Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia

INCINERATOR PORTABEL BERBAHAN BAKAR SERABUT
KAPUK RANDU DAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI
PERANGKAT PENEGAKAN BIOSEKURITI DI INDONESIA

ESDINAWAN CARAKANTARA SATRIJA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

INCINERATOR PORTABEL BERBAHAN BAKAR SERABUT
KAPUK RANDU DAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI
PERANGKAT PENEGAKAN BIOSEKURITI DI INDONESIA

ESDINAWAN CARAKANTARA SATRIJA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Incinerator Portabel
Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat
Penegakan Biosekuriti di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Esdinawan Carakantara Satrija
NIM. B04100006

iv

ABSTRAK
Biosekuriti merupakan salah satu langkah pencegahan terhadap
penyebaran agen penyakit infeksius. Pembakaran dengan menggunakan
incinerator terhadap material terinfeksi merupakan salah satu metode pemusnahan
agen penyakit infeksius yang diterapkan di lapangan. Namun, penggunaan
incinerator di Indonesia masih terbatas karena biaya pembelian dan operasional
incinerator yang cukup tinggi khususnya biaya bahan bakar. Penelitian ini
dilakukan untuk mengembangkan dan mengetahui kemampuan incinerator
portabel berbahan bakar serabut kapuk dan minyak jelantah. Serabut kapuk
(Ceiba pentranda) dan minyak jelantah merupakan sumber energi alternatif yang
dapat menghasilkan panas dalam jumlah besar. Dalam penelitian ini, dua desain
incinerator portabel dibuat yakni double chamber dan single chamber. Selain itu,

pengaruh jumlah bahan bakar, desain incinerator, dan jenis limbah yang dibakar
diuji dalam penelitian ini melalui pembakaran selama 5 menit. Pembakaran
dengan jumlah bahan bakar yang lebih banyak meningkatkan dan menunda
tercapainya suhu puncak (400 °C pada menit ke-3 vs. 530.67 °C pada menit ke-4).
Desain single chamber memiliki daya bakar yang lebih baik dibandingkan dengan
desain double chamber dilihat dari suhu puncaknya (400 °C vs. 814.33 °C dengan
400 g bahan bakar). Pembakaran limbah anorganik (plastik dan logam) memiliki
suhu puncak yang lebih tinggi dibandingkan limbah organik (telur ayam
berembrio) (923 °C vs. 1 163 °C dengan 800 g bahan bakar). Hal ini berimbas
kepada tingkat penurunan bobot limbah pasca pembakaran yang lebih tinggi pada
limbah anorganik (56.54% vs. 76.47% dengan 800 g bahan bakar). Suhu puncak
dari masing-masing pembakaran limbah telah melewati standar pembakaran
limbah Uni Eropa (850 °C/2 detik untuk limbah umum; 1 100 °C/2 detik untuk
limbah terklorinasi). Oleh sebab itu, incinerator portabel berbahan bakar serabut
kapuk dan minyak jelantah berpotensi untuk digunakan sebagai perangkat
penegak biosekuriti.
Kata kunci: bahan bakar alternatif, biosekuriti, bahan bakar serabut kapuk-minyak
jelantah, incinerator portabel

v


ABSTRACT
Biosecurity is one of the measures to prevent the spread of infectious
disease agents. Incineration of material suspected to eleminate disease agents is
one of biosecurity method applied in the field. However, the usage of incinerator
in Indonesia is still limited due to high price of incinerator and operational costs
including fuel and/or electricity. The present study was designed to develop and
test performance of a kapok-used oil fueled portable incinerator. Kapok (Ceiba
pentranda) fiber and used oil combination is an alternative fuel that could
generate considerable amount of heat. Two types of portable incinerator, namely
double and single chamber incinerator were developed in this study. Furthermore,
the influences of fuel amount, incinerator design, and type of waste were tested in
5 minutes incineration process. Incineration using more fuel was shown to
increase and delay the peak incineration temperature (400 °C at minute 3 vs.
530.67 °C at minute 4). The single chamber incinerator design shown to had a
higher peak incineration temperature than the double chamber design (400 °C vs.
814.33 °C each at 400 g fuel usage). The anorganic waste (plastic and metal)
showed to had a higher peak incineration temperature than the organic waste
(embryonated egg) (923 °C vs. 1 163 °C each at 800 g fuel usage). The higher
incineration temperature also caused the higher waste reduction rate in the

anorganic waste incineration process (56.54% vs. 76.47% at 800 g fuel usage).
The peak temperature of each waste incineration surpassed the European Standard
for Incineration Process (850 °C/2 seconds for general waste; 1 100 °C/2 seconds
for chlorinated waste). Therefore, the kapok-used oil fueled portable incinerator is
potential to be used as a biosecurity device.
Keywords: alternative fuel, biosecurity, kapok-used oil fuel, portable incinerator

vi

Judul Skripsi

:

Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk
Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat
Penegakan Biosekuriti di Indonesia

Nama :

:


Esdinawan Carakantara Satrija

NIM

:

B04100006

Disetujui oleh

Dosen Pembimbing II

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 19570804 198211 1 001

Dr. Ir. Irzaman, M.Si
NIP. 19630708 199512 1 001


Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus:

vii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus
diselesaikan penulis untuk memenuhi persyaratan lulus Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang ditulis berdasarkan penelitian
ini berjudul “Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan

Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia”
dilaksanakan dan ditulis sejak April sampai Agustus 2014. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Bapak Dr. Ir.

Irzaman, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukkan dalam
proses penelitian sampai penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Ibu Dr.
Drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing akademik yang telah membimbing
selama masa studi di FKH IPB. Penelitian ini sepenuhnya didanai oleh Bapak Drh.
Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si, untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua biaya, sarana, serta kasih
sayang dan doa yang senantiasa dipanjatkan. Tak lupa penulis ucapkan untuk adik-adik
penulis Rinda dan Iza serta teman-teman semua untuk doa dan kebersamaannya. Tak ada
yang sempurna di dunia ini kecuali ciptaan Allah SWT, maka seperti halnya tulisan ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi masyarakat khususnya terkait
dengan tidakan pengendalian penyakit di Indonesia

Bogor, Oktober 2014
Esdinawan Carakantara Satrija

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


viii

DAFTAR GAMBAR

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

2

Luaran yang diharapkan


2

Manfaat

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Biosekuriti

3

Incinerator

4

Kombinasi Kapuk dan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif


5

METODE PELAKSANAAN

6

Waktu dan Tempat Penelitian

6

Tahapan Penelitian

6

Tahap Pengujian

7

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Desain dan Pembuatan Alat

8

Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran

9

Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran

10

Uji Pembakaran Limbah

11

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan

13

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

DAFTAR TABEL
1

Perbandingan suhu dan waktu inaktivasi antar jenis agen penyakit

3

ix

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Incinerator portabel dengan desain double chamber
Incinerator portabel dengan desain single chamber
Pengaruh jumlah bahan bakar terhadap pola peningkatan suhu ruang
pembakaran
Pengaruh desain terhadap pola peningkatan suhu ruang pembakaran
Pengaruh jenis limbah pola peningkatan suhu ruang pembakaran
Rataan tingkat penurunan bobot limbah pasca pembakaran
Pengaruh jenis limbah terhadap nilai rataan suhu pembakaran tertinggi

8
9
10
11
12
12
13

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang terletak di persimpangan
antara dua benua dan dua samudra yakni benua Asia dan Australia, serta Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Posisi Indonesia yang sangat strategis ini sangat
penting bagi perdagangan karena wilayah Indonesia menjadi jalur yang ramai
dilewati oleh lalu lintas berbagai komoditas perdagangan. Kedua faktor tersebut
menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap masuknya agen penyakit asal hewan
yang dapat dibawa oleh komoditas perdagangan baik berupa ternak hidup ataupun
produknya. Hal ini diperparah dengan kondisi tropis iklim Indonesia yang turut
membantu menyuburkan perkembangan agen penyakit.
Wabah penyakit avian influenza (AI) H5N1 yang terjadi sejak
pertengahan tahun 2003 di Indonesia merupakan kejadian besar merebaknya agen
penyakit akibat lengahnya pengawasan lalu lintas hewan dan produk hewan.
Infeksi virus ini tidak hanya menimbulkan kerugian berupa kematian serta
penurunan produktivitas ternak unggas secara massal tetapi juga dapat
menginfeksi dan menewaskan manusia. Kasus AI pada manusia di seluruh dunia
sampai dengan 21 Februari 2012, tercatat 586 kasus, 185 kasus (32%) di
antaranya berasal dari Indonesia. Delapan puluh tiga persen (153 kasus) kasus
pada manusia bersifat fatal (Adisasmito et al. 2013). Di samping itu, Indonesia
kehilangan 16.2 juta ternak unggas (ayam) akibat infeksi dan proses pemusnahan
unggas yang terjangkit AI selama tahun pertengahan 2003 hingga awal 2004 yang
setara dengan kerugian ekonomis sebesar US$16.2 - 32.4 juta (FAO 2005).
Penerapan biosekuriti merupakan salah satu cara pencegahan penyakit
menular. Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah
masuknya serta keluarnya agen penyakit dari suatu wilayah (Thomson 1991).
Salah satu tindakan biosekuriti adalah pemusnahan objek yang terkontaminasi
oleh agen penyakit, misalnya hewan sakit atau mati, peralatan kandang dan medis,
serta fomite. Tindakan pemusnahan objek yang terkontaminasi dapat dilakukan
dengan cara penguburan atau pembakaran. Penguburan objek yang akan
dimusnahkan memerlukan area yang luas dengan bertambahnya objek yang harus
dimusnahkan. Cara terbaik dan efisien dalam memusnahkan objek yang
terkontaminasi agen penyakit salah satunya adalah dengan cara pembakaran
(incineration) menggunakan alat pembakar (incinerator) karena panas yang
digunakan dalam proses ini dapat memusnahkan seluruh agen penyakit yang ada.
Namun, pemusnahan dengan pembakaran memiliki beberapa kendala seperti
ketersediaan alat pembakar (incinerator), mobilitas alat, serta biaya operasi yang
relatif mahal. Keterbatasan tersebut menghambat penggunaan teknik pemusnahan
dengan pembakaran di lapangan.
Pemusnahan bangkai unggas umumnya dengan cara dibakar di tempat
terbuka atau lubang galian. Suhu pembakaran dengan cara ini relatif rendah
karena pembakaran tidak sempurna dan tidak seluruh bahan yang hendak
dimusnahkan terbakar sehingga menimbulkan peluang timbulnya penyakit pada
ternak meskipun tindakan biosekuriti telah dilakukan.

2

Biaya operasi sebuah incinerator umumnya relatif mahal karena mahalnya
sumber energi yang digunakan. Incinerator yang beroperasi saat ini umumnya
menggunakan bahan bakar minyak bumi (bensin atau solar), gas, dan listrik
sebagai sumber energi. Meningkatnya harga sumber energi tersebut saat ini dan
besarnya konsumsi incinerator akan sumber energi untuk menjalankan fungsinya
menjadikan biaya operasi sebuah incinerator menjadi relatif mahal. Oleh sebab
itu, untuk memperluas penggunaan incinerator di lapangan dibutuhkan sumber
energi alternatif yang ekonomis dan berenergi tinggi dalam menjalankan operasi
incinerator. Kombinasi antara serabut kapuk dan minyak jelantah merupakan
salah satu kandidat sumber energi yang ekonomis dan berenergi tinggi.
Pembakaran serabut kapuk dan minyak jelatah dengan ditambah oksigen cair
(teknis) dapat mencapai suhu 1 500 oC yang dilihat dari kemampuannya
melelehkan besi pada saat pembakaran tersebut (Satrija et al. 2013). Selain itu,
bahan bakar ini juga relatif aman, ekonomis, mudah dibuat, serta tidak memakan
banyak tempat. Oleh sebab itu, serabut kapuk dan minyak jelatah dapat menjadi
basis dari pembuatan incinerator portabel yang memiliki mobilitas tinggi,
ekonomis, dan mudah diproduksi secara massal.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menguji
puwarupa alat pembakar (incinerator) portabel berbahan bakar serabut kapuk dan
minyak jelantah dengan melihat pengaruh jumlah bahan bakar, desain incinerator,
dan jenis limbah terhadap suhu pembakaran.
Luaran yang Diharapkan
Diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan sebuah purwarupa alat
pembakar (incinerator) yang memiliki mobilitas tinggi, ekonomis, dan mudah
diproduksi secara massal.
Manfaat
Manfaat dari kegiatan ini adalah perluasan penggunaan incinerator
portabel berbahan bakar serabut kapuk dan minyak jelantah dalam rangka
pelaksanaan tindakan biosekuriti di Indonesia untuk mencegah timbulnya
penyakit khususnya penyakit pada ternak.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Biosekuriti
Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah
masuknya serta keluarnya agen penyakit dari suatu wilayah (Thomson 1991).
Pendekatan biosekuriti terdiri atas pengawasan lalu lintas, isolasi, vaksinasi, dan
desinfeksi. Dalam konsep penanganan dan pengendalian penyakit pada ternak,
pengawasan lalu lintas berarti pengawasan keluar-masuknya ternak, orang, dan
peralatan ke area peternakan. Lingkup pengawasan tidak hanya mencakup
peternakan itu sendiri melainkan juga transportasi, penjualan, pengolahan, hingga
konsumsi produk asal ternak. Isolasi merupakan langkah penutupan area yang
terjangkit oleh penyakit terhadap area yang belum terjangkit dan sebaliknya.
Vaksinasi merupakan langkah pengebalan inang terhadap agen penyakit yang
mewabah untuk mencegah terjadinya infeksi melalui pemberian vaksin (FAO
2007).
Desinfeksi merupakan langkah pembersihan pada area yang terjangkit atau
diduga terjangkit. Desinfeksi dilakukan dengan cara pembersihan lingkungan,
pemberian desinfektan, dan pemusnahan objek yang terjangkit atau diduga
terjangkit penyakit.
Tabel 1 Perbandingan suhu dan waktu inaktivasi antar jenis agen penyakit.
Jenis
Suhu dan waktu
Contoh Agen
Pustaka
Agen
inaktivasi agen
Virus
Hepatitis C Virus
56 °C selama 40 Song et al.
menit
(2010)
Avian Influenza Virus
63 °C selama 3.5 Swayne dan
menit
Beck (2004)
Bakteri
Salmonella sp.
55 °C selama 90 Goodfellow dan
menit atau 60 °C Brown (1978)
selama 12 menit
Parasit
Cysticercus (Taenia solium)
60 °C atau hingga Gottstein et al.
karkas
berubah (2009)
warna
Kista larva Trichinella spp
71 °C selama ≥ 1 Gottstein et al.
menit
(2009)
Toxoplasma gondii
63 – 74 °C selama 3 Green (2005)
menit (bergantung
jenis karkas)
Toksin
Botulinum
(Clostridium 80 °C
Jay et al. (2005)
botulinum)
Heat-stable
enterotoxin 100 °C
Ghanekar et al.
(Escherichia coli)
(2003)
Spora
Spora Bacillus anthracis
200 °C selama 30 Whitney et al.
detik
(2003)
Prion
Scrapie
dan
Bovine 170 °C selama 30 Appel et al.
Spongioform Encephalopathy menit
(2001)

4

Seluruh pendekatan biosekuriti ini harus dilaksanakan secara cermat dan
terintegrasi guna mencegah timbulnya wabah penyakit. Langkah ini merupakan
tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah,
publik, industri dan produsen pangan, serta institusi keilmuan dan pendidikan
(FAO 2007).
Pemusnahan objek berpotensi membawa atau menularkan penyakit
merupakan salah satu tindakan biosekuriti. Waktu dan suhu yang diperlukan
untuk memusnahkan dengan agen penyakit bergantung pada jenis agen
penyakitnya sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1.

Incinerator
Pembakaran (incineration) merupakan proses penanganan limbah melalui
pembakaran material organik dalam limbah tersebut (Knox 2005). Alat pembakar
yang digunakan dalam proses ini disebut incinerator.
Incinerator merupakan komponen penting dalam penegakan biosekuriti
khususnya desinfeksi karena incinerator merupakan alat yang efektif untuk
memusnahkan alat, limbah, dan ternak yang terinfeksi atau diduga terinfeksi agen
penyakit.Untuk mencapai efektivitas ini incinerator menghasilkan panas dengan
suhu yang sangat tinggi. Menurut aturan yang dikeluarkan Uni Eropa mengenai
pengolahan limbah dalam Directive 2000/76/EC, suhu minimal incinerator harus
mencapai 850 oC selama dua detik untuk memastikan terurainya zat-zat beracun
dalam limbah yang dibakar sehingga sisa limbah dapat dibuang ke lingkungan
dengan aman. Untuk mencapai suhu ini, incinerator menggunakan bahan bakar
diesel, gas, atau listrik sebagai sumber energi.
Berdasarkan mobilitasnya, incinerator terdiri atas dua varian yakni statis
dan mobil. Incinerator statis umumnya berukuran besar dan memiliki kapasitas
yang besar tetapi tidak dapat dipindahkan. Incinerator statis umumnya digunakan
di rumah sakit, laboratorium penelitian, dan pusat pengolahan limbah untuk
memusnahkan limbah berbahaya atau limbah yang tidak dapat diolah dengan cara
lain. Incinerator mobil memiliki ukuran dan kapasitas yang lebih kecil tetapi
mudah dipindahkan ke segala tempat. Incinerator mobil umumnya ditempatkan di
atas sebuah trailer yang ditarik oleh mobil atau truk. Incinerator mobil memiliki
peran yang sangat penting dalam biosekuriti karena kemampuannya untuk
berpindah ke semua tempat membuatnya mampu memusnahkan objek yang
terinfeksi agen penyakit tanpa perlu memindahkan objek tersebut sehingga
meminimalisir penyebaran agen penyakit selama transportasi objek tersebut.
Incinerator mobil belum banyak digunakan di Indonesia karena biaya
pengoperasiannya relatif mahal khususnya bahan bakar karena tingginya suhu
yang harus dicapai mengharuskan incinerator menggunakan banyak bahan bakar.
Incinerator mobil dengan kapasitas pembakaran 50 kg/jam menggunakan 100
liter minyak diesel/jam untuk yang bertenaga diesel sedangkan untuk yang
bertenaga listrik menggunakan 45 000 hingga 50 000 watt energi listrik (Cecon
Pullotech System 2010). Besarnya biaya bahan bakar untuk operasional
incinerator mobil perlu dicari bahan bakar alternatif yang ekonomis untuk

5

memperluas penggunaan incinerator mobil di Indonesia guna penegakan
biosekuriti.
Kombinasi Kapuk dan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif
Kapuk atau biasa disebut pohon randu (Jawa dan Sunda) adalah pohon
tropis
yang
tergolong
ordo Malvales dan famili Malvaceae (sebelumnya
dikelompokkan ke dalam famili terpisah Bombacaceae), berasal dari bagian utara
dari Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia, dan (untuk varitas C.
pentandra var. guineensis) berasal dari sebelah barat Afrika. Buah tanaman ini
berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 12-15 cm dan beruang lima. Buah
memiliki banyak biji yaitu sekitar 100 biji/buahnya (Suhono 2006). Di antara biji
terdapat serat-serat yang berwarna putih kusam. Serat kapuk sebagian besar
tersusun atas selulosa yaitu 50.7% dari massa total serat kapuk (Tye et al. 2012).
Tanaman Kapuk Randu pemanfaatan utamanya adalah serat kapuknya.
Kandungan selulosa yang tinggi dalam serat menjadi hal utama dan membuatnya
memiliki nilai ekonomis penting.Biasanya serat kapuk ini digunakan sebagai
pengisi kasur, bantal, dan guling (Suhono 2006). Namun, saat ini terjadi
penurunan drastis pada pemanfaatan serabut kapuk karena mulai tergeser oleh
serat dan busa sintetik. Hal ini terlihat secara nyata pada penurunan hasil kapuk
Indonesia yang pada satu waktu. Tahun 1936 - 1937 Indonesia menjadi
pengekspor kapuk terbesar di dunia dengan ekspor sebanyak 28 400 ton serat per
tahun atau 85% kebutuhan kapuk dunia, kini hanya menghasilkan 1 496 ton serat
per tahun pada tahun 2011 (Deptan 2011). Penurunan produksi ini disebabkan
oleh jatuhnya harga Kapuk Randu di pasaran yang berbuntut kepada turunnya
tingkat kesejahteraan para petani Kapuk Randu.
Minyak jelantah atau minyak goreng bekas merupakan minyak yang
berasal dari sisa minyak penggorengan bahan makanan. Minyak goreng bekas
maupun minyak goreng nabati yang baru tersusun atas gliserida yang mempunyai
rantai karbon panjang, yaitu ester antara gliserol dengan asam karboksilat.
Perbedaan minyak goreng bekas dengan minyak goreng nabati yang baru terletak
pada komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya. Komposisi asam lemak tak
jenuh minyak jelantah adalah 30% sedangkan asam lemak jenuh 70% (Kusuma
2003). Keberadaan molekul karbon rantai panjang dalam minyak jelantah
menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif yakni biodiesel yang
dikembangkan pemanfaatannya pada berbagai kendaraan bermotor dan rumah
tangga. Kota Guangzhou di China tercatat menggunakan 20 000 ton minyak
jelantah hanya untuk biodiesel saja (Wang et al. 2007).
Serabut kapuk dan minyak jelantah dapat dikombinasikan sebagai bahan
bakar. Serabut kapuk berupa selulosa menjadi sumber karbon sekaligus absorban
dan pemicu (igniter) karena selulosa memiliki rantai karbon lebih pendek
dibanding asam lemak dalam minyak jelantah misalnya asam palmitat (6 vs. 16)
sedangkan minyak jelantah menjadi sumber karbon untuk pembakaran. Hal ini
berarti menggabungkan dua sifat berbeda dari kedua bahan yakni kemudahan
terbakar dari serabut kapuk dan pembakaran yang bertahan lama dari minyak
jelantah. Penggunaan kombinasi kedua bahan ini sebagai bahan bakar telah ada
sejak lama sebagai media hiburan (mainan kapal-kapalan) dan penerangan (lampu
jelantah). Namun, kombinasi serabut kapuk dan minyak jelantah memiliki potensi
besar sebagai bahan bakar alternatif jika pembakarannya dibantu dengan

6

tambahan udara bertekanan atau oksigen cair. Pembakaran serabut kapuk dan
minyak jelatah dengan ditambah oksigen cair (teknis) dapat mencapai suhu 1 500
o
C terbukti at dari kemampuannya melelehkan besi pada saat pembakaran (Satrija
et al. 2013). Selain itu, bahan bakar ini juga relatif aman karena meski mudah
terbakar tapi tidak akan meledak karena bentuknya padatan dan keberadaan
selulosa sebagai absorban energi. Bahan bakar ini juga ekonomis karena bahan
bakunya relatif murah dan mudah ditemukan, mudah dibuat, serta tidak memakan
banyak tempat untuk penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2014. Pembuatan
purawarupa incinerator portabel dan bahan bakar dilakukan di bengkel las di
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan bengkel F-technopark Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kemampuan incinerator
portabel dilakukan di Unit Pemeliharaan Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pembuatan desain
dan purwarupa incinerator portabel, yang dilanjutkan dengan tahap pengujian.
Tahap pengujian yang terdiri atas uji pengaruh jumlah bahan bakar terhadap
proses pembakaran, uji pengaruh desain incinerator terhadap proses pembakaran,
serta uji pembakaran limbah. Setiap pengujian dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan.
Tahap Pembuatan Desain dan Purwarupa
Dalam penelitian ini dikembangkan dua desain dan purwarupa incenerator
portabel. Desain pertama terdiri atas dua komponen utama yaitu ruang bahan
bakar (fuel chamber) dan ruang pembakaran (incineration chamber) yang dibuat
secara terpisah (double chamber incenerator). Desain kedua juga terdiri atas
ruang bahan bakar dan ruang pembakaran yang ditempatkan dalam satu tabung
baja dengan posisi ruang bahan bakar berada di bawah ruang pembakaran dan
dibatasi oleh pelat pemisah dari besi atau gerabah (single chamber incenerator).
Bahan bakar serabut kapuk-minyak jelantah dibuat dengan cara
mencampurkan secara langsung kedua bahan. Setelah serabut kapuk sudah cukup
basah dengan minyak jelantah tetapi tidak sampai menetes, serabut kapuk diperas
untuk mengeluarkan kelebihan minyak jelantah. Bahan bakar ini selanjutnya
dikemas dalam bentuk cincin, dengan diameter 10 cm. Selanjutnya, bahan bakar

7

tersebut dimasukkan ke dalam ruang bahan bakar sesuai dengan jumlah yang
ditentukan.
Tahap Pengujian
Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran
Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu pembakaran dan pola
peningkatan suhu dari jumlah bahan bakar yang berbeda. Pengujian dilakukan
dengan membakar cincin bahan bakar ukuran 400 gram dan 1 600 gram dalam
double chamber incinerator selama lima menit dengan tekanan oksigen 10 psi.
Pengujian dilakukan dalam tiga ulangan. Hasil yang didapat dari pengujian ini
akan menjadi acuan untuk menentukan jumlah bahan bakar yang aman digunakan
dalam uji pembakaran limbah.
Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran
Pengujian pengaruh desain dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu
pembakaran dan pola peningkatan suhu dari dua desain incinerator yang berbeda.
Desain yang dibandingkan dalam pengujian ini adalah desain double chamber dan
desain single chamber. Pengujian dilakukan dengan membakar cincin bahan bakar
sebanyak 400 gram dalam kedua jenis incinerator selama lima menit dengan
tekanan oksigen 10 psi. Pengujian untuk masing-masing jenis diulang tiga kali.
Desain dengan suhu pembakaran terbaik akan digunakan dalam uji pembakaran
limbah.
Uji Pembakaran Limbah
Uji pembakaran limbah dilakukan untuk mengetahui kapasitas
pembakaran limbah incinerator portabel terhadap berbagai jenis limbah. Uji
pembakaran dengan limbah dilakukan dengan cara menyalakan incinerator untuk
membakar limbah dalam jumlah tertentu yang ditambahkan secara bertahap setiap
kali pengujian dan mengamati variabel yang diujikan selama proses tersebut. Uji
pembakaran ini dilakukan pada satu tekanan oksigen (10 psi), jumlah bahan bakar
(800 gram), dan waktu pembakaran yang sama (5 menit dengan asupan oksigen
dan 25 menit tanpa asupan oksigen). Uji ini dilakukan dengan 3 kali ulangan
untuk setiap jenis limbah yang berbeda. Jenis limbah yang diuji adalah limbah
anorganik (bekas jarum, alat bedah, sarung tangan, serta berbagai kemasan
sediaan farmasetik dan biologik) serta limbah organik (telur ayam berembrio).
Jenis limbah dipilih berdasarkan tingkat kemudahan penghancuran melalui
pembakaran dengan limbah anorganik sebagai limbah termudah untuk
dihancurkan dan limbah organik telur sebagai limbah tersulit untuk dihancurkan.
Tingkat kemudahan penghancuran ini diketahui melalui komunikasi dengan
operator unit incinerator FKH IPB.
Analisis Data
Variabel yang diamati dalam tahap pengujian adalah suhu pembakaran,
dan jumlah limbah yang dapat dimusnahkan dalam jangka waktu tertentu
(kapasitas pembakaran). Suhu pembakaran yang merupakan variable utama diukur
dengan menggunakan thermocouple yang memiliki kemampuan mengukur panas

8

setinggi 1 200 oC. Hasil pengukuran kedua variabel dari tiga ulangan dalam setiap
jenis uji dibuat rataan dan dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desain dan Pembuatan Alat
Purwarupa incinerator yang dibuat dalam penelitian ini terdiri atas dua
desain. Desain pertama terdiri atas dua komponen utama yaitu ruang bahan bakar
(fuel chamber) dan ruang pembakaran (incineration chamber) yang dibuat secara
terpisah (double chamber). Ruang bahan bakar berbentuk silinder ganda yang
dibuat dari pipa besi dengan diameter 4 inci (10.16 cm), panjang 50 cm, dan
ketebalan 3 mm. Ruang ini merupakan penampung bahan bakar, tempat masuknya
suplai oksigen, dan tempat memulai pembakaran. Api pembakaran bahan bakar
selanjutnya disalurkan ke ruang pembakaran melalui satu celah yang ada pada
kedua komponen. Ruang pembakaran berbentuk bulat dan terbuat dari pipa baja
dengan diameter 12 inci (30.5 cm), tinggi 50 cm, dan ketebalan 10 mm
merupakan penampung limbah yang akan dibakar sekaligus tempat pembakaran
limbah tersebut (Gambar 1). Ruang pembakaran memiliki tutup dengan arah
pembuka ke atas sebagai pintu masuk limbah yang akan dibakar dan di bawah
sebagai pintu keluar sisa limbah yang telah dibakar. Kedua komponen ini sengaja
dibuat terpisah untuk memaksimalkan suhu pembakaran melalui konsentrasi dan
pemanfaatan gas hasil pembakaran serta meningkatkan suhu dalam ruang
pembakaran. Hal ini mengacu kepada proses Siemens-Martin yang digunakan
dalam produksi baja menggunakan tanur terbuka yaitu bahan bakar dipanaskan di
ruangan terpisah dari bahan baku baja dan kemudian disalurkan melalui saluran
yang terbuat dari bata silika untuk memicu akumulasi panas dalam ruang
pelelehan (Mokyr 1998).

a

b

Gambar 1 Incinerator portabel dengan desain double chamber. (a) skema, (b)
foto.

9

a

b

Gambar 2 Incinerator portabel dengan desain single chamber. (a) skema, (b) foto.
Desain kedua juga terdiri atas ruang bahan bakar dan ruang pembakaran
yang kedua ruangnya ditempatkan dalam satu tabung berbentuk bulat dan terbuat
dari pipa baja dengan diameter 12 in (30.5 cm), tinggi 60 cm, dan ketebalan 10
mm. Posisi ruang bahan bakar (fuel chamber) berada di bawah ruang pembakaran
dan dibatasi oleh pelat pemisah dari besi atau gerabah (Gambar 2). Berbeda
dengan desain sebelumnya, pembuatan ruang terpisah dalam satu tabung
dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan proses pembakaran limbah melalui
paparan langsung terhadap api tanpa mencampurkan bahan bakar dengan limbah.
Pada incinerator konvensional, bahan bakar (gas/diesel) disemprotkan dan
bercampur bersama limbah untuk kemudian dibakar. Hal ini dapat menurunkan
efisiensi dan kesempurnaan pembakaran karena dengan bahan bakar digabungkan
dengan limbah yang belum tentu seluruhnya mudah terbakar akan menurunkan
suhu pembakaran. Selain itu, pembakaran yang tidak sempurna juga dapat
menimbulkan gas-gas polutan yang dapat berbahaya bagi kesehatan dan
lingkungan contohnya karbon monoksida (CO) serta jelaga dalam jumlah besar.
Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran
Uji pengaruh jumlah bahan bakar menunjukkan bahwa pembakaran
dengan jumlah bahan bakar lebih banyak akan mengalami peningkatan dan
pergeseran waktu tercapainya suhu puncak (Gambar 3). Peningkatan suhu puncak
terjadi akibat jumlah bahan bakar yang lebih banyak meningkatkan jumlah
sumber kalor serta luas permukaan bahan bakar.Kedua hal ini meningkatkan laju
perubahan energi kimia menjadi energi panas dalam bahan bakar serta
meningkatkan perpindahan panas dari bahan bakar pusat ruang bahan bakar
(Welty et al. 2007). Rendahnya suhu awal pembakaran serta pergeseran waktu
tercapainya suhu puncak pada pembakaran dengan jumlah bahan bakar yang lebih
banyak diakibatkan oleh belum terbakarnya seluruh bahan bakar di awal proses
pembakaran. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan titik nyala (flash

10

700,00
530,67

517,67

376,00

394,33

384,00

3

4

5

600,00

Suhu (°C)

500,00

400,00

400,00

314,67

300,00
188,67
200,00
100,0025,67
0,00
29,00
0
-100,00

285,00

190,67

1

2

Waktu (menit)

Gambar 3 Pengaruh jumlah bahan bakar terhadap pola peningkatan suhu ruang
pembakaran. 400 g, 1 600 g.
point) akibat kadar minyak jelantah secara keseluruhan yang lebih besar sehingga
dibutuhkan akumulasi panas untuk menyulut seluruh bahan bakar tersebut (Li et
al. 2004).

Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran
Uji pengaruh desain incinerator menunjukkan bahwa desain single
chamber dapat mencapai rataan ruang suhu pembakaran yang lebih tinggi dengan
lebih cepat dibandingkan desain double chamber (Gambar 4). Hal ini diakibatkan
oleh perbedaan ukuran lubang transfer panas di kedua desain yang berpengaruh
kepada proses perpindahan panas. Proses pemindahan panas dari ruang bahan
bakar ke ruang pembakaran terjadi dalam bentuk konveksi. Konveksi merupakan
proses perpindahan panas menggunakan fluida bergerak sebagai media pembawa
(Çengel 2003). Sistem dalam kedua incinerator, fluida yang digunakan sebagai
media adalah oksigen cair yang sekaligus berfungsi sebagai oksidator
pembakaran. Perbedaan antara kedua desain yang sangat memengaruhi proses
konveksi ini adalah perbedaan luas jalur transfer oksigen antara ruang bahan bakar
dan ruang pembakaran. Pada desain double chamber, jalur transfer terdiri atas dua
lubang dengan diameter 1.27 cm (0.5 in).Pada desain single chamber, jalur
transfer terdiri atas 14 lubang dengan diameter 1.27 cm (0.5 in). Perbedaan jumlah
lubang berarti perbedaan luas lubang yang dapat dimanfaatkan untuk transfer
panas (Hardy dan Du Bois 1937). Konsekuensi lain dari perbedaan ini adalah
terpusatnya panas dalam ruang bahan bakar yang dapat merusak komponen
tersebut. Hal ini terjadi akibat kapasitas konveksi dari jalur yang disediakan tidak
lagi mampu mentransfer seluruh panas yang dihasilkan sehingga panas ditransfer
keluar melalui dinding baja dari ruang bahan bakar. Pada titik tertentu, panas ini
akan mampu melelehkan dan merusak dinding ruang bahan bakar (Sears dan

11

Zemansky 1960). Dalam penelitian ini, batas tersebut tercapai ketika bahan bakar
yang digunakan mencapai 1 600 gram (ring) dengan tekanan 10 psi.
1000,00
814,33

812,00

796,00

800,00

752,00

682,33

Suhu (°C)

600,00
400,00
200,00

400,00

394,33

3

4

314,67
29,67

384,00

188,67

0,00
25,67
0
-200,00

1

2

5

Waktu (menit)

Gambar 4 Pengaruh desain terhadap pola peningkatan suhu ruang
pembakaran. Double chamber incinerator, Single chamber
incinerator.
Uji Pembakaran Limbah
Uji pembakaran limbah menunjukkan bahwa suhu pembakaran limbah
anorganik lebih tinggi daripada suhu pembakaran limbah organik (Gambar 5). Hal
ini dikarenakan limbah anorganik mengandung polimer plastik dan karet yang
mudah terbakar.Keberadaan polimer plastik dan karet ini menjadi sumber bahan
bakar tambahan (Kotrba 2014). Limbah berupa logam dapat mencapai suhu
pembakaran yang lebih tinggi daripada limbah organik karena konduktivitas
termal yang relatif lebih tinggi daripada limbah organik sebagai contoh
konduktivitas termal stainless steel (bahan baku jarum dan alat bedah) mencapai
18 - 24 W/mK sedangkan konduktivitas termal daging (embrio) mencapai 0.488
W/mK (Goodfellow Group Companies 2008; Sweat et al. 1973). Di sisi lain,
rendahnya suhu pembakaran limbah organik berupa telur ayam berembrio juga
disebabkan oleh keberadaan cangkang telur yang tersusun atas kristal kalsium
karbonat (CaCO3) sebanyak 95 - 97% (Arias dan Fernandez 2001). Kristal
kalsium karbonat mampu bertahan hingga suhu 1 339 °C serta memiliki nilai
konduktivitas termal yang relatif rendah (1.7 - 2.2 W/mK) sehingga keberadaan
cangkang ini dapat melindungi embrio dalam telur tersebut (CDC 2011; Quan et
al. 2008). Hal inilah yang menyebabkan tingkat penurunan bobot pasca
pembakaran limbah organik yang lebih rendah daripada limbah anorganik
(Gambar 6).Faktor ini sangat penting untuk diperhatikan dan harus diperbaiki agar
efektivitas dan tujuan pembakaran menggunakan incinerator yakni hancur serta
sterilnya limbah yang dibakar dapat tercapai.

12

1400,00
1115,67

1200,00
910,33 957,33

Suhu (°C)

1000,00
800,00

646,33

701,67

600,00
400,00

609,33

885,33 857,67
465,33

718,67

360,33

552,67
384,67

200,0029,00
0,00
31,00
-200,00 0

1

2

3

4

5

301,67

10

15

291,33 245,33
214,00
249,33 215,00
189,33
20

25

30

Waktu (menit)

Gambar 5 Pengaruh jenis limbah pola peningkatan suhu ruang pembakaran.
Limbah organik, Limbah anorganik.
90,00
76,47

80,00

Penuruan (%)

70,00
60,00

56,54

50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00

Gambar 6 Rataan tingkat penurunan bobot limbah pasca pembakaran.
organik, Limbah anorganik.

Limbah

Namun, rataan suhu tertinggi dari pembakaran menunjukkan bahwa suhu
pembakaran telah melewati standar Uni Eropa yang tertuang dalam Directive No.
76/2000/EC. Dalam standar tersebut, dinyatakan bahwa limbah yang
dimusnahkan dengan cara pembakaran harus terpapar suhu 850 °C selama dua
detik untuk limbah umum dan 1 100 °C selama dua detik untuk limbah
terklorinasi. Kedua standar ini ditentukan berdasarkan suhu minimal untuk
penghancuran limbah, sterilisasi, serta penguraian material berbahaya dari limbah
yang dibakar. Rataan suhu pembakaran tertinggi dari pembakaran limbah
anorganik yakni 1 163 °C telah melewati kedua standar suhu sedangkan rataan
suhu pembakaran tertinggi dari pembakaran limbah organik yakni 923 °C baru

13

melewati standar suhu pembakaran limbah umum (Gambar 7). Modifikasi desain
ruang bakar dengan lubang transfer panas yang lebih besar sehingga jumlah kalor
yang dipindahkan dari fuel chamber ke incineration chamber meningkat serta
penghancuran terlebih dahulu cangkang telur sebelum pembakaran perlu
dilakukan untuk meningkatkan suhu pembakaran limbah organik yang relatif
lebih rendah. Kedua langkah ini sangat penting untuk dilakukan untuk menjamin
berjalannya proses sterilisasi limbah telur tersebut dari agen penyakit.
1400
1163

1200

Suhu (°C)

1000

923

800
600
400
200
0

Gambar 7 Pengaruh jenis limbah terhadap nilai rataan suhu pembakaran tertinggi.
Limbah organik, Limbah anorganik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Penelitian ini berhasil membuat dua purwarupa Incinerator portabel
berbahan bakar serabut kapuk-minyak jelantah. Incinerator dengan desain single
chamber dapat mencapai rataan ruang suhu pembakaran yang lebih tinggi dan
lebih cepat dibandingkan desain double chamber. Suhu pembakaran limbah dan
tingkat penurunan bobot pasca pembakaran anorganik lebih tinggi daripada
limbah organik. Alat ini berpotensi sebagai Incinerator portabel dengan daya
pembakaran cukup tinggi dan mampu melewati standar (EU Directive No.
76/2000), mobilitas tinggi, serta biaya pembuatan dan operasional yang relatif
murah.

14

Saran
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki desain
incinerator portabel yang telah dibuat dan memperbaiki performa yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito W, Aisyah DN, Aditama TY, Kusriastuti R, Trihono, Suwandono
A, Sampurno OD, Prasenohadi, Sapada NA, Mamahit MJM, Swenson
A, Dreyer NA, Coker R. 2013. Human influenza A H5N1 in Indonesia:
health care service-associated delays in treatment initiation. BMC Public
Health 13: 57.
Appel TR, Wolff M, von Rheinbaben F, Heinzel M, Riesner D. 2001. Heat
stability of prion rods and recombinant prion protein in water, lipid and
lipid–water mixtures. J Gen Virol. 82: 465–473.
Arias JL, Fernandez MS. 2001. Role of extracellular matrix molecules in shell
formation and structure. World Poultry Sci. J. 57: 349–357.
Cecon Pullotech System. 2010. Electrical Incinerator [internet]. [diunduh 31 Juli
2014].
tersedia
pada:
http://www.ceconpollutech.com/electricalincinerator.htm.
Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. 2011. Occupational Safety
and Guideline for Calcium Carbonate. [internet]. [diunduh 20 Juli 2014].
tersedia pada: http://www.cdc.gov/niosh/docs/81-123/pdfs/0090.pdf
Çengel, Y. 2003. Heat Transfer: a practical approach. McGraw-Hill series in
mechanical engineering. (2nd ed.). Boston (US): McGraw-Hill.
Departemen Pertanian [Deptan]. 2011. Kapuk. [internet]. [diunduh 31 Juli 2014].
Tersedia pada: http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=
com_content&view=category&layout=blog&id=46&Itemid=68.
Directive 2000/76/EC of The European Parliament and of the Council. 2000.
Inceneration of waste. Official Journal of European Union Community.
L332: 91-111.
Food and Agricultural Organization [FAO]. 2005. Economic and Social Impact of
Avian Influenza. [internet]. [diunduh 31 Juli 2014]. tersedia
pada:http://www.fao.org/avianflu/documents/Economic-and-socialimpacts-of-avian-influenza-Geneva.pdf.
Food and Agricultural Organization [FAO]. 2007. FAO Biosecurity Toolkit Part
1: Biosecurity Principles and Components. [internet]. [diunduh 31 Juli
2014].
tersedia
pada:
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/a1140e/
a1140e01.pdf.
Ghanekar Y, Chandrashaker A, Visweswariah SS. 2003. Cellular refractoriness to
the heat-stable enterotoxin peptide is associated with alterations in levels
of the differentially glycosylated forms of guanylyl cyclase C. Eur J
Biochem. 270: 3848–57.

15

Goodfellow Group Companies. 2008. Stainless Steel – AISI 410 (Fe/Cr12.5)
Material Information. [internet]. [diunduh 22 Juli 2014]. tersedia pada:
http://www.goodfellow.com/E/Stainless-Steel-AISI-410.html.
Goodfellow SJ, Brown WL. 1978. Fate of salmonella inoculated into beef for
cooking. J Food Protect. 41: 598–605.
Gottstein B, Pozio E, Nöckler K. 2009. Epidemiology, diagnosis, treatment, and
control of Trichinellosis. Clin Microbiol Rev. 22: 127.
Green A. 2005. Field Guide to Meat. Philadelphia (US): Quirk Books.
Hardy DJ, Du Bois EF. 1937. The technic of measuring radiation and convection.
J Nutr. 15: 461-475.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Chapter 24: Food Poisoning Caused by
Gram-Positive Sporeforming Bacteria. Modern Food Microbiology:
Seventh Edition. New York (US): Springer.
Kotrba R. 2014. Power and Fuel from Plastic Waste.[internet]. [diunduh 21 Juli
2014]. tersedia pada: http://biomassmagazine.com/articles/2067/powerand-fuel-from-plastic-wastes.
Knox A. 2005. An Overview of Incineration and EFW Technology as Applied to
the Management of Municipal Solid Waste (MSW). London (UK):
University of Western Ontario.
Kusuma IGBW. 2003. Pembuatan biodiesel dari minyak jelantah dan pengujian
terhadap prestasi kerja mesin diesel. Poros. 6: 227-234.
Li D, Zhen H, Xingcai L, Wu-gao Z, Jian-guang Y. 2004. Physico-chemical
properties of ethanol–diesel blend fuel and its effect on performance and
emissions of diesel engines. Renew Energ. 30: 967-976.
Mokyr J. 1998. The Second Industrial Revolution, 1870-1914. Evanston (US):
Northwestern University.
Quan Z, Chen Y, Ma C. 2008. Experimental study of fouling on heat transfer
surface during forced convective heat transfer. Chinese J Chem Eng. 16:
535—540.
Satrija EC, Latief FM, Pangesti RR, Hiroyuki A. 2013. Pemanfaatan Limbah
Minyak Jelantah dan Serabut Kapuk Randu (Ceiba pentranda) sebagai
Bahan Bakar Alternatif Roket Luar Angkasa. Laporan Akhir Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti Tahun 2013. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Sears FW, Zemansky MW. 1960. College Physics. Reading (US): AddisonWesley Publishing Company, Inc.
Sharples J Gill AM, Dold JW. 2010. The trench effect and eruptive wildfires:
lessons from the King’s Cross Underground disaster. The Bushfire
CRC/AFAC Annual Conference, Darwin, Australia. 20010: 1-9.
Song H, Li J, Shi S, Yan L, Zhuang H, Li K. 2010. Thermal stability and
inactivation of hepatitis C virus grown in cell culture. Virol J. 7:40.
Suhono B. 2005. Ensiklopedia Flora. Bogor: LIPI.
Swayne DE, Beck JR. 2004. Heat inactivation of avian influenza and Newcastle
disease viruses in egg products. Avian Pathol. 33: 512-518.
Sweat VE, Haugh CG, Stadelman WJ. 1973. Thermal conductivity of chicken
meat at temperatures between −75 and 20 °C. J Food Sci. 38: 158-160.
Thomson J. 1991. Biosecurity: preventing and controlling diseases in the beef
herd. Livestock Conservation Institute 1: 49-51.

16

Tye YY, Lee KT, Wan Abdullah WN, Leh CP. 2012. Potential of Ceiba pentandra
(L.) Gaertn. (kapok fiber) as a resource for second generation bioethanol:
effect of various simple pretreatment methods on sugar production.
Bioresour Technol. 116: 536-539.
Wang Y, Ou S, Liu P, Zhang Z. 2007. Preparation of biodiesel from waste
cooking oil via two-step catalyzed process. Energ Convers Manage. 48:
184-188.
Welty JR, Wicks CE, Wilson RE, Rorrer GL. 2007. Fundamentals of Momentum,
Heat and Mass transfer (5th edition). Hoboken (US): John Wiley and
Sons.
Whitney EAS, Beatty ME, Taylor Jr TH, Weyant R, Sobel J, Arduino MJ,
Ashford DA. 2003. Inactivation of Bacillus anthracis spores. Emerg Infect
Dis. 9: 623–627.

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kopenhagen, Denmark pada tanggal 2 Januari 1993
dari ayah Drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D dan ibu Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si.
Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2010, penulis lulus
dari SMA PU Al Bayan Sukabumi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan,
penulis rnenjadi asisten praktikum PPKH tahun ajaran 2012 - 2013 dan asisten
praktikum Parasitologi Veteriner: Endoparasit tahun ajaran 2013 - 2014. Penulis
juga pemah aktif sebagai staf Departemen Kajian Strategis dan Advokasi BEM
FKH IPB masa jabatan 2010 - 2011, staf Divisi Pendidikan Himpunan Minat dan
Profesi Ruminansia FKH IPB masa jabatan 2012-2013, dan ketua Divisi
Pengembangan Sumberdaya Manusia Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB
masa jabatan 2011 - 2012 dan 2012 - 2013. Penulis juga aktif melaksanakan
kegiatan penelitian di bawah naungan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti). Judul dari penelitian PKM ini antara lain
adalah Pemanfaatan Buah Bintaro (Cerberra odollam) sebagai Pengusir Hama
Tikus (2010), Pemanfaatan Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai Obat
Anti Kanker akibat Infeksi Virus Marek pada Ayam Petelur (2011), Meraih
Kedaulatan Pangan dan Menjaga Kedaulatan Teritorial Republik Indonesia
melalui Peternakan Sapi Potong Terpadu di Pulau-Pulau Kosong Indonesia
(2011), Pemanfaatan Limbah Minyak Jelantah dan Serabut Kapuk Randu (Ceiba
pentranda) sebagai Bahan Bakar Alternatif Roket Luar Angkasa (2012). Di luar
kegiatan akademik di kampus, penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai
lokakarya dan forum pada tingkat nasional maupun internasional antara lain
Advance Concept of Animal Welfare (ACAW) workshop yang diselenggarakan
oleh WSPA di Bangkok (2011) dan Taipei (2013), INDOHUN Global Health
True Leader (Makassar 2013), International Student Congress of (bio)Medical
Sciences (Groningen 2014), dan Short Stay Program 2014: Food Safety and
Manufacturing of Traditional Foods (Kagawa University 2014). Atas prestasinya
tersebut, penulis didaulat sebagai Mahasiswa Berprestasi Peringkat I tingkat FKH
IPB pada tahun 2013. Penulis juga telah menyelesaikan pendidikan kursus jarak
jauh (online course) Animal behaviour and welfare yang diadakan University of
Edinburgh pada tahun 2014.