Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara

KANDUNGAN C-organik PADA LAMUN
BERDASARKAN HABITAT DAN JENIS LAMUN DI PESISIR
DESA BAHOI KABUPATEN MINAHASA UTARA
SULAWESI UTARA

ALPININA YUNITHA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan C-org
pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun di pesisir Desa Bahoi Kabupaten
Minahasa Utara, Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Alpinina Yunitha
NIM C251124041

RINGKASAN
ALPININA YUNITHA. Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat
dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi
Utara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan FREDINAN YULIANDA.
Peningkatan emisi karbon berasal dari aktivitas membakar lahan, asap
pabrik dan kendaraan bermotor. Peningkatan ini mengakibatkan terjadinya
pemanasan global selanjutnya terjadi perubahan iklim. Diperlukan usaha
meminimalkan dampak dari perubahan iklim tersebut. Terkait dengan kondisi ini,
diketahui bahwa laut dan pesisir memiliki kemampuan dalam mengurangi emisi
karbon dengan menyerap dan menyimpan karbon. Salah satu ekosistem yang
memiliki kemampuan menyerap karbon adalah ekosistem lamun.
Lamun merupakan tumbuhan yang hidup di wilayah pesisir, memiliki

peranan ekologi yang sangat penting dalam siklus kehidupan ekosistem pesisir
yaitu sebagai produsen primer, habitat lamun seringkali dijadikan tempat asuhan
bagi ikan-ikan kecil, mencari makan serta tempat perlindungan bagi ikan ataupun
biota lain. Peranan penting lamun lainnya dalam menjaga kestabilan pantai adalah
sebagai peredam arus. Oleh karena itu habitat lamun juga seringkali disebut
sebagai pondasi pesisir.
Pada umumnya lamun hidup pada tiga habitat yang terdapat di pesisir yaitu
mangrove, lamun dan terumbu karang. Masing-masing habitat akan
mempengaruhi keberadaan lamun sesuai dengan karakteristik habitat, perbedaan
meliputi kepadatan dan biomassa lamun. Perbedaan keberadaan lamun juga akan
membedakan kemampuan lamun dalam melakukan penyerapan karbon.
Penelitian ini dilakukan di pesisir Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara,
Sulawesi Utara pada bulan April 2014 dengan menggunakan tiga stasiun dengan
masing-masing ulangan sebanyak tiga kali. Tiga stasiun meliputi stasiun A
(habitat mangrove), B (habitat lamun) dan C (habitat terumbu karang). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis dan mengukur kandungan C-organik yang
terdapat pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun.
Terdapat enam jenis lamun yang ditemukan selama penelitian di pesisir
Desa Bahoi. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama pencirian parameter
pada masing-masing stasiun tidak berdasarkan kuantitas melainkan konsistennya

suatu parameter, kepadatan lamun dicirikan oleh kandungan C-org hanya terdapat
pada jenis T. hemprichii yang terdapat pada stasiun A. Secara keseluruhan
berdasarkan habitat, maka habitat mangrove merupakan habitat dengan
kandungan C-org tertinggi.

Kata kunci: C-organik, Desa Bahoi, habitat, lamun

SUMMARY
ALPININA YUNITHA. C-Organic Content in Seagrasses based on Habitat and
Species in Bahoi Coastal Area, North Minahasa Distric, North Sulawesi.
Supervised by YUSLI WARDIATNO and FREDINAN YULIANDA.
The increasing of carbon emissions comes from land burn activity, smoke
from factories and vehicles. This phenomenon results in climate change and
changes the balance of nature. Appropriate efforts were needed to minimize the
impact of these changes. Based on the condition, it is well-known that the sea and
the coast are able to reduce carbon emissions by absorbing and storing carbon.
One of the ecosystem that has the ability to absorb carbon is seagrass ecosystem.
Seagrass is a type of plant living in coastal areas which has many important
ecologycal roles such as becoming a primary producer in the coastal ecosystem,
nursery ground, feeding ground and shelter for fish or the other organisms, and

flow reducer to maintain the stability of seagrass beach. Therefore, seagrass
habitat is also known as coastal foundation.
In general, seagrass grows could live in three types of habitat which could
be found in the coastal. Those habitats are mangrove, seagrass and coral reef.
Each of these habitat influences the presence, density and biomass of seagrass in
accordance with habitat characteristic. Differences of seagrass presence would
also distinguish the capability of seagrass to absorb carbon
This research was conducted in the coastal village of Bahoi, North
Minahasa Distric, North Sulawesi in April 2014, using three stations with three
replications in each station. The stations were A (mangrove), B (seagrass) and C
(coral reef). This study aims to analyze and measure the content of C-organic
contained in seagrass based on the habitats and the different species of seagrass.
There are six types of seagrass found during research in the coastal village
of Bahoi. Based on Principal Component Analysis of the results, the
characterization parameters at each station is not based on the quantity but the
inconsistency of a parameter. Seagrass density is characterized by the content of C
– org that found only in T. hemprichii contained in station A. Overall, the
mangrove habitat has the highest content of C – org.
Key words: Bahoi, C-organik, habitat, seagrass


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KANDUNGAN C-organik PADA LAMUN
BERDASARKAN HABITAT DAN JENIS LAMUN DI PESISIR
DESA BAHOI KABUPATEN MINAHASA UTARA
SULAWESI UTARA

ALPININA YUNITHA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
Pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi,
MSc.

Judul Tesis

Nama
NIM

: Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan
Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara,
Sulawesi Utara

: Alpinina Yunitha
: C251124041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Ketua

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 26 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan tulisan ilmiah berdasarkan
kegiatan penelitian yang dilakukan sejak April 2014. Karya ilmiah ini merupakan
pengembangan bidang ilmu ekologi perairan yang berjudul Kandungan C-organik
pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi
Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah menyediakan berbagai fasilitas
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

2. Dr Ir Enan M Adiwilaga selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi
2010-2013 yang telah membantu dalam tahapan penyelesaian studi dan
penelitian.
3. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi
2014-2017 sekaligus sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing pada
ujian tesis yang telah banyak membantu serta memberikan masukan dan saran
dalam penyempurnaan tulisan ini.
4. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis dari
tahap awal pelaksanaan penelitian sampai pada tahap akhir penulisan karya
ilmiah ini.
5. Dosen Penguji Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc.
6. Seluruh keluarga, terutama kepada Papah dan Mamah, saudara (Rina Pratiwi
Yosua Pranata) atas doa dan dukungan yang tidak pernah putus sehingga
tulisan ini berhasil diselesaikan.
7. Pemerintah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah atas bantuan dana
pendidikan yang telah diberikan selama dua tahun masa studi.
8. Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka),
GoodPlanet serta PKSPL-IPB selaku penyokong dana dalam penelitian ini.
9. Seluruh staf laboratorium produktivitas dan lingkungan perairan MSP IPB

(Bu Anna, Alifa, Erry), rekan-rekan yang turut membantu pelaksanaan
penelitian di lapangan (Pak Maxi dan Ibu, serta Udin), teman-teman
seperjuangan (Dede, Nta, Chitra, Mba Pien dan Anggota Lab Bimi).
10. Seluruh rekan SDP 2012, SDP 2013, rekan-rekan kosan LPT serta temanteman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan yang
telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015

Alpinina Yunitha

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Hipotesis
Manfaat Penelitian
2 METODE
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Penentuan Transek Pengamatan
Pengukuran Kualitas Air
Kepadatan
Pengambilan Sedimen
Biomassa
Kandungan C-org
Analisis Fraksi Substrat
Analisa Data
Kepadatan Lamun
Biomassa Lamun
Kandungan C-org lamun
Kandung N dan P total substart
Analisis Varians Satu Arah
Analisis Komopenen Utama
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Kepadatan Lamun
Biomassa Lamun
Fraksi Substratat
Kandungan N dan P total Substrat
Kandungan C-org Lamun
Hubungan kandungan C-org dengan Substrat dan Jenis lamun
4 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

i

i
ii
ii
ii
1
3
3
3
4
5
6
6
6
7
7
7
7
7
8
8
8
9
9
9
10
10
10
12
16
19
21
23
26
27
28
28
32

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Bahan dan Alat
Klasifikasi Sedimen
Nilai rata-rata parameter kualitas air
Tipe substrat dan median terkstur

6
8
12
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Skema pendekatan masalah hubungan jenis substrat, jenis
lamun terhadap kandungan C-org
Peta Lokasi Desa Bahoi
Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun
Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis
Biomassa lamun pada tiga stastiun
Biomassa rata-rata masing-masing jenis lamun
Kandungan N dan P total pada substrat
Kandungan C-org (%) rata-rata pada tiga stasiun
Kandungan C-org (%) masing-masing jenis lamun
Biplot kandungan C-org (%) terhadap substrat dan jenis
lamun

4
5
13
15
17
19
23
24
25
27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Data kualitas air
Uji Anova satu arah DO
Kepadatan rata-rata total per total per sub stasiun
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata E. acoroides
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata T. hemprichii
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata C. rotundata
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata S. isoetifolium
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. ovalis
Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. uninervis
Biomassa rata-rata total
Fraksi substrat
Uji Anova satu arah diameter substrat
Uji Anova satu arah N-total
Uji Anova satu arah P-total
Kandungan C-organik (%) rata-rata per stasiun
Akar ciri dan korelasi parsial AKU menggunakan minitab 16
Dokumentasi kegiatan penelitian di lapangan
Dokumentasi kegiatan penelitian di laboratorium
Jenis-jenis lamun yang ditemukan

ii

32
32
32
33
33
33
34
34
34
35
35
36
36
37
37
37
38
39
41

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Lamun merupakan tumbuhan laut termasuk dalam kelompok angiosperma
(tumbuhan berbunga) yang tumbuh di daerah pasang surut dan daerah subtidal,
memiliki sistem akar dan rimpang (Hemingga et al. 2001; Short et al. 2007;
Athiperumalsami et al. 2008). Memiliki karakter tumbuhan darat pada umumnya
yaitu dapat dibedakan antara daun, batang, akar dan rimpang. Lamun diketahui
terdiri dari lima famili: Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae, Posidoniaceae,
Zosteraceae dan Ruppiaceae dengan 12 genera, 60 spesies yang terdapat di
seluruh dunia baik pada daerah tropis maupun sub tropis, meskipun tersebar
diseluruh dunia, namun tidak semua jenis terdapat di semua tempat (Orth et
al.2006). Penyebarannya dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang
diungkapkan Borum et al. (2004), dimana pola distribusinya dapat berubah
dengan cepat, hal ini terkait dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan
(Björk et al. 2008), terutama oleh variasi rendaman dan cahaya (Mateo et al.
2006). Dilaporkan Newmaster et al. (2011) bahwa lamun menyukai substrat
berlumpur, berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada
celah-celah batu, sehingga tidak heran jika lamun masih dapat ditemukan pada
ekosistem karang.
Sebagai tumbuhan yang hidup didaerah pasang surut tentu lamun memiliki
fungsi dalam siklus pesisir bersama dengan ekosistem lainnya seperti mangrove
dan terumbu karang. Unsworth et al. (2007) melaporkan lamun memiliki struktur
akar yang kuat sehingga memungkinkan untuk menahan kuatnya arus dan
gelombang serta merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen
primer, habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikanikan dan krustasea muda (Watson et al. 1993; Benstead et al. 2006; Hori et al.
2009; Barbier et al. 2011). Selain sebagai produsen primer bagi biota laut dan
habitat, lamun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan
pendaur unsur hara (Hemingga 1998; Azkab 1999). Peran lamun yang banyak
dalam sebuah ekosistem perairan terutama ekosistem pesisir dan laut, membuat
lamun dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan sebuah perairan, hal ini seperti
yang diungkapkan (Vichkovitten 1998; Paynter et al. 2001) bahwa lamun
memiliki peran kunci sebagai indikator yang baik bagi sebuah lingkungan
perairan. Selanjutnya Anderson & Fourquren (2003) menyatakan lamun
merupakan bagian penting pada ekosistem air dangkal pada wilayah pesisir.
Fungsi lain dari lamun yang menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir
ini adalah kemampuan lamun dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Berdasarkan Barrón et al. (2006) lamun merupakan lokasi aliran karbon organik
dan anorganik. Dilaporkan Laffoley & Grimsditch (2009) lamun merupakan salah
satu ekosistem yang berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah besar selain
mangrove dan terumbu karang, kemampuan lamun menyerap karbon sering
disebut “Blue Carbon”. Karbon dalam bentuk CO2 berasal dari aktivitas manusia
seperti membakar lahan, asap-asap pabrik, dan kendaraan bermotor. Peningkatan
kandungan CO2 di atmosfer menyebabkan terjadinya pemanasan global yang

2

kemudian memicu terjadinya perubahan iklim. Bagi kehidupan pesisir perubahan
iklim akan menimbulkan dampak meningkatnya permukaan laut yang nantinya
akan berpengaruh terhadap siklus kehidupan pesisir. Besarnya dampak dari
peningkatan kandungan CO2 di atmosfer maka diperlukan usaha pencegahan serta
penanggulangan yang dapat meminimalkan emisi karbon. Terkait kondisi ini
maka sesuai dengan yang diungkapkan Setiawan et al. (2012) bahwa ekosistem
laut mempunyai potensi besar dalam menyerap karbon (CO 2) sebagai gas utama
penyebab pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim.
Penyerapan karbon dilakukan oleh lamun sebagai bahan proses fotosintesis yang
menghasilkan oksigen dan glukosa sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi
dalam menangkap cahaya (Andrews & Abel 1979; Fyfe 2003; McKenzie 2008).
Lamun seringkali membentuk sebuah padang yang luas terdiri dari beberapa
jenis lamun. Kondisi yang terjadi saat ini, banyak wilayah pesisir mengalami
pengalihfungsian lahan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hampir setiap tahunnya padang lamun mengalami penurunan, minimnya
informasi mengenai manfaat lamun serta habitat yang terdapat pada pesisir
sebagai salah satu penyebab berlangsungnya kegiatan pengalihfungsian lahan.
Pengalihfungsian lahan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan
seperti pembuatan dermaga, tempat wisata, tambak dengan mengorbankan
vegetasi pesisir salah satunya lamun. Dengan berkurangnya padang lamun sebagai
penyerap karbon, maka aktivitas ini juga memperparah peningkatan laju karbon
dikarenakan terlepasnya kembali karbon yang telah tersimpan dalam ekosistem
lamun ke atmosfer. Seperti yang diungkapkan dalam Nellemann et al. (2009)
lautan tidak hanya menyerap, namun menyimpan dan mendistribusikan karbon
(CO2), sehingga terdapat 93% CO2 bumi tersimpan dalam siklus di lautan.
Banyaknya wilayah pesisir di Indonesia yang mengalami pengalihfungsian
tidak dialami pesisir Desa Bahoi yang terletak di Kabupaten Minahsa Utara
Provinsi Sulawesi Utara. Kondisi alam yang masih alami dan kehidupan
masyarakat yang sangat sederhana menjadikan pesisir Desa Bahoi tidak banyak
mengalami perubahan dari kondisi aslinya. Masih banyak dijumpai juvenile yang
artinya padang lamun masih menjalankan fungsinya sebagai daerah asuhan,
bintang laut dan bulu babi yang terdapat pada padang lamun, karang dengan
bentuk yang beragam serta air yang jernih dan bersih. Masyarakat sekitar dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari bersandar dari hasil tangkapan laut yang
dilakukan per keluarga ataupun kelompok. Penangkapan ikan yang dilakukan
masyarakat disini masih menggunakan cara tradisional dengan tujuan untuk tetap
menjaga kelestarian lingkungan mereka. Letak Desa Bahoi yang cukup jauh dari
pusat kota dengan infrastruktur jalan yang masih kurang mendukung membuat
Desa Bahoi tidak banyak mendapatkan masukan moderenisasi perkotaan.
Kondisi padang lamun pesisir Desa Bahoi yang terjaga menjadi salah satu
kontributor kestabilan tangkapan ikan masyarakat sekitar. Padang lamun yang
cukup luas memberikan perlindungan bagi biota-biota yang terdapat pada
ekosistem lamun sehingga menjamin keberlangsungan siklus laut secara umum.
Banyaknya keragaman jenis lamun di pesisir Desa Bahoi mengindikasikan bahwa
perairan di sekitar pesisir masih baik sehingga sangat memenuhi syarat bagi
keberadaan lamun. Terkait dengan kemampuan lamun dalam menyerap dan
menyimpam karbon, maka kondisi pesisir Desa Bahoi akan sangat membantu
untuk menganalisis dan mengukur kandungan %C dari masing-masing jenis

3

lamun. Fourqurean et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah C-organik pada lamun
bervariasi empat kali lipat dari padang rumput, hal ini mencerminkan komposisi
jenis lamun dan simpanan karbon organik per unit pada lamun mirip dengan
simpanan karbon organik di hutan. Pada prinsipnya dengan mengukur seberapa
besar C-organik yang terkandung pada lamun, diharapkan dapat memberikan
kesadaran dalam pengelolaan lingkungan pesisir baik oleh masyarakat pesisir
maupun pemerintah setempat.

Perumusan Masalah
Peningkatan aktivitas manusia seiring dengan meningkatnya jumlah CO 2
pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim yang berasal dari timbulnya
pemanasan global. Karbon merupakan senyawa karbon dan oksigen dalam bentuk
gas yang tidak dapat terbakar, namun dapat terlarut dalam air. Larutnya CO 2
dalam air menyebabkan terjadinya asidifikasi laut yang kemudian akan
berpengaruh terhadap kesehatan laut, kondisi laut asam dapat menyebabkan
terganggunya kesehatan laut, seperti terjadinya korosi karang dan ada beberapa
jenis ikan yang tidak dapat hidup pada kondisi asam akan mati atau mencari
tempat hidup lain. Kondisi ini mengisyaratkan sangat perlu adanya upaya untuk
meminimalkan peningkatan CO2.
Lamun memiliki kemampuan dalam melakukan penyerapan karbon, karbon
digunakan dalam proses fotosintesis yang kemudian disimpan dan dialirkan, salah
satunya dalam bentuk biomassa. Kandungan C-organik pada lamun dipengaruhi
oleh jenis lamun, biomassa dan kepadatan serta habitat yang meliputi kualitas air,
tipe substrat, N & P substrat. Kandungan C-organik dapat diketahui dengan
pendekatan biomassa, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa dan
kepadatan juga akan mempengaruhi dalam kemampuan penyerapan karbon.
Desa Bahoi memiliki kondisi pesisir yang masih baik dan sehat
dibandingkan dengan daerah pesisir lainnya yang telah mengalami kerusakan dan
pengalih fungsian kawasan pesisir. Keberadaan beberapa jenis lamun yang dapat
berasosiasi dalam sebuah ekosistem, menunjukkan kondisi perairan yang baik dan
memenuhi syarat untuk kehidupan lamun. Kurangnya informasi mengenai
manfaat dan fungsi lamun bagi kelangsungan hidup menjadi salah satu alasan
mengapa lamun diabaikan dalam pengelolaannya, sehingga diharapkan dengan
telah diketahuinya kemampuan lamun dalam menyimpan karbon, maka konversi
ekosistem lamun dapat dicegah. Perumusan masalah dari penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengukur
kandungan C-organik pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun yang
berbeda di Pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Menentukan jenis lamun dan
habitat yang paling efektif dalam menyerap karbon dan memiliki kandungan
C-organik tertinggi.

4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam kandungan C-organik pada lamun dengan
habitat dan jenis lamun yang berbeda. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan kebijakan pengelolaan terhadap
pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara.

Pemanasan Global

Penyerapan Karbon

Padang Lamun

Jenis Lamun
Kepadatan

Habitat

Biomassa

Kualitas
air

Tipe
Substrat

N&P
Substrat

Analisis
C-organik

Rekomendasi
Pengelolaan Pesisir

Gambar 1 Skema pendekatan masalah hubungan kandungan C-organik pada
lamun terhadap habitat dan jenis lamun.

5

2

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di
lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive
sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi
survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian,
pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung
berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kepadatan dan jenis,
biomassa, fraksi substrat, unsur hara substrat serta C-org pada lamun.
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi
Sulawesi Utara dilanjutkan di Laboratorium Fisika dan Kimia Perairan bagian
Produktivitas dan Lingkungan MSP, FPIK, IPB serta di Laboratorium
Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Waktu penelitian ini
berlangsung pada bulan April – September 2014. Perlakuan dan pengambilan
contoh langsung dilakukan di lapangan. Terdapat tiga stasiun penelitian, pada
setiap stasiun terdapat tiga ulangan .

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Desa Bahoi

6

Bahan dan Alat
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur kualitas
air, biologi dan substrat Tabel 1.
Tabel 1 Bahan dan Alat
Parameter
Satuan
Fisika
o
C
Suhu
Salinitas
ppm
Tekstur
%
substrat
Kimia
Oksigen
ppm
terlarut (DO)
pH
C-Organik
%
Lamun
N-Total
ppm
substart
P-Total
ppm
substrat
Biologi
Jenis
Kepadatan
Tegakan/m2
Biomassa
gram

Metode

Peralatan

Keterangan

Pemuaian

Termometer
Salinometer

In Situ
In Situ
Lab.

Elektrokimiawi

DO Meter

In Situ

Elektrokimiawi
Spektrofotometrik

pH indikator
Spektrometer

In Situ
Lab.

Spektrofotometrik

Spektrometer

Lab.

Spektrofotometrik

Spektrometer

Lab.

Identifikasi
Penghitungan
Penimbangan

Kuadran
Kuadran
Timbangan,
oven

In Situ
In Situ
Lab.

Klasifikasi
Wenworth

Prosedur Penelitian
Kandungan C-org dapat diukur dengan pendekatan biomassa lamun yang
diambil (pemanenan) dari lokasi penelitian. Penelitian ini terbagi dalam dua
bagian yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan meliputi pengukuran kualitas
air, penghitungan kepadatan serta identifikasi jenis lamun yang kemudian
dilanjutkan di laboratorium meliputi pengamatan unsur hara dan fraksi, diameter
substrat serta kandungan C-org pada lamun.
Penentuan Stasiun Pengamatan
Tahap awal sebelum pengambilan contoh adalah dengan menentukan
jumlah dan letak stasiun terlebih dahulu. Jumlah stasiun ditetapkan sebanyak tiga
stasiun. Penentuan stasiun berdasarkan pendekatan habitat yaitu mangrove, lamun
dan terumbu karang. Stasiun1 (habitat dekat mangrove), stasiun 2 (habitat lamun),
stasiun 3 (habitat dekat terumbu karang). Setiap stasiun memiliki masing-masing
tiga ulangan yang merupakan stasiun pengamatan dengan jarak yang berbedabeda. Sehingga dalam penelitian ini terdapat sembilan kuadran pengamatan, setiap
kuadran pengamatan berukuran 150x50 cm.

7

Pengukuran Kualitas Air
Pengambilan data kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung
di lapangan (in situ) meliputi suhu, salinitas, pH, dan DO. Sampel air yang
diambil dan diukur adalah air yang berada pada lokasi yang dianggap dapat
mewakili karakteristik masing-masing stasiun pengamatan.
Kepadatan
Kepadatan lamun dapat diketahui dengan cara menghitung berapa jumlah
tegakan setiap jenis lamun pada setiap kuadran berukuran 150x50 cm yang telah
ditentukan. Setiap tunas lamun dihitung sebagai satu tegakan untuk setiap masingmasing jenis. Penghitungan tegakan sebaiknya dilakukan pada saat air baru surut
dan ketika air akan pasang hal ini dilakukan untuk mempermudah melihat tegakan
lamun, yaitu berkisar pada pukul 10.00 – 14.00 WIB, atau dapat menyesuaikan
dengan kondisi dan waktu pasang surut pada daerah penelitian.
Pengambilan Substrat
Sampel substrat diambil dengan menggunakan pipa berdiameter 5 cm dan
panjang 35 cm, lakukan penetrasi hingga kedalaman akar (30 cm), dengan
kemiringan 30o yang kemudian di bagian bawah pipa ditutup menggunakan
tangan pada masing-masing kuadran di setiap ulangan yang telah ditentukan.
Sampel substrat dimasukkan kedalam kantong sampel yang telah diberi label dan
dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Bahan organik yang terdapat dalam
substrat perlu diketahui sehingga nantinya dapat dihubungkan dengan kandungan
C-org pada lamun. Analisis substrat meliputi penentuan tekstur, ukuran serta
analisis kandungan nutrisi P dan N-total.
Biomassa
Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan cara memanen (mencabut)
lamun pada kuadran 150x50 cm sampai pada kedalaman penetrasi akar sedalam
30cm. Pencabutan dilakukan dengan menggunakan sekop atau linggis yang
bertujuan agar lamun dapat tercabut hingga akar. Sesaat setelah lamun diangkat
dari substrat sebaiknya lamun dibersihkan dari kotoran maupun dari substart yang
menempel dengan menggunakan air tawar. Pembersihan efifit dapat dibantu
dengan menggunakan pisau. Setelah bersih lamun kemudian dibiarkan hingga
kering angin, setelah kering lamun dimasukkan ke dalam plastik sampel yang
telah diberi label untuk dibawa ke laboratorium. Sampel kemudian dipisahkan
menurut jenis dan bagian lamun (daun, rhizoma dan akar), dibersihkan, dihitung
jumlah tegakan, dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 105 oC
selama 2x24 jam kemudian ditimbang.
Kandungan C-organik
Kandungan C-org dapat diketahui melalui proses analisis menggunakan
metode spektrofotometrik dengan alat spektrometer yang dilakukan di
laboratorium. Sebelumnya sampel lamun yang telah diambil dan dikeringkan,
dihaluskan hingga berupa serbuk. Serbuk masing-masing bagian jenis lamun
ditimbang hingga 0.1000 g yang kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 (kalium
dikromat) dan 7.5 ml H2SO4 (asam pekat) di ruang asam. Sampel yang telah

8

berupa larutan akan diukur nilai absorbansi menggunakan alat spektrometer
dengan panjang gelombang 561 nm. Pada saat sampel dalam keadaan larutan
C-org tinggi ditandai dengan warna hijau yang pekat, sedangkan sampel yang
C-org nya rendah akan menunjukkan warna kuning cenderung orange. Nilai
absorbansi yang telah diketahui dimasukkan ke dalam rumus sehingga
menghasilkan C-org dalam bentuk ppm dapat dikonversi kedalam bentuk %.
Analisis Fraksi Substrat
Analisis fraksi sedimen secara keseluruhan dilakukan di Laboratorium
Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Menggunakan klasifikasi
substrat Wenworth 1922 (Tabel.2).
Tabel 2 Klasifikasi substrat (Wenworth 1922)
0-0.002mm
Fine-Medium Clay
0.0021-0.004mm
Coarse Clay
0.0041-0.008mm
Very Fine Silt
0.0081-0.016mm
Fine Silt
0.0161-0.031mm
Medium Silt
0.0311-0.063mm
Coarse Silt
0.0631-0.125mm
Very Fine Sand
0.1251-0.250mm
Fine Sand
0.2501-0.500mm
Medium Sand
0.5001-1.000mm
Coarse Sand
1.0001-2.000mm
Very Coarse Sand
2.0001-4.000mm
Granules
>4.0001mm
Pebbles and larger

Mud

Sand

Gravel

Analisis Data
Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas (Brower & Zar 1977)
dengan formulasi :
�=

��

Keterangan :
D
= Kepadatan lamun jenis i
Ni = Jumlah lamun jenis ke- i (per kuadran)
A
= Luas cakupan kuadran (m2)
Kepadatan lamun merupakan respon yang dilakukan oleh lamun terhadap
kondisi lingkungan (Marbà et al. 2004).

9

Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis,
baik berupa produk maupun buangan. Biomassa (gr/m2) dapat dihitung dengan
rumus (Azkab 1999) :



(� / 2) =



� � �


Kandungan C-organik
Analisis kandungan yang telah dilakukan di Laboratorium kemudian
dimasukkan ke dalam rumus berikut :
abs  int
X 100 X Faktor Pengencera n
slope
Kadar C  Organik ( ppm) 
bobot

C (%) 

ppm
10000

Keterangan :
abs
= Absrobansi
int
= Intersep (0.0923)
slope = 0.0015
Kandungan N dan P -total pada substrat
Kandungan N dan P total pada substrat dilakukan dengan metode
spektrofotometrik, yang kemudian nilai absorbansi dimasukkan ke dalam rumus
berikut :
�(

)=

Keterangan :
Abs = Absorbansi
int
= Intersep (-0.0009)
slope = 0.7179



=

Keterangan :
Abs = Absorbansi
int
= Intersep (0.0006)

−�


��

�� ��



−�


��

�� ��



10

slope = 0.9969
Analisis Varians Satu Arah
ANOVA satu arah digunakan untuk menguji perbedaan antara variabel
bebas dengan satu variabel terikat dengan syarat data dipilih secara acak, data
berdistribusi normal dan data bersifat homogen. Parameter yang digunakan dalam
analisis ini adalah diameter substrat, kepadatan, biomassa, bahan organik sebagai
variabel bebas (Y) dan keberadaan jenis lamun, stasiun sebagai variabel terikat
(X).
Analisis Komponen Utama
Penggunaan AKU bertujuan mendapatkan gambaran pola hubungan antara
diameter lamun dengan kepadatan lamun dengan pendekatan statistika deskriptif
atau dengan kata lain tujuan AKU adalah untuk mengekstrak informasi yang
paling penting pada suatu data, mereduksi data yang ditetapkan sebagai informasi
penting dan menyederhanakan deskripsi kumpulan data serta menganalisis
struktur pengamatan dan variabel (Abdi & Williams 2010). Ditambahakan dalam
Llin & Raiko (2010) bahwa AKU (Analisis Komponen Utama) adalah sebuah
teknik untuk membangun variabel-variabel baru yang merupakan kombinasi linier
dari variabel-variabel asli, teknik umum yang digunakan untuk menemukan pola
dalam data berdimensi tinggi.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Kualitas suatu perairan sangat menetukan kelangsungan hidup biota maupun
vegetasi yang terdapat di suatu perairan. Peningkatan aktivitas manusia berpotensi
menurukan kualitas suatu perairan yang berdampak pada penurunan kualitas dan
penurunan jumlah padang lamun secara khusus. Kemampuan lamun untuk dapat
tumbuh secara optimal sesuai dengan kemampuannya untuk beradaptasi dengan
batasan toleransi yang berbeda-beda. Beberapa diantara parameter yang memiliki
dampak langsung bagi lamun seperti suhu dan salinitas maupun secara tidak
langsung (DO dan pH). Parameter-parameter yang mempengaruhi secara langsung
maupun tidak langsung sama-sama memiliki peranan penting dalam
mempertahankan keberadaan lamun ataupun sebaliknya. Kualitas perairan di
pesisir Desa Bahoi secara umum disajikan pada Tabel 3. Hasil pengukuran suhu
pada keseluruhan stasiun berkisar antara 27–32oC dengan kisaran rata-rata
28.3-29oC. Berdasarkan data Tabel 3 rata-rata suhu pada stasiun A adalah 29oC,
stasiun B rata-rata suhu 28.3oC dan stasiun C rata-rata suhu 29oC pada siang hari.
Hasil uji anova menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan p
sebesar 0.38 (Lampiran 2). Nilai suhu yang tidak berbeda nyata ini disebabkan
rentang waktu pengambilan sampel yang dekat pada setiap stasiun yaitu berkisar
pada pukul 11.00 – 13.00 WIB. Kondisi suhu perairan pada pesisir Desa Bahoi ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lee et al. (2007) pada daerah tropis dan sub
tropis pertumbuhan optimal lamun berkisar pada suhu 23 oC dan 32oC. Pengaruh
suhu terhadap lamun terdapat dalam Mckenzie (2008) yang melaporkan bahwa
suhu diatas 38oC dapat menyebabkan lamun stress dan menyebabkan kematian
pada suhu diatas 45 oC. Ditambahkan Collier & Waycott (2014) mengungkapkan

11

bahwa pada suhu 43 oC akan terjadi kematian massal lamun setelah dua hingga
tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi
fungsi ekologis lamun pada daerah tropis.
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram)
yang terlarut dalam satu liter (Nontji 1984). Nilai salinitas akan berbeda-beda
pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi
masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh terhadap lamun secara
langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012) salinitas berpengaruh
terhadap kerapatan, dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam Touchette (2007)
kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan produktivitas primer yang
berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi yang sangat dipengaruhi
salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, lamun
masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 10-40 ppm. Lamun hidup
optimal pada perairan dengan kisaran nilai salinitas antara 24 hingga 35 ppm.
Berdasarkan data kualitas air pada Tabel 3 nilai salinitas pada seluruh stasiun
sama yaitu 36 ppm, nilai salinitas pada Pesisir Desa Bahoi ini menunjukkan
bahwa salinitas di perairan ini masih sangat wajar mengingat lamun masih dapat
ditemukan pada perairan dengan salinitas hingga 40 ppm meskipun nilai salinitas
pesisir Desa Bahoi tidak termasuk ke dalam kriteria nilai salinitas untuk
pertumbuhan optimal lamun. Tingginya salinitas pada pesisir Desa Bahoi
diakibatkan tidak adanya sungai, sehingga tidak mendapatkan masukan dari darat,
masukan air tawar di daerah pesisir ini hanya tergantung dari curah hujan.
Nilai pH perairan secara umum memiliki peranan sebagai indikator untuk
dapat menentukan kondisi suatu perairan. Nilai pH tinggi pada perairan laut
terkait dengan pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya asidifikasi air
laut atau pengasaman air laut yaitu kondisi yang tidak menguntungkan bagi biota
laut. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, lamun memiliki kemampuan dalam
melakukan penyerapan dan penyimpanan karbon, sehingga perairan pesisir yang
terdapat tumbuhan lamun akan sangat jarang mengalami pengasaman.
Berdasarkan kemampuan lamun itu sendiri, dapat dinyatakan bahwa pH yang
sesuai dengan kebutuhan lamun adalah pH standar. Kondisi perairan dengan nilai
pH tertentu akan sangat mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam perairan
tersebut, yaitu proses biokimiawi perairan dan toksisitas suatu senyawa kimia
dipengaruhi nilai pH (Effendi 2003). Nilai pH pada Pesisir Desa Bahoi secara
keseluruhan menunjukkan nilai pH air laut pada umumnya yaitu 8, dimana
diketahui pH air laut pada umumnya yang berkisar 7.5–8.4. Penelitian mengenai
pengaruh pH dalam pertumbuhan lamun masih belum banyak ditemui, namun
pada Halophila johnsonii menunjukkan bahwa peningkatan fotosintesis diikuti
dengan penurunan tingkat pH (Torquemada et al. 2005).
Oksigen terlarut (DO) pada suatu perairan sangat menunjang siklus
kehidupan suatu perairan, diketahui bahwa oksigen merupakan komponen utama
makhluk hidup dalam melakukan proses respirasi dan komponen utama bagi
tumbuhan dalam melakukan kegiatan fotosintesis. Effendi (2003) menjelaskan
bahwa kadar DO dalam perairan alami sangat bervariasi tergantung pada suhu,
salinitas, turbulensi air serta tekanan atmosfer. Perubahan kadar DO dalam suatu
perairan dapat berdampak negatif bagi beberapa biota yang tidak memiliki
kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat. Penurunan kadar DO dapat
menghambat proses fotosintesis yang kemudian akan menurunkan produktivitas

12

primer lamun. Hasil pengukuran DO pada seluruh stasiun pengamatan (Tabel 3)
berkisar 7.5–11.4 ppm dengan rata-rata 8–10.4 ppm pada siang hari. Nilai DO
pada Pesisir Desa Bahoi tergolong tinggi bahkan jenuh, dikarenakan sirkulasi air
yang cepat dan suhu yang tinggi. Diketahui bahwa nilai baku mutu DO air laut
adalah lebih besar dari 5 ppm berdasarkan KepMenLH no 51 tahun 2004.
Kecepatan arus pada penelitian ini hanya berdasarkan studi literatur seperti yang
diungkapkan dalam Koch et al. (2006) lamun tidak dapat hidup pada daerah
dengan paparan gelombang yang tinggi dan arus yang kuat. Arus yang
mendukung proses fotosintesis lamun berkisar 0.25-0.64 cm/det (Ghufran &
Kordi 2011).
Tabel 3 Nilai rata-rata parameter kualitas air
Stasiun
A
B
C

DO (ppm)
8.6
10.1
10.0

Parameter Kualitas Air
pH
Salinitas (ppm)
8.0
36.0
8.0
36.0
8.0
36.0

Suhu (oC)
29.0
28.3
29.0

Kepadatan Lamun
Kepadatan lamun merupakan respon lamun terhadap lingkungan yang dapat
menggambarkan kondisi tertentu suatu lingkungan. Kemampuan lamun yang
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang cukup ekstrim, menunjukkan
kemampuan lamun sebagai bioindikator sebuah perairan. Berdasarkan hasil
pengamatan, ditemukan enam jenis lamun yang terdapat di pesisir Desa Bahoi
meliputi jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis. Keenam jenis
lamun ditemukan hampir pada seluruh stasiun pengamatan. Jenis lamun yang
berasosiasi pada kuadran pengamatan mencapai empat hingga enam jenis
merupakan jumlah lamun yang banyak, mengingat 13 dari jenis lamun yang
terdapat diseluruh dunia terdapat di Indonesia. Pada masing-masing kuadran
pengamatan terdapat empat hingga enam jenis lamun yang berasosiasi, kondisi ini
mencerminkan bahwa perairan dan lingkungan pesisir Desa Bahoi memenuhi
persyaratan hidup sehingga beberapa jenis lamun dari yang berukuran besar
hingga berukuran kecil dapat hidup dengan baik. Pada setiap stasiun pengamatan
terdapat kepadatan jenis lamun berbeda-beda.
Kepadatan yang berbeda pada tiap stasiun tidak berarti bahwa perbedaan
tersebut berbeda nyata. Berdasakan perhitungan anova satu arah menunjukkan
bahwa kepadatan tidak berbeda nyata setiap jenis lamun pada stasiun yang
berbeda. Kepadatan jenis E. acoroides tidak berbeda nyata pada seluruh stasiun
dengan p>0.05 (p=0.13), demikian dengan kepadatan jenis lamun lainnya
(Lampiran 4-9).
Perbedaan kepadatan pada masing-masing stasiun dapat menggambarkan
bahwa persebaran dari setiap masing-masing jenis lamun sangat bervariasi, hal ini
dapat diakibatkan adanya perbedaan kondisi lingkungan dari setiap stasiun yang
mewakili habitat dekat mangrove, lamun dan dekat terumbu karang. Meskipun
lamun diketahui memiliki kemampuan dalam beradaptasi dan memiliki toleransi

13

yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun lamun tetap memiliki
persyaratan tertentu untuk lingkungan hidupnya. Lingkungan yang memenuhi
syarat hidup lamun akan membantu lamun dalam mempertahan keberadaannya
hingga melakukan aktivitas reproduksi. Dengan kondisi hidup yang baik serta
memiliki kesempatan melakukan aktivitas reproduksi, maka lamun memiliki
kesempatan dalam memperbanyak diri yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kepadatan. Kepadatan lamun dalam suatu populasi didominasi jenis
lamun yang berukuran lebih kecil, nanum meski mendominasi suatu popupasi
jenis lamun ini tidak terlihat dikarenakan tertutup oleh jenis lamun yang
berukuran lebih besar.

Kepadatan rata-rata (ind/m2)

3000
2500

E. acoroides
T. hemprichii

2000

C. rotundata
1500

S. isoetifolium
H. ovalis

1000
H. uninervis
500
0
A

B

C

Stasiun

Gambar 3 Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun
Karakteristik lingkungan pada stasiun A yang paling dekat dengan habitat
mangrove, tentu memiliki karakteristik yang berbeda pula dengan kondisi
lingkungan pada kedua stasiun lainnya. Karakteristik lingkungan pada habitat
mangrove memiliki arus relatif lebih tenang, hal ini terkait dengan kemampuan
akar-akar mangrove dalam meredam arus gelombang yang datang. Selain dapat
meredam arus gelombang hutan mangrove juga memiliki kemampuan dalam
melindungi baik biota serta vegetasi yang terdapat disekitarnya, membuat lamun
sebagai salah satu vegetasi yang hidup pada pesisir dapat tumbuh dengan baik dan
aman. Pada stasiun A ditemukan seluruh jenis lamun yang terdapat pada pesisir
Desa Bahoi. Jenis lamun yang memiliki kepadatan rata-rata tertinggi pada stasiun
A adalah jenis T. hemprichii mencapai 488 ind/m2, disusul oleh jenis H. uninervis
484 ind/m2, S. isoetifolium dengan 226 ind/m2, jenis H. ovalis 182 ind/m2,
E. acoroides kepadatan rata-rata mencapai 130.66 ind/m2 dan yang merupakan
kepadatan rata-rata terendah adalah C. rotundata 86 ind/m2. Ukuran jenis lamun
yang besar memiliki nilai kepadatan rata-rata yang lebih rendah dibandingkan
dengan jenis lamun lain yang ukurannya lebih kecil. Ukuran lamun yang lebih

14

kecil seringkali memiliki tegakan yang lebih banyak, sehingga pada saat
penghitungan kepadatan rata-rata maka nilai jenis lamun yang berukuran lebih
kecil akan bernilai tinggi.
Perbedaan kondisi pada stasiun B dengan stasiun A adalah bahwa stasiun B
merupakan stasiun yang merupakan habitat lamun, sehingga tidak mengherankan
apabila seluruh jenis lamun terdapat pada stasiun ini. Stasiun B yang merupakan
habitat lamun juga membentuk sebuah padang lamun yang cukup luas. Pada
stasiun B kepadatan rata-rata tertinggi dicapai oleh jenis H. ovalis dengan
kepadatan rata-rata mencapai 1064 ind/m2, kemudian disusul oleh jenis
S. isoetifolium dengan 1010.67 ind/m2 dan kepadatan rata-rata terendah oleh jenis
E. acoroides dengan 92 ind/m2. Berdasarkan data kepadatan rata-rata pada stasiun
B, maka dapat terlihat bahwa pada stasiun B disominasi oleh jenis H. ovalis
dengan morfologi yang kecil dan memiliki kemampuan untuk hidup diantara
lamun yang berukuran besar. Kepadatan total rata-rata lamun tertinggi pada
stasiun B mencapai 3440 ind.m/2 (Lampiran 3). Terlihat bahwa kearah laut,
kepadatan rata-rata dan jenis lamun menurun dibandingkan pada habitat mangrove
dan habitat lamun.
Stasiun C yang merupakan stasiun paling dekat dengan habitat terumbu
karang memiliki komposisi lamun yang lebih sedikit dibandingkan dengan
komposisi lamun pada stasiun A dan B, yaitu hanya ditemui empat jenis lamun.
Pada stasiun ini tidak ditemui lamun jenis C. rotundata dan H. uninervis. Hal ini
diduga karena pada habitat dekat karang merupakan daerah yang langsung terkena
dengan gelombang, sehingga tidak seluruh jenis lamun dapat bertahan. Dilihat
dari karaketristik daun kedua jenis lamun tersebut, sama-sama memiliki daun yg
pipih dan memanjang, sehingga ketika terkena gelombang akan mudah terbawa
arus. Dibandingkan dengan jenis H. ovalis dan S. isoetifolium, meski berukuran
yang sama kecil, namun kedua jenis lamun ini memiliki strategi pertahanan
masing-masing. Hasil pengamatan terlihat bahwa H. ovalis hidup dengan cara
menempel pada substrat di bagian atas dari lamun-lamun yang lebih besar,
sehingga dapat terlindungan dari arus. Sedangkan jenis S. isoetifolium dengan
memiliki bentuk daun yang silindris dapat lebih lentur dan fleksibel pada saat arus
melewatinya, sehingga masih dapat bertahan pada kondisi berarus meskipun
kepadatan dari S. isoetifolium tidak sebanyak pada stasiun A dan B.
Jenis E. acoroides memiliki kepadatan rata-rata yang tinggi pada stasiun A
dibandingkan pada stasiun B dan C, semakin kearah laut kepadatan semakin
menurun, hal ini diduga jenis ini kurang menyukai substrat dan nutrsi yang
terdapat pada substrat berjumlah sedikit. Sedangkan jenis lamun yang berukuran
kecil rata-rata kepadatan pada stasiun B tinggi bila dibandingkan dengan 2 stasiun
lainnya, ini diduga stasiun B merupakan daerah yang disukai jenis lamun ini
untuk hidup. Stasiun B bersubstrat pasir stabil, sehingga memungkinkan lamun
yang berukuran kecil mampu hidup. Kemampuan ini terkait dengan rhizom dan
akar kecil yang apabila berada pada substart yang kurang stabil akan dengan
mudah terbawa arus dan lamun tidak memiliki kesempatan untuk hidup. Selain itu
jenis lamun berukuran kecil mampu hidup pada bagian atas atau diantara lamun
yang berukuran besar, ini sebagai salah satu cara pertahanan diri dari arus.

15

Enhalus acoroides

Syringodium isoetifolium
2500

Kepadatan rata-rata (ind/m2)

Kepadatan rata-rata (ind/m2)

2500

100

0

2000
600
500
400
300
200
100
0

A

B

C

A

Stasiun

Thalassia hemprichii

2500

Kepadatan rata-rata (ind/m 2)

Kepadatan rata-rata (ind/m2)

2500
800
700
600
500
400
300
200
100
0
A

B

2000
1500
1000
300
200
100
0

C

A

B

C

Stasiun

Halodule uninervis

Cymodocea rorundata

2400
700

2500

Kepadatan rata-rata (ind/m2)

Kepadatan rata-rata (ind/m 2)

C

Halophila ovalis

Stasiun

2500

B

Stasiun

600
500
400
300
200
100

600
500
400
300
200
100
0

0
A

B

Stasiun

C

A

B

C

Stasiun

Gambar 4. Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis
Kepadatan jenis T. hemprichii memiliki kepadatan rata-rata yang cukup
konsisten pada ketiga stasiun (Gambar 4). Keberadaan T. hemprichii yang
terdapat pada stasiun A, B maupun C sesuai dengan diungkapkan dalam
(Takaendengan & Azkab 2010) yang menyatakan bahwa tipe substrat stabil

16

merupakan indikator kuat tempat tumbuh lamun jenis C. rotundata dan
T. hemprichii. Kepadatan rata-rata semakin menurun pada stasiun C meskipun
tidak signifikan serta tetap memiliki kepadatan rata-rata tertinggi pada stasiun C
418.66 ind/m2 hal ini dikarenakan jenis T. hemprichii diduga memiliki
kemampuan memanfaatkan ruang. Substrat yang ditumbuhi kumpulan
T.hemprichii akan berbentuk gundukan. Selanjutnya ditambahkan dalam
(Takaendengan & Azkab 2010) bahwa jenis T. hemprichii dan E. acoroides
ditemukan hampir merata pada pada seluruh lokasi penelitian di Kepulauan
Talise, Sulawesi Utara yang merupakan pulau berdekatan dengan Desa Bahoi.
Ditemukannya beberapa jenis lamun yang terdapat hampir pada seluruh
lokasi penelitian di Pulau Talise, tidak berarti bahwa di daerah lain memiliki
komposisi yang sama. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang turut
berpengaruh terhadap persebaran lamun itu sendiri, artinya persebaran lamun pada
setiap daerah akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan tempat lamun
itu tumbuh. Setiap daerah akan memiliki variasi komposisi yang beragam serta
jumlah jenis yang beragam, semakin banyak jenis lamun yang dapat ditemukan
maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan bahkan lingkungan sekitar dalam
kondisi yang baik oleh karena dapat menunjang kehidupan dan keberadaan
banyak jenis lamun, mengingat juga bahwa lamun dapat digunakan sebagai
bioindikator sebuah perairan.
Biomassa Lamun
Biomassa merupakan berat dari semua material hidup pada satuan luas
tertentu, dalam hal ini berat kering per m2. Penghitungan biomassa dalam
penelitian ini digunakan berat kering karena hal ini terkait dengan kestabilan
bobot pada saat pengukuran. Biomassa lamun sendiri dihitung baik biomassa yang
berada di permukaan (daun dan tangkai) maupun yang dibawah (rhizom dan
akar), sehingga dapat diketahui biomassa total lamun. Biomassa sendiri
merupakan bahan organik hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan lamun,
hasil fotosintesis ini disimpan pada bagian-bagian tubuh lamun. Dalam penelitian
ini pengukuran biomassa dilakukan sebagai pendekatan untuk mengetahui
kandungan C-org yang tersimpan pada lamun.
Hasil perhitungan, biomassa lamun terbesar terletak pada bagian rhizom
(bawah substrat) pada seluruh jenis lamun dibandingkan pada bagian lainnya yaitu
daun dan akar. Tingginya biomassa dibagian rhizom tentunya memiliki tujuan
dalam menjaga kelangsungan kehidupan lamun itu sendiri, diduga salah satu
fungsi besarnya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah untuk
memperkuat penancapan pada substrat. Selanjutnya dengan diketahui bahwa
hampir seluruh jenis lamun dapat hidup pada berbagai tipe substrat juga dapat
menunjukkan bahwa akan mempengaruhi biomassa dari lamun, dengan kata lain
bahwa jenis substart akan menentukan besarnya biomassa bagian bawah. Jenis
lamun E. acoroides memiliki biomassa rata-rata tertinggi diantara jenis lamun
lainnya pada seluruh stasiun yaitu 350.34 gr/m2 diikuti T. hemprichii 129.88
gr/m2, H. ovalis 38.61 gr/m2, S. isoetifolium 37.58 gr/m2 dan H.uninervis 14.40
gr/m2 sedangkan memiliki nilai biomassa rata-rata terkecil C. rotundata
10.80 gr/m2. Biomassa E. acoroides tertinggi disebabkan ukurannya yang lebih
besar, dimana panjang helaian daun dapat mencapai 75 cm dan lebar 1.0-1.5 cm
dengan lebar rhizom 1 cm (Susetiono 2004).

17

Jenis E. acoroides memiliki jumlah biomassa tertinggi diantara jenis lamun
lainnya pada stasiun A, bahkan pada seluruh stasiun pengamatan (Gambar 5).
pada stasiun A biomassa rata-rata E. acoroides mencapai 127.42 gr/m2 yang juga
merupakan nilai tertinggi biomassa pada seluruh stasiun serta seluruh jenis lamun
yang diamati dalam penelitian ini. Tingginya biomassa E. acoroides pada stasiun
A, mencerminkan bahwa jenis E. acoroides menyukai kondisi lingkungan pada
stasiun A. Diameter substrat yang lebih besar pada stasiun A memungkinkan
lamun untuk tumbuh subur. Ukuran diameter substrat yang besar menyebabkan
kemampuan mengabsorbsi fosfor rendah sehingga jumlah fosfor terlarut tinggi
(Ghufron & Kordi 2011). Sedangkan jenis C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis
dan