PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN PENGUSANGAN CEPAT UAP JENUH ETANOL PADA VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)
PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN PENGUSANGAN CEPAT UAP JENUH ETANOL PADA VIABILITAS BENIH
BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)
(Skripsi)
Oleh
TERESIA NINING HANDAYANI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2012
(2)
PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN PENGUSANGAN CEPAT UAP JENUH ETANOL PADA VIABILITAS BENIH
BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)
Oleh
Teresia Nining Handayani
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Pertanian
pada
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2012
(3)
Judul Skripsi : PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN PENGUSANGAN CEPAT UAP JENUH ETANOL PADA VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)
Nama Mahasiswa : Teresia Nining Handayani No. Pokok Mahasiswa: 0714011058
Program Studi : Agroteknologi Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Ir. Eko Pramono, M.S. Ir. Ermawati, M.S.
NIP 196108141986091001 NIP 196101011987032003
2. Ketua Program Studi Agroteknologi
Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. NIP 196411181989021002
(4)
MENSAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Ir. Eko Pramono, M.S.
Sekretaris : Ir. Ermawati, M.S.
Penguji Bukan Pembimbing: Ir. M. Syamsoel Hadi, M.Sc.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001
(5)
Teresia Nining Handayani
ABSTRAK
PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN PENGUSANGAN CEPAT UAP JENUH ETANOL PADA VIABILITAS BENIH
BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)
Oleh
Teresia Nining Handayani
Benih yang memiliki vigor tinggi adalah benih yang dipanen setelah mencapai masak fisiologi. Untuk melihat perbedaan vigor benih oleh perbedaan tingkat kemasakan dapat di lihat dengam perbedaan metode pengusangan cepat dengan uap jenuh etanol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kemasakan dan lama pengusangan cepat dengan uap jenuh etanol terhadap viabilitas benih buncis.
Panen benih buncis dilakukan dari lahan Politeknik Negeri Lampung meng-hasilkan tiga tingkat kemasakan. Viabilitas benih buncis tersebut diuji di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni sampai September 2011. Perlakuan disusun secara faktorial (4x3) dalam rancangan petak terbagi dalam RKTS (split plot) dengan tiga
kelompok. Pengusangan cepat uap jenuh etanol sebagai petak utama dengan taraf 0, 20, 40, dan 60 menit. Tingkat kemasakan sebagai anak petak adalah tiga tingkat kemasakan yaitu 60, 67, dan 74 HST. Satuan percobaan berjumlah 36 satuan percobaan. Homogenitas ragam antarperlakuan diuji dengan menggunakan uji Bartllet dan kemenambahan model linier diuji dengan uji Tukey. Bila asumsi analisis ragam`terpenuhi, pengolahan data dilanjutkan dengan pemisahan nilai tengah dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
(6)
Teresia Nining Handayani Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengaruh pengusangan cepat uap jenuh etanol menghasilkan kecepatan perkecambahan dan panjang hipokotil tertinggi dari pengusangan 20 menit dan terendah dari pengusangan 60 menit, (2) pengaruh tingkat kemasakan menghasilkan kecepatan perkecambahan, kecambah normal kuat, dan panjang hipokotil tertinggi dari tingkat kemasakan 67 HST dan terendah dari tingkat kemasakan 74 HST, dan (3) pengaruh interaksi antara pengusangan cepat uap jenuh etanol dan tingkat kemasakan menunjukkan bahwa benih dengan tingkat kemasakan 67 HST pada pengusangan cepat uap jenuh etanol 20 menit menghasilkan panjang akar primer dan bobot kering kecambah normal paling tinggi.
Kata kunci : Tingkat kemasakan, pengusangan cepat uap jenuh etanol, benih buncis.
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tanjung Aman Kecamatan Padang Ratu-Lampung Tengah pada tanggal 10 Oktober 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Yohanes Sarwoco dan Ibu Maria Muji Rahayu.
Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 1 Margorejo pada tahun 1995, SLTP 28 Oktober Karang Tanjung pada tahun 2001, SMA Negeri 1 Sukoharjo pada tahun 2004, dan pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian dan pada tahun 2008 diintegrasi oleh Jurusan menjadi program studi Agroteknologi melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Fisiologi Tumbuhan tahun 2009—2010 dan mata kuliah Teknologi Benih tahun 2010—2011. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Training Organisasi dan Profesi Budidaya Pertanian (TOP BDP) Himadita FP Unila di Bandar Lampung tahun 2007 sebagai peserta. Penulis melaksanakan Praktik Umum di UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung tentang Pengujian Mutu Benih Padi (Oryza sativa L.) di UPTD BPSB Lampung.
(8)
Kupersembahkan karya sederhana penuh perngorbanan dan kesabaran ini sebagai ungkapan rasa sayangku dan baktiku kepada:
Bapak Yohanes Sarwoco dan Ibu Maria Muji Rahayu yang selalu mencurahkan rasa sayang tanpa henti, yang selalu mengajari bagaimana
menjadi manusia yang terbaik, serta dalam doa yang selalu menantikan keberhasilanku dengan sabar dan pengertian.
Kakakku Yusuf Edy Rianto dan Katarina Indah Dwi Palupi, Adikku Elisa Ambarwati dan Febianus Rendianto atas senyuman, dukungan, doa, perhatian,
serta rasa sayang yang tak tergantikan. Almamater tercinta, Universitas Lampung.
(9)
“Jadikan mimpi-mimpi sebagai motivasi untuk mencapai
kesuksesan”.
“Barangsiapa berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena menuntut ilmu, maka diampuni dosanya sebelum
(10)
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas Anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan diselesaikannya skripsi ini maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Eko Pramono, M.S., selaku pembimbing utama atas saran dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Ir. Ermawati, M.S., selaku pembimbing kedua atas saran dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Ir. M. Syamsoel Hadi, M.Sc., selaku penguji bukan pembimbing yang
telah memberikan saran dan kritik selama penulis menyelesaian skripsi ini. 4. Ibu Dr. Ir. Nyimas Sa’diyah, M.P., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa.
5. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Program Studi Agroteknologi atas bimbingan, nasehat, dan dukungan kepada penulis. 6. Seluruh Dosen Program Studi Agroteknologi atas segala ilmu pengetahuan
yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa.
7. Keluarga tercinta Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik yang telah memberikan kasih sayang, waktu, semangat, dan perhatiannya kepada penulis.
(11)
8. Sahabat seperjuangan penulis Titiani Pertiwi, I Made Ratna Diane, Indah Puspasari, dan Sri Purwanti Agustini atas bantuan, diskusi, dan motivasinya selama penelitian hingga menyelesaikan skripsi ini.
9. Evi Apriani, S.P., Yolanda Mayasari, S.P., Ratih Rahutami, S.P., Ambar Maharani, S.P., Heru Septiadi, S.P., I Ketut Triswantike, S.P., Linggar Suprayogi, S.P., Dolly Saputra, Juhanda, Widya Wirawan, Laely
Mukarromah, Yunita, Fitria Andriani, atas motivasi dan bantuannya selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
10. Ria, Rina, Rose, dan Meta yang telah memberikan semangat, motivasi, perhatian, dan kasih sayang selama penelitian hingga penyelesaian skripsi. 11. Hendra Saputra yang telah memberikan motivasi, tenaga, perhatian, dan kasih
sayang kepada penulis setiap waktu.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, Januari 2012 Penulis,
(12)
2
I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setiap 100 gram kacang buncis mengandung 35,0 kalori; 2,4 gram protein; 0,2 gram lemak; 7,4 gram karbohidrat; 65,0 mg kalsium; 44,0 gram fosfor; 1,1 gram besi; vitamin A 630,0 mg; vitamin B 0,8 mg; vitamin C 19,0 mg; dan air 88,9 gram (Anonim, 1999).
Buncis memiliki potensi ekonomi yang sangat baik, sebab peluang pasarnya cukup luas yaitu untuk sasaran pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Ekspor buncis dapat berupa polong segar, polong yang dibekukan maupun bijinya (kacang jogo). Buncis mempunyai peranan yang sangat besar terhadap
pendapatan petani, peningkatan gizi masyarakat, pendapatan negara melalui ekspor, pengembangan agribisnis, dan perluasan kesempatan kerja (Setianingsih dan Khaerodin, 2003).
Kebutuhan masyarakat akan buncis terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Hasil survei pertanian yang dilakukan pada tahun 1990 dengan jumlah penduduk 179.332.000 jiwa, kebutuhan akan buncis mencapai 261.810 ton, sedangkan produksi buncis hanya mencapai 149.863 ton
(13)
2 dengan luas areal panen adalah 54.273 hektar (Setianingsih dan Khaerodin, 2003). Sementara itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2006), khusus untuk
wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dengan jumlah penduduk 330.536 jiwa, kebutuhan buncis mencapai 2.221.201 ton, sedangkan produksi buncis 1.312,60 ton. Dari data tersebut terlihat bahwa produksi buncis di dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Untuk memenuhi permintaan penduduk perlu dilakukan usaha peningkatan produksi buncis baik dari kualitas maupun kuantitas yakni dengan cara perbaikan teknik budidaya, pemilihan teknologi yang tepat, penggunaan benih yang baik, pemeliharaan serta perlindungan hama dan penyakit.
Tabel 1. Produksi buncis di Indonesia.
Tahun Produksi (ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 302,684 228,840 230,020 247,782 267,619 283,649 269,532 266,790 266,551 289,275
Sumber: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2009)
Pencapaian produksi buncis yang tersebut sangat merugikan bagi bangsa Indonesia karena harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk
memenuhi permintaan masyarakat Indonesia yang membutuhkan buncis. Salah satu penyebab utama rendahnya tingkat produksi buncis adalah penanaman varietas lokal yang masih cukup luas walaupun mempunyai produktivitas yang
(14)
3 rendah. Permasalahan lainnya adalah dalam penyediaan benih sayuran bermutu tinggi seperti benih buncis di Indonesia yaitu rendahnya daya simpan benih dan tingkat kemasakan pada saat pemanenan. Pada penyimpanan terbuka dengan kondisi ruang simpan suhu kamar, benih buncis diperkirakan hanya mampu mem-pertahankan viabilitas selama dua bulan (Nasution, 2005).
Menurut Sadjad (1994), viabilitas benih selama penyimpanan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu vigor awal yang ditentukan oleh faktor innate (faktor genetik) dan faktor induced yang mencangkup kondisi lapangan tempat benih dihasilkan sampai dengan penanganan benih dan penyimpananya. Faktor enforced yaitu lingkungan penyimpanan benih meliputi suhu, kelembaban nisbi, dan biosfer ruang simpan. Justice dan Bass (1994) menyatakan bahwa viabilitas awal harus dipertahankan pada saat penyimpanan. Viabilitas awal maksimum dicapai pada saat benih mencapai masak fisiologis. Viabilitas awal sebelum disimpan sangat mempengaruhi berapa lama benih dapat disimpan.
Metode pengusangan cepat kimiawi dengan uap etanol merupakan salah satu cara yang dapat mengungkapkan daya simpan dugaan dari suatu lot benih (Sadjad, 1994). Dengan metode pengusangan ini, benih diperlakuan dengan uap jenuh etanol dalam waktu singkat yang bertingkat-tingkat (intensitas pengusangan cepat kimiawi dengan uap etanol = IPCKU) sehingga benih akan mengalami
kemunduran mutu dengan cepat seperti halnya kemunduran mutu benih oleh periode waktu alamiah yang relatif lama. Simulasi pengusangan dengan uap jenuh etanol dapat dilakukan dengan mesin pengusangan cepat (MPC IPB 77-1). Metode pengusangannya adalah menghembuskan uap etanol 95% dan kemudian
(15)
4 dengan uap panas kepada benih. Tingkat kemunduran yang diinginkan dapat diperoleh dengan mengatur waktu dan frekuensi pengusangan.
Menurut Pramono (2009), pemasakan benih berjalan sejak terjadinya fertilisasi hingga masak fisiologi. Pemasakan terjadi selama periode I dalam masa hidup benih. Tingkat kemasakan benih meningkat sejalan dengan waktu. Petunjuk atau indikator fisik dari tingkat kemasakan benih adalah bahan kering yang
tera-kumulasi dalam benih. Benih yang dipanen dari tingkat kemasakan berbeda akan memiliki bahan kering yang berbeda. Pada saat benih mencapai masak fisiologi, maka bahan kering benih mencapai maksimum, sedangkan tanda nonfisik dari kemasakan benih adalah viabilitas benih. Viabilitas benih yang tinggi dapat dilihat dari perkecambahannya.
Benih buncis yang dipanen dari tingkat kemasakan yang berbeda meiliki viabilitas yang berbeda pula. Salah satu cara untuk mengetahui percepatan kemunduran viabilitas benih adalah dengan pengusangan dipercepat, misalnya dengan simulasi pengusangan dengan uap etanol. Perlakuan uap jenuh etanol pada benih
merupakan salah satu upaya devigorasi, yaitu benih ditempatkan pada kondisi yang tidak menguntungkan sehingga viabilitasnya cepat menurun. Menurut Pian (1981) dalam Zanzibar (2007), uap etanol dapat diserap oleh benih dan pada konsentrasi tertentu akan berpengaruh buruk terhadap tampilan vigor benih. Uap etanol dapat menyebabkan perubahan sifat molekul makro yang berpengaruh terhadap aktivitas enzim, membran sel, mitokondria, serta organel-organel sel lainnya yang berperan dalam metabolisme perkecambahan. Semakin lama benih diusangkan dalam uap jenuh etanol dengan tingkat kemasakan yang berbeda,
(16)
5 maka benih akan semakin mengalami penurunan viabilitas. Benih yang dipanen saat mencapai masak fisiologi sampai masak panen mampu mempertahankan viabilitasnya meskipun didera dalam uap jenuh etanol dengan intensitas waktu yang lama, karena pada saat masak fisiologi sampai masak panen benih memiliki viabilitas dan bobot kering yang maksimum.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah lama pengusangan dengan uap jenuh etanol akan menurunkan viabilitas benih buncis?
2. Apakah benih buncis yang dipanen pada tingkat kemasakan berbeda akan memiliki viabilitas yang berbeda?
3. Apakah lama pengusangan dengan uap jenuh etanol berpengaruh pada viabilitas benih dengan tingkat kemasakan yang berbeda?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh lama pengusangan dengan uap jenuh etanol terhadap viabilitas benih buncis.
2. Untuk mengetahui perbedaan viabilitas benih buncis antartingkat kemasakan. 3. Untuk mengetahui apakah viabilitas benih dipengaruhi oleh pengusangan cepat
(17)
6 1.3 Landasan Teori
Simulasi pengusangan dengan uap jenuh etanol dapat dilakukan dengan mesin pengusangan cepat (MPC IPB 77-1). Metode pengusangan cepat (MPC) merupakan suatu cara mengusangkan atau memundurkan benih dengan cepat secara buatan. Pengusangan cepat menggunakan alat pengusang cepat (APC). Prinsip MPCUE adalah mendera benih dengan uap jenuh dari etanol 95%. Intensitas pengusangan cepat (IPC) pada MPCUE ini adalah waktu atau lamanya benih terdera dalam uap jenuh etanol 95% (Pramono, 2011).
Etanol merupakan senyawa organik yang bersifat nonpolar. Pada konsentrasi tertentu, etanol dapat mendenaturasi protein. Etanol juga bersifat higroskopis sehingga dapat menarik molekul air yang menyelimuti koloid protein sehingga akhirnya terjadi denaturasi. Protein yang telah terendam akan kehilangan fungsi biologisnya, misalnya enzim menjadi tidak aktif lagi. Denaturasi protein
menyebabkan hilangnya viabilitas yang disebabkan oleh hilangnya integritas membran. Hilangnya integritas membran akan meningkatkan permeabilitas membran, sehingga kebocoran hasil metabolisme meningkat (Villiers, 1972 dalam Sutomo, 2004).
Metode pengusangan cepat kimiawi dengan uap etanol merupakan salah satu cara yang dapat mengungkapkan daya simpan dugaan dari suatu lot benih (Sadjad, dkk, 1999). Dengan metode ini, benih diperlakukan dengan uap jenuh etanol dalam waktu singkat yang bertingkat-tingkat sehingga benih menjadi mundur dengan cepat, sedangkan benih mundur secara alamiah butuh periode waktu alamiah yang relatif lama. Dengan demikian, metode ini dapat memunculkan
(18)
7 informasi tentang daya simpan dugaan sebelum suatu lot benih disimpan
(Pramono, 2009). Penelitian Zanzibar (2007), pengusangan dengan uap etanol mampu menurunkan kualitas fisiologi benih akor, merbau, dan mindi. Penurunan tersebut dimulai pada taraf pengusangan 12 kali untuk benih mindi, 15 kali pada benih merbau, sedangkan pada benih akor pada taraf pengusangan 21 kali.
Menurut Kartika dan Ilyas (1994), melakukan penelitian menggunakan MPC IPB 77-1 untuk devigorasi benih mangium. Uap etanol dihembuskan selama 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan hembusan uap panas selama 10 menit.
Pengusangan taraf 8 kali daya berkecambah hanya turun 2%, tetapi vigor awalnya turun 40%. Untuk mendapatkan gambaran secara lengkap penurunan mutu fisiologi benih dibutuhkan taraf pengusangan yang lebih beragam. Penurunan mutu benih karena penderaan uap etanol menyebabkan kerusakan pada membran benih. Teknik pemunduran benih dengan mendera benih dalam uap jenuh etanol 95% telah dilakukan oleh Sutomo (2008). Hasil percobaan menunjukkan bahwa kemunduran benih dengan tingkat kemunduran yang ideal dapat dihasilkan
dengan mendera benih dalam uap jenuh etanol. Daya simpan benih tertinggi yang merupakan fenomena terbalik dari perlakuan pengusangan berturut-turut pada benih akor, merbau, dan mindi. Sedangkan Zanzibar (2003) menjelaskan bahwa terjadinya perbedaan penurunan daya berkecambah pada beberapa tingkat penderaan. Penurunan kemampuan benih untuk berkecambah disebabkan oleh perubahan molekul makro dan kehabisan metabolit penting untuk perkecambahan.
Benih mencapai kematangan fisiologi sewaktu pertumbuhan benih masih terjadi pada tanaman induknya. Pada saat kematangan fisiologi, benih memiliki
(19)
8 viabilitas dan bobot kering yang maksimal. Penyakit dan hama, kekurangan air serta kekurangan makanan, baik pada tanaman induk sewaktu pertumbuhan dan perkembangannya atau pada waktu pematangan benih tersebut merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap viabilitas benih. Tingkat viabilitas pada awal penyimpanan akan menentukan ketahanan benih terhadap faktor-faktor
lingkungan pada penyimpanan, seperti kelembaban relatif udara pada kadar air benih dan suhu (Kartasapoetra, 2003).
Viabilitas benih dapat dipengaruhi oleh kondisi tanaman induk sewaktu masih di lapang, pemanenan, tingkat kemasakan, cara pemanenan, dan pengeringan. Hasil penelitian Ilyas (1986) menunjukkan bahwa benih kedelai yang dipanen sebelum atau setelah masak fisiologi memiliki nilai kebocoran zat elektrolit benih yang lebih banyak dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat atau kisaran masak fisiologi. Benih yang dipanen pada kisaran masak fisiologi memiliki mutu yang sama dengan benih yang dipanen pada kisaran masak panen. Kondisi lingkungan yang baik mampu mempertahankan viabilitas benih tetap tinggi sehingga mutu benih pada kisaran masak fisiologi sampai masak panen dapat dipertahankan.
Benih yang dipanen dengan tiga tingkat kemasakan yang berbeda setelah diusang dengan uap etanol akan mengalami kemunduran. Secara umum perlakuan dengan uap jenuh etanol berpengaruh buruk terhadap penurunan kualitas fisiologi benih. Kemunduran mutu benih akibat lama deraan akan menunjukkan respon yang berbeda dengan dilakukannya pengujian daya berkecambah, kecepatan perke-cambahan, dan keserempakan perkecambahan. Benih yang semakin lama didera
(20)
9 dengan uap jenuh dari etanol 95%, maka semakin besar kemundurannya, semakin besar tingkat kemundurannya, atau semakin rendah viabilitasnya (Pramono, 2010). Menurut Sadjad (1993), benih berkualitas tinggi adalah benih yang mampu berproduksi normal pada kondisi suboptimum dan diatas normal pada kondisi optimum. Hal ini harus nampak pada keseluruhan proses pertanaman, mulai dari menabur benih sampai tanaman tersebut berproduksi.
Mutu benih ditentukan oleh umur panennya, pemanenan yang terlalu dini atau terlambat dengan ditambahkan perlakuan pengusangan uap etanol menyebabkan biji tidak mampu berkecambah, viabilitas benih menurun. Sebaliknya,
pemanenan yang dilakukan ketika benih mencapai masak fisiologi dan diberi perlakuan uap jenuh etanol yang semakin lama, benih akan mengalami
kemunduran tetapi mampu mempertahankan viabilitas yang paling tinggi. Sadjad (1993), penderaan dengan etanol merupakan faktor eksternal yang dapat menye-babkan aberasi kromosom yang menghasilkan mutan seperti yang terjadi pada proses radiasi sehingga benih dapat menurun kualitasnya. Menurunnya mutu benih merupakan salah satu perubahan fisiologi kemunduran benih. Kemunduran benih yang terjadi akibat pengusangan cepat uap etanol dari tingkat kemasakan benih yang berbeda, semakin lama pengusangan maka daya berkecambah benih menurun. Benih yang dipanen pada kisaran masak fisiologi sampai masak panen lebih toleran terhadap deraan uap jenuh etanol dibandingkan benih yang dipanen sebelum atau melewati masak fisologi.
(21)
10 1.4 Kerangka Pemikiran
Etanol memasuki benih buncis secara difusi terutama melalui hilum. Sebagai senyawa organik nonpolar dan higrokopis, etanol dapat menarik molekul air yang menyelimuti koloid protein dan menyebabkan denaturasi protein, sehingga membran sel dan organel-organel sel serta bentuk-bentuk protein lainnya antara lain enzim-enzim menjadi rusak. Kerusakan pada membran sel menimbulkan kebocoran yang tidak normal pada saat benih berimbibisi sehingga menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah secara normal.
Intensitas deraan uap jenuh etanol dicerminkan oleh lama deraan uap jenuh tersebut pada benih. Semakin lama benih mendapat deraan uap jenuh etanol semakin rendah viabilitasnya, karena kandungan etanol di dalam benih semakin meningkat sehingga menyebabkan kerusakan pada membran benih. Semakin tinggi viabilitas benih semakin tahan terhadap deraan uap jenuh etanol. Dengan demikian, nilai viabilitas benih setelah mendapat perlakuan deraan uap jenuh etanol ditentukan oleh tingkat viabilitas benih.
Kerusakan yang ditimbulkan etanol ini menyerupai kerusakan benih yang mengalami kemunduran benih secara alami yang menimbulkan gejala-gejala fisiologi yang sama yaitu penurunan daya dan kekuatan kecambah antara lain kecepatan dan keserempakan perkecambahan. Dengan demikian, semakin lama benih didera dalam uap jenuh etanol, gejala benih kemunduran semakin
(22)
11 Benih yang dipanen pada tingkat kemasakan yang berbeda akan memiliki
viabilitas yang berbeda pula. Benih mencapai kualitas maksimum pada saat masak fisiologi. Kemasakan benih ditunjukkan dengan adanya perubahan morfologi dan fisiologi yang terjadi sejak fertilisasi sampai benih siap panen. Benih mencapai masak fisiologi pada saat benih mencapai bobot kering maksimum. Benih yang dipanen sebelum mencapai masak fisiologi viabilitas lebih rendah dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat mencapai masak fisiologi. Pendugaan ini karena benih yang dipanen sebelum masak fisiologi belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio belum sempurna. Benih yang dipanen lewat dari masak fisiologi juga mempunyai viabilitas yang rendah karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung menyebabkan benih mengalami kemunduran fisiologi, sehingga dapat
menurunkan vigor awal benih. Vigor awal yang rendah ini mempercepat laju kemunduran benih didalam penyimpanan.
Untuk mempertahankan potensi viabilitas yang tinggi pada benih yang dipanen saat tingkat masak yang optimum dapat dilakukan dengan memberi perlakuan deraan uap etanol dengan metode pengusangan cepat uap etanol sehingga akan didapatkan benih dengan viabilitas yang tinggi. Benih yang memiliki viabilitas tinggi dapat mempertahankan viabilitasnya meskipun didera uap etanol dalam waktu yang lama, hal ini perlu diketahui sehingga produsen benih dapat memanen dan mengolah benih tanpa menurunkan mutu benih.
Deraan uap jenuh etanol dalam pengusangan cepat menyebabkan kemunduran yang cepat pada benih. Benih dengan tingkat kemasakan yang berbeda-beda tentu
(23)
12 akan memiliki respon yang berbeda terhadap perlakuan pengusangan cepat
dengan uap jenuh etanol tersebut. Benih dengan viabilitas yang tinggi akan lebih tahan terhadap intensitas deraan uap jenuh etanol daripada benih yang
berviabilitas rendah. Benih buncis yang dipanen pada tiga tingkat kemasakan berbeda yaitu sebelum masak fisiologi, masak fisiologi, dan lewat masak fisiologi pada umur 60, 67, dan 74 HST akan memiliki viabilitas yang berbeda. Viabilitas yang berbeda tersebut akan menyebabkan respon yang berbeda oleh perlakuan pengusangan cepat uap etanol dengan taraf yang meningkat yaitu 0, 20, 40, dan 60 menit yang dapat dilihat dari variabel yang diamati pada uji daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, kecambah normal kuat, kecambah normal lemah, kecambah normal total, kecambah abnormal, panjang hipokotil, panjang akar primer, dan bobot kering kecambah normal.
(24)
13
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran mengenai pengaruh tingkat kemasakan dan pengusangan cepat uap jenuh etanol terhadap viabilitas benih buncis; KP = kecepatan perkecambahan; KNK = kecambah normal kuat; KNL = kecambah normal lemah; KNT = kecambah normal total; KAN = kecambah abnormal; PH = panjang hipokotil; PAP = panjang akar primer; dan BKKN = bobot kering kecambah normal.
Pengusangan cepat dengan uap jenuh etanol
Tingkat kemasakan benih buncis
Tingkat kemasakan dan pengusangan cepat uap etanol tertentu akan menghasilkan viabilitas Viabilitas benih
berbeda
Viabilitas benih menurun
60, 67, 74 HST 0, 20, 40, 60 menit
Pengujian viabilitas pada KP, KNK, KNL, KNT, KAN, PH, PAP, BKKN
(25)
14 1.5 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Lama pengusangan dengan uap jenuh etanol akan menurunkan viabilitas benih buncis.
2. Tingkat kemasakan yang berbeda menyebabkan perbedaan viabilitas pada benih buncis.
3. Penurunan viabilitas benih dari taraf tingkat kemasakan akan berbeda akibat pengusangan cepat uap jenuh etanol.
(26)
15
15 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Buncis
Buncis berasal dari Amerika Tengah, kemudian dibudidayakan di seluruh dunia di wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim yang kering dengan tanah berlempung yang subur. Buncis tahan terhadap kondisi tanah yang agak asam dan sesuai di tanah ber-pH 5,5-6,5 dan dapat tumbuh sampai ketinggian1.500 m dari permukaan laut (Mugnisjah dan Setiawan, 2004).
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), tanaman buncis umumnya memiliki sistem perakaran yang dangkal dengan akar tunggang yang biasanya pendek terlihat jelas, tetapi pada tanah rumah yang dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar satu meter. Daun buncis bersifat majemuk tiga (trifoliolatus) dan menyirip. Batang buncis umumnya berbuku-buku dan sekaligus tempat melekatnya tangkai daun. Akar tunggang yang terlihat jelas biasanya pendek, tetapi pada tanah remah yang dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar satu meter. Berbagai kultivar P. vulgaris adalah tanaman musim panas yang membelit dan merambat. Bunga tanaman buncis berukuran besar dan mudah terlihat, berwarna putih kekuning-kuningan atau ungu serta tersusun dalam karagan berbentuk tandan. Bunga menyerbuk sendiri dan umumnya jarang terjadi persilangan terbuka.
(27)
16
16 Tipe pertumbuhan tanaman buncis adalah tipe indeterminate yaitu pertumbuhan tanaman merambat dan tegak, memiliki percabangan yang lebih banyak dan jumlah buku pembungaan lebih banyak sehingga memiliki potensi hasil yang lebih besar. panjang batang tipe merambat dapat mencapai tiga meter, dengan lebih dari 25 buku pembuangan. Bentuk ini sangat mudah rebah sehingga perlu ditopang dengan lanjaran.
Menurut Rukmana (1994), polong buncis berbentuk panjang-bulat atau panjang pipih dengan panjang berkisar 8—20 cm dan lebar kurang dari satu sentimeter hingga beberapa sentimeter. Polong muda berwarna hijau muda atau hijau tua, tetapi setelah tua berubah menjadi kuning atau coklat sampai hijau tua. Setiap polong buncis mengandung biji berkisar 2—6 butir, tetapi kadang-kadang dapat mencapai 12 butir. Biji buncis berbentuk bulat agak panjang atau pipih, berwarna hitam, putih, coklat, atau merah berbintik-bintik putih. Biji ini digunakan untuk benih dalam perbanyakan secara generatif.
Benih dapat disimpan dalam waktu yang lama jika keadaan benih dalam keadaan sehat, bernas, mengkilat, bersih, tidak cacat, tidak bercendawan, dan akan lebih baik bila kadar air berkisar 9—10% (Adisarwanto dan Wudianto, 1999 dalam Chazimah, 2000).
Benih buncis tergolong benih ortodoks. Menurut Sadjad (1993), benih ortodoks adalah benih yang tidak mati bila dikeringkan ataupun disimpan dalam kondisi dingin dengan kadar air rendah.
(28)
17
17 2.2 Tingkat kemasakan benih
Benih yang dipanen sebelum mencapai tingkat kemasakan fisiologi tidak mempunyai viabilitas tinggi. Pada beberapa jenis tanaman, benih tersebut tidak akan dapat berkecambah. Hal ini diduga benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio belum sempurna. Tingkat kemasakan yang semakin tinggi, maka persentase perkecambahan juga semakin tinggi. Persentase perkecambahan maksimum dicapai oleh benih yang telah masak fisiologi (Sutopo, 1993).
Pemahaman atas pemasakan dan pematangan benih menjadi sangat penting dalam rangka produksi benih. Selama periode pematangan benih pada masak fisiologi sampai masak panen merupakan periode yang kritis karena kondisi iklim pada periode ini sering menentukan status mutu benih. Ditinjau dari segi penghematan biaya untuk pengeringan benih, pemanenan benih yang melewati periode masak fisiologi diharapkan dapat menekan biaya pengeringan benih karena kadar air benih jauh lebih rendah dibandingkan ketika mencapai masak fisiologi
(Mugnisjah dan Setiawan, 1994).
2.3 Lama deraan uap etanol
Metode pengusangan cepat secara fisik yaitu dengan cara mendera benih dengan kondisi suhu 40°C dan kelembaban nisbi 100% selama 2—8 hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa benih yang didera dengan suhu 40°C dan kelembaban nisbi 100% selama beberapa hari dapat menyebabkan terdenaturasinya protein dalam benih tersebut karena denaturasi protein dapat terjadi bila diberi perlakuan suhu
(29)
18
18 tinggi. Denaturasi protein dalam benih akan menyebabkan turunnya viabilitas benih tersebut. Semakin lamanya penderaan yang diberikan kepada benih tersebut, maka semakin besar kerusakan pada protein dalam benih tersebut sehingga menyebabkan laju penurunan viabilitas semakin tinggi yang pada
akhirnya akan mempengaruhi laju kemunduran benih (Delouche dan Baskin, 1973 dalam Copeland, 2001).
Benih mengalami kehilangan viabilitas yang sangat cepat pada suhu 25―30°C
dan kelembaban nisbi (RH) sekitar 90%. Daya berkecambah benih jagung akan menurun apabila disimpan pada suhu 40°C dan kelembaban nisbi sekitar 100%. Dengan demikian, suhu udara dan kelembaban nisbi saling berinteraksi dalam mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan (Delouche, 1971 dalam
Herlambang, 2005).
Berdasarkan penelitian Saenong (1986), terdapat interaksi antara varietas jagung dan lama penderaan secara fisik terhadap kemunduran benih tersebut. Jagung varietas Kalingga dan varietas Bisi 2 menunjukkan tanggapan viabilitas yang berbeda pada setiap taraf lama penderaan yang dapat ditunjukkan oleh peubah daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, dan daya hantar listrik.
Hasil penelitian Kadir (2001) menyimpulkan bahwa kacang kedelai varietas Willis dan varietas Leuser menunjukkan perbedaan daya tahan terhadap lama penderaan setelah didera dalam jangka waktu 0―48 jam. Hal ini ditunjukkan oleh peubah daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, kecambah normal kuat, bobot kering kecambah normal, dan daya hantar listrik.
(30)
19
19 2.4 Viabilitas benih
Viabilitas benih yaitu daya hidup benih yang ditunjukan dalam fenomena pertumbuhan benih atau gejala metabolismenya. Gejala metabolisme atau pertumbuhan dapat ditunjukan dari potensi tumbuh maksimum dan daya berkecambah. Lebih lanjut Sadjad (1993) menyatakan bahwa viabilitas benih merupakan salah satu faktor penentu mutu benih terutama secara fisiologi yang ditentukan oleh daya berkecambah dan vigor benih.
Pengujian viabilitas mencakup pengujian daya berkecambah dan pengujian vigor. Daya berkecambah menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang optimum, sedangkan vigor benih mencerminkan vigor benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang beragam (Sadjad, 1994).
Menurut konsep Steinbauer-Sadjad (1989) dalam Sadjad (1993) mengemukakan bahwa perkembangan viabilitas benih selama periode hidup benih dibagi menjadi tiga bagian yaitu periode I, periode II, dan periode III. Periode I adalah
pembangunan atau pertumbuhan dan perkembangan benih atau disebut juga periode penumpukan energi (energy deposit). Periode II yaitu periode penyimpanan benih atau periode mempertahankan viabilitas maksimum atau disebut juga periode penambatan energi (energy transit). Periode III disebut periode tanaman atau periode kritikal atau periode penggunaan energi (energy release) dan mulai terjadi proses kemunduran viabilitas benih. Pada semua periode, vigor aktual atau yang juga disebut vigor sesungguhnya atau vigor hakiki
(31)
20
20 terus menurun secara gradual linear dari viabilitas benih maksimum sampai benih mati.
Faktor yang mempengaruhi viabilitas benih dalam penyimpanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi jenis dan sifat benih, viabilitas awal benih dan kadar air benih; sedangkan faktor luar meliputi kelembaban, suhu, gas di sekitar benih, dan mikroorganisme (Sutopo, 1993).
Laju kemunduran viabilitas benih akan berjalan lambat seiring dengan semakin rendahnya suhu dan laju kemunduran viabilitas benih akan berjalan cepat seiring dengan semakin tingginya suhu. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa setiap penurunan suhu sebesar 5°C pada tempat penyimpanan, maka umur benih dapat diperpanjang setengahnya. Kaidah ini hanya berlaku untuk suhu berkisar 0―50°C (Harrington, 1959 dalam Sutopo, 1993).
Vigor benih adalah kemampuan benih menghasilkan tanaman normal pada lingkungan yang kurang memadai (suboptimum) dan mampu disimpan pada kondisi simpan yang suboptimum (Sadjad, 1994). Sedangkan Isely (1957) dalam Pramono (2009) mengemukakan bahwa vigor benih adalah total sifat-sifat benih yang menciptakan tegakan yang memuaskan pada kondisi lapang yang tidak menguntungkan.
Ciri-ciri benih bervigor yaitu tahan bila disimpan, dapat berkecambah dengan cepat dan seragam, bebas dari penyakit benih, tahan terhadap gangguan
(32)
21
21 mampu memanfaatkan bahan makanan yang ada di dalam benih dengan
maksimal; sehingga tumbuh jaringan baru, laju pertumbuhan bibit tinggi, dan mampu berproduksi tinggi dalam waktu tertentu (Sutopo, 1993). Benih buncis varietas LE—155 yang berasal dari Perancis adalah buncis tipe tegak tanpa ajir. Benih ini memiliki ciri masak fisiologi berdasarkan deskripsi varietasnya yaitu polong berwarna kuning. Varietas ini berbeda dari semula yang berwarna hijau.
Vigor yang merupakan derajat kehidupan benih dan diukur dari benih berke-cambah, kecepatan perkecambahan, jumlah kecambah normal pada berbagai lingkungan yang memadai. Vigor benih yang tinggi dapat dilihat dari semua pengamatan perkecambahan baik secara morfologi maupun fisiologi yang mempengaruhi kecepatan dan keseragaman pertumbuhan benih pada berbagai lingkungan, ini merupakan tolok ukur ketahanan benih (fisiologi) atau
kesehatannya (Delouche dalam Kuswanto, 1996).
Kemunduran suatu benih dapat diterangkan sebagai turunnya kualitas atau viabilitas benih yang mengakibatkan rendahnya vigor serta buruknya pertumbuhan tanaman dan produksi yang tidak optimal. Kejadian tersebut merupakan suatu proses yang tak dapat balik dari kualitas suatu benih. Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya kemunduran yang cepat selama penyimpanan benih, makin sempitnya keadaan lingkungan tempat benih dapat tumbuh, kecepatan berkecambah benih menurun, kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat, meningkatnya jumlah kecambah abnormal, dan rendahnya produksi tanaman (Sajad, 1993). Panen, pengeringan, pengolahan, dan penyimpanan yang baik merupakan usaha-usaha yang dapat membantu
(33)
22
22 menghambat proses kemunduran benih. Dengan penyimpanan yang baik dapat memperlambat terjadinya kemunduran fisiologi benih yang sudah mencapai vigor maksimum pada saat masak fisiologi.
2.5 Daya simpan benih
Hampir semua benih tanaman pertanian memerlukan penyimpanan sampai ditanam pada periode berikutnya. Penyimpanan perlu dilakukan untuk
mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Benih yang semakin lama disimpan, maka laju kemunduran benih tidak dapat dihindari sampai benih tersebut mati. Kemunduran benih adalah turunnya
kualitas, sifat, atau viabilitas benih yang mengakibatkan semakin rendahnya vigor benih atau jeleknya pertanaman dan hasil. Kejadian ini merupakan proses
degenerasi yang tidak dapat kembali dari mutu benih setelah mencapai mutu yang maksimum (Suseno, 1975 dalam I Made 2011) .
Vigor daya simpan adalah vigor benih selama periode simpan atau periode II. Uji vigor daya simpan adalah menguji vigor dari benih yang memiliki status viabilitas awal periode II atau dalam periode II. Vigor genetik adalah vigor benih yang disebabkan oleh faktor genetik. Vigor genetik akan dapat jelas terlihat pada pengujian lot benih dari sifat genetik yang berbeda, seperti antarspesies, antar-varietas, atau antargalur.
Penyimpanan dilakukan untuk benih yang tidak langsung dipakai (karena kele-bihan ataupun memang harus disimpan dulu sebelum ditanam). Cara yang dapat digunakan untuk menghambat deteriorasi (kemunduran) yaitu benih harus
(34)
23
23 disimpan dengan metode tertentu agar benih tidak mengalami penurunan mutu (Hertiningsih, 2009).
Benih yang mempunyai daya simpan lama berarti mampu melewati periode simpan yang panjang. Teknologi benih selalu berupaya untuk dapat meng-hasilkan benih yang mampu melampaui periode simpan sepanjang mungkin. Vigor daya simpan ialah suatu parameter vigor benih yang ditunjukkan dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan suboptimum (Sadjad,. dkk, 1999).
(35)
59
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Konsumsi kalori dan protein Indonesia dan propinsi. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Ardhana, I.M.A. 2011. Pengaruh pemberian pupuk organik pada vigor benih dua varietas padi (Oryza sativa L.) setelah menjalani periode simpan. Skripsi SarjanaUniversitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 27-32.
Badan Pusat Statistik Republik Indinesia. 2006. Statistik Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Basoeki, T.R. 2002. Viabilutas dan pengujian viabilitas benih. Makalah pada Pelatihan Pengujian Laboratorium Benih UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Propinsi Lampung. Lampung. 20—22 Mei 2002. Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and
Technology: fourth edition. Kluwer Academic Publishers. London. 534 hlm. Djuariah, D. 2008. Penampilan lima kultivar kacang buncis tegak di dataran
rendah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. 64 hlm.
Herlambang, D. 2005. Pengaruh lama deraan secara fisik terhadapviabilitas benih dua varietas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 104 hlm.
Hertiningsih, A. 2009. Pengaruh umur panen teriladap kandunigan zat gizi biji dua varietas kacang tanah (arachis hypogaea L.). Jurnal Ilmiah Ilmu-iimu Hayati ‘BIOTA’. Fakultas Pertanian. Universitas Sarjanawiyata. Jogyakarta. Hlm 89-94.
(36)
59 Ilyas. S. 1986. Pengaruh faktor induced dan enfoeced terhadap vigor benih kedelai
(Glycine max L.) dan hubungannya dengan produksi per hektar. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. 81 hlm.
Justice, O.L dan L.N. Bass. 1994. Prinsip dan Pratek Penyimpanan Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hlm.
Kadir, A. 2001. Studi daya tahan deraan secara fisik pada benih dua varietas kedelai (Glycine max [L.] Merr.). Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 59 hlm.
Kartika, E. dan S. Ilyas. (1994). Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode konservasi terhadap vigor benih dan vigor kacang jogo (Phaseolus vulgaris L. ). Karya Ilmiah ;Fakultas Pertanian IPB. Hlm. 44—59.
Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih. PT Asdi Mahasatya. Jakarta. 127 hlm.
Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 610 hlm.
Mugnisjah, W.Q. 1994. Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 264 hlm.
Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 2004. Produksi Benih. Bumi Aksara kerjasama dengan Pusat Antaruniversitas-Ilmu Hayat IPB. Bogor. 204 hlm.
Nasution, M.S. 2005. Pengaruh peningkatan dosis pupuk kalsium pada dua tingkat pemupukan fosfat terhadap produksi dan kualitas benih buncis (Phaseolus vulgaris L.). skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 103 hlm.
Pinilih, J. 2005. Pewarisan sifat warna bunga ukuran polong dan bobot polong pada persilangan buncis (Phaseolus vulgaris L.) kultivar Richgreen dengan flo. Agrosains.
Hlm. 11-22.
Pramono, E. 2009. Vigor dan Kemunduran Benih. Materi Kuliah Jurusan Budidaya pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. 17 hlm.
Pramono, E. 2010. Daya simpan dugaan 90% (DSD-90) dari intensitas
pengusangan cepat kimiawi dengan uap etanol (IPCKU) pada benih kacang tanah (Arahis hypogaea L.) http://docs.google.com. Diakses tanggal 6 Maret 2011.
(37)
60 Putrasamedja, S. 1992. Adaptasi berbagai macam kacang tipe tegak (Phaseolus
vulgaris) dataran rendah. Bulletin Hortikultura. 9 hlm.
Rohandi, A dan N. Widyani. 2009. Komposisi vigor kecambah tusam pada
beberapa tingkat devigorasi dan kerapatan benih. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor. 262 hlm.
Rubatzky dan Yamaguchi 1998. Sayuran Dunia (Prinsip, Produnsi, dan Gizi) Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung. 292 hlm.
Saenong, S. 1986. Kontribusi vigor awal terhadap daya simpan benih jagung (Zea mays L.) dan kedelai (Glicine max L. Merr). Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. 79 hlm.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 144 hlm.
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolism Benih. PT Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 178 hlm.
Sadjad, S., E. Murniati, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih. PT Grasindo Bekerja Sama dengan PT Sang Hyang Seri. Jakarta. 286 hlm. Setianingsih dan Khaerodin. 2003. Pembudidayaan Buncis Tipe Tegak dan
Merambat. PT Penebar Swadaya. Jakarta. 154 hlm.
Sutomo. 2004. Tanggapan 3 varietas kedelai pada 5 tingkat kemunduran benih terhadap 3 masukan produksi. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Lampung. Lampung. 117 hlm.
Sutopo. 1993. Teknologi Benih. CV Rajawali Pers. Jakarta. 248 hlm.
Zanzibar, M. 2003. Kemunduran viabilitas beberapa benih pohon hutan akibat pengaruh perlakuan pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor. 10(1): 87—98.
Zanzibar, M. 2007. Pengaruh perlakuan pengusangan dengan uap etanol terhadap penurunan kualitas fisiologi benih akor, merbau, dan mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Bogor. Balai Penelitian Teknolgi Perbenihan Bogor. 4(2): 99—106.
(38)
Teresia Nining Handayani
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF MATURITY LEVEL AND RAPID AGEING WITH SATURATED ETHANOL VAPOR TO GREEN BEAN
(Phaseolus vulgaris L.) SEED VIABILITY By
Teresia Nining Handayani
Seed with high vigor is the ones harvested after obtaining maturity
physiologically. The rapid ageing method using saturated ethanol vapor can see the difference of seed vigor by its maturity levels. This research objective is to find out the influence of maturity level and rapid ageing with saturated ethanol vapor to green bean seed viability.
The green bean seed harvesting was conducted in the field of State Polytechnic of Lampung that produces three levels of maturities. The green bean seed viability was tested in Seed Laboratory and Plant Breeding in Agriculture Faculty of Lampung University from June to September 2011. Treatments were ordered in factorial (4x3) in split plot of perfect randomized group design in three groups. The rapid ageing using saturated ethanol vapor as the main plot was conducted in 0, 20, 40, and 60 minutes duration. The maturity levels as the sub plot were 60, 67, 74 days after planting. An experiment contained 36 experiment units. Variance homogeneity amongst treatments was tested using Bartlet test and additional linear model was tested using Tukey test. If the assumption was fulfilled, data were analyzed for its variance, and median value was separated using honestly significant difference (HSD) in 5% level.
(39)
Teresia Nining Handayani The results showed that (1) the influence of rapid ageing using saturated ethanol vapor produced sprouting speed and the longest hypocotyls came from the 20 minutes rapid ageing, while the shortest hypocotyls came from 60 minutes of rapid ageing, (2) the influence of maturity levels produced the sprouting speed, normal and strong sprout, and the longest hypocotyls came from 67 days after planting maturity level, while the shortest hypocotyls came from 74 days after planting maturity level, and (3) the influence of interaction between rapid ageing using saturated ethanol vapor and the level of maturity showed that seeds with 67 days after planting maturity level in 20 minutes rapid ageing produced the highest length of primary root and dry weight of normal sprout.
(1)
23 disimpan dengan metode tertentu agar benih tidak mengalami penurunan mutu (Hertiningsih, 2009).
Benih yang mempunyai daya simpan lama berarti mampu melewati periode simpan yang panjang. Teknologi benih selalu berupaya untuk dapat meng-hasilkan benih yang mampu melampaui periode simpan sepanjang mungkin. Vigor daya simpan ialah suatu parameter vigor benih yang ditunjukkan dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan suboptimum (Sadjad,. dkk, 1999).
(2)
59
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Konsumsi kalori dan protein Indonesia dan propinsi. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Ardhana, I.M.A. 2011. Pengaruh pemberian pupuk organik pada vigor benih dua varietas padi (Oryza sativa L.) setelah menjalani periode simpan. Skripsi SarjanaUniversitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 27-32.
Badan Pusat Statistik Republik Indinesia. 2006. Statistik Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Basoeki, T.R. 2002. Viabilutas dan pengujian viabilitas benih. Makalah pada Pelatihan Pengujian Laboratorium Benih UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Propinsi Lampung. Lampung. 20—22 Mei 2002. Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and
Technology: fourth edition. Kluwer Academic Publishers. London. 534 hlm. Djuariah, D. 2008. Penampilan lima kultivar kacang buncis tegak di dataran
rendah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. 64 hlm.
Herlambang, D. 2005. Pengaruh lama deraan secara fisik terhadapviabilitas benih dua varietas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 104 hlm.
Hertiningsih, A. 2009. Pengaruh umur panen teriladap kandunigan zat gizi biji dua varietas kacang tanah (arachis hypogaea L.). Jurnal Ilmiah Ilmu-iimu Hayati ‘BIOTA’. Fakultas Pertanian. Universitas Sarjanawiyata. Jogyakarta. Hlm 89-94.
(3)
Ilyas. S. 1986. Pengaruh faktor induced dan enfoeced terhadap vigor benih kedelai (Glycine max L.) dan hubungannya dengan produksi per hektar. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. 81 hlm.
Justice, O.L dan L.N. Bass. 1994. Prinsip dan Pratek Penyimpanan Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hlm.
Kadir, A. 2001. Studi daya tahan deraan secara fisik pada benih dua varietas kedelai (Glycine max [L.] Merr.). Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 59 hlm.
Kartika, E. dan S. Ilyas. (1994). Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode konservasi terhadap vigor benih dan vigor kacang jogo (Phaseolus vulgaris L. ). Karya Ilmiah ;Fakultas Pertanian IPB. Hlm. 44—59.
Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih. PT Asdi Mahasatya. Jakarta. 127 hlm.
Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 610 hlm.
Mugnisjah, W.Q. 1994. Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 264 hlm.
Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 2004. Produksi Benih. Bumi Aksara kerjasama dengan Pusat Antaruniversitas-Ilmu Hayat IPB. Bogor. 204 hlm.
Nasution, M.S. 2005. Pengaruh peningkatan dosis pupuk kalsium pada dua tingkat pemupukan fosfat terhadap produksi dan kualitas benih buncis (Phaseolus vulgaris L.). skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 103 hlm.
Pinilih, J. 2005. Pewarisan sifat warna bunga ukuran polong dan bobot polong pada persilangan buncis (Phaseolus vulgaris L.) kultivar Richgreen dengan flo. Agrosains.
Hlm. 11-22.
Pramono, E. 2009. Vigor dan Kemunduran Benih. Materi Kuliah Jurusan Budidaya pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. 17 hlm.
Pramono, E. 2010. Daya simpan dugaan 90% (DSD-90) dari intensitas
pengusangan cepat kimiawi dengan uap etanol (IPCKU) pada benih kacang tanah (Arahis hypogaea L.) http://docs.google.com. Diakses tanggal 6 Maret 2011.
(4)
60 Putrasamedja, S. 1992. Adaptasi berbagai macam kacang tipe tegak (Phaseolus
vulgaris) dataran rendah. Bulletin Hortikultura. 9 hlm.
Rohandi, A dan N. Widyani. 2009. Komposisi vigor kecambah tusam pada
beberapa tingkat devigorasi dan kerapatan benih. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor. 262 hlm.
Rubatzky dan Yamaguchi 1998. Sayuran Dunia (Prinsip, Produnsi, dan Gizi) Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung. 292 hlm.
Saenong, S. 1986. Kontribusi vigor awal terhadap daya simpan benih jagung (Zea mays L.) dan kedelai (Glicine max L. Merr). Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. 79 hlm.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 144 hlm.
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolism Benih. PT Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 178 hlm.
Sadjad, S., E. Murniati, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih. PT Grasindo Bekerja Sama dengan PT Sang Hyang Seri. Jakarta. 286 hlm. Setianingsih dan Khaerodin. 2003. Pembudidayaan Buncis Tipe Tegak dan
Merambat. PT Penebar Swadaya. Jakarta. 154 hlm.
Sutomo. 2004. Tanggapan 3 varietas kedelai pada 5 tingkat kemunduran benih terhadap 3 masukan produksi. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Lampung. Lampung. 117 hlm.
Sutopo. 1993. Teknologi Benih. CV Rajawali Pers. Jakarta. 248 hlm.
Zanzibar, M. 2003. Kemunduran viabilitas beberapa benih pohon hutan akibat pengaruh perlakuan pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor. 10(1): 87—98.
Zanzibar, M. 2007. Pengaruh perlakuan pengusangan dengan uap etanol terhadap penurunan kualitas fisiologi benih akor, merbau, dan mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Bogor. Balai Penelitian Teknolgi Perbenihan Bogor. 4(2): 99—106.
(5)
Teresia Nining Handayani
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF MATURITY LEVEL AND RAPID AGEING WITH SATURATED ETHANOL VAPOR TO GREEN BEAN
(Phaseolus vulgaris L.) SEED VIABILITY By
Teresia Nining Handayani
Seed with high vigor is the ones harvested after obtaining maturity
physiologically. The rapid ageing method using saturated ethanol vapor can see the difference of seed vigor by its maturity levels. This research objective is to find out the influence of maturity level and rapid ageing with saturated ethanol vapor to green bean seed viability.
The green bean seed harvesting was conducted in the field of State Polytechnic of Lampung that produces three levels of maturities. The green bean seed viability was tested in Seed Laboratory and Plant Breeding in Agriculture Faculty of Lampung University from June to September 2011. Treatments were ordered in factorial (4x3) in split plot of perfect randomized group design in three groups. The rapid ageing using saturated ethanol vapor as the main plot was conducted in 0, 20, 40, and 60 minutes duration. The maturity levels as the sub plot were 60, 67, 74 days after planting. An experiment contained 36 experiment units. Variance homogeneity amongst treatments was tested using Bartlet test and additional linear model was tested using Tukey test. If the assumption was fulfilled, data were analyzed for its variance, and median value was separated using honestly significant difference (HSD) in 5% level.
(6)
Teresia Nining Handayani The results showed that (1) the influence of rapid ageing using saturated ethanol vapor produced sprouting speed and the longest hypocotyls came from the 20 minutes rapid ageing, while the shortest hypocotyls came from 60 minutes of rapid ageing, (2) the influence of maturity levels produced the sprouting speed, normal and strong sprout, and the longest hypocotyls came from 67 days after planting maturity level, while the shortest hypocotyls came from 74 days after planting maturity level, and (3) the influence of interaction between rapid ageing using saturated ethanol vapor and the level of maturity showed that seeds with 67 days after planting maturity level in 20 minutes rapid ageing produced the highest length of primary root and dry weight of normal sprout.