Turnover Bahan Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di Ekosistem Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang
TURNOVER BAHAN ORGANIK TANAH
PADA BERBAGAI TIPE VEGETASI DI EKOSISTEM
MANGROVE DESA BLANAKAN, KECAMATAN BLANAKAN
KABUPATEN SUBANG
PERMADI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Turnover Bahan
Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di Ekosistem Mangrove Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Februari 2014
Permadi
NIM A14090080
ABSTRAK
PERMADI. Turnover Bahan Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di
Ekosistem Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang.
Dibimbing oleh SUDARSONO dan DARMAWAN.
Tanah pada ekosistem mangrove umumnya mengandung C-organik dalam
jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral pada ekosistem
terestrial. Bahan organik tanah tersebut tersimpan dalam tanah sebagai cadangan
karbon yang perlu dipertahankan keberadaanya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui produksi serasah, kadar bahan organik dalam tanah, dan berapa lama
bahan organik tanah (BOT) dapat bertahan di lingkungan mangrove pada berbagai
tipe vegetasi dominan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah
dari vegetasi mangrove dominan yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan
Bruguiera, serta contoh tanah terganggu dari masing-masing lokasi vegetasi
mangrove dominan tersebut. Selanjutnya contoh tanah terganggu dan serasah
dianalisis di laboratorium, khususnya untuk mengukur kadar C-organik. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata produksi serasah vegetasi mangrove Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang ialah 10,02 ton/ha/tahun,
dengan rata-rata produksi serasah tertinggi adalah vegetasi Sonneratia sekitar
18,38 ton/ha/tahun, diikuti dengan Bruguiera sekitar 10,14 ton/ha/tahun,
Avicennia sekitar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sekitar 4,61 ton/ha/tahun.
Kadar C-organik tanah di bawah vegetasi Bruguiera setiap kedalaman tanah lebih
tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah di bawah vegetasi Rhizophora,
Avicennia, dan Sonneratia. Kadar C-organik tanah per hektar pada kedalaman 050 cm di masing-masing vegetasi mangrove berkisar antara 59,38-67,25 ton.
Produksi C-organik serasah berkisar antara 1,29-4,75 ton/ha/tahun. Vegetasi
Sonneratia memiliki turnover tercepat jika dibandingkan dengan jenis vegetasi
mangrove lainnya. Lama turnover dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13
tahun, sedangkan Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar 27 tahun, dan
Rhizophora sekitar 48 tahun.
Kata kunci: C-organik, mangrove, produksi serasah, turnover
ABSTRACT
PERMADI. Soil Organic Matter Turnover of Various Vegetations on Mangrove
Ecosystem at Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang.
Supervised by SUDARSONO and DARMAWAN.
Soils on mangrove ecosystem generally contain higher C-org than mineral
soils on terrestrial ecosystem. The organic matter remained in soil as carbon
deposit should be protected for its existence. This research aims to determine litter
production, soil organic matter (SOM) content and how long SOM persists on
mangrove ecosystem under various main vegetations. Materials used in this
research include litters of various main vegetation on mangrove ecosystem i.e.
Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, and Bruguiera, and also disturbed soil
samples from each mangrove vegetation. Those materials were analysed in
laboratory, especially for measuring C-org content. The results showed that the
average of litter production on mangrove ecosystem at Desa Blanakan, Kecamatan
Blanakan, Kabupaten Subang is 10.02 ton/ha/year. The highest litter production
was found for Sonneratia i.e. 18.38 ton/ha/year, followed by Bruguiera i.e. 10.14
ton/ha/year, Avicennia i.e. 6.96 ton/ha/year, and Rhizosphora i.e. 4.61 ton/ha/year.
Soil C-org under Bruguiera vegetation in each soil depth was higher than soil Corg under Rhizophora, Avicennia, and Sonneratia vegetations. Soil C-org per
hectare within 0-50 cm ranges between 59.38-67.25 ton in each main vegetation
area. Average litter productions contribute 1.29-4.75 ton/ha organic carbon every
year. Soil organic matter turnover under Sonneratia was faster than other main
vegetations on mangrove ecosystem. Organic matter turnover on Sonneratia was
13 years, followed by Bruguiera, Avicennia, and Rhizospora i.e. 24, 27, and 48
years, respectively.
Keywords: litter production, mangrove, organic carbon, turnover
TURNOVER BAHAN ORGANIK TANAH
PADA BERBAGAI TIPE VEGETASI DI EKOSISTEM
MANGROVE DESA BLANAKAN, KECAMATAN BLANAKAN
KABUPATEN SUBANG
PERMADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Turnover Bahan Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di
Ekosistem Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan
Kabupaten Subang
Nama
: Permadi
NIM
: A14090080
Disetujui oleh
Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc.
Pembimbing I
Dr Ir Darmawan, MSc.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, MSc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
: - , セ@ p da Berbagai Tipe Vegetasi di
_: 200 mm) 2 bulan,
bulan kering (curah hujan < 100 mm) 7 bulan. Suhu rata-rata bulanan berkisar
24,6-25,6 C (Asep et al. 2011). Menurut Wahab (2003), berdasarkan klasifikasi
curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson, Kecamatan Blanakan termasuk
dalam wilayah tipe iklim D. Secara umum wilayah hutan mangrove Blanakan
memiliki curah hujan rata-rata per tahun 1.328 mm, suhu rata-rata siang hari 34 C
dan malam hari 21,8 C, kelembaban berkisar antara 73-81%. Topografi datar
(Perum Perhutani, 1993).
Vegetasi mangrove di Desa Blanakan didominasi oleh jenis Rhizophora dan
jenis Sonneratia (Soraya et al. 2012). Berdasarkan hasil identifikasi di lokasi
penelitian, terdapat 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia,
Bruguiera, dan Acanthus licifolius. Kondisi mangrove di Blanakan sebagian besar
sudah dimanfaatkan bagi masyarakat untuk daerah pertambakan dengan sistem
tambak tumpang sari (wanamina). Hasil identifikasi jenis vegetasi mangrove di
lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sifat Kimia Tanah
di Bawah Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) menunjukkan bahwa nilai pH di
bawah masing-masing tipe vegetasi mangrove hampir sama, yaitu berkisar antara
6.40 sampai 6.80. Nilai Daya Hantar Listrik (DHL/EC) tanah dilokasi penelitian
pada lapisan bawah lebih tinggi dibandingkan lapisan atas. Dari hasil analisis
basa-basa K, Na, Ca, dan Mg, kandungan basa-basa dalam tanah didominasi oleh
kation Na. Kandungan Na lapisan atas selalu lebih rendah daripada lapisan bawah
sehingga DHL lapisan atas juga lebih rendah daripada lapisan bawahnya. Hal ini
berhubungan dengan sifat tanah salin di pantai yang dipengaruhi oleh air laut yang
berkadar NaCl tinggi. Kosentrasi tertinggi selanjutnya Mg diikuti oleh Ca dan K.
Nilai DHL pada lokasi Sonneratia lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai
DHL di ketiga lokasi tipe vegetasi mangrove lainya. Hal ini dikarenakan pada
lokasi Sonneratia selain dipengaruhi oleh air laut juga dipengaruhi air sungai,
sedangkan lokasi vegetasi lainnya hanya dipengaruhi air laut.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah adalah kemampuan tanah untuk
menjerap dan mempertukarkan kation-kation. KTK pada masing-masing tipe
vegetasi relatif tidak jauh berbeda, kecuali pada lokasi Avicennia. KTK pada
lokasi Avicennia lapisan atas sebesar 28,51 me/100g dan pada lapisan bawah
sebesar 35,76 me/100g. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan ketiga lokasi lain
adalah lebih rendah. KTK tanah pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada
lokasi Bruguiera adalah 47,07 dan 39,00 me/100g, Rhizophora sebesar 41,07 dan
41,55 me/100g, dan Sonneratia sebesar 39,56 dan 40,56 me/100g. Rendahnya
nilai KTK pada lokasi Avicennia diduga berhubungan dengan kandungan bahan
organik tanah, dimana bahan organik tanah dilokasi Avicennia lebih rendah
dibandingan dengan bahan organik tanah dilokasih mangrove lainya (Lampiran
10). Bahan organik yang terombak dan membentuk humus dapat menghasilkan
partikel-partikel bermuatan (Sanchez, 1976).
8
Kadar N-total tanah lapisan atas pada lokasi Bruguiera lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar N-total tanah pada vegetasi Avicennia, Rhizophora,
Sonneratia. Tingginya kadar N-total tanah pada lapisan atas lokasi Bruguiera karena
vegetasi Bruguiera memiliki kadar C-organik tanah lapisan atas lebih tinggi bila
dibandingkan dengan vegetasi mangrove lainya. Begitu juga sebaliknya dengan
Kadar N-total tanah pada lokasi Avicennia lebih rendah bila dibandingkan dengan
kadar N-total lokasi lainnya karena memiliki kadar C-organik terkecil. Kadar N-total
pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada lokasi Avicennia 0,29 dan 0,18%,
Bruguiera 0,42dan 0,15%, Rhizophora 0,30 dan 0,21%, dan Sonneratia 0,32 dan
0,28%.
Hasil analisis S-total tanah, lokasi Sonneratia memiliki kadar S-total lebih
tinggi bila dibandinggkan dengan kadar S-total tanah pada lokasi Avicennia,
Bruguiera, dan Rhizophora. Tingginya kadar S-total tanah pada lokasi Sonneratia
karena dipengaruh pasang surut air laut lebih besar bila dibandingkan dengan lokasi
vegetasi mangrove lainya. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil analisis bahwa kadar
S-total semakin rendah seiring bertambahnya jarak lokasi dengan laut. Kadar S-total
pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada lokasi Avicennia 0,20 dan 0,01%,
Bruguiera 0,29 dan 0,16%, Rhizophora 0,62 dan 0,22%, dan Sonneratia 0,77 dan
0,78%. Hasil analisis sifat kimia tanah pada masing-masing tipe vegetasi
mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang terdapat pada
Lampiran 10.
Produksi Serasah pada Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Hasil rata-rata produksi serasah pada masing-masing tipe vegetasi mangrove
Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang disajikan pada Gambar
2. Total rata-rata produksi serasah vegetasi mangrove di lokasi studi sebesar 10,02
ton/ha/tahun. Sedangkan rata-rata produksi serasah untuk masing-masing vegetasi
dominan ialah Sonneratia sebesar 18,38 ton/ha/tahun, Bruguiera sebesar 10,14
ton/ha/tahun, Avicennia sebesar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sebesar 4,61
ton/ha/tahun.
Secara umum faktor produktifitas serasah dipengaruhi oleh kerapatan pohon,
perubahan musim, jenis mangrove, umur dan kecepatan angin. Menurut Rahajoe
dan Alhamd (2013) produksi serasah akan meningkat secara perlahan pada
pertengahan musim kemarau dan akan cenderung meningkat pada awal musim
hujan. Tingginya produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan
umurnya. Jenis mangrove yang berbeda akan memiliki laju produksi guguran
serasah yang berbeda pula (Zamroni dan Rohyani, 2008).
Menurut Kusmana et al. (2000), salah satu faktor yang mempengaruhi
besarnya produksi serasah adalah besarnya diameter atau ukuran pohon mangrove.
Diduga tingginya produksi serasah Sonneratia dibandingkan dengan vegetasi
mangrove dominan yang lain karena di lokasi studi Sonneratia memiliki ukuran
individu yang lebih besar, hal ini mengindikasikan tingkat penutupan tajuk yang
juga lebih besar. Organ buah Sonneratia juga memiliki ukuran yang lebih besar
bila dibandingkan dengan vegetasi mangrove dominan yang lain. Selain itu saat
dilakukan proses pengumpulan serasah, jenis Sonneratia dan Bruguiera sedang
dalam masa berbuah sedangkan Avicennia dan Rhizophora belum memasuki masa
berbuah.
9
Faktor lainnya ialah lokasi Sonneratia lebih terbuka dan berhadapan
langsung dengan Laut Jawa sehingga mendapat pengaruh angin yang lebih besar
dan juga pengaruh pasang surut yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi
vegetasi mangrove dominan yang lain. Pengaruh pasang surut yang lebih baik
akan menghasilkan pertumbuhan mangrove yang lebih baik sehingga jumlah
serasah yang dihasilkan juga labih banyak.
Gambar 2. Rata-rata Produksi Serasah di Masing-masing Tipe Vegetasi
Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang.
Selama proses pengumpulan serasah, didapat serasah yang memiliki
kontribusi lebih tinggi adalah daun (Lampiran 5). Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Mahmudi et al. (2008) dimana sumbangan serasah mangrove yang
paling banyak adalah berasal dari daun yaitu berkisar antara (69,08%-93,06%)
dari total, atau rata-rata (80,96%). Bentuk adaptasi tumbuhan mangrovelah yang
menyebabkan kontribusi daun terhadap produktifitas serasah tinggi, dimana
mangrove beradaptasi untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup
pada kondisi kadar garam tinggi. Clough (1982 dalam Onrizal, 2005),
menjelaskan ada 4 cara mangrove untuk bertahan terhadap air garam: (1)
kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda, (2) Mangrove menghindari
penyerapan garam berlebihan dengan cara menyaring melalui bagian akarnya, (3)
Secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui
daun, (4) Menumpuk kelebihan garam pada kulit pohon dan daun tua lalu segera
digugurkan. Selanjutnya Clough (1982 dalam Onrizal, 2005), menjelaskan
persentase guguran serasah daun berkorelasi positif dengan salinitas perairan
ekosistem mangrove, semakin tinggi salinitas perairan maka semakin tinggi pula
produksi serasah mangrove.
Apabila dibandingkan dengan produksi serasah mangrove di beberapa
lokasi penelitian lain seperti Perairan Teluk Moramo, Kabupaten Konawe Selatan,
perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat, dan Hutan Mangrove Reboisasi
Kawasan Nguling, Pasuruan, maka produksi serasah mangrove Rhizophora di
lokasi penelitian ini lebih kecil. Akan tetapi produksi serasah mangrove
Sonneratia di lokasi penelitian ini lebih besar. Perbandingan jumlah produksi
serasah mangrove di berbagai lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Perbandingan Jumlah Produksi Serasah Mangrove di Lokasi Penelitian
dengan Jumlah Produksi Serasah Mangrove di Beberapa Lokasi Lain
Lokasi
Desa Blanakan,
Kecamatan Blanakan,
Kabupaten Subang
Vegetasi
Produksi serasah
mangrove
(ton/ha/tahun)
Sonneratia
18,38
Bruguiera
10,14
Avicennia
6,96
Sumber
Penelitian
Rhizophora
4,61
Kawasan Hutan
Mangrove Blanakan,
Subang, Jawa Barat
Perairan Teluk
Moramo Kecamatan
Moramo, Kabupaten
Konawe Selatan
Rhizophora
4,95
Avicennia
6,51
Rhizophora
6,7
Sonneratia
3,45
Perairan Pantai Teluk
Sepi, Lombok Barat
Rhizophora
8,13
Sonneratia
1,75
(Zamroni dan Rohyani,
2008)
Rhizophora
8,72
(Mahmudi et al. 2008)
Hutan Mangrove
Reboisasi Kawasan
Nguling, Pasuruan.
(Siarudin dan Encep
2008)
(Sa’ban et al. 2013)
Kadar C-organik Serasah pada
Masing-masing tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Kadar C-organik serasah (daun dan buah) di masing-masing tipe vegetasi
mangrove di lokasi studi disajikan pada Gambar 3. Serasah dibedakan menjadi
daun dan buah saja karena pada proses pengumpulan serasah, daun dan buah
memiliki perbedaan berat basah yang nyata bila dibandingkan dengan bunga dan
ranting. Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya jenis Sonneratia dan Bruguiera saja
yang memiliki buah. Hal tersebut dikarenakan saat proses pengumpulan serasah,
jenis Sonneratia dan Bruguiera sedang dalam masa berbuah, sedangkan Avicennia
dan Rhizophora belum memasuki masa berbuah.
Nilai rata-rata kadar C-organik serasah tertinggi terdapat pada tipe vegetasi
Avicennia yaitu sebesar 31,97% pada daun. Tipe vegetasi lainya yaitu Bruguiera,
memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 27,48% dan pada buah sebesar
24,78%, Rhizophora memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 27,96%,
sedangkan Sonneratia memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 26,28% dan
pada buah sebesar 32,20% (lampiran 4).
Menurut Brown (1997) bahwa 45% sampai 50% bahan kering tanaman
terdiri dari kandungan karbon. Berdasarkan hasil penelitian di hutan mangrove
reboisasi kadar C-organik serasah yang diperoleh sebesar 36,7% (Mahmudi et al.
2008).
11
35
32,20
Kadar C-organik Serasah (%)
31,97
30
27,48
27,96
24,78
25
26,24
20
15
10
5
0
Daun
Avicennia
Daun
Bruguiera
Buah
Daun
Daun
Buah
Bruguiera Rhizophora Sonneratia Sonneratia
Gambar 3. Kadar C-organik Serasah (daun dan buah) di Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang
Kadar Bahan Organik Tanah
di bawah Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove
Kadar C-organik (%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik tanah lapisan atas di
bawah vegetasi Bruguiera lebih tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah di
bawah vegetasi Rhizophora, Avicennia,dan Sonneratia yaitu sebesar 4,61%.
Sedangkan kadar C-organik tanah lapisan bawah di bawah vegetasi Bruguiera
lebih rendah dibandingkan kadar C-organik tanah di bawah vegetasi mangrove
lainnya. Hasil analisis C-organik tanah setiap lapisan di bawah masing-masing
vegetasi mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang
disajikan pada Gambar 4.
5
4
3
2
1
0
lapisan 1
lapisan 2
Avicennia
2,60
1,02
Bruguiera
4,61
0,97
Rhizophora
2,76
1,46
Sonneratia
2,62
2,25
Gambar 4. Kadar C-organik setiap Lapisan Tanah di bawah Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang
12
Tingginya kadar C-organik tanah pada lokasi Bruguiera diduga karena
pada lokasi tersebut agak tergenang air (macak-macak), dimana proses
dekomposisi bahan organik akan lebih cepat pada kondisi aerob. Latter et al.
(1998) menyatakan bahwa laju dekomposisi menurun selama periode tergenang
(sebabnya anaerobik) begitu juga sebaliknya. Sedangkan pada lokasi Rhizophora
dan Sonneratia proses penggenangan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Sonneratia memperoleh pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan dengan
Rhizophora. Hal tersebut karena letak lokasi Sonneratia lebih dekat dengan
Sungai Ciasem, dan Laut Jawa sehingga pengaruh sedimentasi lebih besar.
Diduga proses pasang surutlah yang menyebabkan tingginya kadar C-organik di
lapisan atas dan lapisan bawah pada lokasi Sonneratia.
Pada lokasi Avicennia lama penggenangan dipengaruhi oleh tambak
tumpang sari di sekitarnya. Semakin lama waktu panen tambak maka semakin
lama pula lokasi Avicennia tergenang. Secara rata-rata, panen tambak dilakukan
setelah 3-4 bulan. Waktu yang panjang tersebut menyebabkan cukup lama tanah
di lokasi Avicennia jenuh air dan mengakibatkan proses dekomposisi berjalan
lambat, sehingga Avicennia memiliki kadar C-organik tanah paling kecil. Terlihat
pada Gambar 6. terdapat petakan-petakan yang ditumbuhi oleh mangrove dan
dikelilingi oleh parit yang telah dijadikan tambak.
Hasil analisis kadar C-organik tanah di lokasi penelitian lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar C-organik di lokasi BKPH Ciasem, KPH Purwakarta,
Jawa Barat sebesar 2,28%-3,87% (Dharmawan dan Siregar 2008), Desa
Kaliwlingi, Kabupaten Brebes sebesar 1,68%-3,59%, dan Desa Muarareja,
Kabupaten Tegal sebesar 1,37%-2,84% (Poedjirahajoe, 2007). Namun hasil
analisis kadar C-organik tanah di lokasi penelitian lebih kecil dibandingkan
dengan kadar C-organik di lokasi Rehabilitasi Mangrove Tanjung Pasir,
Tanggerang sebesar 2,31 %-7,09% (Kusumahadi 2008), dan Desa Pasar Banggi,
Kabupaten Rembang sebesar 4,96%-19,08% (Kushartono 2009).
Secara umum faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik tanah adalah
kedalaman tanah, tekstur tanah dan drainase. Kedalaman lapisan menentukan
kadar bahan organik. Dari hasil analisis sampel tanah pada masing-masing
vegetasi mangrove tanah lapisan atas memiliki persentase C-organik lebih tinggi
dibandingkan tanah lapisan bawah (Lampiran 9). Hal ini sesuai dengan pendapat
Allen et al. (1974) yang mengatakan bahwa serasah (reruntuhan daun, dahan,
ranting) yang mengalami proses dekomposisi hanya terjadi pada bagian
permukaan tanah, sedangkan pada kedalaman lebih dari 20 cm pengaruh dari
proses ini tidak nyata.
13
Gambar 5. Peta Sebaran Vegetasi Dominan dan Titik Pengambilan Sempel, Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang (Rachmawati
2012)
Tekstur tanah cukup berperan dalam ketersediaan kadar bahan organik di
dalam tanah, pada umumnya makin tinggi jumlah klei maka makin tinggi pula
kadar bahan organik tanah bila kondisi lainnya sama. Klei merupakan komponen
pengikat yang paling dominan (Pujiyanto et al., 2003) lebih dari 90 % bahan organik
berikatan dengan partikel klei. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik,
sehingga bahan organik cepat habis. Tesktur tanah di lokasi penelitian per lapisan
tanah sebagian besar adalah klei. Persentasi klei berkisar antara 70,22%-83,36%,
debu antara 16,16%-28,94%, pasir antara 0,48%-1,41%. Gambar 7 menunjukan
bahwa kadar C-organik tanah di lokasi studi tidak berkorelasi dengan kadar klei
tanah. Tingginya bahan organik tanah di lokasi studi tidak berhubungan dengan
kadar klei tanah.
14
(a)
(b)
Gambar 6. Regresi Kadar C-organik Tanah dengan Kadar Klei Tanah pada
Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan
Blanakan, Kabupaten Subang: (a) Lapisan Atas, (b) Lapisan Bawah
Tingkat rasio C/N juga dapat mempengaruhi kandungan bahan organik
tanah khususnya C-organik. Pada lokasi penelitian nisbah C/N tanah berkisar
antara 6,63-11,08 di lapisan atas dan 5,75-8,11 di lapisan bawah. Selain itu nisbah
C/N dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan terjadinya kekurangan
nitrogen dan persaingan di antara mikroba-mikroba dan tanaman tingkat tinggi
dalam penggunaan nitrogen yang tersedia dalam tanah. Ratio C/N yang rendah
mengindikasikan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan nitrogen yang lebih
banyak, sedangkan ratio C/N yang tinggi menunjukkan kandungan nitrogen yang
rendah (Sugirahayu dan Rusdiana 2011).
15
Turnover Bahan Organik Tanah
Perbandingan C-organik tanah terhadap produksi C-organik serasah dan
lama turnover bahan organik tanah pada masing-masing tipe vegetasi mangrove
dominan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa total
C-organik tanah per hektar pada masing-masing mangrove hampir tidak jauh
berbeda. Tanah di lokasi penelitian yang terdapat dalam satu ekosistem terbentuk
oleh faktor-faktor pembentuk tanah yang juga sama, sehingga sifat fisik dan kimia
tanah yang dimiliki hampir serupa pula (Lampiran 10). Kemampuan tanah dalam
menjerap atau mengikat bahan organik cenderung mencapai suatu batas
maksimum, sehingga cepat atau lambat akan jenuh (Sudarsono, 1991). Ketika
mendapatkan suplai bahan organik, tanah yang sudah pada batas maksimum akan
melepaskan keluar C-organik ke atmosfer. Akibatnya, tanah di lokasi penelitian
yang sudah hampir jenuh tersebut memiliki nilai total C-organik tanah per hektar
yang hampir sama meskipun pada vegetasi yang berbeda.
Tabel 3. Perbandingan C-organik Tanah terhadap Produksi C-organik Serasah dan
Lama Turnover Bahan Organik Tanah pada Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Dominan
Tipe
vegetasi
mangrove
Total C-organik
Tanah (ton/ha)
Total C-organik Serasah
(ton/ha/tahun)
Turnover
(tahun)
Avicennia
59,38
2,23
27
Bruguiera
67,25
2,81
24
Rhizophora
61,75
1,29
48
Sonneratia
63,50
4,75
13
Total C-organik serasah ton/hektar/tahun dipengaruhi oleh produksi serasah
dan kadar C-organiknya, namun yang memiliki peranan paling besar dalam
penelitian ini adalah produksi serasah. Sebagai contoh pada jenis Avicennia yang
memiliki kadar C-organik serasah tertinggi bila dibandingkan dengan vegetasi
mangrove dominan lain, tetapi memiliki produksi serasah yang rendah maka total
C-organik serasahnya pun rendah. Sebaliknya, pada jenis Sonneratia walaupun
memiliki kadar C-organik serasah rendah akan tetapi dengan produksi serasah
yang tinggi yang disumbang dari daun dan buah maka total C-organik serasahnya
juga tinggi.
Turnover bahan organik tanah adalah parameter untuk mengetahui berapa
lama bahan organik tanah dapat bertahan dalam tanah sebelum diemisikan ke
udara dalam bentuk CO2. Cepat atau lamanya turnover bahan organik di dalam
tanah dipengaruhi oleh ekosistem atau jenis tanaman. Sebagai contoh. pada
ekosistem hutan memiliki turnover sekitar 22 tahun, sedangkan ekosistem pastura
memiliki turnover bahan organik sekitar 38 tahun (Six dan Jastrow 2002).
Ekosistem yang sama belum tentu menunjukkan turnover bahan organik tanah
yang sama pula. Pada ekosistem mangrove memiliki turnover bahan organik yang
berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh jenis tanaman.
16
Turnover bahan organik tanah diperoleh dengan cara membandingkan jumlah
C-organik dalam tanah terhadap jumlah C-organik yang diproduksi dari serasah..
Hasil analisis turnover bahan organik tanah ekosistem mangrove pada beberapa
vegetasi dominan menunjukkan Sonneratia memiliki turnover tercepat jika
dibandingkan dengan jenis vegetasi mangrove lainnya (Tabel 3). Lama turnover
dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13 tahun, sedangkan untuk vegetasi
mangrove Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar 27 tahun, dan
Rhizophora sekitar 48 tahun. Semakin lama turnover bahan organik tanah
semakin baik untuk lingkungan.
Vegetasi Rhizophora, memiliki turnover terlama karena jenis vegetasi ini
memiliki sumbangan C-organik dari serasah terkecil dan laju dekomposisi lebih
lama bila dibandingan dengan vegetasi mangrove yang lain. Menurut (Ardi 1996)
laju dekomposisi Rhizophora lebih lama bila dibandingkan dengan Avicennia
karena Rhizophora memiliki daun yang lebih tebal, kutikula tebal, mempunyai
lapisan lilin dan memiliki kandungan tanin lebih banyak. Menurut Waksman
(1957), serasah yang banyak mengandung tanin, lignin, dan lilin akan lebih lama
terdekomposisi. Vegetasi Sonneratia memiliki turnover tercepat karena jenis
vegetasi ini memiliki sumbangan C-organik dari serasah terbesar, ukuran daun
lebih kecil dan halus serta buah yang banyak mengandung air, sehingga serasah
tersebut lebih cepat membusuk dan terurai. Menurut Abdul (2003), kandungan
tanin serasah vegetasi Avicennia lebih rendah dibanding serasah Rhizophora dan
Sonneratia. Namun pada lokasi penelitian, vegetasi Avicennia lebih dipengaruhi
penggenangan tambak tumpangsari di sekitarnya sehingga laju dekomposisinya
lama yang mengakibatkan turnover juga lama. Kandungan tanin pada daun
Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Daun Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia
vegetasi
komposisi Daun
**Cu-total
(ppm)
8,45
2,07
2,57
*kadar tanin
**Zn-total
(%)
(ppm)
Avicennia
0,436
50,15
Rhizophora
1,667
47,86
Sonneratia
1,796
67,45
Keterangan:
* : sumber Abdul (2003)
** : sumber Faisal dan Agus (2010)
**Pb-total
(ppm)
54,31
67,71
85,48
17
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi serasah rata-rata vegetasi
mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten sebesar 10,02
ton/ha/tahun. Sedangkan rata-rata untuk masing-masing vegetasi dominan ialah
Sonneratia sebesar 18,38 ton/ha/tahun, Bruguiera sebesar 10,14 ton/ha/tahun,
Avicennia sebesar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sebesar 4,61 ton/ha/tahun.
Vegetasi Bruguiera mempunyai kadar C-organik tanah pada setiap kedalaman
sampel tanah lebih tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah pada vegetasi
Rhizophora, Avicennia, dan Sonneratia, yaitu sekitar 4,61%. Kadar C-organik
tanah per hetar pada kedalaman 0-50 cm pada masing-masing vegetasi mangrove
dominan berkisar antara 59,38 ton/ha-67,25 ton/ha. Produksi C-organik serasah
berkisar antara 1,29 ton/ha/tahun-4,75 ton/ha/tahun. Turnover bahan organik tanah
ekosistem mangrove pada beberapa vegetasi dominan menunjukkan Sonneratia
memiliki turnover tercepat jika dibandingkan dengan jenis vegetasi mangrove
lainya. Lama turnover dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13 tahun,
sedangkan untuk vegetasi mangrove Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar
27 tahun, dan Rhizophora sekitar 48 tahun.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, G. 2003. Laju Penghancuran Serasah Daun Beberapa jenis Mangrove di
Hutan Mangrove Rembang. SKRIPSI. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro. Semarang.
Allen, SE.,HM. Grimshaw, JA. Parkinson,and C. Quarmby. 1974. Chemical
Analysis of Ecological Materials. Oxford, Blackwell Scientific Pub.
Anwar, C., H. Gunawan. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan
Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Ardi, A. 1996. Laju Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora
mucronata. SKRIPSI. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Asep, M., L. Hilda, dan M. Dedi. 2011. Kesesuaian lahan untuk komoditas teh di
Wilayah Sagalaherang, Subang, Jawa Barat. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan 21(1) : 35-47.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A
Primer, FAO. Forestry Paper No.134. FAO, USA.
Brown, MS. 1996. The Mangrove Ecosystem. Research Methods. Unesco. Paris.
Clough, BF. 1982. Mangrove Ecosystem in Australian: Structure, Function and
Management. Di dalam. Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove pada
Lingkungan Salin dan Jenuh Air. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Jakarta.
Dharmawan, WS., dan CW. Siregar. 2008. Karbon tanah dan pendugaan karbon
tegakan Avicennia marina di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam 5(4) : 317-328. Pusat Litbang dan Konservasi Alam.
Bogor.
Hamzan, F., dan S. Agus. 2010. Akumulasi logam berat Pb, Cu, dan Zn di hutan
mangrove Muara Angke, Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis 2(2): 41-52
Hutabarat, S., dan MS. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Kusmana C., P. Pradyatmika, YA. Husin, G. Shea, D. Martindale. 2000.
Mangrove litter-fall studies at The Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia.
Indon.j. Trop. Agric. 9 930. Page 39-47.
Kushartono, EW. 2009. Beberapa aspek bio-fisik kimia tanah di daerah mangrove
Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan 14(2): 76-83.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Kusumahadi, KS. 2008. Watak dan sifat tanah areal rehabilitasi mangrove
Tanjung Pasir, Tanggerang. Jurnal Vis Vitalis 1(1). Fakultas Biologi
Universitas Nasional, Jakarta.
19
Latter, PM., Howson, G., Howard, DM. and Scott, WA. 1998. Long-term study of
litter decomposition on a Pennine peat bog: which regression? Oecologia,
113: 94-103.
Mahmudi, M., K. Soewardi, C. Kusmana, H. Hardjomijojo, dan A. Damar. 2008.
Laju dekomposisi serasah mangrove dan kontribusinya terhadap nutrien di
hutan mangrove reboisasi. Jurnal Penelitian Perikanan 2 (1): 19-25.
Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya.
Perum Perhutani. 1993. Pelaksanaan Program Sosial dengan Sistem Silvofishery
pada Kawasan Hutan Payau di Pulau Jawa. Perusahaan Umum Kehutanan
Negara (Perum Perhutani). Jakarta. 10 hal.
Poedjirahajoe, E. 2007. Dendrogram zonasi pertumbuhan mangrove berdasarkan
habitatnya di kawasan rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat.
Jurnal Ilmu Kehutanan 1(2). Fakultas Kehutanan, UGM. Yoyakarta.
Pujiyanto, Sudarsono, A. Rachim, S. Sabiham, A. Sastiono, dan JB. Baon. 2003.
Pengaruh bahan organik dan jenis tanaman penutup tanah terhadap bentuk
bahan organik, distribusi agregat dan pertumbuhan kakao (Theobroma cacao
L.). J. Tanah Trop. 17:73-85.
Rahajoe, JS., dan L. Alhamd. 2013. Biomasa guguran serasah dan variasi
musiman di hutan dataran rendah TN. Gunung Gede Pangrango. Jurnal
Biologi Indonesia 9(1): 101-109. Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Rachmawati. 2012. Hubungan Sifat Tanah dengan Tipe Vegetasi Mangrove di
Desa Blanakan, Kabupaten Subang. SKIPSI. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sa’ban, M. Ramli, dan W. Nurgaya. 2013. Produksi dan laju dekomposisi serasah
mangrove dengan kelimpahan plankton di perairan Teluk Moramo. Jurnal
Mina Laut Indonesia 3(12): 132-146. Universitas Halu Oleo. Kendari.
Sanchez, PA. 1976. Propertis and Management of Soils in The Tropic. A Willey –
Interscience Publication. John Willey and sons. New York.
Siarudin, M., R. Encep. 2008. Biomassa lantai hutan dan jatuhan serasah di
kawasan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konsevasi Alam 5(4): 329-335. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Six, J., dan JD. Jastrow. 2002. Organic matter turnover. Di dalam. Lal R, editor
PADA BERBAGAI TIPE VEGETASI DI EKOSISTEM
MANGROVE DESA BLANAKAN, KECAMATAN BLANAKAN
KABUPATEN SUBANG
PERMADI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Turnover Bahan
Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di Ekosistem Mangrove Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Februari 2014
Permadi
NIM A14090080
ABSTRAK
PERMADI. Turnover Bahan Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di
Ekosistem Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang.
Dibimbing oleh SUDARSONO dan DARMAWAN.
Tanah pada ekosistem mangrove umumnya mengandung C-organik dalam
jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral pada ekosistem
terestrial. Bahan organik tanah tersebut tersimpan dalam tanah sebagai cadangan
karbon yang perlu dipertahankan keberadaanya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui produksi serasah, kadar bahan organik dalam tanah, dan berapa lama
bahan organik tanah (BOT) dapat bertahan di lingkungan mangrove pada berbagai
tipe vegetasi dominan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah
dari vegetasi mangrove dominan yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan
Bruguiera, serta contoh tanah terganggu dari masing-masing lokasi vegetasi
mangrove dominan tersebut. Selanjutnya contoh tanah terganggu dan serasah
dianalisis di laboratorium, khususnya untuk mengukur kadar C-organik. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata produksi serasah vegetasi mangrove Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang ialah 10,02 ton/ha/tahun,
dengan rata-rata produksi serasah tertinggi adalah vegetasi Sonneratia sekitar
18,38 ton/ha/tahun, diikuti dengan Bruguiera sekitar 10,14 ton/ha/tahun,
Avicennia sekitar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sekitar 4,61 ton/ha/tahun.
Kadar C-organik tanah di bawah vegetasi Bruguiera setiap kedalaman tanah lebih
tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah di bawah vegetasi Rhizophora,
Avicennia, dan Sonneratia. Kadar C-organik tanah per hektar pada kedalaman 050 cm di masing-masing vegetasi mangrove berkisar antara 59,38-67,25 ton.
Produksi C-organik serasah berkisar antara 1,29-4,75 ton/ha/tahun. Vegetasi
Sonneratia memiliki turnover tercepat jika dibandingkan dengan jenis vegetasi
mangrove lainnya. Lama turnover dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13
tahun, sedangkan Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar 27 tahun, dan
Rhizophora sekitar 48 tahun.
Kata kunci: C-organik, mangrove, produksi serasah, turnover
ABSTRACT
PERMADI. Soil Organic Matter Turnover of Various Vegetations on Mangrove
Ecosystem at Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang.
Supervised by SUDARSONO and DARMAWAN.
Soils on mangrove ecosystem generally contain higher C-org than mineral
soils on terrestrial ecosystem. The organic matter remained in soil as carbon
deposit should be protected for its existence. This research aims to determine litter
production, soil organic matter (SOM) content and how long SOM persists on
mangrove ecosystem under various main vegetations. Materials used in this
research include litters of various main vegetation on mangrove ecosystem i.e.
Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, and Bruguiera, and also disturbed soil
samples from each mangrove vegetation. Those materials were analysed in
laboratory, especially for measuring C-org content. The results showed that the
average of litter production on mangrove ecosystem at Desa Blanakan, Kecamatan
Blanakan, Kabupaten Subang is 10.02 ton/ha/year. The highest litter production
was found for Sonneratia i.e. 18.38 ton/ha/year, followed by Bruguiera i.e. 10.14
ton/ha/year, Avicennia i.e. 6.96 ton/ha/year, and Rhizosphora i.e. 4.61 ton/ha/year.
Soil C-org under Bruguiera vegetation in each soil depth was higher than soil Corg under Rhizophora, Avicennia, and Sonneratia vegetations. Soil C-org per
hectare within 0-50 cm ranges between 59.38-67.25 ton in each main vegetation
area. Average litter productions contribute 1.29-4.75 ton/ha organic carbon every
year. Soil organic matter turnover under Sonneratia was faster than other main
vegetations on mangrove ecosystem. Organic matter turnover on Sonneratia was
13 years, followed by Bruguiera, Avicennia, and Rhizospora i.e. 24, 27, and 48
years, respectively.
Keywords: litter production, mangrove, organic carbon, turnover
TURNOVER BAHAN ORGANIK TANAH
PADA BERBAGAI TIPE VEGETASI DI EKOSISTEM
MANGROVE DESA BLANAKAN, KECAMATAN BLANAKAN
KABUPATEN SUBANG
PERMADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Turnover Bahan Organik Tanah pada Berbagai Tipe Vegetasi di
Ekosistem Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan
Kabupaten Subang
Nama
: Permadi
NIM
: A14090080
Disetujui oleh
Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc.
Pembimbing I
Dr Ir Darmawan, MSc.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, MSc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
: - , セ@ p da Berbagai Tipe Vegetasi di
_: 200 mm) 2 bulan,
bulan kering (curah hujan < 100 mm) 7 bulan. Suhu rata-rata bulanan berkisar
24,6-25,6 C (Asep et al. 2011). Menurut Wahab (2003), berdasarkan klasifikasi
curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson, Kecamatan Blanakan termasuk
dalam wilayah tipe iklim D. Secara umum wilayah hutan mangrove Blanakan
memiliki curah hujan rata-rata per tahun 1.328 mm, suhu rata-rata siang hari 34 C
dan malam hari 21,8 C, kelembaban berkisar antara 73-81%. Topografi datar
(Perum Perhutani, 1993).
Vegetasi mangrove di Desa Blanakan didominasi oleh jenis Rhizophora dan
jenis Sonneratia (Soraya et al. 2012). Berdasarkan hasil identifikasi di lokasi
penelitian, terdapat 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia,
Bruguiera, dan Acanthus licifolius. Kondisi mangrove di Blanakan sebagian besar
sudah dimanfaatkan bagi masyarakat untuk daerah pertambakan dengan sistem
tambak tumpang sari (wanamina). Hasil identifikasi jenis vegetasi mangrove di
lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sifat Kimia Tanah
di Bawah Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) menunjukkan bahwa nilai pH di
bawah masing-masing tipe vegetasi mangrove hampir sama, yaitu berkisar antara
6.40 sampai 6.80. Nilai Daya Hantar Listrik (DHL/EC) tanah dilokasi penelitian
pada lapisan bawah lebih tinggi dibandingkan lapisan atas. Dari hasil analisis
basa-basa K, Na, Ca, dan Mg, kandungan basa-basa dalam tanah didominasi oleh
kation Na. Kandungan Na lapisan atas selalu lebih rendah daripada lapisan bawah
sehingga DHL lapisan atas juga lebih rendah daripada lapisan bawahnya. Hal ini
berhubungan dengan sifat tanah salin di pantai yang dipengaruhi oleh air laut yang
berkadar NaCl tinggi. Kosentrasi tertinggi selanjutnya Mg diikuti oleh Ca dan K.
Nilai DHL pada lokasi Sonneratia lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai
DHL di ketiga lokasi tipe vegetasi mangrove lainya. Hal ini dikarenakan pada
lokasi Sonneratia selain dipengaruhi oleh air laut juga dipengaruhi air sungai,
sedangkan lokasi vegetasi lainnya hanya dipengaruhi air laut.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah adalah kemampuan tanah untuk
menjerap dan mempertukarkan kation-kation. KTK pada masing-masing tipe
vegetasi relatif tidak jauh berbeda, kecuali pada lokasi Avicennia. KTK pada
lokasi Avicennia lapisan atas sebesar 28,51 me/100g dan pada lapisan bawah
sebesar 35,76 me/100g. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan ketiga lokasi lain
adalah lebih rendah. KTK tanah pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada
lokasi Bruguiera adalah 47,07 dan 39,00 me/100g, Rhizophora sebesar 41,07 dan
41,55 me/100g, dan Sonneratia sebesar 39,56 dan 40,56 me/100g. Rendahnya
nilai KTK pada lokasi Avicennia diduga berhubungan dengan kandungan bahan
organik tanah, dimana bahan organik tanah dilokasi Avicennia lebih rendah
dibandingan dengan bahan organik tanah dilokasih mangrove lainya (Lampiran
10). Bahan organik yang terombak dan membentuk humus dapat menghasilkan
partikel-partikel bermuatan (Sanchez, 1976).
8
Kadar N-total tanah lapisan atas pada lokasi Bruguiera lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar N-total tanah pada vegetasi Avicennia, Rhizophora,
Sonneratia. Tingginya kadar N-total tanah pada lapisan atas lokasi Bruguiera karena
vegetasi Bruguiera memiliki kadar C-organik tanah lapisan atas lebih tinggi bila
dibandingkan dengan vegetasi mangrove lainya. Begitu juga sebaliknya dengan
Kadar N-total tanah pada lokasi Avicennia lebih rendah bila dibandingkan dengan
kadar N-total lokasi lainnya karena memiliki kadar C-organik terkecil. Kadar N-total
pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada lokasi Avicennia 0,29 dan 0,18%,
Bruguiera 0,42dan 0,15%, Rhizophora 0,30 dan 0,21%, dan Sonneratia 0,32 dan
0,28%.
Hasil analisis S-total tanah, lokasi Sonneratia memiliki kadar S-total lebih
tinggi bila dibandinggkan dengan kadar S-total tanah pada lokasi Avicennia,
Bruguiera, dan Rhizophora. Tingginya kadar S-total tanah pada lokasi Sonneratia
karena dipengaruh pasang surut air laut lebih besar bila dibandingkan dengan lokasi
vegetasi mangrove lainya. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil analisis bahwa kadar
S-total semakin rendah seiring bertambahnya jarak lokasi dengan laut. Kadar S-total
pada lapisan atas dan bawah berturut-turut pada lokasi Avicennia 0,20 dan 0,01%,
Bruguiera 0,29 dan 0,16%, Rhizophora 0,62 dan 0,22%, dan Sonneratia 0,77 dan
0,78%. Hasil analisis sifat kimia tanah pada masing-masing tipe vegetasi
mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang terdapat pada
Lampiran 10.
Produksi Serasah pada Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Hasil rata-rata produksi serasah pada masing-masing tipe vegetasi mangrove
Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang disajikan pada Gambar
2. Total rata-rata produksi serasah vegetasi mangrove di lokasi studi sebesar 10,02
ton/ha/tahun. Sedangkan rata-rata produksi serasah untuk masing-masing vegetasi
dominan ialah Sonneratia sebesar 18,38 ton/ha/tahun, Bruguiera sebesar 10,14
ton/ha/tahun, Avicennia sebesar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sebesar 4,61
ton/ha/tahun.
Secara umum faktor produktifitas serasah dipengaruhi oleh kerapatan pohon,
perubahan musim, jenis mangrove, umur dan kecepatan angin. Menurut Rahajoe
dan Alhamd (2013) produksi serasah akan meningkat secara perlahan pada
pertengahan musim kemarau dan akan cenderung meningkat pada awal musim
hujan. Tingginya produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan
umurnya. Jenis mangrove yang berbeda akan memiliki laju produksi guguran
serasah yang berbeda pula (Zamroni dan Rohyani, 2008).
Menurut Kusmana et al. (2000), salah satu faktor yang mempengaruhi
besarnya produksi serasah adalah besarnya diameter atau ukuran pohon mangrove.
Diduga tingginya produksi serasah Sonneratia dibandingkan dengan vegetasi
mangrove dominan yang lain karena di lokasi studi Sonneratia memiliki ukuran
individu yang lebih besar, hal ini mengindikasikan tingkat penutupan tajuk yang
juga lebih besar. Organ buah Sonneratia juga memiliki ukuran yang lebih besar
bila dibandingkan dengan vegetasi mangrove dominan yang lain. Selain itu saat
dilakukan proses pengumpulan serasah, jenis Sonneratia dan Bruguiera sedang
dalam masa berbuah sedangkan Avicennia dan Rhizophora belum memasuki masa
berbuah.
9
Faktor lainnya ialah lokasi Sonneratia lebih terbuka dan berhadapan
langsung dengan Laut Jawa sehingga mendapat pengaruh angin yang lebih besar
dan juga pengaruh pasang surut yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi
vegetasi mangrove dominan yang lain. Pengaruh pasang surut yang lebih baik
akan menghasilkan pertumbuhan mangrove yang lebih baik sehingga jumlah
serasah yang dihasilkan juga labih banyak.
Gambar 2. Rata-rata Produksi Serasah di Masing-masing Tipe Vegetasi
Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang.
Selama proses pengumpulan serasah, didapat serasah yang memiliki
kontribusi lebih tinggi adalah daun (Lampiran 5). Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Mahmudi et al. (2008) dimana sumbangan serasah mangrove yang
paling banyak adalah berasal dari daun yaitu berkisar antara (69,08%-93,06%)
dari total, atau rata-rata (80,96%). Bentuk adaptasi tumbuhan mangrovelah yang
menyebabkan kontribusi daun terhadap produktifitas serasah tinggi, dimana
mangrove beradaptasi untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup
pada kondisi kadar garam tinggi. Clough (1982 dalam Onrizal, 2005),
menjelaskan ada 4 cara mangrove untuk bertahan terhadap air garam: (1)
kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda, (2) Mangrove menghindari
penyerapan garam berlebihan dengan cara menyaring melalui bagian akarnya, (3)
Secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui
daun, (4) Menumpuk kelebihan garam pada kulit pohon dan daun tua lalu segera
digugurkan. Selanjutnya Clough (1982 dalam Onrizal, 2005), menjelaskan
persentase guguran serasah daun berkorelasi positif dengan salinitas perairan
ekosistem mangrove, semakin tinggi salinitas perairan maka semakin tinggi pula
produksi serasah mangrove.
Apabila dibandingkan dengan produksi serasah mangrove di beberapa
lokasi penelitian lain seperti Perairan Teluk Moramo, Kabupaten Konawe Selatan,
perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat, dan Hutan Mangrove Reboisasi
Kawasan Nguling, Pasuruan, maka produksi serasah mangrove Rhizophora di
lokasi penelitian ini lebih kecil. Akan tetapi produksi serasah mangrove
Sonneratia di lokasi penelitian ini lebih besar. Perbandingan jumlah produksi
serasah mangrove di berbagai lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Perbandingan Jumlah Produksi Serasah Mangrove di Lokasi Penelitian
dengan Jumlah Produksi Serasah Mangrove di Beberapa Lokasi Lain
Lokasi
Desa Blanakan,
Kecamatan Blanakan,
Kabupaten Subang
Vegetasi
Produksi serasah
mangrove
(ton/ha/tahun)
Sonneratia
18,38
Bruguiera
10,14
Avicennia
6,96
Sumber
Penelitian
Rhizophora
4,61
Kawasan Hutan
Mangrove Blanakan,
Subang, Jawa Barat
Perairan Teluk
Moramo Kecamatan
Moramo, Kabupaten
Konawe Selatan
Rhizophora
4,95
Avicennia
6,51
Rhizophora
6,7
Sonneratia
3,45
Perairan Pantai Teluk
Sepi, Lombok Barat
Rhizophora
8,13
Sonneratia
1,75
(Zamroni dan Rohyani,
2008)
Rhizophora
8,72
(Mahmudi et al. 2008)
Hutan Mangrove
Reboisasi Kawasan
Nguling, Pasuruan.
(Siarudin dan Encep
2008)
(Sa’ban et al. 2013)
Kadar C-organik Serasah pada
Masing-masing tipe Vegetasi Mangrove Dominan
Kadar C-organik serasah (daun dan buah) di masing-masing tipe vegetasi
mangrove di lokasi studi disajikan pada Gambar 3. Serasah dibedakan menjadi
daun dan buah saja karena pada proses pengumpulan serasah, daun dan buah
memiliki perbedaan berat basah yang nyata bila dibandingkan dengan bunga dan
ranting. Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya jenis Sonneratia dan Bruguiera saja
yang memiliki buah. Hal tersebut dikarenakan saat proses pengumpulan serasah,
jenis Sonneratia dan Bruguiera sedang dalam masa berbuah, sedangkan Avicennia
dan Rhizophora belum memasuki masa berbuah.
Nilai rata-rata kadar C-organik serasah tertinggi terdapat pada tipe vegetasi
Avicennia yaitu sebesar 31,97% pada daun. Tipe vegetasi lainya yaitu Bruguiera,
memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 27,48% dan pada buah sebesar
24,78%, Rhizophora memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 27,96%,
sedangkan Sonneratia memiliki kadar C-organik pada daun sebesar 26,28% dan
pada buah sebesar 32,20% (lampiran 4).
Menurut Brown (1997) bahwa 45% sampai 50% bahan kering tanaman
terdiri dari kandungan karbon. Berdasarkan hasil penelitian di hutan mangrove
reboisasi kadar C-organik serasah yang diperoleh sebesar 36,7% (Mahmudi et al.
2008).
11
35
32,20
Kadar C-organik Serasah (%)
31,97
30
27,48
27,96
24,78
25
26,24
20
15
10
5
0
Daun
Avicennia
Daun
Bruguiera
Buah
Daun
Daun
Buah
Bruguiera Rhizophora Sonneratia Sonneratia
Gambar 3. Kadar C-organik Serasah (daun dan buah) di Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang
Kadar Bahan Organik Tanah
di bawah Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove
Kadar C-organik (%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik tanah lapisan atas di
bawah vegetasi Bruguiera lebih tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah di
bawah vegetasi Rhizophora, Avicennia,dan Sonneratia yaitu sebesar 4,61%.
Sedangkan kadar C-organik tanah lapisan bawah di bawah vegetasi Bruguiera
lebih rendah dibandingkan kadar C-organik tanah di bawah vegetasi mangrove
lainnya. Hasil analisis C-organik tanah setiap lapisan di bawah masing-masing
vegetasi mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang
disajikan pada Gambar 4.
5
4
3
2
1
0
lapisan 1
lapisan 2
Avicennia
2,60
1,02
Bruguiera
4,61
0,97
Rhizophora
2,76
1,46
Sonneratia
2,62
2,25
Gambar 4. Kadar C-organik setiap Lapisan Tanah di bawah Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang
12
Tingginya kadar C-organik tanah pada lokasi Bruguiera diduga karena
pada lokasi tersebut agak tergenang air (macak-macak), dimana proses
dekomposisi bahan organik akan lebih cepat pada kondisi aerob. Latter et al.
(1998) menyatakan bahwa laju dekomposisi menurun selama periode tergenang
(sebabnya anaerobik) begitu juga sebaliknya. Sedangkan pada lokasi Rhizophora
dan Sonneratia proses penggenangan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Sonneratia memperoleh pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan dengan
Rhizophora. Hal tersebut karena letak lokasi Sonneratia lebih dekat dengan
Sungai Ciasem, dan Laut Jawa sehingga pengaruh sedimentasi lebih besar.
Diduga proses pasang surutlah yang menyebabkan tingginya kadar C-organik di
lapisan atas dan lapisan bawah pada lokasi Sonneratia.
Pada lokasi Avicennia lama penggenangan dipengaruhi oleh tambak
tumpang sari di sekitarnya. Semakin lama waktu panen tambak maka semakin
lama pula lokasi Avicennia tergenang. Secara rata-rata, panen tambak dilakukan
setelah 3-4 bulan. Waktu yang panjang tersebut menyebabkan cukup lama tanah
di lokasi Avicennia jenuh air dan mengakibatkan proses dekomposisi berjalan
lambat, sehingga Avicennia memiliki kadar C-organik tanah paling kecil. Terlihat
pada Gambar 6. terdapat petakan-petakan yang ditumbuhi oleh mangrove dan
dikelilingi oleh parit yang telah dijadikan tambak.
Hasil analisis kadar C-organik tanah di lokasi penelitian lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar C-organik di lokasi BKPH Ciasem, KPH Purwakarta,
Jawa Barat sebesar 2,28%-3,87% (Dharmawan dan Siregar 2008), Desa
Kaliwlingi, Kabupaten Brebes sebesar 1,68%-3,59%, dan Desa Muarareja,
Kabupaten Tegal sebesar 1,37%-2,84% (Poedjirahajoe, 2007). Namun hasil
analisis kadar C-organik tanah di lokasi penelitian lebih kecil dibandingkan
dengan kadar C-organik di lokasi Rehabilitasi Mangrove Tanjung Pasir,
Tanggerang sebesar 2,31 %-7,09% (Kusumahadi 2008), dan Desa Pasar Banggi,
Kabupaten Rembang sebesar 4,96%-19,08% (Kushartono 2009).
Secara umum faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik tanah adalah
kedalaman tanah, tekstur tanah dan drainase. Kedalaman lapisan menentukan
kadar bahan organik. Dari hasil analisis sampel tanah pada masing-masing
vegetasi mangrove tanah lapisan atas memiliki persentase C-organik lebih tinggi
dibandingkan tanah lapisan bawah (Lampiran 9). Hal ini sesuai dengan pendapat
Allen et al. (1974) yang mengatakan bahwa serasah (reruntuhan daun, dahan,
ranting) yang mengalami proses dekomposisi hanya terjadi pada bagian
permukaan tanah, sedangkan pada kedalaman lebih dari 20 cm pengaruh dari
proses ini tidak nyata.
13
Gambar 5. Peta Sebaran Vegetasi Dominan dan Titik Pengambilan Sempel, Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang (Rachmawati
2012)
Tekstur tanah cukup berperan dalam ketersediaan kadar bahan organik di
dalam tanah, pada umumnya makin tinggi jumlah klei maka makin tinggi pula
kadar bahan organik tanah bila kondisi lainnya sama. Klei merupakan komponen
pengikat yang paling dominan (Pujiyanto et al., 2003) lebih dari 90 % bahan organik
berikatan dengan partikel klei. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik,
sehingga bahan organik cepat habis. Tesktur tanah di lokasi penelitian per lapisan
tanah sebagian besar adalah klei. Persentasi klei berkisar antara 70,22%-83,36%,
debu antara 16,16%-28,94%, pasir antara 0,48%-1,41%. Gambar 7 menunjukan
bahwa kadar C-organik tanah di lokasi studi tidak berkorelasi dengan kadar klei
tanah. Tingginya bahan organik tanah di lokasi studi tidak berhubungan dengan
kadar klei tanah.
14
(a)
(b)
Gambar 6. Regresi Kadar C-organik Tanah dengan Kadar Klei Tanah pada
Masing-masing Tipe Vegetasi Mangrove Desa Blanakan, Kecamatan
Blanakan, Kabupaten Subang: (a) Lapisan Atas, (b) Lapisan Bawah
Tingkat rasio C/N juga dapat mempengaruhi kandungan bahan organik
tanah khususnya C-organik. Pada lokasi penelitian nisbah C/N tanah berkisar
antara 6,63-11,08 di lapisan atas dan 5,75-8,11 di lapisan bawah. Selain itu nisbah
C/N dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan terjadinya kekurangan
nitrogen dan persaingan di antara mikroba-mikroba dan tanaman tingkat tinggi
dalam penggunaan nitrogen yang tersedia dalam tanah. Ratio C/N yang rendah
mengindikasikan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan nitrogen yang lebih
banyak, sedangkan ratio C/N yang tinggi menunjukkan kandungan nitrogen yang
rendah (Sugirahayu dan Rusdiana 2011).
15
Turnover Bahan Organik Tanah
Perbandingan C-organik tanah terhadap produksi C-organik serasah dan
lama turnover bahan organik tanah pada masing-masing tipe vegetasi mangrove
dominan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa total
C-organik tanah per hektar pada masing-masing mangrove hampir tidak jauh
berbeda. Tanah di lokasi penelitian yang terdapat dalam satu ekosistem terbentuk
oleh faktor-faktor pembentuk tanah yang juga sama, sehingga sifat fisik dan kimia
tanah yang dimiliki hampir serupa pula (Lampiran 10). Kemampuan tanah dalam
menjerap atau mengikat bahan organik cenderung mencapai suatu batas
maksimum, sehingga cepat atau lambat akan jenuh (Sudarsono, 1991). Ketika
mendapatkan suplai bahan organik, tanah yang sudah pada batas maksimum akan
melepaskan keluar C-organik ke atmosfer. Akibatnya, tanah di lokasi penelitian
yang sudah hampir jenuh tersebut memiliki nilai total C-organik tanah per hektar
yang hampir sama meskipun pada vegetasi yang berbeda.
Tabel 3. Perbandingan C-organik Tanah terhadap Produksi C-organik Serasah dan
Lama Turnover Bahan Organik Tanah pada Masing-masing Tipe
Vegetasi Mangrove Dominan
Tipe
vegetasi
mangrove
Total C-organik
Tanah (ton/ha)
Total C-organik Serasah
(ton/ha/tahun)
Turnover
(tahun)
Avicennia
59,38
2,23
27
Bruguiera
67,25
2,81
24
Rhizophora
61,75
1,29
48
Sonneratia
63,50
4,75
13
Total C-organik serasah ton/hektar/tahun dipengaruhi oleh produksi serasah
dan kadar C-organiknya, namun yang memiliki peranan paling besar dalam
penelitian ini adalah produksi serasah. Sebagai contoh pada jenis Avicennia yang
memiliki kadar C-organik serasah tertinggi bila dibandingkan dengan vegetasi
mangrove dominan lain, tetapi memiliki produksi serasah yang rendah maka total
C-organik serasahnya pun rendah. Sebaliknya, pada jenis Sonneratia walaupun
memiliki kadar C-organik serasah rendah akan tetapi dengan produksi serasah
yang tinggi yang disumbang dari daun dan buah maka total C-organik serasahnya
juga tinggi.
Turnover bahan organik tanah adalah parameter untuk mengetahui berapa
lama bahan organik tanah dapat bertahan dalam tanah sebelum diemisikan ke
udara dalam bentuk CO2. Cepat atau lamanya turnover bahan organik di dalam
tanah dipengaruhi oleh ekosistem atau jenis tanaman. Sebagai contoh. pada
ekosistem hutan memiliki turnover sekitar 22 tahun, sedangkan ekosistem pastura
memiliki turnover bahan organik sekitar 38 tahun (Six dan Jastrow 2002).
Ekosistem yang sama belum tentu menunjukkan turnover bahan organik tanah
yang sama pula. Pada ekosistem mangrove memiliki turnover bahan organik yang
berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh jenis tanaman.
16
Turnover bahan organik tanah diperoleh dengan cara membandingkan jumlah
C-organik dalam tanah terhadap jumlah C-organik yang diproduksi dari serasah..
Hasil analisis turnover bahan organik tanah ekosistem mangrove pada beberapa
vegetasi dominan menunjukkan Sonneratia memiliki turnover tercepat jika
dibandingkan dengan jenis vegetasi mangrove lainnya (Tabel 3). Lama turnover
dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13 tahun, sedangkan untuk vegetasi
mangrove Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar 27 tahun, dan
Rhizophora sekitar 48 tahun. Semakin lama turnover bahan organik tanah
semakin baik untuk lingkungan.
Vegetasi Rhizophora, memiliki turnover terlama karena jenis vegetasi ini
memiliki sumbangan C-organik dari serasah terkecil dan laju dekomposisi lebih
lama bila dibandingan dengan vegetasi mangrove yang lain. Menurut (Ardi 1996)
laju dekomposisi Rhizophora lebih lama bila dibandingkan dengan Avicennia
karena Rhizophora memiliki daun yang lebih tebal, kutikula tebal, mempunyai
lapisan lilin dan memiliki kandungan tanin lebih banyak. Menurut Waksman
(1957), serasah yang banyak mengandung tanin, lignin, dan lilin akan lebih lama
terdekomposisi. Vegetasi Sonneratia memiliki turnover tercepat karena jenis
vegetasi ini memiliki sumbangan C-organik dari serasah terbesar, ukuran daun
lebih kecil dan halus serta buah yang banyak mengandung air, sehingga serasah
tersebut lebih cepat membusuk dan terurai. Menurut Abdul (2003), kandungan
tanin serasah vegetasi Avicennia lebih rendah dibanding serasah Rhizophora dan
Sonneratia. Namun pada lokasi penelitian, vegetasi Avicennia lebih dipengaruhi
penggenangan tambak tumpangsari di sekitarnya sehingga laju dekomposisinya
lama yang mengakibatkan turnover juga lama. Kandungan tanin pada daun
Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Daun Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia
vegetasi
komposisi Daun
**Cu-total
(ppm)
8,45
2,07
2,57
*kadar tanin
**Zn-total
(%)
(ppm)
Avicennia
0,436
50,15
Rhizophora
1,667
47,86
Sonneratia
1,796
67,45
Keterangan:
* : sumber Abdul (2003)
** : sumber Faisal dan Agus (2010)
**Pb-total
(ppm)
54,31
67,71
85,48
17
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi serasah rata-rata vegetasi
mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten sebesar 10,02
ton/ha/tahun. Sedangkan rata-rata untuk masing-masing vegetasi dominan ialah
Sonneratia sebesar 18,38 ton/ha/tahun, Bruguiera sebesar 10,14 ton/ha/tahun,
Avicennia sebesar 6,96 ton/ha/tahun, dan Rhizophora sebesar 4,61 ton/ha/tahun.
Vegetasi Bruguiera mempunyai kadar C-organik tanah pada setiap kedalaman
sampel tanah lebih tinggi dibandingkan kadar C-organik tanah pada vegetasi
Rhizophora, Avicennia, dan Sonneratia, yaitu sekitar 4,61%. Kadar C-organik
tanah per hetar pada kedalaman 0-50 cm pada masing-masing vegetasi mangrove
dominan berkisar antara 59,38 ton/ha-67,25 ton/ha. Produksi C-organik serasah
berkisar antara 1,29 ton/ha/tahun-4,75 ton/ha/tahun. Turnover bahan organik tanah
ekosistem mangrove pada beberapa vegetasi dominan menunjukkan Sonneratia
memiliki turnover tercepat jika dibandingkan dengan jenis vegetasi mangrove
lainya. Lama turnover dari vegetasi mangrove Sonneratia sekitar 13 tahun,
sedangkan untuk vegetasi mangrove Bruguiera sekitar 24 tahun, Avicennia sekitar
27 tahun, dan Rhizophora sekitar 48 tahun.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, G. 2003. Laju Penghancuran Serasah Daun Beberapa jenis Mangrove di
Hutan Mangrove Rembang. SKRIPSI. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro. Semarang.
Allen, SE.,HM. Grimshaw, JA. Parkinson,and C. Quarmby. 1974. Chemical
Analysis of Ecological Materials. Oxford, Blackwell Scientific Pub.
Anwar, C., H. Gunawan. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan
Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Ardi, A. 1996. Laju Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora
mucronata. SKRIPSI. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Asep, M., L. Hilda, dan M. Dedi. 2011. Kesesuaian lahan untuk komoditas teh di
Wilayah Sagalaherang, Subang, Jawa Barat. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan 21(1) : 35-47.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A
Primer, FAO. Forestry Paper No.134. FAO, USA.
Brown, MS. 1996. The Mangrove Ecosystem. Research Methods. Unesco. Paris.
Clough, BF. 1982. Mangrove Ecosystem in Australian: Structure, Function and
Management. Di dalam. Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove pada
Lingkungan Salin dan Jenuh Air. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Jakarta.
Dharmawan, WS., dan CW. Siregar. 2008. Karbon tanah dan pendugaan karbon
tegakan Avicennia marina di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam 5(4) : 317-328. Pusat Litbang dan Konservasi Alam.
Bogor.
Hamzan, F., dan S. Agus. 2010. Akumulasi logam berat Pb, Cu, dan Zn di hutan
mangrove Muara Angke, Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis 2(2): 41-52
Hutabarat, S., dan MS. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Kusmana C., P. Pradyatmika, YA. Husin, G. Shea, D. Martindale. 2000.
Mangrove litter-fall studies at The Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia.
Indon.j. Trop. Agric. 9 930. Page 39-47.
Kushartono, EW. 2009. Beberapa aspek bio-fisik kimia tanah di daerah mangrove
Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan 14(2): 76-83.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Kusumahadi, KS. 2008. Watak dan sifat tanah areal rehabilitasi mangrove
Tanjung Pasir, Tanggerang. Jurnal Vis Vitalis 1(1). Fakultas Biologi
Universitas Nasional, Jakarta.
19
Latter, PM., Howson, G., Howard, DM. and Scott, WA. 1998. Long-term study of
litter decomposition on a Pennine peat bog: which regression? Oecologia,
113: 94-103.
Mahmudi, M., K. Soewardi, C. Kusmana, H. Hardjomijojo, dan A. Damar. 2008.
Laju dekomposisi serasah mangrove dan kontribusinya terhadap nutrien di
hutan mangrove reboisasi. Jurnal Penelitian Perikanan 2 (1): 19-25.
Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya.
Perum Perhutani. 1993. Pelaksanaan Program Sosial dengan Sistem Silvofishery
pada Kawasan Hutan Payau di Pulau Jawa. Perusahaan Umum Kehutanan
Negara (Perum Perhutani). Jakarta. 10 hal.
Poedjirahajoe, E. 2007. Dendrogram zonasi pertumbuhan mangrove berdasarkan
habitatnya di kawasan rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat.
Jurnal Ilmu Kehutanan 1(2). Fakultas Kehutanan, UGM. Yoyakarta.
Pujiyanto, Sudarsono, A. Rachim, S. Sabiham, A. Sastiono, dan JB. Baon. 2003.
Pengaruh bahan organik dan jenis tanaman penutup tanah terhadap bentuk
bahan organik, distribusi agregat dan pertumbuhan kakao (Theobroma cacao
L.). J. Tanah Trop. 17:73-85.
Rahajoe, JS., dan L. Alhamd. 2013. Biomasa guguran serasah dan variasi
musiman di hutan dataran rendah TN. Gunung Gede Pangrango. Jurnal
Biologi Indonesia 9(1): 101-109. Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Rachmawati. 2012. Hubungan Sifat Tanah dengan Tipe Vegetasi Mangrove di
Desa Blanakan, Kabupaten Subang. SKIPSI. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sa’ban, M. Ramli, dan W. Nurgaya. 2013. Produksi dan laju dekomposisi serasah
mangrove dengan kelimpahan plankton di perairan Teluk Moramo. Jurnal
Mina Laut Indonesia 3(12): 132-146. Universitas Halu Oleo. Kendari.
Sanchez, PA. 1976. Propertis and Management of Soils in The Tropic. A Willey –
Interscience Publication. John Willey and sons. New York.
Siarudin, M., R. Encep. 2008. Biomassa lantai hutan dan jatuhan serasah di
kawasan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konsevasi Alam 5(4): 329-335. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Six, J., dan JD. Jastrow. 2002. Organic matter turnover. Di dalam. Lal R, editor