuk oleh petani telah melampaui dosis yaitu untuk Urea secara berturut-turut 112% dan 128% dan 189%, TSP 116%, 130%, 370% dan KCL 150%, 106% dan 116% dari dosis rekomendasi (Rukka et al. 2006).

Penerapan sistem pertanian intensif dan penggunaan input bahan kimia yang terus menerus menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah, meningkatkan daya ketahanan (imunitas) hama dan patogen terhadap bahan kimia tertentu, serta berbagai masalah pencemaran lingkungan. Untuk itu, sistem pertanian dengan menggunakan bahan-bahan kimia dengan dosis tinggi seharusnya disesuaikan secara bertahap menjadi sistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (hingga akhirnya sampai pada tahap pertanian organik), yang mengacu pada kelestarian sumberdaya alam pertanian dan kesehatan yang menggunakan bioteknologi pupuk hayati, pupuk organik dan pestisida organik.

Menurut Sutanto (2002) tujuan utama pertanian organik berdasar atas ide yang berkembang pada kalangan masyarakat organik, diantaranya pada kalangan produsen, konsumen, peneliti, pecinta lingkungan dan pemerintah. Tujuan tersebut adalah : 1. Menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang baik dan dalam jumlah yang

cukup.

2. Melaksanakan interaksi secara konstruktif dan meningkatkan taraf hidup dengan memperhatikan kondisi lingkungan.

3. Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah.


(30)

5. Sedapat mungkin bekerja dengan bahan dan senyawa yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali.

6. Menekan semua bentuk polusi yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian.

7. Mempertahankan keanekaragaman genetika siste pertanian dan sekelilingnya termasuk perlindungan pada habitat tanaman dan hewan.

Pertania organik akan banyak memberikan keuntungan jika ditinjau dari aspek peningkatan produksi tanaman maupun ternak, peningkatan kesuburan tanah serta dari aspek pelestarian lingkungan, pertanian organik mampu mempertahankan ekosistem. Dari segi ekonomi pertanian organik akan menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian dan memberikan kesempatan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan petani.

Pada prinsipnya pertanian organik sejalan dengan prinsip pengembangan pertanian dengan penggunaan input luar yang rendah (low external input sustainable agriculture atau LEISA). Secara umum prinsip LEISA adalah mengupayakan keanekaragaman hayati, memperbaiki kualitas hayati, memperbaiki kualitas tanah dan air serta pola aliran siklik dalam pengelolaan nutrien.

Hong (1994) pada pertemuan FFTC (Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region) menyatakan ada dua definisi mengenai pertanian organik, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian yang sempit, pertanian organik adalah pertanian tidak menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida kimia, yang digunakan yang adalah pupuk organik, mineral dan material alami. Sedangkan pertanian organik dalam arti luas adalah usaha pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan kimia pada tingkat minimum yang dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik dan bahan-bahan alami. Definisi sempit diperlukan sebagai alat legalitas terhadap


(31)

pemasaran hasil pertanian yang diproduksi secara organik, diharapkan mampu melindungi konsumen produk pertanian organik. Hal ini terkait dengan label sertifikasi organik yang memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah benar-benar merupakan hasil dari proses produksi secara organik. Definisi luas dari pertanian organik mencerminkan sebuah pendekatan praktis terhadap isu pertanian yang berkelanjutan (sustainability agriculture).

2.2. Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani

Robison dan Barry (1987) menyatakan bahwa penggunaan input usahatani juga berpengaruh pada risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Input-input yang bersifat risk reducing atau yang bersifat mengurangi risiko, diantaranya adalah input pupuk, pestisida, penggunaan tenaga kerja dan sarana irigasi. Penggunaan jenis dan jumlah input yang digunakan dalam usahatani, berada di bawah keputusan petani. Petani akan menentukan jumlah penggunaan input pupuk, pestisida dan tenaga kerja sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi yang dimiliki petani. Menurut Villano et al. (2005) keberadaan risiko produksi akan mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan dalam alokasi input usahatani.

Beberapa studi yang melakukan analisis estimasi fungsi produksi, fungsi risiko dan juga melakukan estimasi sikap petani terhadap risiko yang dihadapi, antara lain Kumbhakar (2002), Villano et al. (2005), Fariyanti et al. (2007), Guan dan Wu (2009), dan Serra et al, (2009). Kumbhakar (2002) melakukan analisis fungsi produksi dengan memasukkan unsur risiko dan inefisiensi teknis terhadap petani salmon. Input yang diduga berpengaruh terhadap produksi dan risiko yang dihadapi petani adalah curahan tenaga kerja, jumlah pakan dan besarnya modal. Sedangkan Villano et al. (2005) melakukan studi mengenai risiko produksi, preferensi risiko dan


(32)

efisiensi teknis terhadap petani dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Kumbhakar (2002). Fungsi produksi rata-rata dan fungsi risiko yang dibangun Villano et al. (2005) dipengaruhi oleh faktor produksi luas lahan, pupuk, tenaga kerja, herbisida dan tahun dimana observasi dilakukan. Data yang digunakan adalah data panel dari 46 petani padi dari tahun 1990 sampai tahun 1997. Nilai preferensi risiko petani diestimasi dengan menggunakan Arrow Pratt absolute risk aversion (AR). Fungsi AR dalam analisisnya, dimodelkan mempunyai hubunagn linier dengan kesejahteraan petani dan keuntungan yang diperoleh petani dalam melakukan usahatani. Dalam mengukur kesejahteraan petani, Villano et al. (2005) menggunakan proxy income di luar usahatani padi dan aset yang dimiliki petani. Fariyanti et al. (2007) meneliti mengenai pengaruh risiko produksi dan risiko harga terhadap perilaku ekonomi rumah tangga petani. Dalam menganalisis risiko produksi pada usahatani kentang dan kubis, digunakan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (GARCH). Dimodelkan bahwa risiko produksi pada usahatani kentang dan kubis dipengaruhi oleh penggunaan input lahan, benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Serra et al. (2009) mengkaji mengenai perbedaan risiko dan preferensi risiko yang dihadapi oleh petani COP (Cereal, Oilsheed and Protein). Input yang digunakan dalam menganalisis fungsi produksi dan fungsi risiko adalah benih, pupuk, pestisida, air dan tenaga kerja. Guan dan Wu (2009) melakukan estimasi risiko produksi dan preferensi risiko petani dengan menggunakan model fungsi produksi Just Pope. Dimodelkan bahwa fungsi produksi dan fungsi risiko dibangun oleh faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, pupuk, pestisida dan benih. Nilai AR petani oleh Guan dan Wu (2009) diasumsikan mempunyai hubungan linier dengan tingkat kesejahteraan petani (didekati dengan nilai kekayaan petani), umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam proses produksi dan jumlah


(33)

subsidi yang diterima petani. Disimpulkan bahwa preferensi risiko petani dipengaruhi oleh status kesejahteraan, tingkat pendidikan, umur petani, subsidi yang diterima petani dan jumlah keluarga petani yang terlibat dalam usahatani.

Diantara studi yang menganalisis nilai preferensi risiko petani, Serra et al. (2009) menyatakan bahwa secara statistik, tidak ada perbedaan antara preferensi risiko petani COP organik dan konvensional, karena kedua kelompok petani tersebut sama-sama bersifat risk averse. Dengan menggunakan nilai absolute risk aversion yang dikembangkan Arrow-Pratt, Kumbhakar (2002) juga menyimpulkan bahwa semua petani salmon bersifat risk averse. Tingkat risk averse petani dapat disusun berdasarkan nilai AR yang dimiliki, sehingga semakin tinggi nilai AR petani berarti semakin tinggi sifat risk averse yang dimiliki petani tersebut dibandingkan dengan petani yang memiliki nilai AR yang rendah. Kumbhakar (2002) juga menyatakan bahwa hasil analisis Love dan Buccola menunjukkan bahwa preferensi risiko produser (dalam hal ini petani) sangat penting dalam pengambilan keputusan dalam alokasi input yang digunakan dan juga output yang dihasilkan, karena input dan output merupakan variabel yang dapat ditentukan atau dipilih oleh petani.

2.3. Penelitian Mengenai Usahatani Organik

Banyak penelitian atau studi yang telah dilakukan terkait dengan pertanian organik. Ada yang melakukan studi kelayakan ekonomi terhadap usaha pertanian organik, seperti Pazek dan Rozman (2007) dan Medina (2008). Sedangkan Rubinos et al. (2007), Serra et al. (2009) dan Madau (2005) melakukan studi komparatif antara usaha pertanian organik dan non organik. Edera et al. (2009) dan Ruka et al. (2006) menganalisis dari sisi perilaku petani terhadap usahatani organik.

Pazek dan Rozman (2007) menganalisis kelayakan usahatani organik pada petani apel, plum dan domba di Slovenia menggunakan model simulasi Cost Benefit Analysis


(34)

(CBA). Usahatani organik layak untuk diusahakan, dengan asumsi bahwa harga hasil pertanian sesuai dengan harga yang diharapkan oleh petani. Studi yang dikaukan Medina (2008) adalah melakukan analisis kelayakan ekonomi dan strategi manajemen risiko pada usaha cereal, sayuran dan buah organik di Spanyol. Disimpulkan bahwa produksi yang dicapai pada usahatani organik cenderung lebih rendah dibandingkan usaha non organik. Tetapi usaha organik dan non organik mempunyai keberlangsungan ekonomi (economic viability) yang setara karena produk organik mempunyai harga yang lebih tinggi dari pada non organik.

Studi komparatif yang dilakukan Rubinos et al. (2007) terhadap usaha padi organik dan non organik di Philipina menyatakan bahwa produksi usaha padi non organik 23% lebih besar dari usaha padi organik, tetapi usaha padi non organik mempunyai biaya input yang tinggi. Karena harga jual padi organik lebih tinggi maka penerimaan (return) usaha padi non organik lebih rendah bila dibandingkan dengan penerimaan usaha padi organik. Sedangkan Mandau (2005) melakukan komparasi estimasi efisiensi teknik antara pertanian cereal organik dan non organik di Italia, menyimpulkan bahwa efisiensi teknik pada pertanian cereal organik sedikit berada di bawah usaha cereal konvensional relatif terhadapmasing-masing frontier-nya. Tetapi bukan berarti usahatani cereal konvensional lebih efisien dari pada usahatani cereal organik, karena kedua usahatani tersebut berada pada kondisi teknologi frontier yang berbeda. Studi yang dilakukan Serra et al. (2009) adalah membandingkan perbedaan risiko dan preferensi risiko petani . Dari hasil analisisnya diketahui bahwa usahatani organik mempunyai hasil per hektar yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani konvensional dan usahatani organik mempunyai keuntungan yang lebih tinggi, walaupun biaya yang dikeluarkan pada usahatani organik lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani konvensional. Usahatani organik mempunyai nilai koefisien variasi hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani konvensional.


(35)

Edera et al. (2009) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik petani padi dalam melakukan usaha padi organik, menunjukkan bahwa daya tarik melakukan usaha padi organik dipengaruhi oleh luas lahan garapan, harga jual gabah organik, harga jual gabah non organik dan faktor kesuburan tanah. Disimpulkan bahwa usaha padi organik menguntungkan dari segi ekonomi. Sedangkan Rukka et al. (2006) meneliti hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani dalam menggunakan pupuk organik pada usaha padi sawah menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pupuk organik adalah luas lahan garapan dan pengalaman usahatani. Pendidikan formal tidak berpengaruh pada respon petani dalam penggunaan pupuk organik.

Berbeda dengan dari penelitian diatas, Lien et al. (2002) melakukan analisis perbandingan risiko produksi, risiko harga dan risiko kebijakan antara usahatani organik dan konvensional di Norwegia. Disimpulkan bahwa risiko pendapatan yang paling tinggi terdapat pada usahatani organik. Sejalan dengan hasil penelitian Medina (2008), Lien et al. (2002) juga menyatakan bahwa usahatani organik merupakan usaha yang memiliki viabilitas atau keberlanjutan yang paling tinggi secara ekonomi dibanding dengan usahatani konvensional. Guan dan Wu (2009) melakukan analisis preferensi risiko menyatakan bahwa tingkat AR petani tidak dipengaruhi oleh umur dan pendidikan, tetapi dipengaruhi oleh jumah anggota keluarga yang berpartisipasi dalam proses produksi dan subsidi dari pemerintah yang diterima oleh petani.

2.4. Tinjauan Studi Menggunakan Model Fungsi Just Pope

Model fungsi produksi yang dikembangkan Just Pope banyak digunakan sebagai model dalam penelitian ekonomi produksi dengan mempertimbangkan atau memasukkan unsur risiko di dalamnya. Beberapa peneliti yang telah mengembangkan model Just Pope sebagai alat analisis adalah Koundouri dan Nauges (2005), Eggert


(36)

dan Tveteras (2004), Fufa dan Hassan (2005), Guan dan Wu (2009), Serra et al. (2008), Kim dan Pang (2009). Kondouri dan Nauges (2005) mengestimasi fungsi produksi dan fungsi risiko produksi terhadap dua kelompok petani yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk memilih mengusahakan salah satu diantara dua jenis usahatani sayuran dan sereal, dengan menggunakan data cross section terhadap 239 petani di Cyprus. Fungsi produksi dimodelkan dalam bentuk linear kuadratik sedangkan fungsi risiko dimodelkan berbentuk fungsi Cobb Douglas. Sedangkan besarnya variabilitas output dipengaruhi oleh kondisi alam (curah hujan, irigasi, tipe tanah) dan sosial ekonomi petani (jarak dari kota atau pelabuhan, pengalaman usahatani). Model fungsi produksi Just Pope digunakan oleh Kim dan Pang (2009) untuk meneliti dampak cuaca terhadap produksi padi dan risiko produksi padi. Variabel cuaca yang digunakan adalah variabel suhu, wilayah atau regional dan curah hujan diduga berpengaruh terhadap probabilitas sebaran hasil padi. Menggunakan panel data di 8 wilayah di Korea dari tahun 1977 sampai tahun 2008.

Eggart dan Tveteras (2004) menggunakan model fungsi Just Pope untuk menganalisis hubungan antara penggunaan jenis gear dengan variasi hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di Swedia. Baik fungsi produksi dan fungsi risiko dimodelkan dalam bentuk linear kuadratik. Menggunakan data 40 kapal penangkap ikan besar ditambah dengan data dari 61 kapal nelayan Norwegia yang diambil dari penelitian sebelumnya. Fufa dan Hasan (2007) mengaplikasikan model fungsi produksi Just Pope untuk menganalisis reaksi atau respon penawaran petani terkait dengan risiko produksi yang dihadapi petani. Fungsi produksi rata-rata maupun fungsi risiko dimodelkan berbentuk fungsi Cobb Douglas. Aplikasi model fungsi Just Pope juga diadopsi oleh Guan dan Wu (2009) untuk menganalisis preferensi risiko petani, risiko harga dan risiko produksi yang dihadapi petani dengan menggunakan 1 709 data


(37)

panel usahatani dari tahun 1990 sampai tahun 1999. Fungsi produksi dimodelkan dalam bentuk linear kuadratik dan fungsi risiko berbentuk fungsi Cobb Douglas. Serra et al. (2008) menggunakan model fungsi Just Pope untuk menganalisis perbedaan perilaku risiko antara petani organik dan konvensional. Pada fungsi produksi rata-rata dimodelkan berupa fungsi kuadratik dan pada fungsi risiko, Serra et al. (2008) menggunakan berbentuk fungsi Cobb Douglas.

2.5. Model Probabilitas Penerapan Usahatani Padi Organik yang Dipengaruhi oleh Preferensi Risiko Petani

Pengaruh preferensi risiko pada penerapan usaha padi organik dalam penelitian ini menggunakan pendekatan parametrik. Model fungsi yang digunakan adalah model fungsi produksi Just Pope. Model fungsi yang dikembangkan oleh Just Pope mempunyai konsep dasar bahwa fungsi produksi dibangun oleh dua buah komponen, yaitu fungsi produksi rata-rata dan fungsi varians atau fungsi risiko. Dari analisis fungsi produksi rata-rata dapat diketahui pengaruh input terhadap produksi. Dari fungsi risiko akan diketahui pengaruh penggunaan input terhadap risiko produksi yang dihadapi petani. Estimasi fungsi risiko tanpa dilakukan restriksi sehingga dapat diketahui sifat input yang digunakan merupakan input penambah risiko (risk increasing) atau input pengurang risiko (risk decreasing).

Model fungsi produksi yang sering diaplikasikan sebagai alat analisis terhadap data kerat lintang (cross section) dengan memasukkan unsur risiko didalamnya adalah model fungsi produksi yang dikembangkan oleh Just Pope (1978) dan Kumbhakar (2002). Model fungsi Kumbhakar (2002) merupakan model fungsi produksi yang memasukkan komponen risiko dan inefisiensi teknik didalamnya. Tingkat inefisiensi teknis yang dicapai adalah merupakan pengukuran inefisiensi yang relatif terhadap suatu kelompok yang mempunyai teknologi yang sama. Sehingga tidak bisa dilakukan


(38)

perbandingan tingkat inefisiensi yang dicapai antar petani pada penggunaan teknologi yang berbeda. Sedangkan model Just Pope yang dibangun oleh fungsi rata-rata dan fungsi risiko bisa digunakan untuk menganalisis perbedaan risiko yang dihadapi antara dua kelompok petani padi, dimana kedua kelompok petani tersebut mempunyai perbedaan dalam penggunaan teknologi, yaitu petani padi organik dan petani padi non organik.

Model fungsi Just Pope yang digunakan dalam penelitian ini telah di gunakan oleh oleh banyak peneliti sebelumnya seperti Koundouri dan Nauges (2005), Eggert dan Tveteras (2004), Fufa dan Hassan (2005), Guan dan Wu (2009) dan Serra et al. (2008). Sedangkan model fungsi probabilitas digunakan Frisvold et al. (2009) digunakan untuk mengetahui kemungkinan petani melakukan teknologi BMPs di Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi BMPs dipengaruhi oleh pendidikan petani, pengalaman usahatani yang masih sedikit (usia lebih muda), harapan hasil relatif terhadap rata-rata dalam satu daerah dan variasi produksi dalam satu daerah (risiko produksi). Koundouri dan Nauges (2005) menggunakan model fungsi probabilitas untuk menganalisis kemungkinan petani memilih melakukan usahatani sayuran atau sereal.

Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam penelitian ini preferensi risiko petani digunakan sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi terhadap kemungkinan petani menerapkan usahatani organik, dimana didalamnya terdapat unsur risiko yang lebih besar dibanding dengan usahatani padi non organik. Penggunaan fungsi probabilitas dalam penelitian ini, akan dapat menjelaskan apakah preferensi risiko petani mempengaruhi keputusan petani dalam penerapan usahatani padi organik yang diduga berisiko lebih tinggi.


(39)

III. KERANGKA TEORITIS

Bab ini menjelaskan beberapa teori yang terkait dengan penelitian, yaitu teori produksi, risiko produksi dan preferensi risiko petani. Kerangka pemikiran disajikan dalam Sub Bab III ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas hubungan yang terjadi antar variabel, sedangkan tahapan operasional ditampilkan untuk memaparkan tahapan pemikiran yang penulis lakukan dalam penelitian ini.

3.1. Teori Produksi

Untuk menjelaskan mengenai risiko produksi yang terdapat dalam suatu proses produksi, perlu dipelajari mengenai dasar teori produksi. Input-input yang digunakan dalam proses produksi bukan hanya berengaruh pada produktivitas yang dicapai, tetapi juga berpengaruh pada risiko produksi yang dihadapi oleh petani.

Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi merupakan kombinasi dan koordinasi beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan fungsi produksi adalah merupakan gambaran secara matematis dari berbagai kemungkinan produksi segara teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Sedangkan Debertin (1986) mendiskripsikan fungsi produksi sebagai hubungan teknik yang menggambarkan perubahan dari input atau sumberdaya, menjadi output atau komoditi. Beattie dan Taylor (1995) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara variabel faktor produksi dengan output. Bentuk umum fungsi produksi secara matematik dinotasikan sebagai:

y = f(x)


(40)

Debertin (1986) menyebutkan bahwa model fungsi Cobb Douglas pada saat pertama kali diperkenalkan, dinotasikan sebagai :

y = Ax1αx21-α

dimana :

y = produksi x1 = tenaga kerja x2 = kapital

Fungsi produksi Cobb Douglass dengan bentuk eksponen dapat diubah dalam bentuk fungsi persamaan linier berganda dengan melogaritmakan persamaan eksponensial tersebut kedalam logaritma dengan bilangan dasar 10 atau menggunakan natural logaritma dengan bilangan dasar e = 2.71828, sehingga dari bentuk eksponen :

y = Ax1αx21-α

diubah menjadi bentuk logaritma : log y = log [Ax1αx21-α]

log y = A + α log x1 + (1-α) log x2

Nilai α dan (1-α) menunjukkan nilai elastisitas variabel x1 dan x2 terhadap y. karena :

Elastisitas produksi =

=

= •

= MPP• =

y =A

x

x

2 1-α

= αA

x

1α-1

x

21-α =


(41)

α = • = = elastisitas variabel x1

= (α-1)A

x

x

2 (1-α)-1

=

= (α-1)

(α-1) = • = = elastisitas variabel x2

Grafik fungsi produksi jangka pendek diiliustrasikan pada Gambar 1.

Sumber : Beattie dan Taylor (1985)

Gambar 1. Tiga Tahap Kurva Produksi, Kurva Marginal dan Kurva Rata-Rata Produksi

Keterangan : TPP : Total Produksi Fisik (Total Physical Product)

APP : Rata-Rata Produktivitas Fisik (Average Physical Productivity) MPP : Produktivitas Marginal (Marginal Physical Productivity)


(42)

Daerah produksi dibagi menjadi tiga tahap daerah produksi. Tahap I pada fungsi produksi merupakan tahap dimana produktivitas dari input bersifat increasing terhadap pertambahan input x1. Fungsi produksi terus mengalami peningkatan yang terus bertambah sampai titik infleksi (titik belok). Setelah melewati titik belok, tingkat increasing yang dialami oleh fungsi produksi semakin menurun. Pada titik infleksi menunjukkan batas nilai produksi marginal yang semakin meningkat (increasing marginal return) dan mulai memasuki nilai marginal produksi yang semakin menurun (decreasing marginal return). Selanjutnya fungsi produksi mencapai titik maksimum dan setelah itu mulai mengalami penurunan produksi pada saat dilakukan penambahan input produksi x1. Hal ini akan terjadi misalnya pada saat dimana petani

menggunakan input pupuk yang terlalu banyak yang sebenarnya hal tersebut akan menyebabkan kerugian atau penurunan terhadap hasil produksinya (Debertin,1986).

Model fungsi produksi yang sering diaplikasikan dalam berbagai penelitian diantaranya model fungsi stokastik frontier. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa Aigner, Lovell dan Schmidt telah melakukan estimasi adanya fungsi produksi stokastik frontier dalam fungsi Cobb Douglas, dimana model dinotasikan :

ln(y) = xiβ + vi - ui

dimana :

ln(y) = logaritma dari output

xi = logaritma input yang digunakan

vi = faktor eksternal yang mempengaruhi produksi

ui = error term

Model tersebut kemudian dikembangkan oleh Kumbhakar (2002) yang menambahkan unsur risiko produksi ke dalam model fungsi produksi, yang dinotasikan :


(43)

dimana :

y = output

f(x,z) = fungsi produksi rata-rata g(x,z) = fungsi risiko produksi q(x,z) = fungsi inefisiensi teknis

Robison dan Barry (1987) menyebutkan, model yang dikembangkan oleh Just Pope menunjukkan bahwa input yang digunakan berpengaruh terhadap fungsi produksi rata-rata dan fungsi varians, sehingga dapat dilakukan evaluasi mengenai input-input yang bersifat risk reducing atau risk increasing. Model fungsi Just Pope dinotasikan :

y = f(x,z) + g(x,z)ε dimana :

y = output

f(x,z) = fungsi rata-rata g(x,z) = fungsi risiko

3.2. Konsep Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani

Setelah mengetahui mengenai teori produksi, maka perlu untuk dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana risiko produksi terjadi dalam suatu proses produksi usahatani. Debertin (1986) menyebutkan bahwa Frank Knight membedakan definisi antara risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko dapat didefinisikan sebagai situasi dimana pembuat keputusan mengetahui alternatif hasil dan kemungkinan dengan setiap hasilnya. (Bachus et al. 1997) juga menyatakan bahwa keadaan alam yang dihadapi petani, bisa dikatakan sebuah risiko apabila dapat diketahui kemungkinan terjadinya serta kemungkinan hasil yang diperoleh. Menurut Ellis (1988), risiko dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang dihubungkan dengan kejadian dari suatu peristiwa yang mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan. Menurut Debertin (1986) risiko adalah suatu kejadian yang kemungkinan


(44)

muncul dan menyebabkan fluktuasi hasil dimana kemungkinan/probabilitas hasil yang diterima dapat diestimasi. Sedangkan apabila pelaku usaha tidak memiliki data yang bisa dikembangkan untuk menyusun distribusi probabilitas akan timbulnya suatu kejadian, disebut ketidakpastian (uncertainty).

McConell dan Dillon (1997) mengidentifikasi sumber risiko yang dihadapi petani dalam sistem usahatani berasal dari dua hal, yaitu :

1. Eksternal sistem usahatani, antara lain keadaan alam, ekonomi, keadaan sosial, kebijakan pemerintah dan kondisi politik. Usaha pertanian sangat tergantung dengan keadaan cuaca dengan segala ketidakpastiannya seperti musim kering yang berkepanjangan, banjir, badai atau dalam jangka panjang berupa terjadinya perubahan iklim (climate change). Risiko bersumber dari kondisi ekonomi adalah risiko pasar yang berhubungan dengan besarnya permintaan dan penawaran (akan mempengaruhi harga output dan input produksi), tingkat inflasi atau suku bunga dan risiko produktivitas yang disebabkan karena penerapan suatu teknologi baru. Kondisi sosial pada umumnya bukan merupakan suber risiko utama dalam sistem usahatani. Kontribusi kondisi sosial terhadap risiko usahatani adalah perubahan tingkat pendidikan dan gaya hidup, yang akan mempengaruhi pasokan tenaga kerja di bidang pertanian.

2. Internal sistem usahatani, terutama disebabkan karena faktor kesehatan, hubungan inter personal (dipengaruhi oleh personality, kebiasaan/attitudes dan aspirasi), serta faktor pendekatan yang dilakukan petani sebagai manager terhadap (a) konservasi dan degradasi sumber daya pertanian (resource and ecological risk), (b) penggunaan kredit pertanian (financial risk), dan (c) transfer usahatani antar generasi (succession risk).


(45)

Pada penggunaan input produksi pengurang risiko, misalnya penggunaan sistim irigasi, penggunaan pestisida, biaya yang dikeluarkan untuk memprediksi kondisi pasar yang akan datang, menyewa jasa konsultan profesional dan pemakaian peralatan/mesin baru merupakan beberapa cara dalam merespon adanya risiko yang dihadapi oleh pelaku produksi (Robison dan Barry, 1987). Dengan kata lain bahwa risiko yang dihadapi petani akan berpengaruh pada pemilihan jenis input yang digunakan. Jika petani bersifat risk averter, maka input yang menyebabkan variasi hasil akan dihindari oleh petani dan petani akan memilih input lain yang diperkirakan tidak menimbulkan variasi hasil yang besar. Variasi hasil akan berakibat pada variasi pendapatan petani.

Risiko yang dihadapi petani bisa berupa risiko hasil atau risiko produksi, risiko penggunaan input dan risiko harga jual produksi. Risiko hasil ditimbulkan antara lain karena adanya serangan hama dan penyakit, kondisi cuaca/alam, pasokan air yang bermasalah dan variasi input yang digunakan. Serangan hama dan penyakit yang diatasi secara organik mempunyai dampak terhadap variasi produksi yang lebih tinggi dari pada jika serangan hama penyakit diatasi secara kimia. Kondisi alam juga berpengaruh terhadap variasi hasil misalnya dengan kondisi curah hujan yang sangat besar ataupun curah hujan yang sangat kecil bisa menimbulkan gagal panen, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 dapat dijelaskan mengenai pengaruh curah ujan terhadap risiko produktivitas yang dihadapi oleh petani. Dalam pemakaian input X yang sama, yaitu sebesar 50 kg per hektar, akan memberikan hasil yang berbeda karena dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berbeda, yaitu kondisi curah hujan yang bagus yang mendukung tingginya produktivitas dan curah hujan yang menyebabkan turunnya produktivitas.


(46)

Sumber : McConell, 1997

Gambar 2. Respon Ketidakpastian Produksi Y Karena Penggunaan Input X dan Kondisi Curah Hujan yang Berbeda

Just Pope telah mempelajari banyak mengenai isu penting yang menyertakan input penurun risiko. Model fungsi produksi dengan memasukkan unsur risiko didalamnya :

q = f(x) + g(x)ε

x merupakan faktor produksi yang digunakan, ε mengikuti distribusi ε~(0,σ2 e), q

adalah besarnya produksi yang dicapai, f(x) adalah fungsi produksi rata-rata sedangkan g(x) adalah fungsi varians atau fungsi risiko (Robison dan Barry, 1987).

Apabila hasil yang dicapai dalam suatu proses produksi sebesar q dan input yang digunakan adalah xi, ( i = 1,2, …, n) maka ada 7 asumsi yang harus dipenuhi

oleh suatu input sebagai input yang bersifat pengurang risiko, yaitu (Robison dan Barry, 1987) :

6. E(q) > 0 ; harapan hasil untuk q berniali positif.


(47)

8. ∂2E(q)/∂xi2 < 0 ; produktivitas marginal dari input harus bersifat deminishing

pada beberapa titik.

9. ∂E(q)/∂σ2e = 0 ; output yang diharapkan bisa bernilai konstan , walaupun

mengurangi varians dari komponen random error.

10. ∂σ2(q)/∂xi 0 ; perubahan dalam varians berhubungan dengan perubahan

dalam penurunan risiko terhadap input, mempunyai tanda yang tidak konstan. 11. ∂σ2(∂q/∂xi)/∂xi 0 ; Perubahan dalam varians dari produksi marginal bisa

bernilai positif, negatif atau nol.

12. f(θx) = θf(x) ; bersifat konstan stochastik return to scale.

Debertin (1986) menjelaskan, dalam melakukan usahatani petani memilih menggunakan input x dengan jumlah tertentu dengan harapan mampu memaksimalkan utilitas (dalam hal ini utilitas petani didekati dengan besarnya penerimaan). Dengan asumsi bahwa fungsi utilitas merupakan fungsi yang memaksimalkan utilitas yang diharapkan (EU/expected utility) maka :

EU [π(x;p,w)] dapat ditulis sebagai :

U = U [E(π(.)), var(π(.))]

dimana Eπ(.) adalah fungsi keuntungan dan var π(.) adalah variansnya

Jadi fungsi U merupakan suatu fungsi utilitas yang terdiri dari keuntungan dan varians dari keuntungan tersebut,

Eπ = p.g(x) – w’x = p. Ey – w’x dan

var π = p2

. var y

∂U/∂Eπ(.) 0 maka petani bisa bersifat risk averse, risk taker dan risk neutral.


(48)

Dengan penggunaan model fungsi Just Pope, maksimisasi terhadap utilitas yang diharapkan adalah sama dengan memaksimalkan rata-rata standar deviasi, atau

EU (π(x; p, w)) = max V(μ, σ)

dimana :

μ = Eπ = p.g(x) – w’x σ = p.h(x)σε

Ada tiga macam tipe seorang pengambil keputusan sehubungan dengan preferensi terhadap risiko yang dihadapinya. Ketiga tipe tersebut adalah (1) risk taker, (2) risk neutral, dan (3) risk averse. Preferensi terhadap suatu risiko dapat diidentifikasi dengan menggunakan fungsi utilitas yang diasumsikan sebagai fungsi kuadratik :

U = z + bz2

Variabel z merupakan variabel tingkat utilitas yang dicapai (didekati dengan besarnya income) sehingga, apabila z diganti dengan harapan income atau E(z) maka utilitas yang diharapkan adalah

E(U) = E(z) + bE(z2) dimana E(z2) = σ2 + [E(x)]2 sehingga ; E(U) = E(x) + b[E(x)]2 + bσ2

Jadi, fungsi utilitas bukan hanya fungsi dari harapan income, tetapi juga merupakan fungsi dari variansnya, seperti digambarkan dalam Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan perbedaan perilaku petani terhadap risiko income yang dihadapi. Petani risk averse mengharapkan income yang lebih tinggi dengan bertambahnya risiko income yang dihadapi, artinya apabila petani risk averse akan mengambil suatu peluang dengan risiko yang lebih besar akan mengharapkan income yang semakin besar pula. Sedangkan perilaku petani risk taker akan mengambil suatu


(49)

kesempatan walaupun hasil yang diperoleh rendah tetapi mempunyai peluang mendapatkan keuntungan lebih besar atau mengalami kerugian yang lebih besar pula. Petani risk neutral menunjukkan perilaku akan mempunyai harapan income yang sama, tidak dipengaruhi oleh besarnya risiko yang dihadapi.

Sumber : Debertin, 1986

Gambar 3. Kurva Indiffenence yang Menghubungkan Varians Income dengan Income yang Diharapkan

Kurva indifference yang menunjukkan hubungan kombinasi dari income dan variansnya yang menghasilkan jumlah utilitas yang sama, kemungkinan didapatkan dengan berasumsi bahwa U sama dengan Uo

∂Uo= 0 = (1 + 2b) ∂E(x) + b∂(σ2

) dimana,

∂E/∂σ2

= -b/[1 + 2bE(x)]

Nilai [1 + 2bE(x)] selalu bertanda positif. Kemiringan dari kurva indiferen tergantung pada nilai b. Jika b = 0 menunjukkan bahwa petani bersifat risk neutral. Jika b > 0 menunjukkan bahwa petani tersebut risk taker, kurva indiferen mempunyai kemiringan/slope negatif dan apabila b < 0 menunjukkan bahwa perani tersebut risk


(50)

averse dan kurva indiferen mempunyai kemiringan positif. Hubungan antara tingkat utilitas dengan income petani pada preferensi risiko petani diilustrasikan pada Gambar 4.

Sumber : Ellis, 1988

Gambar 4. Teori Utilitas dari Pilihan-Pilihan yang Mengandung Risiko

Pada Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa Garis DC merupakan garis linier yang mengambarkan hubungan antara utilitas dan income dan mempunyai kemiringan/slope positif, yang berarti semakin banyak income, semakin besar kepuasan atau utilitas seseorang. I1 dan I2 merupakan income dengan tingkat risiko yang berbeda dengan kemungkinan kejadian p1 dan p2 dimana p1 + p2 = 1. Apabila

seseorang mempunyai income sebesar IA dimana IA mempunyai utilitas yang sama dengan IE dan orang tersebut akan menolak untuk mendapatkan income yang lebih besar dari IA (yaitu IE) dengan tujuan untuk mencari kepastian income, maka orang


(51)

tersebut dikatakan bersifat risk averse, seperti yang ditunjukkan dalam fungsi utilitas DAC yang bersifat decreasing marginal utility. Apabila seseorang yang utilitasnya sama antara income yang pasti diperoleh (IE) dan dengan income yang beresiko (IA dan IB) dan dia memilih untuk mendapatkan income sebesar IE, maka orang tersebut dikatakan bersifat risk neutral, seperti ditunjukkan dalam garis fungsi utilitas DC. Sedangkan apabila seseorang lebih suka untuk memilih income yang lebih tinggi lagi untuk mencapai utilitasnya, dan orang tersebut tidak memilih untuk income sebesar IA

ataupun IE, tetapi akan memilih untuk mencapai income sebesar IB, maka orang tersebut bersifat risk taker, dengan kurva utilitas DBC yang bersifat increasing marginal utility (Elis, 1988).

Menurut Ellis (1988), beberapa persoalan utama yang banyak menjadi topik perhatian penelitian dimana di dalamnya mencakup aspek perilaku risiko petani dan menyangkut mata pencaharian atau sumber pendapatan yang diperoleh petani kecil dan keluarganya antara lain :

1. Petani kecil pada umumnya bersifat risk averse. Sifat ini diindikasikan mengakibatkan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber daya pada tingkat petani.

2. Petani kecil dengan sifat risk averse akan menyebabkan pola tanam atau pola pengelolaan usahatani, akan lebih ditujukan pada kecukupan kebutuhan pangan keluarga, dibandingkan dengan usaha memaksimalkan hasil ataupun memaksimalkan keuntungan.

3. Petani kecil yang bersifat risk averse akan lebih terhambat dalam proses adopsi terhadap inovasi yang mampu meningkatkan hasil dan juga income petani. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsep risiko terhadap ketidakmampuan atau keterbatasan informasi. Petani merasa tidak percaya


(52)

dan ragu-ragu terhadap suatu inovasi, karena adanya keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan inovasi tersebut. Hal penting yang juga menghambat petani kecil dalam proses adopsi teknologi adalah dibutuhkan biaya tinggi dalam mengaplikasikan teknologi yang ditawarkan, di sisi lain petani kecil tidak mempunyai akses terhadap kredit perbankan.

4. Sifat risk averse petani akan menurun atau berkurang sejalan dengan peningkatan income atau kesejahteraan. Kesejahteraan yang lebih tinggi yang dicapai petani akan akan berpengaruh pada kemampuan petani dalam menutup kerugian yang mungkin disebabkan karena pengambilan keputusan yang berisiko. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi income petani, diharapkan akan lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya, sehingga lebih mempunyai keinginan untuk melakukan suatu inovasi baru dan lebih besar akses yang dimiliki petani terhadap kredit perbankan.

Dalam melakukan usahatani padi, petani akan selalu menghadapi risiko produksi. Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, ada indikasi bahwa risiko yang dihadapi oleh petani padi organik lebih besar jika dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Petani yang bersifat risk averse akan cenderung memilih untuk melakukan usahatani padi non organik yang mempunyai variasi produktivitas lebih kecil. Sedangkan untuk petani yang bersifat risk taker kemungkinan cenderung memilih melakukan usahatani padi organik yang mempunyai peluang hasil yang tinggi, tetapi ada kemungkinan akan mengalami gagal panen.

Robison dan Barry (1987) menyatakan bahwa preferensi risiko petani dapat diukur dengan menggunakan fungsi Arrow-Pratt absolute risk aversion yang menggambarkan suatu hubungan fungsional antara tingkat risk aversion petani


(53)

dengan kekayaan atau tingkat kesejahteraan sebagai fungsi utilitas individu petani tersebut. Disebutkan bahwa fungsi absolute risk aversion R(y) merupakan suatu cara pengukuran risiko yang unik, yang dihubungkan dengan fungsi utilitas yang dimiliki seseorang U(π).

R(y) = –

dimana :

U(π) = fungsi utilitas dari individu π = penghasilan/pendapatan individu

Pengambil keputusan dikatakan bersifat : (a) risk averse apabila nilai R(y) > 0, (b) risk neutral apabila R(y) = 0, dan (c) risk taker apabila R(y) < 0.

Preferensi risiko akan berubah seiring dengan perubahan penghasilan seseorang. Apabila :

R'(y) < 0 pengambil keputusan dikatakan sebagai decreasing absolute risk aversion (DARA), preferensi risiko seseorang akan lebih bersifat risk taker dengan meningkatnya penghasilan atau kesejahteraan.

R'(y) = 0 pengambil keputusan dikatakan sebagai constant absoluterisk aversion (CARA), artinya preferensi risiko seseorang yang tidak berubah apabila terjadi perubahan kesejahteraan.

R'(y) > 0 pengambil keputusan dikatakan sebagai increasing absolute risk aversion (IARA), berarti preferensi risiko seseorang yang semakin bersifat risk averse apabila penghasilannya atau kesejahteraannya semakin meningkat.


(54)

Dalam menghadapi berbagai risiko yang timbul pada saat mengelola usahatani, petani mempunyai beberapa strategi yang dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan dari risiko tersebut. Setiap strategi tersebut akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan pada saat kondisi alam tidak menguntungkan atau kondisi pasar yang tidak berpihak kepada petani. Tetapi strategi yang dilakukan petani tersebut juga bisa menurunkan potensial keuntungan apabila kondisi alam ataupun pasar berada pada posisi yang menguntungkan bagi petani. Beberapa strategi yang dilakukan petani dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian, menurut Debertin (1986) :

1. Asuransi

Asuransi biasanya digunakan petani pada situasi dimana kemungkinan peluang kejadiannya rendah dan menimbulkan potensi kerugian yang besar.

2. Kontrak penjualan

Kontrak penjualan dilakukan terhadap komoditi yang telah ditentukan, pada tingkat harga tertentu dan jangka waktu pengiriman yang telah ditentukan pada awal kontrak. Sehingga terbentuk future market yang merupakan mekanisme untuk mengatasi risiko ketidakpastian harga dengan menentukan harga yang disepakati antara petani dan pembeli, dimana pembayarannya dilakukan setelah panen. Namun kontrak ini juga akan membatasi keuntungan potensial bagi petani apabila harga pasar berpihak pada petani.

3. Peralatan dan fasilitas yang fleksibel

Dalam kondisi fluktuasi harga yang tajam, akan lebih baik apabila petani memilih untuk menggunakan peralatan yang fleksibel . Sedangkan bagi petani yang menghadapi kondisi dimana fluktuasi harga tidak begitu besar, maka akan lebih baik jika menggunakan peralatan atau fasilitas yang spesifik.


(55)

4. Diversifikasi

Merupakan strategi yang digunakan petani dalam menghadapi ketidakpastian harga dan ketidakpastian hasil yang dicapai. Agar lebih efektif, dalam menghadapi fluktuasi harga dan income, maka usaha diversifikasi yang dilakukan harus mempunyai harga dan hasil yang saling berlawanan antara usaha yang satu dengan yang lainnya.

5. Kebijakan pemerintah

Kebijakan pemerintah pada umumnya bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian harga pasar dibanding dengan ketidakpastian hasil yang dicapai. Kebijakan harga dasar dari pemerintah terhadap komoditi tertentu biasanya mempunyai tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan dari pemerintah yang lain misalnya adanya subsidi yang diberikan kepada petani.

3.3. Faktor Penentu Penerapan Usahatani Padi Organik

Pada Sub Bab terdahulu telah dijelaskan mengenai teori produksi, risiko produksi dan preferensi risiko petani. Hubungan antara input yang digunakan, risiko produksi yang dihadapi petani serta preferensi risiko petani dalam penerapan usahatani padi organik, dijelaskan dalam Sub Bab ini.

Tingkat produktivitas yang dicapai petani dalam berusahatani tidak terlepas dengan risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Input yang digunakan akan mempengaruhi tingkat risiko produksi, karena input yang digunakan dalam melakukan usahatani bisa bersifat risk decreasing yang mampu menurunkan tingkat risiko produksi atau input bersifat risk increasing yang menyebabkan meningkatnya risiko produksi. Penggunaan berbagai input ditentukan oleh petani sebagai pengelola usahatani. Kumbhakar (2002) menyebutkan bahwa petani memutuskan untuk memilih


(56)

jenis dan jumlah input yang dipakai, dipengaruhi oleh preferensi risiko.

Petani padi di Kabupaten Sragen dihadapkan pada dua pilihan usahatani padi dengan teknologi yang berbeda. Pilihan pertama adalah usahatani padi non organik yang bersifat capital intensive, dan mempunyai kemungkinan rata-rata hasil lebih rendah dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sedang pilihan kedua adalah usahatani padi organik, yang bersifat labour intensive dengan input luar yang rendah dan mempunyai kemungkinan rata-rata hasil lebih tinggi dan diikuti dengan risiko lebih tinggi seperti yang telah ditunjukkan pada data Tabel 3.

Banyak faktor yang diduga mempengaruhi petani dalam memilih melakukan usahatani padi organik yang di dalamnya terdapat risiko lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Faktor tersebut di antaranya adalah umur, tingkat pendidikan, pendapatan di luar usahatani padi, luas lahan, status lahan, pengalaman berusahatani padi dan preferensi risiko petani. Umur petani mencerminkan kekuatan fisik petani, dan kekuatan fisik petani akan berhubungan dengan usahatani padi organik yang bersifat labour intensive. Sehingga umur petani diduga merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menerapkan usahatani organik. Tingkat pendidikan formal dan non formal petani akan mempengaruhi pengetahuan dan penguasaan teknologi. Pengalaman berusahatani pada umumnya akan berpengaruh pada tingkat penguasaan usahatani yang lebih baik dan akan mempunyai keinginan untuk mencoba melakukan cara usahatani yang baru. Adanya pendapatan lain yang diperoleh di luar usahatani padi juga mempengaruhi keputusan melakukan usahatani padi organik karena apabila petani mempunyai penghasilan di luar usahatani padi, diperkirakan petani akan lebih berani menghadapi risiko kegagalan produksi. Sedangkan preferensi risiko petani berpengaruh pada keberanian petani


(57)

dalam mengambil keputusan berisiko. Untuk lebih memperjelas, maka ditampilkan Gambar 5 mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian.

Preferensi risiko mempengaruhi petani dalam menentukan jumlah dan jenis input usahatani (Kumbhakar, 2002). Keputusan petani melakukan usahatani padi organik yang bersifat padat tenaga kerja dan berisiko lebih tinggi atau memilih melakukan usahatani padi non organik yang bersifat padat modal yang didalamnya mempunyai risiko produksi lebih rendah, dipengaruhi oleh preferensi risiko petani. Sedangkan preferensi risiko petani dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang melekat pada diri petani. Sebagaimana dikemukakan dalam hasil penelitian Guan dan Wu (2009), bahwa preferensi risiko petani dipengaruhi oleh status kesejahteraan, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam proses produksi dalam usahatani, umur dan subsidi yang diterima oleh petani. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang berpengaruh pada preferensi risiko petani adalah aset


(1)

Lampiran 19

. Uji-t Perbedaan Nilai

Absolute Risk Aversion

Petani Organik dan

Non Organik

Test Statistik Nilai AR Petani The TTEST Procedure

Statistics

Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL

Difference N Mean Mean Mean Std Dev Std Dev Std Dev Std Err AROrg - ARNon 30 -1.779 -0.851 0.0762 1.9785 2.4843 3.3397 0.4536

T-Tests

Difference DF t Value Pr > |t| AROrg - ARNon 29 -1.88 0.0706


(2)

Lampiran 20

. Uji-t Perbedaan Keuntungan Usahatani Organik dan Non Organik

Test Statistik Keuntungan Usahatani The TTEST Procedure

Statistics

Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL

Difference N Mean Mean Mean Std Dev Std Dev Std Dev Std Err Org - Non 30 -378E4 -148E4 827583 4.92E6 6.17E6 8.3E6 1.13E6

Difference Minimum Maximum

Org - Non -888E4 1.32E7

T-Tests

Difference DF t Value Pr > |t| Org - Non 29 -1.31 0.2002


(3)

Lampiran 21

. Uji-t Perbedaan Pengalaman Usahatani Petani Organik dan Non

Organik

Test Statistik Pengalaman Petani The TTEST Procedure

Statistics

Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL

Difference N Mean Mean Mean Std Dev StdDev Std Dev Std Err POrg - PNon 30 -8.069 -0.133 7.8022 16.925 21.252 28.569 3.88

Difference Minimum Maximum

POrg - PNon -46 35

T-Tests

Difference DF t Value Pr > |t| POrg - PNon 29 -0.03 0.9728


(4)

Lampiran 22

. Hasil Estimasi Fungsi

Absolute Risk Aversion

terhadap Faktor Sosial

Ekonomi Petani

Fungsi AR thd Aset, off-farm income, Pengalaman, StatusLhn The REG Procedure

Model: MODEL1 Dependent Variable: AR

Number of Observations Read 55 Number of Observations Used 55

Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.68296 0.42074 2.08 0.0972 Error 50 10.10935 0.20219

Corrected Total 54 11.79231

Root MSE 0.44965 R-Square 0.1427 Dependent Mean 0.33452 Adj R-Sq 0.0741 Coeff Var 134.41786

Parameter Estimates

Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 0.79942 0.22019 3.63 0.0007 0 Aset 1 -0.00000587 0.00000908 -0.65 0.5204 1.03676 IncLain 1 -0.21407 0.13225 -1.62 0.1118 1.07584 Pengalaman 1 0.00034002 0.00425 0.08 0.9366 1.11676 StatLhn 1 -0.41162 0.16777 -2.45 0.0177 1.04791


(5)

Lampiran 23

. Uji-t Perbedaan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Organik dan

Non Organik

Uji-t Perbandingan Tenaga Kerja Usahatani The TTEST Procedure

Statistics

Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL Difference N Mean Mean Mean Std Dev Std Dev Std Dev OX4 - NX4 30 -103.5 -84.54 -65.56 40.485 50.835 68.338

Difference Std Err Minimum Maximum OX4 - NX4 9.2811 -265 -29.65

T-Tests

Difference DF t Value Pr > |t| OX4 - NX4 29 -9.11 <.0001


(6)

Lampiran 24

. Uji-t Perbedaan Luas Lahan Usahatani Organik dan Non Organik

Uji t Perbedaan Luas Lahan Petani The TTEST Procedure

Statistics

Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL

Difference N Mean Mean Mean Std Dev Std Dev Std Dev Std Err Org – Non 30 -5289 -2580 129.08 5778 7255 9753.1 1324.6

T-Tests

Difference DF t Value Pr > |t| LhnOrg - LhnNon 29 -1.95 0.0612