Utami, Rahayu

KARAKTERISASI KOMPONEN PEMBENTUK RASA
YANG TERDAPAT DALAM EKSTRAK LARUT AIR
TEMPE TERFERMENTASI LANJUT

RAHAYU UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Komponen
Pembentuk Rasa yang Terdapat dalam Ekstrak Larut Air Tempe Terfermentasi
Lanjut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Rahayu Utami
F251100201

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
RAHAYU UTAMI. Karakterisasi Komponen Pembentuk Rasa yang Terdapat
dalam Ekstrak Larut Air Tempe Terfermentasi Lanjut. Dibimbing oleh
CHRISTOFORA HANNY WIJAYA dan HANIFAH NURYANI LIOE.
Tempe merupakan produk fermentasi kedelai di Indonesia. Fermentasi
tempe biasanya dilakukan selama 24-48 jam. Tempe dikatakan sebagai tempe
terfermentasi lanjut setelah lewat 48 jam fermentasi. Tempe terfermentasi lanjut
dikenal dengan sebutan tempe semangit dan tempe bosok. Tempe semangit
merupakan tempe terfermentasi lanjut dengan lama fermentasi 48-72 jam setelah
fermentasi tempe segar, sedangkan tempe bosok merupakan tempe terfermentasi
lanjut dengan lama fermentasi lebih dari 72 jam setelah tempe diproduksi. Tempe
terfermentasi lanjut mempunyai warna coklat, aroma tajam (pungent odor), dan

tekstur yang lunak dibandingkan dengan tempe segar. Tempe terfermentasi lanjut
dikenal oleh masyarakat Jawa dapat menyedapkan masakan karena memiliki rasa
umami.
Tempe terfermentasi lanjut dibuat dengan beberapa lama fermentasi yaitu
0, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah tempe segar. Tempe terfermentasi lanjut
kemudian dibuat menjadi ekstrak larut air. Ekstrak larut air ini dianalisis total
protein, total asam, total gula, nilai pH, komposisi total asam amino, asam amino
bebas, profil HPLC dan analisis faktor dilusi rasa umami. Analisis statistik dengan
uji ANOVA dilakukan untuk parameter total protein, total asam, total gula, dan
nilai pH. Hasil analisis ANOVA menyatakan bahwa lama fermentasi tidak
berbeda nyata terhadap total protein dan nilai pH, tetapi berbeda nyata terhadap
total asam dan total gula.
Asam amino bebas dikarakterisasi berdasarkan rasa dan nilai aktivitas
rasa. Berdasarkan nilai aktivitas rasa, rasa yang dominan dari ekstrak larut air
adalah umami dan pahit. WSE dengan lama fermentasi 72 jam memiliki nilai
aktivitas rasa umami lebih tinggi dibandingkan rasa pahit. Rasio rasa umami dan
manis terhadap rasa pahit WSE berkisar antara 1.2-1.6. Nilai rasio rasa tersebut
berkorelasi positif dengan nilai faktor dilusi rasa umami (r = 0.843 dan p = 0.002).
Nilai faktor dilusi rasa umami merupakan hasil uji sensori larutan WSE yang
memiliki konesntrasi 5 kali lebih pekat. Rasio tertinggi 1.6 dimiliki oleh WSE

dengan lama fermentasi 72 jam yang memiliki faktor dilusi rasa umami tertinggi
yaitu 256. Intensitas rasa umami dari tempe terfermentasi lanjut 72 jam ditentukan
oleh keberadaan asam amino bebas dengan rasa umami dan pahit.
Secara umum profil HPLC menunjukkan komposisi komponen yang
terdapat dalam fraksi WSE. Fraksi 2 dari setiap WSE tempe terfermentasi lanjut
mengandung komponen hidrofilik lebih dominan dibandingkan komponen
hidrofobik, sedangkan pada Fraksi 3 dari setiap WSE tempe terfermentasi lanjut
komponen hidrofobik lebih dominan. Fraksi yang memiliki komponen hidrofilik
lebih dominan memiliki intensitas rasa umami lebih tinggi.
Kata kunci: rasa pahit, asam amino bebas, rasa umami, tempe terfermentasi
lanjut, ekstrak larut air

SUMMARY
RAHAYU UTAMI. Taste Compounds in Water Soluble Extract of Overfermented Tempe. Supervised by CHRISTOFORA HANNY WIJAYA and
HANIFAH NURYANI LIOE.
Tempe is a fermented soybean food in Indonesia. Tempe was commonly
produced about 24-48 hours fermentation. Tempe is referred as over-fermented
tempe after the 48 hours fermentation has been completed. The over-fermented
tempe known as tempe semangit and tempe bosok. Tempe semangit is overfermented tempe (slightly overriped) which is obtained by lengthening the
fermentation 48-72 hours longer than fresh tempe fermentation, whereas tempe

bosok (overripe tempe) needs more than 72 hours of over-fermentation. Therefore,
over-fermented tempe has a brown color, pungent odor, and soft textures
compared to the white compact cake of fresh tempe. Over-fermented tempe is
popular in Javanese culture as an umami seasoning in traditional foods.
Over-fermented tempe have been prepared by several different periods
including : 0, 24, 48, 72 and 96 hours after the tempe production. Over-fermented
tempe was extracted to obtain water soluble extracts (WSEs). The water soluble
extracts (WSEs) were analyzed for crude proteins, total acids, total sugars, pH
value, total amino acids, free amino acids, HPLC profile, taste activity value and
umami taste dilution factors. Analysis of variance (ANOVA) was performed on
crude protein, total acids, total sugars and pH value. As shown by ANOVA, crude
protein and pH value were not statistically different between the fermentation
periods, but were statistically different on total acids and total sugars.
Free amino acids were characterized for their tasting and taste activity
values. Based on the taste activity value, the taste of WSEs was umami and bitter.
WSE from sample with 72 hours over-fermentation had umami taste activity value
higher than bitter taste activity. The ratios of umami and sweet taste activity value
to bitter taste activity were found between 1.2-1.6 in the mentioned WSE. There
was a positive correlation between the taste rasio and umami taste dilution factor
(r = 0.843 dan p = 0.002). The umami taste dilution factor was the result of

sensory analysis of 5 times concentrated WSE. The highest ratio 1.6 belongs to
WSE with 72 hours over-fermentation which had the highest dilution factor 256.
Umami taste intensity WSE with 72 hours fermentation was determined with the
existence of umami and bitter tasting free amino acids.
In general HPLC profile indicated the composition in WSE’s fractions.
Fraction 2 of each WSE of over-fermented tempe dominantly consisted of
hydrophilic components, in contrast Fraction 3 of each WSE of over-fermented
tempe was dominated by hydrophobic components. Fraction dominantly consisted
of hydrophilic components having a higher intensity of umami taste.
Keywords: bitter taste, free amino acids, umami taste, over-fermented tempe,
water soluble extract

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISASI KOMPONEN PEMBENTUK RASA
YANG TERDAPAT DALAM EKSTRAK LARUT AIR
TEMPE TERFERMENTASI LANJUT

RAHAYU UTAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Made Astawan MS


Judul Tesis : Karakterisasi Komponen Pembentuk Rasa yang Terdapat dalam
Ekstrak Larut Air Tempe Terfermentasi Lanjut
Nama
: Rahayu Utami
NIM
: F251100201

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir C Hanny Wijaya MAgr
Ketua

Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan


Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc

Tanggal Ujian: 23 Desember 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Karakterisasi Komponen Pembentuk Rasa yang Terdapat dalam
Ekstrak Larut Air Tempe Terfermentasi Lanjut
Nama
: Rahayu Utami
: F251100201
NllvI

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir C Hanny Wijaya MAgr
Ketua

Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc

Tanggal Ujian: 23 Desember 2013

Tanggal Lulus:

2 1 MAR 7" セ@

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 sampai Juli 2013 ini
adalah tempe terfermentasi lanjut, dengan judul Karakterisasi Komponen
Pembentuk Rasa yang Terdapat dalam Ekstrak Larut Air Tempe Terfermentasi
Lanjut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir C Hanny Wijaya
MAgr dan Ibu Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe MSi selaku pembimbing atas
kepercayaan, ilmu, dan bimbingan yang diberikan, serta Prof Dr Ir Made Astawan
MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran yang
konstruktif. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
Prof Yasuyuki Hashidoko beserta seluruh staf dan teman di Laboratorium
Ecological Chemistry Faculty of Agriculture Hokkaido University Jepang, Dirjen
Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang
telah memberikan dana penelitian melalui program Hibah Kompetensi tahun
2012, seluruh civitas akademika Universitas Sahid Jakarta khususnya Jurusan
Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian, seluruh staf pengajar
Program Studi Ilmu pangan, dan laboran Laboratorium Departemen ITP IPB.
Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu, adik, serta
seluruh keluarga atas doa, motivasi, dan kasih sayangnya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar IPN 2010 khususnya Iza Ayu

Saufani, rekan sebimbingan khususnya Irdha Mirdhayati dan Bernadetha Ratna
Eka Sari, teman-teman Megakost, sahabat dan rekan-rekan lainnya yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan inspirasi, semangat,
motivasi, doa, dan kebersamaan kepada penulis selama kuliah dan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Rahayu Utami

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tempe
Tempe Terfermentasi Lanjut
Perubahan Selama Fermentasi Tempe
Senyawa Flavor pada Tempe
Karakterisasi Senyawa Rasa
Profil Senyawa Rasa Umami
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Pembuatan tempe terfermentasi lanjut
Pembuatan ekstrak larut air
Fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel
Karakterisasi kimia ekstrak larut air tempe terfermentasi lanjut
Karakterisasi sensori ekstrak larut air tempe terfermentasi lanjut
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempe Terfermentasi Lanjut
Ekstrak Larut Air (WSE)
Karakterisasi Kimia Ekstrak larut Air
Fraksinasi dengan kromatografi gel Sephadex G-25 medium
Karakterisasi Sensori
Profil HPLC Fraksi Hasil Fraksinasi WSE
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xiv
xiv
xv
1
1
2
3
3
3
4
5
6
9
10
13
13
13
13
14
14
14
14
15
19
21
21
22
23
30
31
33
38
38
44
61

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14

Hasil sensori dan komponen volatil tempe dengan lama fermentasi 2,5
dan 8 hari
Senyawa uji yang digunakan untuk uji rasa dasar pada seleksi panelis
Senyawa uji yang digunakan untuk uji segitiga rasa pada seleksi panelis
Berat tempe terfermentasi lanjut, berat ekstrak larut air (WSE) dan
rendemen tempe terfermentasi lanjut
Hasil analisis total protein WSE tempe terfermentasi lanjut yang
dihasilkan dari 600 g tempe segar
Hasil analisis total asam WSE tempe terfermentasi lanjut yang
dihasilkan dari 600 g tempe segar
Hasil analisis nilai pH WSE tempe terfermentasi lanjut yang dihasilkan
dari 600 g tempe segar
Hasil analisis total gula WSE tempe terfermentasi lanjut yang dihasilkan
dari 600 g tempe segar
Komposisi total asam amino WSE tempe terfermentasi lanjut
Komposisi asam amino bebas WSE tempe terfermentasi lanjut
Komposisi residu asam amino WSE tempe terfermentasi lanjut
Nilai ambang batas asam amino bebas
Rasio aktivitas rasa asam amino bebas rasa umami-manis terhadap rasa
pahit yang terkandung dalam WSE dari tempe terfermentasi lanjut
dengan lama fermentasi yang berbeda
Nilai faktor dilusi rasa umami dari WSE tempe terfermentasi lanjut dan
fraksinya dari hasil fraksinasi dengan kolom Sephadex G-25 medium
(2.0 × 90.0 cm)

7
19
20
22
23
24
24
25
26
27
27
29

30

32

DAFTAR GAMBAR
1

Profil HPLC ekstrak larut air keju yang dibuat dari susu : sapi (cow),
biri-biri (ewe) dan kambing (goat)
2 Profil HPLC dari kecap koikuchi dan hasil analisis dilusi rasanya
3 Tempe terfermentasi lanjut
4 Komposisi asam amino bebas ekstrak larut air dari tempe terfermentasi
lanjut menurut karakteristik rasa
5 Komposisi asam amino bebas ekstrak larut air dari tempe terfermentasi
lanjut menurut nilai aktivitas rasa
6 Hasil fraksinasi WSE menggunakan kromatografi gel kolom Sephadex
G-25 medium
7 Profil HPLC hasil fraksinasi WSE dari tempe dengan 0 jam fermentasi
lanjut (tempe segar)
8 Profil HPLC hasil fraksinasi WSE dari tempe dengan 96 jam fermentasi
lanjut
9 Profil HPLC Fraksi 2 dari WSE tempe terfermentasi lanjut (0-96 jam)
untuk melihat fraksi hidrofilik hasil fraksinasi Sephadex G-25
10 Profil HPLC Fraksi 3 WSE tempe terfermentasi lanjut (0-96 jam) untuk
melihat fraksi hidrofobik hasil fraksinasi Sephadex G-25

11
12
21
28
29
31
34
35
36
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Nilai aktivitas rasa dari asam amino bebas yang terdapat dalam WSE
tempe terfermentasi lanjut yang dihasilkan dari 600 gram tempe segar
Kuisioner pre-screening
Form seleksi panelis (uji rasa sederhana)
Form seleksi panelis (uji segitiga)
Form pelatihan panelis (uji segitiga)
Form analisis dilusi rasa
Hasil analisis sidik ragam (Anova) RAL satu faktor
Kromatogram larutan standar total asam amino
Kromatogram total asam amino sampel WSE dari tempe dengan 0 jam
fermentasi lanjut
Kromatogram profil HPLC hasil fraksinasi sampel WSE dari tempe
dengan 0 jam fermentasi lanjut
Kromatogram profil HPLC hasil fraksinasi sampel WSE dari tempe
dengan 96 jam fermentasi lanjut
Kromatogram profil HPLC Fraksi 2 dari WSE tempe terfermentasi lanjut
(0-96 jam)
Kromatogram profil HPLC Fraksi 3 dari WSE tempe terfermentasi lanjut
(0-96 jam)

44
45
48
49
50
51
52
55
56
57
58
59
60

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe kedelai atau sering hanya disebut “tempe” saja merupakan salah satu
produk fermentasi kedelai tradisional Indonesia yang memiliki flavor khas.
Tempe kedelai sudah menjadi menu sehari-hari yang sangat populer bagi
masyarakat Indonesia, selain karena rasanya yang enak juga kandungan gizinya
yang tidak kalah dengan produk olahan daging (Astuti et al. 2000). Di Indonesia,
tempe juga dapat dibuat dari bahan selain kedelai, misalnya tempe gembus dibuat
melalui fermentasi pada substrat residu tofu, tempe bongkrek dibuat dari kelapa,
dan tempe benguk dibuat dari kacang koro benguk (Winarno 1985). Proses
fermentasi selama pembuatan tempe menghasilkan komponen pembentuk flavor
tempe yang khas, baik komponen flavor yang berkontribusi terhadap rasa maupun
aroma. Selama fermentasi tempe, mikroba berperan penting dalam menghasilkan
mutu organoleptik tempe karena mikroba (kapang) dapat menghidrolisis protein
menjadi asam amino bebas dan peptida secara enzimatik (Handoyo dan Morita
2006). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa asam amino bebas dan peptida
memiliki peranan penting sebagai senyawa pembentuk rasa, khususnya rasa
umami, pada produk fermentasi. Rasa umami merupakan rasa dasar kelima yang
identik dengan rasa MSG (monosodium glutamate). Rasa umami yang dihasilkan
pada produk fermentasi lebih kuat daripada produk yang belum mengalami
fermentasi. Fermentasi lanjut yang dilakukan pada produk-produk olahan kedelai
biasanya bertujuan untuk meningkatkan rasa umaminya, contohnya pada makanan
tradisional Jepang seperti miso dan kecap kedelai. Rasa umami pada produk
tersebut disebabkan adanya pelepasan asam amino glutamat dari protein selama
fermentasi.
Pemanfaatan tempe di Indonesia tidak hanya dalam bentuk segar saja
melainkan dalam bentuk tempe terfermentasi lanjut. Masyarakat Jawa, khususnya
Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur mengenal tempe terfermentasi lanjut
ini dengan sebutan “tempe semangit” dan “tempe bosok”. Tempe semangit adalah
tempe segar yang mengalami fermentasi berlanjut pada tahap awal, dengan waktu
fermentasi satu sampai dua hari sejak tempe segar. Sedangkan tempe bosok
diperoleh jika tempe semangit mengalami fermentasi berlanjut dengan waktu
fermentasi tiga sampai empat hari sejak tempe segar (Santosa 1996). Fermentasi
lanjut ini bertujuan untuk meningkatkan rasa umaminya.
Tempe terfermentasi lanjut ini mempunyai efek menyedapkan bila dicampur
di dalam masakan. Citarasa yang khas pada masakan tersebut dimungkinkan
berasal dari asam amino hasil hidrolisis protein kacang kedelai selama proses
fermentasi tempe. Citarasa ini dapat berbeda tergantung pada waktu
fermentasinya. Pada fermentasi saus tiram, rasa sedap berasal dari senyawa asam
amino dan peptida yang terbentuk karena adanya hidrolisis enzimatik protein
selama fermentasi (Je et al. 2005). Rasa douchiba (produk fermentasi dari Cina)
berasal dari asam amino bebas dan fraksi dengan berat molekul rendah yang
terbentuk selama proses fermentasi (Qin dan Ding 2007). Komponen dengan berat
molekul rendah juga dapat berkontribusi terhadap rasa produk fermentasi lain
seperti keju (Molina et al. 1999); miso, pasta kedelai Jepang (Ogasawara et al.

2
2006); kecap Jepang (Lioe et al. 2007); dan doenjang, pasta kedelai Korea (Rhyu
dan Kim 2011).
Peningkatan total asam amino bebas dalam tempe terjadi seiring dengan
bertambahnya waktu fermentasi (Handoyo dan Morita 2006). Dalam penelitian
tersebut juga terungkap jumlah asam amino bebas meningkat 3 sampai 10 kali
dibandingkan dengan kontrol (tempe tanpa fermentasi). Dalam hal ini kapang R.
oligosporus menghidrolisis protein kedelai menjadi asam amino dan peptida
pendek. Lebih lanjut Handoyo dan Morita (2006) menyebutkan bahwa asam
amino bebas paling banyak terbentuk pada tempe yang dibuat dengan lama
fermentasi 24 sampai 72 jam. Asam amino glutamat bebas memiliki jumlah
tertinggi kedua setelah asam amino lisin pada tempe yang difermentasi selama 72
jam sebesar 147.0 mg/100g kedelai. Asam amino glutamat beserta dipeptida yang
mengandung asam amino glutamat pada ujung N terminal telah diketahui
memiliki rasa umami.
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa tempe terfermentasi lanjut
memiliki citarasa yang khas dan dapat digunakan sebagai penyedap masakan,
namun karakteristik komponen pembentuk rasa tempe terfermentasi lanjut
tersebut belum diketahui. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan tempe
terfermentasi lanjut adalah penelitian pembuatan tepung tempe bosok (Yudianto
1997), penelitian yang mengungkapkan komponen volatil flavor tempe dengan
lama fermentasi 2, 5 dan 8 hari dengan menggunakan metode distilasi uapekstraksi cair-cair simultan (Syahrial dan Muchalal 2001), serta konsentrasi asam
amino bebas selama 0, 24, 48 dan 72 jam fermentasi (Handoyo dan Morita 2006).
Karakterisasi komponen pembentuk rasa pada tempe terfermentasi lanjut
ini perlu diteliti di sini, sehingga dapat diketahui komponen-komponen apa saja
yang berperan penting membentuk rasa tempe terfermentasi lanjut. Dengan
demikian hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi
pemanfaatan flavor, terutama flavor umami yang berasal dari komoditas lokal.
Adapun pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengujian kimia
termasuk komposisi asam amino dan pengujian sensori. Analisis komposisi asam
amino dilakukan menggunakan HPLC untuk menentukan total asam amino dan
asam amino bebas. Pengujian sensori dilakukan dengan analisis dilusi rasa (taste
dilution analysis). Analisis dilusi rasa telah banyak dilakukan untuk menentukan
faktor dilusi dari komponen rasa pahit (Frank et al. 2001) dan umami (Kim dan
Lee 2003).

Perumusan Masalah
Proses fermentasi lanjut pada tempe dapat meningkatkan rasa umami
tempe. Hal ini disebabkan adanya hidrolisis protein menjadi asam amino selama
proses fermentasi. Pada proses fermentasi tersebut dihasilkan peptida dan asam
amino glutamate memiliki rasa umami. Asam amino glutamat bebas dalam bentuk
garam natrium (MSG) memiliki rasa umami (Lioe et al. 2005). Nilai ambang
batas rasa umami dari dipeptida adalah sebesar 1.5-3.0 mg mL-1 sedangkan asam
glutamat bebas sebesar 0.3 mg mL-1 (Kato et al. 1989) atau ambang batas rasa
umami dipeptida 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan monosodium glutamat
(MSG). Dengan demikian adanya asam glutamat bebas lebih mudah dideteksi

3
oleh indera pencecap sebagai rasa umami dibandingkan peptida. Untuk
mengetahui senyawa yang berhubungan dengan rasa umami tempe terfermentasi
lanjut, maka kandungan peptida dan asam amino tempe tersebut harus diketahui
kemudian dikaitkan dengan hasil uji sensorinya. Untuk mendapatkan peptida dan
asam amino bebas dilakukan ekstraksi dari tempe terfermentasi menjadi ekstrak
larut air (water soluble extract). Kemudian ekstrak larut air tempe terfermentasi
lanjut difraksinasi menggunakan kolom Sephadex G-25 medium.
Rasa yang terbentuk pada produk fermentasi selain tergantung pada
komposisi asam amino dan peptida, juga terbentuk karena ada interaksi antar
asam amino dan peptida yang mempunyai rasa berbeda. Komponen asam amino
dan peptida dapat terdeteksi oleh indera pencecap bila terdapat dalam bentuk larut
air. Oleh karena itu analisis komponen pembentuk rasa tempe terfermentasi lanjut
dilakukan pada bentuk ekstrak larut airnya (WSE). Penelitian ini selain meneliti
komponen asam amino pembentuk rasa tempe terfermentasi lanjut juga
mempelajari tentang hubungan antara komponen asam amino dan karakteristik
rasa pada tempe fermentasi lanjut yang dibuat dalam bentuk ekstrak larut air
(water soluble extract, WSE).

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi kimia dan sensori
ekstrak larut air (WSE) dari tempe terfermentasi lanjut, serta mengevaluasi
keberadaan komponen penyumbang rasa umami. Penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan referensi pemanfaatan flavor umami dari komoditas lokal yang
sebelumnya dikenal memiliki kemampuan fungsional.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tempe
Tempe merupakan produk berwarna putih dengan tekstur kompak, terbuat
dari kedelai kupas yang direbus melalui proses fermentasi menggunakan kapang
Rhizopus sp (Codex 2013). Warna putih disebabkan adanya miselia kapang yang
tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur kompak juga disebabkan oleh
miselia kapang yang menghubungkan biji-biji kedelai tersebut.
Tempe di Indonesia dibuat dengan menginokulasikan kedelai dengan
kapang Rhizopus sp, terutama R. oligosporus, R. oryzae, R. arrhizus, dan R.
stolonifer. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan kultur murni R.
oligosporus, tetapi mereka menggunakan campuran dari kultur Rhizopus sp.
Selain itu, tidak ada standar proses dalam pembuatan tempe, sehingga terdapat
banyak variasi dalam pembuatan tempe di beberapa daerah dan produsen tempe
(Astuti 2000). Pembuatan tempe terdiri dari beberapa tahap, yaitu perendaman,
perebusan, inokulasi dengan mikroba, dan inkubasi pada suhu ruang.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa tempe kedelai adalah produk fermentasi
yang dibuat oleh masyarakat Jawa Tengah sekitar tahun 1 700an. Kata tempe

4
ditemukan pada Serat Centhini jilid 3 dan dipertegas lagi dalam Serat Centhini
jilid 12 bahwa tempe dibuat dari kedelai (Sapuan 1996). Tempe tidak hanya
dibuat di Indonesia saja. Penyebaran tempe di luar negeri pada awalnya dimulai di
benua Eropa. Tempe di Eropa pertama kali diperkenalkan di Belanda pada tahun
1895 oleh Prinseen Gerling, seorang ahli mikrobiologi yang mempelajari ilmu
tentang tempe kepada imigran Indonesia. Tempe diperkenalkan oleh Yap Bwee
Hwa di Amerika pada tahun 1958 (Mulyadi 2010). Sejak tahun 1946 tempe mulai
populer di Belanda dan pada tahun 1984 tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa,
dan di Amerika terjadi peningkatan jumlah perusahaan tempe dari 13 perusahaan
di tahun 1975 menjadi 53 perusahaan pada tahun 1984 (Karyadi 1996). Masih
menurut Karyadi 1996, selain di Eropa dan Amerika tempe juga terkenal di
Jepang. Kiku Murata yang merintis dan mempopulerkan tempe di Jepang yang
kemudian menjadi Guru Besar di Universitas Osaka. Kiku Murata merupakan
salah satu pendiri Japanese Society of Tempe yang bertujuan antara lain
mempopulerkan tempe di Jepang serta meneliti lebih lanjut keunggulan tempe
sebagai makanan sehat. Pada tahun 1984 tercatat 8 perusahaan besar di Jepang
memproduksi tempe secara komersial.
Tempe berhasil disahkan sebagai new work item di CAC pada sidang 34th
session of Codex Alimentarius Commission (CAC) di Jenewa 9 Juli 2011 lalu,
(Republika Online 2011). Indonesia menjadi koordinator pembuatan standar
tempe di Codex Alimentarius Commission dan saat ini draft standar tersebut
sudah memasuki tahap 5 dalam sidang Codex Tahun 2013.
Penelitian tentang tempe juga sudah banyak dilakukan oleh peneliti luar
negeri antara lain Baumann dan Bisping (1995) meneliti tentang aktifitas
proteolitis selama fermentasi tempe. Heskamp dan Barz (1998) meneliti tentang
ekspresi enzim protease oleh Rhizopus sp selama fermentasi tempe kedelai.
Handoyo dan Morita (2006) meneliti tentang struktur dan sifat fungsional tempe
dengan Rhizopus oligosporus. Feng et al. (2007) meneliti tentang komponen
volatil oleh Rhizopus oligosporus selama fermentasi tempe kedelai dan barley.

Tempe Terfermentasi Lanjut
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980) fermentasi tempe dibedakan menjadi
beberapa fase, yaitu : tempe koro/underripe (dihasilkan kurang lebih 4-6 jam
sebelum menjadi tempe), tempe/mature (dihasilkan setelah inkubasi selama 24-48
jam), tempe semangit/slightly overripe adalah tempe yang dihasilkan 2-3 hari
setelah menjadi tempe, dan tempe bosok/overripe (dihasilkan kurang lebih 3-5
hari setelah menjadi tempe). Sudarmadji 1977 membedakan fermentasi tempe
menjadi tiga fase, yaitu :
a. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) yaitu fase dimana terjadi
kenaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan kapang yang
cepat dengan terbentuknya miselia kapang pada permukaan biji kedelai.
b. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe
menjadi tempe segar yang siap dikonsumsi. Pada fase ini terjadi penurunan
suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan kapang hampir
tetap atau bertambah sedikit, terbentuk flavor spesifik tempe yang optimal dan
tekstur yang lebih kompak.

5
c. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) yaitu fase
dimana terjadi kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas,
pertumbuhan kapang menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan kapang
terhenti. Perubahan flavor karena degradasi protein sehingga terbentuk amonia.
Tempe terfermentasi lanjut berperan penting dalam meningkatkan citarasa
dari masakan tradisional Jawa, dimana tempe tersebut dapat memberikan rasa dan
aroma khas dalam masakan (Gunawan-Putri et al. 2012). Tempe terfermentasi
lanjut dikenal oleh masyarakat dengan nama tempe semangit dan tempe bosok.
Tempe terfermentasi lanjut telah lama dikenal oleh masyarakat Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan catatan pada serat Centhini jilid II, yang menyebutkan asem
sambel lethokan yang dibuat dari bahan dasar tempe yang telah mengalami
fermentasi lanjut. Sampai saat inipun sambel lethok atau disebut pula sambel
tumpang masih sering ditemui dalam menu masakan masyarakat Jawa (Astuti
1994). Sambel tumpang dibuat dari tempe semangit, santan, bumbu (bawang
putih, bawang merah, cabe merah besar, cabe rawit, kencur, kemiri, gula dan
garam), daun salam, lengkuas, daun jeruk. Sambel tumpang disajikan dengan nasi
yang diatasnya diberi aneka sayuran yang telah direbus terlebih dahulu lalu
disiram dengan sambal tumpang dan diberi peyek sebagai pelengkap, bisa peyek
kacang atau peyek teri. Sambel tumpang dapat juga disajikan dengan bubur nasi.
Yudianto 1997, melakukan survey tentang peran tempe terfermentasi
lanjut, hasilnya 70% responden menyatakan bahwa tempe tersebut mempunyai
efek menyedapkan bila dicampur di dalam masakan. Hal ini karena adanya
hidrolisis enzimatik yang terjadi selama proses fermentasi, sehingga terbentuk
senyawa asam amino dan peptida yang dapat berkontribusi terhadap karakteristik
rasa (Je et al. 2005). Beberapa produk fermentasi garam yang berasal dari kedelai
seperti doenjang (Korea), douchiba (Cina), dan miso (Jepang) menghasilkan
peptida yang dapat digunakan sebagai peningkat rasa (taste enhancer). Asam
amino bebas dan fraksi peptida dengan berat molekul rendah pada Douchiba
(makanan fermentasi dari Cina) terbentuk selama proses pematangan fermentasi,
proses tersebut menyebabkan terbentuknya rasa umami sebagai interaksi antar
komponen rasa (Qin dan Ding 2007).

Perubahan Selama Fermentasi Tempe
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab
fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat
menyebabkan perubahan sifat pangan, sebagai akibat pemecahan kandungankandungan bahan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi tersebut terutama
tergantung kepada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba
(Winarno 1980).
Makanan-makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai
gizi yang lebih tinggi daripada nilai gizi bahan asalnya. Hal ini tidak hanya
disebabkan karena mikroba bersifat katabolik sehingga mampu memecah
komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana untuk
memenuhi kebutuhan mikroba, tetapi juga dapat mensintesis beberapa vitamin
yang kompleks dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya, misalnya produksi dari

6
beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A
(Winarno 1980).
Perubahan kimia protein kedelai terjadi selama proses fermentasi tempe.
Enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam amino,
sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0.5 menjadi 2.5%. Degradasi protein ini
juga menyebabkan peningkatan pH. Nilai pH tempe yang baik berkisar antara
6.3-6.5 (Hidayat et al. 2006).
Fudiyansyah et al. (1995) menjelaskan bahwa selama proses fermentasi
ini, kedelai akan mengalami perubahan fisik dan kimia menjadi tempe.
Komponen karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat pada kedelai akan
dipecah menjadi monosakarida, asam lemak dan peptida atau asam amino.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika
pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hasil hidrolisis protein yang
digunakan oleh kapang sebagai sumber karbon hanya 5%, sisanya terakumulasi
dalam bentuk peptida dan asam amino (Hidayat et al. 2006).
Selain asam amino dan peptida, kapang Rhizopus mampu
mentransformasi senyawa isoflavon glikosida menjadi isoflavon aglikon selama
fermentasi tempe (Purwoko et al. 2001). Tempe dan miso mengandung isoflavon
aglikon tertinggi dibandingkan derivat fermentasi kedelai lainnya dikarenakan
kapang Rhizopus dan Aspergillus dapat mengubah isoflavon glikosida menjadi
aglikon lebih kuat daripada mikroba lainnya (Coward et al. 1993). Isoflavon
aglikon diketahui memiliki aktivitas antioksidatif. Mekanisme antioksidatif
isoflavon aglikon adalah memangsa radikal bebas oleh gugus fenolat. Senyawa
isoflavon glikosida tersebut yaitu genistin, daidzin dan glycitin, sedangkan gugus
aglikonnya masing-masing disebut genistein, daidzein dan glycitein (Friedman
dan Brandon 2001). Pada tempe selain senyawa glikosida dan gugus aglikon
tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) yang
mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan isoflavon dalam kedelai
(Astawan 2009). Dengan demikian, tempe juga bermanfaat sebagai antioksidan
karena memiliki senyawa yang memiliki aktivitas antioksidatif.
Asam lemak tidak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids) meningkat
selama proses fermentasi tempe terutama asam oleat dan linolenat
(Astawan 2009). Peningkatan kandungan asam lemak bebas pada tempe
menunjukkan bahwa selama fermentasi terdapat hidrolisis ikatan ester asam lemak
yang dikatalisis oleh enzim lipase. Enzim lipase memulai aktivitasnya di awal
fermentasi yang ditandai dengan meningkatnya asam lemak bebas yang terdeteksi
setelah 12 jam fermentasi. Monogliserida sebagai hasil perombakan lipase
mencapai 80% pada akhir fermentasi tempe (Deliani 2008).

Senyawa Flavor pada Tempe

Senyawa Volatil
Kedelai dapat menghasilkan senyawa volatil seperti 3-heksanon, (E)-2heksenal, 1-heksanol, dan 3-oktanon pada awal proses pertumbuhan biji kedelai
serta heksanal-(E)-2-heptenal, (E)-2-oktenal, etanol, 1-heksanol dan 1-okten-3-ol

7
selama proses pertumbuhan biji kedelai (Boue et al. 2003). Kedelai mempunyai
rasa langu karena adanya enzim lipoksigenase yang mengkatalisis oksidasi lemak
kedelai menjadi senyawa volatil seperti heksanal dan heksanol, tetapi dengan
fermentasi kedelai menjadi tempe oleh R.oligosporus terbentuk aroma jamur yang
diinginkan (Nout dan Rombouts 1990). Senyawa volatil 1-octen-3-ol dan 3oktanon dihasilkan oleh kapang Penicillium spp, Aspergillus spp, dan Fusarium
spp. Senyawa 1-octen-3-ol dihasilkan dari asam linoleat karena adanya enzim
lipoksigenase dan hidroksiperoksida liase (Chitarra et al. 2004).
Aroma jamur ditemukan setelah proses fermentasi pada fermentasi tempe.
Hal ini terjadi karena adanya penghilangan senyawa heksanol dan berkurangnya
senyawa heksanal (komponen bau langu), adanya kedua komponen tersebut
menutupi persepsi sensori dari 3-oktanon dan 1-okten-3-ol. Feng et al. (2007)
mengindikasikan bahwa komponen bau langu dapat hilang selama proses
fermentasi kapang. Senyawa volatil yang terdapat pada tempe antara lain
asetaldehid, 2-pentanon, etanol, aseton, 2-metil propanal, etil asetat, 2-butanon, 2butanol, 2-metil-1-propanol, 3-metil-3-buten-1-ol, 2-metil-1-butanol, heksanal,
formamit (Feng et al. 2007). Hasil sensori dan komponen volatil tempe dengan
lama fermentasi 2, 5 dan 8 hari dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil sensori dan komponen volatil tempe dengan lama fermentasi 2, 5
dan 8 hari
Jenis tempe

Tekstur

Warna

Aroma

Tempe segar
2 hari fermentasi

Kenyal

Putih

Aroma
segar

tempe

Tempe semangit 5
hari fermentasi

Agak
lunak

Coklat
muda

Sedikit busuk

Tempe bosok
8 hari fermentasi

Lunak

Coklat

Busuk

Komponen volatil
nonanal, α-pinene, 2,4-decadienal, 5phenyldecane, 5-phenylundecane, 4phenylundecane,
5-phenyldodecane,
4-phenyldodecane,
3-phenyldodecane,
2-phenyldodecane,
5-phenyltridecane,
and carryophyllene
nonanal, carryophyllene,
4-phenylundecane,
5-phenyldodecane,
4-phenyldodecane,
3-phenyldodecane,
and 2-phenyldodecane
ethenyl butanoic,
2-methyl-3-(methylethenyl),
ciclohexyl etanoic
and 3,7-dimethyl-5-octenyl etanoic

Sumber : Syahrial dan Muchalal (2001)

Sebagian besar komponen volatil flavor tempe usia fermentasi 2 dan 5 hari
merupakan kelompok senyawa hidrokarbon jenuh. Senyawa-senyawa tersebut
tidak ditemukan pada flavor tempe usia fermentasi 8 hari ataupun pada kedelai
mentah. Kelompok senyawa alkana dan terpena hanya ditemukan pada flavor usia
fermentasi 2 hari dan kedelai mentah. Kelompok senyawa ester karboksilat hanya
ditemukan pada flavor tempe usia fermentasi 8 hari dan tidak ditemukan pada
kedelai mentah (Syahrial dan Muchalal 2001).

8
Senyawa Non Volatil
Flavor rasa termasuk salah satu senyawa non volatil, karena senyawa
pembentuk rasa merupakan senyawa larut air sehingga dapat masuk ke dalam
saliva dan terdeteksi oleh indera pencecap. Umami adalah rasa dasar kelima
setelah manis, pahit, asam dan asin. Rasa umami pertama kali diperkenalkan oleh
Prof Kikunae Ikeda pada tahun 1908. Rasa umami adalah rasa gurih yang sedap
diberikan oleh asam amino glutamat dan ribonukleotida termasuk inosinat dan
guanilat, yang terdapat secara alami pada bahan pangan seperti daging, ikan,
sayuran dan produk susu. Rasa umami sendiri sangat halus dan tercampur baik
dengan rasa yang lain untuk meningkatkan dan membulatkan flavor, kebanyakan
orang tidak dapat mengenali rasa umami ketika merasakannya tetapi rasa umami
tersebut memiliki peran yang penting dalam membentuk rasa sedap makanan
(Umami Information Center 2013).
Senyawa non volatil pada tempe terbentuk karena adanya hidrolisis protein
menjadi peptida dan asam amino selama proses fermentasi. Pada umumnya,
hidrolisis enzimatik pada protein memberikan rasa pahit. Tetapi beberapa peptida
dapat menghasilkan rasa savory atau umami, seperti peptida yang diisolasi dan
dikarakterisasi dari keju (Molina et al. 1999); Miso, pasta kedelai Jepang
(Ogasawara et al. 2006); kecap Jepang (Lioe et al. 2007); dan Doenjang, pasta
kedelai Korea (Rhyu dan Kim 2011).
Peptida merupakan suatu senyawa yang dihasilkan dengan adanya asamasam amino yang saling berikatan secara kovalen melalui ikatan peptida
(Bailey 1992). Ikatan peptida dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus
karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain dengan reaksi
kondensasi yang kuat (Lehninger 1997). Peptida adalah senyawa yang bersifat
zwitterion, bersifat netral dan tidak bermuatan pada titik isoelektriknya.
Berdasarkan konstanta keasamannya, peptida bersifat kurang zwitterion dibanding
asam aminonya (Shallenberger 1992).
Asam amino glutamat dan dipeptida yang mengandung asam amino
glutamat pada ujung N terminal memiliki rasa umami. Ambang batas dari
dipeptida (1.5 sampai 3.0 mg mL-1) tersebut lebih tinggi dibandingkan
monosodium glutamat (0.3 mg mL-1) (Kato et al. 1989). Hal ini berarti intensitas
rasa umami dari peptida tersebut 5 sampai 10 kali lebih rendah dibandingkan
MSG. Asam amino glutamat bebas dalam bentuk garam natrium (MSG) memiliki
rasa umami (Lioe et al. 2005).
Oligopeptida yang mengandung banyak residu asam amino hidrofilik,
seperti Glu-Asp-Glu, Glu-Gly-Ser, Glu-Gln-Glu dan Ser-Glu-Glu juga memiliki
rasa yang mirip dengan MSG. Oktapeptida gurih Lys-Gly-Asp-Glu-Glu-Ser-LeuAla (Beefy Meaty Peptide, BMP) merupakan peptida kecil berantai lurus dengan
berat molekul 848 Da. Di dalam air, BMP memiliki nilai ambang rasa sebesar
1.41 mM. Rasa gurih BMP disebabkan oleh adanya lokalisasi kation pada
fragmen basa dan anion pada fragmen asam dan tidak dipengaruhi oleh struktur
kimianya (urutan fragmen asam, basa dan hidrofobik) (Nakata et al. 1995).
Penghilangan residu Lys-Glu pada ujung N berakibat pada hilangnya rasa gurih
dan mengubahnya menjadi rasa asam. Hal ini menunjukkan bahwa residu Lys dan
Glu memiliki peran penting dalam memberikan rasa gurih (Tamura et al. 1989).
Intensitas rasa gurih tertinggi diperoleh pada pH sebesar 6.5. Pada nilai pH

9
tersebut, BMP juga menunjukkan efek sinergistik terhadap garam (NaCl) dan
MSG (Wang et al. 1996).
Maehashi et al. (1999) menyatakan bahwa peptida Glu-Glu dan Glu-Val
memiliki rasa umami dengan intensitas yang rendah. Beberapa sintesis peptida
diketahui memiliki rasa umami, tetapi intensitas rasa umami dari sebagian peptida
tersebut lemah ketika diuji dengan penambahan 0.02 % IMP.

Karakterisasi Senyawa Rasa
Pemilihan metode pemisahan peptida disesuaikan dengan sifat kimia
peptida, terutama berdasarkan kemampuannya mengion pada pH tertentu atau
berdasarkan kepolarannya (Lehninger 1997). Peptida merupakan senyawa
nitrogen yang mudah larut dalam air. Untuk mengisolasi peptida, pertama kali
perlu dipisahkan dahulu dari protein yang mempunyai berat molekul relatif lebih
tinggi dan atau asam amino yang mempunyai berat molekul relatif lebih rendah.
Berbagai metode pemisahan yang umum digunakan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi peptida antara lain ultrafiltrasi, pengendapan dengan etanol,
elektrodialisis dan kromatografi filtrasi gel.
Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan teknik pemisahan zat terlarut berdasarkan berat
molekul dengan menggunakan membran semipermeabel dan tekanan. Komponen
berberat molekul lebih besar dari cut off membran akan tertinggal sebagai retentat
sedangkan molekul yang lebih kecil akan melewati membran dan terkumpul
sebagai ultrafiltrat (Smith 1994).
Membran ultrafiltrasi terdapat dalam berbagai bentuk, yaitu tubular, spiral,
lingkaran, multichannel monolith elements, hollow fibre, dan flat sheet. Setiap
membran memiliki nilai cut off. Nilai ini hanya sebagai indikator yang akan
menolak 90 % senyawa-senyawa pada ukuran cut off-nya. Nilai cut off dan ukuran
pori membran akan menentukan laju alir yang akan dicapai membran. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi laju alir adalah permukaan membran, jenis larutan,
kelarutan, konsentrasi pelarut dan penyebarannya, jenis membran, suhu dan
tekanan.
Jenis membran yang digunakan dalam penelitian ini adalah low binding
regenerated cellulose. Membran ini dapat dilalui baik oleh pelarut aqueous
maupun larutan buffer. Membran ini juga dapat digunakan untuk memisahkan
garam atau pelarut dalam larutan yang mengandung biomolekul, baik dengan
metode desalting, buffer exchange, maupun diafiltrasi.
Kromatografi Filtrasi Gel
Penelitian ini menggunakan kromatografi filtrasi gel untuk memisahkan
peptida. Kromatografi ini disebut juga gel permeation chromatography atau size
exclusion chromatography. Kromatografi ini memisahkan campuran senyawa
berdasarkan ukuran atau berat molekulnya. Teknik kromatografi ini biasa
digunakan untuk purifikasi dalam isolasi enzim, pemisahan garam (desalting),

10
separasi/fraksinasi senyawa BM tinggi dan BM rendah, dan pemekatan (Adnan
1997; Sorensen et al. 1999).
Gel merupakan struktur jaringan tiga dimensi berpori yang terbentuk
karena adanya ikatan silang yang terjadi selama proses polimerisasi. Gel tersebut
secara selektif dapat mengekslusikan molekul-molekul yang besar dari pori-pori
yang dimilikinya, tergantung dari banyaknya ikatan silang dalam struktur gel.
Molekul yang lebih besar dari ukuran pori-pori gel akan mengalami ekslusi,
sedangkan yang lebih kecil dari pori-pori gel akan masuk ke dalam struktur gel
tersebut. Molekul besar akan terelusi terlebih dahulu (Adnan 1997).
Peptida dapat dipisahkan dengan kromatografi filtrasi gel menggunakan
Sephadex G-25, G-15 dan G-10 (Hagel 1998). Kisaran fraksinasinya berturutturut 1 000-5 000 Da, < 1 500 Da, dan < 700 Da. Sephadex merupakan butir gel
yang dibuat dari polisakarida dekstran. Pada Sephadex terdapat ikatan silang
antara dekstran dengan epiklorohidrin (Adnan 1997; Sorensen et al. 1999).
Struktur matriks dekstran dengan ikatan silang epiklorohidrin memungkinkan
terjadinya interaksi hidrofobik antara komponen aromatik peptida dengan
jembatan eter dari ikatan silang tersebut, sehingga pemisahan peptida tidak hanya
berdasarkan ukuran atau berat molekul, tetapi juga berdasarkan interaksi
hidrofobik.
Ikatan silang dekstran-epiklorohidrin dengan jembatan eternya
menentukan sifat gel Sephadex. Gel Sephadex bersifat tidak larut dalam air, tahan
dalam alkali, asam lemak, serta zat-zat pengoksidasi dan pereduksi lemah. Tetapi
jika diekspos dalam waktu yang lama, gel Sephadex akan pecah. Penggunaan
pada suhu di atas 120 ºC juga harus dihindari (Adnan 1997).
Deteksi peptida umumnya dilakukan dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang sinar UV. Ikatan peptida terdeteksi pada panjang gelombang
214 nm. Peptida yang mengandung residu asam amino asidik terdeteksi pada
panjang gelombang 205 nm dan peptida yang mengandung asam amino aromatik
terdeteksi pada panjang gelombang 240 nm (Pavia et al. 1996)
Profil Senyawa Rasa Umami
Profil komponen rasa umami dapat dilihat menggunakan instrumen high
performance liquid chromatography (HPLC). Analisis dengan HPLC merupakan
analisis instrumental dengan prinsip kromatografi dan kolom non polar (misal
C18 atau ODS). Teknik analisis ini banyak digunakan untuk menganalisis sampel
yang dapat larut dalam pelarut polar dan bersifat non volatil.
Jenis sistem HPLC yang digunakan untuk analisis senyawa rasa adalah
sistem kromatografi reversed-phase (RPC) yang dicirikan dengan penggunaan
kolom nonpolar seperti kolom C18 sebagai fasa stasionernya dan fasa gerak yang
digunakan adalah campuran antara pelarut organik yang hidrofilik dan air,
misalnya campuran acetonitril-aquades. Sedangkan jenis elusi yang digunakan
adalah elusi gradien, yaitu digunakan lebih dari satu fasa gerak selama proses
pemisahan.
Pemisahan pada kromatografi reversed-phase (RPC) didasarkan pada
kepolaran dari sampel yang akan dipisahkan. Pada kromatografi jenis ini fasa
gerak yang digunakan bersifat polar sedangkan fasa stasionernya bersifat non

11
polar. Molekul non polar akan berinteraksi dengan fasa stasioner sehingga akan
tertahan di kolom sedangkan molekul polar akan keluar dari kolom lebih dulu.

Sapi

Sapi

Sapi

Biri-biri

Biri-biri

Kambing

Kambing

Kambing

Waktu retensi (menit)

Waktu retensi (menit)

Waktu retensi (menit)

Biri-biri

Gambar 1 Profil HPLC ekstrak larut air keju yang dibuat dari susu : sapi (cow),
biri-biri (ewe) dan kambing (goat) (Sumber: Molina et al. 1999)
Profil HPLC dari komponen pembentuk rasa pada keju yang dibuat dari
susu sapi, biri-biri dan kambing dapat dilihat pada Gambar 1. Fraksi 1 dari keju
tersebut menunjukkan peptida yang bersifat hidrofobik memiliki waktu retensi
yang lebih lama dibandingkan peptida hidrofilik pada kolom reverse phase.
Peptida hidrofobik ini muncul pada menit ke 16. Peptida hidrofobik tersebut
memberikan rasa pahit pada keju. Pada Fraksi 2 peptida hidrofilik memiliki
proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peptida hidrofobik. Fraksi 2
memiliki konsentrasi asam amino bebas tertinggi yaitu 178, 128, dan 98 mg mL-1
untuk keju yang dibuat dari susu sapi, biri-biri dan kambing. Sedangkan pada
Fraksi 3 profil HPLC menunjukkan hasil yang sama dari ketiga keju tersebut.
Penelitian ini menggunakan fase gerak 0.1% trifluoroacetic acid (TFA) dalam air
bebas ion dan 0.1% TFA dalam asetonitril dan air bebas ion (60:40 v/v). Kolom
yang digunakan adalah C18 Nucleosil 5.
Profil HPLC peptida yang berkontribusi terhadap intensitas rasa umami
pada kecap kedelai Jepang dapat dilihat pada Gambar 2. Profil HPLC
menunjukkan Fraksi 1 memiliki peak tertinggi di antara Fraksi yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut Fraksi 1 mengandung hanya asam amino
bebas yaitu asam glutamat, alanin, arginin, glisin, threonin dan serin. Selain itu
Fraksi 1 juga mengandung garam. Adanya interaksi antara asam amino berasa
umami (asam glutamat dengan keberadaan garam) dan asam amino berasa manis
dapat meningkatkan intensitas rasa umami. Hal ini ditunjukkan oleh hasil dilusi
rasa pada Fraksi 1 yang lebih tinggi dibandingkan Fraksi yang lain.

12

A

Fraksi

Waktu retensi (min)

B
Faktor dilusi umami

Fraksi

Gambar 2 Profil HPLC dari kecap koikuchi (A) dan hasil analisis dilusi rasanya
(B) (Sumber : Lioe et al. 2006)
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0.05%
trifluoroacetic acid (TFA) dalam asetonitril dan 0.05% TFA dalam air bebas ion.
Kolom yang digunakan adalah Cosmosil 5C18 (diameter dalam 4.6 × 10 mm).

13

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Juli
2013. Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium yaitu, Laboratorium
Terpadu FKH-IPB untuk pembuatan ekstrak larut air, Laboratorium Biokimia
ITP-IPB untuk melakukan proses kering beku dengan freeze dryer, Laboratorium
Kimia Pangan PAU-IPB dan Kimia Pangan ITP untuk fraksinasi ekstrak larut air
dan analisis kimia, Laboratorium Kimia Terpadu-IPB untuk analisis total asam
amino, Laboratorium swasta Saraswanti untuk analisis asam amino bebas dan
Laboratorium Sensori PAU-IPB untuk analisis sensori.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama, bahan
pembantu dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan adalah tempe segar
diperoleh dari industri tempe FreSoia Co di Bekasi Jawa Barat, dan bahan
pembantu yang digunakan adalah air bebas ion untuk keperluan persiapan sampel.
Bahan kimia yang digunakan adalah Sephadex G-25 medium (Amersham
Pharmacia Biotech AB, Swedia), kolom C18 (15 cm, Zorbak Eclipse XDB-C18,
Agilent, USA), asetonitril, kalium sulfat, merkuri oksida, asam sulfat, natrium
oksida, asam klorida, natrium tiosulfat, asam borat, alkohol, kalsium karbonat,
natrium oksalat, indikator PP, larutan standar glukosa, pereaksi Anthrone, larutan
buffer 4.0 dan 7.0, air bebas ion, OPA (orthophtalaldehyde), buffer kalium borat,
dan gas nitrogen. Bahan kimia yang digunakan pada analisis HPLC memiliki
kualitas HPLC grade (Asetonitril, Merck Co, Germany, CV. Media Labs Bogor),
sedangkan bahan kimia selain untuk analisis HPLC memiliki kualitas analisis
grade.
Alat
Alat yang digunakan adalah blender, timbangan analitik (JP2-160, Chyo
Balance Corp, Kyoto, Jepang), tabung reaksi, alat gelas, eppendorf, termometer,
kain saring 80 dan 150 mesh, kertas saring Whatman no 42, kolom kaca
kromatografi ukuran 2.0 x 90 cm, tabung ultrafiltrasi (Ultracel-3K, Amicon Ultra
Centrifugal Filters, Regenerated Cellulose 3000 MWCO, Millipore, Irlandia),
ultrasentrifuse (CR21G, Himac, Hitachi, Jepang), fraction collector (SF-100,
Toyo Kagaku Sangyo, Japan), pH meter (MW-801, Milwaukee, Romania),
spektrofotometer (UV-1800, Shimadzu, Japan), lemari pendingin, freeze dryer
(121550 PMMA, Lyo Chamber Guard, Christ, Jerman), HPLC (Shimadzu,
Jepang).

14
Prosedur Penelitian
Pembuatan Tempe Terfermentasi Lanjut
Tempe terfermentasi lanjut dibuat dengan memperpanjang masa
fermentasi tempe segar. Lama fermentasi lanjut dilakukan selama 0, 24, 48, 72
dan 96 jam. Untuk melanjutkan proses fermentasi, tempe ditaruh di atas rak
plastik pada suhu ruang (30 sampai 35 ºC) dan kelembaban 75%. Tempe yang
masih terbungkus daun dengan ukuran 600 g dipotong menjadi 2 bagian sebelum
dilakukan pemeraman. Hal ini d