Pengaruh Efisiensi Teknis Dan Preferensi Risiko Petani Terhadap Penerapan Usahatani Kubis Organik Di Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

PENGARUH EFISIENSI TEKNIS DAN PREFERENSI RISIKO
PETANI TERHADAP PENERAPAN USAHATANI KUBIS
ORGANIK DI KECAMATAN BASO KABUPATEN AGAM
SUMATERA BARAT

RENY HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Efisiensi
Teknis dan Preferensi Risiko Petani terhadap Penerapan Usahatani Kubis Organik
di Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Reny Hidayati
NRP H453120031

RINGKASAN
RENY HIDAYATI. Pengaruh Efisiensi Teknis dan Preferensi Risiko Petani
terhadap Penerapan Usahatani Kubis Organik di Kecamatan Baso Kabupaten
Agam Sumatera Barat. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan NUNUNG
KUSNADI.
Rendahnya produktivitas kubis di Kabupaten Agam memerlukan solusi.
Pemerintah daerah telah melakukan program pengembangan pertanian organik
dengan harapan dapat mengatasi permasalahan kubis non organik karena beberapa
studi menemukan bahwa pertanian organik mampu meningkatkan produksi dan
produktivitas. Akan tetapi, penerapan teknologi organik pada usahatani kubis
berjalan lambat dan belum sepenuhnya diterapkan petani. Selain mengusahakan
kubis organik petani masih tetap menanam kubis non organik. Hal ini diduga
karena usahatani kubis organik belum mampu meningkatkan produksi dan

produktivitas kubis. Mengkaji produktivitas terkait dengan efisiensi teknis,
membahas efisiensi teknis tidak bisa dipisahkan dengan risiko produksi, dimana
adanya risiko menghasilkan preferensi risiko yang berpengaruh dalam keputusan
petani terhadap penerapan suatu teknologi. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian ini bertujuan untuk (1) mengukur tingkat efisiensi teknis dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya pada usahatani kubis
organik, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi
yang dihadapi petani pada usahatani kubis organik, (3) menentukan preferensi
risiko petani pada usahatani kubis organik, dan (4) mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi petani menerapkan usahatani kubis organik.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Baso yang merupakan daerah yang
telah melaksanakan program pertanian organik dan merupakan daerah
percontohan pertanian organik di Kabupaten Agam. Petani kubis yang akan
dijadikan responden dipilih secara purposive sebanyak 72 orang, terdiri dari 22
orang petani kubis organik dan 50 orang petani kubis non organik sebagai
pembanding. Model Kumbhakar diadopsi untuk menganalisis efisiensi teknis,
risiko produksi, dan preferensi risiko petani. Model efek inefisiensi teknis yang
dikembangkan Battese dan Coelli digunakan untuk menganalisis sumber-sumber
inefisiensi teknis, sedangkan model regresi berganda digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerapkan

usahatani organik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kubis organik di Kecamatan
Baso sudah efisien secara teknis dengan tingkat efisiensi sebesar 77 persen,
sedangkan usahatani kubis non organik belum efisien secara teknis dengan tingkat
efisisensi sebesar 68 persen. Faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh nyata
terhadap inefisiensi teknis pada usahatani kubis organik adalah variabel status
lahan, dan jarak lahan dengan rumah petani, dimana kedua variabel tersebut
berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis. Faktor-faktor sosial ekonomi yang
berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani kubis non organik adalah
variabel umur, pengalaman usahatani, dan keanggotaan dalam kelompok tani.
Variabel umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis usahatani kubis non
organik, sedangkan pengalaman usahatani, dan keanggotaan dalam kelompok tani
berpengaruh negatif.

Faktor-faktor produksi yang bersifat meningkatkan risiko produksi (risk
increasing) kubis organik yaitu: lahan, pestisida organik, dan tenaga kerja,
sedangkan benih, pupuk kandang, pupuk kompos, dan pupuk nabati bersifat
menurunkan risiko produksi (risk decreasing). Pada usahatani kubis non organik,
faktor-faktor produksi yang bersifat meningkatkan risiko produksi yaitu: pupuk
kimia, pestisida kimia, dan tenaga kerja, sedangkan variabel lahan, benih, dan

pupuk organik bersifat menurunkan risiko produksi.
Preferensi risiko petani kubis organik terhadap penggunaan input-input
produksi bersifat risk averse, sedangkan preferensi risiko produksi petani kubis
non organik bersifat risk taker. Teknologi organik yang belum terstandar baik dari
sisi pembuatan input-input produksi maupun dari sisi dosis penggunaannya
menyebabkan petani kubis organik bersifat risk averse. Preferensi risiko petani
kubis organik yang risk averse memiliki konsekuensi pada lambatnya penerapan
pertanian organik dan petani masih mengusahakan kubis non organik selain
mengusahakan kubis organik.
Faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh positif terhadap penerapan
pertanian organik pada tanaman kubis yaitu: pendidikan petani, jumlah
tanggungan petani, dan penyuluhan pertanian organik, sedangkan preferensi risiko
petani dan risiko produksi berpengaruh negatif. Tingkat efisiensi teknis tidak
berpengaruh terhadap penerapan teknologi organik pada tanaman kubis,
sedangkan preferensi risiko petani berpengaruh negatif terhadap penerapan
teknologi organik di Kecamatan Baso. Dengan kata lain, lambatnya penerapan
kubis organik dan petani masih mengusahakan usahatani non organik di samping
berusahatani organik bukan karena efisien atau tidaknya usahatani tersebut secara
teknis. Namun, preferensi risiko petani kubis organik yang risk averse yang
menyebabkan petani belum sepenuhnya beralih pada usahatani organik.

Implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hasil
penelitian ini adalah: upaya untuk mendorong petani kubis berani mengambil
risiko dalam menerapkan usahatani organik dapat dilakukan dengan cara lebih
mengenalkan kepada petani pentingnya pertanian organik melalui penyuluhan
yang lebih intensif, perlunya peningkatan pengetahuan petani tentang manfaat dari
pertanian organik, perlunya peran aktif dari dinas setempat untuk menunjang
perkembangan pertanian organik terutama dalam hal penyediaan input-input
produksi, pengetahuan tentang dosis pembuatan dan penggunaan input-input
produksi, serta penyediaan pasar.
Kata kunci: efisiensi teknis, preferensi risiko, pertanian organik, petani kubis

SUMMARY
RENY HIDAYATI. The Effect of Technical Efficiency and Risk Preferences of
Farmers towards the Application of Cabbage Organic Farming in Baso SubDistrict, Agam District of West Sumatra. Supervised by ANNA FARYANTI and
NUNUNG KUSNADI.
The low productivity of cabbage in Agam District requires a solution. The
local government has been doing organic farming development program to solve
the problems of non-organic cabbage farming as studies have confirmed that
organic farming is able to increase production and productivity. However, the
application of cabbage organic farming technology is slow and has not been fully

practiced by farmers. In addition to applying organic farming, farmers still work
on non-organic cabbage farming. This is presumably because the organic farming
has not been able to increase production and productivity of cabbage. Productivity
is always associated with technical efficiency, and technical efficiency itself
cannot be separated from production risk, in which risk generates risk preferences
that influence the decision of farmers on the application of the technology. Under
these conditions, the study aims to (1) measure the level of technical efficiency,
and to identify the factors that influence cabbage organic farming, (2) identify the
factors that influence the risk faced by farmers in the production of cabbage
organic farming, (3) determine the risk preferences of farmers on organic cabbage
farming, and (4) identify factors affecting farmers’ choice of organic farming.
The experiment was conducted in Baso Sub-District which is an area that
has implemented a program of organic farming and is an organic farming pilot
area in Agam District. Cabbage farmers as respondents were selected purposively
as many as 72 people, consisting of 22 organic cabbage farmers and 50 nonorganic cabbage farmers as a comparison. The model of frontier production
function, productions risk function, and technical inefficiency function developed
by Kumbhakar was adopted to analyze the technical efficiency, production risks,
and risk preferences of farmers. The model of technical inefficiency effect
developed by Battese and Coelli was used to analyze the sources of technical
inefficiency, while the multiple regression model was used to analyze the factors

that influence farmers to apply organic farming.
The results showed that organic farming in Baso is efficient with an average
of technical efficiency of 77 percent, whereas non-organic farming is inefficient
with an average of technical efficiency of 68 percent. Socio-economic factors that
significantly affect the technical inefficiency on organic cabbage farming is land
status and the distance of farm to farmers house, in which the two variables have
positive effect on the technical inefficiency. Socio-economic factors that
significantly affect the technical inefficiency of non-organic cabbage farming are
age, farming experience, and membership in farmer groups. Age has positive
influence on technical inefficiency of non-organic cabbage farming, while
farming experience and membership in farmer groups have negative effect on
technical inefficiency of non-organic cabbage farming.
Risk increasing factors of organic cabbage production are land, organic
pesticides, and labor, while seeds, manure, compost, and plant fertilizers are risk
decreasing of production. In the non-organic cabbage farming, risk-increasing

factors are chemical fertilizers, chemical pesticides, and labor, while land, seeds,
and organic fertilizer production are risk decreasing of production.
Risk preferences of organic cabbage farmers on the use of production inputs
are risk averse, while risk preferences on production of non-organic cabbage

farmers are risk takers. Organic technology that is not standardized yet both in the
manufacture of production inputs as well as in the use of dose causes organic
cabbage farmers to be risk averse. The risk preference of organic cabbage farmers
is risk averse having consequences on the slow adoption of organic farming, and
farmers still cultivate non-organic cabbage.
Factors significantly having positive effect on the application of cabbage
organic farming are the education of farmers, the number of dependents of
farmers, and the extension of organic farming. Risk preferences and risk
production negatively affect the application of cabbage organic farming. The level
of technical efficiency does not affect the application of organic technology for
cabbage, while the risk preferences of farmers negatively affect the application of
organic technology in Baso. In other words, the slow adoption of organic cabbage
farming and the choice for non-organic farming in addition to organic farmingis
not due to technical efficiency; it is risk preference of farmers which is risk averse
causing farmers to not fully switch to organic farming.
Implications related to the results of this study are efforts to encourage
farmers to risk taker in implementing organic farming can be done in by
introducing farmers the importance of organic farming through intensive
counseling, improvement on farmers’ knowledge about the benefits of organic
farming, as well as active participation from local agency to support the

development of organic agriculture, especially in the provision and use of
production inputs and knowledge about dosage and market supply.
Keywords: technical efficiency, risk preferences, organic farming, farmer
cabbage

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH EFISIENSI TEKNIS DAN PREFERENSI RISIKO
PETANI TERHADAP PENERAPAN USAHATANI KUBIS
ORGANIK DI KECAMATAN BASO KABUPATEN AGAM
SUMATERA BARAT


RENY HIDAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Alla Asmara, SPt MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai dengan
Agustus 2014 ini ialah Pengaruh Efisiensi Teknis dan Preferensi Risiko Petani
terhadap Penerapan Usahatani Kubis Organik di Kecamatan Baso Kabupaten
Agam Sumatera Barat.

1.

2.

3.

4.

5.
6.
7.

Terimakasih penulis ucapkan kepada:
Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi dan Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
selama proses penyusunan tesis ini.
Bapak Dr Alla Asmara, SPt MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Ibu
Dr Meti Ekayani, Shut MSi selaku dosen wakil komisi program studi yang
telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian beserta staf pengajar dan staf akademik yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan selama penulis menempuh pendidikan
di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
Ibu Nurul Qomaria, SP MSi yang telah memberikan bimbingan dan
bantuan dalam pengolahan data mengenai preferensi risiko dengan
pendekatan model Kumbhakar.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa yang
diberikan.
Responden (petani kubis organik dan petani kubis non organik di
Kecamatan Baso) yang telah membantu selama penelitian.
Teman-teman Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) 2012 (Afandri, Angelia,
Budi, Dewi, Jones, Lillah, Nursan, Pebri, Rina, dan Utami), teman-teman
EPN 2013 dan 2015, serta teman-teman Alumni Universitas Andalas
Padang yang sama-sama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor
atas persahabatannya.

Penghargaan terbesar penulis persembahkan untuk kedua orang tua Bapak
Musnir Z., SPdI dan Ibu Mardiah, AMaPd, serta saudara tercinta kakanda
Mahrozi Delvia, SE, Syawaluddin Muhammad, SH, MH, Jemy Sahirul, SE,
Desy Levanna, SH, Andila Fadhli, SPdI, Nova Marta Suryani, SPdI, adinda
Mery Mulyati, AMaKeb, dan Siska Yulia atas doa, dukungan, dan kasih
sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

Reny Hidayati
NRP H453120031

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1
1
4
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Teknis Produksi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi
Preferensi Petani dalam Menghadapi Risiko
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi

8
8
11
13
14

3 KERANGKA TEORI
Efisiensi Produksi
Risiko dan Preferensi Risiko Petani
Adopsi Teknologi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Kerangka Alur Pikir Penelitian
Hipotesis

17
17
19
22
25
26

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Data dan Sumber Data
Metode Analisis Data

28
28
28
29
29

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Gambaran Umum Kecamatan Baso
Karakteristik Petani Sampel
Deskripsi Usahatani Kubis Organik di Lokasi Penelitian
Penggunaan Input Usahatani Kubis

38
38
39
44
48

6 EFISIENSI TEKNIS DAN PREFERENSI RISIKO PETANI SERTA
PENGARUHNYA TERHADAP PENERAPAN USAHATANI KUBIS
ORGANIK
51
Fungsi Produksi Frontier, Fungsi Risiko Produksi, dan Fungsi Inefisiensi
Teknis pada Usahatani Kubis
51
Efisiensi Teknis Usahatani Kubis
69
Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usahatani Kubis
71
Preferensi Risiko Petani Kubis
76
Tingkat Penerapan Pertanian Organik oleh Petani Kubis
81
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Organik oleh Petani Kubis 87
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

93
93
94

DAFTAR PUSTAKA

96

LAMPIRAN

103

RIWAYAT HIDUP

146

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

17

18
19
20
21
22
23
24

Produksi sayuran di Indonesia tahun 2007-2013
Volume ekspor beberapa komoditi hortikultura Indonesia di dunia
tahun 2009-2013
Luas panen, produksi, dan produktiviitas kubis di beberapa provinsi
penghasil kubis terbesar di Indonesia tahun 2013
Luas panen, produksi, dan produktivitas kubis di Kabupaten Agam
serta produktivitas kubis Sumatera Barat periode 2009-2013
Data kelompok tani pelaksana sayuran organik Kecamatan Baso
tahun 2010
Luas sawah menurut jenis pengairan di Kecamatan Baso tahun 2012
Persentase luas lahan menurut penggunaannya di Kecamatan Baso
tahun 2012
Keragaman umur petani sampel di Kecamatan Baso
Keragaman pendidikan petani sampel di Kecamatan Baso
Keragaman pengalaman petani sampel dalam melakukan usahatani
kubis di Kecamatan Baso
Keragaman jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan
petani sampel di Kecamatan Baso
Sebaran luas lahan garapan petani kubis organik dan non organik di
Kecamatan Baso
Distribusi petani sampel berdasarkan jarak lahan usahatani dengan
rumah petani pada usahatani kubis di Kecamatan Baso
Sebaran status lahan garapan petani kubis organik dan non organik
di Kecamatan Baso
Produktivitas dan penggunaan input usahatani kubis organik dan
kubis non organik di Kecamatan Baso (per hektar)
Hasil estimasi fungsi produksi frontier, fungsi risiko produksi, dan
fungsi inefisiensi teknis dengan metode MLE pada usahatani kubis
organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi produksi frontier, fungsi risiko produksi, dan
fungsi inefisiensi teknis dengan metode MLE pada usahatani kubis
non organik di Kecamatan Baso
Efisiensi teknis pada usahatani kubis organik dan usahatani kubis
non organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi sumber-sumber inefisiensi teknis usahatani kubis
organik dan usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Preferensi risiko produksi petani kubis organik dan petani kubis non
organik di Kecamatan Baso
Persentase jumlah petani penerap setiap komponen penerapan
organik di Kecamatan Baso
Statistik deskriptif tingkat penerapan kubis organik di Kecamatan
Baso
Tingkat penerapan kubis organik petani sampel di Kecamatan Baso
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan organik oleh petani
kubis (organik dan non organik) di Kecamatan Baso

1
2
2
3
4
38
39
40
40
41
42
43
43
44
48

52

62
69
72
77
83
85
86
89

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Efisiensi teknis dan alokatif (orientasi input)
Kurva yang menghubungkan varians income dengan income yang
diharapkan
Perubahan teknis antar dua periode
Kerangka alur pikir penelitian
Sebaran tingkat efisiensi teknis pada petani kubis organik dan non
organik

18
21
23
26
70

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14

15
16

Hasil estimasi OLS fungsi produksi kubis organik di Kecamatan
Baso
Hasil uji heterokedastisitas untuk model fungsi produksi kubis
organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi OLS fungsi produksi kubis non organik di Kecamatan
Baso
Hasil uji heterokedastisitas untuk model fungsi produksi kubis non
organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi produksi frontier dan efek inefisiensi teknis
usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi produksi frontier dan efek inefisiensi teknis
usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi inefisiensi teknis pada usahatani kubis organik
di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi inefisiensi teknis pada usahatani kubis non
organik di Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi risiko produksi usahatani kubis organik di
Kecamatan Baso
Hasil estimasi fungsi risiko produksi usahatani kubis non organik di
Kecamatan Baso
Efisiensi teknis dan preferensi risiko tiap petani responden pada
usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Efisiensi teknis dan preferensi risiko tiap petani responden pada
usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Estimasi fungsi regresi linear berganda faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan organik oleh petani kubis di Kecamatan
Baso
Hasil uji heterokedastisitas untuk model regresi linera berganda
faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan organik oleh petani
kubis di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap lahan pada
usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap benih pada
usahatani kubis organik di Kecamatan Baso

105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116

118

119
120
121

17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pupuk
kandang pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pupuk
kompos pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pupuk nabati
pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pestisida
organik pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap tenaga kerja
pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap lahan pada
usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap benih pada
usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap tenaga kerja
pada usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pupuk
organik pada usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pupuk kimia
pada usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Prosedur perhitungan preferensi risiko petani terhadap pestisida
kimia pada usahatani kubis non organik di Kecamatan Baso
Tingkat penerapan organik pada usahatani kubis organik dan non
organik di Kecamatan Baso
Hasil uji beda nilai efisiensi teknis petani kubis organik dengan
petani kubis non organik di Kecamatan Baso

122
123
124
125
126
127
129
131
134
136
138
141
145

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat menjadi sumber pendapatan bagi
masyarakat serta petani, baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar. Hal ini
dikarenakan komoditas hortikultura memiliki keunggulan berupa nilai jual yang
tinggi, keragaman jenis, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan
internasional yang terus meningkat (Kementerian Pertanian 2012).
Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
adalah sayuran. Kubis merupakan salah satu dari sepuluh jenis sayuran yang
banyak diproduksi di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai tahun 2008 kubis
merupakan jenis sayuran terbanyak diproduksi Indonesia, sedangkan pada tahun
2009 sampai tahun 2012 kubis merupakan sayuran kedua terbesar diproduksi
setelah cabai, dan pada tahun 2013 kembali menjadi sayur terbanyak diproduksi di
Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1 Produksi sayuran di Indonesia tahun 2007-2013
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Produksi (ton)

Komoditi
Kubis
Cabai
Kentang
Bawang
Merah
Tomat
Kentimun
Mustard
Green
Daun
Bawang
Kacang
Panjang
Terong

2007
1 288 738
1 128 792
1 003 732
802 810

2008
1 323 702
1 153 060
1 071 543
853 615

2009
1 358 113
1 378 727
1 176 304
965 164

2010
1 138 656
1 332 356
1 060 579
1 048 228

2011
1 363 741
1 903 229
955 488
893 124

2012
1 487 532
1 650 831
1 068 800
960 072

2013
1 480 625
1 012 879
1 124 282
1 010 773

635 475
581 205
564 912

725 973
540 122
565 636

853 061
583 139
562 838

890 169
546 927
583 004

954 046
521 535
-

887 556
512 556
-

992 780
491 636
-

479 924

547 743

549 365

541 359

526 774

581 065

579 973

488 500

455 524

483 793

488 174

458 307

457 489

450 859

390 846

427 166

451 564

509 093

519 481

518 448

545 646

Sumber: Badan Pusat Statistik 2014

Kubis sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena selain
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kubis juga berpotensi sebagai
komoditas ekspor. Kubis merupakan tanaman hortikultura yang volume
ekspornya tertinggi dibanding volume ekspor tanaman hortikultura lainnya seperti
bunga potong, jamur, cendawan tanah, pisang, nanas, jambu biji, mangga,
manggis, dan jahe (Tabel 2). Melihat peluang ekspor ini, kubis cukup menjanjikan
untuk diusahakan.

2
Tabel 2 Volume ekspor beberapa komoditi hortikultura Indonesia di dunia tahun
2009-2013
No
1
2
3
4
5
6
7

8

Volume ekspor (Ton)

Komoditi
Bunga potong
Kubis
Jamur
Cendawan
tanah
Pisang
Nanas
Jambu biji,
mangga dan
manggis
Jahe

2009
2 922 066
449 042 020
80 434

2010
3 161 965
32 031 608
150 482

2011
4 064 122
24 049 868
113 475

2012
4 356 463
56 304 032
347 336

2013
1 609 290
53 703 389
907 923

1 146 939

0

0

0

0

401 964
33 033

13 578
67 283

1 734 655
1 164

1 489 370
92 181

5 680 364
110 634

11 584 895

12 455 793

14 231 483

21 739 642

8 785 779

7 326 403

4 211 587

1 175 524

0

0

Sumber : UN Comtrade 2015

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi penghasil kubis di Indonesia.
Produksi kubis Sumatera Barat tergolong cukup besar dan berada pada urutan kelima diantara produksi kubis provinsi lain. Luas panen dan produksi kubis
Sumatera Barat lebih rendah dibanding Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Sumatera Utara (Tabel 3). Namun dari sisi produktivitas, tingkat produktivitas
kubis Sumatera Barat lebih tinggi dibanding provinsi lainnya yaitu sebesar 29.49
ton per hektar (Tabel 3).
Tabel 3
No

Luas panen, produksi dan produktivitas kubis di beberapa provinsi
penghasil kubis terbesar di Indonesia tahun 2013
Provinsi

Luas panen (ha)

1 Jawa Tengah
2 Jawa Barat
3 Jawa Timur
4 Sumatera Utara
5 Sumatera Barat
6 Bengkulu
7 Sulawesi Selatan
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014

19 258
14 439
8 793
6 958
3 385
2 617
2 370

Produksi (ton)
398 319
317 527
197 476
165 589
99 809
51 610
63 628

Produktivitas (ton/ha)
20.68
21.99
22.46
23.80
29.49
19.72
26.85

Produktivitas kubis Sumatera Barat tertinggi di Indonesia, namun masih ada
daerah di Sumatera Barat yang produktivitas kubisnya masih rendah. Kabupaten
Agam merupakan salah satu sentra produksi kubis di Sumatera Barat.
Produktivitas kubis di Kabupaten Agam masih rendah di bawah rata-rata
produktivitas kubis Sumatera Barat yaitu sebesar 26.57 ton per hektar pada tahun
2013. Dari tahun 2009 sampai tahun 2013 produktivitas kubis Kabupaten Agam
berada di bawah rata-rata produktivitas kubis Sumatera Barat, terutama pada
tahun 2010 tingkat produktivitas kubis Kabupaten Agam jauh lebih rendah (7.42
ton/ha) dibanding tingkat produktivitas kubis Sumatera Barat (30.68 ton/ha).
Untuk lebih jelasnya perbandingan tingkat produktivitas kubis Kabupaten Agam
dengan tingkat produktivitas kubis Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

3
Tabel 4
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013

Luas panen, produksi, dan produktivitas kubis di Kabupaten Agam serta
produktivitas kubis Sumatera Barat periode 2009-2013
Luas panen
(ha)
139
342
374
505
694

Produksi
(ton)
3 325
2 536
4 780
7 498
1 841

Produktivitas
(ton/ha)
23.92
7.42
12.78
14.27
26.57

Produktivitas kubis
Sumatera Barat (ton/ha)
31.39
30.68
31.40
31.59
29.50

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Barat 2014

Rendahnya produktivitas tanaman kubis di Kabupaten Agam memerlukan
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bakhsh et al. (2006) menyatakan
bahwa ada tiga kemungkinan cara untuk meningkatkan produksi yaitu menambah
luas lahan, mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru, dan menggunakan
sumberdaya yang tersedia secara efisien. Pemerintah daerah dan dinas pertanian
Kabupaten Agam telah melakukan program pengembangan teknologi organik dan
telah menetapkan Kecamatan Baso sebagai daerah percontohan untuk pertanian
organik (Srimardika 2011). Pengembangan teknologi organik telah dilakukan
dinas setempat melalui berbagai kegiatan seperti: pendidikan dan pelatihan
pertanian organik, gerakan penggunaan kompos jerami, pengadaan Sekolah
Lapang Pertanian Organik (SLAPO), pembinaan pos agen hayati, pengkajian
pertanian organik, pendirian pusat studi pertanian organik, pengembangan kawasan komoditas unggulan organik, dan banyak lagi kegiatan lainnya (Daniel
2011).
Teknologi organik ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan sistem
pertanian non organik, karena bahan organik dapat meningkatkan produksi atau
hasil tanaman (Sugito et al. 1995 dalam Lestari 2013). Tien (2013) juga
menemukan bahwa penerapan pertanian organik mampu meningkatkan produksi
dan produktivitas. Pazek dan Rozman (2007) juga menyatakan bahwa pertanian
organik layak untuk diusahakan.
Beberapa studi menyatakan bahwa pertanian organik layak untuk
diusahakan dan mampu meningkatkan produksi serta produktivitas, namun di sisi
lain juga ada studi yang menemukan bahwa pertanian organik produksinya lebih
rendah dan berisiko. Oryzanti (2013) menemukan bahwa produksi dan
produktivitas sayuran organik (bayam, lobak, caisim, wortel, dan tomat) lebih
rendah dibanding non organiknya. Produktivitas terkait dengan efisiensi teknis
karena salah satu penyebab rendahnya produktivitas terjadinya inefisiensi teknis.
Rahayu (2011) juga menemukan bahwa pertanian organik lebih berisiko. Kubis
merupakan tanaman pertanian yang sangat erat kaitannya dengan faktor alam
dalam hasil produksi. Alam merupakan suatu ketidakpastian yang menjadi
variabel penyebab terjadinya risiko dalam usaha pertanian dan risiko tersebut
dapat terjadi pada usahatani kubis organik. Berdasarkan hal tersebut perlu juga
dilakukan penelitian mengenai usahatani kubis organik di Kecamatan Baso ini
terkait bagaimana efisiensi teknis, dan preferensi risiko petani sebagai respon dari
adanya suatu risiko, mengingat permasalahan risiko sering ditemui di dunia
pertanian dan perlu diperhitungkan dalam penerapan suatu teknologi.

4
Perumusan Masalah
Pertanian organik layak untuk diusahakan dan mampu meningkatkan
produksi serta produktivitas. Meskipun demikian, penerapan teknologi organik
pada usahatani kubis di Kecamatan Baso belum sepenuhnya diterapkan petani.
Selain mengusahakan kubis organik, petani di Kecamatan Baso masih tetap
menanam kubis non organik. Hasil penelitian Srimardika (2011) di salah satu
gapoktan yang ada di Kecamatan Baso, meskipun petani anggota gapoktan
mengusahakan kubis organik yang telah bersertifikat, namun anggota gapoktan
tersebut tetap menanam kubis non organik. Daniel (2011) juga menyatakan bahwa
pemerintah daerah telah melakukan berbagai kegiatan untuk menunjang
pengembangan pertanian organik. Dari sisi finansial pemerintah daerah telah
melakukan usaha untuk mengembangkan sistem pertanian organik dan
merangsang semangat petani melalui pemberian insentif sebesar Rp 250,00 per
kilogram dari setiap produk pertanian organik yang dihasilkan petani. Namun,
berdasarkan pengamatan ternyata perkembangan pertanian organik ini lambat
sekali, bahkan ada petani yang awalnya telah bertani secara organik kembali ke
sistem pertanian yang menggunakan zat kimia secara berlebihan.
Data luas lahan usahatani kubis organik Kecamatan Baso tidak tersedia di
dinas setempat. Jika dilihat data luas lahan sayuran organik secara keseluruhan di
Kecamatan Baso yaitu seluas 27.5 hektar (Tabel 5).
Tabel 5 Data kelompok tani pelaksana sayuran organik Kecamatan Baso tahun
2010
Kelompok tani
Parambahan
Puncak tabek
Agam sajati
Tuah sakato
Tunas baru
Sajati
Bumi harapan
Solo agro
Amanah
Suko mananti
Mega ultra
Tunas budaya
Tunas muda
Amanah agro
Ujung tanjung raya
Sahati

Komoditi

Tahun mulai
kegiatan

Sayuran dan palawija
Sayuran
Sayuran
Sayuran
Sayuran
Sayuran dan palawija
Sayur
Sayur
Sayur
Sayur
Sayur
sayur
Sayuran dan padi
Sayuran
Sayuran
Padi sawah dan sayur
Total luas lahan
Sumber : Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Baso 2011

2008
2010
2007
2008
2007
2007
2008
2008
2008
2008
2010
2010
2010
2008
2010
2009

Luas area
(ha)
2.0
2.0
2.0
2.0
2.0
2.0
1.0
2.0
1.0
2.5
2.0
2.0
1.0
1.0
2.0
1.0
27.5

Sertifikasi
Sudah
Belum
Sudah
Belum
Sudah
Sudah
Sudah
Sudah
Sudah
Belum
Belum
Sudah
Belum
Proses
Belum
Belum

Apabila luas lahan sayuran organik tersebut dibandingkan dengan luas lahan
kubis non organik (123 hektar), luas lahan pertanian organik baru 22.36 persen.
Jika dilihat penelitian terdahulu, pada tahun 2011 terdapat sebanyak 30 petani
pelaksana kubis organik di Koto tinggi, Kecamatan Baso dengan rata-rata luas
lahan sebesar 857 m2 (Srimardika 2011), sedangkan kondisi di lapangan diperoleh
bahwa petani pelaksana kubis organik di Kecamatan Baso sebanyak 22 petani

5
dengan rata-rata luas lahan sebesar 767 m2. Berdasarkan data tersebut dapat
dikatakan bahwa petani kubis di Kecamatan Baso memberikan respon yang sangat
lambat terhadap upaya pengembangan teknologi organik yang digalakkan oleh
pemerintah daerah Kecamatan Baso.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini ingin menjawab pertanyaan
umum mengapa petani belum sepenuhnya menerapkan usahatani kubis organik?
Apakah usahatani kubis organik belum efisien secara teknis dan berisiko?
mengingat pertanian organik belum terstandar dalam hal penggunaan input
produksi, dan kegiatan pertanian selalu dihadapi risiko.
Lambatnya penerapan pertanian organik dan petani masih tetap
mengusahakan kubis non organik meskipun telah mengusahakan kubis organik
diduga karena teknologi organik belum mampu meningkatkan produksi dan
produktivitas kubis. Dimana, beberapa studi tentang pertanian organik ada yang
menemukan bahwa produksi dan produktivitas usahatani organik lebih rendah
dibanding usahatani non organik. Seperti penelitian Oryzanti (2013), ditemukan
bahwa produksi dan produktivitas sayuran organik lebih rendah dibanding yang
non organik. Mengkaji persoalan produktivitas sebenarnya mengkaji masalah
efisiensi teknis. Tajerin dan Noor (2005) berpendapat bahwa mengkaji persoalan
produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi teknis karena ukuran
produktivitas pada hakekatnya menunjukkan seberapa besar keluaran (output)
dapat dihasilkan per unit input tertentu. Bokhuseva dan Hockmann (2006) juga
berpendapat bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab rendahnya
produktivitas adalah terjadinya inefisiensi teknis. Berdasarkan hal tersebut, perlu
diketahui bagaimanakah tingkat efisiensi teknis dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso ini.
Mengkaji efisiensi teknis suatu usahatani perlu juga dikaji risiko pada
usahatani tersebut, karena mengabaikan risiko dapat menyebabkan estimasi
efisiensi teknis yang salah atau bias (Bokusheva dan Hockmann 2006).
Lambatnya penerapan pertanian organik dan petani masih mengusahakan kubis
non organik meskipun telah mengusahakan kubis organik selain karena inefisiensi
teknis, diduga juga karena usahatani kubis organik berisiko seperti usahatani
organik lainnya. Dimana, studi tentang pertanian organik ada yang menemukan
bahwa risiko produksi yang dihadapi petani organik lebih tinggi daripada petani
non organik (Rahayu 2011). Jumlah dan jenis input yang digunakan petani akan
mempengaruhi risiko produksi yang dihadapi petani. Input usahatani bisa
mengurangi risiko atau memperbesar risiko. Seperti yang dinyatakan oleh
Robinson dan Barry (1987) bahwa input pestisida merupakan input yang bersifat
mengurangi risiko. Menurut Villano et al. (2005) herbisida merupakan input yang
dapat menurunkan risiko, sedangkan tenaga kerja, dan pupuk merupakan input
yang dapat meningkatkan risiko. Tiedemann dan Lohmann (2012) menyatakan
bahwa lahan, dan tenaga kerja meningkatkan risiko, sedangkan bibit, modal, dan
kualitas lahan, mengurangi efek risiko. Fariyanti (2008) menyatakan bahwa input
lahan, benih, dan obat-obatan merupakan input yang bersifat mengurangi risiko
produksi, sedangkan pupuk Urea, TSP, KCl, dan tenaga kerja merupakan input
yang menimbulkan risiko produksi. Berdasarkan hal tersebut, perlu juga diketahui
pengaruh masing-masing input yang digunakan pada usahatani kubis organik
terhadap risiko produksi, dimana penggunaan input pada usahatani organik ini
belum ada standar penggunaannya, berbeda halnya dengan usahatani non organik.

6
Adanya risiko produksi yang dihadapi petani akan mendapatkan respon
berupa preferensi petani terhadap risiko produksi. Preferensi risiko petani sangat
mempengaruhi keberhasilan penerapan suatu teknologi. Sauer dan Zilberman
(2009) menemukan bahwa preferensi risiko petani berpengaruh nyata terhadap
adopsi teknologi. Musyafak dan Ibrahim (2005) juga menyatakan bahwa sikap
terhadap risiko mempengaruhi penerapan inovasi. Isik dan Khanna (2002)
menemukan bahwa petani yang bersifat risk averse akan menghindari penerapan
teknologi baru. Rahayu (2011) juga menemukan bahwa semakin petani bersifat
berani mengambil risiko (risk taker), semakin besar kemungkinan petani
memutuskan untuk melakukan usahatani organik.
Teknologi organik ini belum ada standar penggunaan input produksi
terutama dalam hal dosis penggunaan pupuk dan pestisida organik, komposisi dan
standar bahan baku yang digunakan untuk pembuatannya, serta kepastian manfaat
dari pestisida organik yang dibuat oleh petani untuk pencegahan hama dan
penyakit jenis apa. Berbeda halnya dengan pertanian non organik yang telah jelas
dosis penggunaan input produksi dan manfaatnya. Teknologi organik yang belum
ada kepastian produksi dan belum jelas standarisasinya memungkinkan petani
takut terhadap risiko (risk averse) jika menerapkannya. Dimana, ketidakpastian
tentang kondisi produksi dari penggunaan teknologi baru menyebabkan petani
yang risk averse akan menghindari penerapan teknologi tersebut. Villano et al.
(2005) menyatakan bahwa perilaku petani terhadap risiko (preferensi risiko
petani) mempunyai pengaruh penting pada keputusan petani dalam
mengalokasikan input usahatani. Dengan kata lain, preferensi risiko petani dalam
menghadapi perubahan teknologi dengan penggunaan input yang berbeda akan
sangat menentukan keberhasilan penerapan teknologi tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, perlu juga diketahui bagaimana preferensi risiko petani kubis organik di
Kecamatan Baso ini.
Keberhasilan penerapan teknologi organik untuk usahatani kubis diduga
dipengaruhi juga oleh faktor sosial ekonomi dan personal petani lainnya.
Musyafak dan Ibrahim (2005) menyatakan bahwa keberhasilan adopsi dan difusi
inovasi dipengaruhi oleh faktor internal petani seperti umur, pendidikan, sikap
terhadap risiko, sikap terhadap perubahan, pola hubungan petani dengan
lingkungannya, motivasi berkarya, dan karakteristik psikologi. Kebede (2001)
juga menemukan bahwa pendidikan, keterampilan, dan penyuluhan
mempengaruhi penerapan teknologi di negara berkembang. Wandji (2012)
menemukan bahwa tingkat pendidikan, dan penyuluhan merupakan faktor utama
penentu adopsi budidaya ikan di Cameroon. Ogada et al. (2010) menemukan
bahwa tingkat pendidikan, jumlah anggota rumahtangga petani, dan intensitas
kunjungan penyuluhan juga mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi
teknologi. Uaiene (2011) menemukan hal yang sama, dimana tingkat pendidikan,
dan keikutsertaan dalam asosiasi pertanian menentukan petani dalam adopsi
teknologi pertanian. Berdasarkan hal tersebut, perlu juga diketahui faktor sosial
ekonomi dan internal petani yang mempengaruhi penerapan pertanian organik
pada tanaman kubis di Kecamatan Baso.

7
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan permasalahan yang dirumuskan,
maka tujuan umum penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh efisiensi teknis
dan preferensi risiko petani terhadap penerapan usahatani kubis organik. Secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengukur tingkat efisiensi teknis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada usahatani kubis organik
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi yang
dihadapi petani pada usahatani kubis organik.
3. Menentukan preferensi risiko petani pada usahatani kubis organik.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani menerapkan
usahatani kubis organik.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada usahatani kubis organik di Kecamatan Baso,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan data cross section
dari petani yang berusahatani kubis secara organik dan petani yang mengusahakan
kubis non organik sebagai pembanding. Usahatani kubis organik yang menjadi
lingkup penelitian ini yaitu usahatani kubis yang menggunakan pupuk organik
tanpa menggunakan pupuk kimia, pestisida yang digunakan pestisida nabati
maupun hewani tanpa pestisida kimia, petani yang memperoleh sertifikat organik
atau yang telah melakukan usahatani organik lebih dari tiga kali musim tanam
dengan pertimbangan lahan relatif terbebas residu pupuk, dan pestisida kimia.
Efisiensi yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah efisiensi teknis dimana
salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah inefisiensi
teknis. Risiko produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah risiko yang
ditimbulkan karena penggunaan input usahatani. Risiko produksi yang
ditimbulkan karena cuaca belum tercakup dalam penelitian ini.

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Teknis Produksi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Efisiensi merupakan sebuah konsep ekonomi yang penting dan digunakan
untuk mengukur kinerja suatu unit produksi. Penelitian-penelitian tentang
efisiensi produksi pada berbagai komoditi pertanian telah banyak dilakukan baik
di dalam maupun di luar negeri. Kisaran tingkat efisiensi pada berbagai hasil
penelitian relatif beragam baik antar komoditi maupun antar negara. Tetapi batas
suatu usahatani dikatakan efisien bila mencapai tingkat 0.7. Coelli et al. (1998);
Bakhsh dan Safraz (2005); Bakhsh et al. (2006); dan Kusnadi et al. (2011)
menyatakan bahwa tingkat efisiensi petani sebesar 0.7 dapat dikatakan sudah
efisien.
Dari aspek efisiensi teknis, tingkat efisiensi teknis petani berbeda-beda baik
antar komoditi maupun antar negara. Penelitian efisiensi teknis untuk komoditi
lidah buaya dilakukan oleh Adhiana (2005), diperoleh hasil bahwa rata-rata
tingkat efisiensi teknis petani sebesar 0.813. Kusnadi et al. (2011) melakukan
penelitian mengenai efisiensi teknis padi di beberapa sentra produksi di Indonesia,
diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis petani sudah efisien yaitu
sebesar 91.86 persen. Khan et al. (2010) juga meneliti efisiensi teknis padi di
Jamalpur, Bangladesh. Diperoleh hasil bahwa tingkat efisiensi teknis petani padi
varietas Aman 91 persen, dan petani padi varietas Boro sebesar 95 persen. Lestari
(2013) membandingkan efisiensi teknis usahatani padi organik dengan non
organik, diperoleh hasil bahwa rata-rata efisiensi teknis petani padi organik
sebesar 0.75 dan petani non organik sebesar 0.79. Tien (2011) juga melihat
efisiensi teknis padi organik, diperoleh hasil bahwa efisiensi teknis petani padi
organik cukup tinggi sebesar 0.8. Villano et al. (2005) meneliti tingkat efisiensi
teknis padi di Philippina, diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis
petani lebih dari 0.80 untuk setiap tahunnya. Untuk kubis, Wibisono (2011) telah
melakukan penelitian mengenai efisiensi kubis, diperoleh hasil bahwa tingkat
efisiensi teknis petani kubis di Magelang sebesar 0.66 dan dinyatakan belum
efisien secara teknis. Secara umum penelitan-penelitian tersebut menyatakan
bahwa batas efisiensi teknis dinyatakan efisien yaitu 0.7.
Ada sejumlah faktor penentu inefisiensi petani yang berasal dari diri petani.
Umur memiliki efek terhadap tingkat inefisiensi teknis. Umumnya dipercaya
bahwa umur petani terkait dengan pengelolaan dan produktivitas tenaga kerja.
Petani yang berada pada umur produktif akan memberikan hasil yang lebih baik
dibanding petani yang berada pada umur yang tidak produktif. Sehingga dapat
dikatakan bahwa semakin bertambah umur maka akan berpengaruh positif
terhadap inefisiensi teknis. Penelitian Kusnadi et al. (2011) menyatakan bahwa
umur berpengaruh nyata dan positif terhadap inefisiensi teknis. Semakin tua umur
petani, maka inefisiensi teknis akan semakin meningkat. Begitu juga penelitian
Tanjung (2003); Singh dan Sharma (2011); Nahraeni (2012); Maganga (2012);
Nurhapsa (2013); dan Lestari (2013) bahwa umur berpengaruh nyata dan positif
terhadap inefisiensi teknis. Tetapi variabel umur juga dapat berpengaruh negatif
terhadap inefisiensi teknis. Hasil penelitian Bakhsh et al. (2006) menemukan
bahwa semakin tinggi umur petani kentang di Punjab Pakistan, semakin

9
mengurangi inefisiensi teknis secara nyata. Di Indonesia, hasil penelitian Adhiana
(2005), dan Sukiyono (2005) juga menemukan bahwa semakin tinggi umur petani
semakin mengurangi inefisiensi teknis.
Petani dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung lebih efisien
secara teknis. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki petani
akan menentukan kemampuan mereka dalam menerapkan teknologi yang ada.
Petani dengan pendidikan tinggi akan lebih terbuka dalam menerima informasi
dan menerima perubahan teknologi sehingga akan meningkatkan efisiensi atau
menurunkan inefisiensi teknis (Kusnadi et al. 2011 dan Alam et al. 2012). Hasil
penelitian Wahida (2005); Adhiana (2005); Saptana (2011); Singh dan Sharma
(2011); Khan et al. (2012); Nurhapsa (2013); dan Lestari (2013) juga
menunjukkan bahwa pendidikan formal mengurangi inefisiensi teknis. Semakin
tinggi pendidikan yang ditempuh petani maka semakin tinggi kemampuan mereka
untuk mengadopsi teknologi dan dapat menggunakan input secara proporsional,
sehingga meningkatkan kinerja dalam berusahatani. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya, Sukiyono (2005); Sinaga (2011); dan Asogwa et al. (2011)
menemukan bahwa pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap inefisiensi
teknis. Sinaga (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan meningkatkan
inefisiensi teknis petani kentang di Simalungun, Sumatera Utara karena teknologi
yang digunakan oleh petani di daerah penelitian tidak dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, atau dengan kata lain petani masih menggunakan cara tradisional
dalam melakukan budidaya.
Petani yang memiliki pengalaman usahatani cukup lama diharapkan dapat
lebih terampil dalam mengelola usahataninya. Berdasarkan pengalaman yang
dimiliki, petani akan mampu mengambil keputusan yang rasional untuk
usahataninya sehingga akan berdampak pada efisiensi usahatani. Petani yang lebih
berpengalaman akan lebih efisien karena memiliki pengetahuan dan kemampuan
adopsi teknologi yang lebih baik, dan pada umumnya petani yang berpengalaman
memiliki jaringan kerja yang lebih luas sehingga berpeluang memperoleh
informasi lebih cepat dan cenderung mengaplikasikan informasi teknologi yang
diterimanya. Pada akhirnya petani yang lebih berpengalaman memiliki kapabilitas
manajerial yang lebih baik karena belajar dari pengelolaan usahatani pada tahuntahun sebelumnya. Hasil penelitian Tanjung (2003); Adhiana (2005); Sukiyono
(2005); Saptana (2011); Sinaga (2011); Nahraeni (2012); Nurhapsa (2013); dan
Lestari (2013) menyatakan bahwa pengalaman petani dalam berusahatani secara
nyata berpengaruh menurunkan inefisiensi teknis, dengan kata lain pengalaman
usahatani meningkatkan efisiensi teknis petani. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya, Ogundari dan Ojo (2007) menemukan bahwa semakin tinggi
pengalaman petani dalam berusahatani di Onde State, Nigeria, semakin
meningkatkan inefisiensi teknis petani.
Berdasarkan status kepemilikan lahan yang digunakan petani, petani dengan
status lahan sewa diduga cenderung berproduksi lebih baik dibanding petani
dengan lahan milik sendiri. Bakhsh dan Safraz (2005) menyatakan bahwa status
hak milik atas tanah yang ditanami wortel oleh petani di Pakistan meningkatkan
inefisiensi teknis. Para penyewa cenderung menggunakan sumberdaya yang
tersedia secara terbatas dan lebih efisien dengan teknologi yang ada karena
kehidupan para petani tergantung pada produksi tanaman. Nahraeni (2012) juga

10
memperoleh hasil bahwa status hak milik atas tanah yang ditanami kentang oleh
petani di Jawa Barat meningkatkan inefisiensi teknis petani.
Keanggotaan dalam kelompok tani merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani. Diduga petani yang
tergabung dalam kelompok tani akan lebih cepat mendapatkan informasi yang
terkait dengan teknologi baru, peningkatan produktivitas tanaman, atau informasi
pasar dibanding petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Binam et al.
(2004) menyatakan bahwa keanggotaan dalam kelompok tani dapat memberikan
pengaruh pada anggota dan petani lainnya yang tidak menjadi kelompok melalui
pemberian informasi dan demonstrasi praktek usahatani. Saptana (2011) juga
sependapat bahwa petani yang tergabung dalam kelompok tani akan memiliki
akses yang lebih baik kepada informasi teknologi, pasar, dan program-program
pemerintah, sehingga keanggotaan dalam kelompok tani dapat menurunkan
inefisiensi teknis. Fauziyah (2010) juga menyatakan bahwa keanggotan kelompok
tani menurunkan inefisiensi teknis. Bergabungnya petani pada kelompok tani,
petani dapat memperoleh informasi dari penyuluh yang akan menjadi masukan
untuk perbaikan teknik budidaya. Selain itu, sesama anggota kelompok tani dapat
berbagi pengalaman teknik budidaya yang diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas. Hasil penelitian Nyagaka et al. (2010) dan Nahraeni (2012) juga
diperoleh bahwa keanggotaan dalam kelompok tani mengurangi inefisiensi teknis
petani. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Tanjung