. Pengaruh Penambahan Nanopartikel Zno Dan Etilen Glikol Pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam Dari Tapioka Dan Ampok Jagung

PENGARUH PENAMBAHAN NANOPARTIKEL ZnO DAN
ETILEN GLIKOL PADA SIFAT FUNGSIONAL KEMASAN
BIODEGRADABLE FOAM DARI TAPIOKA DAN AMPOK
JAGUNG

RISMA RAHMATUNISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Penambahan Nanopartikel
ZnO dan Etilen Glikol pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam dari Tapioka
dan Ampok Jagung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, April 2015

Risma Rahmatunisa
NIM F251124131

RINGKASAN
RISMA RAHMATUNISA. Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO dan Etilen
Glikol pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam dari Tapioka dan
Ampok Jagung. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, NUGRAHA E. SUYATMA,
dan EVI S. IRIANI.
Kemasan plastik seperti syrofoam banyak digunakan untuk mengemas
produk pangan. Styrofoam mampu mempertahankan makanan yang panas ataupun
dingin, nyaman saat di pegang, mempertahankan keutuhan dan kesegaran pangan
yang dikemas, dan inert terhadap keasaman pangan. Akan tetapi, monomer stiren
dapat membahayakan manusia jika bermigrasi kedalam pangan. Selain itu, karena
styrofoam terbuat dari polistirena yang sulit terurai, sampah styrofoam dapat
menyebabkan masalah pada lingkungan. Biodegradable foam merupakan salah
satu alternatif kemasan pengganti styrofoam karena selain aman terhadap

kesehatan manusia juga ramah lingkungan. Bahan yang banyak digunakan pada
pembuatan biodegradable foam adalah pati karena sifat biodegrabilitas yang
tinggi, murah, densitas rendah, dan tidak toksik. Akan tetapi, biodegraadable
foam yang terbentuk dari pati murni biasanya tidak memberikan sifat fisik dan
sifat mekanik yang baik dan mudah larut air. Untuk meningkatkan sifat fungsional
dari kemasan biodegradable foam berbasis pati dapat dilakukan dengan
penambahan pemlastis, polimer, serat, dan tambahan lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan biodegradable foam dari
komposit tapioka, serat ampok jagung, polimer polivinil alkohol (PVA),
nanopartikel seng oksida dan pemlastis etilen glikol (EG). Serat ampok jagung,
PVA, nanopartikel seng oksida, dan pemlastis EG diharapkan dapat memperbaiki
sifat fungsional seperti sifat fisik, mekanik, dan termal serta aktivitas antimikroba
dari kemasaan biodegradable foam berbasis tapioka. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan nanopartikel seng
oksida dan pemlastis EG terhadap sifat fisik, mekanik, dan termal, serta aktivitas
antimikroba dari kemasan biodegradable foam yang dihasilkan.
Penelitian telah dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap
faktorial dan dievaluasi dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut Duncan
pada α = 5%. Terdapat dua variabel yang digunakan yaitu konsentrasi
penambahan nanopartikel seng oksida dan penambahan pemlastis EG.

Konsentrasi nanopartikel seng oksida terdiri dari 3 taraf yaitu 0, 1, dan 2% dan
penambahan pemlastis EG yang terdiri atas 2 taraf yaitu 0 dan 5%.
Biodegradable foam tapioka dibuat dengan proses thermopressing. Efek
dari nanopartikel seng oksida dan pemlastis EG terhadap sifat fungsional
biodegradable foam diujikan pada struktur morfologi, kristalinitas, sifat termal,
densitas, kadar air, daya serap air, parameter warna, sifat mekanik, dan aktivitas
antimikroba. Hasil penelitian pada sifat yang diuji menunjukkan bahwa
penambahan seng oksida dapat meningkatkan kuat tarik, densitas, kadar air,
transisi gelas (Tg), transisi leleh (Tm), kristalinitas pada konsentrasi 2%, nilai
°hue, dan daya serap air. Namun penambahan nanopartikel seng oksida juga dapat
menurunkan ukuran pori sel, kuat tekan, nilai CIE L*, dan ΔE*, serta dapat
menurunkan pertumbuhan koloni bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus. Penambahan pemlastis EG dapat meningkatkan ukuran pori sel, Tm, nilai

ΔE*, dan kadar air, akan tetapi pemlastis EG juga dapat menurunkan kuat tarik,
kuat tekan, densitas, nilai °hue, Tg, dan daya serap air. Perlakuan terbaik dari
semua foam yang diujikan adalah Z2P0 dengan nanopartikel seng oksida sebesar 2
% tanpa penambahan EG. Berdasarkan hasil pengujian tersebut biodegradable
foam tapioka dengan pengisi nanopartikel seng oksida dan pemlastis EG ini hanya
dapat diaplikasikan untuk mengemas pangan dengan kadar air rendah (kering) dan

berpotensi sebagai kemasan antimikroba.
Kata kunci : biodegradable foam, nanokomposit, tapioka, ampok jagung,
nanopartikel ZnO, pemlatis etilen glikol.

SUMMARY
RISMA RAHMATUNISA. Effects of ZnO Nanoparticles and Ethylene Glycol
Incorporation on the Functional Packaging Properties of Biodegradable Foam
Made from Tapiocca and Corn Hominy Fibers. Supervised by RIZAL SYARIEF,
NUGRAHA E. SUYATMA, and EVI S. IRIANI.
Styrofoam is a kind of plastic packaging, which is widely used for food
container. Styrofoam is able to maintain hot or cold food products, comfortable to
handle, able to maintain the freshness and the integrity of packaged food, and also
resistance to acid food. However, styrene monomer may endanger human health
when migrates into food. Moreover, because of styrofoam made from polystyrene
so it is difficult to be decomposed and poses environmental problem.
Biodegradable foam is a good alternative packaging to replace styrofoam because
it is safe and can be degraded easily in the environment. Starch is chosen as the
main material of biodegradable foam due to its high biodegrability, cheapness,
and non toxicity. However, biodegradable foam which made from pure starch
usually has bad physical and mechanical properties, and also water sensitivity. To

improve the properties of starch-based biodegradable foam, it can be done with
the addition of other polymers, fibers, and additives.
This research aimed to developed biodegradable foam produced from
tapiocca, corn hominy fibers, polymer polyvinyl alcohol (PVA), zinc oxide
nanoparticles (ZnONP), and plasticizer ethylene glicol (EG). ZnO-NPs and
plasticizer EG were expected to be able to improve functional packaging
properties of biodegradable foam made from starch and corn hominy fibers such
as physical, mechanical, and thermal properties, and provide antimicrobial activity
of the obtained biodegradable foam.
A completely randomized factorial design was used in this research and
the data were analyzed by using ANOVA followed by Duncan test at α=5%.
There were two factors studied, namely ZnONP concentration at the amount of 0,
1, and 2 % (w/w) and EG concentration at the level of 0 and 5% (w/w).
Biodegadable foam was prepared by thermopressing process. The effects of
ZnONP and plasticizer EG incorporation on the functional properties of the
biodegradable foam were investigated in terms of their morphological structure,
crystallinity, thermal properties, density, moisture content, water absorption, color
parameters, mechanical properties, and antimicrobial properties. The results
showed that the addition of ZnONP could increase tensile strength, density,
moisture content, water absorption, glass transition (Tg), melting transition (Tm),

crystallinity at the amount of 2% (w/w) but decreased cell pores size, compression
strength, CIE L*, and ΔE* values. The use of ZnONPs provided antibacterial
activity against Escherichia coli and Staphylococcus aureus. While the addition of
plasticizer EG coud increase cell pores size , Tm, ΔE* values, and moisture
content but decreased density, Tg, °Hue values, water absorption, tensile and
compression strength. The best results was achieved by using 2% ZnONP without
EG, i.e. Z2P0 sample. This research revealed that tapioca and corn hominy - based
biodegradable foam containing ZnONP was potential as antimicrobial packaging
mainly for dry food with low moisture content.

Keywords: biodegradable foam, nanocomposite, tapioca, corn hominy, zinc oxide
nanoparticles, plasticizer ethylene glicol.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB


Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PENAMBAHAN NANOPARTIKEL ZnO DAN
ETILEN GLIKOL PADA SIFAT FUNGSIONAL KEMASAN
BIODEGRADABLE FOAM DARI TAPIOKA DAN AMPOK
JAGUNG

RISMA RAHMATUNISA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr.Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah
kemasan biodegradable, dengan judul Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO
dan Etilen Glikol pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam dari
Tapioka dan Ampok Jagung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir Rizal Syarief,
DESS, Bapak Dr.Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA, dan Ibu Dr.Ir. Evi Savitri
Iriani, M.Si selaku pembimbing dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen yang telah membiayai penelitian. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada semua staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen, yang telah membantu selama penelitian. Terimakasih kepada semua
rekan dan staf Ilmu Pangan atas saran dan bantuannya. Ungkapan terima kasih

juga disampaikan kepada Bapak, Mamah, Dede, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

Risma Rahmatunisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Perumusan Masalah
Hipotesis

vi

vi
vi
1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tapioka
Ampok Jagung
Nanopartikel Seng Oksida
Antimikroba
Nanokomposit
Biodegradable Foam
Biodegradable Foam Berbasis Tapioka

3
3

5
5
7
7
9
11

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Percobaan

12
12
12
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Karakteristik Biodegradable Foam Tapioka

20
20
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

40
40
41
41
47

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penelitian pembuatan biodegradable foam
Formulasi bahan pembuatan biodegradable foam
Hasil analisis proksimat ampok dan tapioka
Hasil analisis aktivitas antimikroba
Hasil analisis parameter warna biodegradable foam
Hasil analisis kadar air biodegradable foam
Hasil analisis densitas biodegradable foam
Korelasi antara densitas dengan kuat tekan, kuat tarik, daya serap air,
dan kadar air
9. Persentase kristalinitas dan amorf pada biodegradable foam
10. Korelasi antara kristalinitas dengan kuat tekan, kuat tarik, daya serap
air, kadar air, dan Tm
11. Hasil analisis DSC biodegradable foam
12. Hasil analisis kuat tarik dan kuat tekan biodegradable foam
13. Hasil analisis antimikroba pada biodegradable foam

9
18
20
22
24
25
28
28
30
30
36
38
40

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Diagram alir proses penggilingan jagung
Diagram alir tahapan penelitian biodegradable foam
Diagram alir pembuatan biodegradable foam
Distribusi diameter nanopartikel seng oksida
Hasil SEM nanopartikel seng oksida
Diagram chromacity biodegradable foam
Penampakan visual biodegradable foam
Hasil analisis daya serap air biodegradable foam setelah mencapai
kesetimbangan
9. Pola XRD biodegradable foam
10. Hasil SEM biodegradable foam
11. Hasil SEM biodegradable foam secara melintang
12. Hasil SEM ZnONP dalam biodegradable foam
13. Hasil analisis DSC biodegradable foam

5
16
17
21
21
23
24
27
30
33
34
35
37

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Hasil analisa statistik warna °Hue foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik ΔE * foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik nilai x foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik nilai y foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik kadar air foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik daya serap air foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik densitas foam dengan uji univariate
Hasil analisa statistik kuat tarik foam dengan uji univariate

47
49
50
51
52
53
54
56

9. Hasil analisa statistik kuat tekan foam dengan uji univariate
58
10. Hasil analisa statistik aktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli
pada foam dengan uji univariate
60
11. Hasil analisa statistik aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus
aureus pada foam dengan uji univariate
61

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemasan plastik banyak digunakan secara luas untuk mengemas,
menyimpan, dan membungkus makanan dan minuman. Salah satu kemasan
plastik yang banyak digunakan adalah styrofoam. Styrofoam banyak digunakan
untuk mengemas produk makanan, baik makanan siap saji, segar, maupun siap
olah. Styrofoam mampu mempertahankan makanan yang panas ataupun dingin,
nyaman saat di pegang, mempertahankan keutuhan dan kesegaran pangan yang
dikemas, dan inert terhadap keasaman pangan (Nurhajati dan Indrajati 2011).
Styrofoam, terutama yang tidak terdaftar dan dilaminasi, mengandung resiko
bahaya terhadap kesehatan manusia ketika disimpan atau dipanaskan karena dapat
melepaskan karsinogen stiren pada makanan. Migrasi dari stiren pada pangan
dapat menyebabkan gangguan sistem syaraf dan kanker. Selain itu styrofoam juga
sulit untuk terurai karena tidak mudah membusuk dan tidak dapat menyerap air
sehingga dapat menyebabkan masalah lingkungan (BPOM 2008, Khalid et al.
2012).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap plastik yang berbahan dasar
turunan minyak bumi, saat ini banyak dilakukan pengembangan produk bio-based
dan teknologi inovatif lainnya. Produk bio-based merupakan produk turunan dari
sumber yang dapat diperbaharui dan bersifat biodegrable (stabil, tapi dapat
terdegradasi) sehingga tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (Qiu et al.
2013). Salah satu produk bio-based yang dikembangkan adalah kemasan
biodegrdable foam. Kemasan biodegradable foam merupakan kemasan alternatif
pengganti styrofoam. Kemasan biodegradable harus dapat memenuhi standar uji
dan regulasi pemerintah. Berdasarkan UU No 18 tahun 2008 mengenai
pengelolaan sampah, pasal 14,15,16 tentang produsen kemasan harus menarik
kembali kemasannya jika kemasan itu tak bisa diurai oleh alam (biodegradable)
(Cornelia 2013).
Bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan biodegradable foam
adalah pati karena sifat biodegrabilitas yang tinggi, murah, densitas rendah, tidak
toksik dan ketersediaannya berlimpah, akan tetapi biodegraadable foam yang
terbentuk dari pati murni biasanya tidak memberikan sifat fisik dan sifat mekanik
yang baik dan mudah larut air. Untuk memperbaiki sifat-sifat biodegraadable
foam dari pati bisa dilakukan dengan memodifikasi pati, penambahan pemlastis,
polimer, serat, dan beberapa bahan tambahan lainnya (Fang & Hanna 2001,
Salgado et al. 2008, Kaisangsri et al. 2012).
Ampok adalah salah satu produk samping industri penggilingan jagung yang
terdiri dari pericarp, tipcap, lembaga dan sebagian endosperma (Iriani 2013).
Ampok merupakan salah satu serat yang bisa dikompositkan dengan pati pada
pembuatan biodegradable foam. Penambahan serat dapat menurunkan daya serap
air dan kadar air, meningkatkan sifat mekanik, densitas rendah, menurunkan
jumlah pori sel, dan meningkatkan kristalinitas (Salgado et al. 2008, Warsiki et al.
2012, Kaisangsri et al. 2014, Vercelheze et al. 2012, Boonchaisuriya &
Chungsiriporn 2011).

2
Selain ampok, polivinil alkohol (PVA), nanopartikel seng oksida (ZnO) dan
pemlastis etilen glikol (EG) dapat juga ditambahkan pada pembuatan
biodegradable foam berbasis pati. Penambahan PVA dapat menurunkan daya
serap air karena bersifat kristalin, kompatibel dengan pati, meningkatkan sifat
mekanik dan barier (Boonchaisuriya & Chungsiriporn 2011, Iriani 2013,
Kaisangsri et al. 2014, Rapa et al. 2014, Debiagi et al. 2011, Warsiki et al. 2012).
Penambahan Nanopartikel seng oksida dapat meningkatkan sifat kemasan seperti
kekuatan mekanik, sifat barier, dan stabilitas. Selain itu, meningkatkan aktivitas
antimikroba pada kemasan sehingga berpotensi sebagai kemasan antimikroba
(Espitia et al. 2012). Nanopartikel karena ukurannya lebih kecil dari partikel
biasa, memiliki nilai rasio luas permukaan dan volume yang lebih besar sehingga
secara kimia dapat mengubah sifat fisik, meningkatkan reaktivitas permukaan,
sifat termal, mekanik, dan elektrik yang unik, stabil terhadap panas,. Nanopartikel
seng oksida dapat ditambahkan pada beberapa polimer untuk memproduksi
kemasan nanokomposit antimikroba (Kanmani & Rhim 2014, Wang et al. 2014).
Penambahan dari EG memudahkan pencetakan, dan bersifat mudah menguap
sehingga produk biodegradable foam yang dihasilkan kaku. Penggunaan
pemlastis dapat menginduksi peningkatan mobilitas pada rantai pati dan elongasi,
menurunkan kuat tarik, dan menurunkan transisi gelas (Tg) ( Tajan et al. 2008,
Iriani et al. 2012).
Nanopartikel seng oksida memiliki rasio luas permukaan dan volume yang
besar, secara kimia dapat mengubah sifat fisik, meningkatkan reaktivitas
permukaan, sifat termal, mekanik, dan elektrik yang unik, stabil terhadap panas,
dan secara umum aman (GRAS) menurut FDA. Nanopartikel seng oksida dapat
ditambahkan pada beberapa polimer untuk memproduksi kemasan nanokomposit
antimikroba (Kanmani & Rhim 2014).
Pada penelitian ini dikembangkan pembuatan biodegradable foam dari
komposit tepung tapioka, ampok jagung, dan nanopartikel seng oksida.
Penambahan serat ampok, nanopartikel seng oksida, polimer PVA, dan EG
diharapkan dapat memperbaiki kelemahan dari biodegradable foam berbasis
tapioka sehingga dihasilkan biodegradable foam yang memiliki sifat fungsional
yang baik.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan proporsi
komposit terbaik pada pembuatan biodegradable foam tapioka, ampok jagung,
nanopartikel seng oksida, polimer polivinil alkohol dan pemlastis etilen glikol
serta untuk memperbaiki sifat fungsional dari kemasan biodegradable foam
berbasis tapioka dengan penambahan serat ampok, nanopartikel seng oksida,
polimer polivinil alkohol dan pemlastis etilen glikol. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan nanopartikel seng
oksida dan pemlastis etilen glikol terhadap sifat fungsional seperti sifat fisik,
mekanik, dan termal, dan aktivitas antimikroba kemasan biodegradable foam
yang dihasilkan.

3
Manfaat Penelitian
Dapat diperoleh alternatif kemasan biodegradable foam berbasis tapioka
dengan pengisi ampok jagung, polivinil alkohol, nanopartikel seng oksida, dan
pemlastis etilen glikol yang aman bagi kesehatan manusia dan ramah lingkungan
dengan sifat fisik, mekanik dan termal yang baik, serta memiliki aktivitas
antimikroba antimikroba.

Perumusan Masalah
Styrofoam merupakan kemasan yang cukup banyak mencemari lingkungan
karena tidak bisa terurai dalam tanah sehingga akan menumpuk dalam waktu yang
lama. Selain itu styrofoam mengandung komponen stiren yang jika kontak dan
bermigrasi dengan pangan akan menimbukan bahaya pada kesehatan manusia
karena bersifat karsinogenik. tapioka merupakan salah satu polimer alami yang
dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat biodegradable foam sebagai
pengganti styrofoam yang aman dan ramah lingkungan. Akan tetapi
biodegradable foam yang terbuat dari pati murni memiliki sifat fisik dan mekanik
yang tidak baik serta larut air. Untuk memperbaiki agar foam tahan air dan
memiliki sifat fisik, mekanik, dan termal yang baik, serta memiliki aktivitas
antimikroba dapat dikompositkan dengan serat ampok, nanopatikel seng oksida,
polimer PVA dan EG.
Hipotesis
1. Penambahan nanopartikel seng oksida dapat meningkatkan sifat fisik,
mekanik, dan termal, serta aktivitas antimikroba dari kemasan biodegradable
foam yang dihasilkan.
2. Penambahan pemlastis etilen glikol dapat meningkatkan sifat fisik, mekanik,
dan termal dari kemasan biodegradable foam yang dihasilkan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tapioka
Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan
dihaluskan. Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong yang memiliki
peluang pasar yang luas. Tepung tapioka yang dibuat dari singkong putih maupun
kuning akan menghasilkan tepung yang berwarna putih lembut dan licin.
Perbedaan kualitas antara keduanya disebabkan oleh proses pembuatannya
(derajat keputihan, tingkat kehalusan, kadar air yang tersisa, dan kandungan benda
asing) (Suprapti 2005).
Tapioka adalah salah satu contoh hasil ekstraksi pati yang banyak
digunakan secara komersial di industri pangan dan non-pangan. Pati merupakan
cadangan karbohidrat yang banyak ditemukan di tanaman dan merupakan

4
komponen karbohidrat terbesar kedua setelah selulosa. Pati tersimpan di dalam
organ tanaman dalam bentuk granula. Karena sifat fungsionalnya, pati banyak
digunakan sebagai ingredien dalam proses pengolahan pangan untuk memberikan
karakteristik produk pangan yang diinginkan. Pati dapat berperan sebagai
pengental (thickening agent), penstabil (stabillizing agent), pembentuk gel
(gelling agent), dan pembentuk film (film foaming). Pati juga dapat menjadi bahan
baku dalam proses produksi glukosa, sirup glukosa atau maltodekstrin (Kusnandar
2010).
Pati dihasilkan oleh tanaman dibagian plastida dan tersimpan di berbagai
organ tanaman sebagai cadangan makanan, misalnya di batang, buah, akar, dan
umbi. Kandungan pati tapioka mencapai 90% dan tertinggi diantara sumber pati
lainnya. Pati terdapat di granula, granula pati berwarna putih, mengkilap, tidak
berbau dan tidak berasa (Kusnandar 2010).
Granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri atas unit kristal dan unit
amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin,
sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat di daerah amorf. Amilosa adalah
polimer linier dari α-D-glukosa atau α-D-glukopiranosa yang terhubung satu sama
lain melalui ikatan glikosidik α(1-4). Amilopektin juga merupakan polimer α-Dglukosa yang memiliki percabangan, dimana terdapat 2 jenis ikatan glikosidik,
yaitu ikatan glikosidik α(1-4) yang membentuk stuktur linier dan α(1-6) yang
membentuk titik-titik percabangan (Kusnandar 2010).
Dengan monomer penyusun yang lebih besar, amilopektin membentuk
polimer yang lebih besar dibandingkan dengan amilosa. Rasio amilosa dan
amilopekti berbeda-beda untuk setiap sumber pati, tetapi umumnya kandungan
amilopektin lebih besar dibandingkan dengan amilosa. Rasio amilosa dan
amilopektin akan berpengaruh pada kemampuan pasta pati dalam membentuk gel,
mengentalkan, atau membentuk film. Ikatan hidrogen antarmolekul penyusun pati
berperan dalam menentukan kekompakan gel atau film.
Struktur amilosa yang linier menyebabkan untuk lebih mudah berikatan
dengan sesama sendiri melalui ikatan hidrogen dibandingkan dengan amilopektin.
Oleh karena itu kekuatan gel atau pati lebih banyak ditentukan oleh kandungan
amilosanya. Semakin tinggi kandungan amilosanya maka kemampuan
membentuk gel dan lapisan film akan semakin besar. Sebaliknya amilopektin
dengan struktur yang sangat besar membentuk ikatan hidrogen yang relatif lemah.
Pati dengan amilopektin yang tinggi cocok digunakan sebagai pengental
(thickening agent) (Kusnandar 2010).
Tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan kemasan
foam dan film. Chillo et al. (2008) dan Vásconez et al. (2009) melakukan
penelitian pembuatan edible film yang berasal dari tapioka dan kitosan. Iriani
(2013) membuat biodegradable foam tapioka dikompositkan dengan selulosa
yang berasal dari ampok jagung. Penelitian pembuatan biodegradable foam lain
yang dilakukan oleh Vercelheze et al. (2012) dengan mengkompositkan tapioka
dengan serat ampas tebu dan montmorillonite.

5
Ampok Jagung
Ampok jagung merupakan salah satu produk samping industri penggilingan
jagung yang terdiri dari pericarp, tipcap, lembaga dan sebagian endosperm (Iriani
2013). Ampok memiliki kandungan pati sebesar 56,9%, serat 25,2%, protein
11,1%, dan lemak 5,3%. Diagram alir proses penggilingan jagung dapat dilihat
pada Gambar 1 (Sharma et al. 2008). Ampok dapat digunakan sebagai pakan
ternak karena kandungan gizinya yang tinggi dan harganya murah, sebagai cereal
breakfast atau sumber dietary fiber karena kandungan seratnya yang tinggi (Iriani
2013). Selain itu, ampok karena mengandung kadar pati yang tinggi dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk produksi etanol (Sharma et al. 2008).
Kandungan serat yang ada pada ampok terutama berasal dari bagian pericarp dan
tipcap. Ampok yang masih mengandung karbohidrat, protein berupa zein dan
serat juga punya potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan
bioplastik dan biofoam pengganti plastik dan styrofoam yang bersumber dari
minyak bumi (Iriani 2013). Proses penggilingan jagung dapat dilihat pada Gambar
1.
Jagung
pelunakan

Penghancuran
germ

Pengeringan/
pendinginan

shifter

Serpihan grits

Aspirator
Grits (ukuran
kecil)

Roller mill

Air
panas/uap
Pengeringan/
pendinginan

Bubur jagung

shifter

Tepung jagung

Aspirator

Meja
gravitasi

Ekstraksi
minyak
jagung

Minyak jagung

Hammer mill

Gambar 1 Diagram alir proses penggilingan jagung (Sharma et al. 2008)
Nanopartikel Seng Oksida
Nanopartikel merupakan partikel yang berukuran nano. Nanopartikel
mendapat perhatian lebih karena sifat barunya yang berbeda dari material yang
berukuran besar. Salah satu sifat barunya adalah adanya aktivitas antimikroba.
Hasil penelitian menunjukkan adanya aktivitas antimikroba dari partikel
anorganik metal oksida salah satunya adalah seng oksida. Agen antimikroba

ampok

6
organik lebih tidak stabil pada suhu dan tekanan tinggi dibandingkan dengan agen
antimikroba anorganik (Narayanan et al. 2012).
Nanopartikel seng oksida (ZnO) memiliki rasio luas permukaan dan volume
yang besar, secara kimia dapat mengubah sifat fisik, meningkatkan reaktivitas
permukaan, sifat termal, mekanik, dan elektrik yang unik, stabil terhadap panas,
dan secara umum aman (GRAS) menurut FDA. Nanopartikel seng oksida dapat
ditambahkan pada beberapa polimer untuk memproduksi kemasan nanokomposit
antimikroba (Kanmani & Rhim 2014).
Nanopartikel seng oksida dapat disintesis dengan berbagai cara seperti
proses MCP (mechanochemichal processing), proses PVS (physical vapor
synthesis), teknik kopresipitasi, dekomposisi microwave, proses hidrotermal,
metode sol-gel, dan metode wet chemical (Espitia et al. 2012).
Nanopartikel seng oksida dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti
industri karet, keramik, kemasan, pigmen dan coating, kosmetik, medikal, katalis,
desulfurisasi, pupuk, makanan ternak, suplemen, dan sebagainya (Moezzi et al.
2012). Aplikasi utama nanopartikel seng oksida pada kemasan pangan adalah
dapat meningkatkan aktivitas antimikroba, karena adanya nanopartikel seng
oksida pada matriks polimer kemasan dapat berinteraksi dengan pangan dan
memiliki peranan yang dinamis untuk pengawetan pangan. nanopartikel seng
oksida mempunyai peranan penting untuk mereduksi resiko kontaminasi patogen
dan meningkatkan umur simpan dari pangan. Penambahan nanopartikel seng
oksida juga dapat meningkatkan sifat kemasan seperti kekuatan mekanik, sifat
barier, dan stabilitas. Mekanisme aksi dari nanopartikel seng oksida masih belum
diketahui secara pasti tetapi aktivitas antimikroba dari nanopartikel dihubungkan
dengan beberapa mekanisme termasuk pelepasan ion antimikroba. Interaksi
nanopartikel dengan mikroorganisme, kemudian merusak intregritas sel bakteri
dan pembentukan ROS (reactive oxygen species) oleh efek cahaya radiasi (Espitia
et al. 2012).
Nanopartikel seng oksida secara umum dikategorikan sebagai material non
toksik. Nanopartikel seng oksida tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata dan
tidak ada bukti karsinogenik, genotiksisitas, dan toksisitas reproduksi pada
manusia, tetapi yang berbahaya jika dalam bentuk bubuk terhirup atau tertelan
karena dapat menyebabkan kondisi yang disebut zinc fever atau zinc argue
(Moezzi et al. 2012).
Nanopartikel seng oksida banyak digunakan sebagai pengisi nano pada
kemasan pangan. Pengisi nano mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sifat
mekanik, termal, dan barrier, serta menunjukkan fungsi lain yang diinginkan dan
dan aplikasi dalam kemasan pangan seperti agen antimikroba, biosensor, dan
oxygen scavengers (Othman 2014). Pada penelitian pembuatan kemasan film
yang berasal dari agar, karagenan, dan karboksimetil selulosa (CMC),
penambahan nanopartikel seng oksida sebagai pengisi nano dapat meningkatkan
warna, UV barrier, kadar air, hidrofobisitas, elongasi, dan stabilitas termal, serta
dapat menurunkan permeabilitas uap air, kuat tarik, dan modulus elastis (Kanmani
& Rhim 2014).
Nafchi et al. (2013) melakukan penelitian pembuatan
bionanokomposit yang berasal dari pati sagu dan gelatin bovin dengan nanorod
seng oksida sebagai pengisi nano ditemukan penurunan permeabilitas oksigen dan
peningkatan sifat mekanik. Peningkatan kandungan nanorod seng oksida
berhubungan dengan penurunan kadar air, kapasitas daya serap air, dan

7
penghambatan absorpsi UV. Rathnayake et al. (2014) melakukan penelitian
mengenai pembuatan foam yang berasal dari karet lateks alami dengan
penambahan nanopartikel seng oksida. Hasilnya adalah penambahan nanopartikel
seng oksida dapat meningkatkan kemampuan antibakteri yang sangat kuat.
Antimikroba
Antimikroba merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam suatu produk
dengan tujuan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba baik untuk mencegah,
menghambat ataupun menghentikan pertumbuhan mikroba. Antimikroba dapat
dijumpai dalam bentuk alami ataupun sintetik. Antimikroba alami adalah
komponen yang terbentuk secara alami terdapat pada suatu jenis bahan pangan,
sedangkan antimikroba sintetik berupa bahan kimia hasil sintetis (Rahayu &
Nurwitri 2012). Penambahan antimkroba banyak diaplikasikan pada berbagai
jenis produk pangan dan pada kemasan pangan.
Beberapa komponen kimia yang berfungsi sebagai antimikroba antara lain
asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, sulfit, asam asetat, pHidroksibenzoat, asam laktat, monolaurin/gliserol monolaurat, asam sitrat, nitrat
dan nitrit, H2O2, golongan epoksida, BHA (butylated hydroxyanisol), BHT
(butylated hydroxytoluene), TBHQ (t-Butylhydroquinone), EDTA (ethylene
diamine tetra acetic acid), khitosan, lisozim, antibiotik, rempah-rempah, dan
ekstrak tanaman (Rahayu & Nurwitri 2012). Selain itu saat ini telah berkembang
antimikroba yang berasal dari nanopartikel yang biasa diaplikasikan pada
kemasan pangan. Beberapa nanopartikel yang banyak digunakan antara lain
nanopartikel perak, nanoclay, nanopartikel metal oksida seperti nanopartikel seng
oksida, titanium dioksida, dan magnesium oksida, nanopartikel khitosan (Azeredo
2012)
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan antimikrba
diantaranya adalah sifat bahan yang akan diberi perlakuan dan jenis mikroba
yang akan dihambat atau dimatikan dan kondisi lingkungan. Komponen kimia
sebagai antimikroba yang diaplikasikan ke pangan harus memenuhi beberapa
persyaratan diantaranya adalah aman dikonsumsi manusia, cukup efektif jika
digunakan dalam konsentrasi rendah, tidak mempengaruhi mutu pangan, tidak
berinteraksi dengan komponen pangan, relatif stabil selama penyimpanan, dan
ekonomis (Rahayu & Nurwitri 2012).
Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh komponen
antimikroba, diantaranya adalah merusak dinding sel dengan cara menghambat
pembentukan dinding sel atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang telah
terbentuk, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel terhambat dan bahkan mati, menyebabkan denaturasi protein,
menghambat kerja enzim didlam sel dan mengganggu metabolisme sel (Iriani et
al. 2013)
Nanokomposit
Nanokomposit adalah suatu bahan dimana pengisinya memiliki satu dimensi
berukuran nanometer (nm) (Lee et al 2005). Nanokomposit merupakan alternatif
baru pada teknologi konvensional untuk meningkatkan sifat dari polimer.

8
Nanokomposit banyak diapikasikan pada kemasan pangan seperti film, edible, dan
foam.
Polimer nanokomposit adalah campuran polimer dengan penambahan bahan
organik atau anorganik yang memiliki geometri tertentu (serat, serpihan, bola,
partikulat) (Sorrentino et al. 2007). Polimer alami biasa digunakan untuk
menggantikan polimer yang berasal dari turunan minyak bumi. Polimer alami
yang biasa digunakan pada pembuatan nanokomposit berasal dari turunan
tanaman seperti pati, selulosa, polisakarida lain, dan protein, turunan hewani
seperti polisakarida dan protein, produk mikroorganisme (polihidroksi butirat),
serta polimer kimia yang disintesis dari monomer alami seperti polylactid acid
(PLA) (Arora & Padua 2010). Bahan yang biasa digunakan sebagai pengisi, baik
yang organik maupun anorganik, adalah clay (Montmorillonite, cloisite), selulosa,
carbon nanotubes, nanokristal pati, nisin, kitin atau kitosan, dan nanopartikel
berbasis metal (perak, emas, dan tembaga), serta nanopartikel berbasis metal
oksida (ZnO, TiO2, MgO, Ag2O) (Azeredo 2009, Othman 2014).
Pada skala nano, ukuran pengisi atau fase nano direduksi, akan menggiring
peingkatan secara dramatis pada area permukaan pengisi. Hal ini diinginkan
karena bio-nanokomposit pada luas area permukaan pengisi berukuran nano akan
menghasilkan interfacial atau batas area yang besar antara matriks atau biopolimer
dan pengisi nano (Othman 2014). Nanokomposit dengan menggunakan pengisi
nano menunjukkan peningkatan sifat barrier, kekuatan mekanik, daya tahan panas,
densitas rendah, dan transparansi dibandingkan dengan polimer dan komposit
konvensional. Peningkatan ini bisa diperoleh dengan penambahan kadar pengisi
yang rendah (umumnya kurang dari 5%). Ketika akan digunakan sebagai kemasan
pangan, nanokomposit lebih baik dibanding kemasan pangan lainnya karena
mampu menahan stress termal pada saat pengolahan, transportasi, dan
penyimpanan serta memiliki peningkatan sifat mekanik. Penerapan nanokomposit
tidak hanya ditunjukan dengan peningkatan sifat polimer tapi juga efesiensi biaya
(Arora dan Padua 2010, Sorrentino et al. 2007).
Clay sebagai pengisi nano pada film dan foam dapat meningkatkan modulus
dan kuat tarik menurunkan permeabilitas gas, dan meningkatkan ketahanan panas.
Nanokomposit film PLA dengan nanosilikat sebagai pengisi dapat meningkatkan
sifat bahan seperti gas barrier, sifat mekanik dan termal (Sorrentino et al. 2007.
Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk pembuatan nanokomposit
dengan pengisi clay diantaranya yaitu taktoid, interkalasi dan eksfoliasi. Metode
taktoid dalam polimer ketika ruang interlayer clay tidak berkembang, biasanya
karena rendahnya afinitas dengan polimer. Tidak ada nanokomposit yang benarbenar terbentuk dengan cara ini. Metode interkalasi (penyelingan) diperoleh pada
ekspansi dari interlayer clay. Ruang interlayer akan sedikit memperluas rantai
polimer. Hasil ini cukup baik karena adanya afinitas yang cukup antara polimer
dan clay. Pada metode eksfoliasi, clay akan kehilangan lapisannya dan dipisahkan
dengan baik menjadi satu lembar dalam fase kontinyu polimer karena tingginya
afinitas antara polimerdan clay (Arora & Padua 2010) .
Beberapa nanopartikel dapat memperikan sifat aktif untuk kemasan pangan
seperti sifat antimikroba, imobilisasi enzim, atau sebagai indikasi beberapa faktor
pemaparan. Nanokomposit tidak hanya bisa melindungi pangan dari faktor
lingkungan tetapi juga menggabungkan sifat bahan kemasan sehingga bisa
meningkatkan stabilitas pangan (Azeredo 2009).

9
Biodegradable Foam
Biodegradable diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen
molekuler dari suatu material untuk diurai menjadi molekul yang lebih kecil oleh
mikroorganisme hidup, sehingga zat karbon yang terkandung didalam material
tersebut akhirnya dapat dikembalikan ke alam. Biodegradable foam merupakan
kemasan yang ramah lingkungan (Gross & Karla 2002). Kemasan biodegradable
harus dapat memenuhi standar uji dan regulasi pemerintah. Berdasarkan UU No
18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah, pasal 14,15,16 tentang produsen
kemasan harus menarik kembali kemasannya jika kemasan itu tak bisa diurai oleh
alam (biodegradable) (Cornelia 2013).
Produk biodegradable foam beragam bentuk dan kegunaannya. Ada yang
berbentuk butiran, lembaran, maupun cetakan. Teknologi pembuatannya juga
sangat beragam dengan teknologi yang sangat bervariasi yang dikembangkan
untuk pembuatan biodegradable foam dengan bentuk dan fungsi tertentu (Iriani
2013). Bentuk cetakan biodegradable foam bermacam-macam seperti tray dan
cup. Beberapa penelitian pembuatan biodegradable foam dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Penelitian pembuatan biodegradable foam
Xu et al (2005)

Preechawong
et al. (2005)

Pimpa et
(2007)

Bahan
Proses
Pati
asetat, Loose fill
poly(tetramethyle
ne
adipate-coterephalate)/
EBC
Tapioka, PLA,
Baking

al. Pati sagu, PVA, Iradiasi
PVP

Salgado et al. Pati
singkong, Thermopressing
(2008)
Protein
bunga
matahari,
serat
selulosa

Lee

et

al. Tapioka, PLA

Ekstruksi

Hasil
Foam
yang
dihasilkan
memiliki sifat fungsional dan
kompatibilitas yang baik
tetapi penambahan EBC dapat
menurunkan laju degradasi.
Absorpsi uap air, dari
komposit
bahan
dapat
meningkat
dengan
peningkatan RH dan waktu
kondisi penyimpanan, serta
meningkatnya tensile strength
dan elongasion of break.
Foam yang dihasilkan dari
campuran pati sagu dan PVP
sangat rigid dan glossy
sedangkan pati sagu dan PVA
fleksibel dan glossy.
Formulasi yang mengandung
pati, 20% serat selulosa dan
10% isolat protein bunga
matahari memberikan sifat
terbaik, termasuk ketahanan
maksimal dan penurunan
penyerapan air serta lebih
kompak dan homogen.
WSI dan WAI dari foam

10
(2008)
Zou et
(2012)

al. Poliuretan,
Liquefaction
Heavy oil (polpar
wood)

Kaisangsri
al. (2012)

et Pati
singkong, Baking
serat
alami,
kitosan
Iriani (2013)
Tapioka, Ampok Thermopressing

Matsuda et al.
(2013)

Pati
singkong, Baking
Nanoclay

Gu et al (2013)

Poliuretan
Harwood pulp

Mitrus
Moscicki
(2014)

Free-rise
pouring method

& Pati
kentang, Ektruksi
jagung,
dan
gandum

dipengaruhin
oleh
tipe
organoclay yang digunakan.
Penambahan heavy oil dapat
mempertahankan
sifat
mekanik dan termal dari foam
poliuretane.
Sifat foam yang dihasilkan
mirip dengan styrofoam.
Permukaannya masih sensitif
terhadap air sehingga perlu
dilakukan penambahan bahan
lain seperti pemlastis dan pati
asetat untuk meningkatkan
sifat mekanik biodegradable
foam yang dihasilkan
semua sampel menunjukkan
kapasitas penyerapan yang
tinggi (>45%) saat direndam
dalam air selama 1 menit,
memiliki
porositas
yang
tinggi, dan kepadatan yang
rendah.
Penambahan hardwood pulp
tidak mengubah daya tahan
mekanik dari foam.
sifat fisik loose-fill, seperti
densitas, porositas, struktur
sel, karakteristik penyerapan
air, dan sifat mekanik sangat
tergantung pada bahan baku
dan aditif.

Komponen dan Teknik Produksi
Biodegradable foam banyak dibuat dari polimer baik alami maupun sintetik
seperti pati dari tapioka, sagu, jagung, dan kentang, minyak biji bijian seperti
kacang kedelai, pati asetat, PLA, EBC, dan poliuretan. dan dengan bahan penguat
(reinforce) seperti serat alami seperti selulosa, kitosan, ampas tebu,
montmorillonite, bubur kayu, clay, silika, poly(tertramethylene adipate-coterephalate), nanopartikel dan protein dari bunga matahari.
Proses pembuatan biodegradable foam dengan beberapa teknologi seperti
loose fill foam atau peanut foam, ekstruksi, thermopressing, puffing, dan
microwave assisted moulded (Iriani 2013). Selain itu ada teknologi lain yaitu
dengan baking dan irradiasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Iriani (2013),
Matsuda et al. (2013), Vercelheze et al. (2012), dan Salgado et al. (2008) dengan
menggunakan proses thermopressing. Proses ini menggunakan prinsip pembuatan
wafer dimana adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu selama beberapa

11
waktu. Kondisi proses ini sangat mempengaruhi karakteristik biodegradable foam
yang dihasilkan.
Teknologi loose-fill menggunakan prinsip pembuatan produk ekstrudat
seperti snack. Energi panas dan gaya geser akan dihasilkan dari proses ekstruksi
sehingga pati akan mengalami gelatinisasi dan mencair. Saat melewati lubang
kecil pada die, cairan pati itu akan mendapat tekanan besar sehingga uap air yang
ada akan menghasilkan efek gelembung yang menyebabkan cairan pati
mengembang. Kemudian saat kontak dengan udara cairan pati yang sudah
mengembang akan mengeras dan diperoleh poduk yang lebih mengembang dari
bahan bakunya (Iriani 2013). Foam yang dihasilkan dengan teknologi ini rigid dan
dapat memberikan perlindungan pada produk yang dikemas dengan menyerap
energi dari benturan ketika dikirim (Fang & Hanna 2001).
Pada teknologi microwave assisted moulded, pelet hasil ekstruksi digunakan
dan kemudian digelembungkan dengan menggunakan microwave assisted
moulded (Warsiki et al. 2012). Pada proses baking, adonan bahan di panggang
dalam bentuk tray menggunakan cetakan tray pada mesin pemanggang listrik atau
dalam bentuk plate menggunakan panel mould pada mesin yang sama (Polat et al.
2013, Kaisangsri et al. 2012, dan Preechawong et al. 2005). Teknologi lain seperti
puffing menggunakan pati dengan kelembaban rendah dengan prinsip seperti
pembuatan popcorn. Teknologi ini dapat menghasilkan biodegradable foam
berbasis pati dengan densitas yang rendah dalam beberapa detik saja, tapi
teknologi ini kurang sesuai untuk membuat produk biodegradable foam dengan
bentuk yang diinginkan (Iriani 2013).

Biodegradable Foam Berbasis Tapioka
Pembuatan biodegradable foam yang berbasiskan tapioka sudah banyak
dilakukan. Tapioka adalah salah satu hasil ekstruksi pati yang memiliki
kandungan pati tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya.Tapioka banyak
digunakan karena sifat biodegradabelnya yang tinggi, murah, densitas rendah, dan
toksisitas rendah (Kaisangsri et al. 2012). Akan tetapi, biodegradable foam yang
terbentuk dari pati murni biasanya tidak memberikan sifat fisik dan sifat mekanik
yang baik dan mudah larut air. Untuk memperbaiki agar tahan air dan sifat
fungsional biodegradable foam, polimer yang bersifat biodegradable dapat
digabungkan dengan pati sehingga produk yang dihasilkan bersifat biodegradabel
dan memiliki sifat fungsional yang lebih baik (Fang & Hanna 2001). Untuk
memperbaiki sifat-sifat foam dari pati bisa dilakukan dengan memodifikasi pati,
penambahan pemlastis, polimer, serat, dan beberapa bahan tambahan lainnya
(Salgado et al. 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Iriani (2013) pembuatan biodegradable
foam tapioka dikompositkan dengan selulosa yang berasal dari ampok jagung.
Biodegradable foam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar
air rendah karena permukaannya masih sensitif terhadap air sehingga perlu
dilakukan penambahan bahan lain seperti pemlastis dan pati asetat untuk
meningkatkan sifat mekanik biodegradable foam yang dihasilkan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Vercelheze et al. (2012) dengan mengkompositkan tapioka

12
dengan serat ampas tebu dan montmorillonite, diperoleh foam yang dihasilkan
sensitif terhadap kelembaban serta memiliki porositas dan densitas yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Salgado et al. (2008) menggunakan tapioka,
serat selulosa dan protein bunga matahari. Hasil yang diperoleh adalah bahwa
penambahan serat selulosa pada pati tapioka menyebabkan penurunan penyerapan
air yang signifikan, tanpa mempengaruhi sifat lainnya. Formulasi dengan
mengkompositkan pati, 20% serat selulosa, dan 10% isolat protein bunga matahari
menunjukkan sifat terbaik, termasuk ketahanan yang maksimal dan pengurangan
penyerapan air serta struktur mikro lebih kompak dan homogen. Kaisangsri et al.
(2012) melakukan penelitian dengan menggunakan tapioka yang dicampur dengan
serat alami dan kitosan. Biodegradable foam yang dihasilkan digunakan untuk
mengemas buah potong segar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa busa yang
dihasilkan dari pati singkong, 30% kraft serat (b/b pati) dan 4% chitosan memiliki
sifat yang mirip dengan styrofoam. Kuat tarik dan elongasi foam berbasis pati
masing-masing adalah 944.40 kPa dan 2.43%, tetapi indeks penyerapan air (WAI)
dan Indeks kelarutan air (WSI) lebih besar dari styrofoam.
Selain itu Kaisangsri et al (2014) juga melakukan penelitian dengan
mencampurkan pati singkong dengan protein kacang kedelai, serat kraft, dan
minyak sawit. Penelitian dilakukan untuk meningkatkan sifat mekanik dan tahan
air. Foam dari pati singkong panggang dicampur dengan polimer alami termasuk
protein, serat, dan minyak kelapa sawit. Penambahan kraft, zein, dan gluten dapat
meningkatkan kelenturan dan kuat tekan dari nampan foam pati singkong akan
tetapi,indeks penyerapan air dan kelarutan air foam rendah. Penambahan minyak
sawit dalam foam pati singkong dapat meningkatkan ketahanan air dan kelenturan,
serta menurunkan kuat tekan. Temuan ini menunjukkan bahwa nampan foam pati
singkong yang dicampur dengan kraft, gluten, dan zein dapat digunakan untuk
mengemas makanan yang berminyak dan memiliki kelembaban rendah. Penelitian
lain dilakukan oleh Matsuda et al. (2013) dengan menggunakan tapioka dan
nanoclay yang dimodifikasi. Hasil yang diperoleh adalah semua sampel
menunjukkan kapasitas penyerapan yang tinggi (>45%) saat direndam dalam air
selama 1 menit, memiliki porositas yang tinggi, dan kepadatan yang rendah.

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Desember 2014 di
Laboratorium Nanoteknologi, Kimia, dan Mikrobiologi, serta bangsal
pengananan Litbang Balai Besar Pascapanen dan Laboratorium Rekayasa
Departemen ITP IPB.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain mixer, thermopressing, Scanning
Electron Microscopy (SEM) Zeiss EVO M10 USA , Differential Scanning
Calorimetry (DSC)-60 Shimadzu Jepang, X-ray Difraction (XRD) Bruker D8,

13
texture analyzer CT3 Brookfield, chromameter Minolta CR-300, particle size
analyzer (PSA) Malvern Inggris, timbangan analitik Precisa XT220A, desikator
Memmert, cawan porselin, oven Memmert, tanur listrik Lenton Furnaces Inggris,
labu kjeldhal 100 ml, alat penyulingan, pemanas air, alat destilasi Shanghai
YiFeng Trading Co.Ltd China, kertas saring, kapas bebas lemak, alat soxlet
Shanghai Qianjian Instrument co.ltd China, labu lemak, pemanas listrik,
erlenmeyer Pyrex 500 ml, autoklaf Hirayama Manufacturing Corp. Jepang, kertas
saring whatman, pompa vakum, corong buchner, cawan petri, tabung reaksi
Pyrex, inkubator Lab-Line L-C, gelas ukur Pyrex 50, 500, dan 1000 ml, labu
erlenmeyer Pyrex 250 ml, mikropipet Appendorf® Research, vortex IKA MS 3
Basic, magnetic stirrer Fisher Scientific™, ultraturax IKA T-25 Digital,
ultrasonikasi Qsonica, aluminium foil, sudip, panci, dan labu ukur Pyrex 100 ml.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung tapioka komersial,
ampok jagung berukuran 100 mesh yang berasal dari PT. Unigrain Sidoarjo,
magnesium stearat teknis, polivinil alkohol (PVA) Celvol TM Sekisui Chemical
Co.ltd, nanopartikel seng oksida (ZnO) Xuancheng Jingrul New Material co.Ltd
China yang berukuran 30-50 nm, pemlastis Etilen Glikol (EG) teknis PT.Brataco,
air, tablet kjeltab, aquades, NaOH 30-33%, asam borat 3%, larutan indikator, HCl
0,02 N, pelarut heksan, H2SO4 0,325 N, etanol 96%, kultur bakteri Escherichia
coli ATCC 25923 dan Staphylococcus aureus ATCC 25922, nutrient broth (NB)
Oxoid CM0001, NaCl Merck, dan plate count agar (PCA) Oxoid CM0325.

Prosedur Percobaan
Secara umum diagram alir tahapan penelitian pembuatan biodegradable
foam komposit tapioka dan nanopartikel seng oksida yang dilaksanakan dapat
dilihat pada Gambar 2.
Karakterisasi Bahan Baku
Tahap awal penelitian ini meliputi karakterisasi bahan baku yang digunakan
pada penelitian yaitu tepung tapioka, ampok jagung dan nanopartikel seng oksida
nanopartikel seng oksida. Pada tepung tapioka dan ampok jagung karakterisasi
yang dilakukan adalah analisis kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat.
Sedangkan pada nanopartikel seng oksida karakterisasi yang dilakukan meliputi
uji ukuran, sifat antimikroba, dan struktur morfologi. Prosedur analisis pengujian
karakterisasi tapioka sebagai berikut.
a) kadar air (AOAC, 2012)
Cawan yang akan digunakan terlebih dahulu dikonstankan dengan dengan
memanaskannya di dalam oven 105 °C selama satu jam atau lebih, kemudian
didinginkan di dalam desikator, lalu ditimbang. Perlakuan pemanasan cawan
dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan. Sampel sebanyak 1-2 gram
dimasukkan ke dalam cawan yang telah konstan kemudian dimasukkan ke dalam
oven 105 °C selama tiga jam, kemudian didinginkan di dalam desikator.
Perlakuan pemanasan sampel dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan.
Kadar air dihitung dengan rumus :
(berat sampel awal - berat sampel akhir)
x100%
Kadar air (%) =
berat sampel awal

14
b) Kadar abu (AOAC, 2012)
Cawan porselen yang akan digunakan terlebih dahulu dikonstankan. Sampel
sebanyak 2-3 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian diuapkan dengan
penangas hingga tidak ada lagi asap yang terbentuk. Cawan beserta isi kemudian
dimasukkan kedalam tanur lalu dilakukan pengabuan pada suhu 450 °C selama 1
jam. Setelah itu, suhu tersebut dinaikkan menjadi 550 °C. Pengabuan dilakukan
hingga seluruh materi organik menjadi abu berwarna kelabu. Cawan didinginkan
di dalam desikator, kemudian ditimbang. Cawan dimasukkan kembali ke dalam
tanur selama 30 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Demikian seterusnya hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar abu dihitung
dengan rumus :
berat abu
x100%
Kadar abu (%) =
berat sampel
c) Kadar