Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.)

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Oleh:
Sulistyani Pancaningtyas
A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN
TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Skripsi
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor


Oleh

Sulistyani Pancaningtyas
A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN
TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN

SULISTYANI PANCANINGTYAS. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terha dap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.). (Dibawah
bimbingan ENY WIDAJATI)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu pemanenan benih buncis
(Phaseolus vulgaris L.) yang tepat dan pengaruh penundaan pengeringan terhadap
viabilitas benih. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Unit
Processing Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih-Leuwikopo, IPB, Darmaga.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium, menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah waktu panen
yang terdiri dari dua taraf yaitu 32 dan 35 hari setelah berbunga (HSB). Faktor kedua
adalah penundaan pengeringan yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0 hari (tanpa penundaan
pengeringan), penundaan pengeringan 1 hari dan penundaan pengeringan 2 hari. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih buncis varietas Lebat. Pengeringan
polong dengan menggunakan sinar matahari selama dua hari. Polong yang telah kering
digesek dengan tangan untuk proses peronto kan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu panen berpengaruh terhadap Kadar
Air benih sebelum dan setelah pengeringan polong, bobot 1000 butir dan penyusutan
bobot polong selama penundaan pengeringan. Penundaan pengeringan berpengaruh nyata
terhadap KA benih sebelum pengeringan polong, berpengaruh sangat nyata terhadap
penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan Kecepatan Tumbuh (K CT ).
Interaksi kedua faktor berpengaruh sangat nyata untuk KA sebelum pengeringan,
penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan KCT .
Penundaan pengeringan sampai

dengan 2 hari baik pada panenan 32 HSB

maupun 35 HSB tidak menurunkan vigor benih dengan tolok ukur KCT dan viabilitas

potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) dan Berat Kering Kecambah
Normal (BKKN).
Penurunan KA benih sebelum pengeringan polong pada 35 HSB disebabkan oleh
kondisi cuaca lapang yang panas. Kondisi lingkungan pada saat penundaan pengeringan

yang hujan terus menerus menyebabkan peningkatan KA benih pada panenan 35 HSB
yang nyata pada penundaan pengeringan 1 dan 2 hari.
Bobot 1000 butir panenan 32 HSB dan 35 HSB menunjukkan nilai yang sama,
perbedaan yang terjadi pada data penimbangan disebabkan oleh KA benih estela
pengeringan polong yang berbeda sangat nyata.

Judul

:PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Nama

: Sulistyani Pancaningtyas


NRP

: A34402044

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr Ir Eny Widajati, MS.
NIP. 131 471 835

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr.
NIP. 130 422 698

Tanggal Kelulusan : 23 Mei 2006

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Probolinggo, Jawa Timur pada tanggal 26 April 1984.
Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara yang merupakan anak dari
pasangan Bapak Hariyanto alm dan Ibu Subaedah.
Penulis menempuh studi di TK. ABA I Probolinggo (1988-1990), SD/MI
Muhammadiyah I Probolinggo (1990-1996), SLTPN 5 Probolinggo (1996-1999), dan
SMUN I Probolinggo (1999-2002). Pada tahun 2002 Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI pada Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan Penulis terlibat di organisasi-organisasi kemahasiswaan yaitu
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB, Himpunan Mahasiswa Agronomi
(HIMAGRON), UKM Tae Kwon Do dan organisasi daerah yaitu Forum Mahasiswa
Probolinggo (FMP). Penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar Ilmu dan Teknologi
Benih pada tahun 2005/2006.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan segala kerendahan hati Penulis memanjatkan
puji syukur kehadirat Allah SWT, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, yang
selalu melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah bagi Muhammad

SAW, Rasulullah mulia, teladan umat, utusan yang benar dalam janjinya serta terpercaya.
Semoga Allah SWT

selalu melimpahkan rahmat dan keselamatan serta keberkahan

kepadanya, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang senantiasa istiqomah di jalan-Nya.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dengan rasa tulus dan hormat, Penulis menghaturkan terimakasih kepada :
a. Dr Ir Eny Widajati, MS sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi atas bimbingan, masukan, arahan serta motivasi yang diberikan selama
penyusunan skripsi ini.
b. Dr Ir Endang Murniati, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan
kepada Penulis.
c. Dr Ir Faiza C. Suwarno, MS selaku dosen penguji yang telah membe rikan masukan
kepada Penulis.
d. Keluarga dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya
yang menguatkan langkah perjalanan ini.
Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, semoga hasil yang sederhana ini dapat

menjadi pembelajaran untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………….

i

DAFTAR ISI……………………………………………………………

ii

DAFTAR TABEL………………………………………………………

iii


DAFTAR GAMBAR……………………………………………………

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................................
1
Tujuan ................................................................................................
1
Hipotesis ................................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi buncis ....................................................................................... 4
Pengeringan benih .................................................................................... 5
Tingkat kemasakan benih......................................................................... 9
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ................................................................................... 12
Bahan dan Alat......................................................................................... 12
Metode penelitian..................................................................................... 12

Pelaksanaan penelitian............................................................................. 13
Pengujian di Laboratorium................................................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum ..................................................................................... 16
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Kadar Air Benih ....................................................................................... 18
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Persentase Benih Rusak ......................................................................... 21
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Bobot 1000 Butir...................................................................................... 22
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan.................... 23
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Daya Berkecambah (DB) ........................................................................ 24
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
persentase Serangan Cendawan .............................................................. 26
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Kecepatan Tumbuh (KCT ) ................................................................
27

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) .............................................. 29
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
LAMPIRAN……………………………………………………………

34

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman
Teks

1.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Waktu Panen
(WP), Penundaan Pengeringan (PP) dan Interaksinya
terhadap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.) .............................

17

2.

Rata-rata pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan
Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Sebelum
Pengeringan Polong.........................................................................................
18

3.

Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan
Polong................................................................................................20

4.

Pengaruh

Waktu

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

terhadap Persentase Benih Rusak................................................................
21
5.

Pengaruh

Waktu

terhadap Bobot
6.

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

22
1000 Butir ................................................................

Nilai Berat Kering Benih Terhadap Kadar Air Benih
23
Sesudah Pengeringan.......................................................................................

7.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan................................
24

8.

Pengaruh

Waktu

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................................................
25
9.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Persentase Serangan Cendawan .......................................................
26

10.

Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................
27

11.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)................................
29

Nomor

Halaman
Lampiran

1.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak................................ 35

2.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir .........................................................
35

3.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Selama Penundaan
Pengeringan................................................................................................
35

4.

Uji

Lanjut

Pengaruh

Waktu

Panen

dan

Penundaan

Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Sela ma Penundaan
35
Pengeringan................................................................................................
5.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................

6.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan ................................

7.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................

8.

Uji

Lanjut

Pengaruh

Waktu

Panen

dan

Penundaan

36
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................
9.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Berat Kering Kecamb ah Normal
(BKKN)................................................................................................
37

10.

Analisis Ragam Interaksi Kadar Air Benih Sebelum
Pengeringan Polong.........................................................................................
37

11.

Uji Lanjut Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan
Polong................................................................................................37

12.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan
Polong................................................................................................37

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Oleh:
Sulistyani Pancaningtyas
A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN
TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Skripsi
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Sulistyani Pancaningtyas
A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN
TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN

SULISTYANI PANCANINGTYAS. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terha dap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.). (Dibawah
bimbingan ENY WIDAJATI)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu pemanenan benih buncis
(Phaseolus vulgaris L.) yang tepat dan pengaruh penundaan pengeringan terhadap
viabilitas benih. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Unit
Processing Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih-Leuwikopo, IPB, Darmaga.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium, menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah waktu panen
yang terdiri dari dua taraf yaitu 32 dan 35 hari setelah berbunga (HSB). Faktor kedua
adalah penundaan pengeringan yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0 hari (tanpa penundaan
pengeringan), penundaan pengeringan 1 hari dan penundaan pengeringan 2 hari. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih buncis varietas Lebat. Pengeringan
polong dengan menggunakan sinar matahari selama dua hari. Polong yang telah kering
digesek dengan tangan untuk proses peronto kan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu panen berpengaruh terhadap Kadar
Air benih sebelum dan setelah pengeringan polong, bobot 1000 butir dan penyusutan
bobot polong selama penundaan pengeringan. Penundaan pengeringan berpengaruh nyata
terhadap KA benih sebelum pengeringan polong, berpengaruh sangat nyata terhadap
penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan Kecepatan Tumbuh (K CT ).
Interaksi kedua faktor berpengaruh sangat nyata untuk KA sebelum pengeringan,
penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan KCT .
Penundaan pengeringan sampai

dengan 2 hari baik pada panenan 32 HSB

maupun 35 HSB tidak menurunkan vigor benih dengan tolok ukur KCT dan viabilitas
potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) dan Berat Kering Kecambah
Normal (BKKN).
Penurunan KA benih sebelum pengeringan polong pada 35 HSB disebabkan oleh
kondisi cuaca lapang yang panas. Kondisi lingkungan pada saat penundaan pengeringan

yang hujan terus menerus menyebabkan peningkatan KA benih pada panenan 35 HSB
yang nyata pada penundaan pengeringan 1 dan 2 hari.
Bobot 1000 butir panenan 32 HSB dan 35 HSB menunjukkan nilai yang sama,
perbedaan yang terjadi pada data penimbangan disebabkan oleh KA benih estela
pengeringan polong yang berbeda sangat nyata.

Judul

:PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Nama

: Sulistyani Pancaningtyas

NRP

: A34402044

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr Ir Eny Widajati, MS.
NIP. 131 471 835

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr.
NIP. 130 422 698

Tanggal Kelulusan : 23 Mei 2006

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Probolinggo, Jawa Timur pada tanggal 26 April 1984.
Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara yang merupakan anak dari
pasangan Bapak Hariyanto alm dan Ibu Subaedah.
Penulis menempuh studi di TK. ABA I Probolinggo (1988-1990), SD/MI
Muhammadiyah I Probolinggo (1990-1996), SLTPN 5 Probolinggo (1996-1999), dan
SMUN I Probolinggo (1999-2002). Pada tahun 2002 Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI pada Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan Penulis terlibat di organisasi-organisasi kemahasiswaan yaitu
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB, Himpunan Mahasiswa Agronomi
(HIMAGRON), UKM Tae Kwon Do dan organisasi daerah yaitu Forum Mahasiswa
Probolinggo (FMP). Penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar Ilmu dan Teknologi
Benih pada tahun 2005/2006.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan segala kerendahan hati Penulis memanjatkan
puji syukur kehadirat Allah SWT, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, yang
selalu melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah bagi Muhammad
SAW, Rasulullah mulia, teladan umat, utusan yang benar dalam janjinya serta terpercaya.
Semoga Allah SWT

selalu melimpahkan rahmat dan keselamatan serta keberkahan

kepadanya, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang senantiasa istiqomah di jalan-Nya.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dengan rasa tulus dan hormat, Penulis menghaturkan terimakasih kepada :
a. Dr Ir Eny Widajati, MS sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi atas bimbingan, masukan, arahan serta motivasi yang diberikan selama
penyusunan skripsi ini.
b. Dr Ir Endang Murniati, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan
kepada Penulis.
c. Dr Ir Faiza C. Suwarno, MS selaku dosen penguji yang telah membe rikan masukan
kepada Penulis.
d. Keluarga dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya
yang menguatkan langkah perjalanan ini.
Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, semoga hasil yang sederhana ini dapat
menjadi pembelajaran untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………….

i

DAFTAR ISI……………………………………………………………

ii

DAFTAR TABEL………………………………………………………

iii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................................
1
Tujuan ................................................................................................
1
Hipotesis ................................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi buncis ....................................................................................... 4
Pengeringan benih .................................................................................... 5
Tingkat kemasakan benih......................................................................... 9
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ................................................................................... 12
Bahan dan Alat......................................................................................... 12
Metode penelitian..................................................................................... 12
Pelaksanaan penelitian............................................................................. 13
Pengujian di Laboratorium................................................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum ..................................................................................... 16
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Kadar Air Benih ....................................................................................... 18
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Persentase Benih Rusak ......................................................................... 21
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Bobot 1000 Butir...................................................................................... 22
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan.................... 23
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Daya Berkecambah (DB) ........................................................................ 24
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
persentase Serangan Cendawan .............................................................. 26
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Kecepatan Tumbuh (KCT ) ................................................................
27
Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap
Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) .............................................. 29
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
LAMPIRAN……………………………………………………………

34

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman
Teks

1.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Waktu Panen
(WP), Penundaan Pengeringan (PP) dan Interaksinya
terhadap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.) .............................
17

2.

Rata-rata pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan
Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Sebelum
Pengeringan Polong.........................................................................................
18

3.

Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan
Polong................................................................................................20

4.

Pengaruh

Waktu

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

terhadap Persentase Benih Rusak................................................................
21
5.

Pengaruh

Waktu

terhadap Bobot
6.

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

22
1000 Butir ................................................................

Nilai Berat Kering Benih Terhadap Kadar Air Benih
23
Sesudah Pengeringan.......................................................................................

7.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan................................
24

8.

Pengaruh

Waktu

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................................................
25
9.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Persentase Serangan Cendawan .......................................................
26

10.

Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................
27

11.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan
terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)................................
29

Nomor

Halaman
Lampiran

1.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak................................ 35

2.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir .........................................................
35

3.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Selama Penundaan
Pengeringan................................................................................................
35

4.

Uji

Lanjut

Pengaruh

Waktu

Panen

dan

Penundaan

Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Sela ma Penundaan
35
Pengeringan................................................................................................
5.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................

6.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan ................................

7.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
36
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................

8.

Uji

Lanjut

Pengaruh

Waktu

Panen

dan

Penundaan

36
Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................
9.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Berat Kering Kecamb ah Normal
(BKKN)................................................................................................
37

10.

Analisis Ragam Interaksi Kadar Air Benih Sebelum
Pengeringan Polong.........................................................................................
37

11.

Uji Lanjut Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan
Polong................................................................................................37

12.

Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan
Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan
Polong................................................................................................37

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman
Lampiran

1.

Bunga buncis pada 5 MST ................................................................38

2.

Polong buncis pada 6 MST ................................................................38

3.

Polong buncis pada 7 MST ................................................................38

4.

Polong buncis pada 9 MST ................................................................38

5.

39
Panenan 32 HSB..............................................................................................

6.

39
Panenan 35 HSB..............................................................................................

7.

39
Pengeringan polong .........................................................................................

8.

39
Pemipilan polong.............................................................................................

9.

39
Polong rusak ................................................................................................

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Buncis bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Amerika. Saat ini,
buncis telah dibudidayakan di seluruh dunia, baik di wilayah yang beriklim subtropis
maupun tropis, termasuk Indonesia. Bud idaya buncis di Indonesia mula- mula di daerah
Bogor, kemudian menyebar ke daerah-daerah yang sekarang menjadi sentra penghasil
sayuran. Kini buncis banyak dibudidayakan di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Pitojo, 2004).
Instruksi

Presiden

Nomor

8

Tahun

1999

tentang

Gerakan

Nasional

Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi mengisyaratkan perlunya penanganan pangan
secara terpadu oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, buncis berperan sebagai
sayuran karena memiliki kandungan gizi dan vitamin yang bermanfaat bagi kesehatan
jasmani (Pitojo, 2004). Menurut catatan Departemen Kesehatan RI, setiap 100 g buncis
mengandung 35 g kalori, 2,4 g protein, 0,2 g lemak, 7,7 g karbohidrat, 65 mg kalsium, 44
mg fosfor, 1,1 mg besi, 630 SI vitamin, 0,08 mg vitamin B1, 19 mg vitamin C dan 88,9 g
air.
Ekstensifikasi hortikultura, termasuk tanaman buncis, ditempuh dengan cara
menumbuhkan sentra produksi baru serta mengembangkan dan memantapkan sentra
produksi yang sudah ada. Peran benih unggul sangat menentukan keberhasilan program
ekstensifikasi dan intensifikasi. Benih bermutu adalah benih yang terjamin mutu genetis,
fisiologis dan fisik yang tinggi, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, benih harus diproduksi secara benar oleh
penangkar.
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kondisi lingkungan dan iklim
yang cukup fluktuatif, hal ini dapat mempengaruhi mutu benih yang diproduksi. Buncis
termasuk tanaman palawija yang tidak banyak membutuhkan air, oleh karena itu
budidaya buncis dapat dilakukan pada akhir musim hujan atau pada musim kemarau
dengan jaminan pengairan yang memadai. Pada masa perkecambahan, pertumbuhan,
awal pembungaan, dan pengisian polong buncis memerlukan cukup air, tetapi curah
hujan yang tinggi harus dihindari, karena menyebabkan berjangkitnya penyakit dan

perkembangan hama tertentu. Selain itu, kondisi-kondisi lingkungan yang ada juga
mempengaruhi waktu pemanenan benih. Pemanenan benih dilakukan setelah benih
tersebut masak secara fisiologis dimana berat kering benih mencapai maksimum (Sadjad,
1980a dan Delouche, 1983). Apabila terjadi hujan secara terus- menerus atau terjadi
serangan hama dan penyakit di lapang, maka perlu dilakukan perencanaan pemanenan
yang tepat setelah masak fisiologis agar mutu benih tersebut masih bisa dipertahankan.
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan benih yang
bermutu tinggi adalah penanganan pasca panen, diantaranya pengolahan benih yang
didahului oleh proses pengeringan benih. Pengeringan benih bertujuan untuk menurunkan
kadar air benih sesudah dipanen sampai benih aman disimpan (Agrawal, 1980). Namun
demikian, banyak kendala yang dihadapi para penangkar/produsen be nih khususnya
produsen skala kecil (petani) dalam melakukan proses pengeringan. Diantaranya adalah
kendala alat pengering apabila dilakukan pengeringan secara tidak langsung dengan
menggunakan alat pengeringan yaitu kapasitas alat pengering yang kurang memadai,
khususnya jika terjadi pemanenan dalam skala yang besar. Kendala lain yang dihadapi
apabila dilakukan pengeringan secara langsung dengan bantuan sinar matahari adalah
kondisi lingkungan yang berfluktuasi. Dalam hal ini, produsen benih juga harus
melakukan perencanaan yang tepat agar mutu benih tidak mengalami penurunan. Adanya
kendala di atas, memungkinkan dilakukannya penundaan pengeringan benih, tetapi
sampai batas waktu berapa lama benih tersebut dapat ditunda pengeringannya, tanpa
terjadi penuruna n viabilitas benih, hal tersebut yang diharapkan dapat terjawab melalui
penelitian ini.

Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui waktu pemanenan benih buncis yang
tepat dan pengaruh penundaan pengeringan terhadap viabilitas benih.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
1. Waktu panen akan berpengaruh terhadap viabilitas benih, pada buncis panenan 32
HSB memiliki viabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan panenan 35 HSB.
2. Viabilitas benih akan mengalami penurunan, apabila dilakukan penundaan
pengeringan.
3. Pemanenan yang lebih dini akan kurang tahan dalam penundaan pengeringan
sehingga viabilitas benih akan lebih rendah.

TINJAUAN PUSTAKA
Diskripsi Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
Buncis adalah tanaman hortikultura atau kelompok sayuran buah. Dalam
taksonomi (sistematika) tumbuhan, buncis diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio

: Spermatophyta

Sibdivisio

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Subkelas

: Calyciflorae

Ordo

: Leguminales

Famili

: Leguminosae

Subfamili

: Papilionoidae

Genus

: Phaseolus

Spesies

: Phaseolus vulgaris L.
Kacang buncis dikenal dengan nama latin Phaseolus vulgaris L. atau biasa

disebut Phaseolus esculentus salis B. Tanaman buncis memiliki jumlah kromosom 2n=22
dan termasuk tanaman berhari pendek (untuk berbunga memerlukan jumlah penyinaran
matahari kurang dari dua belas jam setiap hari). Oleh karena itu, tanaman buncis mudah
berkembang di Indonesia. Namun, buncis yang dikembangkan di daerah sedang
(temperate zone) termasuk tanaman berhari netral (Pitojo, 2004).
Buncis dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu tipe merambat dan tipe tegak
(Debouck, 1991). Buncis tipe merambat antara lain pole bean, french bean, dan snap
bean, sedangkan untuk buncis tipe tegak adalah bush bean.
Buncis merupakan sayuran buah berpolong. Polong pendek berisi 2-6 butir biji
dan polong yang panjang dapat berisi lebih dari 12 butir. Biji dari buncis yang bersari
bebas dapat dijadikan benih, sedangkan biji buncis hibrida tidak dianjurkan untuk
dijadikan benih karena akan menyebabkan terjadinya segregasi. Warna biji buncis yang
telah tua sangat beragam : putih, cokelat, atau hitam; tergantung pada varietasnya. Bunga
buncis mekar pada pagi hari sekitar jam 07.00 – 08.00. hasil dari proses penyerbukan
bunga berupa buah yang disebut ”Polong”. Saat biji telah masak fisiologi adalah saat
terbaik untuk memungut buah untuk dijadikan benih. Biji yang telah masak fisiologi
ditandai dengan kulit polong yang mengering dan biji mengeras (Pitojo, 2004).

Pengeringan Benih
Dalam mendapatkan benih yang bermutu tinggi untuk keperluan produksi benih
maka harus memperhitungkan waktu pemanenan benih, dimana benih tersebut harus
dipanen dalam keadaan masak fisiologi, karena pada saat itu benih memiliki kualitas
maksimal (Kuswanto, 2003). Menurut Sadjad (1980a) masak fisiologi merupakan periode
dimana daya berkecambah dan vigor benih maksimum. Selain itu pada saat masak
fisiologi benih tersebut memiliki berat kering yang maksimum, tetapi kadar air benih
masih terlalu tinggi apabila langsung dilakukan pemanenan, sehingga dapat menimbulkan
kerawanan-kerawanan, misalnya benih mudah rusak dan lebih mudah terserang hama
serta penyakit. Disamping itu, pada kadar air yang terlalu tinggi laju respirasi benih juga
tinggi (Kuswanto, 2003). Oleh karena itu, benih dibiarkan tetap bersama tanaman di
lapang sampai kadar airnya turun dan dapat dipanen yaitu pada fase matang. Selama
periode ini kualitas benih sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Curah hujan, suhu
tinggi dan kelembaban tinggi menunjang kemunduran dan rendahnya kualitas benih
(Delouche, 1983).
Selama perkembangan, pemasakan dan pematangan, kadar air benih menurun
perlahan- lahan hingga benih yang dipanen akhirnya mengering sampai batas yang tidak
terjadi lagi penurunan kadar air, karena kadar airnya telah mencapai keseimbangan
dengan kelembaban nisbi lingkungan sekitarnya. Bila terjadi perubahan selanjutnya pada
kadar air, hal tersebut disebabkan perubahan pada kelembaban nisbi, suhu lingkungan,
atau keduanya (Justice dan Bass, 2002).
Pengeringan benih dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air benih
sampai pada taraf yang aman untuk penyimpanan. Selain itu juga untuk mempertahankan
persentase viabilitas benih terutama yang berada di daerah bersuhu dan kelembaban
tinggi. Menurut Priyatna (1984) tujuan pengeringan benih adalah memperlambat
pernafasan benih, mencegah serangan jamur, memperlambat kemunduran viabilitas benih
dan meningkatkan daya simpan. Pengeringan yang baik akan menghasilkan benih dengan
kadar air yang aman untuk dilakukannya pengolahan lebih lanjut menggunakan mesin
pengolah benih, sehingga dapat mengurangi kerusakan mekanis akibat mesin pengolah.
Pengeringan benih bisa terjadi sebelum benih tersebut dipanen. Hal tersebut
terjadi apabila kemasakan benih terjadi pada saat cuaca panas/musim kemarau. Dengan

demikian, berarti bahwa panen tidak dilakukan pada saat benih masak fisiologi atau sama
halnya dengan menyimpan benih di lahan dengan kondisi yang tidak sesuai dengan
kondisi untuk penyimpanan benih. Panen yang dilakukan pada saat benih belum masak
fisiologi akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas benih, dan pada kondisi
lingkungan yang kurang sesuai tanaman dapat rebah sehingga dapat mengurangi jumlah
benih yang dapat dipanen, atau terjad i shaterring terutama pada famili Leguminosae
sehingga sebagian benih hilang serta dapat pula benih terserang hama dan penyakit
(Kuswanto, 2003).
Pengeringan benih merupakan proses perpindahan air dari dalam benih ke
permukaan benih, dan kemudian air yang berada di permukaan tersebut akan diuapkan
jika RH ruangan lebih rendah. Proses ini akan terjadi hingga keseimbangan kadar air
benih dengan RH lingkungannya tercapai (Kuswanto, 2003). Prinsip pengeringan benih
adalah memberikan lingkungan pada benih sedemikian sehingga tekanan uap disekeliling
benih lebih rendah daripada tekanan uap di dalam benih.
Mekanisme pengeringan dijelaskan melalui teori tekanan uap air yang diuapkan
terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas merupakan air yang terdapat pada
permukaan benih, sedangkan air terikat yaitu air yang terdapat dalam benih dan biasanya
lebih sukar dikeluarkan. Hermawan (1999) menyatakan bahwa pengeringan dapat terjadi
apabila ada perpindahan uap air benih menuju udara sekitar dan dari bahan menuju
permukaan benih itu sendiri. Dengan memanaskan udara sekitar maka tekanan uap di
dalam udara menurun dan suhu benih meningkat. Akibatnya terjadi perpindahan uap air
dari tekanan tinggi (benih) ke tekanan yang lebih rendah (udara sekitar).
Pengeringan benih dapat dilakukan dengan cara menjemur benih secara langsung
di bawah sinar matahari (sun drying). Namun, cara ini kondisi ventilasi (aliran udara)
harus benar-benar diperhatikan dan harus dicegah terjadinya pemanasan yang berlebih
(over heating) karena jumlah panas yang diterima tidak dapat diatur. Sehingga, perlu
diperhatikan ketebalan lapisan benih dan ventilasi (aliran udara) tempat pengeringan.
Selama proses pengeringan, benih harus dibolak balik agar tidak terjadi pemanasan yang
berlebihan di lapisan sebelah atas, dan untuk memudahkan penguapan air dari lapisan
sebelah bawah (Kuswanto, 2003). Untuk pengeringan biji yang akan digunakan sebagai
benih harus diperhatikan temperatur udara dan sebaiknya antara 32 0 -430C (900-1100 F).

Bila pada pengeringan benih digunakan temperatur udara tinggi maka pengeringan akan
berlangsung cepat. Tetapi mengakibatkan retak-retak atau sun cracking karena suhu di
bawah sinar matahari langsung di daerah tropis dapat mencapai di atas 710 C (1600 F).
Keuntungan dari cara pengeringa n ini adalah energi yang didapat dari sinar matahari
murah dan melimpah, terutama di daerah tropis. Namun kerugiannya adalah penjemuran
tergantung cuaca (Sutopo, 1998).
Jika jumlah benih yang harus dikeringkan banyak dan lantai jemur terbatas
luasnya atau karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan, maka benih harus
dikeringkan dengan pengeringan buatan (artificial), misalnya dengan pemanasan atau
hembusan udara kering. Pengeringan buatan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan,
untuk mencegah terjadinya kerusakan benih karena kehilangan air dalam waktu yang
singkat, yang dapat menyebabkan pecahnya benih atau stres, terutama pada benih famili
Leguminosae. Oleh karena itu, suhu yang digunakan untuk mengeringkan benih harus
dijaga dalam kisaran 38 0 C-430 C. Keuntungan dengan cara buatan ini adalah suhu dapat
diatur, kadar air benih dapat merata, tidak tergantung iklim, waktu pengeringan benih
lebih pendek dan mudah diawasi dalam pelaksanaannya (Soedarsono, 1980).
Menurut Sutopo (1998) lama pengeringan atau waktu yang dipergunakan untuk
pengeringaan benih ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi benih yang akan
dikeringkan, tebal timbunan benih, temperatur udara, kelembaban nisbi dan aliran udara.
Dalam pengeringan benih, lama pengeringan dan suhu perlu diperhatikan karena sangat
berperan dalam mempertahankan daya hidup benih. Pengeringan benih yang terlalu cepat
menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit berkerut bahkan retak (Soedarsono,
1980). Suseno (1974) menyatakan bahwa perubahan suhu secara cepat ketika
pengeringan benih akan menyebabkan kerusakan hipokotil, sehingga jika benih
dikecambahkan akan menghasilkan kecambah abnormal yang merupakan pencerminan
kerusakan yng terjadi pada kromosom di dalam sel.
Metode pengeringan alami umumnya menunjukkan nilai viabilitas, vigor dan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pengeringan buatan, akan tetapi
pengeringan buatan adalah salah satu alternatif yang paling praktis di dalam penerapan
industri benih, dengan syarat waktu pengeringan ya ng diperlukan tidak terlalu cepat
(Balitsa, 1998a).

Pengeringan benih membutuhkan perpindahan panas, karena benih hanya dapat
dikeringkan dengan mengevaporasikan uap air dari permukaannya. Jika evaporasi dari
permukaan benih berlangsung terlalu cepat, maka tekanan kelembaban yang terjadi
berlebihan akan merusak embrio benih dan menyebabkan kehilangan viabilitasnya.
Tekanan uap air udara sekitarnya juga penting untuk tidak dibiarkan meningkat. Jika
tekanan uap air udaranya menjadi lebih besar dari tekanan uap air pada permukaan
benihnya, maka kemungkinan benih akan menyerap uap air ketimbang kehilangan uap air
(Justice dan Bass, 2002).
Benih bersifat higroskopis, sehingga jika benih diletakkan di dalam ruangan
dengan RH rendah, maka benih akan kehilangan air. Namun sebaliknya, jika benih
diletakkan dalam ruangan dengan RH tinggi, maka kadar air benih akan bertambah atau
meningkat. Selain benih bersifat higroskopis, benih juga selalu ingin berada dalam
kondisi equilibrium (keseimbangan) dengan kondisi sekitarnya (Kuswanto, 2003).
Penundaan pengeringan setelah panen akan menurunkan mutu benih (Delouche,
1983). Menurut Nugroho (1989), benih yang tidak mengalami penundaan pengeringan
mempunyai viabilitas yang lebih baik dibandingkan benih yang mengalami penundaan.
Keterlambatan pengeringan dapat mengakibatkan benih terperam sehingga membusuk
dan daya berkecambah menurun (Sumarno dan Widiarti, 1985). Penelitian membuktikan
bahwa penundaan pengeringan 2 hari pada biji kedelai mengakibatkan kerusakan biji
hampir sebanyak 32%, sedangkan penundaan 5 hari hampir separuhnya yaitu 48.6%
terutama panen dimusim penghujan. Penumpukan hasil panen sebelum pengeringan pada
brangkasan kedelai akan menurunkan kuantitas dan kualitas hasil karena bahan masih
memiliki kadar air yang tinggi.

Tingkat Kemasakan Benih
Kemasakan benih menurut Delouche (1983), mencakup perubahan-perubahan
morfologi dan fisiologi yang berlangsung sejak fertilisasi sampai bakal benih masak
menjadi benih yang siap panen. Menurut Pitojo (2004), polong buncis yang dipanen
untuk benih harus telah matang fisiologi. Adapun tanda-tanda visual polong buncis yang
telah siap dipanen sebagai calon benih yaitu: warna kulit polong mulai mengering,
berwarna kuning, dan kulit polong mulai keriput. Selama proses pemasakan benih terjadi

perubahan-perubahan tertentu dalam bakal benih yang meliputi perubahan kadar air, berat
kering, perkecambahan dan vigor benih.
Didalam penerapan agronomis yang kurang baik, terutama didalam penyiraman
tanaman (irigasi) yang seharusnya dilakukan setiap hari, akan tetapi dimusim kemarau
dilakukan setiap 3 hari sekali, maka akibatnya pada umur tanaman kurang dari 30 hari
tanaman sudah menghasilkan bunga. Sehingga pada umur 37-38 HST panen polong tua
sudah dapat dilakukan (Balitsa, 1998a). Hidalgo (1991) menyatakan bahwa secara umum,
perilaku pembungaan, waktu untuk berbunga dan jangka waktu pembungaan merupakan
komponen penting dalam penentuan waktu kematangan.
Delouche (1983) secara umum menggambarkan daya berkecambah dan ukuran
benih telah maksimum sebelum tercapai masak fisiologi. Berat kering dan vigor benih
maksimum pada saat masak fisiologi. Berat kering, ukuran dan vigor benih setelah lewat
fase masak fisiologi akan menurun secara perlahan-lahan, tetapi kadar air benih menurun
dengan cepat hingga tercapai keseimbangan dengan kondisi di lingkungan pertanaman.
Pada saat mencapai masak fisiologi, benih mempunyai berat kering dan vigor maksimum
dan pada saat itu pula penghimpunan makanan di endosperm berakhir (Sadjad, 1980a).
Vigor benih yang mencapai tingkatan maksimum waktu mencapai masak fisiologi harus
dipertahankan selama proses pemanenan dan proses pengolahan selanjutnya. Vigor itu
harus dikonservasi dalam periode yang disebut Periode Konservasi (PK) sebelum benih
siap disimpan (PKS) (Sadjad et al., 1999).
Sadjad et al. (1999) mengemukakan bahwa viabilitas optimum menunjukkan daya
hidup benih dalam kondisi serba optimum, baik di lapang maupun di penyimpanan,
sehingga benih dapat tumbuh secara maksimal. Sedangkan vigor benih adalah
kemampuan benih mengatasi kondisi yang sub optimum.
Sedangkan rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
genetik, fisiologi, morfologi, sitologi, mekanis dan mikroba (Heydecker, 1972). Faktor
lingkungan juga mempengaruhi rendahnya vigor benih, diantaranya deraan cuaca lapang
apabila terjadi penundaan pemanenan setelah masak fisiologi atau pemanenan sebelum
masak fisiologi. Selain itu, hal yang mempengaruhi rendahnya vigor benih adalah
pengolahan pasca panen yang didahului oleh proses pengeringan benih yang kurang tepat
dan terencana seperti terjadinya penundaan pengeringan akibat kurangnya kapasitas alat

atau masih tingginya kadar air benih untuk pengolahan. Sementara itu, benih yang
memiliki vigor yang rendah akan berakibat terjadinya kemunduran benih yang cepat
selama penyimpanan, kecepatan kecambah menurun, peka serangan hama dan penyakit,
peningkatan jumlah kecambah abnormal dan produksi menurun (Sutopo, 1998).
Penentuan masak fisiologi sangat penting dalam pemasakan benih, karena
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu benih (Copeland dan McDonald ,
1995). Benih yang dihasilkan dari suatu pertanaman akan bermutu tinggi bila
pemanenannya dilakukan pada saat masak fisiologi. Pada momen periode viabilitas
masak fisiologi ada kalanya benih belum tepat untuk dipanen, karena kadar air benih
masih terlalu tinggi yang bisa mengakibatkan kerusakan fisik apabila dipanen (Sadjad,
1993).

Panen yang terlalu dini akan menghasilkan benih dengan vigor dan daya

berkecambah yang rendah (Delouche, 1983). Demikian pula benih yang terlambat
dipanen akan menurun vigornya akibat penyimpanan di lapang. Untuk mendapatkan
benih yang berviabilitas tinggi, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemasakan benihnya.
Benih kacang jogo yang dipanen pada umur 36 HSB, saat tercapainya masak fisiologis
kemudian diikuti pengeringan matahari atau buatan, memiliki vigor benih maksimum
(Kartika dan Ilyas, 1994). Varietas buncis rambat yang dipanen kering pohon dapat
menghasilkan benih yang baik dengan persentase kadar air 9%, daya berkecambah 100%,
dan vigor 94%. Pada umur 10 minggu sejak bunga mekar, kacang buncis rambat sudah
dapat dipanen dan hasil benihnya cukup baik (kadar air 9%, daya berkecambah 85%,
vigor 45%). Varietas buncis tegak dipanen kering pohon dapat menghasilkan benih yang
baik dengan persentase kadar air 9%, daya berkecambah 100% dan vigor 94%. Pada
umur 8 minggu sejak bunga mekar (50% kuning) kacang buncis tegak sudah dapat
dipanen dan hasil benihnya cukup baik (kadar air 10%, daya berkecambah 83%, vigor
52%). Dari evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa tahapan waktu panen pada masak
fisiologi lebih baik daripada panen kering pohon, yang ditunjukkan dalam nilai persen
viabilitas, vigor benih dan morfologi pertumbuhannya (Balitsa, 1998b).
Tingkat kemunduran benih, rendahnya kemampuan berkecambah dan vigor benih
ditentukan oleh periode antara masak fisiologi dan waktu panen (Boyd dan Delouche,
1983). Penundaan saat panen harus tetap memperhatikan jumlah dan mutu benih yang
akan dihasilkan (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Proses pemasakan benih dimulai saat

anthesis sampai benih mencapai masak fisiologi, sedangkan pematangan benih dimulai
dari saat masak fisiologi sampai masak panen. Menurut Delouche (1983), antara tingkat
masak masak fisiologi dan tingkat matang (panen) merupakan periode kritis yang sangat
menentukan kualitas benih terutama bila kondisi cuaca saat panen tidak menunjang.
Panen yang dilakukan sebelum benih masak dapat menyebabkan perkecambahan atau
vigor benih jelek, karena struktur dan komponen benih belum berkembang atau disintesis
dengan sempurna. Penangguhan panen setelah pemasakan sama saja dengan menyimpan
benih di lapang di bawah kondisi kelembaban dan suhu yang tidak layak (Mugnisjah dan
Setiawan, 1990).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2005-Maret 2006 di Kebun
Percobaan Leuwikopo dan Unit Processing Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih
Leuwikopo Darmaga, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih buncis (Phaseolus vulgaris L.) varietas
Lebat. Bahan lain yang digunakan adalah kertas merang, plastik, dan kertas label.
Alat yang digunakan adalah desikator, oven dengan suhu 1350 C, timbangan, alat
pengepres IPB 75-1, alat pengecambah benih tipe IPB 72-1, pinset dan termometer.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial yang disusun dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor, yaitu :
1 Faktor waktu panen

: 32 dan 35 hari setelah berbunga (HSB).

2 Faktor penundaan pengeringan

: 0, 1 dan 2 hari.

Sehingga didapatkan jumlah kombinasi percobaan 3X2X3 = 18 satuan percobaan.
Model rancangan disusun sebagai berikut :

Yijk = µ + a i + ßj + (aß)ij + ? ij
Keterangan :
Yij

= Hasil pengamatan pengaruh waktu panen ke-32 dan 35 HSB (i) dan
penundaan pengeringan ke-0, 1 dan 2 hari (j).

µ

= Rataan umum hasil pengamatan

ai

= Pengaruh waktu panen ke-i

ßj

= Pengaruh penundaan pengeringan ke-j

(aß)ij

= Pengaruh interaksi antara waktu panen ke- i dan penundaan pengeringan ke-j.

Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati dilakukan uji F dan
bila uji F nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%.

Pelak