Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
DI TELUK BLANAKAN,KABUPATEN SUBANG,
PROVINSI JAWA BARAT
MARTINI DWI INDRAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
(2)
(3)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Baratadalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Martini Dwi Indrayanti
(4)
MARTINI DWI INDRAYANTI. Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan ISDRAJAD SETYOBUDIANDI.
Mangrove merupakan sumberdaya alam yang berperan penting dalam memelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan perairan. Oleh karena itu ekosistem ini juga sebagai pendukung kehidupan yang perlu dijaga kelestariannya. Beberapa tahun terakhir ekosistem mangrove mendapat tekanan akibat berbagai aktifitas manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan berbagai sumberdaya guna memenuhi kebutuhan hidup, namun dalam pemanfaatannya sering kali kurang memperhatikan kelestarian sumberdaya tersebut.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Blanakan yang tujuannya adalah: (1) mendeskripsikan pengelolaan ekosistem mangrove; (2) mengidentifikasi jenis pemanfaatan ekosistem mangrove; (3) melakukan penilaian ekonomi total; dan (4) membuat alternatif kebijakan bagi pengelolaan ekosistem mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus (case study) dengan analisis data deskriptif dan kuantitatif.
Hasil analisis menunjukan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan dengan pola empang parit dengan jenis pemanfaatan berupa: (1) manfaat usaha tambak, (2) manfaat penangkapan hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, dan belut, (3) manfaat satwa (ular dan burung), dan (4) manfaat hasil hutan (kayu bakar).Nilai ekonomi total pemanfaatan ekosistem mangrove di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang yaitu Rp. 4.005.986.672, 29per tahun.Berdasarkan hasil penilaian ekonomi, alokasi pemanfaatan lahan pesisir yang paling efisien adalah 100% luas lahan dijadikan mangrove karena rasio manfaat biayanya paling besar. Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan lahan pesisir dengan membiarkan ekosistem mangrove menghasilkan nilai ekonomi terbesar.
(5)
Bay, Subang, West Java. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and ISDRAJAD SETYOBUDIANDI.
Mangrove is one of the natural resource that has an important role in maintaining the balance between land-based ecosystems and aquatic ecosystems, therefore the ecosystem of mangrove are placed in one of the life-supporting ecosystems which is need to be kept preserved. The last few years, mangrove ecosystems continuously gets pressure due to various human activities. A high population of human requires a variety of resources in order to meet the needs of life, but they often pay less attention to the sustainability of the resources.
This study was held in Blanakan Bay with purposes, such as: (1) to describe management of mangrove ecosystem; (2) to identify the utilization of mangrove ecosystem; (3) to calculate the total economic value of mangrove ecosystem; dan (4) to make an alternative management of mangrove ecosystem. The method that used in this study was case study with descriptive and quantitative data analysis.
The result showed that mangroves ecosystem in Blanakan Bay was managed with silvofishery method with ulitization such as: (1) silvofishery, (2) fisheries, (3) habitat for animals that live around mangrove ecosystem, dan (4) mangrove forest. Total economic value of mangrove ecosystem in Blanakan Bay was Rp. 4.005.986.672, 29per year. Based on economic valuation analysis, the most eficient was 100% of total area allocated for mangrove because it has the biggest benefit cost ratio. This analysis proved that if the coastal area keep preserved for mangrove ecosystem it will generate the highest economic value.
(6)
©
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(7)
PROVINSI JAWA BARAT
MARTINI DWI INDRAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
(8)
(9)
NIM : C252100224
Disetujui oleh: KomisiPembimbing,
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Anggota
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
(10)
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul ”Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Pengelolaan Sumberaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (SP-IPB).
Tesis ini diharapkan dapat menjadi bahan masukanbagi para pengambil kebijakan di bidang pengelolaan pesisir terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Dr. Ir. Achmad Fahrudin selaku Ketua Komisi Pembimbing, M.Si dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan motivasinya hingga terselesaikannya tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian.
3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin selaku Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf pengajar dan bagian administrasi, Mas Abdillah dkk.
4. Prof. Dr.Ir. Nahrowi, M.Sc yang telah merekomendasikan pelaksanaan ujian.
5. Dr.Ir. Toni Ruchimat, M.Sc, Ir.Erni Widjajanti, M.Sc, Jimmi, M.Sc, Chairul Anwar, MM, serta rekan-rekan di Direktorat Sumberdaya Ikan – DJPT atas dukungannya hingga terselesaikannya tesis ini.
6. Instansi Pemerintah Kabupaten Subang.
7. Masyarakat sekitar kawasan ekosistem mangrove.
8. Kedua orangtua, Ir. H. Akmal Indra dan Hj. Yatti Yuniati, S.Sos, kakak dan adikku, Malta Hstinova, S.sas dan Yandra Azhari, SKpm yang telah memberikan dukungan penuh dan merasakan suka dukanya, serta atas segala doa dan kasih sayangnya.
9. Keluarga besar, sahabat serta mentor (Om Benny Satrio, Om Harry, Pak Yudi, Ka Sonya Nirmala, Mas Chandra, Pak Hultera Paul) atas dukungan dan motivasinya, serta doa yang tiada henti.
10.Teman-teman SPL 2011 kelas khusus atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus. Segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang diberikan.
Bogor, Agustus 2015
(11)
PRAKATA x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 5
Kegunaan Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 6
Pengertian Wilayah Pesisir dan Ekosistem Mangrove 6
Fungsi Ekologis-Ekonomi Ekosistem Mangrove 8
Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove 12
Pengelolaan Ekosistem Mangrove 14
Konsep Penilaian Sumberdaya 16
Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan di Kabupaten Subang 19
3. METODE PENELITIAN 20
Waktu dan Tempat Penelitian 20
Metode Penelitian 20
Jenis dan Sumber Data 20
Metode Pengambilan Sampel 24
Metode Analisis Data 24
Analisis Luas Mangrove 24
Analisis Kerapatan Mangrove 25
Penilaian Ekonomi Sumberdaya 26
Analisis Stakeholders 31
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 35
Kondisi Umum 35
Pengelolaan Mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang 39
Kondisi Fisika Kimia 41
Kondisi Bioekologi 42
Jenis Fauna pada Ekosistem Mangrove 44
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 48
Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan 48
(12)
Nilai Total Manfaat Langsung Mangrove 62
Nilai Manfaat Tidak Langsung 63
Nilai Total Manfaat Tidak Langsung Mangrove 65
Nilai Manfaat Pilihan 65
Nilai Manfaat Keberadaan 65
Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove 66
Alternatif Pengelolaan Sumberdaya 66
Skenario Pengelolaan 67
Analisis Stakeholders 68
6. SIMPULAN DAN SARAN 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 77
(13)
Tabel 2. Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove 15 Tabel 3. Definisi dan Contoh Komposisi Total Economic Value (TEV) 17 Tabel 4. Jenis dan Sumber Data yang Diambil dalam Penelitian 21
Tabel 5. Jumlah Anggota Sub Populasi dan Banyaknya Sampel 24
Tabel 6. Penilaian Tingkat Kepentingan 32
Tabel 7. Penilaian Tingkat Pengaruh 32
Tabel 8. Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder 34 Tabel 9. Luas Wilayah Masing-Masing Desa di Kecamatan Blanakan 36
Tabel 10. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin 36
Tabel 11. Klasifikasi Usia Penduduk 36
Tabel 12. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk 37
Tabel 13. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Blanakan 38 Tabel 14. Pengukuran salinitas pada saat pasang dan saat surut 42
Tabel 15. Analisis Vegetasi Mangrove Desa Muara Ciasem 43
Tabel 16. Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan 44
Tabel 17. Fauna di sekitar Wilayah Mangrove 45
Tabel 18. Luasan dan Persentase Penutupan Mangrove 48
Tabel 19. Kerapatan vegetasi mangrove (2005) 52
Tabel 20. Kerapatan vegetasi mangrove (2012) 53
Tabel 21. Uraian Hasil Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 56 Tabel 22. Pendapatan Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 56 Tabel 23. Hasil Tangkapan Udang Harian pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan
57 Tabel 24. Hasil Tangkapan Kepiting pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 58 Tabel 25. Hasil Tangkapan Belut pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 59 Tabel 26. Hasil Penangkapan Ular pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 60 Tabel 27. Hasil Burung pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 60 Tabel 28. Hasil Penangkapan Kilung-Kilung pada Kawasan Mangrove di Teluk
Blanakan 60
Tabel 29. Total Nilai Manfaat Biota Lain 61
Tabel 30. Hasil Pengambilan Kayu Bakar pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan 61
Tabel 31. Nilai Manfaat Langsung 62
Tabel 32. Jumlah pengunjung ekowisata mangrove Blanakan tahun 2003-2011 64
Tabel 33. Nilai Total Manfaat Tidak Langsung 65
Tabel 34. Nilai Manfaat Keanekaragaman Hayati 65
Tabel 35. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove 66
Tabel 36. Hasil Analisis Manfaat Biaya dari berbagai Alternatif Skenario Pengelolaan
Ekosistem Mangrove 67
(14)
Gambar 1 . Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi 4 Gambar 2. Fungsi Ekologis Ekosistem Mangrove (adaptasi AWB-Indonesia 1992) 11
Gambar 3. KonsepTotal Economic Value (TEV) 17
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 20
Gambar 5. Alur Penelitian 23
Gambar 6. Matriks Pengaruh dan Kepentingan Hasil Analisis Stakeholders 33
Gambar 7. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk 37
Gambar 8. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk 38
Gambar 9. Kondisi mangrove di lokasi penelitian; (a) mangrove yang terjaga kelestariannya, (b) mangrove yang ditebang untuk memperluas areal
tambak 40
Gambar 10. Salah satu jenis burung (Egretta sp) yang terdapat pada kawasan
mangrove perairan Pantai Blanakan, Subang 45
Gambar 11. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan (a) 2005; (b) 2012 48
Gambar 12. Peta Penutupan Mangrove (2005) 49
Gambar 13. Peta Penutupan Mangrove (2012) 50
Gambar 14. Persentase Penutupan Mangrove (2005 dan 2012) 50
Gambar 15. Peta Kerapatan Mangrove (2005) 52
Gambar 16. Peta Kerapatan Mangrove (2012) 53
Gambar 17. Kerapatan Vegetasi Ekosistem Mangrove 54
Gambar 18. Jenis Komoditas yang dibudidayakan di Tambak 54
Gambar 19. (a) Penangkap kepiting; (b) Peralatan (aki dan senter); 58
Gambar 20. Penangkapan belut menggunakan kayu/lidi 59
Gambar 21. Pemanfaatan kayu bakar 62
Gambar 22. Matriks Pengaruh dan Kepentingan 69
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Batas Administrasi Kabupaten Subang 77
Lampiran 2. Wilayah Kerja BPKPH Pamanaukan 78
Lampiran 3. Data Responden Petani Tambak 79
Lampiran 4. Data Responden Pengambil Udang Harian 80
Lampiran 5. Data Responden Nelayan 81
Lampiran 6. Data Responden Wisatawan 83
Lampiran 7. Data Responden WTP 84
Lampiran 8. Hasil Analisis Regresi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove: Silvofishery 88 Lampiran 9. Dokumentasi Pengelolaan Mangrove di Teluk Blanakan, Kecamatan
(15)
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir berperan penting, baik dilihat dari sisi ekologi yaitu peranan dalam memelihara produktivitas perairan maupun dalam menunjang kehidupan ekonomi penduduk sekitarnya. Bagi wilayah pesisir, ekosistem ini, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangat penting untuk nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas ekosistem perikanan, pertanian dan permukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah mangrove memasok unsur hara bagi lingkungannya. Unsur hara kemudian dimanfaatkan oleh plankton dalam fotosintesis, sehingga perairan mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kelimpahan organisme pada tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di perairan tersebut merupakan makanan bagi ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan ekosistem perairan mangrove sebagai daerah mencari makan, memijah dan pembesaran. Jadi mangrove mempunyai nilai ekologis yang tinggi untuk menunjang keberlangsungan ekosistem akuatik di kawasan mangrove Blanakan.
Menurut Bengen (2000) bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain sebagai: (1) pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota (3) penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus), (4) sumber bahan baku industri bahan bakar, (5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata. Sumberdaya biologi unik ini merupakan salah satu dari lima potensi yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terbesar setelah China, India, USA, dan Uni-Eropa sebagaimana visi Indonesia 2030 (Soeprobowati et al. 2012)
Sedangkan menurut Baran dan Hambrey (1999), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi yaitu:1) Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dantempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi; 2) Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidupdibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik; 3) Sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya daritsunami, gelombang, arus laut dan angin topan; 4) Sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan penyerapan; 5) Sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwaliar lainnya; 6) Sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayuperangkap ikan; 7) Tempat penangkaran dan penangkapan bibit ikan; 8) Sebagai bahan obat-obatan dan alkohol.
Ekosistem mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan bakau binaan. Ekosistem mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. (Rismunandar 2000). Menurut analisis data LANDSAT-TM Multitemporal tahun 1988, 1990, 1992 dan 1995 menunjukkan bahwa luasan mangrove di kawasan ini dalam periode 1988-1992 mengalami pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 menjadi 1.729,9 ha pada tahun 1990 dan 958,2 ha pada tahun 1992. Pengurangan lahan ini terjadi akibat adanya konversi lahan untuk membuat tambak. Namun antara tahun 1992 dan 1995 terjadi penambahan luasan menjadi 3.074,3 ha.
(16)
Beberapa tahun terakhir ekosistem mangrove secara terus menerus mendapat tekananakibat berbagai aktifitas manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan berbagai sumberdaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dalam pemanfaatannya sering kali kurang memperhatikan kelestarian sumberdaya tersebut (Pariyono 2006). Kerusakan ekosistem mangrove tersebut diawali dengan adanya degradasi luasan, degradasi jenis, konflik kepentingan, eksploitasi dan pemanfaatan mangrove yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu: (1)pencemaran, (2)konversi yang kurang memperhatikan faktor lingkungan (konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya ekosistem mangrove di dunia), dan (3)penebangan yang berlebihan (Anwar dan Hendra 2006).
Saat ini pengelolaan sumberdaya mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, partisipasi aktif masyarakat serta kualitas sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan wilayah pesisir yang tidak seimbang dapat memberikan dampak yang kurang menguntungkan bahkan dalam jangka panjang. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Presentasi mangrove dan tambak pola tumpangsari sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani. Fakta menunjukkan bahwa banyak wilayah dimana mangrove dikonversi secara total untuk budidaya tambak. Terdapat sebagian penggarap yang membuka hutannya lebih dari 20% untuk dijadikan tambak (Mahendra 2007).
Udang berasal dari dua sumber yang berbeda, terdapat udang yang ditangkap langsung dari laut serta udang yang dibudidayakan di wilayah pesisir. Seiring dengan perkembangan budidaya udang yang terud meningkat, udang menjadi komoditi yang benilai tinggi di perdagangan dunia. Hal ini menjadikan mangrove sebagai ekosistem yang dikorbankan untuk budidaya udang komersial (Martinez 2001).
Metoda untuk penilaian produk dan jasa lingkungan sebenarnya menawarkan penilaian yang lebih komperhensif terhadap penilaian berbagai barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove, dimana selanjutnya hasil penilaian dapat memberikan kontribusi informasi yang lebih mendalam bagi para pengambilan keputusan. Tidak diketahuinya data dan informasi tentang nilai ekonomi dari sumberdaya mangrove mengakibatkan kerusakan atau kehilangan sumberdaya ini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen ekonomi dari mangrove menjadi tidak/kurang mendapat perhatian di dalam pengelolaan lebih lanjut.
Salah satu cara yang dikenal untuk mengetahui nilai ekonomi suatu sumberdaya adalah metode valuasi ekonomi. Metode valuasi ekonomi diperlukan dalam rangka menganalisis ekonomi manfaat mangrove yang dapat mengkuantifikasikan total nilai manfaat (use value) dan nilai tidak dimanfaatkan (non use value) ekosistem.
Perumusan Masalah
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsiekologi ekosistem mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Beberapa masyarakatmengintervensi ekosistem mangrove untuk memenuhi keperluan hidup. Hal
(17)
ini terbukti dengan terjadinya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana 2010). Selain itu juga, keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan, hampir 80% dari seluruh jenis ikan laut yang dikonsumsi manusia berada di ekosistem mangrove (Saenger et. al, 1983).
Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang memiliki luas wilayah 10.530 ha dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seluas 2.002 ha diantaranya merupakan ekosistem mangrove yang dikelola oleh pihak Perhutani sedangkan areal yang dijadikan tambak seluas 2.342 ha yang terdiri atas tambak tumpang sari dan tambak milik. Perkembangan pertambakan pada kurun waktu 1988 sampai dengan 1995 di Kecamatan Blanakan mengalami pertambahan rata-rata sekitar 33.02% per tahun (Fahrudin 1996).
Menurut Fahrudin (1996), luas lahan pesisir Kabupaten Subang untuk areal pertambakan mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin baiknya harga komoditas perikanan yang dibudidayakan. Lahan pesisir Kabupaten Subang dimanfaatakan untuk mangrove dengan pola tambak tumpangsari seluas 5.328,60 ha dengan nilai ekonomi total sebesar Rp. 79,92 milyar/tahun atau Rp. 14.998.692,34/ha dan untuk tambak rakyat seluas 8.354,28 ha dengan nilai ekonomi total sebesar Rp. 14,87 milyar/tahun atau Rp. 1.780.501,73/ha/tahun.
Pada kurun waktu 1988 sampai dengan 1995 kegiatan pertambakkan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang mengalami pertambahan rata-rata sekitar 33,02% per tahun. Peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi memungkinkan pembukaan lahan yang lebih besar untuk tambak dengan melakukan konversi mangrove. Hal ini menyebabkan terganggunya kelestarian lahan yang dikonversi. Pada gilirannya akan menurunkan kualitas lingkungan yang dibutuhkan dan justru mengancam usaha budidaya tersebut. Hal tersebut merupakan tantangan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dalam upaya pemanfaatan lahan yang tidak saja menguntungkan secara ekonomi tetapi juga ramah lingkungan. Oleh karena itu, penilaian pemanfaatan mangrove sangat dibutuhkan, tidak hanya manfaat secara ekologi tetapi juga ekonomi (Sofian 2003).
Fungsi ekologi ekosistem mangrove amat penting kontribusinya bagi nilai ekonomi mangrove itu sendiri. Valuasi ekonomi dapat digunakan untuk mentransformasi nilai ekologi ini menjadi nilai ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan (Fauzi 2000).
Berdasarkan uraian diatas, disusunlah diagram alir kerangka pendekatan studi yang disajikan pada Gambar 1.
(18)
Manfaat Keberadaan
Willingness to Pay EKOSISTEM MANGROVE
Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomi
IDENTIFIKASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA
Hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, dan belut)
Hasil tambak
Hasil hutan (kayu bakar)
Perlindungan pantai
nursery ground, spawning ground dan feeding ground
pariwisata Manfaat
Langsung
Manfaat Tidak
Langsung Manfaat Pilihan
Nilai Biodiversity
Nilai Guna Nilai Non-Guna
Benefit Transfer Productivity Method
Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ekosistem Mangrove (Total Economic Value)
Replacement Cost, Productivity Method,
Travel Cost Method
Gambar 1 . Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi
Terabaikan Eksploitasi
(19)
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pengelolaan ekosistem mangrove; 2. Mengidentifikasi jenis pemanfaatan ekosistem mangrove;
3. Melakukan penilaian ekonomi total terhadap ekosistem mangrove; 4. Membuat alternatif kebijakan bagi pengelolaan ekosistem.
Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah penelitian.
2. Sebagai referensi dalam melakukan valuasi ekonomi dalam rangka pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu
1. Jenis sumberdaya yang menjadi fokus utama dari penelitian ini adalah ekosistem mangrove.
2. Lokasi penelitian sebagai sampel adalah Cilamaya Girang, Desa Blanakan, dan Desa Muara.
(20)
2.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Wilayah Pesisir dan Ekosistem Mangrove Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yakni sejajar dengan garis pantai dan tegak lurus garis pantai. Namun demikian batasan tersebut tergantung pula dengan karakteristik lingkungan, sumberdaya yang ada dan sistem negara bersangkutan (Dahuri et al. 2001).
Definisi wilayah pesisir itu sendiri yaitu wilayah pertemuan antara darat dan laut, kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri et al. 2001).
Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan perpaduan antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata
grove dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri dari individu - individu jenis mangrove tersebut. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon – pohon atau rumput – rumput maupun semak berlukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya (Macnae 1968).
Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya dengan luas sekitar 1.350.600 ha (38%), Kalimantan 978.200 ha (28 %) dan Sumatera 673.300 ha (19%). Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya(Rusilaet al. 1999).
Setidaknya terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove di Indonesia, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate asociate). Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi (Rusilaet al.
1999).
Menurut Kusmana (2003), cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup dihabitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, singgah, maupun yang tidak sengaja ditemukan maupun khusus
(21)
hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas ekosistem sebenarnya dangan laut.
Mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lain mengembangkan sistem akar nafas untuk mebantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Bengen 2004). Menurut Huda (2008) terdapat beberapa karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Rusilaet al. 1999).Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cendeerung mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya berlumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000).
Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hamper tawar, serta daerah kearah daratan yang memiliki air tawar, yang akan dijelaskan sebagai berikut (Noor et al. 1999):
1. Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristik dari komunitas dizona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah S. alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicenia marina dan Rhizophora mucfonata cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
2. Mangrove tengah, terletak dibelakang mangrove zona terbuka.
Dizona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
3. Mangrove payau, berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Dijalur lain biasanya ditemukan tegakan N-fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum.Kearah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypalebih sering ditemukan.
4. Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar dibelakang jalur hijau mangrove.
(22)
Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk ficus microcarpus
(F.Retusa, Intsia bijuga, N,fruticans, Lumnitza racemoza, Pandanus sp dan
Xylocarpus moluccensis).
Fungsi Ekologi -Ekonomi Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Beberapa fungsi ekologi dan ekonomi dari ekosistem mangrove dijelaskan sebagai berikut:
Fungsi Ekologi
Ditinjau dari sudut pandang ekologi, ekosistem mangrove membentuk sebuah ekosistem yang unik yang disebabkan karena berada pada perairan yang kadar asamnya sangat kecil (payau) dimana terdapat empat unsur biologi yang sangat mendasar yaitu daratan, air, pepohonan, dan fauna. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut(Imran 2002).
Salah satu fungsi mangrove yaitu mensuplai berbagai material ke daerah pantai. Material ini menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994).
Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus), (4) sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar, (5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata.
Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologi yang belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain: menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intstrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran), produksi bahan organik sebagai sumber bahan makanan, sebagai wilayah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut (Liyanage 2004).
(23)
11 Gambar 2. Fungsi Ekologis Ekosistem Mangrove (adaptasi AWB-Indonesia 1992)
(24)
Sedangkan menurut Dahuri et al. (1996) dalam Rusdianti dan Satyawan (2012), fungsi ekologi mangrove adalah sebagi berikut:
1. Dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang. 2. Dengan sistem perakaran yang kokoh mangrove memiliki kemampuan meredam
gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan topan.
3. Sebagai pengendali banjir, mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
4. Mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik.
5. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.
6. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
Fungsi Ekonomi
Disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri seperti kertas, rayon, kayubakar dan arang yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi,ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produknya yang dapatdiukur dengan uang. Menurut Dahuri et al. (1996) telah terindentifikasi lebih dari70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan hidup manusia, baik produk langsungmaupun produktidak langsung.
Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), fungsi ekonomi ekosistem mangrove diantaranya adalah:
1. Bahan bakar (arang dan kayu bakar);
2. Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang, dan pagar);
3. Alat penangkap ikan (tiang sero, bubu, pelampung dan bagan); 4. Makanan, minuman, dan obat-obatan;
5. Bahan baku pulp dan kertas;
6. Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan; 7. Pariwisata.
Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove
Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yangdisebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan (Aksornkoae 1993). Secara turun-temurun masyarakat menganggap bahwa ekosistem mangrove sebagai lahan kosong (lahan tidak bermanfaat) sehingga seringkali dengan sengaja dialih fungsikan menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih menguntungkan, misalnya untuk perkembangan kota, daerah pertanian, atau untuk aquakultur (Franks dan Falcover 1999).Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan
(25)
tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar, terdapat dua faktor penyebab kerusakan mangrove yaitu faktor manusia (pemanfaatan lahan yang berlebihan), dan faktor alam (banjir, kekeringan, dan hama penyakit) (Tirtakusumah 1994).
Menurut Biao et al. (2004), peningkatan permintaan dunia terhadap produk budidaya perairan dari negara berkembangakan meningkatkan keuntungan dan pendapatan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tingginya permintaan pasar internasional dan meningkatnya teknologi telah memberikan dukungan terhadap pertumbuhan industri tambak. Oleh karena itu, seiring dengan pembangunan tambak yang kian meningkat sehingga menyebabkan lahan mangrove menjadi menurun akibat eksploitasi sumberdaya mangrove yang umumnya tidak intensif.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Perkembangan budidaya yang pesat diiringi oleh beberapa permasalahan diantaranya:kerusakan ekosistem mangrove, berkurangnya stok, dan pencemaran perairan. Penurunan kualitas lingkungan merupakan akibat dari beberapa sumber, diantaranya budidaya, meningkatnya jumlah nelayan, praktek pengelolaan pertanian yang tidak ramah lingkungan, dan buruknya peraturan dan kebijakan pemerintah (Dewalt et al. 1996).
Penurunan luasan mangrove terjadi juga di Filipina dimana terjadi kehilangan mangrove dari 500.000 ha di tahun 1918 menjadi 120.000 ha pada tahun 1994. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal mengekploitasi kayu bakar serta mengkonversi mangrove menjadi lahan pertanian, industri dan pemukiman. Apabila ditinjau dari sisi kelembagaan: birokrasi yang tumpang tindih, kebijakan yang saling bertentangan, korupsi, serta lemahnya penegakan hukummerupakan penyebab penurunan luasan mangrove (Primavera 2000).
Selain itu meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu juga menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap ekosistem mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan (Supriharyono 2002). Semua aktivitas manusia dalam kaitannya dengan penggunaan areal mangrove dalam skala besar sangat berkaitan dengan tingginya populasi dan rendahnya tingkat perekonomian masyarakat setempat, misalnya di sepanjang pantai utara Pulau Jawa (Pantura).Kegiatan masyarakat pantai pada akhirnya akan memanfaatkan ekosistem mangrove secara tidak ramah lingkungan, dan dampaknya mangrove akan terdegradasi dan rusak, bahkan sumber daya alam tersebut akan punah.Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi ekosistem mangrove menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.Sebenarnya, masyarakat pantai sudah mengetahui tentang peran dan manfaat ekosistem mangrove terhadap lingkungannya, tetapi mereka tidak ada pilihan lain karena untuk mempertahankan kehidupan mereka bersama keluarganya harus memanfaatkan ekosistem tersebut (Pramudji 2000).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama kerusakan mangrove adalah faktor manusia,seperti aktifitas produksi, ekploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas non-produksi seperti polusi limbah rumah tangga atau limbah industri (Fauzi 2004). Kegiatan manusia yang berdampak kepada ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 1.
(26)
Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove
No. Kegiatan Dampak Potensial
1 Tebang habis Berubahnya komposisi mangrove
Tidak berfungsinya daerah untuk mencari makan
dan daerah pengasuhan bagi ikan
2 Pengalihan aliran air
(pembangunan irigasi)
Peningkatan salinitas mangrove
Menurunnya tingkat kesuburan mangrove
3 Konversi menjadi lahan
pertanian, perikanan,
pemikiman, dll
Mengancam regenerasi stok ikan dan udang
diperairan lepas pantai yang memerlukan
mangrove sebagai nursery ground
Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar
yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove
Pendangkalan perairan pantai
Erosi garis pantai dan intrusi garam
Terjadinya pencemaran laut oleh bahan-bahan
pencemar
4 Pembuangan sampah cair Penurunan kandungan O2 dan timbul gas H2S dan
NH3
5 Pembuangan sampah padat Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan
sampah padat mengakibatkan kematian
mangrove
Kematian pohon-pohon mangrove
6 Pencemaran minyak akibat
terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar
Musnahnya daerah nursery ground bagi larva dan
juvenile ikan dan udang yang bernilai ekonomis penting dan mengancam regenerasi ikan dan udang
7 Penambangan dan ekstraksi
mineral, baik pada ekosistem mangrove maupun di daratan sekitarmangrove
Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga
memusnahkan fungsi ekologis ekosistem
mangrove (daerah pencari makanan, asuhan)
Pengendapan sedimen yang dapat mematikan
pohon mangrove. Sumber: Bengen (2000)
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Dahuri et al. (2001) berpendapat bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lainnya saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan dan kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga di pengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia (up lands areas) maupun lautan lepas (oceans).Keterpaduan diperlukan karena memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkage) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.
Kehidupan masyarakat di sekitar kawasan mangrove, tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kekerabatan danhubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Ekosistem mangrovemerupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting
(27)
dalammemelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Ekosistemmangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsiekonomi, sosial dan lingkungan. Potensi ekonomi tegakan mangrove berasal daritiga sumber, yaitu perikanan muara sepanjang pantai, hasil hutan, dan ekoturisme (Maedar 2008).
Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaik-baiknyaberdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak pernbangunan yangnegatif, seperti terjadinya penurunan nilai-nilai sumberdaya pesisir dan laut yangpada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itusendiri. Keadaan ini disebabkan antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuaidengan peruntukan dan kemampuan daya dukungnya, tidak disertainya denganusaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya.
Holing (1973) menyatakan bahwa hampir semua sistem alam mempunyai karakteristik berubah sepanjang waktu dan bahwa jika manusia mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya akan menyebabkan kondisi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang.
Menurut Adrianto (2004) alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi,kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasihingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang memberikan ruangkepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Beberapa alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel berikut.
Tabel 2. Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pilihan Pengelolaan Deskrpsi
Kawasan Lindung Larangan pemanfaatan produktif
Kawasan Kehutanan Subsisten Pengelolaan kawasan mangrove oleh
masyarakat; pemanfaatan mangrove oleh
masyarakat
Kawasan Hutan Komersial Pemanfaatan komersial produk mangrove
Akua-Silvikultur Konversi sebagian kawasan mangrove untuk
kolam ikan
Budidaya Perairan Semi-Intensif Konversi mangrove untuk budidaya perairan
dengan teknologi semi intensif
Budidaya Perairan Intensif Konversi mangrove untuk budidaya perairan
dengan teknologi intensif
Pemanfaatan Hutan Komersial dan
Budidaya Perairan Semi Intensif
Pemanfaatan ganda dengan tujuan
memaksimalkan manfaat dari perikanan
mangrove itu sendiri
Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Subsisten dan Budidaya Perairan Semi Intensif
Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan
Konversi Ekosistem Mangrove Konversi kawasan mangrove menjadi
peruntukan lain Sumber: Adrianto (2004)
(28)
Konsep pengelolaan lain yang berbasis Sosial-Ekosistem menggambarkan bahwa pada dasamya pendekatan ini mengintegrasikan antara pemahaman ekologi dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integitas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia.
Konsep Penilaian Sumberdaya
Sumberdaya alam adalah aset (natural asset) yang selain menyediakan barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan manusia, juga menghasilkan jasa yang tidak diorganisasikan melalui mekanisme pasar. Manfaat langsung dapat berupa komoditas maupun jasa yang dapat dikonsumsi langsung oleh manusia, sementara manfaat tidak langsung dapat berupa manfaat dari fungsi-fungsi ekologis yang dihasilkan dari sumberdaya alam seperti pencegah banjir, penjaga keseimbangan ekosistem, penyedia keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Dengan kata lain, sumberdaya alam memiliki nilai yang tinggi, baik nilai ekonomi maupun nilai ekologi bagi kelangsungan hidup manusia.
Secara umum nilai ekonomi dari sumberdaya alam didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologi dari ekosistim bisa di ”terjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika suatu ekosistem mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya (Fauzi 2000).
Menurut Barbier et.al. (1993)dalam Fahrudin (1996), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu:
1. Analisis dampak (impact analysis), penilaian terhadap kerusakan yang terjadi pada sistem pesisir dari dampak lingkungan yang khas. Pendekatan impact analysis
dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistemdilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari akifitas tertentu,misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir.
2. Penilaian parsial (partial analysis),penilaian alternatif alokasi sumberdaya atau pilihan proyek yang mencakup sistem atau sumberdaya pesisir. Tujuannya adalah membuat kriteria untuk memilih antara sejumlah pemanfaatan yang berbeda dari sistem pesisir. dan (3) total valuation.
3. Penilaian total (total valuation), dilakukan untuk mendugatotal kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.
Menurut Supriadi (2002), tujuan valuasi ekonomi suatu sumberdaya adalah untuk memperoleh gambaran agar setiap unsur lingkungan dapat ditempatkan sebagai komponen integral dalam suatu sistem ekonomi. Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat.
Konsep yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomi suatu sumberdaya, dalam hal ini ekosistem mangrove, adalah konsep Total Economic Value (TEV) atau nilai ekonomi total seperti diilustrasikan pada Gambar 3.Nilai Ekonomi Total (NET) dari aset lingkungan hidup dapat dipecah-pecah ke dalam suatu set bagian komponen.Berdasarkan
(29)
hukum biaya dan manfaat, keputusan untuk mengembangkan ekosistem mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari pengembangan ekosistem tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini, manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove tersebut (Sanim 1996 dalam Fahrudin 1996).
Melalui Gambar 3 dapat diketahui bahwa nilai ekonomi total merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (use value=UV) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value=NUV). Nilai pemanfaatan adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (direct use value=DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value=IUV), dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai non-pemanfaatan adalah jumlah dari nilai eksistensi (Existence Value=XV) dan nilai waris (bequest value=EV). Definisi dan contoh komposisi Total Economic Value (TEV) tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Definisi dan Contoh Komposisi Total Economic Value (TEV)
No. Jenis Nilai Definisi Contoh
1 Direct Use Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Manfaat perikanan,kayu
mangrove, geneticmaterial.
2 Indirect Use Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Fungsi ekosistemmangrove sebagainatural
breakwaters,sebagai
spawningground. 3 Option
Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah
sumberdaya/ekosistem di masa datang.
Manfaat keanekaragaman hayati, spesies baru
4 Bequest Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian
sumberdaya/ekosistem untukkepentingan generasi masa depan
Nilai sebuah sistemtradisional masyarakat yang terkait dengan sumberdaya/ekosistem; habitat; keanekaragaman hayati
5 Existence Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existence) dari sebuah sumberdaya/ekosistem itu ada, terlepas dari apakah
ekosistem/sumberdaya tesebut dimanfaatkan atau tidak.
Terumbu karang yang terancam punah, endemic species
Sumber: Barton (1994)dalam Adrianto (2004)
Manfaat Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Total
Nilai Pemanfaatan Nilai non-Pemanfaatan
Warisan Manfaat Pilihan Keberadaan Manfaat Langsung
(30)
Dalam menilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, para ahli ekonomi sumberdaya membagi nilai tersebut ke dalam beberapa jenis. Secara umum nilai ekonomi sumberdaya dibagi kedalam nilai kegunaan atau pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non-use values atau passive values).
Use values adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa seperti menangkap ikan, menebang kayu, dan sebagainya. Kedalam nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use values secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct use value
(nilai kegunaan langsung) dan indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebagainya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk di dalam kategori indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem (misalnya mangrove).
Komponen kedua dari nilai ekonomi adalah non-use value yang merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Non-use value juga lebih bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam beberapa sub-class yakni: Existence Value, Bequest Value dan Option Value.
Existence value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat misalnya tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Sebagai contoh, seseorang misalnya mungkin mau membayar untuk menjaga keberadaan Taman Nasional Laut Pulau Seribu meskipun yang bersangkutan belum pernah mengunjunginya. Nilai eksistensi ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu sendiri.
Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang (mereka yang belum lahir). Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang. Jadi masyarakat misalnya mau membayar untuk memelihara Taman Nasional Laut sehingga generasi mendatang dapat menikmatinya.
Option value lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam di masa mendatang. Dengan kata lain option value juga merupakan nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) masih tersedia untuk masa yang akan datang. Option value, mengandung makna ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari SDA yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Jadi jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan SDA di masa mendatang, misalnya, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika kita tidak yakin, maka nilai option value kita akan positif. Misalnya saja kita mau membayar “premium” (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari SDA tetap terbuka.
(31)
Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan di Kabupaten Subang
Ekosistem mangrove yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Subang sejak tahun 1920 sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan dan pada tahun 1941 dikukuhkan seluas 5.328, 60 hektar. Sampai tahun 1958 mangrove hidup secara alami tanpa ada gangguan. Setelah itu, Perhutani melakukan penjualan kayu mangrove kepada rakyat dengan sistem pembayaran reges sampa tahun 1953. Penebangan yang tidak teratur terjadi pada tahun 1963 sampai tahun 1966. Formasi mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang terdiri dari arah laut ke darat didominasi oleh api-api (Avicenia marina), bakau (Rhizopora mucronata) dan pedada (Sonneratia acida) (Fahrudin 1996).
Pemanfaatan mangrove untuk kepentingan masyarakat dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari tambak (empang parit). Sistem tumpang sari tambak adalah suatu teknik yang menyelaraskan pengelolaan mangrove yang dalam pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan. Istilah lain dalam pemanfaatan mangrove yang didalamnya terdapat kegiatan perikanan adalah wanamina atau sering disebut dengan silvofishery.
Soewardi (1994) mendefinisikan wanamina atau sering disebut sebagai
silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep wanamina ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan Fitzgerald (1997); Sofiawan (2000); Suryadiputra dan Kurniasari (2006); Gattenlöhner et al. (2007), wanamina merupakan sebuah kombinasi antara kolam/tambak budidaya ikan dengan ekosistem mangrove secara berdampingan.
(32)
3.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai dengan Maret 2013 di Kecamatan Blanakan (Teluk Blanakan), Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan contoh dilaksanakan di Desa Cilamaya Girang (petak 2 PERHUTANI), Desa Blanakan (petak 6 dan 7 PERHUTANI), Desa Muara (petak 9 dan 10 PERHUTANI).
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan studi kasus (case study). Studi kasus adalah penelitian tentang status objek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan karakter. Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat. Tujuan dari studi kasus adalah memberikan gambaran mendetil tentang latar belakang dari sifat–sifat serta karakter-karakter yang ditemukan. Satuan kasus dalam penelitian ini adalah masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan, termasuk nelayan yang memanfaatkan mangrove, wisatawan, pengelola mangrove, dan masyarakat
(33)
umum. Data primer diambil dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan di lapangan (observasi). Observasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang lokasi, keadaan lingkungan kawasan ekosistem mangrove, dan kegiatan masyarakat yang memanfaatkan mangrove. Sedangkan data yang didapatkan dari wisatawan adalah biaya perjalanan, daerah asal dan Willingness to Pay (WTP). Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga yang terkait, seperti:
1. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang,
3. Kantor Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten,
4. Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG LINMAS) Kabupaten Subang,
5. Kantor Kecamatan Blanakan,
6. Kantor Kepala Desa Cilamaya Girang, Blanakan dan Desa Muara, dan 7. Literatur.
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan datasekunder. Data primer dikumpulkan melalui identifikasi (pengamatan lapang)dalam bentuk pengamatan dan pengambilan contoh serta wawancaralangsung dengan penduduk, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, danaparat pemerintah serta key person di sekitar lokasi studi. Jenis dan sumberdata yang di ambil dalam penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Sedangkan alur penelitian disajikan pada Gambar 5.
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data yang Diambil dalam Penelitian
Tujuan Komponen Data Jenis dan Sumber Data Primer Sekunder Mendeskripsikan
pengelolaan
ekosistem mangrove
Luas lahan dan penutupan mangrove
- BPKPH Pamanukan, Citra Satelit,
Literatur Tinjauan aspek biofisik mangrove
Kerapatan Citra Satelit
Kualitas air
Formasi mangrove
Dominasi mangrove
- Pengamatan,Literatur
Perikanan budidaya: Kawasan Minawana (Silvofishery)
Perikanan tangkap
BPKPH Pamanukan, DKP Kab. Subang,
KUD Mengidentifikasi
tingkat pemanfaatan yang diperoleh dari ekosistem mangrove
Jenis pemanfaatan:
Perikanan budidaya (tambak) Responden DKP Kab. Subang, KUD
Hasil sampingan dari tambak Responden DKP Kab. Subang, KUD
Mangrove (kayu bakar) Responden BPKPH Pamanukan, KUD
Perlindungan pantai alami (natural barier)
- Literatur
(34)
Tujuan Komponen Data Jenis dan Sumber Data Primer Sekunder Melakukan analisis
ekonomi terhadap ekosistem mangrove
Nilai manfaat langsung:
Produksi tambak
Produksi udang
Produksi belut
Produksi ular
Hasil mangrove
Responden DKP Kab. Subang, KUD, Literatur
Nilai manfaat tidak langsung:
Perlindungan pantai alami (natural barier)
- Literatur
Nursery ground, feeding ground, spawning ground
- DKP Kab. Subang, KUD
Pariwisata Responden Literatur Nilai manfaat pilihan
Biodiversity / Keanekaragaman hayati
- Literatur Nilai manfaat keberadaan Responden - Membuat alternatif
kebijakan bagi pengelolaan
ekosistem mangrove
Identifikasi stakeholders
Alternatif kebijakan
Responden DKP Kab. Subang, KUD, BPKPH
(35)
Jenis Pemanfaat
an
Luas lahan dan penutupan mangrove Analisis Citra Interpretasi dan Cek Lapangan Peta Penutuapan Lahan
Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Nilai Rupiah
Deskripsi Pengelolaan
Identifikasi Tingkat Pemanfaatan
Jumlah Pemanfaat:
- Petani tambak - Nelayan tangkap Perikanan Budidaya (Tambak) Perikanan Tangkap (DPI sekitar lokasi) Mangrove (Kayu Bakar) Wisata (Penangkaran Buaya) Ekosistem Mangrove
Teluk Blanakan, Kabupaten Subang Kelembagaan
Nilai Manfaat Langsung:
Hasil hutan mangrove
Produksi tambak
Produksi udang
Produksi belut
Produksi ular
Nilai manfaat tidak langsung:
Perlindungan pantai alami (natural barier)
Nursery ground, feeding ground, spawning ground
Pariwisata
Nilai manfaat pilihan: Biodiversity /
Keanekaragaman hayati
Nilai manfaat keberadaan
Productivity Method Replacement Cost
Productivity Method
Travel Cost Method
Benefit Transfer Willingness to Pay
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Net Present Value,
Gross Benefit Cost Ratio
Analisis Stakeholders Tinjauan aspek biofisik
mangrove
Keadaan perikanan di Wilayah Teluk Blanakan
(36)
Metode Pengambilan Sampel Sampel Responden
Populasi yang diteliti adalah sekumpulan orang dan/atau lembaga yang memanfaatkan sumberdaya lahan pesisir dengan sub populasinya adalah petani tambak dan nelayan tangkap. Berdasarkan karakteristik populasi tersebut maka teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah pengambilan sampel acak bertingkat (stratified random sampling) dengan dasar stratifikasinya adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Fahrudin 1996). Jumlah sampel yang diambil pada masing-masing strata diperoleh berdasarkan alokasi non proporsional. Banyaknya sub populasi dan jumlah contoh yang diambil dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Anggota Sub Populasi dan Banyaknya Sampel
Pembudidaya Jumlah Sampel
(10%)
Nelayan Pesisir
Jumlah Sampel (10%)
Desa Cilamaya Girang 40 4 80 8
Desa Blanakan 126 13 248 25
Desa Muara 104 10 283 29
Sub Total 27 62
Total 89
Sedangkan untuk pengambil manfaat lain seperti pengambil kayu bakar dan pengambil biota lain (kepiting, ular, belut dan burung), serta wisatawan, sampel diperoleh melalui accidental sampilng. Dimana jumlah sampel yang diperoleh bergantung dari sampel yang ditemui langsung dilapangan secara tidak sengaja.
Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan atau menjelaskan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) secara lengkap dan menyeluruh. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui nilai manfaat ekonomi keberadaan ekosistem mangrove dan tambak. Penentuan alternatif pengelolaan ekosistem mangrove menggunakan sintesa dari pendekatan analisis kuantitatif dan kualitatis.
Analisis Luas Mangrove
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Citra adalah gambaran kenampakan permukaan (dekat permukaan) bumi, dan yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik secara serentak dengan sensor pelarik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu pesawat udara maupun wahana ruang angkasa (sering disebut dengan satelit). Citra digital merupakan citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner. Berbagai jenis citra seperti yang dimaksud di atas contohnya: citra SPOT, Landsat MSS, Landsat TM, Landsat ETM, Citra Radar (contoh: SIR-B, Radarsat), NOAA, GMS, MOS,1, NIMBUS, HCMM, SEASAT, IKONOS dan lain-lain (Yales 2007dalam Kurniawan 2011).
(37)
Pengolahan citra digital merupakan serangkaian perlakuan terhadap citra menggunakan teknik-teknik yang dikenal dalam bidang penginderaan jauh (digitalimage processing), dimana didalamnya bisa saja terdapat proses restorasi citra (koreksi atmosferik dan koreksi geometrik), penajaman citra dan pemfilteran spasial, transformasi citra, klasifikasi citra, dan lain-lain serta output.
Selain data spasial dan data atribut yang dikumpulkan dari berbagai sektor terpadu, data penginderaan jauh dapat pula diintegrasikan dengan data SIG untuk dianalisis maupun dimanipulasi lebih lanjut. Data inderaja yang berasal dari satelit mempunyai beberapa keuntungan, antara lain liputannya yang sinoptik (luas) dan sistemik (Sutrisno et al. 1994 dalam Kurniawan 2011).
Pengolahan data dapat dikelompokan menjadi pra-pengolahan (preprocessing) dan pengolahan lanjutan termasuk analisis. Pra-pengolahan merupakan kegiatan koreksi citra secara geometris dan radiometric. Sehingga akan diperoleh data citra yang sudah memiliki posisi geografis yang sesuai dengan referensi dimuka bumi, serta data tersebut sudah mampu untuk di analisis dan di-overlaykan dengan peta vektor digital lainnya. Selanjutnya citra raster yang sudah terkoreksi diinterpretasi dan kemudian dilakukan pengecekan ke lapangan untuk membuktikan hasil interpretasi.
Wilayah mangrove akan didelinasi (digitation on screen) untuk mendapatkan bentuk vector dari wilayah mangrove dari citra satelit. Dari bentuk vector wilayah mangrove yang diperoleh dengan menggunakan teknik GIS dihitung secara otomatis luas wilayah mangrove tersebut.
Analisis Kerapatan Mangrove
Seiring dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, sehingga diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal ini memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat.Metode konvensional/trestrial (pengukuran langsung) dilapangan mempunyai banyak kelemahan, antara lain cakupan daerah yang terbatas dan pada daerah yang lebih luas membutuhkan lebih banyak biaya dan waktu. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data spatial menggunakan citra satelit menjadi alternatif yang dapat mendukung penyediaan kebutuhan data ini. Mangrove merupakan obyek yang bisa di indentifikasi dengan menggunakan teknologi ini.
Tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Pra prosesing citra satelit. Pada tahapan ini terdiri dari dua tahapan : koreksi radiometri dankoreksi geometri. Koreksi radiometri bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai. Koreksi geometri bertujuan untukmeletakkan posisi obyek di citra sesuai dengan posisi sebenarnya di lapangan. Koreksi geometri dilakukan dengan metode image to map, dengan peta RBI sebagai base map.
2. Penajaman citra, dilakukan dengan melakukan komposit pada citra sehingga didapatkan kenampakan citra secara visual lebih jelas, sehingga akan mudah dibedakan antara satu obyek dengan obyek lain. Untuk membuat area sampling (ROI) yang akan dipergunakan dalam klasifikasi tutupan lahan. Komposit yang dipergunakan adalah 453, karena komposit ini lebih menonjolkan obyek vegetasi mangrove.
3. Klasifikasi tutupan lahan untuk mendapatkan peta tutupan lahan. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terselia (supervise) dengan metode Maximum Likelihood. Metode ini membutuhkan area sampling (Region of Interest) yang didapatkan dari sampling lapang. Dalam penyusunan klasifikasi menggunakan
(38)
informasi nilai statistik berupa rerata dan simpangan baku tiap sampel, serta variasi (ragam) dan kovariansi. Rerata dan simpangan baku diperoleh pada saat pengambilan sampel (ROI). Persamaan yang digunakan dalam maximum likelihood adalah sebagai berikut :
D = ln(ac) - [0,5 ln(|Covc|) - [0,5(X - Mc)T(Covc-1)(X-Mc)] Dimana:
Dc = jarak yang diberi bobot
c = suatu kelas tertentu
X vektor piksel yang diklasifikasi
Mc = vektor rerata sampel klas c
aC = persentase probabilitas sembarang piksel untuk dapat menjadi anggota
klas c, di mana
Covc = matriks kovariansi piksel-piksel pada sampel klas c,
| Cov-c1| = determinan Covc (aljabar matriks)
Covc = inversi Covc (aljabar matriks), In = fungsi logaritma natural T
= fungsi transposisi (aljabar matriks)
4. Setelah didapatkan peta tutupan lahan, kemudian dilakukan pemisahan untuk obyek mangrove. Pemisahan obyek mangrove dengan tutupan lahan yang lain bertujuan untuk mendapatkan peta sebaran mangrove.
5. Analisis indeks vegetasi menggunakan yang dipergunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Analisis ini dipergunakan untuk mendapatkan kerapatan vegetasi, dengan formula sebagai berikut :
NDVI = Saluran Inframerah Dekat – Saluran Merah Saluran Inframerah Dekat + Saluran Merah
6. Klasifikasi kerapatan tajuk mangrove ditentukan berdasarkan rentang nilai NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan (2006). Pembagian klasifikasi kerapatan mangrove dengan menggunakan metode NDVI adalah sebagai berikut :
a) Kerapatan tajuk lebat (0,43 NDVI 1,00) b) Kerapatan tajuk sedang (0,33 NDVI 0,42) c) Kerapatan tajuk jarang (-1,00 NDVI 0,32)
7. Peta sebaran mangrove hasil klasifikasi tutupan lahan dilakukan overlay dengan peta kerapatan mangrove hasil analisis indeks vegetasi untuk mendapatkan peta kerapatan sebaran mangrove.
Penilaian Ekonomi Sumberdaya
Menurut Ruitenbeek (1991) dalam Fahrudin (1996), penilaian ekonomi sumberdaya lahan pesisir dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
A. Tahap Identifikasi Manfaat
Jenis manfaat yang diidentifikasi yaitu: 1. Manfaat Langsung (Direct Use Value)
Nilai manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung mangrove: (1) manfaat hasil hutan (kayu bakar), (2) manfaat penangkapan hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, dan belut, (3) manfaat satwa
(39)
(ular), dan (4) manfaat usaha tambak. Nilai manfaat langsung dirumuskan sebagai berikut:
∑ ..( )
Keterangan:
ML = Manfaat Langsung
i = Jenis pemanfaatan langsung ke – i n = Jumlah jenis pemanfaatan langsung
Nilai manfaat langsung diperoleh melalui pendekatan harga yang diterima nelayan dengan asumsi data tidak cukup untuk menduga kurva permintaan pemanfaatan langsung. Harga yang langsung diterima nelayan tersebut juga digunakan untuk meminimalisasi distorsi pasar. Secara matematis, manfaat langsung tersebut dihitung dengan rumus:
MLi = Pi x Qi ...(2) Keterangan:
MLi = Manfaat Langsung
Pi = Harga komoditas yang berlaku di pasar (Rp)
Qi = Jumlah komoditas yang diekstraksi selama satu tahun 2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value)
Nilai dari manfaat tidak langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara tidak langsung mangrove: tempat pembesaran (nursery ground), pemijahan (spawning ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi biota perairan serta manfaat mangrove sebagai penahan abrasi atau pemecah ombak (break water) (Rp/tahun). Nilai manfaat tidak langsung dirumuskan sebagai berikut:
MTL = MTL1+MTL2+MTL3 ...(3) Keterangan:
MTL = Manfaat Tidak Langsung MTL1 = Perlindungan Pantai
MTL2 = Manfaat nursery ground, spawning ground dan feeding ground
MTL3 = Pariwisata Perlindungan Pantai
Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi didekati dengan pembuatan beton pantai setara dengan fungsi sebagai penahan abrasi. Manfaat perlindungan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
(40)
Keterangan:
MTL1 = Manfaat Tidak langsung Perlindungan Pantai C = Biaya Rehabilitasi (Rp / ha)
L = Luas Wilayah Mangrove (ha)
Manfaat nursery ground, spawning ground dan feeding ground
Estimasi manfaat feeding ground juga menggunakan asumsi penyebaran manfaat yang sebanding dengan luas mangrove dan didekati dengan rumus:
MLi = Pi x Qi ...(5) Keterangan:
MLi = Manfaat Langsung
Pi = Harga komoditas yang berlaku di pasar (Rp)
Qi = Jumlah komoditas yang diekstraksi selama satu tahun
Komoditas perikanan yang dijadikan penduga adalah jenis–jenis ikan yang memanfaatkan area mangrove untuk mencari makan ataupun memijah. Dengan kata lain, komoditas tersebut tidak tinggal di area mangrove tersebut selama hidupnya.
Pariwisata
Manfaat pariwisata didekati dengan Travel Cost Method (TCM), yaitu metode yang pertama kali digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods) (Adrianto et al. 2004). Nilai ekonomi rekreasi diduga dengan menggunakan biaya perjalanan wisata (TCM), yang meliputi biaya transport pulang pergi, dan pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan wisata (konsumsi, parkir, tiket masuk, dan lain lain).
3. Manfaat Pilihan (Option Value)
Manfaat pilihan lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan olehmasyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam di masa yang akan datang (Fauzi 2000). Manfaat pilihan untuk mangrove biasanyamenggunakan metode benefit transfer, yaitu dengan cara menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) lalu benefit
tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan.
Manfaat pilihan didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove yaitu US$ 1,500/km2/tahun atau US$ 15/Ha/tahun (Ruitenbeek 1991 dalam Fahrudin 1996). Secara matematis, manfaat pilihan dirumuskan sebagai:
MP = Nb x L ... ... ...(6)
Keterangan:
MP = Manfaat Pilihan
Nb = Nilai Keanekaragaman Hayati (Rp/ha) L = Luas Wilayah Mangrove (ha)
(41)
Nilai sekarang dari manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar antara US$ dengan rupiah sehingga nilai sekarang dari manfaat pilihan hasil perhitungan yaitu Rp. 144,195 per hektar per tahun.
4. Manfaat Keberadaan
Manfaat keberadaan adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan sumberdaya setelah manfaat lainnya dihilangkan dari analisis sehingga nilainya merupakan nilai ekonomis keberadaan suatu komponen sumberdaya. Manfaat keberadaan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
∑
Keterangan:
MK = Manfaat Keberadaan
MKi = Manfaat Keberadaan dari Responden ke – i N = Total Responden
B. Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi
Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Nilai Pasar
Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komponen sumberdaya yang langsung dapat diperdagangkan, misalnya kayu mangrove dan hasil tambak. Cara ini digunakan untuk menilai manfaat langsung dari penggunaan suatu komponen sumberdaya.
2. Harga Tidak Langsung
Pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan manfaat tidak langsung suatu komponen sumberdaya (market failure) karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen sumberdaya tersebut (market distortion) atau komponen sumberdaya tersebut belum memiliki pasar (non-existence of market). Cara ini digunakan untuk menilai manfaat fisik dan manfaat biologi.
3. Contigen Valuation Method
Pendekatan ini digunakan untuk menilai manfaat eksistensi suatu komponen sumberdaya. Cara ini dipakai untuk memperoleh nilai eksistensi mangrove dari responden terpilih.
4. Nilai Ekonomi Total
Nilai Manfaat Total (NMT) atau Nilai Ekonomi Total merupakan penjumlahan dari nilai pemanfaatan dan nilai bukan pemanfaatan mangrove yang telah diidentifikasi dan dikuantifikasikan. NMT dirumuskan sebagai berikut:
NMT = ML+MTL+MP+MK ...(8)
Keterangan:
NMT = Nilai Manfaat Total
ML = Manfaat Langsung (Direct Use Value)
MTL = Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) MP = Manfaat Pilihan (Option Value)
(42)
Teknik valuasi sumberdaya yang menggunakan nilai ekonomi total ini berdasarkan pada asumsi (Barton 1994 dalam Fahrudin 1996):
Agen ekonomi yang terkena pengaruh tidak mengkompensasi perubahan produktifitas
Perubahan output proyek dan pengaruh lingkungan sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi harga pasar.
C. Penilaian Alternatif Skenario Pengelolaan
Berdasarkan nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove tersebut, digunakan analisis terhadap beberapa alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove. Langkah ini dilakukan setelah penilaian masing-masing komponen sumberdaya secara terpisah. Kemudian dibuat beberapa alternatif pemanfaatan sumberdaya yang selanjutnya dinilai secara menyeluruh dari masing-masing alternatif tersebut, yaitu:
1. Kondisi pengelolaan saat ini (PERHUTANI) 2. Kondisi pengelolaan saat ini (Analisis Citra) 3. Kondisi pengelolaan dengan 80% mangrove 4. Kondisi pengelolaan dengan 100% mangrove 5. Kondisi pengelolaan dengan 100% tambak 6. Kondisi pengelolaan dengan 20% mangrove
Untuk menentukan skenario pengelolaan yang paling tepat bagi kawasan mangrove di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, digunakan pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA). CBA dapat digunakan untuk mengestimasi nilai sekarang (Present Value) dan Gross Benefit Cost Ratio (Gross – BCR) yang paling cocok untuk masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan mangrove. Kriteria yang digunakan dalam Cost Benefit Analysis adalah (Kadariah et al. 1999):
1. Net Present Value (NPV)
Secara matematis, NPV dirumuskan sebagai berikut :
∑
Keterangan:
Bt = Seluruh manfaat mangrove dalam interval waktu tertentu
Ct = Seluruh biaya pemanfaatan mangrove dalam interval waktu tertentu n = Umur ekonomis proyek
i = Social Opportunity Cost of Capital yang dianggap sebagai Social Discount Rate
t = Interval waktu
2. Gross Benefit Cost Ratio (Gross – BCR)
Gross – BCR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
∑
(1)
a. Hasil Tambak (kiri) dan Proses Pensortiran Hasil Tambak (kanan)
(2)
90
(3)
d. Hasil Sampingan Tambak (Udang Harian)
(4)
92
f. Hasil Tangkapan Kepiting
(5)
h. Pengambilan Mangrove sebagai Kayu Bakar (Transportasi: Motor)
(6)
94
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 25 Maret 1988 dari ayah Ir. H. Akmal Indra dan ibu Hj. Yatti Yuniati, S.Sos. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara dengan kakak bernama Malta Hastinova, S.sas dan adik bernama Yandra Azhari, SKpm.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Panaragan 1 Bogor pada tahun 2000 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bogor.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran, Bandung dengan jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan ke program pascasarjana IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Penulis bekerja pada Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2011.