Analisis Sistem Produksi Pengolahan Biji Kakao Kering dengan Value Stream Mapping

ANALISIS SISTEM PRODUKSI PENGOLAHAN BIJI
KAKAO KERING DENGAN VALUE STREAM MAPPING

AYU DAYINTA SEPTIA HAPSARI

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Produksi Pengolahan Biji Kakao Kering dengan Value Stream Mapping adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ayu Dayinta Septia Hapsari
NIM F34100069

ABSTRAK
AYU DAYINTA SEPTIA HAPSARI. Analisis Sistem Produksi Pengolahan Biji
Kakao Kering dengan Value Stream Mapping. Dibimbing oleh DWI
SETYANINGSIH dan M. ARIF DARMAWAN.
Tahapan proses pengolahan biji kakao berpengaruh terhadap pemborosan
yang terjadi. Pemborosan pada proses produksi dapat mempengaruhi kinerja yang
dapat dinilai dengan penerapan proses pada lini produksi. Tujuan penelitian ini
adalah mengidentifikasi jenis pemborosan (waste), mengidentifikasi penggunaan
konsep value stream mapping dalam menganalisa penyebab pemborosan, dan
memberikan rekomendasi perbaikan dari pemborosan pengolahan biji kakao
kering. Value stream mapping tools yang dipilih untuk identifikasi pemborosan
yaitu kuesioner Waste Assessment Relationship Matrix (WRM) dan Waste
Assessment Questionnaire (WAQ). Hasil identifikasi pemborosan pada
pengolahan biji kakao adalah over production, unnecessary inventory, motion,
waiting, dan transportation. Value Stream Mapping tools yang digunakan untuk

menganalisa penyebab pemborosan yaitu Process Activity Mapping (PAM) dan
Supply Chain Respon Matrix (SCRM). Berdasarkan identifikasi pemborosan
menggunakan PAM diperoleh waktu VA sebesar 77,99 (RD) dan 79,86% (mason),
NVA sebesar 3,65% (RD) dan 4,31% (mason), serta NNVA sebesar 18,36% (RD)
dan 16,01% (mason). Pemetaan SCRM menunjukkan waktu pemenuhan
permintaan biji kakao dari area produksi hingga ke konsumen membutuhkan
waktu 107 hari. Rekomendasi perbaikan pemborosan adalah perbaikan material
handling, perbaikan mesin penghasil sumber panas pengeringan, dan penyatuan
lantai produksi, serta pengawasan kerja operator.
Kata kunci: pemborosan, process activity mapping, supply chain relationship
matrix, value stream mapping.

ABSTRACT
AYU DAYINTA SEPTIA HAPSARI. Analysis of the Production System in the
processing of dried cocoa beans with Value Stream Mapping. Supervised by DWI
SETYANINGSIH and M. ARIF DARMAWAN.
The stage of processing cocoa beans could affect waste generation in
production process. Furthermore, waste in production process affect the
performance, which can be assesed with the application process on the production
line. The purpose of this research is to identify the waste, apply the Value Stream

Mapping to analyze waste cause and recommend improvement of dried cocoa
production process. Value stream mapping tools were selected for identify the
waste are Waste Assessment Relationship Matrix (WRM) dan Waste Assessment
Questionnaire (WAQ). The results of identification are over production,
unnecessary inventory, motion, waiting, and transportation. The Value Stream
Mapping tools to analyze the cause of the waste are Process Activity Mapping
(PAM) and Supply Chain Respon Matrix (SCRM). The result of waste
identification use PAM obtained that VA time are 77,99% (RD) and 79,86%
(mason), NVA time are 3,65% (RD) and 4,31% (mason) and NNVA time are
18,36% (RD) and 16,01% (mason). SCRM mapping indicates that the time for
fulfillment of the cocoa bean production to consumers is 107 days. The
recommendation for improve the dried cocoa production process is to repair
material handling, to repair the heater machine for drying, to unificate the of floor
production, and to supervise the work of operators for each stage of the process.
Keywords: process activity mapping, supply chain relationship matrix, value
stream mapping, waste.

ANALISIS SISTEM PRODUKSI PENGOLAHAN BIJI
KAKAO KERING DENGAN VALUE STREAM MAPPING


AYU DAYINTA SEPTIA HAPSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Sistem Produksi Pengolahan Biji Kakao Kering dengan
Value Stream Mapping
Nama
: Ayu Dayinta Septia Hapsari
NIM
: F34100069


Disetujui oleh

Dr Dwi Setyaningsih, STP, MSi
Pembimbing I

M Arif Darmawan, STP, MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Alm. Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id,

MA. Dev, Ibu Dr. Dwi Setyaningsih, STP, MSi, dan Bapak M. Arif Darmawan,
STP, MT selaku pembimbing, dan Ibu Dr Ir Hartrisari Hardjomidjojo, DEA
sebagai penguji, serta pihak perusahaan sebagai tempat penelitian, dan ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, seluruh keluarga, TIN 47,
keluarga Chatralaya, keluarga IMJB dan keluarga UKM Century atas segala doa
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Ayu Dayinta Septia Hapsari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kerangka Pemikiran

4

METODE

4

Bahan

4


Alat

5

Prosedur Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

7
19

Simpulan

19

Saran


20

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
Konversi rentang skor keterkaitan waste
Seven value stream mapping tools
Waste Relationship Matrix pengolahan biji kakao
Waste Matrix Value pengolahan biji kakao
Kelompok jenis pertanyaan kuesioner

Hasil perhitungan waste assessment
Hasil pembobotan seven value stream mapping tools
Total persentase aktivitas VA, NVA, dan NNVA pengolahan biji kakao
kering
9 Identifikasi jenis pemborosan pada pengolahan biji kakao
10 Rekomendasi perbaikan pemborosan
1
2
3
4
5
6
7
8

5
7
10
10
11
11
12
13
17
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Kerangka pemikiran penelitian
Proses dan identifikasi pemborosan pengolahan biji kakao good bean
Supply Chain Respon Matrix pengolahan biji kakao kering
Fishbone diagram pemborosan over production
Fishbone diagram pemborosan waiting
Fishbone diagram pemborosan unnecessary inventory
Fishbone diagram pemborosan motion
Fishbone diagram pemborosan transportation

4
9
15
17
18
18
18
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penjelasan hubungan antar pemborosan (waste)
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Pertanyaan kuesioner keterkaitan antar pemborosan
Jawaban kuesioner keterkaitan pemborosan dan konversi
Pembobotan awal pertanyaan WAQ berdasarkan WRM
Bobot pertanyaan dibagi Ni dan Jumlah Skor (Sj) & Frekuensi (Fj)
Kuesioner Waste Assessment Questionnaire
Hasil penilaian kuesioner waste assessment
Perhitungan total skor (sj) dan frekuensi (fj)
PAM pengolahan biji kakao (pengeringan rotary drying)
PAM pengolahan biji kakao (pengeringan mason)
Perhitungan Supply Chain Respon Matrix

22
24
25
26
28
30
34
36
38
40
42

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki berbagai komoditas yang dikembangkan oleh
pemerintah. Salah satu komoditas yang mampu bersaing di perdagangan dunia
adalah kakao. Indonesia mampu memproduksi 10,77% biji kakao pada tahun
2011/2012 dan diperkirakan pada tahun 2013/2014 hanya memproduksi 9,99%
dari seluruh biji kakao yang dihasilkan di dunia (ICCO 2014). Pada tahun
2012/2013 biji kakao yang dihasilkan di dunia adalah 4.077 ribu ton dengan
kekurangan 174 ribu ton, sedangkan pada 2013/2014 diperkirakan biji kakao
dihasilkan sekitar 4.178 ribu ton dengan kekurangan 115 ribu ton (ICCO 2014).
Kurangnya pemenuhan kebutuhan biji kakao di dunia menjadi salah satu
pendorong bagi pelaku pengolah kakao di Indonesia untuk meningkatkan
produktivitas biji kakao yang dihasilkan.
Penurunan persediaan biji kakao dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya proses produksi yang diterapkan oleh pelaku pengolah kakao. Komoditas
kakao Indonesia dikembangkan oleh Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar
Negara (PTPN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Perkebunan Besar Swasta
telah banyak menerapkan proses pengolahan biji kakao dengan menggunakan
mesin dan peralatan modern. Salah satu perkebunan kakao swasta di Indonesia
adalah PT X yang mengolah biji kakao basah dari kebun kemudian diproses
menjadi biji kakao kering. Proses pengolahan biji kakao yang diterapkan oleh
pabrik akan mempengaruhi mutu dari biji keringnya, selain itu aktivitas setiap
tahapan proses pada pengolahan biji kakao berpengaruh terhadap pemborosan
yang terjadi.
Pemborosan yang terjadi pada proses produksi dapat mempengaruhi kinerja
yang dapat diukur dengan efektivitas dan efisiensi penerapan proses pada lini
produksi. Pemborosan yang dapat muncul pada proses produksi terdiri dari tujuh
jenis yaitu over production, inventory, defect, unnecessary motion, transportation,
inappropriate process, dan waiting (Hines and Taylor 2000). Menurut Hines dan
Taylor (2000), pemborosan (waste) merupakan aktivitas yang tidak memberikan
nilai tambah bagi pabrik pengolah. Pencarian akar masalah pemborosan (waste)
pada suatu proses produksi dapat menggunakan Value Stream Mapping (VSM)
(Hines and Rich 1997). VSM merupakan alat yang dikembangkan untuk
mempermudah pemahaman terhadap value stream dan mengidentifikasi
pemborosan untuk membuat perbaikan sistem dengan mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkannya (Wahid et al. 2013). Value stream mapping memiliki tujuh
macam tools yang kembangkan oleh Hines dan Rich (1997). Penentuan pemilihan
tools yang digunakan untuk identifikasi pemborosan menggunakan kuesioner
Waste Assessment Relationship Matrix (WRM) dan Waste Assessment
Questionnaire (WAQ). Menurut Rawabdeh (2005), penggunaan model ini dapat
mencakup berbagai hal dan mampu memberikan hasil identifikasi akar penyebab
dari pemborosan. Identifikasi pemborosan yang dilakukan dapat meningkatkan
kinerja sistem dan proses produksi biji kakao kering pada PT X.

2
Perumusan Masalah
1. Bagaimana jenis pemborosan (waste) yang terjadi pada proses pengolahan biji
kakao kering?
2. Bagaimana penggunaan metode value stream mapping untuk analisis
pemborosan pada proses pengolahan biji kakao kering?
3. Bagaimana perbaikan pemborosan yang terjadi pada proses pengolahan biji
kakao kering?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi jenis pemborosan (waste) yang terjadi ada proses pengolahan
biji kakao kering.
2. Mengaplikasikan metode value stream mapping dalam menganalisis penyebab
pemborosan pada proses pengolahan biji kakao kering.
3. Memberikan rekomendasi perbaikan dari pemborosan yang terjadi pada proses
pengolahan biji kakao kering.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan identifikasi jenis pemborosan
yang terjadi pada proses pengolahan biji kakao yang termasuk dalam tujuh jenis
pemborosan (seven waste) dan mengidentifikasi penyebab pemborosan dengan
menggunakan value stream mapping. Selain itu dapat memberikan rekomendasi
perbaikan untuk pemborosan yang terjadi.

TINJAUAN PUSTAKA
Lean manufacturing merupakan metode untuk mengoptimalkan performansi
dari sistem dan proses produksi karena mampu untuk mengidentifikasi, mengukur,
menganalisis, dan mencari solusi perbaikan atau peningkatan performansi secara
komperhensif (Daonil 2012). Menurut Hines and Taylor (2000), konsep lean
dapat digunakan sebagai alat untuk mengeliminasi pemborosan (waste) pada suatu
sistem produksi. Lean manufacturing banyak diterapkan pada industri manufaktur.
Pada penelitian sebelumnya oleh Triagus et al. (2013) dilakukan pengurangan
pemborosan pada produksi kemasan kantong dengan pendekatan lean
manufacturing. Penelitian serupa dilakukan pula oleh Laksono dan Rhicard (2007)
untuk meningkatkan produktivitas divisi produksi peralatan industri. Selain itu,
penelitian oleh Adhi dan Moses (2012) mengenai perbaikan proses produksi
blender menggunakan pendekatan lean manufacturing. Aplikasi lean
manufacturing telah merambah pada sektor agroindustri. Pada penelitian Seth et
al. (2008) telah menerapkan value stream untuk meminimalkan pemborosan pada
proses produksi minyak biji kapas di India. Pada penelitian tersebut dilakukan
identifikasi pemborosan dengan menghilangkan waktu non value added (NVA)

3
atau kegiatan yang tidak bernilai tambah. Pada penelitian ini dilakukan
identifikasi jenis dan pengurangan pemborosan produksi pengolahan biji kakao
dengan metode Value Stream Mapping.
Value stream mapping yang dikembangkan oleh Hines and Rich (1997),
memiliki tujuh macam tools yaitu Process Activity Mapping, Supply Chain
Respon Matrix, Production Variety Funnel, Quality Filter Mapping, Demand
Amplification Mapping, Decision Point Analysis, dan Physical Structure. Proses
pemilihan tools dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden di
perusahaan. Penelitian terdahulu oleh Daonil (2012) berdasarkan Rawabdeh
(2005) dalam mengidentifikasi dan mengukur pemborosan menggunakan Waste
Assessment Model dengan menyebarkan kuesioner berupa seven waste
relationship untuk menyusun Waste Relationship Matrix (WRM) dan Waste
Assessment Questionaire (WAQ). Kedua kuesioner digunakan untuk menghitung
bobot pemborosan pada pemilihan mapping tools. Penjelasan hubungan
keterkaitan antar pemborosan menurut Rawabdeh (2005) pada Daonil (2012)
disajikan pada Lampiran 1. Keterkaitan pemborosan dihitung berdasarkan
kuesioner yang diberikan kepada responden. Nilai kuesioner digunakan untuk
menyusun WRM. Menurut Rawabdeh (2005), pengembangan WRM berguna
untuk menyederhanakan pencarian masalah pemborosan pada suatu proses
produksi. Selain itu untuk mengidentifikasi pemborosan sehingga dapat
mengeliminasi pemborosan yang terjadi (Rawabdeh 2005). Menurut Rawabdeh
(2005), kuesioner untuk WAQ terdiri dari 68 pertanyaan. Kuesioner ini mewakili
dua jenis pertanyaan yang didahului dengan “from” yaitu menjelaskan jenis
pemborosan yang dapat menyebabkan munculnya pemborosan yang lain dan “to”
yaitu menjelaskan jenis pemborosan yang muncul disebabkan oleh pemborosan
lain. Jawaban kuesioner terdiri dari dua kategori jawaban, yaitu A bila terdapat
pemborosan dan B bila tidak terdapat pemborosan. Kedua kategori jawaban
tersebut memiliki tiga jenis pilihan jawaban yaitu “ya”, “sedang”, dan “tidak”
yang memiliki bobot 1, 0.5, dan 0.
Pemilihan tools berdasarkan Value Stream Mapping selanjutnya digunakan
untuk mengidentifikasi jenis pemborosan. Pemborosan pada proses produksi
menurut Hines and Taylor (2000) terdiri dari tujuh macam, yaitu over production,
defect, unnecessary inventory, inappropriate processing, excessive transportation,
waiting, dan unnecessary motion. Menurut Hines and Taylor (2000), over
production adalah terjadinya proses produksi yang terlalu banyak dan cepat
sehingga terjadi kelebihan persediaan di gudang penyimpanan. Selain itu
berhubungan dengan kelancaran arus barang, sehingga menghambat kualitas dan
produktivitas (Hines and Rich 1997). Defect merupakan munculnya masalah
kualitas produk pada proses produksi. Unnecessary inventory adalah pemborosan
terjadi karena adanya penyimpanan yang berlebihan, lambatnya aliran informasi
dan produk sehingga menyebabkan biaya yang berlebihan. Inappropriate
processing merupakan kesalahan proses kerja atau produksi pada penggunaan alat,
prosedur atau sistem. Excessive transportation merupakan gerakan yang
berlebihan dari orang, informasi atau bahan sehingga menyebabkan peningkatan
waktu, tenaga dan biaya. Waiting adalah waktu tidak efektif yang digunakan
untuk orang, informasi, atau barang, sehingga aliran proses dan waktu menjadi
lama. Unnecessary motion adalah pemborosan yang terjadi karena organisasi
ruang produksi yang buruk, sehingga menyebabkan rendahnya ergonomi.

4
Kerangka Pemikiran
Analisis pendahuluan
Kuesioner 1

Waste Relationship
Matrix (keterkaitan
setiap pemborosan)

Kuesioner 2

Waste Assessment
Questionnaire
(tingkat tujuh
pemborosan pada
produksi)

Value Stream Mapping
(Hines and Rich 1997)
(PAM dan SCRM)

Waste
Bobot awal
pertanyaan

Final waste
factor (%)

Rawabdeh (2005)

Identifikasi pemborosan

Rekomendasi perbaikan
pemborosan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

METODE

1.
2.

3.
4.

Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pengamatan produksi untuk penggambaran keseluruhan proses pada
pengolahan biji kakao kering.
Penyebaran kuesioner kepada pihak perusahaan untuk mengidentifikasi
keterkaitan antar pemborosan (waste) dengan Waste Relationship Matrix
(WRM), kemudian penyebaran kuesioner Waste Assessment Questionnaire
(WAQ).
Identifikasi Value Stream Mapping dari hasil penilaian kuesioner dengan
pemilihan mapping tools untuk mengidentifikasi penyebab pemborosan.
Rekomendasi perbaikan proses pengolahan biji kakao kering dari hasil
identifikasi pemborosan.

Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji kakao sebagai obyek
untuk pengamatan proses produksi.

5
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah stopwatch untuk perhitungan
value added time dan non value added time pada proses produksi. Selain itu
digunakan alat untuk perhitungan jarak antar stasiun kerja yaitu meteran.

Prosedur Analisis Data
Analisis pada penelitian dibagi menjadi tiga kelompok obyek yang diamati,
yaitu :
1. Penggambaran proses pengolahan biji kakao kering
Hasil pengamatan dan perhitungan waktu proses untuk menggambarkan
pengolahan kakao yang berlangsung.
2. Penyebaran kuesioner
Kuesioner yang diberikan kepada pihak perusahaan terdiri dari dua jenis,
yaitu keterkaitan antar pemborosan untuk menyusun Waste Relationship Matrix
dan Waste Assessment Questionnaire untuk menentukan peringkat pemborosan
pada proses produksi (Rawabdeh 2005).
Waste Relationship Matrix (WRM)
Penilaian kuesioner dari pihak perusahaan untuk keterkaitan antar waste
kemudian akan dikonversi sesuai dengan ketentuan pada Tabel 1.
Tabel 1 Konversi rentang skor keterkaitan waste
Simbol
Keterkaitan
A
Absolutely necessary
E
Especially important
I
Important
O
Ordinary Closeness
U
Unimportant
Sumber: Rawabdeh (2005)

Kisaran Nilai
17-20
13-16
9-12
5-8
1-4

Lalu hasil nilai kuesioner disusun menjadi Waste Relationship Matrix.
Contohnya bila nilai kuesioner 10, maka termasuk nilai important. Selanjutnya
hasil matriks WRM dikonversi menjadi angka dengan ketentuan simbol A=10,
E=8, I=6, O=4, U=2, dan X=0 (Rawabdeh 2005). Lalu dihitung jumlah skor
dan persentase dari setiap pemborosan untuk membuat Waste Matrix Value.
Waste Assessment Questionnaire (WAQ)
Langkah-langkah untuk menganalisis WAQ menurut Rawabdeh (2005)
yaitu sebagai berikut :
a. Menghitung jumlah pertanyaan from dan to dari setiap pemborosan (waste).
b. Memasukkan bobot awal pertanyaan kuesioner WAQ berdasarkan WRM.
c. Membagi setiap bobot pemborosan dengan jumlah pertanyaan (Ni) untuk
menghilangkan efek variasi jumlah pertanyaan. Kemudian menghitung skor
dari setiap pemborosan dengan rumus berikut:

6
j.k
i

Sj ∑

Sj adalah skor dari waste, j merupakan tipe waste dari setiap pertanyaan di
nomor k. W adalah bobot dari hubungan waste. Selain itu menghitung Fj
yang merupakan frekuensi dari jawaban berisi bobot tidak nol untuk setiap
waste (j).
d. Mengalikan penilaian hasil kuesioner (1, 0.5, dan 0) dengan bobot
pemborosan. Rata-rata nilai hasil kuesioner dari lima responden dihitung
dengan rumus geomean:
om an



Menurut Anonim (2001), cara menghitung geomean dengan adanya nilai 0
pada data yaitu semua data ditambah 1, kemudian dilakukan perhitungan
geomean. Hasil dari geomean tersebut dikurangi 1, lalu hasil pengurangan
tersebut menjadi rata-rata jawaban responden pada kuesioner WAQ.
e. Menghitung jumlah skor (sj) untuk setiap pemborosan dan frekuensi (fj)
dengan mengabaikan nilai 0. Rumus yang digunakan untuk menghitung sj
sebagai berikut:
j,k
sj ∑
k
i

sj adalah total nilai bobot pemborosan, sedangkan Xk adalah nilai dari
jawaban kuesioner (1, 0.5 dan 0)
f. Menghitung indikator awal untuk setiap pemborosan (Yj) dengan rumus
berikut:
sj fj
j
Sj Fj

g. Mengalikan nilai persentase “from” dengan “to” untuk setiap pemborosan
untuk memperoleh probabilitas masing-masing waste (Pj).
h. Menghitung nilai final waste factor (Yj final) untuk setiap pemborosan
dengan rumus berikut:
j final j Pj
3. Identifikasi Value Stream
Hasil dari WRM berupa final waste factor dikonversi menjadi bentuk
persentase, selanjutnya digunakan untuk perhitungan pada matriks seven
stream mapping tools. Persentase tersebut dijadikan bobot untuk setiap waste
kemudian dikalikan dengan nilai matriks menurut Hines and Rich (1997). Total
nilai tertinggi pada tujuh mapping tools digunakan sebagai alat untuk
identifikasi pemborosan yang terjadi. Pada Tabel 2 disajikan seven value
stream mapping tools. Nilai matriks sebagai faktor pengali bernilai H=9, M=3,
dan L=1 (Daonil 2012).

7
Tabel 2 Seven value stream mapping tools

Waste

Over production
Unnecessary
inventory
Product defect
Unnecessary
motion
Transportation
Inappropriate
processing
Time waiting

Process
Activity
Mapping
L
M

Mapping Tools
Supply
Production Quality
Demand
Decision
Chain
Physical
Variety
Filter Amplification Point
Respon
Structure
Funnel Mapping
Mapping
Analysis
Matrix
M
L
M
M
H

M

L
H

H

M

H
L

H

L

H
H

L

M
H

L

L

L
M

M

Sumber: Hines and Rich (1997)

HASIL DAN PEMBAHASAN
PT X adalah pabrik pengolah biji kakao kering yang rata-rata mengolah
sekitar 40 ton biji setiap harinya. Biji kakao basah hasil panen berasal dari tujuh
divisi kebun. Biji kakao basah (hasil pengupasan di kebun) menjadi bahan baku
utama proses produksi di pabrik. Truk sebagai alat transportasi untuk mengangkut
biji kakao dari kebun menuju pabrik pengolahan. Biji kakao yang dihasilkan
kebun dibagi menjadi tiga, yaitu good bean, poor bean, dan bad bean. Proses
pemisahan ketiga jenis biji kakao dilakukan di kebun. Biji kakao good bean
diproses menggunakan peralatan dan mesin pengolah biji kakao, sedangkan poor
bean dan bad bean hanya dilakukan penjemuran hingga kering kemudian dikemas.
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap pengolahan biji kakao good
bean.
Proses pengolahan biji kakao basah dimulai dengan penimbangan biji yang
berasal dari kebun, kemudian dilanjutkan dengan proses receiving. Pada proses
receiving dilakukan pembongkaran biji kakao dari karung dan dipindahkan
menuju bucket (wadah penampung biji). Pengepresan berguna untuk mengurangi
banyaknya pulp yang berasal dari biji basah. Proses fermentasi dilakukan selama
lima hari dengan pembalikan setiap hari menggunakan crane. Proses selanjutnya
adalah pengeringan dengan circular drying (CD) untuk mengeringkan biji kakao
menjadi setengah kering. Banyaknya CD yang tersedia pada lantai produksi yaitu
empat buah. Pengeringan dilanjutkan dengan rotary drying (RD) untuk
mengeringkan biji kakao hingga berkadar air sekitar 7-8%. Pihak pabrik
melakukan kebijakan untuk memanfaatkan mesin pengering lain pada masa crops
yaitu mason. Masa crops merupakan kondisi kebun mengalami panen tinggi dan
menentukan banyaknya biji kakao basah yang akan diolah. Hasil pengeringan biji
kakao dari kedua mesin pengering selanjutnya disimpan pada silo 1, kemudian
dialirkan pada silo 2 untuk dilakukan proses pemisahan biji dengan mesin sortasi.
Proses grading (pemisahan jenis/grade biji) dilanjutkan dengan pengemasan biji
kakao good bean menggunakan karung. Biji kakao dikemas dengan bobot 62,5 kg

8
per karung. Biji kakao yang telah dikemas selanjutnya disimpan pada gudang
penyimpanan dengan maksimum tumpukan sebanyak 8 karung.
Pada Gambar 2 disajikan proses dan jenis pemborosan pengolahan biji
kakao good bean untuk satu kali proses produksi. Pemetaan dengan Microsoft
Visio digambarkan dengan memisahkan waktu value added dan non value added
proses produksi dengan pengamatan dan pengukuran waktu. Pemetaan pada
penimbangan, receiving, dan pressing tidak dijelaskan secara rinci karena
termasuk dalam proses non value added. Proses penimbangan menuju receiving
membutuhkan waktu 7.436 detik, sedangkan proses receiving berlangsung 8.507
detik. Aktivitas menuju proses pressing berlangsung 5.897 detik, sedangkan
proses pressing sekitar 5.483 detik. Waktu yang digunakan menuju proses
fermentasi dengan memindahkan bucket adalah 4.402 detik.
Banyaknya panen biji kakao basah dari kebun pada proses menuju receiving
menyebabkan kelebihan produksi yang dikategorikan pada over production,
sehingga menyebabkan aliran produksi yang tidak lancar. Pada proses receiving
terjadi penggunaan waktu tidak efektif oleh biji kakao basah dan pekerja, sehingga
menyebabkan waktu produksi semakin lama yang termasuk pada pemborosan
waiting. Pekerja yang melakukan bongkar muat biji kakao dari truk harus
menunggu bucket untuk menyimpan biji kakao. Selain itu aktivitas menunggu
pengepresan biji kakao karena lambatnya operator. Pemborosan berupa waiting
terdapat pula pada proses fermentasi menuju pengeringan circuler drier, karena
proses menunggu biji kakao yang akan dipindahkan.
Pada pengeringan circuler drier terjadi pemborosan motion, yaitu
pergerakan berulang sehingga menyebabkan rendahnya ergonomi. Pemborosan ini
disebabkan oleh biji kakao setengah kering yang dihasilkan harus dipindah
menggunakan alat penampung biji secara berulang kali. Selain itu hasil
pengeringan biji kakao setengah kering harus menunggu proses pengeringan biji
kakao dengan pengering rotary drier. Aktivitas menunggu tersebut menyebabkan
pemborosan waiting yang mengakibatkan waktu produksi semakin lama. Pada
masa panen yang melimpah pihak perusahaan menggunakan pengering biji kakao
berupa pengering mason. Pengering mason terletak pada bangunan yang berbeda
dengan peralatan pengolah biji kakao yang lain, sehingga menyebabkan
pemborosan berupa transportation. Selain itu waktu menunggu terjadi pada proses
menuju pengering biji kakao mason akibat pemindahan biji kakao dari pengering
circuler drier yang lambat oleh pekerja. Hal tersebut menyebabkan pemborosan
berupa waiting. Pada silo 1 terjadi penumpukan biji kakao setengah kering
sehingga menyebabkan pemborosan berupa unnecessary inventory yaitu
penyimpanan biji kakao yang berlebihan pada masa panen melimpah. Proses
produksi biji kakao yang dilakukan tidak bersifat order oleh konsumen tetapi
sesuai dengan hasil panen biji kakao basah dari kebun sehingga menyebabkan
kelebihan persediaan biji kakao dan penumpukan di silo 1.

Proses Pengolahan Biji Kakao Kering
Customer

7 Divisi
Kebun

Over n
uctio
Prod

Penimbangan

g

Waitin

Receiving

Pressing

g

Waitin

g
Waitin

a

Pengeringan
Circuler
Drier

Fermentasi

31725

Packing
g

Waitin

tion
sporta

12686
12979

331186,5
31725

tory

Inven

Pengeringan
Mason

Silo 1

Silo 2

Gudang

Tran

331186,5

b

Pengeringan
Rotary Drier

g

Waitin

n
Motio

66273

12686
12979

17152

147600

1716

15694

17152

63000
27255,68

VA : 508624,5

18464,62

NVA : 128387

VA : 424024,5
1716

NVA : 92140,3

Keterangan: a. Pengeringan dengan rotary drier ; b. Pengeringan dengan mason. Angka (dalam detik).
9

Gambar 2 Proses dan identifikasi pemborosan pengolahan biji kakao good bean

10
Waste Relationship Matrix (WRM)
Penilaian hubungan antar pemborosan (waste) yang terjadi pada proses
pengolahan kakao diperoleh dari nilai kuesioner yang diberikan kepada
perusahaan. Pada Lampiran 2 disajikan pertanyaan kuesioner yang diberikan
kepada lima responden karyawan perusahaan, yaitu Mill Assistant, Head Clerk,
Dayroll Clerk, Laboratorium Analys, dan Godown Master. Berdasarkan penilaian
pembobotan pemborosan oleh pihak perusahaan diperoleh nilai dan hasil konversi
keterkaitan antar pemborosan pada Lampiran 3. Hasil skor penilaian kuesioner
kemudian dikelompokkan sesuai tingkat keterkaitan antar pemborosan
berdasarkan rentang skor menurut Rawabdeh (2005). Selanjutnya hasil penilaian
kuesioner dibuat menjadi Waste Relationship Matrix (WRM) pada Tabel 3. Pada
Tabel 3 dan 4 ditunjukkan hubungan setiap jenis pemborosan, simbol O=over
production, I=inventory, D=defect, M=motion, T=transportation, P=process, dan
W=waiting.
Tabel 3 Waste Relationship Matrix pengolahan biji kakao
From/To
O
I
D
M
T
P
W

O
A
I
O
X
E
E
I

I
E
A
I
U
E
I
E

D
I
I
A
I
O
I
E

M
I
I
I
A
E
A
X

T
A
I
I
X
A
X
X

P
X
X
X
I
O
A
X

W
E
X
I
E
E
E
A

Tabel 4 Waste Matrix Value pengolahan biji kakao
From/To
O
I
D
M
T
10
8
6
6
10
O
6
10
6
6
6
I
4
6
10
6
6
D
0
2
6
10
0
M
8
8
4
8
10
T
8
6
6
10
0
P
6
8
8
0
0
W
42
48
46
46
32
Skor
15,11 17,27 16,55 16,55 11,51
%

P

W

0
8
0
0
0
6
6
8
0
8
10
8
0
10
16
48
5,76 17,27

Skor
48
34
38
32
46
48
32
478
100

%
17,27
12,23
13,67
11,51
16,55
17,27
11,51
100
X

Hasil Waste Matrix Value berdasarkan pengisian kuesioner keterkaitan
pemborosan dapat diketahui bahwa pemborosan over production mempengaruhi
pemborosan lain. Persentase pemborosan over production yang bernilai 17,27%
yang diperlihatkan pada hasil kolom pemborosan “from”, yaitu pemborosan yang
mempengaruhi pemborosan lain. Pemborosan over production dan inappropriate
processing mempengaruhi pemborosan lain yang diperlihatkan pada kolom
pemborosan “to” dengan tingginya nilai pemborosan inventory dan waiting
sebesar 17,27%. Hubungan pemborosan “to” merupakan pemborosan yang
muncul karena disebabkan oleh pemborosan lain. Pemborosan inventory dan

11
waiting dipengaruhi oleh adanya over production saat biji kakao hasil panen
melimpah.
Waste Assessment Questionnaire (WAQ)
Penilaian pemborosan (waste) yang diperoleh dari WRM, selanjutnya
digunakan untuk penilaian awal Waste Assessment Questionnaire (WAQ)
berdasarkan jenis pertanyaan. Pada Tabel 5 disajikan pengelompokan jenis
pertanyaan yang digunakan pada waste assessment questionnaire.
Tabel 5 Kelompok jenis pertanyaan kuesioner
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Jenis pertanyaan (i)
From overproduction
From inventory
From defects
From motion
From transportation
From process
From waiting
To defects
To motion
To transportation
To waiting
Total
Sumber: Rawabdeh (2005)

Total (Ni)
3
6
8
11
4
7
8
4
9
3
5
68

Pembobotan awal 68 pertanyaan pada kuesioner WAQ berdasarkan hasil
WRM disajikan pada Lampiran 4. Selanjutnya perhitungan jumlah skor (Sj) dan
frekuensi (Fj) disajikan pada Lampiran 5, dengan cara hasil pembobotan
pertanyaan dibagi dengan jumlah pertanyaan (Ni). Pada Lampiran 6 dan 7
disajikan kuesioner dan hasil penilaian responden terhadap waste assessment
questionnaire. Rata-rata nilai (0, 0.5, dan 1) yang diperoleh selanjutnya digunakan
untuk menghitung total skor (sj) dan frekuensi (fj) setiap kolom pemborosan.
Perhitungan total skor dan frekuensi selengkapnya disajikan pada Lampiran 8.
Perhitungan indikator awal setiap pemborosan (Yj) dan nilai akhir faktor
pemborosan (Yjfinal) diperoleh dari hasil perhitungan dengan rumus. Berikut
disajikan hasil akhir penilaian waste assessment pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil perhitungan waste assessment
Skor (Yj)
Pj faktor
Hasil akhir (Yj
final)
Hasil akhir (%)

O
0.62
260.86

I
D
M
0.62
0.61
0.64
211.17 226.18 190.47

T
0.62
190.47

P
W
0.65
0.58
99.37 198.75

161.73
19.02

130.93 137.97 121.90
15.39 16.22 14.33

118.09
13.89

64.59 115.28
7.59 13.55

12
Hasil akhir (%) selanjutnya digunakan sebagai pembobotan dalam
pemilihan value stream mapping tools digunakan dengan mengalikan hasil
pembobotan pemborosan dengan faktor pengali yang telah ditentukan. Pada Tabel
7 disajikan hasil perkalian bobot pemborosan dengan matriks seven stream
mapping tools.
Tabel 7 Hasil pembobotan seven value stream mapping tools
Mapping Tools
PAM SCRM PVF QFM DAM

Waste

Bobot

Over production
Unnecessary
inventory
Product defect
Unnecessary
motion
Transportation
Inappropriate
processing
Time waiting
Total

19.02

19.22

57.66

15.59

46.59

139.77

16.22

16.38

14.33

125.1

13.89

127.08

7.89

62.55

13.55

125.01
526.25

19.22
46.59

DPA

57.66

57.66

139.77

46.59

PS
15.53

147.42
13.9
14.12

125.01
333.65

20.85

6.95

13.89
83.09

172.59

6.95
41.67
238.02

41.67
152.07

29.48

Kedua jenis value stream mapping tools yaitu PAM dan SCRM dipilih
untuk menganalisis dan mengidentifikasi akar pemborosan yang terjadi pada
produksi biji kakao kering.
Process Activity Mapping (PAM)
PAM merupakan tools untuk memetakan suatu proses secara jelas dengan
merepresentasikan aktivitas berupa operasi, menunggu, transportasi, inspeksi, dan
penyimpanan. Process Activity Mapping pada penelitian ini untuk menunjukkan
sejumlah aktivitas dengan tingkat waktu yang digunakan dalam mengolah biji
kakao basah menjadi kering. Hasil perhitungan dan pengamatan PAM pengolahan
biji kakao kering dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Hasil pemetaan dengan
PAM dapat menunjukkan aktivitas yang bernilai tambah bagi konsumen (VA),
tidak bernilai tambah (NVA), dan tidak bernilai tambah tetapi masih dibutuhkan
(NNVA) seperti inspeksi maupun material handling. Menurut Hines dan Taylor
(2000), aktivitas dalam organisasi dibagi menjadi tiga yaitu value added (VA),
non value added (NVA), dan necessary but non value added (NNVA). Menurut
Gaspersz (2007), kelompok NVA lebih diprioritaskan untuk dihilangkan
dibandingkan dengan NNVA, namun penting pula untuk dikurangi atau
dihilangkan. Berikut pada Tabel 8 total persentase aktivitas VA, NVA, dan
NNVA.

13
Tabel 8 Total persentase aktivitas VA, NVA, dan NNVA pengolahan biji kakao
kering
Pengeringan rotary drying
Waktu
Aktivitas
Jumlah
(detik)
Operation
21
544.181
Transport
11
29.527,5
Inspection
1
182
Storage
2
2.765
Delay
5
60.356
VA
5
496.812
NVA
4
23.276
NNVA
31
116.923,5
Total waktu
637.011,5
%VA
77,99
%NVA
3,65
%NNVA
18,36

Pengeringan mason
Aktivitas
Jumlah
Waktu
(detik)
Operation
22 469.512,38
Transport
10
22.372,42
Inspection
1
182
Storage
1
1.325
Delay
5
22.773
VA
5
412.212
NVA
4
21.333
NNVA
30
82.619,8
Total waktu
516.164,8
%VA
79,86
%NVA
4,13
%NNVA
16,01

Pada Tabel 8 yaitu identifikasi Process Activity Mapping dilakukan
pemisahan perhitungan waktu aktivitas VA, NVA, dan NNVA dengan kedua jenis
pengering biji kakao yaitu rotary drying dan mason. Proses pengolahan biji kakao
dari penimbangan, receiving, pressing, fermentasi, hingga pengeringan biji kakao
setengah kering dengan circular drier memiliki waktu yang sama. Perbedaan
waktu VA, NVA, dan NNVA berlangsung setelah proses pengeringan biji kakao
dengan circular drier hingga menuju proses pengemasan (packing). Selanjutnya
untuk proses packing hingga penggudangan untuk kedua jenis pengering memiliki
waktu yang sama.
Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan, tingginya nilai persentase VA
sebesar 77,99 (RD) dan 79,86% (mason) dipengaruhi oleh lamanya waktu proses
fermentasi, pengeringan dan pengemasan (packing). Proses tersebut termasuk
aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi biji kakao kering yang akan dijual
kepada konsumen. Fermentasi berperan penting untuk membentuk mutu dan
citarasa biji kakao kering. Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air biji
kakao agar menjaga citarasa maupun mutu biji kakao yang telah terbentuk selama
masa fermentasi. Selain itu berguna untuk menghindari cemaran dari jamur
maupun mikroba yang dapat merusak biji kakao kering selama disimpan di
gudang. Pengeringan yang terdiri dari dua tahap yaitu pengeringan biji kakao
setengah kering dan kering mempengaruhi waktu yang digunakan untuk proses.
Pada pengeringan biji kakao kering terdiri dari dua jenis mesin yaitu rotary drier
dan mason. Waktu yang digunakan untuk proses pengeringan oleh kedua mesin
tersebut berbeda, sehingga persentase nilai VA kedua mesin berbeda pula. Pada
pengemasan terjadi proses sortasi (grading) untuk memisahkan kotoran atau
benda asing yang terikut biji kakao selama proses pengolahan.
Persentase non value addes activity (NVA) sebesar 3,65% (RD) dan 4,31%
(mason) disebabkan oleh lamanya waktu menunggu biji kakao untuk diproses.
Aktivitas menunggu terjadi pada proses receiving yaitu menunggu bucket sebagai
wadah untuk menampung biji dari truk dan menunggu proses pengepresan. Bucket
yang tersedia memiliki jumlah yang cukup banyak namun belum dimanfaatkan
semua untuk proses receiving. Selain itu terbatasnya jumlah operator dan

14
kecepatan operator dalam menangani proses receiving mempengaruhi waktu
tunggu. Proses pengepresan mengalami kendala karena jumlah alat pressing yang
tersedia hanya dua dan kecepatan operator yang menangani tidak sesuai, sehingga
terjadi aktivitas menunggu. Selain itu proses menunggu terjadi pada pemindahan
hasil fermentasi menuju CD, karena operator dan crane masih digunakan untuk
memindahakan hasil fementasi sebelumnya. Pada pengeringan biji kakao setengah
kering terjadi proses menunggu karena pemindahan biji masih menggunakan
tenaga pekerja. Waktu tunggu terjadi karena pekerja masih melakukan
pembongkaran biji kakao setengah kering pada pengering CD yang lain, sehingga
diperlukan waktu untuk membongkar muat biji kakao tersebut.
Aktivitas NNVA memiliki jumlah aktivitas yang paling tinggi, namun
jumlah waktunya lebih rendah dibandingkan aktivitas VA. Aktivitas ini hanya
memiliki persentase penggunaan waktu sebesar 18,36% (RD) dan 16,01%
(mason) dalam proses pengolahan biji kakao. Persiapan untuk memulai proses dan
pemindahan bahan memiliki pengaruh yang cukup besar pada aktivitas NNVA.
Jumlah aktivitas tersebut dieliminasi dengan mengurangi aktivitas pemindahan
bahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Letak proses pengeringan mason yang
tidak berdekatan dengan proses lainnya (berbeda bangunan) menyebabkan proses
pemindahan menjadi lebih banyak dan waktu yang digunakan semakin bertambah.
Proses pemindahan biji setengah kering yang terlalu banyak terlihat pada
pemindahan biji pada karung, pengangkutan karung menuju truk untuk
dipindahkan pada pengering mason, dan bongkar muat dari truk menuju mason
yang dilakukan secara manual oleh pekerja dengan dipanggul.
Selain itu pemindahan biji kakao setengah kering dari box 1 ke box 2
merupakan aktivitas yang perlu dihilangkan, karena pemindahan ini hanya perlu
dilakukan sekali dengan menyesuaikan box penampung dengan mesin pengering
CD. Pemindahan dari box 1 ke box 2 dilakukan karena dimensi box 2 terlalu tinggi
dibandingkan mesin pengering CD, sehingga dibutuhkan box 1 untuk menampung
biji setengah kering. Terdapat pula pemindahan biji kakao kering dari silo 1 (pada
lantai produksi) ke silo 2 (pada gudang pengemasan). Pemindahan yang terjadi
karena letak kedua bangunan yang terpisah, sehingga perlu menggunakan
conveyor untuk mengalirkan biji kakao. Aktivitas NNVA terdapat pula pada
proses penyimpanan biji kakao kering pada silo 1. Hal tersebut disebabkan
penggunaan satu mesin grading pada pengemasan biji kakao kering sehingga
menghambat aliran biji kakao kering dari silo 1 ke silo 2. Terbatasnya tenaga
kerja pada packing mempengaruhi proses pengemasan yang berlangsung. Proses
pemindahan maupun aktivitas yang terlalu banyak diterapkan akan menambah
waktu proses produksi dan menambah jam kerja pekerja.
Total waktu untuk mengolah biji kakao dengan menggunakan dua jenis
pengering yaitu mason dan rotary drying adalah 637.011,5 dan 516.164,8 detik.
Bila waktu tersebut dikonversikan menjadi satuan hari, waktu pengolahan biji
kakao dengan pengering RD hingga biji disimpan di gudang yaitu selama 7,37
hari. Pada pengeringan biji kakao dengan pengering mason waktu yang diperlukan
untuk keseluruhan proses adalah 5,97 hari.
Supply Chain Respon Matrix (SCRM)
SCRM berfungsi untuk melihat tingkat persediaan dan waktu distribusi yang
terjadi pada setiap area tahapan proses. Supply Chain Respon Matrix (SCRM)

15
yang dikembangkan oleh Hines dan Rich (1997) biasa diterapkan oleh perusahaan
manufacturing dengan keputusan produksi berdasarkan permintaan konsumen
(make to order), sedangkan pada penelitian ini dikembangkan pemetaan supply
chain pada produksi kakao dengan sistem produksi berdasarkan hasil panen dari
kebun (make to stock). Pemetaan SCRM pada agroindustri telah dikembangkan
oleh Seth et al. (2008). Penggambaran SCRM pada penelitian ini untuk
menunjukkan keterkaitan proses pengolahan biji kakao (work in process) dengan
tahap penggudangan maupun konsumen.
Pembuatan SCRM menggunakan data selama enam bulan yaitu data
penerimaan bahan baku, work in process, penggudangan, dan pengiriman.
Pemetaan dilakukan pada tiga jenis tahapan yaitu area produksi (work in process),
gudang biji kakao kering, dan customer. Work in process berlangsung secara terus
menerus sesuai bahan baku (biji kakao basah) yang dihasilkan dari kebun (make
to stock). Pada gudang terjadi pemenuhan stok sesuai dengan biji kakao kering
hasil yang dihasilkan, sedangkan pada bagian konsumen dilakukan penjualan biji
kakao oleh pihak sales dengan cara tander. Pada Gambar 3 diperlihatkan hasil
pemetaan SCRM dari pabrik pengolahan biji kakao kering dan perhitungan
lengkap disajikan pada Lampiran 11.

Gambar 3 Supply Chain Respon Matrix pengolahan biji kakao kering
Bahan baku yang diterima oleh pabrik setiap hari langsung diproses pada
area produksi. Data yang digunakan untuk pemetaan SCRM selama enam bulan
yaitu dari bulan Januari hingga Juni 2014. Pemilihan bulan tersebut didasarkan
pada perbedaan hasil panen yang dialami perkebunan. Hasil pemetaan SCRM
merupakan rata-rata penggunaan waktu pemenuhan biji kakao kepada konsumen
dengan kondisi kebun pada panen rendah dan tinggi. Lead time pada area produksi
merupakan waktu yang digunakan untuk mengolah biji kakao kering setiap satu
kali proses dengan penggunaan dua mesin pengering berbeda RD dan mason yaitu
sekitar 5,97 hingga 7,37 hari. Inventory area produksi dihitung dari day physical
stock (dps), yaitu rata-rata waktu biji kakao kering hasil pengolahan memenuhi
stok output production pada gudang. Perhitungan yang dilakukan yaitu membagi
rata-rata input produksi dengan output produksi per hari. Rata-rata penerimaan biji
kakao basah (input produksi) dari bulan Januari hingga Juni sebesar 36457,137

16
kg/hari dengan output produksi biji kakao kering sebesar 4837,963 kg/hari,
sehingga diperoleh dps sebesar 7,54 hari.
Lead time yang dimiliki oleh bagian penggudangan sebesar 71 hari dihitung
dari lama biji kakao disimpan di gudang hingga dijual kepada konsumen dengan
cara tender. Inventory pada gudang dihitung dari dps, yaitu waktu untuk
pemenuhan kebutuhan jumlah stok di gudang hingga dilakukan penjualan kepada
konsumen. Perhitungan yang dilakukan dengan membagi rata-rata penerimaan
(output produksi) per hari dengan rata-rata pengeluaran (delivery) per hari.
Penerimaan biji kakao pada gudang selama bulan Januari hingga Juni adalah
4837,963 kg/hari dengan pengeluaran sebesar 28055,556 kg/hari, sehingga
diperoleh dps sebesar 0,17 hari. Konsumen memiliki inventory selama 14 hari
yaitu jangka waktu pengambilan biji kakao kering di gudang. Lead time yang
dimiliki oleh konsumen selama 7 hari yaitu jangka waktu biji kakao open tender
hingga penentuan hasil tender yang ditentukan oleh pihak sales. Berdasarkan
pemetaan SCRM dapat diketahui waktu yang diperlukan untuk memproduksi biji
kakao kering dari area produksi hingga diterima oleh konsumen memerlukan
waktu 107 hari. Total hari tersebut dijumlah dari nilai comulative inventory dan
lead time dari masing-masing bagian proses produksi (work in process), gudang
dan konsumen. Analisis grafik SCRM untuk menyelidiki alasan penundaan/delay
(waiting) dan menghilangkan pemborosan inventory (Hines and Taylor 2000).
Pada area produksi (work in process) pemborosan waiting dan inventory sering
terjadi saat masa panen melimpah.
Identifikasi pemborosan
Identifikasi pemborosan yang dilakukan berdasarkan pengamatan, pemetaan
dengan Value Stream Mapping tools dan hasil kuesioner yang diberikan kepada
pihak perusahan. Berdasarkan hasil penilaian kuesioner keterkaitan pemborosan
yang dilakukan oleh responden yang menunjukkan bahwa pemborosan over
production mempengaruhi munculnya pemborosan lain dan pemborosan
inventory dan waiting muncul dipengaruhi oleh sebaliknya. Hal tersebut sesuai
dengan hasil pengamatan yang ditunjukkan pada penggambaran keseluruhan
proses dengan Microsoft Visio. Keberadaan over production pada receiving yaitu
banyaknya biji kakao yang diolah meningkatkan pemborosan waiting, motion,
transportasi, dan inventory. Pemborosan inventory dan waiting dipengaruhi oleh
banyaknya biji kakao yang diolah oleh pabrik saat masa panen yang melimpah.
Unnecesary inventory terjadi penumpukan biji kakao kering saat proses
pengemasan, sedangkan waiting terjadi saat proses pengolahan biji kakao basah.
Pengamatan proses produksi biji kakao kering dilakukan dengan mengidentifikasi
pemborosan yang terjadi pada keseluruhan aktivitas produksi. Pengamatan yang
dilakukan dengan mengindentifikasi jenis pemborosan yang terjadi pada lini
produksi. Hasil pengamatan jenis pemborosan yang terjadi disajikan pada Tabel 9.

17
Tabel 9 Identifikasi jenis pemborosan pada pengolahan biji kakao
Jenis pemborosan
Over production
Innapropriate
processing

Identifikasi aktivitas proses
Banyaknya biji kakao basah yang diolah saat masa panen.
(aliran material tidak lancar).
Tidak terlihat pada proses produksi biji kakao kering.
Pada proses receiving, antara proses receiving dengan
pressing, proses fermentasi menuju pengeringan circuler
drier, dan proses pengeringan CD menuju RD.
Penumpukan biji kakao kering di silo 1.
Pemindahan biji kakao setengah kering dari box 1 menuju
box 2 (pemindahan berulang)
Perpindahan biji kakao dari circular drying menuju mason.
Tidak terlihat pada proses produksi biji kakao kering.

Waiting
Inventory
Motion
Transportation
Defect

Rekomendasi perbaikan pemborosan
Hasil pemetaan aktivitas dengan value stream mapping diperoleh akar
pemborosan setiap aktivitas yang dilakukan dengan melihat penggunaan waktu
NVA dan NNVA, sedangkan hasil pemetaan SCRM menunjukkan penggunaan
waktu untuk memenuhi kebutuhan biji kakao kering kepada konsumen. SCRM
digunakan untuk mengidentifikasi pemborosan waiting dan inventory. Selain
penggunaan value stream mapping digunakan pula fishbone diagram untuk
mengidentifikasi akar masalah dan memberikan rekomendasi perbaikan
pemborosan yang terjadi. Fishbone diagram untuk mengelompokkan dan
menghasilkan kemungkinan penyebab masalah dalam suatu proses dengan
mendaftarkan seluruh penyebab dan efek yang ditimbulkan (Wahid et al. 2013).
Fishbone diagram disajikan pada Gambar 4 hingga 8. Pembuatan diagram
fishbone menggunakan empat macam sumber terkait berupa man, material,
method, dan machine.

Material

Masa panen melimpah
Banyaknya kedatangan biji di receiving
Over production

Kapasitas kotak
fermentasi tidak sesuai
Machine

Gambar 4 Fishbone diagram pemborosan over production

18

Mesin pengering
RD lama

Material Masa panen melimpah
Man

Jumlah operator di
receiving kurang

Banyaknya kedatangan
biji di receiving

Biji menumpuk di box 2
Kurang pengawasan pekerja
(receiving dan pressing)

Rendahnya kecepatan
operator menuju
pressing
Waiting

Bucket tidak maksimal
digunakan (receiving)

Bongkar muat biji masih
dengan tenaga pekerja
(pada CD)

Alat crane multifungsi
(menuju CD)

Mesin pengering lama
bekerja
Sumber panas
tidak maksimal

Machine

Method

Gambar 5 Fishbone diagram pemborosan waiting
Menunggu grading

Material

Biji disimpan di silo 1
Inventory
Mesin grading tidak
maksimal bekerja

Silo 1 tidak menampung
semua biji kakao kering

Machine

Gambar 6 Fishbone diagram pemborosan unnecessary inventory
Pekerja memindahkan
biji dengan sekop

Man

Rendahnya material handling
Motion
Masih menggunakan
tenaga pekerja

Penggunaan box 1 untuk
penampung biji dari CD

Rendahnya material
handling
Method

Box 2 tidak sesuai
dengan pengering CD
Machine

Gambar 7 Fishbone diagram pemborosan motion
Mesin pengering CD
dan mason terpisah

Machine

Berbeda bangunan
Transportation
Pemindahan biji kakao dengan truk
Perbedaan lantai
produksi

Method

Gambar 8 Fishbone diagram pemborosan transportation

19
Penggambaran diagram fishbone merupakan hasil dari identifikasi
pemborosan dari penggambaran keseluruhan proses dengan Value Stream
Mapping. Penggambaran diagram fishbone digunakan untuk mengetahui akar
masalah pemborosan dan dapat memberikan rekomendasi dari setiap jenis
pemborosan yang terjadi. Berdasarkan pemetaan dengan value stream mapping
dan fishbone diagram pada Tabel 10 disajikan rekomendasi perbaikan
pemborosan pada pengolahan biji kakao kering.
Tabel 10 Rekomendasi perbaikan pemborosan
Jenis pemborosan
Over production
Waiting

Inventory

Motion

Transportation

Rekomendasi perbaikan
Penyesuaian kotak fermentasi untuk menanggulangi masa
panen yang melimpah pada receiving.
Pemanfaaatan bucket secara maksimal pada receiving,
pengawasan pekerja/operator dalam bekerja, penambahan
mesin pengepresan, perbaikan material handling untuk
pemindahan CD menuju RD dan mason.
Perbaikan sumber penghasil panas untuk CD dan RD,
penambahan tenaga kerja untuk packing (masa crops)
untuk memanfaatkan penggunaan mesin grading,
penambahan silo 1 untuk menampung biji kakao kering.
Perbaikan dimensi box penampung biji kakao setengah
kering, perbaikan material handling untuk membawa biji
dari CD menuju RD.
Penyatuan lantai produksi (terpisahnya pengering mason
pada bangunan lain).

Berdasarkan rekomendasi perbaikan yang telah disajikan pada Tabel 10,
dapat diketahui bahwa rekomendasi utama yang diperlukan untuk memperbaiki
pemborosan yang terjadi pada proses produksi pengolahan biji kakao kering
adalah perbaikan material handling, perbaikan mesin penghasil sumber panas
pengeringan, dan penyatuan lantai produksi, serta pengawasan kerja operator.
Pengurangan dan penghilangan waktu non value added dan necessary but non
value added dari aktivitas berupa menunggu dan perpindahan yang tidak
d