Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir di Desa Bahoi Sulawesi Utara

KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR
PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA
BAHOI SULAWESI UTARA

MUHAMMAD FAHRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekologi Ekosistem
Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi
Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017
Muhammad Fahruddin
NRP C251124051

RINGKASAN
MUHAMMAD FAHRUDDIN. Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar
Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara. Dibimbing
oleh FREDINAN YULIANDA dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.
Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di
perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun.
Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu
perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan
ammonium. Fungsi ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove
dan terumbu karang.
Laju produksi ekosistem lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa
lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering
dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila
dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 5001000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan

bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan
kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang
memanfaatkan lamun sebagai makanan.
Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen
primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan
ikan-ikan dan krustasea muda. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Desa
Bahoi diperkirakan mempengaruhi ekosistem lamun, seperti kegiatan
pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, pembuatan kapal,
pencemaran minyak, pembuangan sampah, aliran drainase, MCK (mandi, cuci,
kakus) dan aktivitas penangkapan langsung di daerah lamun seperti menjaring dan
menombak akan berdampaka pada lamun. Kegiatan seperti ini secara langsung
maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan lamun, sehingga
pertumbuhan, produksi ataupun biomassanya akan mengalami penyusutan.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisa struktur komunitas dan produktifitas
lamun serta menganalisis proses gangguan produktifitas lamun dan strategi
pengelolaannya.
Metode yang digunakan adalah dengan pengambilan contoh purpose
sampling berdasarkan pendekatan habitat mangrove, lamun, dan habitat terumbu
karang. Stasiun 1 (dekat mangrove), stasiun 2 (lamun), dan stasiun 3 (dekat terumbu
karang) yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh sembilan

kuadran yang berukuran 150x50 cm.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan enam jenis lamun yaitu E.
acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis.
Struktur komunitas lamun pada stasiun dekat mangrove memiliki nilai tertinggi dan
produktifitas dalam hal ini biomassa tertinggi terdapat pada stasiun 2 habitat lamun
dengan jenis yang berukuran besar seperti E. acoroides dan T. hemprichii memiliki
nilai tertinggi pada seluruh parameter pengamatan. Hal ini karena jenis lamun ini
memiliki penyebaran yang luas dan secara morfologi memiliki ukuran yang lebih
besar dibandingkan jenis lainnya.
Strategi pengelolaan dari hasil analisis SWOT adalah menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan pengelolaan lamun (ekowisata dan kebun bibit) dan mengontrol

pemanfaatan lamun berbasis masyarakat akan memberikan manfaat dalam
meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi resiko
kerusakan ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya.
Kata kunci : ekosistem lamun, strategi pengelolaan lamun, Bahoi, Sulawesi Utara.

SUMMARY
MUHAMMAD FAHRUDDIN. A Study on Seagrass Ecosystem Ecology as a Basis
of Preparation of Strategy for Coastal Management in Bahoi Village, North

Sulawesi. Supervised: FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD
SETYOBUDIANDI.
Seagrass ecosystem is the primary producer in the marine food chain and its
primary productivity ranges between 900-4650 gC/m2/year. Growth, morphology,
abundance and primary productivity of Seagrass in the waters are generally
determined by the availability of nutrients such as phosphate, nitrate and
ammonium. The function of Seagrass ecosystem indeed complements mangrove
and coral reef ecosystems.
Production rate of Seagrass ecosystem is defined as the increased in Seagrass
biomass at specified interval with production rate (productivity), which is often
expressed in units of dry weight per m² per day (gbk/m²/day). If it is converted to
carbon production, then the Seagrass biomass production shall be ranged between
500-1000 gC/m²/year and even it could be doubled. The production obtained can
be smaller than the actual production because the loss of litter and the effect of
grazing by herbivorous animals consuming seagrass as food are not taken into
account. Seagrass is also the foundation for an ecosystem and as a primary
producer, where the habitat is often used as a place supporting the lives of fish and
young crustaceans.
The development activities in the coastal areas at Bahoi Village are assumed
to affect Seagrass ecosystem, such as the development activities of coastal area,

marine traffic, shipbuilding, oil pollution, waste disposal, drainage, sanitary
facilities (a facility for bathing, washing, as well as serving as a lavatory) and direct
fishing activities in the Seagrass area such as catching and piking will affect
Seagrass. This kind of activity shall affect the lives of Seagrass either directly or
indirectly, so that the growth, production or biomass will experience shrinkage.
The aims of this study are to analyze the community structure and
productivity of Seagrass and analyze the process of Seagrass productivity
disturbances as well as its management strategy.
The method used in collecting the sample was purposive sampling based on
approach to mangrove, Seagrass and coral reef habitats. Station 1 (near to the
mangrove), station 2 (Seagrass), and station 3 (near to coral reefs) are respectively
repeated 3 times, in order to obtain the nine quadrants measuring 150x50 cm.
The results showed that there were six species of Seagrass, such as E.
acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis and H. uninervis.
Structure of Seagrass community in the station, which was near to mangrove had
the highest score while in this case of productivity, the highest biomass was in
station 2 of Seagrass habitat with large species such as E. acoroides and T.
hemprichii. They have the highest value in the whole observation parameter. It is
because that these seagrass species has wide distribution and morphologically they
have larger size than other species.

Management strategies from the result of SWOT analysis is to conduct
Seagrass management training (ecotourism and nurseries) and control the use of
community-based Seagrass because that will be beneficial in improving public

understanding and incomes as well as reduce the risk of damage to Seagrass
ecosystem and other coastal ecosystems.
Keywords: seagrass ecosystem, seagrass management strategy, Bahoi, North
Sulawesi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR
PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA

BAHOI SULAWESI UTARA

MUHAMMAD FAHRUDDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Etty Riani, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih dalam penelitian ini yaitu Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar
Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
dan Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ayah Iskandar Bckn., S. Sos., MM, Ibu Sry
Suhada Abdullah Qisman Amry, S.Pd, Kakak Fahri Rahman, Adik Muhammad
Aditya Warman dan Anita Prihatini Ilyas S.Pi., M.Si, atas segala doa, motivasi dan
kasih sayangnya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh
rekan-rekan SDP 12 yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Tak
lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu di Laboratorium Produktivitas Lingkungan MSP FPIK IPB,
Laboratorium Pakan Ikan BDP FPIK IPB, Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian IPB, PT. Water Laboratory Nusantara (WLN) Manado Sulawesi Utara,
Pemberdayaan & Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA), Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB, dan Bapak Maxi Lahading dan Opi
yang telah membantu di lapangan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Muhammad Fahruddin


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xiv
xv
xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4

4

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Analisis Data
Analisis SWOT

5
6
6
7
10
11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

12


6 KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

35
35
35

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

35
43
53

DAFTAR TABEL
1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika,
kimia dan biologi perairam
2 Estimasi/penilaian tutupan lamun
3 Kriteria status penutupan lamun
4 Faktor strategi internal
5 Faktor strategi eksternal
6 Diagram matriks SWOT
7 Nilai rata-rata parameter kualitas air
8 Inkdeks Nilai Penting
9 Rata-rata kandungan nutrien dan tekstur substrat
10 Matriks pengelolaan ekosistem lamun
11 Rangking alternatif strategi

6
9
9
11
12
12
13
23
26
30
32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Skema pendekatan masalah
Peta lokasi penelitian
Kerapatan jenis (A) dan kerapatan relatif (B)
Frekuensi jenis(A) dan frekuensi relatif (B)
Penutupan jenis (A) dan penutupan relatif (B)
Biomassa

5
6
17
20
22
24

DAFTAR LAMPIRAN
1. Rata-rata kerapatan jenis lamun antar stasiun
2. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun
3. Uji lanjut Duncan kerapatan jenis lamun antar stasiun
4. Rata-rata kerapatan relatif lamun antar stasiun
5. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan relatif antar stasiun
6. Uji lanjut Duncan kerapatan relatif lamun antar stasiun
7. Rata-rata frekuensi jenis lamun antar stasiun
8. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi jenis lamun antar stasiun
9. Uji lanjut Duncan frekuensi jenis lamun antar stasiun
10. Rata-rata Frekuensi Relatif lamun antar stasiun
11. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi relatif lamun antar stasiun
12. Uji lanjut Duncan frekuensi relatif lamun antar stasiun
13. Rata-rata tutupan jenis lamun antar stasiun
14. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan jenis lamun antar stasiun
15. Uji lanjut Duncan tutupan jenis lamun antar stasiun
16. Rata-rata tutupan relatif lamun antar stasiun
17. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan relatif lamun antar stasiun
18. Uji lanjut Duncan tutupan relatif lamun antar stasiun
19. Rata-rata Biomassa jenis lamun antar stasiun
20. Analisis sidik ragam (ANOVA) Biomassa lamun antar stasiun
21. Uji lanjut Duncan biomassa lamun antar stasiun
22. Analisis sidik ragam (ANOVA) substrat antar stasiun
23. Uji lanjut Duncan substrat antar stasiun
24. Tingkat kepentingan faktor strategi internal dalam pengelolaan
kawasan ekosistem lamun
25. Tingkat kepentingan faktor eksternal dalam pengelolaan kawasan
ekosistem lamun
26. Penilaian bobot faktor strategi internal dalam pengelolaan ekosistem
lamun
27. Penilaian bobot faktor strategi eksternal dalam pengelolaan ekosistem
lamun
28. Matrik IFE
29. Matrik EFE

42
42
42
43
43
43
44
44
45
45
45
46
46
46
47
47
48
48
49
49
49
50
50
50
51
51
51
51
52

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki
kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas
tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizome, daun dan akar sejati.
Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang
lamun (seagrass bed). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem perairan
yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas
dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan
memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery dan
spawning ground, sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrien (Philips & Menez
2008), dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal
dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe
2009). Habitat lamun merupakan komponen penting pada lingkungan perairan laut,
seperti siklus nutrisi, penyediaan makanan, dan penanggulangan perubahan iklim
(Orth et al. 2006; Waycott et al. 2009). Menurut Kusnadi et al. (2008), lamun
merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting, baik secara fisik maupun
biologis. Selain sebagai stabilisator sedimen dan penahan endapan, ekosistem
lamun berperan sebagai produsen utama dalam jaring-jaring makanan.
Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di
perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun.
Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu
perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan
ammonium (Green & Short 2003). Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan
lamun di dunia telah mengalami degradasi 54 % (Bjork et al. 2008). Fungsi
ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen
primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan
ikan-ikan dan krustasea muda (Hori et al. 2009; Watson et al. 1993; Benstead et al.
2006). Lamun melindungi organisme-organisme tersebut dari para predator
(Barbier et al. 2011).
Selain sebagai produsen primer dan habitat biota, lamun juga memiliki fungsi
lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan pendaur zat hara (Azkab 1999). Memiliki
peran kunci membuat lamun dapat berfungsi sebagai indikator yang baik bagi
sebuah lingkungan perairan (Paynter et al. 2001; Vichkovitten 1998 ). Selanjutnya
ditambahkan Bjork et al. (2008) selain memiliki peranan ekologis, lamun juga
berperan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu digunakan sejak lama
sebagai pengisi kasur, penutup atap rumah dan pupuk tanaman, beberapa spesies
lamun benihnya dapat dimakan oleh manusia.
Sehingga tumbuhan lamun yang beranekaragam serta berlimpahnya
organisme yang beraososiasi dengan ekosistem lamun dapat dimanfaatkan sebagai
tempat pemancingan, wisata bahari, bahan baku pakan buatan untuk ikan dan
hewan ternak, sumber pupuk hijau, areal marikultur (ikan, teripang, karang, tiram
dan rumput laut), bahan baku kerajinan anyaman, dan sebagainya (Dahuri et al.
2001). Laju produksi ekosistem lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa

2
lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering
dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila
dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 5001000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan
bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan
kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang
memanfaatkan lamun sebagai makanan (Azkab 2000).
Produktivitas lamun dibatasi terutama oleh ketersediaan hara dan cahaya
(Peterson dan Heck 1999; Ruiz dan Romero 2003), ditambahkan dalam (McKenzie,
2008) bahwa lamun membutuhkan 4,4-20% cahaya permukaan serta suhu < 40oC.
Newmaster et al. (2011) menyatakan bahwa lamun menyukai substrat berlumpur,
berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah-celah
batu. Tumbuh subur di bawah kondisi cahaya yang baik dan substrat yang stabil
(Gartside et al. 2013; Bjork et al. 2008; McKenzie 2008; Holmer dan Kendrick
2012), namun tidak dapat hidup pada daerah dengan paparan gelombang yang
tinggi dan arus yang kuat karena akan terjadi transportasi sedimen yang berlebihan
sehingga dapat mengubur lamun (Koch et al. 2006). Penyebarannya sendiri
dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang diungkapkan dalam Borum
et al. (2004), dan pola distribusinya dapat berubah dengan cepat, hal ini terkait
dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan (Bjork et al. 2008) terutama
oleh variasi rendaman dan cahaya yang melalui kolom air (Mateo et al. 2006).
Suatu yang sangat ironis jika diperhatikan fungsi lamun yang begitu penting
tetapi di sisi lain perhatian terhadap ekosistem ini sangat kurang . Jika melihat dua
hal mendasar, 1) sebaran dan luasan ekosistem lamun di Indonesia; serta 2) tingkat
kerusakan ekosistem lamun di Indonesia. Jawaban yang didapatkan adalah sebaran
secara kualitatif, tetapi luasan tidak pernah didapatkan. Adapun jawaban yang
kedua jangan harap akan ada penjelasan untuk skop nasional. Pertumbuhan dan
kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut, turbiditas, salinitas dan
temperatur perairan. Kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti perikanan,
pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun tidak
langsung juga dapat mempengaruhi eksistensi lamun. Oleh karena itu segala bentuk
perubahan di wilayah pesisir akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan gangguan fungsi sistem ekologi ekosistem lamun. Fenomena ini akan
berpengaruh terhadap hilangnya unsur lingkungan seperti daerah pemijahan,
nursery ground bagi ikan maupun udang.
Banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir telah mengorbankan
ekosistem lamun, seperti kegiatan di pesisir Desa Bahoi yang mana kegiatannya
adalah pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, pembuatan kapal,
pembuangan sampah, aliran drainase dan MCK (mandi, cuci, kakus). Kegiatan
seperti ini secaa tidak langsung maupun langsung akan berdampak pada kehidupan
dan pertumbuhan lamun. Menurut data yang diperoleh telah terjadi pengurangan
terhadap luasan kawasan ekosistem lamun, sehingga pertumbuhan, produksi
ataupun biomassanya akan mengalami penyusutan. Di sisi lain masih kurangnya
upaya yang diberikan untuk menyelamatkan ekosistem ini. Meskipun data
mengenai kerusakan ekosistem lamun tidak tersedia tetapi faktanya sudah banyak
mengalami degradasi akibat aktivitas di darat. Dampak nyata dari degradasi
ekosistem lamun mengarah pada menurnnya keragaman biota laut sebagai akibat
hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi

3
menjadi isu yang penting untuk dipikirkan bersama, seperti kegiatan transplantasi
lamun pada suatu habitat yang telah rusak dan penanaman lamun buatan untuk
menjaga kestabilan dan mempertahankan produktivitas perairan.
Perumusan Masalah
Ekosisitem lamun merupakan ekosistem perairan pantai yang banyak
dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang dilakukan di darat maupun di laut seperti
yang terjadi di perairan Desa Bahoi Minahasa Utara. Daerah ekosistem lamun di
Desa Bahoi Minahasa Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan bagi
nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini berupa ikan lencam
(Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae).
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi
penurunan kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini
diduga terjadi akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun. Degradasi
lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami dan aktivitas
manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi lamun di
perairan Desa Bahoi berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman tersebut
meliputi pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, perbaikan
kapal/perahu, pembuangan sampah rumah tangga, aliran (drainase) limbah
domestik, dan MCK (mandi,cuci, kakus).
Ancaman-ancaman yang telah disebutkan diatas akan berdampak terhadap
lamun. Dampak tersebut memberikan kerusakan fisik lamun oleh jangkar, balingbaling dan pencemaran oleh minyak, cat, dempul dan bahan kimia lainnya yang
digunakan dapat mencemari lingkungan. Tertutupnya lamun oleh sampah
mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh lamun. Meningkatnya kadar
nutrien akan mengakibatkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh lamun untuk
fotosintesis. MCK juga dapat meningkatkan bahan organik serta bahan polutan
yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun.
Selain itu perairan pantai Desa Bahoi banyak dimanfaatkan sebagai wilayah
pemukiman, industri dan perikanan yang semua buangan dari berbagai aktivitas
tersebut masuk ke dalam ekosistem lamun. Aktivitas manusia yang berlangsung
secara terus menerus dan kesadaran pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya
dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lamun dan juga akan berpengaruh
terhadap struktur komunitas dan pertumbuhan.
Struktur komunitas dan produktivitas lamun banyak dipengaruhi oleh seluruh
aktivitas yang berlangsung disekitarnya. Aktivitas tersebut ada yang berdampak
positif dan negatif bagi komunitas lamun. Dampak positifnya adalah lamun
memperoleh kebutuhan hara dalam bentuk fosfat dan nitrat yang dibutuhkan dalam
proses pertumbuhannya maupun perkembangbiakannya akan tetapi di lain pihak
material yang diterimanya akan berdampak merugikan dan menjadi penghalang
dalam pertumbuhan maupun perkembangbiakannya.
Peningkatan kekeruhan perairan, penempelan partikel pada daun lamun dan
meningkatnya populasi epifit yang menempel pada daun lamun akibat eutrofikasi
sangat mengganggu proses fotosintesis, bahkan dapat mengancam keberadaan
ekosistem lamun. Mengingat besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap
struktur komunitas dan produktivitas lamun. Lamun sangat membutuhkan kondisi

4
yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Selain itu kecepatan
arus sangat berpengaruh terhadap substrat dasar perairan akan semakin kasar
biasanya terdiri dari pasir dan pecahan karang sedangkan apabila arusnya lambat
substrat dasar perairan kebanyakan terdiri dari lumpur dan pasir halus yang diduga
banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun.
Tingginya aktivitas yang terjadi di kawasan ini dikhawatirkan dapat
mengancam keberadaan sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan ekosistem
lamun seperti yang telah terjadi di Banten dan mengganggu fungsi fisik dan
ekologis lamun. Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem lamun di kawasan pesisir
yang merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar dapat meminimalkan
dampak negatif terhadap kerusakan sumberdaya ekosistem lamun sehingga
lingkungan ekosistem lamun dikawasan pesisir tetap lestari. Selain itu juga
diperlukan usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan
pemanfaat ekosistem lamun. Skema pendekatan masalah dalam penelitian ini
disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian
1.
2.

Menganalisis struktur komunitas dan produktivitas lamun.
Menganalisis proses gangguan ekologi lamun dan upaya pengelolaannya.
Manfaat Penelitian

1.
2.
3.

Menghasilkan data tentang struktur komunitas dan kondisi oseanografi
perairan yang dapat membatasi produktivitas lamun maupun peranan lamun.
Mengetahui produktivitas lamun dalam hubungannya dengan parameter
lingkungan melalui pendugaan biomassa lamun.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan ekosistem
lamun.

5
Karakteristik Lamun

• Pelindung pantai
• Penghasil oksigen dan mereduksi CO2
di dasar perairan
• Daerah tangkapan ikan
• Bahan kerajinan dan obat






Sumber utama produktivitas primer
Penstabil dasar perairan
Tempat berlindung bagi biota
Tempat perkembangbiakan, pengasuhan serta
sumber makanan bagi biota

Pemanfaatan
Perikanan :
• Banyak jenis ikan bernilai ekonomis penting hidup di lingkungan lamun
Wisata :
• Memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak
• Pembangunan rumah terapung
• Pembangunan lahan pemancingan
Konservasi :
• Melindungi habitat krisis
• Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya ekosistem lamun
• Melindungi keanekaragaman hayati ekosistem lamun
• Melindungi struktur dan fungsi serta proses-proses ekologi ekosistem lamun

Anthropogenic stress
• Lalu lintas kapal/perahu yang berdampak pada kerusakan
fisik lamun oleh jangkar, baling-baling, pencemaran
perairan oleh tumpahan minyak
• Pembuangan sampah rumah tangga akan berdampak pada
tertutupnya lamun oleh sampah mengurangi intensitas
cahaya yang akan diterima lamun
• Aliran (drainase) limbah domestik akan meningkatkan
kadar nutrien dan kekeruhan mengakibatkan berkurangnya
cahaya yang diterima oleh lamun untuk fotosintesis
• MCK (mandi, cuci dan kakus) dapat meningkatkan bahan
organik serta bahan polutan yang dapat mengganggu
pertumbuhan lamun.

Strategi Pengelolaan
\
Gambar 1. Skema pendekatan masalah

2 METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di
lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive
sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi
survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian,
pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung
berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kerapatan, frekuensi,
penutupan, biomassa, fraksi substrat dan unsur hara substrat.

6
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 di Desa Bahoi, Kecamatan
Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 2),
Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ikan BDP, FPIK, IPB, Laboratorium Ilmu Tanah,
FP, IPB dan PT. Water Laboratory Nusantara (WLN), Manado, Sulawesi Utara.
Perlakuan dan pengambilan contoh langsung dilakukan di lapangan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter fisika, kimia dan
biologi perairan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika, kimia
dan biologi perairan.
Parameter
Satuan
Alat
Keterangan
Fisika
o
Suhu
Termometer
In Situ
C
kedalaman
cm
Meteran Roll
In Situ
Salinitas
ppm
Hand Refractometer
In Situ
Kekeruhan
NTU
Turbidimeter
Lab.
Kimia
Oksigen terlarut
mg/l
DO Meter
In Situ
pH
pH Meter
In Situ
Nitrat
mg/l
Spektrofotometer
Lab

7
Fosfat
Biologi
Kerapatan
Frekuensi
Penutupan
Biomassa

mg/l

Spektrofotometer

Lab

Individu/m²
%
%
gram

Kuadran
Kuadran
Kuadran
Timbangan, oven

In Situ
In Situ
In Situ
Lab.

Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan pengambilan sampel hal yang perlu dilakukan adalah
penentuan stasiun pengamatan. Dalam Penelitian ini jumlah stasiun telah ditetapkan
sebanyak tiga stasiun. Jarak dan letak stasiun ditentukan berdasarkan pendekatan
habitat mangrove, lamun dan terumbu karang (coral). Stasiun 1 (dekat mangrove),
stasiun 2 (habitat lamun), stasiun 3 (dekat terumbu karang). Setiap stasiun memiliki
masing-masing tiga ulangan yang merupakan stasiun pengamatan dengan jarak
yang berbeda-beda, sehingga dalam penelitian ini terdapat sembilan transek
kuadran yang berukuran 150x50 cm.
Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran
langsung di lapangan (In Situ) dan pengambilan sampel untuk dianalisis di
laboratorium. Parameter yang diukur secara langsung di lapangan meliputi suhu,
kedalaman, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Sedangkan sampel air yang tidak
dapat diukur langsung di lapangan meliputi nitrat, fosfat dan kekeruhan,
dimasukkan kedalam “coolbox” yang berisi es dengan tujuan agar sampel air tidak
rusak dalam perjalanan untuk dianalisis di laboratorium.
Kerapatan Jenis
Kerapatan jenis (Ki) lamun adalah jumlah total individu dalam satu unit area
(English et al. 1994). Kerapatan jenis lamun dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :

Ki =

Ni
A

Keterangan :
Ki
= Kerapatan jenis (ind/m²)
Ni
= Jumlah total tegakan individu spesies ke-i
A
= Luas area total pengambilan sampel
Kerapatan Relatif
Kerapatan relatif (KRi) merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis
ke-i dengan jumlah total individu seluruh jenis (English et al. 1994).

8
KRi =

Ni
x
Σn

Keterangan :
KRi = Kerapatan jenis relatif
Ni
= Jumlah total tegakan individu spesies ke-i
Σn
= Jumlah total tegakan seluruh spesies
Frekuensi Jenis
Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam area
atau petak yang diamati. Frekuensi jenis dapat menggambarkan seberapa sering
suatu jenis lamun muncul pada area tertentu (Brower et al. 1988). Frekuensi jenis
dirumuskan sebagai berikut :
Fi =

��

∑��=1 Pi

Keterangan :
Fi
= Frekuensi spesies ke-i
Pi
= Jumlah petak contoh dimana ditemukan spesies ke-i
∑��=1 Pi= Jumlah total petak contoh yang diamati
Frekuensi Relatif

Frekuensi relatif (FRi) merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i
(Fi) dengan frekuensi seluruh jenis (Brower et al. 1988). Frekuensi relatif dapat
dirumuskan sebagai berikut :
FRi =

Fi

∑��=1 Fi

Keterangan :
FRi
= Frekuensi relatif
Fi
= Frekuensi spesies ke-i
∑��=1 Fi = Jumlah frekuensi seluruh spesies



Penutupan Jenis (Persentase Tutupan)

Analisa persentase tutupan lamun menggunakan metode Rapid Assesment.
Menurut English et al. 1994, untuk menentukan persentase tutupan (Ci) pada setiap
50 x 50 cm kuadran adalah menggunakan rumus sebagai berikut :
Ci =

Σ Mixfi
Σfi

9
Keterangan :
Mi
= Mid Point (titik tengah)
fi
= Frekuensi kemunculan spesies ke-i
Σf
= Jumlah total frekuensi kemunculan seluruh spesies
Tabel 2 Etimasi/penilaian tutupan lamun
Class
Jumlah substratum yang
% substratum yang
ditutupi
ditutupi
5
½ - seluruh
50 – 100
4
¼-½
25 – 50
3
1/8 – ¼
12,5 – 25
2
1/16 – 1/8
6,25 – 12,5
1
< 1/16
< 6,25
0
Tidak ada lamun
0

Titik tengah
(Mi)
75
37,5
18,75
9,38
3,13
0

Kemudian kondisi ekosistem lamun di daerah pengamatan ditentukan
statusnya menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun
2004, dengan kriteria seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria status penutupan lamun
Kondisi
Penutupan (%)
Baik
Kaya/Sehat
Sedang
Kurang Kaya/Kurang Sehat
Rusak
Miskin

> 60 %
30 % - 59,9 %
< 29,9 %

Penutupan Relatif
Persentase penutupan relatif (CRi) merupakan perbandingan antara
penutupan individu jenis ke-i dengan jumlah penutupan seluruh jenis seperti yang
dirumuskan oleh Mc Kenzie et al. 2009 sebagai berikut :
Ci

CRi = ∑�

x100

�=1 Ci

Keterangan :
CRi
= Penutupan relatif
Ci
= Luas area yang tertutupi spesies ke-i

∑�=1 Ci = Penutupan seluruh spesies
Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan
menduga secara keseuruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas.
Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0-3. INP memberikan gambaran
mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah.
Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lainnya, maka semakin

10
tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam
menghitung INP adalah (Brower et al. 1988).
INP = KRi + FRi + CRi
Keterangan:
KRi = Kerapatan relatif
FRi
= Frekuensi relatif
CRi = Penutupan relatif

Biomassa Lamun
Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu
satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering
dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2) (Zieman & Wetzel
1980). Biomassa lamun menggunakan rumus sebagai berikut :
W
B=
A
Keterangan :
B
= Biomassa lamun (berat dalam gram/m2)
W
= Berat kering (gram)
A
= Luas area dalam m2
Analisis Substrat Dasar
Substrat dasar diambil dengan menggunakan pipa paralon dengan diameter
tiga inci dari tiga lokasi dalam setiap stasiun, kemudian dimasukkan kedalam
kantong plastik untuk dianalisis di laboratorium. Substrat dibagi dalam tujuh fraksi
(pasir kasar sekali, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus, pasir halus sekali, debu
dan liat). Penentuan setiap fraksi tersebut menggunakan metode pipet dan gravitasi.
Pada penentuan tipe substrat ke tujuh fraksi tersebut digabung menjadi tiga fraksi
(pasir, debu dan liat) dan dikelompokkan dalam segitiga Millar (Brower & Zar
1977). Penentuan konsentrasi nitrat, fosfat dan C-organik sedimen adalah dengan
mengambil sedimen sampai kedalaman 30 cm dengan corer pada seluruh stasiun
pengamatan, kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel untuk dibawa ke
laboratorium. Selama pengangkutan dari lapangan ke laboratorium dimasukkan ke
dalam cool box yang di dalamnya berisi es, yang kemudian dibawa ke laboratorium
Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB untuk dianalisis.
Analisis Data
Data faktor lingkungan, struktur komunitas dan biomassa lamun antar stasiun
diuji dengan ANOVA (Analisis of Varians). Apabila didapatkan hasil yang
berpengaruh nyata, akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan
menggunakan program SPSS (Statistical Program Software System) versi 17.

11
Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta
lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis SWOT membandingkan
antara faktor eksternal dan internal (Rangkuti 2005).
Hal pertama yang dilakukan dalam menentukan matriks SWOT adalah
mengetahui faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS)
(Rangkuti 2005). Penentuan berbagai faktor, bobot setiap faktor dan tingkat
kepentingan setiap faktor didapatkan dari hasil wawancara dengan orang-orang
yang berkompeten dibidangnya dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Hal
ini dilakukan agar sifat obyektif dari analisis ini dapat diminimalkan.
a. Cara pertama penentuan faktor strategi Internal (Tabel 4):
1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan yang
menjadi bagian dari pengelolaan.
2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00.
3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan
pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem
lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup
penting, 1 = kurang penting).
4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk
memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasil dari perkalian ini
akan berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor.
Tabel 4 Faktor strategi internal
No Faktor-faktor strategi
1
Kekuatan
2
Kelemahan

Bobot

Rating

Skor

b. Cara penentuan faktor strategi eksternal (Tabel 5):
1. Menentukan faktor yang menjadi peluang serta ancaman dari kegiatan
pengelolaan
2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00
3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan
pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem
lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup
penting, 1 = kurang penting).
4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk
memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya akan berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor.

12
Tabel 5 Faktor strategi eksternal
No Faktor-faktor strategi
Bobot
1
Peluang
2
Ancaman

Rating

Skor

c. Pembuatan matriks SWOT
Matriks IFAS dan EFAS digunakan untuk memperoleh beberapa alternatif
strategi. Matriks ini memungkinkan empat kemungkinan strategi.
Tabel 6 Diagram matriks SWOT
IFAS
Strength
Weakness
EFAS
(S)
(W)
Tentukan
faktor Tentukan
faktor
kekuatan internal
kelemahan internal
Strategy
Strategy
Opportunity (O)
S–O
W–O
Tentukan faktor peluang
(strategi
(startegi
eksternal
menggunakan
meminimalkan
kekuatan
untuk kelemahan
untuk
memanfaatkan
memanfaatkan
peluang)
peluang)
Threat (T)
Strategy
Strategy
Tentukan faktor ancaman
S–T
W–T
eksternal
(strategi
(strategi
menggunakan
meminimalkan
kekuatan
untuk kelemahan
untuk
mengatasi ancaman) menghindari ancaman)
Keterangan :
IFAS : Internal Strategic Factor Analysis
EFAS : External Strategic Factor
Summary
Analysis Summary
d. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi
Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan
menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem lamun.
jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor
strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor
terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Kondisi perairan merupakan faktor penting dalam kelangsungan kehidupan
biota atau organisme di suatu perairan laut. Kondisi perairan sangat menentukan
kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme

13
memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang
terkait dengan karakteristik lingkungannya (Tomascick et al. 1997). Kondisi
perairan di suatu ekosistem meliputi suhu, kedalaman, salinitas, pH, oksigen
terlarut (DO), kekeruhan, nitrat, dan fosfat. Kualitas perairan di pesisir Desa Bahoi
secara umum disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai rata-rata parameter kualitas air
Parameter

Satuan

Suhu
Kedalaman
Salinitas
pH
Oksigen Terlarut (DO)
Kekeruhan
Nitrat
Fosfat
Sumber Data Primer 2015

°C
cm
ppt
mg/l
NTU
mg/l
mg/l

1
28,8
30
39,3
8,07
8,4
1,83
0,005
0,005

Stasiun
2
29,8
42
38,7
8,07
8,5
1,13
0,005
0,005

3
29
60
40
8,07
8,6
1,07
0,005
0,005

Hasil pengukuran suhu pada keseluruhan stasiun pengamatan berkisar antara
28-30 °C dengan rata-rata 28,8-29,8 °C. Berdasarkan data Tabel 7 rata-rata suhu
pada stasiun 1 adalah 28,8 °C, stasiun 2 29,8 °C, dan stasiun 3 29 °C. Hal ini
disebabkan oleh rentang waktu dalam pengambilan sampel yang dekat pada tiap
stasiun yaiu pada pukul 11.00-13.00 WITA. Kondisi suhu pada perairan pesisir
Desa Bahoi ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lee et al. (2007) dimana,
pada daerah tropis dan sub tropis lamun mampu tumbuh optimal pada kisaran suhu
23 °C dan 32 °C. Menurut Kadi (2006), kisaran temperatur optimal bagi spesies
lamun adalah 28-30 °C, dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi
yaitu proses fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis
ini akan menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal. Pada
suhu 38 °C dapat menyebabkan lamun menjadi stres dan pada suhu 48 °C dapat
menyebabkan kematian Mckenzie (2008). Collier & Waycott (2014) menambahkan
bahwa suhu 43 °C akan menyebabkan kematian masal lamun setelah dua hingga
tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi fungsi
ekologis lamun pada daerah tropis.
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun
tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30
m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila
ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron
ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman
perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns &
Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi Enhalus acoroides pada lokasi
yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan
kerapatan T. testudinun tertinggi pada kedalaman sekitar 100 cm dan menurun
sampai pada kedalaman 150 cm (Durako & Moffler 1985). Berdasarkan hasil
pengamatan dalam penelitian ini nilai kedalaman berkisar antara 25-90 cm dengan
rata-rata 20-70 cm. kedalaman lamun pada perairan pesisir Desa Bahoi
menunjukkan perbedaan pada masing-masing stasiun yaitu stasiun 1 dengan

14
kedalaman 30 cm, stasiun 2 42 cm, dan stasiun 3 60 cm. Berdasarkan hasil
penelitian Saputra (2007), bahwa pantai yang landai memiliki hubungan yang erat
dengan adanya sebaran sedimen. Pantai yang landai dapat menyebabkan proses
pengendapan semakin tinggi dengan proses sedimentasi yang cepat, sedangkan
tingkat pengendapan yang besar dapat mengakibatkan pantai menjadi landai.
Kedalaman di perairan juga sangat mempengaruhi keberadaan lamun, semakin
dalam suatu perairan maka kemampuan lamun untuk melakukan proses fotosintesis
juga akan terhambat. Dahuri (2001) menambahkan distribusi lamun terbatas pada
kedalaman yang tidak lebih dari 10 m dikarenakan lamun membutuhkan intensitas
cahaya yang cukup bagi proses fotosintesis di perairan.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas
juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada
sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di
tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam pada air tawar secara
definisi, kurang dari 0,5 ppt. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau.
Lebih dari 30 ppt, merupakan air laut Romimohtarto & Juwana (2007). Nilai
salinitas akan berbeda-beda pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai
salinitas sangat dipengaruhi masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh
terhadap lamun secara langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012)
salinitas berpengaruh terhadap kerapatan dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam
Touchette (2007) kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan
produktivitas primer yang berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi
yang sangat dipengaruhi salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap
fluktuasi salinitas, lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 1040 ppm. Kisaran salinitas yang optimal untuk kehidupan lamun antara 24 hingga
35 ppm. Berdasarkan data kualitas air pada tabel 7 nilai salinitas pada seluruh
stasiun pengamatan berkisar antara 38-40 ppm dengan kisaran rata-rata 38,7-40
ppm, dimana pada stasiun 1 nilai salinitas 39,3 ppm, stasiun 2 38,7 ppm, dan stasiun
3 40 ppm. Pesisir Desa Bahoi menunjukkan bahwa nilai salinitas pada perairan ini
masih sesuai untuk kehidupan lamun, namun perairan pesisir Desa Bahoi nilai
salinitas ini tidak termasuk dalam kriteria untuk pertumbuhan lamun yang optimal.
Seperti yang dikemukakan oleh Supriharyono (2009) bahwa salinitas yang optimal
secara umum untuk pertumbuhan lamun adalah berkisar antara 25-35 ppm. Nilai
salinitas yang tinggi pada perairan pesisir Desa Bahoi disebabkan oleh tidak adanya
sungai, sehingga masukan air dari darat pada perairan ini hanya tergantung curah
hujan.
Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran tentang besarnya konsentrasi ion
hidrogen dan menunjukkan apakah suatu perairan itu bersifat asam atau basa.
Derajat keasaman merupakan suatu parameter yang dapat menentukan
produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi
karena adanya sistem karbondioksida dalam laut yang berfungsi sebagai penyangga
yang cukup kuat Nontji (1993). Nilai pH pada perairan pesisir Desa Bahoi secara
keseluruhan cenderung sama yaitu dengan kisaran 8. Berdasarkan data pada
penelitian ini (Tabel 7), rata-rata nilai pH pada setiap stasiun menunjukkan bahwa
perairan ini dikategorikan sebagai perairan yang memiliki produktifitas yang tinggi.
Seperti yang diungkapkan oleh Nyabakken (1992), suatu perairan dengan pH 5,56,5 termasuk perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk
perairan yang produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 termasuk perairan yang

15
memiliki produktifitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar
dari 8,5 dikategorikan perairan yang tidak produktif lagi. Ditambahkan Effendi
(2003) kondisi perairan dengan nilai pH tertentu akan mempengaruhi proses-proses
yang terjadi pada perairan tersebut, yaitu proses biokimia dan toksisitas suatu
senyawa kimia dipengaruhi oleh nilai pH.
Oksigen terlarut (DO) merupakan kandungan oksigen dalam bentuk terlarut
didalam air. Keberadaan DO sangat penting di perairan karena semua biota air
(kecuali mamalia) tidak mampu mengambil oksigen udara. Diffusi oksigen dari
udara ke dalam air melalui permukaannya, yang terjadi karena adanya gerakan
molekul-molekul udara yang tidak berurutan karena terjadi benturan dengan
molekul air sehingga O2 terikat di dalam air. Hasil pengukuran DO pada penelitian
ini berkisar antara 7,9-8,8 mg/l dengan rata-rata seluruh stasiun 8,4-8,6 mg/l, yaitu
pada stasiun 1 8,4 mg/l, stasiun 2 8,5 mg/l, dan stasiun 3 8,6 mg/l (Tabel 7).
Konsentrasi DO yang terukur pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan baku
mutu berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004,
masih memenuhi kriteria konsentrasi DO yang dapat menunjang kehidupan biota
laut yaitu lebih dari 5 mg/l. Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut relatif
bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kadar oksigen terlarut
di permukaan memang umumnya lebih tinggi karena adanya proses difusi antara
air dan udara bebas serta adanya proses fotosintesis (Salmin 2005). Effendi (2003)
menjelaskan bahwa kadar DO dalam perairan alami sangat bervariasi tergantung
pada suhu, salinitas, turbulensi air serta tekanan atmosfer. Perubahan kadar DO
dalam suatu perairan dapat berdampak negatif bagi beberapa biota yang tidak
memiliki kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat. Penurunan kadar
DO dapat menghambat proses fotosintesis yang kemudian akan menurunkan
produktivitas primer lamun.
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun
karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk
berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya
partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton
maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan
sebagainya. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di perairan. Padatan yang tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus
berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi padatan yang tersuspensi,
maka nilai kekeruhan akan semakin tinggi. Di perairan, kekeruhan disebabkan oleh
bahan organik dan bahan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur,
pasir halus, plankton, dan mikroorganisme lainnya (Effendi 2003). Kekeruhan di
perairan Desa Bahoi berkisar antara 0,9-3,3 NTU dengan rata-rata sebesar 1,071,83 NTU (Tabel 7). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan untuk
wisata dan biota laut adalah < 5 NTU. Wibisono (2005), menyatakan bahwa ukuran
partikel yang kecil dan halus akan susah mengendap oleh karena itu semakin tinggi
kekeruhan akan menyebabkan rendahnya laju sedimentasi yang terjadi di suatu
perairan. Kekeruhan yang terjadi di lokasi penelitian juga diakibatkan letak stasiun
lamun alami dan lamun buatan dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat setempat
yang menjadikan lokasi tersebut sebagai jalur transportasi kapal nelayan. Substrat

16
lamun dari pasir dan bongkahan karang mati juga menyebabkan adanya kekeruhan
di perairan.
Nitrat merupakan suatu unsur penting dalam sintesa protein tumbuhan,
namun pada badan perairan yang memiliki nitrat yang berlebih akan menyebabkan
kurangnya oksigen terlarut di perairan dan menyebabkan banyak organisme yang
mati (Agawin & Duarte 2002). Kandungan nitrat dalam penelitian ini menunjukkan
kisaran 0,005-0,01 mg/l dengan rata-rata pada setiap stasiun yaitu, stasiun 1 0,005
mg/l, stasiun 2 0,007 mg/l, dan stasiun 3 0,005 mg/l. Perairan pesisir Desa Bahoi
memiliki kadar nitrat yang sesuai untuk kehidupan lamun. Herkul & Kotta (2009)
menjelaskan bahwa kadar nitrat yang melebihi dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik
bagi organisme perairan yang sangat sensitif. Sedangkan menurut Baron et al.
(2006) kadar nitrat yang melebihi 0,02 mg/l dapat menyebabkan terjadinya
eutrofikasi (pengkayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan
algae dan tumbuhan air secara cepat (blooming). Barus (2002) menyatakan bahwa
senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air,
pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amonia dan saat
kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat.
Secara keseluruhan kadar fosfat di perairan Desa Bahoi berkisar antara 0,005
mg/l dengan rata-rata 0,005 mg/l, sesuai dengan kadar fosfat yang dijumpai di
perairan laut yang normal umumnya. Kadar fosfat di perairan laut yang normal
berkisar antara 0,00031-0,124 mg/l (Edward & Tarigan 2003). Kadar fosfat di
perairan ini masih berada di batasan konsentrasi yang dipersyaratkan Disebutkan
bahwa baku mutu konsentrasi fosfat yang layak untuk kehidupan biota laut