Pengembangan produk biodegradable foam berbahan baku campuran tapioka dan ampok

(1)

PENGEMBANGAN PRODUK

BIODEGRADABLE FOAM BERBAHANBAKU

CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK

EVI SAVITRI IRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan ProdukBiodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2013

Evi Savitri Iriani NIM F 361080121


(3)

ABSTRACT

EVI SAVITRI IRIANI. Product Developmentof Cassava and Corn Hominy Based Biodegradable Foam.Under Direction of TUN TEDJA IRAWADI, TITI C. SUNARTI, NUR RICHANA AND INDAH YULIASIH.

Starch based foam is a packaging material made from renewable resources which are very prospective to substitute synthetic polystyrene foam. Tapioca is one of potential materials for starch based foam production due to availability and cheap price compared to other starch. Unfortunately, the foam produced only with starch is brittle, poor mechanical properties and highly sensitive to moisture. Fiber reinforcement and blending with synthetic polymer and hydrophobic materials are the

way to improve foam’s properties. Corn hominy, a by product of corn dry milling industry, is a potential source to be used as fiber reinforcement due to its composition that still contained high fiber, starch, protein and fat that needed for producing starch-based foam. The objective of this research wasto develop biodegradable foam made from tapioca and corn hominy. Four steps formulation was conducted to get the best characteristics of biodegradable foam. Starch, corn hominy, modified starch, PVOH and other dry materials were mixed with various concentration. Water, plasticizer and other liquid materials were added to get total solid 50-60% and then baked with thermopressing machine at 150-1700C for 2-3 minutes. The results showed that, addition of corn hominy increased hydrophobicity and biodegradability of biofoam. On the other hand, increasing corn hominy proportion also decreased mechanical properties and brightness of biofoam and increased density. Addition of PVOHincreasedhydrophobicity and mechanical properties of biofoam but decrease biodegradability and increased density. Addition of hydrophobic starch did not make satisfying improvement on hydrophobicity or mechanical properties of biofoam, but decreased biodegradability of biofoam. Starch acetate and sizing agentaddition could increase hydrophobicity, marked by increasing of contact angle value. Meanwhile, addition of plasticizer not only improved viscoelasticity of biofoam but also increased biofoam’s hydrophobicity. Utilization of tapioca and corn hominy as biodegradable materials could increase value added of tapioca by 14,33% meanwhile for corn hominy almost71,44%.

Keywords : biodegradable foam, biodegradability, corn hominy, hydrophobicity, mechanical properties


(4)

EVI SAVITRI IRIANI. Pengembangan Produk

Biodegradable Foam

Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok. Dibimbing oleh TUN

TEDJA IRAWADI, TITI C. SUNARTI, NUR RICHANA dan INDAH

YULIASIH.

Pemanfaatan produk dan limbah pertanian sebagai bahan baku kemasan ramah lingkungan belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pengganti styrofoam. Beberapa penelitian terdahulutelah mencoba memanfaatkan pati sebagai bahan baku pembuatan biofoam, namun demikianproduk yang dihasilkan masihmemiliki sifat mekanis rendahdan hidrofilik. Penambahan serat yang bersumber dari limbah pertanian mampu memperbaiki kelemahan biofoam tersebut. Salah satu hasil pertanian yang berpotensi sebagai bahan baku biofoam adalah ampokkarena selain sebagai sumber serat juga masih mengandung pati, protein dan lemak yang dibutuhkan dalam pembuatan biofoam.

Tujuan penelitian ini adalah mengembangan produkkemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi.Adapun tujuan masing-masing tahapan adalah: 1) mengetahui karakteristik bahan baku, 2) memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3) mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam.

Biofoam berbahan baku tapioka dan ampok berpotensi digunakan sebagai kemasan alternatif ramah lingkungan pengganti styrofoam. Biofoam ini memiliki keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam serta memiliki kemampuan biodegradabilitas yang lebih tinggi. Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing pada suhu 1700C, yaitu di atas melting point semua bahan baku sehingga semua bahan dapat tercampur dengan baik. Waktu proses berkisar 2,5-3 menit, dengan volume adonan yang digunakan 60 g.

Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku dan kondisi proses pembuatannya. Tapioka memiliki kadar pati lebih tinggi (97,89%) dibandingkan ampok (69,26%), sebaliknya ampok memiliki kadar lemak, protein dan serat (8,90%, 11,18% dan 7,96%) yang lebih besar dibandingkan tapioka (0,19%, 0,55% dan 1,27%). Perbedaan komposisi ini berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.

Penambahan ampokhingga 75% berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas biofoam dengan menurunkan daya serap airnya dari 59,49% menjadi 44,17%. Selain itu, penambahan ampok juga meningkatkan biodegradabilitas biofoam khususnya pertumbuhan kapang yang meningkat dari 6,67% menjadi 90%.


(5)

Namun demikian, penambahan ampok berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis dengan menurunkan kuat tekan dari 27,31 N/mm2 menjadi 6,14 N/mm2.

Penambahan polimer sintetik PVOH hingga 50% dapat membantu perbaikan sifat mekanis biofoam dengan meningkatkan kuat tekan dari 10,94 N/mm2 menjadi 33,29 N/mm2, sementara untuk kuat tarik, meningkat dari 25,67 N/mm2 menjadi 48,85 N/mm2. Penambahan PVOH juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dengan menurunkan daya serap air dari 54% menjadi 35%.

Penambahan pati hidrofobik, ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam. Penambahan pati asetat dan sizing agentberpengaruh terhadap peningkatan sifat hidrofobisitas dilihat pada peningkatan nilai contactangle dari 30,110 menjadi 79,790untuk perlakuan terbaik. Penambahan pati asetat dan sizing agent juga berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis dilihat dari peningkatan kuat tekan ( 19,11 N/mm2 menjadi 31,80 N/mm2) dan kuat tarik (48,72 N/mm2 menjadi 52,64 N/mm2). Penambahan gliserol sebesar 5% berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis khususnya peningkatan viskoelastisitas biofoam yang ditandai dengan penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam mendekati suhu kamar yaitu dari 530 Mpa pada 00C menjadi 170 Mpa pada 200C.

Pemilihan formulasi terbaik untuk pembuatan biofoam disesuaikan dengan aplikasi atau peruntukan biofoam tersebut. Formula terbaik adalah perlakuan P1K3 yaitu rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30% dari berat bahan kering. Karakteristik biofoam yang dihasilkan memiliki daya serap air 39%, densitas 0,48 g/cm3, kuat tekan 19,11 N/mm2, kuat tarik 48,72 N/mm2 dan biodegradabilitas 36,67%. Biofoam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar air rendah karena permukaannya masih sensitif terhadap air. Untuk produk hasil pertanian ataupun produk olahan dengan kadar air yang lebih tinggi, dilakukan perbaikan formula dengan perlakuan terbaik P2S2G1 yang memiliki komposisi tapioka 21%, pati asetat 7%, ampok 12% dan PVOH 8%. Sizing agent yang ditambahkan dari jenis carvacrol serta penambahan gliserol sebesar 5%. Formula ini memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan P1K3 untuk sifat mekanisnya yaitu kuat tekan 31,80 N/mm2 dan kuat tarik 51,60 N/mm2, namun daya serap airnya lebih tinggi yaitu 62,95% dan biodegradabilitas yang lebih rendah 0%. Kelebihan formula ini memiliki permukaan yang hidrofobik dengan nilai contact angle 79,790. Pemanfaatan tapioka dan ampok sebagaibahanbakupembuatanbiofoam dapat memberikan nilai tambah sebesar14,33% untuk tapioka dan 71,44% untuk ampok.


(6)

© Hak Cipta IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PENGEMBANGAN PRODUK

BIODEGRADABLE FOAM BERBAHAN BAKU

CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK

EVI SAVITRI IRIANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS Dr. Ir. Soetrisno, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Muhammad. Romli, MSc. St Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir


(9)

Judul Disertasi : Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok

Nama : Evi Savitri Iriani NIM : F 361080121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si Prof. Dr. Ir.Tun Tedja Irawadi, MS. Anggota Ketua

Prof (Riset) Dr.Ir. Nur Richana, M.Si Dr. Indah Yuliasih, STP,M.Si

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian

berjudul “ Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku Campuran

Tapioka dan Ampok” telah dilaksanakan sejak bulan November 2010 hingga selesai

pada Mei 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada Prof. Dr. Tun Tedja Irawadi, MS; Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSc; Prof (Riset) Dr. Ir. Nur Richana, MSi dan Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS, Dr.Ir. Soetrisno MSc, Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St. dan Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka serta memberikan saran perbaikan untuk kesempurnaan karya tulis ini.

Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan beserta staf Badan Litbang Pertanian dan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor serta memberikan dukungan pendanaan penelitian melalui proyek KKP3T.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Departemen beserta staf pada Packaging Department, Faculty of Agroindustry, Kasetsart University, Bangkok, Thailand yang telah menyediakan fasilitas penelitian melalui Sandwich Programme selama kurun waktu Februari-Maret 2012.

Kepada suami beserta anak-anakkku tersayang, terima kasih atas kerelaannya berbagi waktu dan perhatian selama penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Kepada seluruh keluarga, terima kasih atas dukungan dan doa yang senantiasa diberikan selama penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa kepada teman-temanku di TIP-S3-08, semoga kebersamaan dan kekompakan kita tidak berhenti dengan selesainya pendidikan S3 ini.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2013 Evi Savitri Iriani


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 16 Januari 1968 sebagai anak sulung dari empat bersaudara putri pasangan Sanusi dan Saniah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis diterima kembali di Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian dan menamatkannya pada tahun 2005. Kesempatan melanjutkan program Doktor diperoleh pada tahun 2008 pada program studi yang sama melalui beasiswa Badan Litbang Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian sejak tahun 2004 setelah sebelumnya bekerja pada Balai Penelitian Tanaman Hias sejak tahun 1994. Adapun bidang penelitian yang ditekuni penulis adalah pengolahan hasil pertanian.

Selama mengikuti program S3, penulis telah mengikuti berbagai seminar nasional maupun internasional khususnya yang berhubungan dengan topik disertasi. Adapun karya ilmiah yang telah dan akan diterbitkan serta merupakan bagian dari disertasi penulis antara lain :

1. Effect of Polyvinyl Alcohol and Corn Hominy on Improvement of Physical and Mechanical Properties of Cassava Starch-Based Foam dimuat pada European Journal of Scientific Research volume 81(1):47-58 tahun 2012.

2. Utilization of Corn Hominy as a New Source Material forThermoplastic Starch Production dimuat pada Procedia Chemistry 4 : 245-253 tahun 2012

3. Pengembangan Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati (Review) dimuat pada Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume 7(1):30-40 tahun 2011

4. Corn hominy, a Potential Raw Material for Biodegradable Foam disampaikan pada International Maize Conference 2012 bertempat di Gorontalo 22-24 November 2012.

5. Cassava Based Biodegradable Foam: Effect of Modified Starch, Sizing Agent and Plasticizer on Improving Hydrophobicity and Viscoelasticity terpilih sebagai salah satu makalah Badan Litbang yang akan dipublikasikan pada Jurnal Internasional

Penulis juga mendapatkan kesempatan melakukan penelitian di Kasetsart University pada Fakultas Agroindustri selama Februari-Maret 2012. Selain itu, penelitian ini juga dibiayai oleh Badan Litbang Pertanian melalui Program KKP3T selama 3 tahun berturut-turut. Adapun hasil penelitian ini juga telah diapresiasi dan mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 104 Inovasi Prospektif Indonesia 2012 dari Kementrian Riset dan Teknologi.


(12)

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.3 Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam

... 7

2.2 Teknologi Proses Produksi Biofoam ... 14

2.3 Karakteristik Biofoam ... 17

III BAHAN DAN METODE ... 23

3.1 Bahan dan Alat ... 23

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Kerangka Pemikiran ... 24

3.4 Tahapan Penelitian ... 25

3.5 Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam ... 33

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Karakteristik Bahan Baku ... 35

4.2 Pengembangan Produk Biofoam ... 53

4.3 Perbaikan Karakteristik Biofoam ... 92

4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Biofoam ... 117


(13)

Halaman

V SIMPULAN DAN SARAN ... 119

5.1 Simpulan ... 119

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123


(14)

1. Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya ... 12 2. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok dalam

100 g Bahan Kering... 29 3. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat,

Sizing Agent dan Gliserol ... 33 4. Model Perhitungan Nilai Tambah ... 34 5. Karakteristik Fisikokimia Tapioka, Ampok , Pati Hidrofobik dan

Pati Asetat ... 35 6. Karakteristik Amilograph Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan

Pati Asetat... 42 7. Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi ... 44 8. Titik Transisi gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) dari Tapioka,

Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ... 46 9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik

dan Pati Asetat... ... 51 10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam ... 54 11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar air (%) Biofoam . 57 12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%)

Biofoam ... 59 13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3)

Biofoam ...

61 14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan

Biofoa... 63 15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam ... 65 16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2)

Biofoam ... 66 17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2)

Biofoam ... 68 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang

(%) Pada Permukaan Biofoam ... 72 19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi

(%) Biofoam ... 74 20. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar air (%) Biofoam ... 76 21. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%)

Biofoam ... 78 22. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam . 79


(15)

Halaman 23. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan

Biofoam ... 81 24. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam ... 82 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2)

Biofoam ... 82 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik ( N/mm2)

Biofoam ... 84 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%)

pada Permukaan Biofoam ... 87 28. Uji-T untuk Formulasi Terbaik (P1K3) dibandingkan dengan

Styrofoam ... 92 29. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap

Karakteristik Sifat Fisik Biofoam... ... 93 30. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap

Karakteristik Sifat Mekanis dan Biodegrabilitas Biofoam ... 93 31. Nilai Tg dan Tm pada pengukuran DSC Biofoam dengan

Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol ... 113 32. Uji-T untuk Formulasi Terbaik P2S1G2 dibandingkan dengan

Styrofoam ... 116 33. Hasil Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai


(16)

1 Struktur Biji Jagung ... 10

2 Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok ... 26

3 Diagram Alir Penelitian Biofoam ... 27

4 Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ... 42

5 Profil DSC Ampok ... 47

6 Profil DSC Tapioka ... 47

7 Profil DSC Pati Hidrofobik ... 48

8 Profil DSC Pati Asetat ... 48

9 Penampakan sifat birefringent pada Ampok dan Tapioka... 49

10 Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ... 50

11 Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000 X ... 52

12 Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasikan dari Berbagai Proses... 53

13 Pengaruh Jumlah Adonan terhadap Penampakan Biofoam dengan Penambahan Ampok ... 55

14 Pengaruh Kadar Serat terhadap Kadar Air Biofoam ... 58

15 Pengaruh Kadar Serat terhadap Daya Serap Air Biofoam ... 59

16 Pengaruh Kadar Serat terhadap Densitas Biofoam ... 61

17 Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air Biofoam... 62

18 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ... ... 64

19 Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tekan Biofoam... 67

20 Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tarik Biofoam ... 68

21 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam

...

69

22 Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ... 70


(17)

Halaman 23 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH

terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada

Permukaan Biofoam Pengamatan Hari ke-5 ... 71 24 Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada

Permukaan Biofoam ... ... 73 25 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air Biofoam ... 77 26 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air Biofoam. 78 27 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas Biofoam ... 80 28 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan

Biofoam ... 81 29 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan Biofoam .... 83 30 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik Biofoam... 84 31 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan Biofoam dengan

Penambahan PVOH ... 86 32 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tarik Biofoam dengan

Penambahan PVOH ... 86 33 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang

pada Permukaan Biofoam ... 87 34 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang A.

niger pada permukaan Biofoam pada Pengamatan Hari ke-5... 88 35 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kemampuan

Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis ... 88 36 Pengaruh Konsentrasi PVOH dan Rasio Tapioka:Ampok

terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ... 89 37 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Konsentrasi PVOH

terhadap Hasil Polarized Microscope Biofoam (Perbesaran 10X) 90 38 Korelasi antara Densitas terhadap Daya Serap Air Biofoam

dengan Penambahan Pati Hidrofobik.... ... 94 39 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik

Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik ... 94 40 Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Pertumbuhan

Kapang A.niger pada Permukaan Biofoam ... 95 41 Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur


(18)

Morfologi Permukaan Biofoam ... 97 43 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam ... 99 44 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Daya Serap Air Biofoam ... 100 45 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Densitas Biofoam ...

....

102 46 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol

terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ... 103 47 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ... 104 48 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Nilai Contact Angle Biofoam ...

....

105 49 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol

terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran Contact Angle ...

106 50 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol

terhadap Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada

Berbagai Tingkat Suhu ... 108 51 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol

terhadap Storage Modulus untuk 3 Bending Biofoam pada

Berbagai Tingkat Suhu ... 109 52 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol

terhadap Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai

Tingkat Suhu ... 110 53 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol

terhadap Tangen δ untuk 3 Bending Biofoam pada Berbagai

Tingkat Suhu ... 111 54 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan

Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan

Biofoam ...

...

114 55 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Prosedur Analisis ... 135 2 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Kadar Air (%) Biofoam ... 147 3 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Daya Serap Air (%) Biofoam... 148 4 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Densitas (g/cm3) Biofoam ... 149 5 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Tingkat Kecerahan Biofoam ... 150 6 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Nilai 0Hue Biofoam ... 151 7 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ... 152 8 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam... 153 9 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Pertumbuhan Kapang A. niger(%) pada Permukaan Biofoam ... 154 10 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap

Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam ... 155 11 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Kadar Air (%) Biofoam... 156 12 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Daya Serap Air (%) Biofoam ... 157 13 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Densitas (g/cm3) Biofoam ... 158 14 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Tingkat Kecerahan Biofoam ... 159 15 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Nilai 0Hue Biofoam ... 160 16 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ... 161 17 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam ... 162 18 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam ... 163 19 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap

Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam ... 164 20 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik


(20)

21 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik

terhadap Karakteristik Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam.... 166 22 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Air (%) Biofoam ... 167 23 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam ... 168 24 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam... 169 25 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ... 170 26 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai 0Hue Biofoam ... 172 27 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ... 174 28 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam ... 176 29 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Besaran Contact Angle (0) Biofoam 178 30 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada

Permukaan Biofoam ... 180 31 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan

Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam. 182 32 Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam ... 183


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Gaya hidup manusia yang kian praktis mendorong makin meningkatnya konsumsi plastik dalam berbagai sisi kehidupan. Akibatnya ketergantungan manusia terhadap kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari sangat tinggi. Saat ini produksi plastik dunia diperkirakan mencapai 100 juta ton setiap tahunnya (Anonymous, 2010). Padahal bahan baku pembuatan plastik berasal dari minyak bumi yang persediaannya semakin menipis dan harganya terus meningkat. Plastik juga sulit untuk terdegradasi secara alami sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan.

Salah satu jenis plastik yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari hari adalah styrofoam yang sebenarnya merupakan nama dagang dari polistirena. Pada awalnya polistirena digunakan sebagai bahan pelindung atau shock absorber untuk melindungi produk yang bersifat fragile seperti produk elektronik dan juga sebagai bahan insulasi karena memiliki kemampuan menahan panas dan dingin yang baik (Sulchan dan Endang, 2007). Kemampuan untuk menahan suhu tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menjadikan styrofoam sebagai wadah kemasan pangan siap saji. Kelebihan styrofoam lainnya adalah tidak mudah bocor dan berubah bentuk bila digunakan untuk menyimpan cairan, mampu mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, memiliki harga murah serta memiliki bobot yang ringan. Semua kelebihan tersebut mendorong meningkatnya penggunaan styrofoam sebagai kemasan siap saji.

Namun demikian di balik semua keunggulan ini, penggunaan styrofoam ternyata menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia maupun merusak lingkungan. Proses pembuatan styrofoam umumnya dilakukan dengan mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan butadiena. Untuk meningkatkan kelenturannya, ditambahkan zat plastisizer seperti dioctyl phthalate (DOP), butil hidroksi toluen atau n-butil stearat. Campuran bahan tersebut kemudian ditiup dengan menggunakan blowing agent berupa gas klorofluorokarbon (CFC) hingga terbentuk foam (Manurung, 2008).


(22)

Menurut beberapa hasil penelitian, stirena berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia. Paparan terhadap stirena dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti kelelahan, sulit tidur, dan rasa gelisah. Selain itu gangguan terhadap darah berupa penurunan kadar hemoglobin hingga menyebabkan anemia, gangguan sitogenetik (gangguan kromosom dan kelenjar limfa) serta efek karsinogenik (Dowly et al., 1976). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa stirena juga berpengaruh terhadap ketidakseimbangan hormon yang berakibat pada timbulnya masalah reproduksi termasuk tingkat kesuburan serta dapat mempengaruhi kualitas ASI dari ibu menyusui (Brown, 1991).

Styrofoam sebenarnya tidak cocok digunakan untuk mengemas produk makanan atau minuman karena kemungkinan terjadinya migrasi bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam ke dalam makanan atau minuman tersebut. Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar lemak suatu pangan, maka migrasinya juga akan semakin besar. Hal tersebut didukung oleh penelitian Lickly et al. (1995) yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan migrasi sebesari 1,9X pada minyak goreng dan etanol yang disimpan pada kemasan styrofoam pada pengamatan hari ke empat. Sementara pada hari ke-10, migrasi akan meningkat menjadi 3,1X dibandingkan saat awal penyimpanan.

Selain berdampak negatif terhadap kesehatan, styrofoam juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan karena sifatnya yang tidak bisa diuraikan secara alami. Data dari Environment Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa limbah hasil pembuatan styrofoam ditetapkan sebagai limbah berbahaya ke lima terbesar di dunia. Bau yang timbul selama proses produksinya mampu menganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara. Kemasan styrofoam umumnya digunakan hanya dalam waktu singkat terutama bila digunakan sebagai wadah kemasan restoran cepat saji. Namun demikian membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sama sekali tidak bisa diuraikan oleh alam sehingga akan menumpuk dalam jumlah besar dan mencemari lingkungan (Anonymous, 2009). Pengolahan limbah styrofoam dengan model pembakaran juga akan menghasilkan senyawa berbahaya yaitu dioksin yang juga bersifat karsinogen.


(23)

3

Mengingat besarnya dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan styrofoam, maka harus dilakukan upaya untuk mencari alternatif bahan pengemas lain yang lebih ramah lingkungan serta tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia disamping melakukan kegiatan 3R yaitu reuse, reduce dan recycle terhadap kemasan styrofoam yang sudah ada. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber biologis seperti tanaman, hewan atau mikroba. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer adalah produk atau limbah pertanian seperti pati dan selulosa dengan alasan sifatnya yang dapat diperbaharui, tersedia melimpah dan harganya murah (Davis dan Song, 2006).

Untuk dapat menggantikan styrofoam sebagai kemasan pangan khususnya pangan siap saji maka karakteristik biofoam yang dihasilkan bisa mendekati karakteristik styrofoam seperti mudah dibentuk, memiliki bobot ringan, tahan terhadap air, dapat menahan suhu panas maupun dingin, serta harga produksinya cukup murah. Selain itu, kemasan alternatif tersebut haruslah bersumber dari bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat terurai secara alami serta tidak toksik atau berbahaya bagi kesehatan.

Di antara berbagai produk maupun limbah pertanian, tampaknya pati serta selulosa merupakan bahan yang potensial mengingat keberadaannya yang melimpah serta harganya yang murah. Salah satu sumber pati yang produksinya cukup tinggi adalah tapioka mengingat harganya yang lebih murah bila dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Tapioka memilliki kadar protein, kadar lemak serta amilosa yang lebih rendah dibandingkan jenis pati lainnya (Breuninger et al., 2009). Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Tapioka juga memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga menghasilkan pasta yang jernih bila dipanaskan pada jumlah air berlebih. Semua kelebihan tersebut mendorong peneliti untuk menggunakan tapioka sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable foam (Cinelli et al., 2006; Chiellini et al., 2009; Sin et al., 2010).


(24)

Namun demikian, mengingat produk yang dihasilkan dari pati tersebut umumnya bersifat rapuh, kaku dan hidrofilik maka harus dilakukan penambahan beberapa aditif untuk menghasilkan produk kemasan sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Selain itu, penggunaan pati adakalanya harus berbenturan dengan kepentingan pangan sehingga harus dicari alternatif bahan berpati yang tidak atau belum dijadikan konsumsi pangan agar program pemerintah untuk ketahanan pangan tetap terwujud. Karena itu penggunaan limbah atau produk samping industri pati tampaknya menjadi pilihan yang menarik.

Salah satu sumber bahan baku yang potensial adalah ampok yang merupakan hasil samping industri penggilingan jagung. Adapun alasan pemilihan ampok adalah karena komposisinya yang masih mengandung pati 56.9% pati, 25.2% neutral detergent fiber, 11.1% protein dan 5.3% lemak (Sharma et al., 2007). Peneliti lain yaitu Shroder dan Heiman (1970) menyebutkan bahwa kandungan ampok terdiri atas protein 10,47%, serat 5 %, lemak 6,5 % dan pati 66 %. Walaupun terdapat perbedaan dalam komposisinya, namun secara umum ampok memiliki kandungan serat, pati serta protein yang masih cukup tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam. Ampok sendiri terdiri dari campuran beberapa bagian jagung berupa lembaga (germ), kulit ari (bran), tip cap, dan sebagian endosperma yang keras (horny endosperm).

Ampok memiliki potensi yang besar karena pencanangan swasembada jagung tahun 2014 oleh pemerintah, telah mendorong meningkatnya produksi jagung selama 5 tahun terakhir, yaitu sekitar 10,9 juta ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 17,3 juta ton pada tahun 2011 (Kementan, 2012). Dengan peningkatan produksi yang cukup besar ini maka pemerintah berharap pada tahun 2014, Indonesia mampu berubah dari Negara pengimpor jagung menjadi Negara pengekspor dengan target produksi sekitar 30 juta ton.

Saat ini pengolahan jagung di Indonesia hanya terbatas pada penyediaan jagung pipilan untuk kebutuhan industry pakan dan grits atau tepung jagung untuk industri pangan. Ampok (corn hominy) adalah produk samping yang jumlahnya cukup besar mencapai 35% dari total biji jagung yang digiling. Dengan makin


(25)

5

tingginya produksi jagung maka produksi ampok jagung juga akan meningkat sehingga harus dicari alternatif pemanfaatannya. Saat ini harga ampok di pasaran Indonesia relatif murah yaitu sekitar Rp. 1.800/kg, sedangkan menurut Sharma et al. (2007) harga ampok dunia hanya sekitar US$ 83.7 per ton setara dengan sekitar Rp.800,- per kg. Dengan demikian, pemanfaatan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari ampok tersebut disamping memberi manfaat lain yaitu meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan masyarakat serta kesejahteraan petani jagung. Selain itu dengan penggunaan produk dan limbah pertanian, maka ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai bahan baku pembuatan styrofoam juga dapat dikurangi.

Pemanfaatan ampok yang tidak saja berfungsi sebagai sumber serat tetapi sekaligus sebagai sumber pati, lemak dan protein pada pembuatan biofoam merupakan suatu hal baru karena beberapa penelitian sebelumnya umumnya menggunakan pati dan ditambahkan serat. Selain itu, penggunaan sizing agent untuk memodifikasi permukaan sehingga dapat meningkatkan hidrofobisitas biofoam juga belum banyak dilakukan. Umumnya penggunaan bahan tersebut dilakukan pada industri kertas atau tekstil. Penelitian ini sendiri berusaha mengkaji fenomena penambahan komponen bahan baku terhadap karakteristik produk biofoam yang dihasilkan baik dari sifat fisik, mekanis, termal dan biodegradabilitas.

Produk biofoam sebenarnya sangat beragam bentuk dan kegunaannya. Ada yang berbentuk butiran, lembaran, maupun cetakan. Teknologi proses pembuatan biofoam juga sangat beragam dan teknologinya semakin bervariasi dengan dikembangkannya berbagai metode untuk pembuatan biofoam dengan bentuk dan fungsi tertentu. Pada penelitian ini, produk biofoam yang dihasilkan berbentuk tray dan pot yang dibuat dengan menggunakan teknologi thermopressing. Adapun aplikasi dari produk yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengemas produk segar maupun produk olahan dengan kadar air sedang seperti buah-buahan utuh, sayuran atau produk pangan siap saji seperti ayam goreng dan kue-kue.


(26)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk kemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian dengan tujuan masing-masing adalah 1) mengetahui karakteristik bahan baku, 2) memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3) mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan sekaligus aman bagi kesehatan. Selain itu, penggunaan produk pertanian seperti pati dan limbah pertanian, selain meningkatkan nilai tambah juga sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Penggunaan bahan baku alami juga akan mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi sehingga dapat menghemat devisa negara.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan adalah :

1. Bahan baku ampok yang digunakan berasal dari Industri Penggilingan Jagung dengan ukuran 100 mesh. Polimer sintetik yang digunakan adalah PVOH. Pati modifikasi yang digunakan terdiri dari pati hidrofobik dan pati asetat dengan DS 0,3.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam

Pati merupakan produk pertanian yang memiliki potensi tinggi untuk bahan baku pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati dapat diperoleh dari berbagai hasil pertanian baik dari umbi, batang maupun biji-bijian, tersedia melimpah, dapat diperbaharui, dapat dimodifikasi serta memiliki kemampuan mengembang atau berekspansi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa ada peluang untuk menghasilkan kemasan pangan yang mampu menjadi alternatif pengganti styrofoam yang disebut dengan biofoam. Produk ini terbuat dari campuran pati, serat dan air yang diperoleh melalui proses ekstrusi dan menghasilkan produk pelet yang disebut dengan peanut foam atau loose fill foam (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Fang dan Hanna, 2000). Selain itu, pembuatan biofoam juga dapat dilakukan dengan teknik lain yaitu dengan thermopressing (Glenn dan Orts, 2001; Glenn et al., 2001; Shey et al., 2006; Shogren et al., 1998; Shogren et al., 2002; Soykeabkaew et al., 2004). Proses lain yang juga dapat digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah dengan teknologi microwave-assisted moulding. Penggunaan microwave untuk membantu proses pembuatan moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan menggunakan pelet hasil ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan bentuk dari pati menjadi pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet tersebut digelembungkan dengan menggunakan microwave.

Pati merupakan bahan yang heterogen yang secara kimia terdiri dari amilosa yang berantai lurus serta amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Secara fisik, pati memiliki daerah yang bersifat kristalin dan amorf (French, 1984). Struktur linier dari amilosa menyebabkan pati memiliki karakteristik yang mendekati polimer sintetis. Sementara struktur bercabang pada amilopektin cenderung mengurangi mobilitas dari rantai polimer dan berhubungan dengan semakin kuatnya ikatan hidrogen yang ada. Hampir semua pati alami merupakan semi kristalin dengan tingkat kristalinitas 20-45%. Amilosa dan titik percabangan


(28)

dari amilopektin membentuk daerah amorf, sementara percabangan pendek dari amilopektin membentuk daerah kristalin (Yu dan Chen, 2009).

Biodegradable foam yang dihasilkan dengan menggunakan pati sebagai bahan bakunya dilaporkan memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum menggembirakan. Produk biofoam tersebut sangat sensitif terhadap kelembaban serta memiliki sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001). Hal tersebut disebabkan karena sifat alami pati yang bersifat hidrofilik sehingga mudah menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Air yang terserap tersebut selanjutnya akan menyerang ikatan hidrogen sehingga kekuatan ikatan tersebut berkurang dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kekuatan mekanis dari biofoam (Guan dan Hanna, 2006).

Beberapa peneliti lain mencoba untuk memperbaiki karakteristik biofoam dengan melakukan penambahan serat (Shogren et al., 2002); Cinelli et al., 2006; Pimpa et al., 2007; Carmen et al.,2009; Canigueral et al., 2009; Mali et al., 2010 serta Benezet et al., 2011). Menurut Averous et al. (2001), penambahan serat selulosa hingga 15% dapat meningkatkan ketahanan terhadap air sekaligus meningkatkan kekuatan tariknya. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Streekumar et al. (2010) yang menyatakan bahwa penambahan serat sisal dapat meningkatkan sifat mekanik dari biokomposit. Penambahan serat juga berpengaruh terhadap peningkatan sifat hidrofobik biofoam seperti yang dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna ( 2006) ; serta Salgado et al.(2008). Penurunan tingkat sensitivitas terhadap air ini disebabkan oleh kemampuan serat dalam menyerap air yang lebih kecil dibandingkan dengan pati (Benezet et al., 2011).

2.1.1. Tapioka

Salah satu sumber pati potensial di Indonesia adalah tapioka yang berasal dari tanaman ubi kayu (Manihot esculenta). Berbeda dengan jenis pati lainnya, tapioka memiliki kandungan lemak, protein, abu serta kadar amilosa yang rendah. Kandungan protein dan lemak yang sangat rendah tersebut yang membedakan tapioka dari pati serealia (Breuninger et al., 2009). Pada saat proses gelatinisasi, tapioka akan membentuk pasta yang kental dengan warna yang jernih sehingga


(29)

9

banyak digunakan sebagai pengental pada industri pangan (Muadklay dan Charoenrein, 2008). Selain itu, dengan berkembangnya teknologi modifikasi pati maka penggunaan tapioka juga sudah meluas sebagai bahan baku pembuatan kemasan ramah lingkungan, lapisan film, maupun bahan termoplastik (Biliaderis, 1992).

Tapioka umumnya memiliki kandungan amilosa yang hampir sama untuk semua jenis yaitu berkisar 17-20%. Hal ini agak berbeda dengan jagung maupun beras yang memilliki variasi kandungan amilosa cukup besar (0-70%) untuk jagung dan (0-40%) untuk beras. Tapioka umumnya memiliki granula yang mulus permukaannya, berbentuk bulat dengan diameter (4-35µm). Bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih, tapioka akan mengalami proses gelatinisasi pada suhu sekitar 64,30C dan viskositas puncak akan dicapai pada suhu sekitar 67,60C. Komposisi pati yang cukup tinggi pada tapioka yang dikombinasikan dengan berat molekul amilosa yang tinggi menyebabkan tapioka menjadi sumber pati yang unik yang dapat langsung digunakan sebagai bahan baku industri, namun juga merupakan bahan baku yang baik untuk dilakukan proses modifikasi (Breuninger et al., 2009).

Tapioka memiliki kemampuan untuk berkontribusi pada proses puffing dan popping bila dipanaskan menggunakan microwave. Kemampuan tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan berupa snack melalui proses ekstrusi. Menurut Seibel dan Hu (1994), suhu die dan lama waktu tinggal merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi tapioka. Pada tahapan selanjutnya, kemampuan ekspansi tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk biofoam baik yang berbentuk butiran maupun cetakan. Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba memanfaatkan tapioka sebagai bahan baku pembuatan biofoam (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Soykeabkaew et al., 2004). Namun demikian, penggunaan tapioka yang belum dimodifikasi sebagai bahan baku biofoam belum menghasilkan karakteristik biofoam yang memuaskan. Oleh sebab itu, peneliti selanjutnya mencoba memodifikasi tapioka tersebut ataupun dengan menambahkan serat serta polimer sintetis (Salgado et al., 2008; Schmidt dan Laurindo, 2010; Vercelheze et al., 2012).


(30)

2.1.2. Ampok

Serat dapat diperoleh dari produk maupun limbah pertanian. Salah satu sumber serat yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku biofoam adalah ampok. Ampok merupakan produk samping industri penggilingan jagung yang terdiri dari pericarp, tipcap, lembaga dan sebagian endosperm. Bagian-bagian tersebut masih memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga umumnya digunakan sebagai campuran pakan ternak. Ampok sebenarnya juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif dengan terlebih dahulu melakukan modifikasi. Adapun bentuk produk yang dapat dihasilkan dengan memanfaatkan ampok antara lain produk cereal breakfast ataupun juga berbentuk wafer.

Biji jagung umumnya terdiri atas tiga bagian utama yaitu 1) pericarp yang merupakan lapisan luar yang tipis dan berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air, 2) endosperm yang merupakan cadangan makanan dan beratnya mencapai 75% dari bobot biji jagung. Endosperm ini mengandung 90% pati dan 10% protein, 3) lembaga atau germ yang merupakan embrio tanaman yang terdiri dari plamule, akar radikal, scutelum dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus, 1998 dalam Nur Aini, 2009. Selain itu biji jagung juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan tongkol (Gambar 1).

Gambar 1. Struktur biji jagung

Pericarp atau sering pula disebut sebagai hull atau bran, merupakan lapisan pelindung biji serta mencegahnya dari penetrasi air. Pada saat pericarp ini


(31)

11

rusak maka air akan masuk dengan cepat ke dalam biji. Pericarp ini mengalami perubahan yang cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu masih muda, pericarp memiliki sel-sel yang kecil dan tipis tetapi dengan bertambahnya umur biji lapisan tersebut menjadi semakin menebal dan membentuk membran yang kemudian dikenal sebagai kulit biji atau pericarp. Menurut Hoseney (1998) berat pericarp ini mencapai 5-6% dari bobot kernel. Pericarp tersebut selain terdiri dari selulosa juga masih mengandung protein sebesar 10% (Subekti et al., 2007).

Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Proporsi amilosa dan amilopektin pada biji jagung sangat bervariasi tergantung kepada varietasnya. Jagung dengan kadar amilopektin tinggi dikenal dengan nama waxy corn sedangkan yang kadar amilosa tinggi disebut dengan non waxy corn.

Pada endosperm yang transparan, granula pati berbentuk poligonal dan saling berikatan satu sama lain oleh matrik protein yang mengandung zein, sedangkan pada endosperm yang berwarna keruh atau opak, granula pati berbentuk lonjong dan diliputi oleh matrik protein yang tidak mengandung zein (Hoseney, 1998). Zein merupakan fraksi protein dengan proporsi terbesar pada endosperm jagung (Laszrity, 1986).

Lembaga atau germ merupakan bagian biji jagung dengan proporsi yang cukup besar. Pada jagung tipe dent, lembaga, meliputi 11,5% dari bobot biji jagung keseluruhan. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio. Lembaga memiliki kadar lemak yang tinggi yaitu 33,2%, protein 18,4% dan mineral 10,5% (Shukla dan Cheryan, 2001). Adapun komposisi biji jagung dan fraksinya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai aneka produk pangan dan non pangan diantaranya tepung jagung, minyak jagung, pati jagung dan bioetanol. Bahkan limbahnya seperti tangkai, tongkol, daun dan juga klobot atau kulit jagung juga sudah mulai dimanfaatkan.


(32)

Tabel 1. Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya Fraksi Kernel

(%)

Pati (%)

Protein (%)

Lemak (%)

Gula (%)

Abu (%)

Biji utuh 71.5 10.3 4.8 2.0 1.4

Endosperm 82.3 86.4 9.4 0.8 0.6 0.3

Germ 11.5 8.2 18.8 34.5 10.8 10.1

Bran 5.3 7.3 3.7 1.0 0.3 0.8

Tipcap 0.8 5.3 9.1 3.8 1.6 1.6

Sumber : Inglett, 1970

Jagung terdiri dari beberapa jenis tergantung pada komposisi bahan penyusunnya. Jagung dengan soft endosperm umumnya digunakan dalam proses wet milling untuk menghasilkan pati jagung yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pemanis, produk pangan, dan bioetanol. Jagung dengan hard endosperm umumnya digunakan dalam proses dry milling dimana dihasilkan bahan baku untuk pembuatan produk ekstrusi dan pakan (Rooney dan Suhendro, 2001).

Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara penggilingan kering (dry milling) (Yuan dan Flores, 1996). Penggilingan jagung metode kering ini sendiri dibedakan lagi menjadi tiga metode yaitu 1) proses degerming tempering; 2) stone ground process atau non degerming dan 3) proses pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming tempering merupakan metode yang paling umum digunakan karena menghasilkan tepung jagung yang berukuran paling halus (Hansen dan Van der Sluis, 2004 dalam Nur Aini, 2009).

Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung jagung adalah proses pemisahan pericarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Pericarp harus dipisahkan karena kandungan seratnya yang tinggi sehingga menyebabkan tepung jagung bertekstur kasar. Pemisahan lembaga juga dilakukan karena lembaga mengandung kadar lemak yang tinggi yang dapat menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap juga harus dipisahkan


(33)

13

karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan terlihat bintik-bintik hitam yang merusak warna tepung jagung.

Proses penggilingan jagung dengan metode kering menghasilkan limbah yang terdiri dari campuran pericarp, sebagian endosperm, lembaga dan tip cap. Pada proses penggilingan, bagian-bagian tersebut sebagian menjadi hancur dan kemudian dipisahkan melalui proses penampian. Sisa tampian yang disebut dengan ampok biasanya digunakan sebagai campuran pakan ternak dan dijual dengan harga yang sangat murah.

Bila dianalisa kandungan gizinya, sebenarnya ampok masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan maupun diolah lebih lanjut sehingga dapat diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Kandungan protein dan karbohidrat yang masih tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan bergizi tinggi seperti cereal breakfast atau sebagai sumber dietary fibre karena kandungan seratnya juga cukup tinggi. Namun demikian tentunya masih diperlukan proses modifikasi untuk memperbaiki sifat fisikokimianya.

Kandungan serat yang ada pada ampok terutama berasal dari bagian pericarp dan tipcap. Menurut Hu et al. (2008) kandungan pericarp atau bran ini 40% terdiri dari hemiselulosa, disusul selulosa, asam fenolik, lignin dan bahan lainnya (protein, abu, dan lain lain). Hemiselulosa ini umumnya tidak larut air dan terikat dengan kuat pada dinding sel dan selulosa oleh ikatan hidrogen. Hemiselulosa yang umumnya terdapat pada jagung adalah arabinoxilan yang memiliki lima dan enam atom karbon. Arabinoxilan ini biasanya berbentuk polimer yang lengket sehingga dapat digunakan sebagai bahan perekat, pengental maupun bahan tambahan pada pembuatan plastik (Gaspar et al., 2005). Ampok yang masih mengandung karbohidrat, protein berupa zein dan serat juga punya potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik dan biofoam pengganti plastik dan styrofoam yang bersumber dari minyak bumi.


(34)

2.2. Teknologi Proses Produksi Biofoam

Pati memiliki beberapa sifat khas atau unik yang timbul karena pengaruh panas atau gesekan seperti pembengkakan (swelling), gelatinisasi, melting, kristalisasi dan dekomposisi (Paes et al., 2008). Pati juga memiliki kemampuan untuk mengembang atau berekspansi. Sifat ini terlihat jelas pada produk-produk ekstrusi seperti yang biasa digunakan sebagai makanan selingan. Fenomena ekspansi pati kemudian mendorong para peneliti untuk memanfaatkan pati untuk menghasilkan biofoam berbentuk butiran atau sering disebut dengan loose fill foam atau peanut foam ( Lacourse dan Altieri, 1989 )

Proses pembuatan loose fill foam atau peanut foam dilakukan dengan menggunakan prinsip pembuatan produk ekstrudat seperti produk snack. Penggunaan ekstruder akan menghasilkan panas dan gaya gesek yang mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi dan mencair. Pati yang mencair tersebut akan mendapat tekanan yang besar saat melewati lubang kecil pada die sehingga uap air yang ada akan menimbulkan bubble effect yang menyebabkan cairan pati tersebut mengembang. Selanjutnya kontak dengan udara luar yang lebih rendah suhunya akan menyebabkan produk yang sudah mengembang tersebut mengeras hingga diperoleh produk yang mengembang jauh lebih besar dibandingkan bahan bakunya (Lawton et al., 2004).

Energi panas yang dihasilkan pada proses ekstrusi yang disertai dengan gesekan akan menyebabkan pati beserta bahan campuran lainnya akan mengalami perubahan fisikokimia. Menurut Kaletunc dan Breslauer (2003), suhu tinggi dan gesekan selama proses ekstrusi mampu mengubah campuran pati dan protein pada pati jagung menjadi bahan yang bersifat viskoelastis. Bahan ini selanjutnya akan mengembang dan mengeras membentuk partikel padat berbentuk busa atau foam. Kemampuan ekspansi produk ekstrusi ditentukan oleh banyak faktor yang merupakan kombinasi antara kondisi proses dan kualitas bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba melihat pengaruh dari variabel kondisi proses seperti suhu tangki, kecepatan screw, dimensi die nozzle, konfigurasi screw, ukuran tangki dan kelembaban (Bhattacharyya dan Hanna, 1987; Barres et al., 1990). Beberapa penelitian mengenai karakteristik bahan baku dan


(35)

15

pengaruhnya terhadap karakteristik bahan baku juga sudah banyak dilakukan (.Shogren et al., 1998; Salgado et al., 2008; Benezet et al., 2011; Vercelheze et al., 2012.). Adapun karakteristik bahan baku yang diamati antara lain komposisi bahan baku, komposisi lemak, protein, serat dan pati serta rasio amilosa terhadap amilopektin. Hal tersebut dilakukan karena semua faktor tersebut akan mempengaruhi reologi dan kekentalan dari pati (Chinnaswamy dan Hanna, 1988).

Aplikasi teknologi ekstrusi pada pembuatan biofoam diawali oleh. Chinnaswamy dan Hanna (1993) yang mengembangkan biofoam dengan mencampurkan 70% pati dengan plastik. Sementara itu, Neumann dan Seib (1993) juga mencoba menghasilkan biofoam dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari pati jagung. Namun demikian, produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat hidrofilik dan rapuh sehingga harus ditambahkan dengan beberapa bahan lainnya.

Selanjutnya, beberapa peneliti lain juga mencoba melakukan hal yang sama dengan menggunakan berbagai sumber pati dan mencampurkannya dengan polimer sintetik (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Wang et al.,1995; Wang dan Shogren, 1997; Fang dan Hanna, 2000; Peng et al., 2005; Jiang et al., 2006; Pushpadass et al., 2010). Namun, kurangnya kompatibilitas antara pati dengan polimer sintetik akibat perbedaan tingkat polaritas menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan belum memuaskan. Untuk itu, beberapa peneliti lainnya mencoba menambahkan plastisizer, agen pendispersi dan kompatibilizer serta cross linking agent (Wang et al., 2004; Zou et al., 2007).

Seiiring dengan berkembangnya gaya hidup, kebutuhan akan biofoam yang dapat dibentuk sesuai fungsinya mendorong berkembangnya teknologi thermopressing. Teknologi tersebut menggunakan prinsip pembuatan wafer dimana adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu. Kadar air yang ada pada adonan akan menguap karena adanya panas yang kemudian berfungsi sebagai blowing agent. Selama proses pencetakan, uap air tersebut akan mendorong proses ekspansi dari adonan pati hingga terbentuk biofoam sesuai dengan bentuk cetakan yang digunakan (Shogren et al., 1998).


(36)

Teknologi ini pertama kali diperkenalkan melalui penelitian Tiefenbacher (1993) dan dilanjutkan oleh Shogren et al. (1998) yang menghasilkan biofoam dengan bahan baku pati jagung dan pati gandum yang ditambahkan dengan guar gum dan magnesium stearat. Bila diamati struktur morfologinya dengan menggunakan SEM, terlihat bahwa biofoam memiliki struktur seperti sandwich dimana pada bagian luar memiliki struktur yang lebih padat sedang bagian dalamnya berongga. Menurut Shogren et al.(1998), bagian luar dari biofoam berbentuk lebih padat karena bagian tersebut yang menempel pada cetakan yang memiliki tingkat panas lebih tinggi. Akibatnya adonan akan mengering dengan cepat sehingga proses ekspansi tidak berjalan sempurna. Sementara itu, bagian dalam berbentuk rongga besar dengan sel yang terbuka yang merupakan jalan keluar dari uap panas yang bertekanan tinggi pada pembuatan biofoam. Seperti halnya biofoam berbentuk butiran, biofoam yang dihasilkan dengan teknologi wafer ini juga masih memillki sifat mekanis yang rendah serta tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kelembaban.

Teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk membuat biofoam adalah proses puffing dengan menggunakan bahan baku pati dengan kelembaban rendah. Proses ini seperti halnya pada pembuatan popcorn, dimana jagung dengan kadar air 10-15% dipanaskan pada suhu sekitar 1770C hingga mencapai ukuran maksimum (Hoseney et al., 1983). Proses puffing dengan sistem eksplosi ini juga dapat dikembangkan untuk produk biji-bijian yang tidak bisa mengembang secara alami ketika dipanaskan (Sullivan dan Craig, 1984). Teknologi ini dapat menghasilkan biofoam berbasis pati dengan densitas yang rendah dalam beberapa detik saja. Namun demikian, teknologi ini kurang sesuai untuk membuat produk biofoam dengan bentuk tertentu seperti yang diinginkan.

Selanjutnya dalam perkembangannya, teknologi lain yang juga dapat digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah dengan microwave assisted moulded. Saat ini penggunaan microwave untuk membantu proses pembuatan moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan menggunakan pelet hasil ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan bentuk dari pati menjadi pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet tersebut digelembungkan dengan menggunakan bantuan microwave.


(37)

17

Dari berbagai teknik serta jenis produk yang dapat dihasilkan pada pembuatan biofoam, tampaknya teknologi thermopressing yang paling mudah aplikasinya karena tidak memerlukan peralatan yang canggih seperti ekstruder. Namun demikian, umumnya semua produk yang dihasilkan dengan berbagai teknik tersebut masih memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum menggembirakan. Produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat rapuh, kaku, dengan sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001).

2.3. Karakteristik Biofoam

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam diantaranya seperti yang dilakukan oleh Cinelli et al. (2006), dengan membuat kemasan habis pakai berupa piring yang dibuat dari pati kentang yang dicampur dengan serat jagung dan PVOH. Penambahan serat jagung ternyata dapat meningkatkan ketahanan terhadap airnya (water resistance), namun demikian sifat serat jagung tersebut juga dapat menurunkan kekuatan mekanis dari kemasan biofoam yang dihasilkan.

Penambahan serat pada pembuatan tray biofoam juga dilakukan oleh Shogren et al.( 2002) dengan menggunakan serat yang berasal kayu lunak sebagai reinforcing fillers. Adapun bahan baku utama yang digunakan yaitu pati kentang dengan kadar amilopektin tinggi yang ditambahkan dengan pati jagung amilosa tinggi. Selain itu ditambahkan pula dengan polimer sintetik PVOH dan aspen fiber serta monostearil sitrat. Penambahan monostearil sitrat dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan terhadap air. Sementara untuk mencegah adonan lengket pada cetakan dilakukan penambahan magnesium stearat.

Beberapa penelitian lain yang juga menambahkan serat dalam pembuatan biofoam diantaranya dilakukan oleh Mali et al. (2010) dengan menambahkan serat yang berasal dari ampas bagas tebu. Sementara itu, Benezet et al. (2011) menggunakan serat yang berasal dari tangkai gandum dan kapas. Menurut Ruggiero et al. (2006), penambahan serat selain berfungsi meningkatkan sifat mekanis juga berkontribusi besar pada kelestarian lingkungan mengingat sifatnya yang tidak mengandung bahan berbahaya, mudah didaur ulang serta murah. Penambahan serat juga dapat mempercepat proses degradasi oleh mikroorganisme


(38)

yang menyukai komponen lignoselulosik yang ada pada serat (Chiellini et al. (2009).

Selanjutnya Pimpa et al. (2007) menggunakan pati sagu yang ditambahkan dengan PVOH dan PVP kemudian diiradiasi. Hasilnya menunjukkan bahwa campuran sagu dan PVOH hasil iradiasi lebih baik dibandingkan campuran sagu dan PVP karena produk foam yang dihasilkan lebih fleksibel. Upaya perbaikan lainnya dilakukan oleh Salgado et al. (2008) dengan menggunakan tapioka sebagai bahan utamanya dengan campuran protein bunga matahari dan serat selulosa. Penambahan protein dan serat tersebut untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanis biofoam yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi serat dapat meningkatkan sifat mekanis produk serta mengurangi kadar air produk setelah di proses pencetakan. Peningkatan konsentrasi protein dapat mengurangi kadar air setelah pencetakan, kapasitas penyerapan air serta laju kerusakan. Hasil terbaik dari penelitian ini adalah dengan menggunakan campuran serat 20% dan protein 10%.

Selain penambahan serat, penambahan polimer sintetik salah satunya PVOH sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan semakin meningkat karena PVOH memiliki kompatibilitas yag tinggi dengan polimer alami seperti pati. Penambahan PVOH akan mempermudah proses pembuatan kemasan ramah lingkungan serta hasil pencampurannya dapat meningkatkan karakteristik biokomposit yang dihasilkan (Follain et al., 2005; Russo et al., 2009). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pencampuran PVOH dengan pati akan menghasilkan komposit yang sinergis dan kuat. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus hidroksil yang ada akan membentuk ikatan hidrogen diantara molekul pati dan PVOH ( He et al., 2004; Rahmat et al., 2009). Campuran ini juga akan terdispersi secara homogen dalam larutan pada pembuatan film bila diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM) (Tudorachi et al., 2000).

Pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetik seringkali terkendala oleh rendahnya kompatibilitas di antara ke tiga bahan tersebut. Hal ini akan berakibat pada rendahnya sifat mekanis dari biofoam tersebut. Oleh karena itu


(39)

19

beberapa peneliti mencoba menambahkan kompatibilizer, agen pendispersi, dan plastisizer. Menurut Wang et al. (2004), plastisizer dapat berperan sebagai pendispersi yang mampu mengurangi terjadinya aglomerasi sehingga dapat meningkatkan kuat tarik pada komposit pati dan plastik LDPE. Sementara itu, menurut Zhou et al. (2007), penambahan gliserol juga mampu menurunkan daya serap air sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas komposit. Penambahan plastisizer juga akan membantu pergerakan inter dan antar rantai molekul (Willet et al., 1995) sehingga viskoelastisitas bahan akan meningkat..

Upaya selanjutnya yang dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam adalah dengan penambahan bahan hidrofobik seperti wax, atau polimer sintetik untuk meningkatkan hidrofobisitasnya (Shogren et al., 1998; Andersen et al., 1999). Selain itu, penggunaan pati modifikasi juga dapat memperbaiki karakteristik biofoam yang dihasilkan seperti yang telah dilakukan oleh Matsui et al. (2004); Laratonda et al. (2005); Xu et al. (2005); Schmidt dan Laurindo (2009). Pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable adalah pati asetat dengan nilai DS >1 karena memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik (Aburto et al., 1999; Guan et al., 2004).

Asetilasi merupakan salah satu jenis modifikasi pati yang dilakukan secara kimia dan tergolong pada proses esterifikasi. Esterifikasi pati yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan suhu gelatinisasi, stabilitas termal dan mengurangi kecenderungan retrogradasi. Pati asetat banyak dimanfaatkan pada berbagai macam aplikasi seperti bahan pengental pada berbagai produk pangan, sebagai bahan pengisi pada industri tekstil dan kertas serta sebagai bahan perekat. Umumnya untuk produk pangan dibutuhkan Derajat Substitusi (DS) yang rendah berkisar 0,01-0,2, namun untuk aplikasi sebagai bahan kemasan dibutuhkan pati asetat dengan nilai DS yang cukup tinggi (>2) (Junistia et al., 2008).

Pati asetilasi DS rendah biasanya diperoleh melalui proses esterifikasi pati alami dengan asetat anhidrat pada medium air dengan katalis dari golongan alkali. Sementara itu, pati asetilasi DS tinggi umumnya memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik. Pati asetilasi DS tinggi ini umumnya


(40)

digunakan untuk pengikat tablet, perekat panas, filter rokok dan bahan kemasan Aburto et al. (1999). Sementara menurut Guan et al. (2004), pati asetilasi bernilai DS tinggi (>1) umumnya bersifat hidrofobik sehingga dapat digunakan sebagai bahan kemasan seperti biofoam.

Nilai DS pati modifikasi sangat bervariasi tergantung pada sumber pati, rasio amilosa dan amilopektin, jumlah bahan kimia yang ditambahkan serta lamanya waktu reaksi. Proses asetilasi merupakan upaya untuk menghasilkan material yang bersifat tahan air. Namun demikian, proses asetilasi tersebut tergolong mahal dan menyebabkan kemampuan bioplastik untuk terurai menjadi berkurang (Rivard et al., 1995). Dengan demikian penggunaan pati asetat harus dilakukan seoptimum mungkin agar tidak mengurangi kemampuan degradasi dari biofoam.

Selain pati dan selulosa, produk pertanian lain juga menghasikan berbagai bentuk polisakarida lain seperti guar gum, tepung konjac, yang dapat berfungsi sebagai pengikat atau binder pada proses pembuatan biofoam. Menurut Poovarodom (2006), penambahan binder dapat mengurangi penyerapan air serta meningkatkan ketahanan terhadap minyak.

Penambahan protein dapat meningkatkan sifat fisik dan mekanis dari biofoam mengingat protein sendiri juga merupakan polimer alami yang mampu membentuk matrik polimer. Beberapa protein alami yang untuk meningkatkan sifat mekanis biofoam diantaranya penambahan zein (Gaspar et al., 2005); putih telur (Wongsasulak et al., 2006; 2007) serta protein biji matahari (Salgado et al., 2008) . Salgado juga menyebutkan bahwa penambahan protein tidak hanya meningkatkan sifat mekanis tetapi juga dapat mengurangi sensitivitas terhadap air. Namun demikian menurut Poovarodom (2006), penambahan protein >5% dapat menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan menjadi rusak akibat menjadi gosong dan lengket pada cetakan.

Produk pertanian lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biofoam adalah lemak. Walaupun bukan digunakan sebagai bahan baku utama, lemak umumnya dibutuhkan sebagai bahan pembantu khususnya sebagai demolding agent, untuk membantu mempermudah produk tidak lengket pada


(41)

21

cetakan. Penambahan lemak juga diyakini mampu menurunkan sensitivitas terhadap air mengingat sifat lemak yang hidrofobik. Lemak dan produk turunannya juga dapat berfungsi sebagai plastisizer yang berguna untuk meningkatkan fleksibilitas produk serta memudahkan pada proses pelepasan dari cetakan. Bahan lainnya lagi adalah lateks. Bahan ini digunakan sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan viskoelastisitas dari foam sehingga produk yang dihasilkan memiliki tingkat kelenturan yang tinggi yang dibutuhkan apabila foam digunakan sebagai shock absorber. Selain itu penambahan lateks juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap air karena sifatnya yang hidrofobik ( Cienelli et al., 2009; Shey et al., 2006)

Sebenarnya masih banyak produk pertanian lain yang juga bisa dimanfaatkan dalam pembuatan biofoam seperti chitosan yang merupakan hasil perikanan (Kaisangsri et al., 2011); putih telur yang merupakan hasil ternak (Wongsasulak et al., 2006) serta wax yang diperoleh dari peternakan madu. Belum lagi bila ke dalam adonan biofoam ditambahkan bahan aktif yang diekstrak dari berbagai tanaman untuk meningkatkan ketahanannya terhadap kerusakan akibat mikroorganisme ataupun sebagai pewarna alami.

Bahan aditif lain yang umumnya digunakan pada pembuatan biofoam adalah demolding agent atau lubricant untuk memudahkan pengeluaran produk dari cetakan. Umumnya bahan yang digunakan adalah magnesium stearat seperti yang dilakukan pada penelitian (Onteniente et al., 2000.). Penambahan hidrokoloid seperti guar gum dapat berfungsi sebagai nucleating agent ataupun penstabil. Sementara penambahan agar berfungsi sebagai binder.

Meski sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofoam, namun yang sudah komersial dan dipasarkan masih terbatas. Hal ini disebabkan karena produk biofoam masih memiliki beberapa kelemahan seperti tidak kedap air, serta sifat mekanik yang rendah. Untuk itu penelitian ini masih terus dilanjutkan dengan menggunakan berbagai sumber pati, serat, polimer serta melakukan modifikasi pati agar dapat menghasilkan produk biofoam yang dapat bersaing dengan styrofoam.


(42)

(43)

23

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini tapioka merek GA yang diproduksi oleh industri tapioka di Lampung, sedangkan ampok diperoleh dari salah satu perusahaan penggilingan jagung di Sidoarjo, JawaTimur. Pati hidrofobik diperoleh dari salah satu perusahaan pati modifikasi lokal sedangkan pati asetat diperoleh dari PT National Starch, Bangkok, Thailand. Polimer sintetik PVOH merek Celvol. Bahan tambahan magnesium stearat, gliserol diperoleh dari toko bahan kimia di kota Bogor. Sizing agent diperoleh dari Lab Packaging, Kasetsart University. Agar dari PT Finechem dan NaOH dari Merck.

Adapun peralatan yang digunakan antara lain berupa mixer, mesin cetak thermopressing, untuk pembuatan biofoam, serta peralatan lain yang digunakan dalam analisis bahan baku maupun produk jadi seperti Scanning Electrone Microscopy (SEM) merek Zeiss tipe Evo 50, Differential Scanning Calorymeter (DSC) merek Shimadzu TA-50WSI, X Ray Diffractometer merek Shimadzu type Maxima 7000, Texture Analyzer, Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA) merek Gabo, Contact Angle Goneometer merek OCA20, Data Physic, Chromameter, Amilograf merek Brabender, oven, desikator, dan alat gelas untuk analisa.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada beberapa laboratorium diantaranya di Laboratorium Balai Besar Pascapanen, Laboratorium TIN, dan Laboratorium Polimer Pertamina Jakarta, serta Laboratorium Packaging and Materials Technology, Kasetsart University, Thailand. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Serpong, Laboratorium Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan serta Laboratorium Kimia Terpadu, IPB. Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada kurun waktu November 2010 hingga Mei 2012.


(44)

3.3. Kerangka Pemikiran

Ketergantungan manusia terhadap styrofoam yang sudah sangat tinggi, padahal banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian styrofoam tersebut baik terhadap kesehatan maupun kelestarian lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam dengan menyediakan kemasan alternatif yang aman bagi kesehatan serta ramah terhadap lingkungan. Salah satu bahan yang memiliki potensi adalah pati, karena memiliki kemampuan ekspansi serta bersifat termoplastis. Sayangnya menurut beberapa hasil penelitian sebelumnya, biofoam yang dihasilkan oleh bahan berpati memiliki beberapa kelemahan diantaranya, rapuh serta hidrofilik sehingga aplikasi penggunaannya masih sangat terbatas.

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pati tersebut antara lain dengan melakukan modifikasi pati, menambahkan bahan hidrofobik, polimer sintetis ataupun aditif lainnya. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan produk kemasan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan yang dapat menggantikan penggunaan styrofoam, khususnya sebagai wadah kemasan pangan sekali pakai. Hal ini mengingat pemakaian kemasan styrofoam sekali pakai yang sangat banyak padahal hanya digunakan satu kali saja dan langsung dibuang. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi styrofoam tersebut lebih dari 500 tahun.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengurangi kelemahan yang ada pada biofoam berbasis pati dengan menambahkan beberapa bahan tambahan yang diharapkan akan menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik, mekanis dan biodegradabilitas yang baik.

Menurut beberapa literatur, karakteristik biofoam dipengaruhi oleh komposisi bahan baku terutama sumber pati serta kondisi proses pembuatannya. Komposisi bahan baku meliputi komposisi kimia, rasio amilosa/amilopektin, ukuran partikel yang semuanya akan berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pati tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam. Sementara itu, kondisi proses baik suhu, tekanan, waktu proses thermopressing


(45)

25

juga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi dari bahan baku yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakteristik produk yang dihasilkan.

Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan menggunakan thermopressing dimana adonan dicetak dan dipanaskan pada suhu dan tekanan tertentu selama beberapa waktu. Penentuan kondisi proses sendiri ditentukan oleh formulasi bahan yang digunakan. Formulasi dan kondisi proses ini sangat mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan.

Dengan penggunaan bahan baku yang sedapat mungkin bersifat alami maka diharapkan biofoam yang dihasilkan dapat menyediakan kemasan alternatif pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Dengan penggunaan bahan alami seperti tapioka dan ampok maka diharapkan ketergantungan terhadap minyak bumi untuk bahan baku styrofoam dapat dikurangi. Selain itu penggunaan ampok sebagai bahan baku juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi ampok itu sendiri serta membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

3.4. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan yaitu (1) Karakterisasi bahan baku pembuatan biofoam, (2) Pengembangan produk biofoam berbahan baku tapioka dan ampok, (3) Perbaikan karakteristik biofoam dan (4) Analisis nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku biofoam, sebagaimana tersaji pada Gambar 2.

3.4.1. Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional bahan baku.

Tahapan awal penelitian ini adalah melakukan karakterisasi bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian yaitu ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia bahan yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat (by difference), kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin. Analisis sifat termal meliputi suhu gelatinisasi, suhu maksimum, viskositas maksimum, viskositas breakdown, viskositas setback dan viskositas akhir dengan menggunakan


(46)

Viscoamylograph Analyzer. Selain itu juga dilakukan pengukuran titik transisi gelas dan titik leleh (melting point) dengan menggunakan alat Differential Scanning Calorymeter (DSC). Analisis sifat fungsional meliputi daya serap air dari masing-masing sumber pati serta pengamatan terhadap struktur morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Polarized microscope. Prosedur evaluasi karakteristik bahan baku disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 2 . Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok

Karakterisasi Bahan Baku

Pengembangan Produk Biofoam

Penambahan Serat

Penambahan Polimer Sintetik

Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol

Penambahan Pati Hidrofobik

Analisis Nilai TambahTapioka dan

Ampok, Biofoam Perbaikan Karakteristik

Biofoam

Karakterisasi Biofoam


(47)

27

3.4.2. Pengembangan Produk Biofoam

3.4.2.1. Penentuan Kondisi Proses

Pengembangan produk biofoam diawali dengan penentuan kondisi proses thermopressing yang meliputi penentuan suhu proses dan lama waktu proses serta volume adonan yang digunakan pada pembuatan biofoam. Adapun selang suhu yang diujikan pada tahapan ini berkisar 140-1800C, sedangkan lama waktu proses diujikan 2-4 menit. Jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam cetakan dilakukan dengan variasi 50-80. Karakterisasi biofoam pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat warna dan penampakan biofoam yang dihasilkan. Diagram alir selengkapnya seperti tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Biofoam Air

(1 : 1)

Bahan Baku Tapioka:Ampok

(3 : 1)

Pencampuran bahan kering menggunakan mixer selama 5 menit

Pembuatan adonan menggunakan

mixer selama 5 menit

Pendinginan 30 menit Pencetakan menggunakan

thermopressing machine

Biofoam

Karakterisasi melalui Penampakan Visual


(1)

Lampiran 29. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam

Sumber Jumlah

Kuadrat

Db Kuadrat Tengah

F Sig. Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) 38.768 1 38.768 568.860 .000

Sizing Agent (SA) 1.606 1 1.606 23.570 .000

Gliserol (G) 62.525 2 31.262 458.727 .000

PA * SA .533 1 .533 7.814 .016

SA * G 15.073 2 7.536 110.586 .000

PA * G 319.839 2 159.920 2346.567 .000

PA* SA * G 33.784 2 16.892 247.864 .000

Galat .818 12 .068

Total 56760.907 24

Total Terkoreksi 472.946 23

Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan

Perlakuan Kuat Tarik

(N/mm2) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)

P1 47,16 a

P2 49,70 b

Sizing Agent (SA)

S1 48,69 a

S2 49,17 b

Gliserol (G)

G0 46,4 a

G2 48,54 b


(2)

Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi

Perlakuan Kuat

Tarik (N/mm2)

Interaksi PA*SA

P1S2 46,75 a

P1S1 47,57 ab

P2S1 49,81 b

P2S2 49,59 b

Interaksi PA*G

P1G0 40,21 a

P2G2 45,99 ab

P1G1 50,18 b

P1G2 51,09 b

P2G0 52,59 b

P2G1 50,52 b

Interaksi SA*G

S2G0 45,75 a

S1G0 47,05 ab

S2G2 47,57 ab

S1G2 49,51 b

S1G1 50,18 b

S2G1 51,19 b

Interaksi PA*SA*G

P1S2G0 38,89 a

P1S1G0 41,52 b

P2S2G2 43,52 c

P2S1G1 48,39 d

P2S1G2 48,45 d

P1S2G1 49,75 e

P1S1G2 50,56 f

P1S1G1 50,60 f

P1S2G2 51,60 g

P2S1G0 52,57 h

P2S2G0 52,60 h


(3)

Lampiran 30. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam

Sumber Jumlah

Kuadrat

db Kuadrat Tengah

F Sig. Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) 551.042 1 551.042 11.255 .006

Sizing Agent (SA) 26.042 1 26.042 .532 .480

Gliserol (G) 1706.250 2 853.125 17.426 .000

PA * SA 1.042 1 1.042 .021 .886

SA * G 1477.083 2 738.542 15.085 .001

PA * G 64.583 2 32.292 .660 .535

PA* SA * G 1102.083 2 551.042 11.255 .002

Galat 587.500 12 48.958

Total 21275.000 24

Total Terkoreksi 5515.625 23

Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor

Perlakuan Pertumbuhan

Kapang (%) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)

P2 20,83 a

P1 30,42 b

Gliserol (G)

G2 18,75 a

G1 20,63 a


(4)

Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan dan Interaksinya Perlakuan Pertumbuhan

Kapang ( %) Interaksi SA*G

S2G2 11,25 a

S2G1 15,00 a

S1G1 26,25 b

S1G2 26,25 b

S1G0 27,50 b

S2G0 47,50 c

Interaksi PA*SA*Gl

P2S2G2 10,00 a

P1S2G2 12,50 ab

P2S2G1 15,00 ab

P2S1G2 15,00 ab

P1S1G1 22,50 bc

P1S2G1 25,00 bcd

P2S1G0 25,00 bcd

P2S1G1 30,00 cde

P1S1G0 35,00 cdef

P1S1G2 37,50 def

P1S2G0 40,00 fg

P2S2G0 45,00 g


(5)

Lampiran 31. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Gula Pereduksi (%) Biofoam

Sumber Jumlah

Kuadrat

db Kuadrat Tengah

F Sig.

Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) .115 1 .115 .019 .894

Sizing Agent (SA) 12.266 1 12.266 1.986 .184

Gliserol (G) 13.972 2 6.986 1.131 .355

PA * SA 1.553 1 1.553 .251 .625

SA * G 5.679 2 2.839 .460 .642

PA * G 1.386 2 .693 .112 .895

PA* SA * G 1.714 2 .857 .139 .872

Galat 74.131 12 6.178

Total 4191.403 24


(6)

Lampiran 32. Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula I

Bahan baku Komposisi (%)

Kebutuhan/bulan (Kg)

Harga (Rp)

Biaya/bulan (Rp)

Tapioka 24 720,00 6.000,00 4.320.000

Ampok 8 240,00 1.500,00 360.000

PVOH 15 450,00 7.000,00 3.150.000

Magnesium Stearat

3 90,00 16.500,00 1.485.000

Air 50 1.500,00 400,00 600.000

Total 100 3.000,00 9.915.000

Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula II Bahan baku Komposisi

(%)

Kebutuhan/bulan (Kg)

Harga (Rp)

Biaya/bulan (Rp)

Tapioka 21 630,00 6.000,00 3.780.000

Ampok 12 390,00 1.500,00 585.000

PVOH 8 240,00 7.000,00 1.680.000

Pati Asetat 14 360,00 40.000,00 14.400.000

Magnesium Stearat

1 30,00 16.500,00 495.000

Agar 3 90,00 125.000,00 11.250.000

NaOH 0,1 3,00 450.000,00 1.350.000

Gliserol 5 6,,00 70.000,00 3.150.000

Sizing agent 0,4 12,00 20.000,00 240.000

Air 35,5 1.200,00 400,00 480.000