Pengawasan Dana Kampanye
Pengawasan Dana Kampanye
Iding R. Hasan*
Dua belas partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 telah menyerahkan laporan
dana awal kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada hari Minggu (02/03)
kemarin. Nilai total dari keseluruhan dana yang akan digunakan parpol-parpol dalam
kampanye pemilu mulai 16 Maret adalah 1,973 triliun rupiah.
Pada laporan tahap kedua ini, KPU meminta semua parpol untuk menyerahkan
tiga dokumen terkait dana kampanye. Ketiga dokumen tersebut adalah Laporan
Penerimaan Sumbangan Periode II, Laporan Pembukaan Rekening Khusus Dana
Kampanye dan Laporan Dana Awal Kampanye. Selanjutnya KPU bertanggung jawab
untuk memverifikasi semua dokumen tersebut.
Partisipasi Publik
Nilai angka keseluruhan dana kampanye yang hampir menyentuh dua triliun
rupiah dengan variasi antara 36,3 miliar hingga 306,5 miliar yang dilaporkan parpol jelas
merupakan jumlah yang sangat besar bagi hajatan politik seperti kampanye. Jumlah
tersebut tentu saja harus benar-benar diawasi dari mulai asal penerimaannya sampai pada
penggunaannya nanti pada saat kampanye pemilu.
Memang sudah ada lembaga formal yang bertugas untuk mengawasi kampanye
pemilu termasuk penggunaan dana di dalamnya, yaitu Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Akan tetapi pada praktiknya pengawasan tersebut tidak cukup hanya
dilakukan oleh lembaga formal saja, melainkan juga oleh berbagai pihak yang
berkepentingan agar kampanye pemilu berjalan sesuai aturan.
Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa partisipasi publik dalam melakukan
pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye merupakan hal yang sangat
diperlukan. Semakin banyak publik melakukan pengawasan jelas akan mengurangi
potensi-potensi pelanggaran kampanye, karena para pelaku kampanye tentu merasa
banyak yang mengawasi.
Ada beberapa aspek penting yang dapat diawasi secara ketat oleh publik terkait
dana kampanye pemilu tersebut. Pertama, terkait aspek pembelanjaan dana kampanye.
Aspek ini tentu dapat diukur, misalnya, apakah sesuai dana yang diterima sebuah parpol
dengan yang dibelanjakan saat kampanye. Tentu akan mencurigakan jika sebuah parpol
memeroleh dana sedikit tetapi pada saat kampanye pengeluaraanya ternyata sangat
berlebihan.
Apalagi jika kita melihat pada regulasi kampanye seperti Peraturan KPU Nomor 7
tahun 2013 penekanannya lebih banyak pada aspek penerimaan dana kampanye, seperti
pembatasan sumbangan baik dari perorangan maupun perusahaan, daripada aspek
pembelanjaannya.
Hal
ini
jelas
membuat
parpol-parpol
lebih
leluasa
dalam
membelanjakan dana kampanye tanpa terlalu mengkhawatirkan keharusan pelaporannya.
Di sinilah pentingnya pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye.
Kedua, pengawasan oleh publik juga dapat diarahkan pada aspek profil pemberi
dana kampanye. Dalam konteks ini, publik harus berani memeriksa secara lebih
mendalam siapa sebenarnya orang yang memberikan dana tersebut. Apakah ia, misalnya,
pantas menyumbangkan uang satu miliar sebagai batas maksimal pemberian dana untuk
perorangan jika dikaitkan dengan pekerjaannya.
Bukan tidak mungkin terjadi bahwa nama pemberi dana kampanye bukanlah
nama yang sebenarnya, melainkan dipinjam oleh orang tertentu yang memiliki dana
berlimpah. Misalnya, seseorang yang memiliki miliaran uang menyumbangkan dana
lebih dari batas maksimal tetapi menyiasatinya dengan memecah sumbangannya tersebut
dengan sejumlah nama yang berbeda dengan cara meminjam kartu pengenal yang
bersangkutan. Tentu saja pelanggaran seperti ini tidak akan terungkap jika tidak diawasi
secara ketat termasuk oleh publik.
Jika kemudian publik banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran kampanye,
khususnya terkait pembelanjaan dana kampanye, sebaiknya publik tidak segan-segan
untuk mendeklarasikannya melalui berbagai forum dan saluran komunikasi seperti media
massa, baik cetak, elektronik maupun online. Pendeklarasian ini selain akan membuat
pelaku kampanye merasa malu, juga dapat dijadikan pintu bagi penyelidikan oleh pihak
berwenang.
Kendala
Partisipasi publik dalam pengawasan dana kampanye jelas merupakan sesuatu
yang sangat penting. Namun tentu bukan hal yang mudah untuk membuat publik bersedia
berpartisipasi dalam proses pengawasan tersebut. Setidaknya, ada dua kendala dalam
konteks ini.
Pertama, terkait dengan kesadaran publik agar proses-proses kampanye berjalan
dengan baik dan sesuai atuaran. Jika kampanye termasuk hal-hal yang terkait dengan
dananya sebagai pintu masuk menuju pemilu berjalan dengan baik, tentu hasil yang
diperoleh juga baik. Untuk sampai pada hal tersebut, salah satu syaratnya adalah adanya
pengawasan terhadap proses-proses kampanye tersebut.
Masalahnya adalah tidak semua prang memiliki kesadaran untuk melakukan
pengawasan. Mungkin saja sebagian dari mereka bersikap pesimis dan beranggapan
bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Atau mungkin juga
sebagian orang merasa tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pengawasan dan
berbagai alasan lainnya.
Kedua, sangat mungkin publik yang akan melakukan pengawasan terhadap
pembelanjaan dana kampanye berbenturan dengan keengganan parpol-parpol untuk
bersikap terbuka. Dengan kata lain, parpol boleh jadi akan berusaha untuk mempersulit
berbagai upaya yang dilakukan pihak lain untuk melakukan pengawasan misalnya dengan
menutup akses informasi dan sebagainya.
Namun sebenarnya sikap semacam itu dapat diatasi oleh publik dengan
menggunakan Undang-Undang (UU) Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengharuskan
lembaga-lembaga publik untuk bersikap transparan. Persoalannya tidak semua orang mau
bersusah payah untuk berhadapan dengan sikap parpol yang cenderung tidak bersahabat
dalam hal tersebut.
Namun, terlepas dari dua kendala di atas pengawasan publik terhadap penggunaan
dana kampanye merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Artinya, apapun
problem yang menghadang sudah saatnya publik turut terlibat dalam pengawasan dana
kampanye sehingga potensi-potensi pelanggaran penggunaan dana kampanya dapat
ditekan sedemikian rupa.
Publik juga seyogianya menyadari bahwa semakin sering mereka terlibat dalam
proses pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye, semakin besar peran mereka
dalam menekan setiap upaya penyimpangan. Dengan kata lain, semakin besar pula peran
mereka dalam perbaikan proses-proses politik di negeri ini.
Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi
Politik FISIP UIN Jakarta
Iding R. Hasan*
Dua belas partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 telah menyerahkan laporan
dana awal kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada hari Minggu (02/03)
kemarin. Nilai total dari keseluruhan dana yang akan digunakan parpol-parpol dalam
kampanye pemilu mulai 16 Maret adalah 1,973 triliun rupiah.
Pada laporan tahap kedua ini, KPU meminta semua parpol untuk menyerahkan
tiga dokumen terkait dana kampanye. Ketiga dokumen tersebut adalah Laporan
Penerimaan Sumbangan Periode II, Laporan Pembukaan Rekening Khusus Dana
Kampanye dan Laporan Dana Awal Kampanye. Selanjutnya KPU bertanggung jawab
untuk memverifikasi semua dokumen tersebut.
Partisipasi Publik
Nilai angka keseluruhan dana kampanye yang hampir menyentuh dua triliun
rupiah dengan variasi antara 36,3 miliar hingga 306,5 miliar yang dilaporkan parpol jelas
merupakan jumlah yang sangat besar bagi hajatan politik seperti kampanye. Jumlah
tersebut tentu saja harus benar-benar diawasi dari mulai asal penerimaannya sampai pada
penggunaannya nanti pada saat kampanye pemilu.
Memang sudah ada lembaga formal yang bertugas untuk mengawasi kampanye
pemilu termasuk penggunaan dana di dalamnya, yaitu Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Akan tetapi pada praktiknya pengawasan tersebut tidak cukup hanya
dilakukan oleh lembaga formal saja, melainkan juga oleh berbagai pihak yang
berkepentingan agar kampanye pemilu berjalan sesuai aturan.
Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa partisipasi publik dalam melakukan
pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye merupakan hal yang sangat
diperlukan. Semakin banyak publik melakukan pengawasan jelas akan mengurangi
potensi-potensi pelanggaran kampanye, karena para pelaku kampanye tentu merasa
banyak yang mengawasi.
Ada beberapa aspek penting yang dapat diawasi secara ketat oleh publik terkait
dana kampanye pemilu tersebut. Pertama, terkait aspek pembelanjaan dana kampanye.
Aspek ini tentu dapat diukur, misalnya, apakah sesuai dana yang diterima sebuah parpol
dengan yang dibelanjakan saat kampanye. Tentu akan mencurigakan jika sebuah parpol
memeroleh dana sedikit tetapi pada saat kampanye pengeluaraanya ternyata sangat
berlebihan.
Apalagi jika kita melihat pada regulasi kampanye seperti Peraturan KPU Nomor 7
tahun 2013 penekanannya lebih banyak pada aspek penerimaan dana kampanye, seperti
pembatasan sumbangan baik dari perorangan maupun perusahaan, daripada aspek
pembelanjaannya.
Hal
ini
jelas
membuat
parpol-parpol
lebih
leluasa
dalam
membelanjakan dana kampanye tanpa terlalu mengkhawatirkan keharusan pelaporannya.
Di sinilah pentingnya pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye.
Kedua, pengawasan oleh publik juga dapat diarahkan pada aspek profil pemberi
dana kampanye. Dalam konteks ini, publik harus berani memeriksa secara lebih
mendalam siapa sebenarnya orang yang memberikan dana tersebut. Apakah ia, misalnya,
pantas menyumbangkan uang satu miliar sebagai batas maksimal pemberian dana untuk
perorangan jika dikaitkan dengan pekerjaannya.
Bukan tidak mungkin terjadi bahwa nama pemberi dana kampanye bukanlah
nama yang sebenarnya, melainkan dipinjam oleh orang tertentu yang memiliki dana
berlimpah. Misalnya, seseorang yang memiliki miliaran uang menyumbangkan dana
lebih dari batas maksimal tetapi menyiasatinya dengan memecah sumbangannya tersebut
dengan sejumlah nama yang berbeda dengan cara meminjam kartu pengenal yang
bersangkutan. Tentu saja pelanggaran seperti ini tidak akan terungkap jika tidak diawasi
secara ketat termasuk oleh publik.
Jika kemudian publik banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran kampanye,
khususnya terkait pembelanjaan dana kampanye, sebaiknya publik tidak segan-segan
untuk mendeklarasikannya melalui berbagai forum dan saluran komunikasi seperti media
massa, baik cetak, elektronik maupun online. Pendeklarasian ini selain akan membuat
pelaku kampanye merasa malu, juga dapat dijadikan pintu bagi penyelidikan oleh pihak
berwenang.
Kendala
Partisipasi publik dalam pengawasan dana kampanye jelas merupakan sesuatu
yang sangat penting. Namun tentu bukan hal yang mudah untuk membuat publik bersedia
berpartisipasi dalam proses pengawasan tersebut. Setidaknya, ada dua kendala dalam
konteks ini.
Pertama, terkait dengan kesadaran publik agar proses-proses kampanye berjalan
dengan baik dan sesuai atuaran. Jika kampanye termasuk hal-hal yang terkait dengan
dananya sebagai pintu masuk menuju pemilu berjalan dengan baik, tentu hasil yang
diperoleh juga baik. Untuk sampai pada hal tersebut, salah satu syaratnya adalah adanya
pengawasan terhadap proses-proses kampanye tersebut.
Masalahnya adalah tidak semua prang memiliki kesadaran untuk melakukan
pengawasan. Mungkin saja sebagian dari mereka bersikap pesimis dan beranggapan
bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Atau mungkin juga
sebagian orang merasa tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pengawasan dan
berbagai alasan lainnya.
Kedua, sangat mungkin publik yang akan melakukan pengawasan terhadap
pembelanjaan dana kampanye berbenturan dengan keengganan parpol-parpol untuk
bersikap terbuka. Dengan kata lain, parpol boleh jadi akan berusaha untuk mempersulit
berbagai upaya yang dilakukan pihak lain untuk melakukan pengawasan misalnya dengan
menutup akses informasi dan sebagainya.
Namun sebenarnya sikap semacam itu dapat diatasi oleh publik dengan
menggunakan Undang-Undang (UU) Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengharuskan
lembaga-lembaga publik untuk bersikap transparan. Persoalannya tidak semua orang mau
bersusah payah untuk berhadapan dengan sikap parpol yang cenderung tidak bersahabat
dalam hal tersebut.
Namun, terlepas dari dua kendala di atas pengawasan publik terhadap penggunaan
dana kampanye merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Artinya, apapun
problem yang menghadang sudah saatnya publik turut terlibat dalam pengawasan dana
kampanye sehingga potensi-potensi pelanggaran penggunaan dana kampanya dapat
ditekan sedemikian rupa.
Publik juga seyogianya menyadari bahwa semakin sering mereka terlibat dalam
proses pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye, semakin besar peran mereka
dalam menekan setiap upaya penyimpangan. Dengan kata lain, semakin besar pula peran
mereka dalam perbaikan proses-proses politik di negeri ini.
Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi
Politik FISIP UIN Jakarta