Dana Kampanye dan Karakteristik Organisa
Dana Kampanye dan Karakteristik Organisasi Partai Politik1
Nico Harjanto2
“The flood of o ey that gushes i to politics today is
a pollution of democracy (Theodore White)
Pendahuluan
Salah satu pertanyaan besar dalam era demokrasi electoral yang makin
ko petitif adalah ho i po ta t is o e to the ele to al p o ess? 3 Kita semua
sepertinya setuju bahwa dalam era demokrasi elektoral yang didasarkan pada prinsip
suara terbanyak, tidak ayal lagi uang telah menjadi bahan bakar politik yang paling
utama. Uang telah menggantikan sihir orasi dan teks ideologis, rasionalitas individu
maupun kelompok, dan bahkan mengkerdilkan kerja-kerja politik sukarela yang
dilakukan banyak pekerja partai. Dengan perkembangan teknologi informasi yang
semakin menuntut kecepatan dan rutinitas tampil untuk dapat dikenal dan disukai
para pemilih, para politisi dan partai politik tidak punya pilihan lain untuk tidak
menggunakan media massa sebagai alat pemasaran politiknya. Akibatnya tentu biaya
politik yang menjadi semakin tinggi, dan ujung-ujungnya uang menjadi main currency
untuk memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Pandangan tersebut sepertinya semakin mendapatkan pembenarannya.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi, petinggi partai, maupun pejabat
pemerintahan untuk membiayai kegiatan politik mereka, khususnya dalam merebut
dan mempertahankan kekuasaan telah mewarnai kehidupan perpolitikan di
Indonesia. Dalam rilisnya yang kontroversial pada 28 September 2012 yang lalu,
Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan bahwa Presiden SBY telah mengeluarkan
176 izin pemeriksaan pejabat dan anggota dewan yang terlibat kasus hukum. Dari
jumlah tersebut, 36 persen untuk politisi dari Partai Golkar, 18 persen dari PDIP, 11
1
Disa paika pada pelu u a uku da diskusi Basa-basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip
T a spa a si da Aku ta ilitas Pese ta Pe ilu, a g disele gga aka oleh Pe lude di Jaka ta, Ap il
.
2
Pengajar tamu di Paramadina Graduate School of Diplomacy dan analis kebijakan publik di Rajawali
Foundation. Alumni Ohio University dan Northern Illinois University. Kontak: [email protected]
3
Da id “a uels, Does Mo e Matte ? C edi le Co
it e ts a d Ca paig Fi a e i Ne
Democracies: Theory and Evidence from Brazil, Comparative Politics vol. 34, no. 1 (October 2001): 23.
1
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
persen dari Partai Demokrat, dan sisanya dari partai-partai lain.4 Dalam banyak kasus
korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat tersebut, ada banyak kaitan yang
memang susah dibuktikan secara legal-formal antara praktek korupsi dengan upaya
untuk mendanai kegiatan politik mereka. Di Eropa juga demikian, aitu fighti g
political finance-related corruption is currently perceived as one of the biggest
halle ges fo a Eu opea de o a ies. 5
Kekuatiran mengenai makin dominannya peran uang dalam perpolitikan telah
mendorong banyak pihak untuk melakukan reformasi pendanaan politik dan
kepartaian secara umum. Namun, ini bukanlah hal yang mudah karena kewenangan
legislasi ada di tangan anggota legislative dan pemerintah yang hampir semuanya
berasal dari kalangan partai politik. Advokasi untuk memperketat aturan mengenai
berbagai aspek yang terkait dengan pendanaan politik (political financing),
pendanaan kepartaian (party financing), dan dan juga pendanaan kampanye
(campaign financing) telah dilakukan berulangkali setiap ada proses revisi undangundang tentang partai politik maupun pemilihan umum.
Namun, sejauh ini bahkan regulatory framework yang mengatur tentang
masalah yang paling bawah dalam hierarki pendanaan terkait politik, yaitu
pendanaan kampanye, masih belum optimal untuk mewujudkan kampanye politik
yang sehat dan kompetitif. Tentu muncul pertanyaan besar di sini, apa yang salah
dengan beragam usulan tersebut, dan apakah memang mungkin partai politik
didorong untuk mereformasi aspek transparansi dan akuntabilitas keuangan terkait
dana kampanye?
Pengorganisasian Internal Kepartaian dan Dana Kampanye
Masalah keterkaitan uang dan politik elektoral di negara demokrasi mapan
telah banyak dilakukan kajian yang beragam, mulai dari masalah pengeluaran
kampanye, efektivitas iklan politik, hingga hubungan antara incumbency,
kemampuan mengumpulkan dana kampanye, dan tingkat keterpilihan kembali (reelection).6 Kajian Pastine and Pastine (2012) menunjukkan bahwa 94 persen anggota
House of Representatives terpilih kembali di tahun 2008, dan rata-rata keterpilihan
kembali para incumbents di US House of Representatives dari tahun 1968-2008
4
Golka , PDIP, da De ok at La gga a Kasus Ko upsi, tempo.co online, 28 September 2012
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/28/078432557/Golkar-PDIP-dan-Demokratdiakses
dari
Langganan-Kasus-Korupsi pada tanggal 29 April 2013.
5
Ma i Wale ki, The Eu opea izatio of Politi al Pa ties: I flue i g the ‘egulatio s o Politi al
Fi a e, European University Institute Working Paper MWP No 2007/29 (2007): 2
6
Pe iksa, isal a Ga Ja o so , The Effe ts of Ca paig “pe di g i Co g essio al Ele tio s,
American Political Science Review 72 (June 1978): 469-9 ; Ga Co a d Mi hael Thies, Ho Mu h Does
Mo e Matte ?: Bu i g Votes i Japa , 9 - 99 , Comparative Political Studies 33 (February 2000): 37-57;
Herbert Alexander and Rei Siratori eds., Comparative Political Funds among the Democracies (Boulder:
Westview Press, 1994).
2
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
adalah 93 persen, sedangkan untuk anggota Senat rata-ratanya adalah 81 persen.7
Salah satu faktor yang membuat tingginya success rate para incumbents tentunya
adalah tingginya efficiency in fundraising. Dengan kuasa dan pengaruh, maka
semakin mudah untuk mengumpulkan dana kampanye, dan akhirnya mendapatkan
kembali kekuasaan.
Namun, ada pula perspektif teoretis lain yang menarik untuk disimak. Studi
Daniel Treisman (1998) misalnya, menawarkan argumen yang cukup provokatif untuk
dipikirkan.8 Menurutnya, tidak arif jika kita berasumsi bahwa uang memiliki
pengaruh yang sama antara di negara-negara demokrasi mapan dengan di negaranegara demokrasi baru. Sebab, kebalikannya dengan negara demokrasi mapan,
negara demokrasi baru memiliki pasar-pasar politik yang poorly institutionalized. Di
tatanan ekonomi yang terlembagakan, contracting commitment yang kredibel
sangatlah mungkin. Namun, di pasar yang belum terlembagakan dengan baik,
kontrak perjanjian adalah masalah rumit karena antara penjual dan pembeli memiliki
sedikit jaminan bahwa klausul-klausul kontraknya akan dihormati dan dipenuhi.
Dalam konteks pendanaan kampanye, meneruskan argumen tersebut, David
Samuels (2001) memberikan analogi bahwa:
i a poo l i stitutio alized politi al a ket o su e s of go e
e tal
services (potential campaign financiers) will not invest in potential
p odu e s of go e
e tal se i es a didates fo offi e e ause the a e
relatively more uncertain that they will get what they pay for. 9
Implikasinya cukup jelas dalam konteks ini, yaitu hanya sedikit uang yang akan
digelontorkan untuk kampanye-kampanye elektoral di negara-negara demokrasi
baru.
Tentu saja, argumen dari Treisman tersebut disanggah oleh Samuels yang
menawarkan cara pandang lain, yaitu bahwa pertama, the suppl of o e i
elections is a fu tio of the i e ti es di a a ko t i uto -kontributor potensial
mesti mempengaruhi distribusi pelayanan-pelayanan pemerintahan. Kedua, bahwa
tuntutan kebutuhan terhadap dana-dana kampanye merupakan fungsi dari derajat
inter- and intraparty competition. Terakhir, pertukaran pasar akan terjadi ketika
sampai pada derajat dimana politisi mencoba membangun reputasi dan mengulangulang interaksi dengan pendonor, dan ketika para politisi dan pendonor telah
sepakat e a gu
uasi-i stitutio al sa tio i g e ha is s. 10
7
I a Pasti e a d Tu a a Pasti e, I u e
Ad a tage a d Politi al Ca paig “pe di g Li its,
Journal of Public Economics vol. 2 (2012): 20.
8
Da iel T eis a , Dolla s a d De o atizatio : The ‘ole a d Po e of Mo e i ‘ussia s
T a sitio al Ele tio s, Comparative Politics 31 (October 1998): 1-21.
9
Samuels, ibid. p. 23.
10
Samuels, ibid., 37.
3
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Terlepas dari the nature of new electoral democracies yang terkadang
membuka peluang korupsi politik di sistem pemilu tertentu11, pendanaan kampanye
dan kepartaian menjadi semakin relevan untuk dipikirkan karena sangat
mempengaruhi institutionalisasi kepartaian pada khususnya dan sistem kepartaian
pada umumnya.12 Institutionalisasi kepartaian secara khusus seringkali sangat
dipengaruhi oleh satu faktor utama di dalam pengorganisasian internal partai, yaitu
derajat sentralisasi dan desentralisasi.13 Oleh karena itu, membicarakan model
pendanaan kampanye dan kepartaian tidak mungkin dilepaskan dari konteks
tersebut.
Secara umum, masalah sentralisasi dan desentralisasi kewenangan di internal
partai biasanya meliputi seleksi kandidat, formulasi kebijakan dan keputusan, serta
pengaturan-pengaturan khusus yang konstitusional untuk memilih para pemimpin
partai. Hal-hal tersebut menjadi indikator-indikator penting pelembagaan partai
karena, pertama, membantu melokasikan dimana kekuasaan berada di dalam
organisasi partai, dan dengan demikian membantu mengidentifikasi pejabat-pejabat
partai yang memegang kekuasaan riil. Kedua, hubungan organisasional antara partai
di daerah dan di pusat sangat mungkin mengindikasikan struktur sistem politik yang
ada, karena semua terkait secara integral. Ketiga, derajat sentralisasi-desentralisasi
tersebut mempengaruhi kesempatan-kesempatan untuk pelibatan demokratis oleh
anggota partai maupun masyarakat pada umumnya. Terakhir, di sistem politik
dengan derajat ketegangan dan perbedaan regional yang tinggi, kemampuan partai
untuk mengakomodasi perbedaan mungkin dipengaruhi oleh pola-pola sentralisasi di
dalam organisasi kepartaiannya.14
Selanjutnya, Coletto, Jansen, and Young (2011) menambahkan satu aspek lagi
yang berperan semakin penting dalam pelembagaan kepartaian, yaitu masalah
aliran-aliran finansial (financial flow) internal partai politik. Hal ini terkait erat dengan
masalah otonomi finansial dari tiga aktor utama dalam organisasi kepartaian,
khususnya di Kanada yang menjadi studi kasusnya. Ketiga aktor utama ini adalah
pengurus pusat partai, pengurus/asosiasi partai daerah (di Kanada disebut dengan
electoral district association/EDA), dan para kandidat yang bertarung
memperebutkan jabatan-jabatan politik. Interaksi ketiga aktor ini juga dalam banyak
hal sangat problematik di konteks Indonesia, sehingga menarik untuk dilihat
11
Studi Eric C. C. Chang and Miriam Golde Ele to al “ ste s, Dist i t Mag itude, a d Co uptio ,
British Journal of Political Science vol. 1 (2007) misalnya menyatakan bahwa korupsi lebih rendah di negaranegara dengan Sistem PR terbuka dibandingkan dengan Sistem PR tertutup, tapi yang rata-rata district
magnitude-nya di bawah 10 kursi. Sebaliknya, jika dengan district magnitude yang tinggi (di atas 20 kursi),
ope -list s ste s a e asso iated ith o e o uptio .
12
Pe iksa, E i Booth a d Joseph ‘o i s, Assessi g the I pa t of Ca paig Fi a e o Pa t
“ ste I stitutio alizatio , Party Politics vol. 16, no. 5 (2010): 629-650.
13
Ke eth ‘. Ca t , Pa ties as F a hise “ ste s: The “t ata hi al O ga izatio al I pe ati e, Party
Politics vol. 10, no. 1 (2004): 5-24.
14
Da id Coletto, Ha old J. Ja se , a d Lisa You g, “t ata hi al Pa t O ga izatio a d Pa t Fi a e
i Ca ada, Canadian Journal of Political Science vol. 44, no. 1 (March 2011): 111-136.
4
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
bagaimana interaksi teoretis yang tersedia untuk memahami lebih jauh masalah
pendanaan kampanye dan pelembagaan kepartaian.
Menurut Coletto, Jansen, and Young (2011), model pendanaan kampanye
yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma
demokrasi yang umum. Untuk itu, pendanaan kampanye mestinya merupakan aliran
kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai
kontribusi untuk partai di tingkat pusat, kontribusi untuk EDA, maupun kontribusi
untuk para kandidat. Dengan kerangka basic model seperti Gambar 1, mereka
mencoba menawarkan empat model pendanaan partai untuk kampanye sebagai
berikut.15 Pertama, branch model of party income seperti dalam Gambar 2. Di dalam
model cabang ini, partai di daerah dan juga asosiasi-asosiasi elektoralnya berperan
sebagai the primary generators of income. Aliran uang dengan demikian akan ke atas,
dari level daerah dan kandidat ke pengurus pusat. Aliran uang antara pengurus
daerah dengan kandidat sifatnya tidak langsung dan tidak struktural.
Gambar 1. Basic model
Gambar 2. Branch model
Dalam model 2, yaitu stratarchical sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar
3, tampak bahwa pengurus EDAs maupun kandidat mampu untuk mengumpulkan
dana yang mencukupi untuk menjaga aktivitas partai di daerah dan mengikuti
kompetisi pemilu di tingkat daerah pemilihan. Sementara itu, pengurus partai
nasional juga mampu mendapatkan pendapatan yang memadai baik dari sumbersumber publik maupun swasta untuk memenuhi fungsi-fungsi yang diembannya dan
menjalankan kampanye-kampanye pemilu nasional yang kompetitif. Aliran uang
15
Op.cit., pp. 119-22.
5
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
dengan demikian tidak banyak berpindah antar tingkatan maupun aktor, dan
interdependensi finansial tidak terjadi.
Kemudian, dalam model 3, yaitu centralized funding, partai di tingkat nasional
memiliki kemampuan mengumpulkan pendanaan yang jauh lebih banyak dari
pengurus di daerah maupun para kandidat. Akibatnya, aliran finansial terjadi secara
top-down, dan ini dapat menyebabkan perlakuan pengurus partai daerah sebagai
subordinat dari para pengurus di pusat. Hal ini tentu tidak kondusif untuk
pelembagaan partai untuk jangka panjang karena tiadanya kesetaraan politik.
Terakhir, dalam model 4, yaitu state-dependent centralized fundraising, mirip dengan
model sebelumnya, namun sumber dananya yang berbeda. Dalam model terakhir ini,
sumber utama pendanaan kampanye yang diperoleh oleh partai di tingkat pusat
adalah dari subsidi negara. Di sini ada ketergantungan partai terhadap negara, dan
ini dapat memperparah hubungan dengan pengurus di daerah karena hanya
pengurus partai di pusat yang berhak menerima atas nama partai, bantuan subsidi
dari negara, dan mereka bisa merasa bahwa kedudukan merekalah yang membuat
hidup partainya.
Gambar 3. Stratarchy model
Gambar 4. Centralized fundraising
Dari uraian singkat mengenai model-model financial flow, tentu membantu
kita semua untuk memahami bagaimana kompleksitas pendanaan kampanye di
Indonesia, baik dari aspek legal-formal, akses ke pendanaan, hingga pengaturan tatakelola (governance) internal partai untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Di sejumlah negara, pengaturan mengenai dana kampanye telah semakin detail dan
penegakan aturannya juga telah melibatkan aparat-aparat penegak hukum negara
yang semakin sophisticated dalam melacak, mengungkap, dan mengadili beragam
frauds, irregularities, maupun misconducts yang terkait pendanaan kampanye karena
disinilah persoalan politik biasanya bermuara.
6
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Pengaturan Dana Kampanye di Negara Demokrasi Maju
Pengaturan dana kampanye menjadi suatu agenda politik yang masih
diperdebatkan di banyak negara maju. Amerika Serikat telah melalui serangkaian
campaign finance reform sejak adanya legislasi mengenai pendanaan kampanye di
tahun 1867. Di tahun 1972, lahir the Federal Election Campaign Act (FECA) yang
mewajibkan kandidat untuk membuka sumber-sumber kontribusi kampanye dan
pengeluaran kampanyenya serta pembentukan the Federal Election Commission
FEC a g salah satu fu gsi uta a a to ad i iste a d e fo e the FECA. 16
Kemudian di tahun 2002 lahir the Bipartisan Campaign Reform Act (BCRA) atau yang
le ih dike al se agai M Chai -Fei gold A t a g e e isi esa a do asi, aik
dala
e tuk ha d o e
aupu soft o e .
Di Kanada, sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini merupakan
ringkasan mengenai peraturan tentang partai dan pendanaan kampanye yang telah
mengatur transparansi, batasan pengeluaran, hingga batasan sumbangan.
Tabel 1. Ringkasan Peraturan tentang Partai dan Pendanaan Pemilu di Kanada
Sumber: Coletto, Jansen, Young (2011: 116)
16
The duties of the FEC, which is an independent regulatory agency, are to disclose campaign finance
information, to enforce the provisions of the law such as the limits and prohibitions on contributions, and to
oversee the public funding of Presidential elections. http://www.fec.gov/about.shtml diakses pada tanggal 29
April 2013.
7
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Di Inggris, The Corrupt and Illegal Practices Act (CIPA) telah disahkan pada
tahun 1883 yang kemudian menjadi pondasi perkembangan demokrasi model
Westminster karena mengintroduksi pembatasan pengeluaran kampanye yang
diperbolehkan di setiap konstituensi. Selanjutnya, di tahun 2000 CIPA diperluas dan
direvisi dalam Political Parties, Elections, and Referendum Act yang kemudian
melahirkan peraturan-peraturan tentang pembatasan pengeluaran kampanye seperti
terangkum dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Aturan Pembatasan Kampanye di Inggris
Sumber: www.electoralcommission.org
Sementara itu, untuk konteks demokrasi transisional di Eropa Timur yang
dulunya merupakan bagian dari negara komunis Uni Soviet, pengaturan mengenai
pendanaan politik juga semakin menunjukkan kemajuan yang berarti seperti tampak
pada tabel 4 di bawah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semakin meluasnya
cengkeraman para oligarchs, yaitu kaum super kaya baru, ke dalam kehidupan
kepartaian dan pemerintahan. Sudah umum di negara Eropa Timur, partai politik dan
pemerintah seringkali menjadi proxy atau kepanjangan tangan dari kepentingan para
oligarchs, dan karenanya kepentingan rakyat seringkali terkalahkan oleh vested
interests sempit mereka.
8
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 4. Regulasi Pendanaan Politik di Eropa Timur
Dari sejumlah contoh tersebut, tampak bahwa pengaturan masalah
pendanaan kampanye dan partai politik perlu semakin detail, sehingga dari sisi
penerimaan maupun pengeluaran dapat dilakukan audit yang dapat menjadi dasar
untuk penegakan hukum selanjutnya. Tentu saja beragam pengaturan tersebut
seringkali tidak mampu untuk mengimbangi perubahan dalam praktek transaksi
antara pendonor dan politisi, dan karenanya skandal seringkali masih terjadi di
negara-negara demokrasi maju sekalipun.
Transparansi dan Akuntabilitas di Politik: Tantangan Demokrasi Indonesia
Kekuatan dan pengaruh uang terhadap proses elektoral di Indonesia
tampaknya semakin intrusif dan massif. Di hampir semua pemilihan kepala daerah
maupun pemilihan legislatif dan presiden, sejumlah praktek-praktek money politics
dan vote buying seringkali terungkap di media massa maupun menjadi bukti sah di
pengadilan Mahkamah Konstitusi. Namun, tentu yang tidak terbuktikan secara legalformal jauh lebih banyak lagi. Beragam analisa menyebutkan bahwa proses politik
elektoral untuk mendapatkan suara dukungan pemilih sungguh mahal, sehingga
9
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
tidak jarang seorang kandidat bisa menghabiskan dana ratusan juta hingga puluhan
milyar rupiah.17
Dalam prakteknya, transparansi dan akuntabilitas keuangan partai maupun
untuk kampanya masihlah terselimuti banyak misteri dan kejanggalan. Dari beberapa
laporan audit keuangan partai politik seperti tampak di tabel 5 dan 6 untuk Partai
Golkar, tampak betapa adanya suatu fluktuasi yang sangat luar biasa ketika tahun
pemilu 2004. Dari sisi penerimaan, pada tahun-tahun bukan tahun pemilu,
penerimaan dari donasi korporasi maupun individual tampak jauh sekali
dibandingkan ketika tahun pemilu. Penting diingat, angka-angka ini adalah yang
dilaporkan, dan bisa jadi penerimaan maupun pengeluaran aktualnya lebih dari
sepuluh kali lipatnya, tergantung cara penghitungan dan komponen-komponen yang
dihitungnya.
Tabel 5. Ringkasan Laporan Keuangan Partai Golkar
2002
2003
2004
2005
Revenue/Income:
-Membership dues
-Government subsidy
-Corporate donations
-Individual donations
-Others
-Interests
Total revenue/income
510,000,000
1,715,000,000
24,162,057,235
1,987,864,878
28,374,922,113
600,950,722
500,000,000
6,000,000,000
350,000,000
4,277,994,828
11,728,945,550
555,700,210
25,431,092,600
73,714,910,500
34,135,156,870
389,875,179
134,226,735,359
1,723,715,000
2,667,000,000
3,943,939,950
5,268,454,715
2,667,000,000
30,910,781
16,301,020,446
Expenditure:
Dept. for winning election
Dept. of OKK*
Salary expense etc.
Others
Total expenditures
93,562,000
115,070,025
1,199,867,853
3,940,615,455
5,349,115,333
586,305,000
481,500,400
1,227,382,200
9,399,683,953
11,694,871,553
108,282,199,668
406,250,300
1,350,120,420
42,470,906,522
152,509,476,910
98,000,000
812,892,500
1,277,812,500
10,400,148,932
12,588,853,932
“u
e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al
Untuk lebih detailnya lagi, pada tabel 6 di bawah ini adalah perincian yang
dapat menggambarkan untuk apa saja pengeluaran Partai Golkar dalam kurun waktu
2004-5 yang laporan keuangannya telah disampaikan ke KPU. Tampak bahwa
penggunaan anggaran terbesar pada tahun pemilu 2004 adalah untuk beban
langsung departemen, dalam hal ini adalah untuk pemenangan pemilu. Sementara
itu aliran finansial ke pengurus di daerah sangatlah kecil untuk tahun pemilu, dan ini
jelas mengindikasikan adanya sentralisasi yang kuat dalam pendanaan dan
pengeluaran dana kampanye di Partai Golkar ini.
17
Kajian Pramono Anung Wibowo misalnya menyebutkan rata-rata anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mengeluarkan dana Rp 1,5-2 ilia sela a ka pa e sa pai de ga te pilih. Pe iksa, P a o o: Cegah
Ko upsi, Pa pol Pe lu Bada
Usaha,
Kompas online, 14 Maret 2013 diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/00084179/Pramono.Cegah.Korupsi..Parpol.Perlu.Badan.Usaha
pada tanggal 29 April 2013.
10
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 6. Dana Teraudit Partai Golkar 2004-5
2005
2004
Pendapatan dan Penghasilan
Sumbangan Tetap
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Lainnya
Penghasilan bunga
Jumlah
1,723,715,000
2,667,000,000
9,212,394,665
30,910,781
13,634,020,446
555,700,210
133,281,159,970
389,875,179
134,226,735,359
Beban dan Kerugian
Beban Langsung Departemen
Beban Pegawai
Beban Perjalanan Dinas
Beban Kendaraan
Beban Bangunan
Beban Inventaris
Bantuan ke Daerah
Bantuan dan Subsidi
Beban Umum Lain-Lain
Jumlah
1,851,442,500
1,277,812,500
1,441,289,700
44,327,400
300,134,500
84,067,200
2,949,836,000
269,500,000
4,370,444,132
12,588,853,932
110,439,920,918
1,350,120,420
554,868,109
75,760,069
303,704,738
98,211,120
489,510,000
30,272,904,235
8,924,477,301
152,509,476,910
Kenaikan (Penurunan) Aktiva Bersih
Aktiva Bersih Awal Tahun
Aktiva Bersih Akhir Tahun
“u
1,045,166,514
5,394,666,588
6,439,833,102
(18,282,741,551)
23,677,408,139
5,394,666,588
e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al
Adanya fluktuasi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang cukup
fantastis juga dilaporkan partai-partai lain. Tabel 7 di bawah ini memberikan
ringkasan mengenai jumlah asset, pendapatan, dan pengeluaran yang dilaporkan
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, dan Partai
Amanat Nasional (PAN) untuk kurun waktu tahun 2003 hingga 2005 dimana
pengaturan dan pengawasan keuangan kepartaian masih lemah. Dari tabel ini
tampak bahwa ada lonjakan penerimaan dan pengeluaran pada tahun pemilu,
dengan perubahan nilai asset yang dimiliki yang cenderung tetap rendah. Ini tentu
mengindikasikan bahwa partai-partai tersebut tidak memiliki upaya untuk
meningkatkan endowment maupun valuasi asset supaya partai bisa semakin otonom
secara finansial, tetapi masih beroperasi pada kebutuhan mendesak, yaitu untuk
pemenangan pemilu maka penggalangan dana digeber dan dilakukan secara instan,
dan ini tentunya membuka peluang korupsi maupun politik transaksional antara
bohir politik dengan oligarki partai politik.
11
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 7. Ringkasan Keuangan Partai-partai di Indonesia
2003
2004
2005
PDIP
Total asset
Total revenue
Total expenditure
19,784,945,380
4,249,144,394
15,372,383,000
3,450,893,293
130,756,617,266
147,138,391,753
6,681,832,794
25,591,626,910
27,056,954,680
4,026,038,762
6,029,822,095
3,929,383,333
907,002,125
16,513,056,021
19,632,092,658
2,239,783,556
4,194,328,060
2,861,546,629
10,196,339,980.57
16,043,405,771.00
10,077,133,237.32
4,390,773,181.46
12,797,694,655.49
25,033,058,981.60
4,816,387,965.68
8,779,009,480.80
7,922,624,339.58
PD
Total asset
Total revenue
Total expenditure
PAN
Total asset
Total revenue
Total expenditure
“u
e : diolah da i Ha ja to, Politi a Pa t “u i al
Jika dilihat dari praktek singkat pelaporan keuangan kepartaian seperti
tampak di tabel-tabel di atas, masalah transparansi dan akuntabilitas dana kampanye
masihlah merupakan isu penting dalam upaya penyehatan demokrasi di Indonesia.
Dari laporan keuangan yang diserahkan saja, dengan mudah dapat dibaca bahwa
partai-partai politik di Indonesia kurang optimal dalam mendorong dirinya menjadi
institusi demokrasi yang kredibel dan akuntabel karena tidak ada political will yang
kuat untuk mengikuti prinsip tatakelola pemerintahan yang baik (good governance),
khususnya terkait prinsip transparansi dan akuntabilitas. Padahal tanpa mengikuti
kedua prinsip ini, pelembagaan partai akan selalu tersandera oleh kepentingankepentingan jangka pendek para oligarki partai.
Penutup
Mengingat banyaknya persoalan terkait dana kampanye pada khususnya dan
dana partai politik maupun dana politik pada umumnya, maka kajian yang terangkum
dalam Buku Basa-Basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip Transparansi dan
Akuntabilitas Peserta Pemilu (2013) merupakan pengisi celah kekosongan kajian
tentang hal ini. Dana kampanye merupakan isu sensitif dan sulit untuk dikaji karena
minimnya ketersediaan data dan tertutupnya pengurus partai politik mengenai hal
ini. Karena itu, buku ini perlu diapresiasi untuk sumbangannya yang penting dalam
memberikan pemahaman mengenai persoalan dana kampanye di Indonesia dari
aspek legal-formal, diskursus mengenai pengaturan dan pembatasan untuk
penerimaan dan pengeluaran kampanye, serta sejumlah rekomendasi yang mestinya
dimasukkan sebagai dalam daftar inventarisasi masalah untuk revisi undang-undang
12
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
tentang partai politik maupun pemilihan umum berikutnya. Sejumlah temuan dan
rekomendasi dalam buku ini akan membantu tidak saja pengaturan dana kampanye
supaya lebih transparan dan akuntabel, tapi jauh lebih penting lagi adalah untuk
mewujudkan pelembagaan partai politik yang baik sehingga demokrasi semakin solid
dan juga terlembagakan.
Akhirnya, campaign, party, and political financing adalah masalah demokrasi
serius di semua negara, dan karenanya pembahasan untuk menuju perbaikan tata
aturan dan tata kelola mengenai hal ini perlu terus didorong. Hal ini karena konteks
masing-masing negara demokrasi yang sangat berbeda dan khas, sehingga sulit untuk
mencari formulasi satu dan seragam mengenai detail aturan dan mekanisme terkait
dana kampanye. Namun, tentu saja norma-norma universal yang telah diterima
umum mengenai prinsip-prinsip tata kelola kepartaian dan juga penerimaan dan
penggunaan dana publik senantiasa harus didorong untuk bisa menjadi bagian dari
internal values of political party. Sebab, pada akhirnya aturan tanpa dilandasi budaya
maupun etika hanyalah akan melahirkan penyimpangan dan politisasi lebih jauh. * *
Jakarta, 29 April 2013
13
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Nico Harjanto2
“The flood of o ey that gushes i to politics today is
a pollution of democracy (Theodore White)
Pendahuluan
Salah satu pertanyaan besar dalam era demokrasi electoral yang makin
ko petitif adalah ho i po ta t is o e to the ele to al p o ess? 3 Kita semua
sepertinya setuju bahwa dalam era demokrasi elektoral yang didasarkan pada prinsip
suara terbanyak, tidak ayal lagi uang telah menjadi bahan bakar politik yang paling
utama. Uang telah menggantikan sihir orasi dan teks ideologis, rasionalitas individu
maupun kelompok, dan bahkan mengkerdilkan kerja-kerja politik sukarela yang
dilakukan banyak pekerja partai. Dengan perkembangan teknologi informasi yang
semakin menuntut kecepatan dan rutinitas tampil untuk dapat dikenal dan disukai
para pemilih, para politisi dan partai politik tidak punya pilihan lain untuk tidak
menggunakan media massa sebagai alat pemasaran politiknya. Akibatnya tentu biaya
politik yang menjadi semakin tinggi, dan ujung-ujungnya uang menjadi main currency
untuk memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Pandangan tersebut sepertinya semakin mendapatkan pembenarannya.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi, petinggi partai, maupun pejabat
pemerintahan untuk membiayai kegiatan politik mereka, khususnya dalam merebut
dan mempertahankan kekuasaan telah mewarnai kehidupan perpolitikan di
Indonesia. Dalam rilisnya yang kontroversial pada 28 September 2012 yang lalu,
Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan bahwa Presiden SBY telah mengeluarkan
176 izin pemeriksaan pejabat dan anggota dewan yang terlibat kasus hukum. Dari
jumlah tersebut, 36 persen untuk politisi dari Partai Golkar, 18 persen dari PDIP, 11
1
Disa paika pada pelu u a uku da diskusi Basa-basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip
T a spa a si da Aku ta ilitas Pese ta Pe ilu, a g disele gga aka oleh Pe lude di Jaka ta, Ap il
.
2
Pengajar tamu di Paramadina Graduate School of Diplomacy dan analis kebijakan publik di Rajawali
Foundation. Alumni Ohio University dan Northern Illinois University. Kontak: [email protected]
3
Da id “a uels, Does Mo e Matte ? C edi le Co
it e ts a d Ca paig Fi a e i Ne
Democracies: Theory and Evidence from Brazil, Comparative Politics vol. 34, no. 1 (October 2001): 23.
1
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
persen dari Partai Demokrat, dan sisanya dari partai-partai lain.4 Dalam banyak kasus
korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat tersebut, ada banyak kaitan yang
memang susah dibuktikan secara legal-formal antara praktek korupsi dengan upaya
untuk mendanai kegiatan politik mereka. Di Eropa juga demikian, aitu fighti g
political finance-related corruption is currently perceived as one of the biggest
halle ges fo a Eu opea de o a ies. 5
Kekuatiran mengenai makin dominannya peran uang dalam perpolitikan telah
mendorong banyak pihak untuk melakukan reformasi pendanaan politik dan
kepartaian secara umum. Namun, ini bukanlah hal yang mudah karena kewenangan
legislasi ada di tangan anggota legislative dan pemerintah yang hampir semuanya
berasal dari kalangan partai politik. Advokasi untuk memperketat aturan mengenai
berbagai aspek yang terkait dengan pendanaan politik (political financing),
pendanaan kepartaian (party financing), dan dan juga pendanaan kampanye
(campaign financing) telah dilakukan berulangkali setiap ada proses revisi undangundang tentang partai politik maupun pemilihan umum.
Namun, sejauh ini bahkan regulatory framework yang mengatur tentang
masalah yang paling bawah dalam hierarki pendanaan terkait politik, yaitu
pendanaan kampanye, masih belum optimal untuk mewujudkan kampanye politik
yang sehat dan kompetitif. Tentu muncul pertanyaan besar di sini, apa yang salah
dengan beragam usulan tersebut, dan apakah memang mungkin partai politik
didorong untuk mereformasi aspek transparansi dan akuntabilitas keuangan terkait
dana kampanye?
Pengorganisasian Internal Kepartaian dan Dana Kampanye
Masalah keterkaitan uang dan politik elektoral di negara demokrasi mapan
telah banyak dilakukan kajian yang beragam, mulai dari masalah pengeluaran
kampanye, efektivitas iklan politik, hingga hubungan antara incumbency,
kemampuan mengumpulkan dana kampanye, dan tingkat keterpilihan kembali (reelection).6 Kajian Pastine and Pastine (2012) menunjukkan bahwa 94 persen anggota
House of Representatives terpilih kembali di tahun 2008, dan rata-rata keterpilihan
kembali para incumbents di US House of Representatives dari tahun 1968-2008
4
Golka , PDIP, da De ok at La gga a Kasus Ko upsi, tempo.co online, 28 September 2012
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/28/078432557/Golkar-PDIP-dan-Demokratdiakses
dari
Langganan-Kasus-Korupsi pada tanggal 29 April 2013.
5
Ma i Wale ki, The Eu opea izatio of Politi al Pa ties: I flue i g the ‘egulatio s o Politi al
Fi a e, European University Institute Working Paper MWP No 2007/29 (2007): 2
6
Pe iksa, isal a Ga Ja o so , The Effe ts of Ca paig “pe di g i Co g essio al Ele tio s,
American Political Science Review 72 (June 1978): 469-9 ; Ga Co a d Mi hael Thies, Ho Mu h Does
Mo e Matte ?: Bu i g Votes i Japa , 9 - 99 , Comparative Political Studies 33 (February 2000): 37-57;
Herbert Alexander and Rei Siratori eds., Comparative Political Funds among the Democracies (Boulder:
Westview Press, 1994).
2
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
adalah 93 persen, sedangkan untuk anggota Senat rata-ratanya adalah 81 persen.7
Salah satu faktor yang membuat tingginya success rate para incumbents tentunya
adalah tingginya efficiency in fundraising. Dengan kuasa dan pengaruh, maka
semakin mudah untuk mengumpulkan dana kampanye, dan akhirnya mendapatkan
kembali kekuasaan.
Namun, ada pula perspektif teoretis lain yang menarik untuk disimak. Studi
Daniel Treisman (1998) misalnya, menawarkan argumen yang cukup provokatif untuk
dipikirkan.8 Menurutnya, tidak arif jika kita berasumsi bahwa uang memiliki
pengaruh yang sama antara di negara-negara demokrasi mapan dengan di negaranegara demokrasi baru. Sebab, kebalikannya dengan negara demokrasi mapan,
negara demokrasi baru memiliki pasar-pasar politik yang poorly institutionalized. Di
tatanan ekonomi yang terlembagakan, contracting commitment yang kredibel
sangatlah mungkin. Namun, di pasar yang belum terlembagakan dengan baik,
kontrak perjanjian adalah masalah rumit karena antara penjual dan pembeli memiliki
sedikit jaminan bahwa klausul-klausul kontraknya akan dihormati dan dipenuhi.
Dalam konteks pendanaan kampanye, meneruskan argumen tersebut, David
Samuels (2001) memberikan analogi bahwa:
i a poo l i stitutio alized politi al a ket o su e s of go e
e tal
services (potential campaign financiers) will not invest in potential
p odu e s of go e
e tal se i es a didates fo offi e e ause the a e
relatively more uncertain that they will get what they pay for. 9
Implikasinya cukup jelas dalam konteks ini, yaitu hanya sedikit uang yang akan
digelontorkan untuk kampanye-kampanye elektoral di negara-negara demokrasi
baru.
Tentu saja, argumen dari Treisman tersebut disanggah oleh Samuels yang
menawarkan cara pandang lain, yaitu bahwa pertama, the suppl of o e i
elections is a fu tio of the i e ti es di a a ko t i uto -kontributor potensial
mesti mempengaruhi distribusi pelayanan-pelayanan pemerintahan. Kedua, bahwa
tuntutan kebutuhan terhadap dana-dana kampanye merupakan fungsi dari derajat
inter- and intraparty competition. Terakhir, pertukaran pasar akan terjadi ketika
sampai pada derajat dimana politisi mencoba membangun reputasi dan mengulangulang interaksi dengan pendonor, dan ketika para politisi dan pendonor telah
sepakat e a gu
uasi-i stitutio al sa tio i g e ha is s. 10
7
I a Pasti e a d Tu a a Pasti e, I u e
Ad a tage a d Politi al Ca paig “pe di g Li its,
Journal of Public Economics vol. 2 (2012): 20.
8
Da iel T eis a , Dolla s a d De o atizatio : The ‘ole a d Po e of Mo e i ‘ussia s
T a sitio al Ele tio s, Comparative Politics 31 (October 1998): 1-21.
9
Samuels, ibid. p. 23.
10
Samuels, ibid., 37.
3
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Terlepas dari the nature of new electoral democracies yang terkadang
membuka peluang korupsi politik di sistem pemilu tertentu11, pendanaan kampanye
dan kepartaian menjadi semakin relevan untuk dipikirkan karena sangat
mempengaruhi institutionalisasi kepartaian pada khususnya dan sistem kepartaian
pada umumnya.12 Institutionalisasi kepartaian secara khusus seringkali sangat
dipengaruhi oleh satu faktor utama di dalam pengorganisasian internal partai, yaitu
derajat sentralisasi dan desentralisasi.13 Oleh karena itu, membicarakan model
pendanaan kampanye dan kepartaian tidak mungkin dilepaskan dari konteks
tersebut.
Secara umum, masalah sentralisasi dan desentralisasi kewenangan di internal
partai biasanya meliputi seleksi kandidat, formulasi kebijakan dan keputusan, serta
pengaturan-pengaturan khusus yang konstitusional untuk memilih para pemimpin
partai. Hal-hal tersebut menjadi indikator-indikator penting pelembagaan partai
karena, pertama, membantu melokasikan dimana kekuasaan berada di dalam
organisasi partai, dan dengan demikian membantu mengidentifikasi pejabat-pejabat
partai yang memegang kekuasaan riil. Kedua, hubungan organisasional antara partai
di daerah dan di pusat sangat mungkin mengindikasikan struktur sistem politik yang
ada, karena semua terkait secara integral. Ketiga, derajat sentralisasi-desentralisasi
tersebut mempengaruhi kesempatan-kesempatan untuk pelibatan demokratis oleh
anggota partai maupun masyarakat pada umumnya. Terakhir, di sistem politik
dengan derajat ketegangan dan perbedaan regional yang tinggi, kemampuan partai
untuk mengakomodasi perbedaan mungkin dipengaruhi oleh pola-pola sentralisasi di
dalam organisasi kepartaiannya.14
Selanjutnya, Coletto, Jansen, and Young (2011) menambahkan satu aspek lagi
yang berperan semakin penting dalam pelembagaan kepartaian, yaitu masalah
aliran-aliran finansial (financial flow) internal partai politik. Hal ini terkait erat dengan
masalah otonomi finansial dari tiga aktor utama dalam organisasi kepartaian,
khususnya di Kanada yang menjadi studi kasusnya. Ketiga aktor utama ini adalah
pengurus pusat partai, pengurus/asosiasi partai daerah (di Kanada disebut dengan
electoral district association/EDA), dan para kandidat yang bertarung
memperebutkan jabatan-jabatan politik. Interaksi ketiga aktor ini juga dalam banyak
hal sangat problematik di konteks Indonesia, sehingga menarik untuk dilihat
11
Studi Eric C. C. Chang and Miriam Golde Ele to al “ ste s, Dist i t Mag itude, a d Co uptio ,
British Journal of Political Science vol. 1 (2007) misalnya menyatakan bahwa korupsi lebih rendah di negaranegara dengan Sistem PR terbuka dibandingkan dengan Sistem PR tertutup, tapi yang rata-rata district
magnitude-nya di bawah 10 kursi. Sebaliknya, jika dengan district magnitude yang tinggi (di atas 20 kursi),
ope -list s ste s a e asso iated ith o e o uptio .
12
Pe iksa, E i Booth a d Joseph ‘o i s, Assessi g the I pa t of Ca paig Fi a e o Pa t
“ ste I stitutio alizatio , Party Politics vol. 16, no. 5 (2010): 629-650.
13
Ke eth ‘. Ca t , Pa ties as F a hise “ ste s: The “t ata hi al O ga izatio al I pe ati e, Party
Politics vol. 10, no. 1 (2004): 5-24.
14
Da id Coletto, Ha old J. Ja se , a d Lisa You g, “t ata hi al Pa t O ga izatio a d Pa t Fi a e
i Ca ada, Canadian Journal of Political Science vol. 44, no. 1 (March 2011): 111-136.
4
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
bagaimana interaksi teoretis yang tersedia untuk memahami lebih jauh masalah
pendanaan kampanye dan pelembagaan kepartaian.
Menurut Coletto, Jansen, and Young (2011), model pendanaan kampanye
yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma
demokrasi yang umum. Untuk itu, pendanaan kampanye mestinya merupakan aliran
kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai
kontribusi untuk partai di tingkat pusat, kontribusi untuk EDA, maupun kontribusi
untuk para kandidat. Dengan kerangka basic model seperti Gambar 1, mereka
mencoba menawarkan empat model pendanaan partai untuk kampanye sebagai
berikut.15 Pertama, branch model of party income seperti dalam Gambar 2. Di dalam
model cabang ini, partai di daerah dan juga asosiasi-asosiasi elektoralnya berperan
sebagai the primary generators of income. Aliran uang dengan demikian akan ke atas,
dari level daerah dan kandidat ke pengurus pusat. Aliran uang antara pengurus
daerah dengan kandidat sifatnya tidak langsung dan tidak struktural.
Gambar 1. Basic model
Gambar 2. Branch model
Dalam model 2, yaitu stratarchical sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar
3, tampak bahwa pengurus EDAs maupun kandidat mampu untuk mengumpulkan
dana yang mencukupi untuk menjaga aktivitas partai di daerah dan mengikuti
kompetisi pemilu di tingkat daerah pemilihan. Sementara itu, pengurus partai
nasional juga mampu mendapatkan pendapatan yang memadai baik dari sumbersumber publik maupun swasta untuk memenuhi fungsi-fungsi yang diembannya dan
menjalankan kampanye-kampanye pemilu nasional yang kompetitif. Aliran uang
15
Op.cit., pp. 119-22.
5
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
dengan demikian tidak banyak berpindah antar tingkatan maupun aktor, dan
interdependensi finansial tidak terjadi.
Kemudian, dalam model 3, yaitu centralized funding, partai di tingkat nasional
memiliki kemampuan mengumpulkan pendanaan yang jauh lebih banyak dari
pengurus di daerah maupun para kandidat. Akibatnya, aliran finansial terjadi secara
top-down, dan ini dapat menyebabkan perlakuan pengurus partai daerah sebagai
subordinat dari para pengurus di pusat. Hal ini tentu tidak kondusif untuk
pelembagaan partai untuk jangka panjang karena tiadanya kesetaraan politik.
Terakhir, dalam model 4, yaitu state-dependent centralized fundraising, mirip dengan
model sebelumnya, namun sumber dananya yang berbeda. Dalam model terakhir ini,
sumber utama pendanaan kampanye yang diperoleh oleh partai di tingkat pusat
adalah dari subsidi negara. Di sini ada ketergantungan partai terhadap negara, dan
ini dapat memperparah hubungan dengan pengurus di daerah karena hanya
pengurus partai di pusat yang berhak menerima atas nama partai, bantuan subsidi
dari negara, dan mereka bisa merasa bahwa kedudukan merekalah yang membuat
hidup partainya.
Gambar 3. Stratarchy model
Gambar 4. Centralized fundraising
Dari uraian singkat mengenai model-model financial flow, tentu membantu
kita semua untuk memahami bagaimana kompleksitas pendanaan kampanye di
Indonesia, baik dari aspek legal-formal, akses ke pendanaan, hingga pengaturan tatakelola (governance) internal partai untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Di sejumlah negara, pengaturan mengenai dana kampanye telah semakin detail dan
penegakan aturannya juga telah melibatkan aparat-aparat penegak hukum negara
yang semakin sophisticated dalam melacak, mengungkap, dan mengadili beragam
frauds, irregularities, maupun misconducts yang terkait pendanaan kampanye karena
disinilah persoalan politik biasanya bermuara.
6
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Pengaturan Dana Kampanye di Negara Demokrasi Maju
Pengaturan dana kampanye menjadi suatu agenda politik yang masih
diperdebatkan di banyak negara maju. Amerika Serikat telah melalui serangkaian
campaign finance reform sejak adanya legislasi mengenai pendanaan kampanye di
tahun 1867. Di tahun 1972, lahir the Federal Election Campaign Act (FECA) yang
mewajibkan kandidat untuk membuka sumber-sumber kontribusi kampanye dan
pengeluaran kampanyenya serta pembentukan the Federal Election Commission
FEC a g salah satu fu gsi uta a a to ad i iste a d e fo e the FECA. 16
Kemudian di tahun 2002 lahir the Bipartisan Campaign Reform Act (BCRA) atau yang
le ih dike al se agai M Chai -Fei gold A t a g e e isi esa a do asi, aik
dala
e tuk ha d o e
aupu soft o e .
Di Kanada, sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini merupakan
ringkasan mengenai peraturan tentang partai dan pendanaan kampanye yang telah
mengatur transparansi, batasan pengeluaran, hingga batasan sumbangan.
Tabel 1. Ringkasan Peraturan tentang Partai dan Pendanaan Pemilu di Kanada
Sumber: Coletto, Jansen, Young (2011: 116)
16
The duties of the FEC, which is an independent regulatory agency, are to disclose campaign finance
information, to enforce the provisions of the law such as the limits and prohibitions on contributions, and to
oversee the public funding of Presidential elections. http://www.fec.gov/about.shtml diakses pada tanggal 29
April 2013.
7
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Di Inggris, The Corrupt and Illegal Practices Act (CIPA) telah disahkan pada
tahun 1883 yang kemudian menjadi pondasi perkembangan demokrasi model
Westminster karena mengintroduksi pembatasan pengeluaran kampanye yang
diperbolehkan di setiap konstituensi. Selanjutnya, di tahun 2000 CIPA diperluas dan
direvisi dalam Political Parties, Elections, and Referendum Act yang kemudian
melahirkan peraturan-peraturan tentang pembatasan pengeluaran kampanye seperti
terangkum dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Aturan Pembatasan Kampanye di Inggris
Sumber: www.electoralcommission.org
Sementara itu, untuk konteks demokrasi transisional di Eropa Timur yang
dulunya merupakan bagian dari negara komunis Uni Soviet, pengaturan mengenai
pendanaan politik juga semakin menunjukkan kemajuan yang berarti seperti tampak
pada tabel 4 di bawah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semakin meluasnya
cengkeraman para oligarchs, yaitu kaum super kaya baru, ke dalam kehidupan
kepartaian dan pemerintahan. Sudah umum di negara Eropa Timur, partai politik dan
pemerintah seringkali menjadi proxy atau kepanjangan tangan dari kepentingan para
oligarchs, dan karenanya kepentingan rakyat seringkali terkalahkan oleh vested
interests sempit mereka.
8
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 4. Regulasi Pendanaan Politik di Eropa Timur
Dari sejumlah contoh tersebut, tampak bahwa pengaturan masalah
pendanaan kampanye dan partai politik perlu semakin detail, sehingga dari sisi
penerimaan maupun pengeluaran dapat dilakukan audit yang dapat menjadi dasar
untuk penegakan hukum selanjutnya. Tentu saja beragam pengaturan tersebut
seringkali tidak mampu untuk mengimbangi perubahan dalam praktek transaksi
antara pendonor dan politisi, dan karenanya skandal seringkali masih terjadi di
negara-negara demokrasi maju sekalipun.
Transparansi dan Akuntabilitas di Politik: Tantangan Demokrasi Indonesia
Kekuatan dan pengaruh uang terhadap proses elektoral di Indonesia
tampaknya semakin intrusif dan massif. Di hampir semua pemilihan kepala daerah
maupun pemilihan legislatif dan presiden, sejumlah praktek-praktek money politics
dan vote buying seringkali terungkap di media massa maupun menjadi bukti sah di
pengadilan Mahkamah Konstitusi. Namun, tentu yang tidak terbuktikan secara legalformal jauh lebih banyak lagi. Beragam analisa menyebutkan bahwa proses politik
elektoral untuk mendapatkan suara dukungan pemilih sungguh mahal, sehingga
9
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
tidak jarang seorang kandidat bisa menghabiskan dana ratusan juta hingga puluhan
milyar rupiah.17
Dalam prakteknya, transparansi dan akuntabilitas keuangan partai maupun
untuk kampanya masihlah terselimuti banyak misteri dan kejanggalan. Dari beberapa
laporan audit keuangan partai politik seperti tampak di tabel 5 dan 6 untuk Partai
Golkar, tampak betapa adanya suatu fluktuasi yang sangat luar biasa ketika tahun
pemilu 2004. Dari sisi penerimaan, pada tahun-tahun bukan tahun pemilu,
penerimaan dari donasi korporasi maupun individual tampak jauh sekali
dibandingkan ketika tahun pemilu. Penting diingat, angka-angka ini adalah yang
dilaporkan, dan bisa jadi penerimaan maupun pengeluaran aktualnya lebih dari
sepuluh kali lipatnya, tergantung cara penghitungan dan komponen-komponen yang
dihitungnya.
Tabel 5. Ringkasan Laporan Keuangan Partai Golkar
2002
2003
2004
2005
Revenue/Income:
-Membership dues
-Government subsidy
-Corporate donations
-Individual donations
-Others
-Interests
Total revenue/income
510,000,000
1,715,000,000
24,162,057,235
1,987,864,878
28,374,922,113
600,950,722
500,000,000
6,000,000,000
350,000,000
4,277,994,828
11,728,945,550
555,700,210
25,431,092,600
73,714,910,500
34,135,156,870
389,875,179
134,226,735,359
1,723,715,000
2,667,000,000
3,943,939,950
5,268,454,715
2,667,000,000
30,910,781
16,301,020,446
Expenditure:
Dept. for winning election
Dept. of OKK*
Salary expense etc.
Others
Total expenditures
93,562,000
115,070,025
1,199,867,853
3,940,615,455
5,349,115,333
586,305,000
481,500,400
1,227,382,200
9,399,683,953
11,694,871,553
108,282,199,668
406,250,300
1,350,120,420
42,470,906,522
152,509,476,910
98,000,000
812,892,500
1,277,812,500
10,400,148,932
12,588,853,932
“u
e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al
Untuk lebih detailnya lagi, pada tabel 6 di bawah ini adalah perincian yang
dapat menggambarkan untuk apa saja pengeluaran Partai Golkar dalam kurun waktu
2004-5 yang laporan keuangannya telah disampaikan ke KPU. Tampak bahwa
penggunaan anggaran terbesar pada tahun pemilu 2004 adalah untuk beban
langsung departemen, dalam hal ini adalah untuk pemenangan pemilu. Sementara
itu aliran finansial ke pengurus di daerah sangatlah kecil untuk tahun pemilu, dan ini
jelas mengindikasikan adanya sentralisasi yang kuat dalam pendanaan dan
pengeluaran dana kampanye di Partai Golkar ini.
17
Kajian Pramono Anung Wibowo misalnya menyebutkan rata-rata anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mengeluarkan dana Rp 1,5-2 ilia sela a ka pa e sa pai de ga te pilih. Pe iksa, P a o o: Cegah
Ko upsi, Pa pol Pe lu Bada
Usaha,
Kompas online, 14 Maret 2013 diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/00084179/Pramono.Cegah.Korupsi..Parpol.Perlu.Badan.Usaha
pada tanggal 29 April 2013.
10
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 6. Dana Teraudit Partai Golkar 2004-5
2005
2004
Pendapatan dan Penghasilan
Sumbangan Tetap
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Lainnya
Penghasilan bunga
Jumlah
1,723,715,000
2,667,000,000
9,212,394,665
30,910,781
13,634,020,446
555,700,210
133,281,159,970
389,875,179
134,226,735,359
Beban dan Kerugian
Beban Langsung Departemen
Beban Pegawai
Beban Perjalanan Dinas
Beban Kendaraan
Beban Bangunan
Beban Inventaris
Bantuan ke Daerah
Bantuan dan Subsidi
Beban Umum Lain-Lain
Jumlah
1,851,442,500
1,277,812,500
1,441,289,700
44,327,400
300,134,500
84,067,200
2,949,836,000
269,500,000
4,370,444,132
12,588,853,932
110,439,920,918
1,350,120,420
554,868,109
75,760,069
303,704,738
98,211,120
489,510,000
30,272,904,235
8,924,477,301
152,509,476,910
Kenaikan (Penurunan) Aktiva Bersih
Aktiva Bersih Awal Tahun
Aktiva Bersih Akhir Tahun
“u
1,045,166,514
5,394,666,588
6,439,833,102
(18,282,741,551)
23,677,408,139
5,394,666,588
e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al
Adanya fluktuasi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang cukup
fantastis juga dilaporkan partai-partai lain. Tabel 7 di bawah ini memberikan
ringkasan mengenai jumlah asset, pendapatan, dan pengeluaran yang dilaporkan
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, dan Partai
Amanat Nasional (PAN) untuk kurun waktu tahun 2003 hingga 2005 dimana
pengaturan dan pengawasan keuangan kepartaian masih lemah. Dari tabel ini
tampak bahwa ada lonjakan penerimaan dan pengeluaran pada tahun pemilu,
dengan perubahan nilai asset yang dimiliki yang cenderung tetap rendah. Ini tentu
mengindikasikan bahwa partai-partai tersebut tidak memiliki upaya untuk
meningkatkan endowment maupun valuasi asset supaya partai bisa semakin otonom
secara finansial, tetapi masih beroperasi pada kebutuhan mendesak, yaitu untuk
pemenangan pemilu maka penggalangan dana digeber dan dilakukan secara instan,
dan ini tentunya membuka peluang korupsi maupun politik transaksional antara
bohir politik dengan oligarki partai politik.
11
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
Tabel 7. Ringkasan Keuangan Partai-partai di Indonesia
2003
2004
2005
PDIP
Total asset
Total revenue
Total expenditure
19,784,945,380
4,249,144,394
15,372,383,000
3,450,893,293
130,756,617,266
147,138,391,753
6,681,832,794
25,591,626,910
27,056,954,680
4,026,038,762
6,029,822,095
3,929,383,333
907,002,125
16,513,056,021
19,632,092,658
2,239,783,556
4,194,328,060
2,861,546,629
10,196,339,980.57
16,043,405,771.00
10,077,133,237.32
4,390,773,181.46
12,797,694,655.49
25,033,058,981.60
4,816,387,965.68
8,779,009,480.80
7,922,624,339.58
PD
Total asset
Total revenue
Total expenditure
PAN
Total asset
Total revenue
Total expenditure
“u
e : diolah da i Ha ja to, Politi a Pa t “u i al
Jika dilihat dari praktek singkat pelaporan keuangan kepartaian seperti
tampak di tabel-tabel di atas, masalah transparansi dan akuntabilitas dana kampanye
masihlah merupakan isu penting dalam upaya penyehatan demokrasi di Indonesia.
Dari laporan keuangan yang diserahkan saja, dengan mudah dapat dibaca bahwa
partai-partai politik di Indonesia kurang optimal dalam mendorong dirinya menjadi
institusi demokrasi yang kredibel dan akuntabel karena tidak ada political will yang
kuat untuk mengikuti prinsip tatakelola pemerintahan yang baik (good governance),
khususnya terkait prinsip transparansi dan akuntabilitas. Padahal tanpa mengikuti
kedua prinsip ini, pelembagaan partai akan selalu tersandera oleh kepentingankepentingan jangka pendek para oligarki partai.
Penutup
Mengingat banyaknya persoalan terkait dana kampanye pada khususnya dan
dana partai politik maupun dana politik pada umumnya, maka kajian yang terangkum
dalam Buku Basa-Basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip Transparansi dan
Akuntabilitas Peserta Pemilu (2013) merupakan pengisi celah kekosongan kajian
tentang hal ini. Dana kampanye merupakan isu sensitif dan sulit untuk dikaji karena
minimnya ketersediaan data dan tertutupnya pengurus partai politik mengenai hal
ini. Karena itu, buku ini perlu diapresiasi untuk sumbangannya yang penting dalam
memberikan pemahaman mengenai persoalan dana kampanye di Indonesia dari
aspek legal-formal, diskursus mengenai pengaturan dan pembatasan untuk
penerimaan dan pengeluaran kampanye, serta sejumlah rekomendasi yang mestinya
dimasukkan sebagai dalam daftar inventarisasi masalah untuk revisi undang-undang
12
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013
tentang partai politik maupun pemilihan umum berikutnya. Sejumlah temuan dan
rekomendasi dalam buku ini akan membantu tidak saja pengaturan dana kampanye
supaya lebih transparan dan akuntabel, tapi jauh lebih penting lagi adalah untuk
mewujudkan pelembagaan partai politik yang baik sehingga demokrasi semakin solid
dan juga terlembagakan.
Akhirnya, campaign, party, and political financing adalah masalah demokrasi
serius di semua negara, dan karenanya pembahasan untuk menuju perbaikan tata
aturan dan tata kelola mengenai hal ini perlu terus didorong. Hal ini karena konteks
masing-masing negara demokrasi yang sangat berbeda dan khas, sehingga sulit untuk
mencari formulasi satu dan seragam mengenai detail aturan dan mekanisme terkait
dana kampanye. Namun, tentu saja norma-norma universal yang telah diterima
umum mengenai prinsip-prinsip tata kelola kepartaian dan juga penerimaan dan
penggunaan dana publik senantiasa harus didorong untuk bisa menjadi bagian dari
internal values of political party. Sebab, pada akhirnya aturan tanpa dilandasi budaya
maupun etika hanyalah akan melahirkan penyimpangan dan politisasi lebih jauh. * *
Jakarta, 29 April 2013
13
Harjanto-Dana Kampanye-29 April 2013