Analisis keterlibatan protein heterotrimerik g subunit a terhadap cekaman Al3+ melalui identifikasi produksi H2O2 pada kedelai kultivar slamet

ANALISIS KETERLIBATAN PROTEIN HETEROTRIMERIK G
SUBUNIT α TERHADAP CEKAMAN Al3+ MELALUI IDENTIFIKASI
PRODUKSI H2O2 PADA KEDELAI KULTIVAR SLAMET

Oleh :
Mohammad Bahrelfi Belafiff
G34101054

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

ABSTRAK
MOHAMMAD BAHRELFI BELAFIFF. Analisis Keterlibatan Protein Heterotrimerik G
Subunit α terhadap Cekaman Al3+ melalui Identifikasi Produksi H2O2 pada Kedelai Kultivar
Slamet. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI SUHARSONO dan DIAH RATNADEWI.
Peranan protein heterotrimerik G subunit α pada cekaman Al3+ diteliti dengan menggunakan
kultur suspensi sel kedelai kultivar Slamet. Kalus yang sesuai untuk inisiasi kultur suspensi sel
berhasil diinduksi secara in vitro pada media MS minimal dengan vitamin Gamborg B5 dan 1 ppm
2,4-D serta 0.1 ppm Kinetin. Kalus kemudian dipindahkan ke media cair MS minimal dengan 2

g/L Bacto Tryptone, 3 ppm 2,4-D dan 0.1 ppm Kinetin. Kultur suspensi sel didapatkan setelah 3-4
minggu inkubasi dalam gelap. Sel yang diperoleh dari kultur suspensi sel digunakan untuk
percobaan.
Pada cekaman pH rendah (pH 4.0) dan Al3+ (1.2 mM) didapati represi produksi H2O2 mulai
dari jam ke-1 sampai jam ke-6 pada kedua perlakuan. Pemberian Mastoparan (30 µM) tidak
menunjukkan perbedaan tingkat produksi H2O2 antara kontrol dengan kedua perlakuan pada jam
ke-1 dan ke-3 setelah pemberian cekaman. Mastoparan menginduksi produksi H2O2 pada kedua
perlakuan setelah lewat 3 jam sejak pemberian cekaman, dimana tingkat produksi H2O2 pada
kultur suspensi sel kedelai lebih tinggi pada perlakuan pH rendah dibandingkan Al3+. Tingkat
kematian sel pada jam ke 6 lebih tinggi pada pemberian Mastoparan dibandingkan kontrol, dengan
tingkat kematian pada pH rendah lebih tinggi dibanding Al3+. Hasil menunjukkan bahwa protein
heterotrimerik G tidak terlibat dalam transduksi sinyal Aluminium pada 3 jam pertama setelah
perlakuan dengan Al3+. Represi produksi H2O2 pada awal cekaman diperlukan untuk mencegah
kematian sel. Produksi H2O2 meningkat setelah 3 jam perlakuan Aluminium (Al3+) dengan
mastoparan.
ABSTRACT
MOHAMMAD BAHRELFI BELAFIFF. The Involvement of Heterotrimeric G Protein α
Subunit in Aluminum Toxicity of Soybean cv. Slamet Through the Identification of H2O2.
Supervised by UTUT WIDYASTUTI SUHARSONO and DIAH RATNADEWI.
The role of Heterotrimeric G protein α subunit in Al3+ toxicity was investigated using

soybean cultivar Slamet cell suspension culture. Suitable callus for initiation of cell suspension
culture was obtained in vitro using soybean seedlings hypocotyl on MS basal salt with Gamborg’s
B5 vitamins supplemented with 1 ppm of 2,4-D, and 0.1 ppm Kinetin. Callus was then transferred
to liquid medium of MS basal salt supplemented with 2 g/L of Bacto Tryptone, 3 ppm 2,4-D and
0.1 ppm Kinetin. Cell suspension culture was generated after 3-4 weeks incubation in dark. Cells
obtained from cell suspension culture were used in the experiment.
Repression of H2O2 production rate was observed on both pH 4.0 and pH 4.0+Al3+ (1.2
mM) treatments started from the 1st to the 6th hour. Mastoparan (30 µM) application showed no
significant difference of H2O2 production rate between control and both pH 4.0 and pH 4.0+Al3+
treatment from the 1st to the 3rd hour after treatment. Mastoparan induced H2O2 production after
the 3rd hour, where it was strongly enhanced in cells treated with pH 4.0 compared only with pH
4.0+Al3+. The rate of cell death on the 6th hour was higher with Mastoparan compared to control of
both treatment, with rate of cell death was higher on pH 4.0 compared to pH 4.0+Al3+. The results
indicated that heterotrimeric G protein was not involved on the signal transduction of Aluminium
on the first 3 hour after treatment with Al3+. Repression of H2O2 production at the early hour of
stress seems necessary to prevent cell death. H2O2 production was increased after 3 hour of
Aluminium (Al3+) treatment with mastoparan.

ANALISIS KETERLIBATAN PROTEIN HETEROTRIMERIK G
SUBUNIT α TERHADAP CEKAMAN Al3+ MELALUI IDENTIFIKASI

PRODUKSI H2O2 PADA KEDELAI KULTIVAR SLAMET

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut pertanian Bogor

Oleh :
Mohammad Bahrelfi Belafiff
G34101054

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul

Nama
NRP


: Analisis Keterlibatan Protein Heterotrimerik G Subunit α terhadap
Cekaman Al3+ melalui Identifikasi Produksi H2O2 pada Kedelai
Kultivar Slamet
: Mohammad Bahrelfi Belafiff
: G34101054

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Utut Widyastuti S, M.Si.

Dr. Diah Ratnadewi

NIP 131851279

NIP 130937090


Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999

Tanggal lulus :

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Hibah Bersaing XII Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi (DIKTI) dengan judul Analisis Gen Penyandi Protein Heterotrimerik G Subunit
α yang Terlibat dalam Sistem Toleransi Tanaman Kedelai terhadap Cekaman Aluminium atas
nama Dr. Ir. Utut Widyastuti Suharsono.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Utut Widyastuti Suharsono, M.Si dan Dr. Diah
Ratnadewi sebagai pembimbing atas segala bimbingan, waktu, sarana dan nasihat yang telah
diberikan. Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
beserta seluruh staf dan karyawan atas sarana, prasarana, dan bantuannya selama penulis

melakukan penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman (BMST) dan
Laboratorium Biorin (Biotechnology Research Indonesia-the Netherland). Terimakasih kepada Dr.
Anja Meryandini atas saran yang telah diberikan sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. Terima
kasih juga disampaikan kepada Bapak Abdul Mulya, Mbak Pepi Elvavina, Mbak Nia, Mbak Sara
dan Bapak Asep atas nasihat, bantuan, dan kerjasamanya.
Ungkapan terima kasih penulis juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis, dan
kedua adik penulis atas perhatian, doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis haturkan
kepada teman-teman Biologi 38 Lulu, Fitri, Nana, Lucky, Cynthia LM, Irwandi, Hijrah, Henry,
Made, Deri, Ritma, Rika, Vina, Pi’i, teman-teman di As-Syabab, Angga, Trio, Bekti, Isnan, Rizki,
Erwin, Rully F, dan rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium BMST dan Biorin yaitu Akhmad
Amirullah, Lestari Budi Utami, Popi Septiani, Evy Ammay R, Hakiim Bashaar, Lulut D.S., T.
Dian Fauziah, Syahnada Jaya, Prasna ITP 39, Rika ITP 40, Kak Ade, Mas Firdaus, Mbak Wiwid,
Mbak Agust, Mbak Zendi, Mas Huda, Mbak Kiki, Mbak Muti, Mbak Nana, Mbak Didi, Pak
Muzuni, Pak Hadi, Mbak Ratna, Bu Srilis dan Bu Hanum atas segala bantuan, nasihat,
persahabatan serta diskusi malam yang hangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi agama, bangsa dan negaraku.

Bogor, Mei 2007

Mohammad Bahrelfi Belafiff


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 November 1983 dari ayah Riza Fahlafi dan ibu
Nurul Hidayati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 98 Jakarta dan diterima di Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Dasar
pada semester genap tahun ajaran 2004/2005 dan semester ganjil 2005/2006. Penulis juga pernah
menjadi asisten praktikum Anatomi dan Morfologi tumbuhan pada semester genap tahun ajaran
2003/2004 dan 2004/2005. Penulis aktif di organisasi mahasiswa HIMABIO sebagai ketua pada
tahun 2002. Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktik lapang pada tahun 2004 dengan topik
Pencegahan Infeksi Nosokomial di RSUD Budhi Asih.

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................

Halaman
vii


DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................

vii

PENDAHULUAN
Latar belakang...........................................................................................................
Tujuan Penelitian......................................................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................................

1
2
2

BAHAN DAN METODE
Sterilisasi Eksplan.....................................................................................................
Induksi Kalus............................................................................................................
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai..........................................
Perlakuan Cekaman berbagai nilai pH dan Al3+.......................................................
Perlakuan Cekaman Al3+ dengan Aktivator Protein G..............................................
Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel........................................

Pengukuran Jumlah Sel Mati....................................................................................

2
2
2
2
3
3
3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil..........................................................................................................................
Induksi Kalus.....................................................................................................
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai...................................
Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel.................................
Pengukuran Jumlah Sel Mati.............................................................................
Pembahasan...............................................................................................................
Induksi Kalus.....................................................................................................
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai...................................
Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel.................................

Pengukuran Jumlah Sel Mati.............................................................................

3
3
4
5
6
7
7
7
7
10

SIMPULAN.....................................................................................................................

10

SARAN............................................................................................................................

10


DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................

10

LAMPIRAN.....................................................................................................................

12

DAFTAR GAMBAR
1 Bobot kalus pada perlakuan berbagai ZPT.................................................................

Halaman
4

2 Kalus yang terbentuk pada media (a) MS+1 ppm 2,4-D dan (b) MS+1 ppm 2,4D+0.1 ppm Kinetin.....................................................................................................

4

3 Kurva tumbuh kultur suspensi sel kedelai cv. Slamet................................................

4

4 Produksi H2O2 pada berbagai pH media tanpa agitasi..............................................

5

5 Produksi H2O2 pada berbagai pH media dengan perlakuan agitasi selama 16 jam....

5

6 Produksi H2O2 pada media kontrol (a) dan mastoparan 30 µM (b) dengan
perlakuan agitasi selama 16 jam.................................................................................

6

7 Sel yang telah diwarnai dengan 0,04 % Evans blue, (A) sel hidup, (B) sel mati.......

6

8 Tingkat kematian sel pada perlakuan kontrol (a) dan mastoparan (b).......................

6

DAFTAR LAMPIRAN

1

Komposisi media yang digunakan.............................................................................

Halaman
13

2

Komposisi buffer Xylenol Orange.............................................................................

14

3

Kurva standar H2O2...................................................................................................

14

PENDAHULUAN
Latar belakang.
Protein G merupakan salah satu
komponen yang berperan dalam transduksi
sinyal pada makhluk hidup. GTP-binding
regulatory protein atau protein G termasuk
dalam famili protein pengikat guanosin
trifosfat (GTP). Protein G sendiri terbagi
menjadi 2 jenis yaitu protein heterotrimerik G,
yang terletak di membran plasma, dan protein
G kecil (small G protein ) yang terletak di
sitoplasma. Beragam jenis transduksi sinyal
pada mamalia telah diketahui melibatkan
protein G khususnya protein heterotrimerik G
(Ma 1994).
Protein heterotrimerik G terbagi menjadi
3 subunit, yaitu subunit α, dan . Protein ini
aktif ketika mengikat dan menghidrolisis GTP
yang diikatnya. Saat aktif protein ini akan
meneruskan sinyal yang diterima reseptor
ekstraseluler kepada efektor intraseluler pada
sisi membran sel bagian dalam. Setelah GTP
yang terikat dihidrolisis menjadi GDP, protein
ini kembali ke konformasi semula dan
menjadi tidak aktif (Krauss 2001). Protein
heterotrimerik G, khususnya subunit α, telah
diketahui terlibat dalam transduksi sinyal
cekaman biotik, hormon dan lain sebagainya
(Assman 2002)
Kedelai (Glycine max) merupakan salah
satu produk pertanian dengan tingkat
permintaan yang tinggi di dunia. Kandungan
gizi yang tinggi, karena mengandung
beberapa asam amino esensial, serta beragam
kegunaan lain selain untuk dikonsumsi
mengakibatkan melonjaknya permintaan akan
kedelai. Beragam usaha telah dilakukan untuk
meningkatkan produksi kedelai dunia, mulai
dari cara intensifikasi dengan menggunakan
teknik pertanian yang lebih baik, sampai
dengan ekstensifikasi lahan oleh negaranegara pengeskpor kedelai terbesar dunia
seperti Brazil dan Amerika (USDA 2007).
Produksi kedelai Indonesia belum mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga
masih perlu mendatangkan dari luar. Produksi
kedelai Indonesia pada tahun 2006 baru
mencapai 783 554 ton per tahun (BPS 2006),
sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai
kurang lebih 2 juta ton, sehingga pada tahun
2006 Indonesia mengimpor kedelai sebesar
kurang lebih 1 370 000 metrik ton (USDA
2007).
Oleh karena itu perlu diupayakan
peningkatan produksi kedelai di Indonesia
untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini
dapat dilakukan baik melalui intensifikasi

yaitu penggunaan kultivar unggul dan
perbaikan teknik budidaya maupun ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanaman.
Di seluruh dunia, tanah dengan pH cukup
rendah banyak dijumpai di daerah tropis.
Kondisi tanah masam ini dijumpai pada
kurang lebih 40% lahan yang dapat ditanami
di seluruh dunia (Gardner 1998). Indonesia
sebagai negara agraris memiliki 18,2 juta
hektar lahan dengan tingkat pH rendah
(Mashuda 2006) yang potensial untuk
dikembangkan sebagai lahan pertanian,
khususnya untuk kedelai.
Tantangan yang menghadang untuk
ekstensifikasi adalah kondisi pH tanah yang
rendah, yang akan meningkatkan kelarutan
ion-ion logam di tanah. Tingginya kandungan
ion-ion logam tertentu dalam tanah dapat
bersifat toksik bagi tanaman. Salah satu ion
tersebut adalah Aluminium (Al) dalam bentuk
ion Al3+. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada tanah dengan kondisi
masam, ion Al3+ yang terakumulasi merupakan faktor penyebab utama yang membatasi
tingkat keberhasilan panen (Kochian 1995),
karena ion Al3+ menghambat pertumbuhan
akar, yang akan berakibat terhadap pertumbuhan tanaman (Gardner 1998).
Salah satu solusi terhadap permasalahan
tersebut adalah penggunaan kultivar unggul
yang tahan terhadap Al3+ tinggi. Usaha untuk
menghasilkan kultivar unggul tersebut dapat
dicapai dengan teknik pemuliaan konvensional ataupun melalui perakitan genetik
tanaman. Namun usaha untuk merakit tanaman yang memiliki sifat ketahanan terhadap
Al3+ sebelumnya harus didahului oleh studi
mengenai mekanisme pertahanan serta gengen yang terlibat dalam ketahanan terhadap
Al3+. Oleh karena itu, usaha untuk memahami
mekanisme yang terlibat dalam peristiwa
toksisitas Al pada tanaman, khususnya pada
kedelai merupakan langkah penting.
Cote dan Crain (1993) menunjukkan
adanya penghambatan dari Al3+ terhadap
pemecahan fosfoinositol menjadi IP3,
sehingga mempengaruhi regulasi kanal Ca2+
dan mengakibatkan perubahan kandungan
Ca2+ intraseluler, yang berpengaruh terhadap
fungsi seluler sel tumbuhan. Legendre et al.
(1993) menegaskan bahwa aktivitas protein
heterotrimerik Gα meningkatkan kandungan
IP3 intraseluler, dan mendorong peningkatan
produksi H2O2 pada kultur sel kedelai. Hal ini
menunjukkan bahwa IP3 berperan dalam
regulasi produksi H2O2 (Legendre et al.
1993b), dan secara tidak langsung regulasi
produksi H2O2 dipengaruhi oleh protein

2

heterotrimerik G. Jika transduksi sinyal
cekaman Al3+ pada tumbuhan melibatkan
protein heterotrimerik G, maka produksi H2O2
pada sel tumbuhan dapat dijadikan indikator
untuk melihat keterlibatan protein heterotrimerik G dalam cekaman aluminium.
Tujuan penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis keterlibatan protein heterotrimerik G subunit α pada mekanisme toleransi dari kultivar kedelai toleran asam
(Slamet) terhadap cekaman Al3+ melalui
identifikasi produksi H2O2.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
April 2005 sampai dengan Desember 2006,
bertempat di Laboratorium Biologi Seluler
dan Molekuler Tanaman dan Laboratorium
Biorin (Biotechnology Research IndonesiaThe Netherland), Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB,
Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga.

BAHAN DAN METODE
Sterilisasi Eksplan
Biji kedelai Slamet dipilih yang berkulit
mulus dan tidak cacat. Biji dicuci dengan air
dan Tween-80 (0.5%) (v/v) dengan agitasi
kuat, dan dibilas dengan air dua kali. Biji
kemudian disterilisasi dengan alkohol 70%
(v/v) selama 30 detik, setelah itu dibilas
dengan akuades steril. Biji disterilisasi ulang
dengan larutan Natrium Hipoklorit komersial
20% (v/v) (NaClO 5,25%) yang diberi Tween80 (0.5%) (v/v), selama 15 menit dengan
agitasi kuat, dilanjutkan pembilasan dengan
akuades steril sebanyak tiga kali.
Induksi Kalus
Biji yang telah steril ditanam pada botol
kultur berisi larutan mineral MS dan vitamin
B5 (Liu et al. 1997) (Lampiran 1) dengan
tambahan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) 2,4-D
(2,4-Dichlorophenoxyacetic acid) dan Kinetin
(6-Furfurylaminopurin) serta agar 8 g/L. ZPT
diberikan dengan kombinasi sebagai berikut
(Da Silva et al. 2003):
1. Medium MS 0 (Kontrol)
2. Medium MS+ 1 ppm 2,4-D
3. Medium MS+ 1 ppm 2,4-D+ 0.1 ppm
Kinetin
4. Medium MS+ 0.1 ppm Kinetin.
Di dalam tiap botol kultur ditanam 5 biji,
ditumbuhkan pada suhu 24°C dengan

pencahayaan kontinyu dan intensitas cahaya ±
1 000 lux. Eksplan diamati pertumbuhannya
selama 3 minggu hingga terbentuk kalus.
Perlakuan diulang sebanyak sepuluh kali.
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi
Sel Kedelai
Kultur berisi kalus dalam media pemeliharaan MS organik minimal dengan 2 g/L
Bacto Tryptone (Becton, Dickinson & Co.)
serta 3 ppm 2,4-D dan 0.1 ppm kinetin (pH
5.8) (Legendre et al. 1992) (Lampiran 1),
kemudian diinkubasi pada inkubator bergoyang resiprokal (bolak-balik) Certomat WR
dengan kecepatan 70 rpm selama 3-4 minggu
secara kontinyu, dalam keadaan gelap. Setelah
3-4 minggu sebanyak 20 sampai 30 mL
suspensi sel dipindahkan ke dalam media cair
baru dengan komposisi yang sama dan
diinkubasi pada inkubator goyangan berputar
Bench Top Shaker 4622 pada kecepatan 70
rpm secara kontinyu dengan intensitas cahaya
15 lux.
Kultur suspensi sel dipelihara selama
penelitian, dengan subkultur ke media dengan
komposisi yang sama setiap 7 hari sekali.
Konsentrasi sel diukur setiap 2 hari sekali
dengan metode PCV (Packed Cell Volume)
yaitu dengan cara sebanyak 10 mL suspensi
sel diendapkan dengan sentrifugasi Jouan
BR4i (Jouan) pada kecepatan 200xg selama 5
menit pada suhu 15 ºC. Persentase PCV
dihitung dengan rumus :

PCV =

mL sel yang terendapkan
× 100%
mL volume total sampel

Kultur suspensi sel yang telah mencapai
konsentrasi sel 10% PCV digunakan untuk
penelitian dengan perlakuan cekaman pH dan
Al3+.
Perlakuan Cekaman Berbagai Nilai pH dan
Al3+
Kultur suspensi sel yang telah mencapai
densitas 10% PCV, sebanyak 10 mL suspensi
dipindahkan ke dalam botol kultur baru.
Kemudian medium diganti dengan medium
baru dengan komposisi yang sama dengan
media pemeliharaan (pH 5.8) sejumlah 10
mL. Kultur suspensi sel kedelai yang berumur
tiga hari setelah pemindahan itu digunakan
untuk percobaan. Kultur sel disaring dengan
Cell Dissociation–Tissue Grinder Kit (SigmaAldrich) berukuran 200 mesh. Sebanyak 0.2 g
sel dipindahkan ke dalam cawan petri
berdiameter 6 cm, diberi 2 mL medium segar

3

pada setiap cawan petri dan diinkubasi selama
16 jam pada suhu 25 °C dalam gelap. Setelah
itu, media pada tiap cawan petri diganti
dengan media perlakuan sebanyak 2 mL.
Perlakuan berupa cekaman pH yaitu pH
5.8 (pH media pemeliharaan), pH 6.0, pH 4.0
dan pH 4.0+ 1,2 mM Al3+. Cekaman Al3+
diberikan dalam bentuk AlCl3. Tepat sebelum
dilakukan penggantian media dengan media
perlakuan, diambil sebanyak 100 µL media
sebagai data jam ke 0. Selanjutnya pengamatan produksi H2O2 dilakukan pada jam ke
1, 3 dan 6 setelah penggantian media dengan
media perlakuan. Pemberian cekaman Al3+
dengan konsentrasi 1,2 mM mengacu pada
metode Anwar (1999) dan Mashuda (2006),
yang menunjukkan bahwa antara perlakuan
cekaman Al3+ pada konsentrasi 1,2 mM dan
1,6 mM tidak berbeda nyata.
Agitasi
telah
diketahui
mampu
meningkatkan produksi H2O2 pada kultur
suspensi sel kedelai (Legendre et al. 1993a).
Oleh karena itu induksi H2O2 diberikan secara
endogen dengan praperlakuan agitasi selama
16 jam. Setelah inkubasi, dilakukan pengukuran dengan tahapan seperti disebutkan di
atas. Tiap perlakuan diulang sebanyak tiga
kali.
Perlakuan Cekaman Al3+ dengan Aktivator
Protein G
Mastoparan merupakan aktivator spesifik
protein heterotrimerik G subunit α. Pemberian
mastoparan hanya dilakukan pada perlakuan
cekaman pH 4.0 dan pH 4.0+1.2 mM Al3+.
Konsentrasi Mastoparan-7 (Sigma-Aldrich)
yang digunakan sebesar 30 µM. Sebagai
kontrol adalah media perlakuan cekaman pH
4.0 dan pH 4.0+1.2 mM Al3+ tanpa penambahan mastoparan. Pada jam ke 0, 1, 3 dan 6
dilakukan pengukuran H2O2 dan jumlah sel
mati diukur pada jam ke 0 dan jam ke 6. Tiap
perlakuan diulang sebanyak dua kali.
Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur
Suspensi Sel.
Deteksi dan kuantifikasi terhadap
kandungan H2O2 dilakukan menurut He et al.
(2000) dan Suharsono et al. (2002b).
Sebanyak 100 µL cairan medium diambil pada
jam ke 0, 1, 3, dan 6 pada tiap perlakuan.
Cairan medium kemudian direaksikan dengan
1 mL larutan penyangga Xylenol Orange
(Dojindo) (Lampiran 2) dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 2 jam. Sampel kemudian
disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10
menit untuk mengendapkan sel-sel yang
terbawa pada pengambilan sampel. Absor-

bansi diukur dengan spektrofotometer Cecil
CE 2020 (Cecil Instrument Limited) pada λ
560 nm dengan menggunakan H2O2 sebagai
standar.
Pengukuran Jumlah Sel Mati
Pengukuran terhadap jumlah sel yang
mati dilakukan menurut Suharsono (2002a).
Sebanyak 200 µL suspensi sel dari tiap
perlakuan diambil pada jam ke 0 sebelum
penggantian media dan jam ke 6 setelah perlakuan. Suspensi sel diendapkan dengan
sentrifugasi pada kecepatan 2 500 rpm selama
5 menit. Supernatan kemudian dibuang dan
endapan sel diberi 1 mL larutan Evans blue
(Sigma-Aldrich) 0.04% (b/v) dalam air dan
diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang.
Sel kemudian diendapkan pada kecepatan
2 500 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang dan endapan sel dibilas dengan 1 mL
larutan 100 µM CaCl2 (pH 5.6). Pembilasan
dilakukan sebanyak 5-6 kali untuk menghilangkan kelebihan zat pewarna Evans blue.
Kemudian sel dicuci dengan 1 mL larutan 1%
SDS (b/v) dalam metanol 50% (v/v) dan diinkubasi selama 2 jam untuk mengeluarkan
zat warna Evans blue dari dalam sel yang
mati. Absorbansi dari zat pewarna Evans blue
yang dilepaskan dari sel yang mati kemudian
diukur dengan spektrofotometer pada λ 595
nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Induksi Kalus
Induksi terhadap kalus tidak dijumpai
pada media kontrol (MS) dan media MS+0.1
ppm kinetin. Media perlakuan MS+1 ppm
2,4-D+0.1 ppm kinetin dengan MS+1 ppm
2,4-D tidak menunjukkan perbedaan nyata
dalam bobot kalus (Gambar 1).
Kalus yang terbentuk pada media dengan
kombinasi MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin
memberikan kalus yang lebih remah (friable)
jika dibandingkan dengan media MS+1 ppm
2,4-D (Gambar 2).
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi
Sel Kedelai
Proses
pembentukan
kultur
sel
membutuhkan waktu yang cukup lama dari
inokulasi hingga mencapai ukuran agregat
(mikrokoloni) yang seragam. Secara umum
dibutuhkan waktu kurang lebih 3-4 minggu
sejak inokulasi media dengan kalus.
Penggunaan kalus yang berukuran besar
seringkali mengakibatkan jumlah agregat sel

4

Bobot kalus (g)

1

yang terlepas ke media sedikit sehingga
memperlama waktu pembentukan suspensi
sel.
Pada media MS organik minimal dengan
2 g/L Bacto Tryptone dan 3 ppm 2,4-D dan
0.1 ppm kinetin (pH 5.8), kultur suspensi sel
mencapai volume sel 10% PCV setelah 12
hari (Gambar 3). Konsentrasi sel yang
digunakan untuk penelitian ini mengacu
kepada Legendre et al. (1992).

0.8
0.6
0.4
0.2
0
2,4-D + Kinetin

2,4-D

Media
Gambar 1 Bobot kalus pada perlakuan
berbagai ZPT (n = 50).

(a)
(b)
Gambar 2 Kalus yang terbentuk pada media (a) MS+1 ppm 2,4-D (
= 50 mm) dan
(b) MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm Kinetin (
= 50 mm).

14
12

% PCV

10
8
6
4
2
0
0

2

4

6

8

10

12

Hari ke-

Gambar 3 Kurva tumbuh kultur suspensi sel kedelai cv. Slamet (n=2).

14

5

Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur
Suspensi Sel
Pengukuran dilakukan pertama kali
dengan kondisi praperlakuan inkubasi 16 jam
tanpa agitasi dalam gelap, pada semua
perlakuan pH media, yaitu pH 5.8 (pH media
pemeliharaan), pH 6, pH 4 dan pH 4+ Al3+ 1.2
mM untuk melihat respon sel.
Pada media dengan pH 5.8, yang
merupakan pH untuk media pemeliharaan
kultur sel, tidak teramati perubahan drastis
pada produksi H2O2 dari jam ke jam setelah
penggantian media. Media dengan pH 6
menyebabkan fluktuasi terhadap produksi

H2O2 dimana tingkat produksinya menurun
dari jam ke 1 hingga jam ke 3, kemudian
meningkat sampai jam ke 6. Pada media
dengan pH 4 dan pH 4+Al3+ secara umum
terlihat memiliki kemiripan pola tingkat
produksi H2O2, dimana terjadi penurunan
produksi H2O2 pada jam ke 1 setelah penggantian media dengan media perlakuan. Pola
tersebut diikuti dengan kenaikan tingkat
produksi H2O2 pada jam ke 3 dan ke 6.
Tingkat produksi H2O2 pada perlakuan media
ber-pH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan pH 4+Al3+ (Gambar 4).

Konsentrasi H2O2 (µM)

6
5
4

Jam ke-0
Jam ke-1

3

Jam ke-3
Jam ke-6

2
1
0
pH 5,8

pH 6

Media

pH 4

pH 4+Al

Konsentrasi H2O2 (µM)

Gambar 4 Produksi H2O2 pada berbagai pH media tanpa agitasi (n=3).
6
5
4

Jam ke-0
Jam ke-1

3

Jam ke-3

2

Jam ke-6

1
0
pH 5,8

pH 6

pH 4

pH 4+Al

Media

Gambar 5 Produksi H2O2 pada berbagai pH media dengan perlakuan agitasi selama 16 jam
(n=3).
Pengamatan kemudian dilakukan pada
kultur suspensi sel yang diberi praperlakuan
agitasi selama 16 jam guna memberikan
induksi H2O2 endogen pada sel kedelai.
Pada perlakuan inkubasi dengan praperlakuan agitasi selama 16 jam, produksi H2O2
pada pH 5.8 cenderung konstan dari jam ke
jam, dan pada pH 6 menunjukkan kecenderungan kenaikan, maka hal sebaliknya
justru teramati pada perlakuan pH 4 dan pH
4+Al3+. Pada kedua perlakuan tersebut, teramati adanya penurunan tingkat produksi
H2O2 dari jam ke 1, untuk kemudian konstan

hingga jam ke 6. Tetapi tingkat produksi H2O2
pada perlakuan pH 4+Al3+ lebih rendah
dibandingkan dengan pH 4 (Gambar 5).
Perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ pada inkubasi
dengan praperlakuan agitasi maupun tidak
terlihat cenderung menekan produksi H2O2,
dan produksi H2O2 pada pH 4+Al3+ lebih
rendah dari pH 4.
Oleh karena itu untuk melihat keterlibatan protein heterotrimerik Gα dalam regulasi produksi H2O2 karena cekaman Al3+,
maka digunakan Mastoparan 7, suatu aktivator Gα. Perlakuan dengan mastoparan dila-

6

Konsentrasi H2O2 (µM)

kukan pada media dengan pH 4 dan pH
4+Al3+ dengan agitasi selama 16 jam.
Dengan pemberian mastoparan, didapati
adanya kesamaan pola produksi H2O2 antara
perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+, juga terlihat
bahwa pemberian mastoparan tidak mengubah
pola produksi H2O2 pada perlakuan pH 4 dan
pH 4+Al3+ pada jam ke 1 dan ke 3, dimana

tingkat produksi H2O2 relatif sama dengan
kontrol (tanpa mastoparan). Pada jam ke enam
baru dijumpai adanya lonjakan produksi H2O2,
yang berbeda dengan yang teramati pada
kontrol (Gambar 6).

4
Jam ke-0

3

Jam ke-1
Jam ke-3

2

Jam ke-6

1

0
pH 4

pH 4+Mastoparan

pH 4+Al

pH 4+Al+Mastoparan

Media

Gambar 6 Produksi H2O2 pada media kontrol dan mastoparan 30 µM dengan perlakuan agitasi
selama 16 jam (n=2).

Intensitas kematian sel
(Absorbansi = 595 nm)

Pengukuran Jumlah Sel Mati
Pewarnaan Evans blue adalah pewarnaan
selektif guna mengidentifikasi sel yang telah
mati. Sel yang mati akan berwarna biru,
sedangkan sel yang hidup akan bewarna jernih
(Gambar 7). Pengukuran terhadap jumlah sel
yang mati dilakukan pada awal perlakuan
(jam ke 0) dan setelah jam ke 6. Pada kontrol
terlihat tidak terjadi peningkatan kematian sel
yang signifikan, meskipun setelah 6 jam
perlakuan tingkat kematian pada media pH
4+Al3+ lebih tinggi dibandingkan dengan
media pH 4 (Gambar 8). Tetapi perlakuan
pemberian 30 µM mastoparan menyebabkan
peningkatan kematian sel yang signifikan
pada jam ke 6 dibandingkan dengan kontrol
(tanpa mastoparan). Namun tingkat kematian

sel pada media pH 4 lebih tinggi dibandingkan
dengan media pH 4+Al3+ (Gambar 8).

B
A

Gambar 7 Sel yang telah diwarnai dengan
0,04 % Evans blue, (A) sel hidup,
(B) sel mati
(
= 50 µm).

0,5
0,4
0,3

Jam ke-0
Jam ke-6

0,2
0,1
0
pH 4

pH 4+Mastoparan

pH 4+Al

pH 4+Al+Mastoparan

Media

Gambar 8 Tingkat kematian sel pada perlakuan kontrol dan mastoparan (n=2).
Pembahasan
Induksi Kalus

7

Pada penelitian ini kombinasi media MS
dengan ZPT 1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin
pada media inisiasi kalus mendapatkan kalus
yang tidak hanya tumbuh cepat namun memiliki karakteristik yang sesuai untuk kultur sel
suspensi, yaitu kalus yang lebih remah (friable) dibandingkan dengan perlakuan hanya dengan 1 ppm 2,4-D. Pemberian kombinasi kinetin (kelompok sitokinin) dan 2,4-D (kelompok auksin) mampu meningkatkan pembentukan kalus.
Hal ini sesuai dengan Moore (1979) yang
menyatakan bahwa kombinasi yang sesuai
antara kedua ZPT tersebut dibutuhkan guna
mendapatkan kalus yang remah. Bhojwani &
Razdan (1996) menyatakan bahwa diferensiasi akar dan tajuk lebih dipengaruhi oleh
interaksi kuantitatif antara auksin dan sitokinin, sehingga jika rasio antara kedua ZPT
tersebut condong lebih tinggi ke salah satu zat
akan memicu induksi akar atau tajuk. Namun
jika rasio antar keduanya seimbang, maka
yang terinduksi adalah kalus dengan sifat
yang remah.
Auksin merupakan kelompok hormon
yang menginduksi pembelahan dan pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperan dalam merangsang pembelahan sel (Moore
1979). Interaksi diantara keduanya pada rasio
yang sesuai menyebabkan pembelahan sel
yang ekstensif. Efek pelemahan dinding sel
oleh auksin, akan mempermudah dalam
proses sitokinesis serta sintesis dinding sel.
Karena dinding sel selalu dalam keadaan
lemah, diduga hal inilah yang menimbulkan
struktur kalus yang remah.
Kalus yang remah (friable) lebih sesuai
untuk digunakan dalam pembuatan kultur
suspensi sel (Bhojwani & Razdan 1996) dikarenakan sel-sel pada kalus tersebut tersusun
longgar sehingga dengan agitasi rendah pada
medium cair akan menyebabkan sel-sel tersebut terlepas satu sama lain dan membentuk
agregat-agregat (mikrokoloni) sel yang lebih
kecil. Dengan agitasi yang kontinyu diharapkan ukuran agregat tersebut akan menjadi
lebih kecil sehingga membentuk suspensi sel
yang lebih homogen.
Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi
Sel Kedelai
Kultur suspensi sel dipelihara pada medium cair dengan konsentrasi 2,4-D yang lebih tinggi, sebesar 3 ppm, dibandingkan
dengan media induksi kalus. Peningkatan konsentrasi auksin ini semakin memperbesar rasio
auksin/sitokinin, dan pada kultur suspensi sel
menginduksi pembelahan sel yang cepat.

Auksin diketahui mampu menginduksi pembelahan dan pemanjangan sel, ditambah
dengan adanya sitokinin pada media semakin
memperkuat induksi terhadap pembelahan sel
yang cepat
Selain itu, penambahan sumber asam
amino kompleks pada media (Bhojwani &
Razdan 1996), telah diketahui mampu menginduksi dispersi sel-sel pada kultur suspensi
sel. Sumber asam amino kompleks yang digunakan adalah Bacto Tryptone. Faktor lain
yang turut berperan adalah perlakuan agitasi
dengan kecepatan yang sesuai, sehingga memungkinkan dispersi sel untuk mencapai kultur suspensi sel yang berukuran cukup halus.
Dari kurva tumbuh kultur suspensi sel
kedelai yang dibuat, terlihat bahwa konsentrasi sel yang dibutuhkan untuk penelitian ini,
mengacu pada Legendre et al. (1992), tercapai
pada hari ke 12 setelah subkultur (Gambar 3)
Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur
Suspensi Sel
Pengukuran produksi H2O2 pada kultur
setelah praperlakuan 16 jam inkubasi tanpa
agitasi (Gambar 4) dan dengan praperlakuan
agitasi selama 16 jam (Gambar 5) menunjukkan adanya perubahan drastis pada tingkat
produksi H2O2 dari perlakuan media ber-pH 6,
pH 4 dan pH 4+Al3+, lebih disebabkan oleh
perubahan nilai pH media, bukan dikarenakan
tindakan subkultur. Hal ini ditunjukkan oleh
tingkat produksi H2O2 pada medium ber-pH
5.8 pada kedua praperlakuan yang cenderung
konstan dari jam ke jam (Gambar 4 dan 5).
Perubahan tingkat produksi H2O2 pada
praperlakuan tanpa agitasi dan dengan praperlakuan agitasi selama 16 jam pada pH 6
tampak bertolak belakang. Pada praperlakuan
tanpa agitasi pola produksi H2O2 menurun
drastis dari jam ke 0 hingga jam ke 1, untuk
seterusnya sama hingga jam ke 3, dan disusul
kenaikan pada jam ke 6 (Gambar 4), sedangkan dengan praperlakuan agitasi, pola produksi yang dijumpai adalah kenaikan mulai
dari jam ke 0 hingga jam ke 6 (Gambar 5).
Hal lain yang teramati selain perbedaan pola
produksi H2O2 adalah tingkat konsentrasi pada
jam ke 0 pada praperlakuan agitasi lebih tinggi dibandingkan dengan praperlakuan tanpa
agitasi (Gambar 4 dan 5).
Namun bila kita membandingkan pola
produksi H2O2 antara praperlakuan tanpa agitasi (Gambar 4) dan dengan agitasi (Gambar
5) hanya pada perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+,
terlihat bahwa pola produksi H2O2 antara
kedua praperlakuan tidak terlalu berbeda.
Pada kedua perlakuan dijumpai penurunan

8

mulai dari jam ke 1 dan konstan sampai jam
ke 6, dengan tingkat produksi pada perlakuan
pH 4 lebih tinggi dibandingkan tingkat produksi pada perlakuan pH 4+Al3+ (Gambar 5).
Perbedaan yang mencolok adalah bahwa
agitasi menyebabkan tingkat produksi H2O2
lebih tinggi pada tiap jam perlakuan dibandingkan tanpa agitasi.
Agitasi merupakan salah satu faktor yang
turut memicu produksi H2O2 pada kultur
suspensi sel (Legendre et al. 1993a). Praperlakuan sel dengan agitasi selama 16 jam akan
meningkatkan konsentrasi H2O2 pada media
pada jam ke 0 sebagaimana terlihat pada
Gambar 5.
Tingginya konsentrasi H2O2 di media
akibat praperlakuan agitasi menginduksi sel
dan menyebabkan perubahan tingkat produksi
H2O2 oleh sel. Pada perlakuan media ber-pH
6, kenaikan nilai pH media dari pH 5.8, mengakibatkan sel meningkatkan produksi H2O2
mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Pada
media ber-pH 4, penurunan nilai pH media
menyebabkan penurunan tingkat produksi
H2O2 mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6.
Pada media pH 4+ Al3+, sel mendapat cekaman tidak hanya penurunan nilai pH, namun
juga keberadaan Al3+ pada media. Sel yang
diberi perlakuan tersebut meresponnya dengan
menekan tingkat produksi H2O2 sehingga
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
pH 4 (Gambar 5).
Menurut Jones & Kochian (1995) H2O2
merupakan senyawa yang mampu menginduksi peningkatan kerja enzim Fosfolipase
C (PLC). PLC sendiri merupakan protein yang
berperan dalam transduksi sinyal dengan memecah fosfolipid menjadi DAG (Diasilgliserol) dan IP3 (Inositol 1,4,5-trifosfat). Menurut Legendre et al. (1993b), IP3 berperan dalam peningkatan produksi H2O2 pada kultur
suspensi sel kedelai.
Salah satu efek toksisitas Al3+ yang telah
dipelajari adalah efek penghambatannya terhadap Fosfolipase C (PLC) (Jones & Kochian
1995). Penghambatan tersebut tetap teramati
bahkan bila PLC diinduksi dengan H2O2. Pada
percobaan ini, induksi H2O2 diberikan secara
endogen melalui praperlakuan agitasi. Diduga
bahwa melalui penghambatan Al3+ terhadap
aktivitas PLC ini, perlakuan pH 4 dan pH
4+Al3+ menurunkan tingkat produksi H2O2.
Pada perlakuan pH 6 hal yang sebaliknya
justru terjadi, dimana PLC yang terinduksi
oleh keberadaan H2O2 semakin meningkatkan
produksi H2O2.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengukuran terhadap aktivitas

PLC dan kandungan IP3 intraseluler untuk
melihat apakah benar penurunan atau kenaikan produksi H2O2 pada perlakuan tersebut
disebabkan oleh penurunan atau peningkatan
aktivitas PLC dan konsentrasi IP3.
Perlakuan dengan penambahan mastoparan, suatu aktivator spesifik untuk protein
heterotrimerik G subunit α (Pingret et al.
1998), tidak menimbulkan perbedaan yang
nyata antara perlakuan pH 4 tanpa mastoparan
(kontrol) dengan perlakuan pH 4+mastoparan
pada jam ke 1 dan jam ke 3 setelah perlakuan.
Namun pada jam ke 6 teramati adanya kenaikan produksi H2O2 pada perlakuan dengan
mastoparan (Gambar 6) dibandingkan dengan
kontrol. Hal yang sama juga teramati bila kita
membandingkan antara perlakuan pH 4+Al3+
tanpa mastoparan (kontrol) dengan perlakuan
pH 4+Al3++mastoparan, dimana teramati
adanya kenaikan produksi pada jam ke 6
setelah perlakuan (Gambar 6).
Protein heterotrimerik Gα bertindak sebagai saklar dalam proses transduksi sinyal.
Pada keadaan inaktif, protein G tersusun dari
3 subunit yaitu α, , dan , dengan subunit α
mengikat GDP. Ketika teraktivasi oleh ligan
yang terikat pada reseptor, protein G akan terdisosiasi menjadi 2 bagian, yaitu subunit α
yang akan melepaskan GDP dan mengikat
GTP, dan subunit . Subunit α akan berasosiasi dengan efektor untuk meneruskan
sinyal yang diterima, dalam prosesnya menghidrolisis GTP menjadi GDP, dan kembali
bergabung dengan subunit
. Mastoparan
akan menginduksi protein G subunit α untuk
melepaskan GDP dan mengikat GTP, serta
mencegah subunit α untuk bergabung kembali
dengan subunit
(Higashijima et al. 1990).
Hal ini mengakibatkan protein G yang telah
menerima sinyal selalu berada dalam keadaan
aktif, demikian pula dengan efektor yang berasosiasi dengan subunit α, mengakibatkan
respon terhadap sinyal terus menerus berlangsung.
Pola represi produksi H2O2 pada 3 jam
pertama setelah pemberian cekaman diduga
tidak melibatkan protein Gα, ditunjukkan
dengan tidak terlihatnya perubahan terhadap
pola produksi pada perlakuan yang diberi
mastoparan dengan kontrol (Gambar 6). Pola
yang teramati pada 3 jam pertama setelah
cekaman juga tidak berbeda dengan pola yang
teramati pada pengukuran awal dengan praperlakuan agitasi (Gambar 5) pada jam pengamatan yang sama. Kenaikan produksi H2O2
pada jam ke 6 pada kedua perlakuan yang
ditambah mastoparan berbeda dengan yang
dijumpai pada kedua kontrol pH 4 dan pH

9

4+Al3+. Hal ini mengindikasikan bahwa
protein Gα terlibat dalam transduksi sinyal
dari kedua cekaman tersebut mulai jam ke 6
setelah perlakuan.
Mashuda (2006) dan Suharsono &
Suharsono (2006) telah melakukan pengamatan terhadap pola ekspresi gen protein Gα pada
kedelai yang mendapat cekaman pH 4 dan pH
4+1.6 mM Al3+ dengan interval waktu
pengamatan 0, 8, 24, 48, dan 72 jam setelah
perlakuan. Pola ekspresi gen protein Gα yang
teramati pada perlakuan pH 4 menunjukkan
tingkat ekspresi gen tertinggi pada jam ke 8,
dan cenderung menurun setelahnya hingga
jam ke 72. Pola ekspresi pada perlakuan pH
4+1.6 mM Al3+ juga menunjukkan tingkat
ekspresi gen tertinggi pada jam ke 8, untuk
kemudian stabil sampai dengan jam ke 48,
dan menurun hingga jam ke 72 (Mashuda
2006). Tingkat ekspresi gen Gα lebih tinggi
pada perlakuan pH 4+Al3+ dibandingkan
dengan tingkat ekspresi pada perlakuan pH 4.
Namun pada penelitian tersebut tidak
dilakukan pengamatan terhadap ekspresi gen
Gα antara jam ke 0 sampai jam ke 8. Sesuai
dengan hasil penelitian ini, timbul dugaan
bahwa ekspresi gen Gα pada cekaman pH 4
dan pH 4+Al3+ mulai meningkat setelah 3 jam
sejak pemberian cekaman, ditunjukkan
dengan adanya kenaikan produksi H2O2 pada
jam ke 6.
Hal ini didukung dengan hasil pengamatan terhadap tingkat produksi H2O2 pada
perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ dengan
penambahan mastoparan yang dilakukan pada
0, 1, 3, 6, dan 8 jam setelah perlakuan (data
tidak dipublikasikan). Pola produksi pada jam
ke 0 hingga jam ke 6 tidak berbeda dengan
pola yang teramati pada gambar 6 untuk perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+. Namun pada jam
ke 8 dijumpai kenaikan produksi H2O2 yang
sangat besar pada kontrol pH 4+Al3+, sedangkan pada kontrol pH 4 tingkat produksinya
sama dengan jam ke 6. Penambahan mastoparan meningkatkan produksi H2O2 pada jam ke
8 pada perlakuan pH 4, namun dengan tingkat
produksi H2O2 lebih rendah dibandingkan
tingkat produksi H2O2 pada perlakuan pH
4+Al3+.
Pengukuran terhadap tingkat produksi
H2O2 pada perlakuan cekaman pH 4 dan pH
4+ Al3+ yang diberi penghambat protein Gα
akan sangat menunjang dalam meneliti
peranan protein heterotrimerik Gα dalam
proses transduksi sinyal dari cekaman pH
rendah dan Al3+.
Sebagaimana kita ketahui membran plasma tidak permeabel terhadap senyawa-

senyawa polar dan ion, namun permeabel terhadap senyawa-senyawa non polar. Karena
Al3+ adalah ion maka Al3+ tidak dapat menembus membran dengan mudah. Oleh karena itu
sinyal keberadaan Al3+ hanya dapat diterima
oleh reseptor yang berada di membran. Secara
umum terdapat tiga jenis reseptor yang terletak di membran. Reseptor ini berperan dalam
transduksi sinyal terhadap ligan yang tidak
mampu menembus fosfolipid. Ketiga reseptor
tersebut antara lain reseptor terkait protein G,
reseptor terkait enzim, dan reseptor terkait
kanal ion (Trewavas 2000).
Jika dugaan bahwa transduksi sinyal pada
awal cekaman, yaitu 3 jam pertama tidak
melibatkan protein Gα benar, maka transduksi
sinyal cekaman pH rendah (pH 4) dan
cekaman Al3+ (pH 4+Al3+) mungkin melalui
salah satu diantara kedua reseptor selain
protein G, sebagaimana disebutkan di atas.
Kawano et al. (2004) mendapati bahwa
cekaman Al3+ dengan konsentrasi yang tinggi
menyebabkan penghambatan terhadap kanal
ion Ca2+, sedangkan pada konsentrasi Al3+
yang rendah dijumpai adanya peningkatan
aktivitas kanal ion Ca2+. Kanal ion Ca2+ berfungsi untuk melewatkan ion Ca2+ dari luar
membran plasma ke sitosol atau dari tempat
penyimpanan Ca2+ intraseluler ke sitosol.
Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di sitosol
dapat menyebabkan kenaikan produksi ROS
(Reactive Oxygen Species), salah satunya
adalah H2O2, dan peningkatan konsentrasi
H2O2 dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di sitosol (Mahalingam &
Fedoroff 2003). Hal yang sebaliknya terjadi
bila terjadi penurunan drastis konsentrasi Ca2+
di sitosol akan menyebabkan penurunan tingkat produksi H2O2 pada sel.
Karena konsentrasi Al3+ yang digunakan
dalam percobaan ini cukup tinggi, mencapai
1.2 mM, diduga bahwa transduksi sinyal
untuk cekaman Al3+ mungkin melibatkan
suatu reseptor terkait kanal ion Ca2+. Reseptor
terkait kanal ion Ca2+ ini pada kondisi pH
rendah dan atau keberadaan Al3+ akan menghambat aliran ion Ca2+, mengakibatkan penurunan konsentrasi Ca2+ pada sitosol, dan berujung pada penurunan tingkat produksi H2O2,
sebagaimana yang teramati pada 3 jam pertama setelah perlakuan.
Pengukuran Jumlah Sel Mati
Pada pengukuran tanpa penambahan
mastoparan dijumpai kenaikan tingkat kematian sel pada media pH 4+Al3+ pada jam ke 6
setelah pemberian cekaman, sedangkan pada
media pH 4 dijumpai peningkatan kematian

10

sel yang tidak terlalu signifikan setelah 6 jam
cekaman. Ini menunjukkan bahwa keberadaan
Al3+ pada media menjadi penyebab peningkatan kematian sel lebih besar setelah 6 jam
(Gambar 8).
Jika dibandingkan dengan kontrol pH 4
dan pH 4+Al3+ (Gambar 8) terlihat bahwa
penambahan mastoparan memacu peningkatan
kematian sel setelah 6 jam (Gambar 8).
Pemberian mastoparan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi H2O2 6 jam setelah
cekaman, sehingga diduga bahwa peningkatan
inilah yang memicu kematian sel setelah 6
jam perlakuan. Namun tingkat kematian sel
pada cekaman Al3+ lebih rendah dibandingkan
dengan pH 4 (Gambar 8), seiring dengan
tingkat produksi H2O2 yang lebih rendah pada
cekaman Al3+ (Gambar 6).
Respon awal sel terhadap cekaman pH
rendah dan Al3+ berupa represi produksi H2O2.
Diduga ini merupakan mekanisme awal pertahanan terhadap cekaman pH rendah dan Al3+
guna mencegah tingkat kematian sel yang
tinggi akibat efek sitotoksik dari H2O2.
Peningkatan produksi H2O2 secara drastis
yang dimediasi oleh protein Gα baru terlihat
setelah jam ke 3 setelah cekaman (Gambar 6),
dikenal dengan sebutan semburan oksidatif
(oxidative burst).

SIMPULAN
Protein heterotrimerik Gα tidak terlibat
dalam transduksi sinyal cekaman Al3+ pada 3
jam pertama setelah perlakuan. Protein heterotrimerik Gα terlibat dalam transduksi sinyal
cekaman Al3+ setelah lewat 3 jam sejak pemberian cekaman dengan meningkatkan produksi H2O2. Transduksi sinyal terhadap cekaman pada 3 jam pertama setelah cekaman
melibatkan jalur transduksi lain selain jalur
transduksi yang dimediasi oleh protein heterotrimerik Gα. Represi produksi H2O2 pada
awal cekaman diperlukan untuk mencegah
kematian sel.

SARAN
Perlu dilakukan pengukuran aktivitas
Fospolipase C (PLC) dan kandungan IP3 intraseluler pada kultivar kedelai yang toleran dan
peka terhadap cekaman Aluminium yang
mendapat cekaman Al3+ untuk lebih memahami peranan enzim Fospolipase C dalam
proses transduksi sinyal cekaman Al3+.
Pengamatan terhadap pola produksi
H2O2 dengan pemberian penghambat protein
heterotrimerik Gα pada kedelai kultivar
Slamet, serta pengamatan pola produksi H2O2
pada kultivar kedelai yang peka terhadap Al3+

perlu dilakukan guna mengamati lebih lanjut
peranan protein heterotrimerik Gα terhadap
cekaman Al3+.
Analisis ekspresi gen Gα dan gen-gen
lain terkait cekaman pada awal cekaman juga
perlu dilakukan pada interval waktu di bawah
8 jam untuk lebih memahami mekanisme
molekuler yang mendasari sifat ketahanan
terhadap Al3+ pada kultivar kedelai yang
toleran dan peka terhadap Al3+.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar S. 1999. Pengklonan gen-gen yang
diinduksi oleh cekaman aluminium
pada kedelai [Glycine max (L.) Merryl]
[disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca
sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Assman SM. 2002. Heterotrimeric and unconventional GTP binding protein in plant
cell signalling. Plant Cell Supl:S355S373.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Harvested
area, yield rate and production of soybean by province, 2006. Jakarta : BPS.
Bhojwani SS, Razdan MK. 1996. Plant Tissue
Culture: Theory and Practice, a Revised Edition. Amsterdam : Elsevier.
Cote GG, Crain RC. 1993. Biochemistry of
phosphoinisitides. Annu Rev Plant
Physiol Mol Biol 44:333-356.
Da Silva ALC, Caruso CS, Moreira RDA,
Horta ACG. 2003. In vitro induction of
callus from cotyledon and hypocotyls
explant of Glycine wightii (Wight &
Arn.) Verdc. Ciênc Agrotec 27:12771284.
Gardner RC. 1998. Manipulation of Aluminum tolerance by gene transfer
[review]. Hayati 5:29-33.
Gotor C, Lam E, Cejudo FJ, Romero LC.
1996. Isolation and analysis of the
soybean SGA2 gene (cDNA), encoding
a new member of the plant G-protein
family of signal transducers. Plant Mol
Biol 32:1227-1234.
He Z, Wang ZY, Li J, Zhu Q, Lamb C,
Ronald P, Chory J. 2000. Perception of
brassinosteroids by the extracellular
domain of the receptor kinase BR1.
Science 288:2360-2363.
Higashijima T, Burnier J, Ross EM. 1990.
Regulation of Gi and Go by mastopa-

11

ran, related amphiphilic peptides and
hydrophobic amines: mechanism and
structural determinants of activity. J
Biol Chem 265:14176-14186.
Jones DL, Kochian LV. 1995. Aluminum
inhibition of the lnositol 1,4,5-Trisphosphate signal transduction pathway
in wheat roots: a role in aIuminum
toxicity ? Plant Cell 7:1913-1922
Kawano T, Kadono T, Fumoto K, Lapeyrie F,
Kuse M, Isobe M, Furuichi T, Muto S.
2004. Aluminum as a specific inhibitor
of plant TPC1 Ca2+ channels. Biochem
Biophys Res Comm 324:40-45.
Kochian LV. 1995. Cellular mechanism of
aluminum toxicity and resistance in
plants. Annu Rev Plant Physiol Mol
Biol 46:237-260.
Krauss G. 2001. Biochemistry of Signal
Transduction
and
Regulation.
Wienheim:Wiley-VCH.
Legendre L, Heinstein PF, Low PS. 1992.
Evidence for participation of GTPbinding proteins in elicitation of the
rapid oxidative burst in cultured
soybean cells. J Biol Chem 267:2014020147.
Legendre L, Rueter S, Heinstein PF, Low PS.
1993a. Characterization of the oligogalacturonide-induced oxidative burst
in cultured soybean (Glycine max)
cells. Plant Physiol 102:233-240.
Legendre L, Yueh YG, Crain R, Haddock N,
Heinstein PF, Low PS. 1993b. Phospolipase C activation during elicitation of
the oxidative burst in cultured plant
cells. J Biol Chem 268:24559-24563.
Liu ZH, Wang WC, Yan SY. 1997. Effect of
hormone treatment on callus formation
and endogenous indoleacetic acid and
polyamine contents of soybean hypocotyls cultivated in vitro. Bot Bull Acad
Sin 38:171-176.
Ma H. 1994. GTP-binding proteins in plants:
New member of and old family. Plant
Mol Biol 26:1611-1636.
Mahalingam R, Fedoroff N. 2003. Stress
response, cell death and signalling: the
many faces of reactive oxygen species
[review]. Physiol Plant 119:56-68.

Mashuda. 2006. Ekspresi gen Gα dan GST
pada kedelai kultivar slamet yang
mendapat cekaman Aluminium [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. New York:
Spring