Pengendalian Dan Penyerentakan Berahi Pada Sapi

1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alamo

3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

4. Yang menguasai hari kemudian.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan
hanya Engkaulah kami mohon ー・イエッャョセ@
an.

6. Tunjukilah kami jalan yang lurus.
7.

(yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.
(Al Faatihah)

Ku persembahkan tulisan
ini kepada ayah, ibu,

kakak, adik dan kekasih
ku tercinta.

PENGENDALIAN DAN PENYERENTAKAN BERAHI
PADA SAPI

SKRIPSI

ol€b

MUHAMMAD SYIBLI
B. 16Q193

FAKUL TAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOG OR

1985

RINGKASAN


MUHAMMAD SYIBLI.

Pengendalian dan Penyerentakan Berahi

pada Sapi (di bawah bimbingan R. KURNIA ACHJADI).
Dewasa ini kebutuhan akan protein hewani masih belum
terpenuhi, maka salah satu cara

untuk mengetasinya yaitu

dengan meningkatkan populasi ternak.

Pengendalian dan pe-

nyerentakan berahi merupakan suatu cara untuk mempermudah
pengamatan berahi pada ternak dan memperpendek siklus berahi dari ternak.

Pengendalian dan penyerentakan

berahi


dapat digunakan dengan menggunakan hormonal ataupun

non-

hormonal.
Penggunaan estrogen dalam pengendalian dan penyerentakan berahi

karena dapat meregresikan corpus luteum.

Dengan dosis 5 mg estradiol atau 25 - 100 mg est ron

akan

menimbulkan berahi 3 sampai 7 hari setelah pemberian.
Sedangkan penggunaan progesteron karen a dalam jumlah
yang tinggi dalam darah

akan menghambat pelepasan hormon


LH sehingga ovulasi dan berahi tidak terjadi.

Penyisipan

Progesteron Releasing Intravaginal Devices (PRIDs) selama
9 sampai 14 hari akan memberikan hasil yang cukup memuaskan, dimana hewan-hewan yang diberikan akan muncul berahi
2 sampai 4 hari setelah PRIDs dicabut.
Pengendalian dan penyerentakan berahi dengan menggunakan prostaglandin karena sifat luteolisis sehingga akan
meregresikan corpus luteum.
secara intra muskuler

Dengan dosis 25 sampai 30 mg

atau 1 - 5 mg secara

sapi-sapi akan memperlihatkan berahi
pemberian dilakukan

intra uterin


2 - 4 hari

setelah

PENGENDALI AN DMl PENYERENT P.KAN BERAH I

P!I,DP. SP.P I

OLEH
muhaセQd@

SYIBLI
B. 160193

SI(R I PS I
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Dokter Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1 9 85

PENGENDALIAN DAN PENYERENTAKAN BERAHI
PADA SAPI

SKRIPSI

oleh
MUHAMMAD SYIBLI
B. 160193
(Sarjana Kedokteran Hewan 1983)

Telah Diperiksa dan disetujui
oleh :
,

(Drh.


R.

KURNIA ACBJADI, !viS)

Ibsen Ilnru Kebidanan dan Reproduksi
Fakul tas Kedokteran Bewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Mei 1960 di Jakarta, sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara.

Ayah

bernama Muhammad Fadhil Tasmi dan ibu Salijah.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1972
di Sekolah Dasar Negeri Slipi III pagi, Jakarta. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Islam Al-Azhar

di Jakarta dan lulus pada tahun 1975.

Pada tahun 1979

penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Islam Al-Azhar,
di Jakarta.
Penulis memasuki Institut Pertanian Bogar pada tahun
1979, dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan tahun
1980 sampai akhirnya lulus sarjana kedokteran hewan pada
tanggal 7 Juli 1983.

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat

serta Bida-

yahnya maka skripsi ini dapat diselesaikan.
Pengendalian dan penyerentakan berahi merupakan suatu cara untuk mempermudah mengetahui berahi dan disamping
i tu akan memperpendek siklus berahi sehingga dapat meningkatkan populasi dan mutu ternak.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada Drh. R. Kurnia Achjadi MS yang
telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan ini.
Juga kepada segenap staf dan pegawai Fakultas Kedokteran
Bewan penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala blinbingannya selama penulis be1ajar, begitu pula untuk

staf

perpustakaan BPT dan BAKITWAN yang te1ah memberikan bantuan selama penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian semoga apa yang dituangkan
dalam skripsi ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Jakarta,

Maret 1985

penulis

DAFTAR


IS I
Halaman

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

iv

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN


1

SIKLUS REPRODUKSI HEWAN BET INA

4

Siklus Berahi

4

Tanda-tanda dan Lama Berahi pada Sapi ....

6

Ovulasi

9

Horman-harmon Siklus Berahi

10

PENGENDALIAN DAN PENYERENTAKAN BERAHI

13

Penggunaan Estrogen

14

Penggunaan Progesteron

19

Penggunaan Prostaglandin

25

KESIMPULAN

33

DAFTAR PUS TAKA

35

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Teks

1.

Lama siklus berahi dan waktu ovulasi
pada sapi

2.

9

Efek dosis rendah

estradiol valeret

pada regresi corpus luteum,

berahi
18

dan ovulasi
3.

Waktu berahi setelah pencabutan PRIDs
angka konsepsi pada sapi yang diberikan PGF

4.

2

alpha dan

estradiol benzoat

23

Hasil pengamatan pemakaian PRIDs yang
berulang-ulang selama 9 hari dan

di-

kombinasikan dengan 0.5 mg PGF
sebelum PRIDs dicabut
5.

alpha
2
..............

Waktu berahi yang ditimbulkan oleh
penyuntikan PGF 2 alpha 2 kali yang di
berikan dengan perbedaan pemberian

6.

24

30

Efek dosis PGF 2 alpha secara intra uterin dan subcutan pada pengendalian
dan penyerentakan berahi

31

DAFTAR

GAMBAR

Nomor
1.

Halaman
Rumus bangun (kimia) macam-macam
estrogen yang terdapat pada mamalia

15

2.

Gugus fungsional prostaglandin ..

27

3.

Rumus molekul prostaglandin F2
alpha

27

Kemungkinan mekanisme PGF alpha
2
pada proses luteolisis ....... .

29

4.

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan peternakan yang telah digariskan. dalam Repelita bertujuan
tarikan sumber daya ternak

dengan meningkatkan

melespopulasi

dan mutu genetik ternak.
Dewasa ini kebutuhan akan protein hewani

masih jauh

dari cukup, dimana kebutuhan manusia akan protein rata-rata 55 gram yang terdiri dari 35 gram protein nabati, 15 gr
protein hewani asal ikan dan 5 gr protein hewani asal ternak.

Sedangkan pada tahun 1982 diperkirakan konsumsilillu-

.

sus protein hewani asal ternak baru akan mencapai 2,5
per kapita per hari.

gr

Hal ini disebabkan karena masih cu-

kup tingginya angka kematian dan banyalmya pemotongan ternak yang masih produktif walaupun undang-undang veteriner
melarangnya

1

Kebutuhan akan daging,

susu dan hasil ternak lainnya

akan meningkat dengan adanya perbaikan pendapatan dan pen
didikan masyarakat serta lajunya pertambahan pendudukyang
cukup besar.

Untuk itu perlu diimbangi dengan peningkat-

an populasi ternak, dan salah satu cara untuk mencapaitujuan tersebut adalah dengan menggalakan inseminasi buatan
(IB) khususnya pada ternak besar.
Ternak sapi merupall:an salah satu jenis ternak

yang

dipelihara hampir merata di seluruh Indonesia baik dipe desaan maupun di kota dalam bentuk peternakan rakyat atau
peternakan besar.

Karena sapi bersifat polifungsi

dalam

masyarakat maka j ika populasi dan mutunya dapat ditinglmtkan
1Hutasoit, J, H. 1982. Menuju Swasembada Protein Hewani.
Peternal= dan Industri peternall:an, no. 16-17.

Media

2

berarti sumbangannya terhadap pembangunan bangsa cukup besar.
Dalam hubungannya dengan mutu ternak melalui inseminasi buatan, masalah pengamatan dan pelaporan berahi sapi
sering mengalami kesulitan oleh karen a siklus berahi

se-

tiap indi vidu ternak berbeda-beda.

hal

Untuk mengatasi

tersebut diatas, maIm metode yang telah dikenal dan telah
diterapkan adalah pengendalian dan penyerentakan

berahi.

Metoda yang digunakan untuk pengendalian dan penyerentakan
berahi dapat dibagi menjadi empat katagori, yaitu

dengan

progestogen, prostaglandin, hormon-hormo- lainnya dan non
hormonal (Smith, 1974).

Dan yang akan dibahas disini ada-

lah pengendalian dan penyerentakan berahi dengan menggu nakan estrogen, progesteron dan prostaglandin.
Estrogen adalah suatu hormon yang dapat menimbulkan
berahi pada hewan betina dan termasuk
hormon yang dihasilkan ovarium.

dari tiga kelompok

Selain oleh ovarium

trogen juga dihasilkan oleh plasenta, testis dan
adrenal.

es-

korteks

Dan zat-zat yang mempunyai aktifitas estrogenik

telah ditemukan juga pada dunia tumbuha-tumbuhan

seperti

Clover subterranian, dan ini telah banyak disintesa.
Pada mamalia, sedikit-dikitnya telah ditemukan 8 macam estrogen yaitu estradiol 17 betha, estron,

estriol,

16-epiestriol, 16-hydroxyestron, equilin, equilenin
hippulin.

dan

Semua estrogen ini mempunyai struktur steroid

yang khas, sedangkan estrogen yang terdapat dalam tumbuhtumbuhan seperti genistur, genistein dan coumestrol ada lah non-steroidal.

Disamping itu ada juga sekelompok es-

trogen non-steroidal sintetik seperti stilbestrol.

3

Progesteron adalah progestogen alamiah terpenting yang
dihasilkan oleh sel-sel lutein corpus luteum.

Disamping

itu hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta dan sejumlah
kecil progesteron telah diisolir dari testis dan

kelenjar

adrenal, dan sintetik-sintetik progesteron telah banyak dibuat.
Sebagaimana steroid-steroid lainnya, progesteron tidak
disimpan di dalam tubuh, progesteron ini dipakai dan disekresikan secara cepat dan hanya terdapat dalam konsentrasi
rendah di dalam jaringan-jaringan tubuh (Toelihere, 1981b).
Sedangkan prostaglandin merupakan hormon yang dihasilkan oleh uterus dan saluran reproduksi lainnya seperti

da-

lam cairan seminal, ovarium, plasenta, cairan amnion, dan
cairan menstruasi.

Selama tahun-tahun terakhir ini

telah

banyak dibuktikan bahwa prostaglandin F2 alpha merupakan hormon luteolitik uterus utama pada jenis hewan selama kebuntingan, fetus mungkin menghambat sekresi PGF 2 alpha oleh uterus sehingga corpus luteurn tetap dipertahankan (Niswander
et al., 1974 dalam Toelihere, 1981b).
Tertarik akan masalah-rnasalah tersebut maIm penulis
mencoba menyusun skripsi ini dengan harapan dapat ikut memberi sumbangan pemikiran dalam membantu mempermudah

tugas

inseminator dan pet ani peternak dalam menentukan bet ina berahi, memperpendek waktu berahi dan inseminasi dengan inseminasi berikutnya.

Disamping itu dalam pengendalian danpe-

nyerentakan berahi ini dapat dipilih preparat-preparat yang
efektif dan efisien dalam penggunaannya.

SIKLUS REPRODUKSI HEWAN BETINA

SIKLUS BERAHI
Siklus berahi dikenal sebagai suatu interval

antara

timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode berahi
berikutnya.

Dan siklus berahi ini terj adi pada hewan yang

telah mencapai pubertas dan berahi terjadi pada hewan betina tidak bunting menurut ritmik yang khas.
Sesuai dengan siklus berahinya, hewan-hewan dapat dibagi menjad- tiga golongan,

(1) hewan-hewan monoestrusya-

itu hewan yang mempunyai satu siklus berahi per tahunnya,
termasuk golongan ini biasanya hewan-hewan liar seperti
beruang, srigala, ajak dan sebagainya; (2) hewan - hewan
poliestrus adalah hewan yang mempunyaibanyak periode berahi per tahunnya, yang termasuk kedalamnya, yaitu
sapi dan Imda;

babi

(3) Hewan poliestrus bermusim yaitu hewan

yang mempunyai siklus berahi periodik hanya dalam

musim

tertentu dalam setahunnya, termasuk didalamnya domba.
Walaupun setiap hewan mempunyai ciri-ciri khas dari
pada siklus berahinya, namun pada dasarnya adalah sarna.
Siklus berahi umumnya dibagi dalam empat fase yaitu
estrus, estrus, metestrus dan diestrus.

pro-

Beberapa penulis

membagi sikl us berahi dalam dua fase, yai tu fase folikuler
atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus,

dan

fase luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus (Toelihere, 1981b).
Proestrus adalah fase selama berahi yaitu periode dimana folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH

dan

5

n:enghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertanbah.

Setiap fo-

likel bertumbuh cepat selama 2 - 3 hari sebelum

berahi.

Pada akhir periode proestrus hewan betina biasanya

mem-

perlihatkan perhatian pada hewan jantan.
Berahi adalah periode yang ditandai oleh

keinginan

kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selarna periode ini umumnya hewan bet ina akan mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang, ovum mengalami perubahan-perubahan menjadi matang.
Metestrus atau post estrus adalah periode segera setelah berahi dimana

corpus luteum bertumbuh cepat

sel-sel granulosa folikel yang telah pecah
ngaruh hormon LH dari adenohipofisa.

dibawah

dari
pe-

Metestrus sebagian

besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan corpus luteum.

Progesteron menghambat sekresi

FSH oleh adenohypophysa sehingga menghambat pembentukan
folil,el
rahi.

de graaf

yang lain dan mencegah terjadinya be-

Selama metestrus uterus

mengadakan persiapan-

persiapanseperlunya untuk menerima
pada janin.

dan memberi

makan

Pada sapi, selama permulaan metestrus, epi-

telium pada caruncula uterus sangat hiperemis dan terjadihaemorragia kapiler yang mana disebut perdarahan
estrus atau perdarahan posestrus atau menstruasi.

metApa-

bila kebuntingan tidak terjadi, uterus dan saluran reproduksi beregresi ke keadaan yang kurang aktif yang

sarna

sebelum proestrus, disebut diestrus.
Diestrus adalah periode akhir dan terlama dari sikIus berahi pada ternak-ternak mamalia.

Endometrium men-

6

jadi lebih menebal dan kelenjar-kelenjar berhipertrophi.
Cervix menutup dan lendir vagina mulai kabur dan lengket
selaput mukosa vagina pucat dan otot uterus mengendor.
Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vacuolisasi secara
dual.

gra-

Endometrium dan kelenjar-kelenjar beratrophi atau

beregresi ke ukuran semula dan mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke periode proestrus.
Siklus reproduksi dari hewan piara berada di bawah
pengaruh endokrin serta dipengaruhi juga oleh linglmngan
luar yang bertindak melalui syaraf pusat dan hipothalamus
untuk memulai dan mengatur pelepasan hormon

pertumbuhan

dari adenohypophysa.
Tanda-tanda dan Lama Berahi pada Sapi
Gejala-gejala berahi pada ternak sapi dan kerbau di
tandai dengan sifat homoseksual.

Intensitas kegiatan sek-

sual pada hewan bet ina umumnya berhubungan
lahestrogen yang terdapa t

dalam darah.

dengan

Namun

jum-

demikian

banyak di temukan perbedaan-perbedaan antara bangsa ternak
dan antara individu.

Sapi dara umumnya memperlihatkan

berahi yang lebih jelas dari pada sapi induk.
Sapi dalam keadaan berahi umumnya tidak tenang
sering tetap berdiri, j arang berbaring.
mamah biak dan produksi turun.

dan

Nafsu makan, me-

Apabila sapi ini dipisah-

kan dari kelompoknya maka akan menguak,

sapi yang berahi akan

mencoba manaiki sapi yang lain dan j ika dinaiki oleh sapi
yang lain maka akan diam.

Sapi-sapi lain akan

mencium

7

vulva sapi berahi, gejala yang terpenting yaitu ekor diangkat dan lendir transparan
terdapat didaerah peritoneum.
oedematus dan relaks.

menggantung di vulva atau
Vulva membengkak,

lunak,

Sapi yang dikandangkan akan

me-

ngangkat kepalanya dan memperlihatkan kelakuan yang

ti-

dak tenang, sapi berahi sering mengeluarkan urin.
Pada pemeriksaan vaginal, mukosa vagina merah dan
odematus.

Lendir berahi cukup banyak 50 - 100 ml,

yang

terdapat didalam vagina yang berasal dari sel-sel

sela-

put lendir vagina dan cervix dibawah pengaruh hormon estrogen (Marinov dan Lovel, 1967).

Pada puncak

berahi

viskositas lendir ini rendah dan elastisitas pengalirannya paling tinggi.
Pada pemeriksaan rektal selama berahi dan selama satu atau dua hari sebelum atau sesudah berahi uterus biasanya menegang, kaku dan oedamatus karen a rangsangan estrogenik terhadap urat daging dan tenunan uterus.

Hal

ini sang at j elas teraba pada sapi dara, pada palpasi rektal permulaan estrus folikel mempunyai diameter 1.25

cm

atau kurang, licin, konveks, tegang dan agak berfluktuasikarena adanya cairan folikuler, dan cairan ini berwarna keruh.

Folikel de Graaf yang sudah matang berdiame-

ter 1.5 sampai 2 em.
Siklus berahi yang sempurna ditandai dengan :
(1) Vulva membengkak; (2) mukosa vulva merah;
lendir yang
エイ。ョウセ@

(3) keluar

dari vulva; (4) gejala panas

sekitar vulva; (5) berdiri diam sewaktu dinaiki;

di-

(6) se-

ring menguak, nervus dan exitable; (7) pupil mata berdilatasi.

Tanda-tanda tersebut tidak selalu terlihat, se-

8

ring hanya kelihatan sebagian bahkan ada yang tidak menunjukkan gejala apapun pada saat berahi, keadaaan ini disebut berahi tenang (Toelihere, 1981a).
Lamanya siklus berahi dan waktu terjadinya ovulasi
perlu dipelajari untuk mengetahui waktu yang tepat dalam
melaksana.kan inseminasi bua tan (IB).

Hal ini berhubungan

erat dengan daya h±dup spermatozoa di dalam alat reproduksi betina.

Sel jantan (spermatozoa) hanya dapat bertahan

hidup dalam alat reproduksi bet ina selama 24 sampai 30 jam.
(Cole dan Cupp, 1969).
Hewan sapi termasuk hewan yang bersifat polyestrus
dan memperlihatkan berahi secara periodik sepanjang tahun.
Lama siklus berahi pada sapi dara rata-rata 20 hari dengan
kisaran antara 18 sampai 22 hari.

Dan sapi-sapi induk me-

nunjukkan kisaran antara 18 sampai 24 hari dengan rata-rata.·
21 hari.

Setiap sapi bet ina mempunyai p6la siklus berahi

tersendiri sedangkan musim tidak mempengaruhi lama siklus
berahi.
Pada sapi-sapi zebu dan persilangannya lama berahi
cukup pendek, masing-masing 4,7 jam dan 7,4 jam (Plasse
et aI, 1970 dalam Toelihere, 1981a).

Akan tetapi sapi

induk zebu cenderung berhubungan dengan pejantan untuk
waktu yang lebih lama, dan banyak sapi-sapi tersebut memperlihatkan berahi pada waktu malam dan pagi hari.

Rata-

rata berahi pada sapi perah atau sapi potong di daerah
tropis lebih pendek 12 - 13 jam dibandingkan dengan di
daerah subtropis (Hall et al. 1959; Gangwar et al. 1964).
Sapi-sapi India (Bos indicus) lebih tahan terhadap
panas, jarang kembali berahi apabila sedang menyusukan

9

anaknya, mungkin karen a gangguan makanan.

Masa kebuntingan

sampai mencapai 271 sampai 310 hari, rata-rata 293 hari.
Sapi-sapi Eropa tidak tahan terhadap panas ya-g mempengaruhi
performan reproduksi da- produksi ternak tersebut.
Lama siklus berahi dan waktu ovulasi pada sapi menu rut
Cole dan Cupp (1969) dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.

Lama siklus berahi dan waktu ovulasi
sapi.

pada

===========================================================

Lama siklus berahi
(hari)
Rata-rata

Kisaran

21. 3

18-24

Lama berahi
(jam)
Rata-rata
19.3

Kisaran
13-27

Waktu ovulasi
(jam)
Rata-rata
10.7 setelah
berahi

Sumber .: Cole dan Cupp (1969)
Ovulasi
Ovulasi adalah suatu kejadian dimana ovum lepas dari
fo1ikel de Graaf yang telah matang beserta sel-sel yang menyelubungi dan cairan folikuler dan siap untuk dibuahi oleh
sel jantan (spermatozoa).

Jumlah telur yang diovulasikan

dari kedua ovaria pada satu berahi (ovulation rate atau

de-

rajat ovulasi) berbeda-beda menurut jenis hewannya mulai satu buah pada sapi dan kuda hingga 18 - 20 buah pada babi.
Derajat ovulasi pada ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor
termasuk makanan, umur dan hereditas.
Mekanisme ovulasi secara umum dikenal bahwa ovulasi distimulir oleh hormon LH, tetapi mekanisme yang sebenarnya
belum diketahui.

Disini mungkin menyebabkan pengenduran din-

ding folikel sehingga lapisan-lapisannya pecah dan melepaskan ovum dari cairan folikel.

10
Ovulasi terjadi spontan 10,5 sampai 15,5 jam, ratarata 12 jam sesudah akhir berahi.
capai 2 sampai 26 jam.

Kisaran ini dapat men-

Sapi dar a cenderung untuk berovu-

lasi 5 jrup lebih cepat dari pada sapi induk.

Sekitar 80%

ovulasi terjadi antara jam 16. 00 sore dan jam 04.00

pagi

(Asdell, 1964 dalam Toelihere, 1981b).
Sinkhronisasi antara berahi dan ovulasi diperlukan
untuk menjamin terjadinya fertilisasi karen a umur ovum dan
sperma singkat di dalam saluran kelamin betina.
Hormon-hormon Siklus Berahi
Siklus reproduksi dari hewan pelihara berada dibawah
pengaruh endokrin serta dipengaruhi juga oleh lingkungan
luar yang bertindak melalui syaraf pusat dan hyphotalamus
untuk memulai dan mengatur pelepasan hormon pertumbuhhn
dari adenohyphophysa.
Kadar hormon-hormon pada sapi, kecuali hormon LH relatif sangat rendah dibandingkan dengan ternak lain.
Faftor-faktor pelepas

LH dari hipothalamus meningkat
ュオセ@

lai hari ke 20 sampai hari ke 7 dan menurun mulai hari ke
11 sampai hari ke 18 siklus berahi.

Periode penurunan

faktor pelepas LH bersamaan dengan periode sekresi progestoran tertinggi.

FSH dari hyphophysa menurun dari mak-

simum 450 mikrogram pada hari ke 18 sampai minimum
mikrogram pada waktu berahi.

122

LH dari hyphohysa menurun

dari 6178 mikrogram pada hari ke 20 sampai 684 mikrogram
pada hari ke 2 siklus berikutnya.

Puncak kadar LH dalam

darah 20,8 mikrogram/100ml terjadi 3 sampai 9 jam pertengahan sesudah permulaan berahi. at au 14 ·sampai 20 jam sesudah

ovulasi (Frietta et aI, dalam Toelihere, 1981a).
Kadar LH di dalam serum darah meningkat dari 8 jam sebelum sampai 6 jam sesudah permulaan estrus.

Sapi dara

berovulasi 24 sampai 36 jam, rata-rata 30'jam sesudah
puncak kadar LH didalam darah atau setelah permulaan estrus (Swansons dan Hafs, 1970).
Kadar estrogen di dalam darah tertinggi pada hari
ke 6 sampai ke 8 dan ke 14 sampai ke 16 siklus berahi dan
terendah pada hari ke 10 sampai ke 12.

Ekskresi estrogen

di dalam urine tertinggi pada hari ke 6 sampai hari ke 8
dan hari ke 18 sampai ke 20 siklus berahi (Varman et aI,
1964 dalam Toelihere, 1981a).
Corpos luteum mengandung lebih dari 90 persen
gestin yang terdapat di dalam ke dua ovaria.

ーイッセZ@

Progestin

di dalam corpus luteum meningkat dari 14,2 mg pada hari
ke 3 menjadi 107,5 mg pada hari ke 7, 267,2 mg pada hari
ke 15 dan menurun dengan cepat menjadi 33,2 mg pada hari
ke 17 (Mares et al., 1962 dalam Toelihere, 1981a).

Hal

ini sesuai dengan kadar progesteron dalam darah dan be rat
corpus luteum yaitu 0,79 gram pada hari ke 3, 4,3 gram
pada hari ke 16 dan 1,8 gram pada hari ke 20.

Progeste-

ron dalam jumlah kecil diproduksi juga dalam kelenjar ;
adrenal dan placenta.

"Half life" progesteron dalam da-

rah sapi sangat singkat yaitu kira-kira 10 sampai 20 menit, yang menunjukkan kebutuhan suplai dalam jumlah
「。セ@

nyak selama siklus berahi dan masa kebuntingan (Imori,
1967).
kan

Kadar minimum yang dibutuhkan untuk mempertahan-

kebuntingan adalah 100 mg progesteron.

Kadar pro-

12

gesteron rnenurun pada hari ke 16 dan ke 19 siklus berahi
dan dalarn waktu 48 jam sesudah partus, dan ukuran corpus
luteurn rnenurun pada waktu yang sarna (Hansel dan Snook, 1970).
Estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovariurn selama perkernbangan preovulatorik bekerja secara sinergetik
untuk ekspresi berahi.

Corpus luteurn dari siklus yang

baru lalu rnengandung cukup progesteron untuk beberapa hari setelah berahi.

Progesileron' ,dala.ill jurnlah tinggi, 30

sampai.l 60 rng rnengharnbat berahi pada sapi yang diovariektorni dan disuntik estrogen.

PENGENDALIAN DAN PENYERENTAKAN BERARI

Pengendalian dan penyerentakan berahi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara alamiah atau
penggunaan preparat hormonal.

Smith (1974) membagi meto-

de yang digunakan untuk pengendalian dan
berahi dalam empat katagori, yaitu dengan

penyerentakan
menggunakan

progestogen, protaglandin, hormon-hormon lainnya dan non
hormonal.

Pada prinsipnya pengedalian dan penyerentakan

berahi dilakukan dengan

menghambat ovulasi atau merang-

sang regresi corpus luteum.
Penyerentakan berahi pada ternak telah memungkinkan
ki ta untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang

budi

daya ternak dan hewan piara menuju perbaikan mutu dan peningkatan populasi ternak.

Dengan melakukan pengendalian

dan penyerentakan berahi pada ternal, maka akan didapatkan
keuntungan , seperti ;
(1) Penghematan waktu dan tenaga kerja dalam mendeteksi
berahi, perkawinan (inseminasi buatan), pemeliharaan
dan pember ian makanan.
(2) Memungkinkan pengaturan saat perkawinan secara tepat
sehingga kelahiran anak-analmya dapat disesuaikan de
ngan kondisi persediaan makanan, iklim dan musim pada daerah tertentu.
(3) Penyerentakan berahi dapat dilakukan sebagai cara untuk penyerentakan stadium siklus berahi antara

pem-

beri (donor) dan penerima (recipient) pada tehnikpemindahan janin (embryo transfer).
(4) Mempertinggi angka kelahiran.

14
(5) Dapat mengobati hewan yang tidak berahi dan mengurangi kejadian kawin berulang (repeat breeder).
(6) Dari segi hewan piara memberikan keuntungan dalam pencegahan, pembrantasan penyakit dan pengawasan fertilitas.
Dan dalam hal ini akan dibicarakan mengenai pengendalian dan penyerentakan berahi dengan menggunakan estrogen, progesteron, prostaglandin dan preparatnya.
PENGGUNAAN ESTROGEN
Sumber estrogen.

Estrogen adalah suatu hormon yang

menimbulkan berahi pada hewan

bet ina dan termasuk

dari

tiga kelompok hormon yang disekresikan oleh ovarium, kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin.

Es-

trogen beserta progesteron umumnya disebut hormon-hormon
kelamin bet ina dan tergolong hormon steroid.
Hormon estrogen disekresikan oleh theca interna dari
folikel de Graaf, jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktifitas yang maksimum selama fase
genik dalam siklus berahi.

estro-

Cairan folikel yang kaya akan

estrogen, mungkin karen a difusi dari jaringan theca interna (Toelihere, 1981b).
Pada mamalia telah ditemukan 8 macam estrogen, yaitu estradiol 17 betha, estron, estriol, 16-epiestrio1,
16-hydroxyestron, equilin, equilenin dan hippulin (gam bar 1).

Semua estrogen ini mempunyai struktur steroid

yang khas, sedangkan estrogen yang terdapat dalam turnbuhtumbuhan seperti genistin dan coumestrol adalah non ste roid

15

OH

OH

OH

HO

HO

17 betha estradiol

Estriol

OR

o
OH

H

RO

Estron

16-Epiestriol

o

o

B

OH

HO

Equilin

Gambar 1.

16 betha hydroxy
estron

Equilenin

Rumus bangun kimia macam-macam estrogen
yang terdapat di mamalia.
Sumber : Guyton (1961) dan Asdell (1968).

rOidal.

Estradiol, est ron dan estriol adalah estrogenik

alamiah yang disekre silmn oleh theca interna folikel
Graaf atau oleh placenta.

de

Potensi ketiga estrogen ini

tidak sarna, dimana yang paling potensial diantara ketiganya adalah estradiol, kedua adalah estron dan yang
ling lemah yaitu estriol (Asdell, 1968).

Menurut

paGuyton

(1961) potensi estradiol 12 kali lebih besar dari estron
dan 80 kali dari estriol.
Mekanisme dalam pengendalian dan penyerentakan berahi.
Pada prinsipnya pemakaian estrogen dalam pengendalian dan penyerentakan berahi yaitu dengan meregresikan
corpus luteum (Greenstein et al., 1958, Loy et al., 1960
dan Wiltbank et al., 1971) sedangkan mekanisme terjadinya
belum diketahui.

Tinggi kadar estrogen dalam darah

akan

menekan produksi Folikel Stimulating Hormone (FSH)

dan

merangsang pelepasan hormon Luteinizing Hormone (LH)
(Cole dan Cupps, 1969).
Loy et al. (1960) mengatakan bahwa pemberian estrogen akan
menyebabkan hypothalamus memperbanyak pelepasan hormon LH
yang mengakibatkan pelepasan LHtidak sebanding dan ini
menunjukkan bahwa regresi corpus luteum yang disebabkan
pemberian estrogen karena kekurangan LH dan hal ini dibuktikan dengan penyuntikan estrogen yang diikuti dengan penyuntikan hormon gonadotrophin (FSH dan LH) tidak

menye-

babkan regresi corpus luteum.
Cara pemberian, dosis dan efek 'estrogen.

Karena Es-

trogen bersifat steroid dan larut dalam minyak, maka pada
umumnya pemberian estrogen dilakukan dengan car a penyuntik-

an secara intramuscular atau subcutan.

Estrogen dapat di-

implatasikan secara intramuskular atau subcutan dalam bentuk padat, dimana estrogen tersebut akan diabsorpsi perlahan-lahan selama beberapa waktu.

Preparat estrogen lain -

nya terdapat dalam suspensi aquous dan larutan estrogen di
dalam basa alkohol atau resopitol.

Apabila preparat-pre -

parat estrogen ini disuntukan secara intramuskular,

maka

cairannya segera diabsorpsi meninggalkan partikel-part ike 1
estrogen sebagai bahan implantasi yang dimodifikasi.

Es-

terifikasi estrogen akan mengurangi kecepatan absorpsi dan
memperlama day a kerjanya, misalnya pengaruh stilbestrol
dalam minyak berlangsung 24 sampai 36 jam sedangkan pengaruh

propionat akan berlangsung 24 sampai 48
・ウセイッ、ゥャ@

jam

dan estradiol cyclopentylpropionat dalam minyak ECP dan
Estradiol valeret efektif lebih dari 72 sampai 96 jam (Toelihere, 1981b).
Dosis yang digunakan untuk meregresikan corpus luteum
dalam rangka penyerentakan berahi telah dicoba oleh Wilt bank et al.

(1961) dengan menyuntikan 5 mg, 3 mg dan 1 mg

estradiol pada sapi-sapi dar a dan m engakibatkan regresi corpus luteum dengan pemberian 5 mg estradiol sedangkan
dengan penyuntukan 3 mg estradiol hanya satu dari 4 ekor yang diberikan mengalami regresi corpus luteum dan penyuntikan dengan 1 mg estradiol tidak ada yang mengalami reg resi.

Dan hewan yang memperlihatkan berhai hanya 2 ekor

sapi dari 5 ekor yang diberikan dengan penyuntikan 5 mg
estradiol (tabel 2 ) .
Dengan penyuntikan 25 mg sampai 100 mg estron dan 25mg estrogen alam akan

mengakibatkan regresi corpus luteum

18
Tabel 2. Efek dosis rendah estradiol valeret pada regresi corpus luteum, berahi dan ovulasi.
==========================================================

Dosis

Banyaknya
sapi

yany regresi
corpus luteuiTI

5 mg

5

4

3 mg

4

1

1 mg

3

0

Jarak penyuntik
an ke regresi
(hari)
2

-

yang
berahi

2

8

0

8

0

Sumber Wiltbank et al. (1961).
pada hari ke 3 sampai 7 setelah penyuntikan dan berahipun
muncul setelah itu dengan persentase penyerentakan

berahi

yang rendah dan tak teratur (Wil tbank et al., 1961).
Menurut Bone et al.,

(1963),

menyatakan bahwa harmon

diethylstilbestrol 5 - 25 mg dapat menginduksi
ngan efektif.

berahi de-

Dan penyuntikan estradiol 17 betha dari ha-

ri ke 1 sampai 13 siklus berahi menyebablmn pengecilan berat corpus luteum (Loy et al., 1960).
Penyuntikan harmon estrogen dan preparatnya hendaknya
dilakukan pada awal atau pertengahan siklus berahi

karena

bila disuntikan pada pada akhir masa berahi (hari ke 15 dan
16) akan menyebabkan terjadi cystic ovari (Loy et al., 1960
dan Wil tbank et al., 1961), maka hal ini terjadi karena kekurangan harmon LH dengan bertambahnya perkembangan fali kel (Wiltbank et al., 1961).
Untul, mengurangi kejadian cystic ovari pada sapi-sapi
dara maka dapat dikurangi dengan memberikan penyuntikan
harmon gonadtrophin (FSH dan LH) pada hari ke 2 sampai 4
setelah penyuntikan estrogen, dan hal ini akan menurunkan
Dersentase ke.iadian sinkhronisasi berahi (Wiltbank et al.,

19

1961) .
Disamping terjadinya efek cystic ovari akibat penyuntikan hormon estrogen, juga pengendalian dan penyerentakan
berahi yang dihasilkan sangat rendah persentasenya.

Dan be-

rahi serta ovulasi yang diinginkan terjadi dengan tidak
teratur (Wiltbank et al., 1961).

Oleh sebab itu pengenda-

lian dan penyerentakan berahi dengan menggunakan hormonestrogen sendiri jarang dipergunakan.
PENGGUNAAN PROGESTERON
Sumber progesteron.

Sumber utama progesteron adalah

sel-sel lutein corpus luteum, disamping itu sel ini

juga

dihasilkan oleh placenta dan sejumlah kecil telah diisolir
dari kelenjar adrenal dan testis.
Progesteron merupakan anggota progestogen yang terpenting dan tergolong dalam kelompok steroid yang terdiri dari 21 atom C.

Rangkaian-rangkaian hidroksil (OH), keton

(C=O), methyl (CH ), halogen (CI,F) yang dirangkaikan pada
3
atom C tertentu ataupun ikatan rangkap (isomer) memberikan
kemungkinan pembuatan steroid-steroid dalam jumlah yang sangat besar.

Dapat dikatakan bahwa perubahan struktur yang

kecil saja dapat mengakibatkan kelainan sifat-sifat biologis yang sangat menyolok.
Sekarang progesteron telah dapat dibuat dengan nama
6-methyl-17-acetoxyprogesteron (MAP), 6-Chloro-6-dehydro17-acetoxyprogesteron (CAP) dan melengesterol (MGA).
Mekanisme kerja.

Dapat dikatakan bahwa mekanisme ker-

ja dari steroid progresif ini dalam mempengaruhi siklus
berahi belum dapat diketahui dengan pasti, dimanapun titik

20
tangkapnya daya kerja steroid progresif ini, namun dapat
dipastilcan bahwa progesteron akan mempengaruhi penekanan
ovulasi.

Dan prinsip inilah yang dipergunakan untuk pe-

nyerentakan berahi dimana progesteron akan menghambat pelepasan LH dari hypofisa anterior yang merupakan hambatan··
terhadap perkembangan folikel de Graaf sehingga ovulasi
dan berahi tidak terjadi.

Keadaan ini terjadi karen a urn,

pan balik negatif sekresi gonadotrophin karena pengaturan
siklus berahi pada ternak yang secara nyata merupakan pengaturan lamanya hidup corpus luteum.

Karena progesteron

menghambat pelepasan LH maka progesteron merupakan
ーイ・。セ@

rat pertama yang dipalcai untuk pengendalian dan penyerentakan berahi (Britt dan Roche, 1980).
Car a pemalcaian, dosis dan efek progesteron.

Cara pemberi-

an progesteron untuk menimbulkan pengendalian dan penyerentakan berahi dapat dilakulcan dengan car a peroral yang
dicampurkan dalam makanan, melalui penyuntikan atau ditanam dalam vagina (Toelihere, 1981a).
Car a pemberian atau penyuntikan progesteron hendalmya
diberikan pada pertengahan sampai akhir fase luteal dari
siklus berahi dan sebagian besar sapi-sapi yang diberikan
akan memperlihatkan berahi 3 sampai 6 hari setelah penyuntikan dihentikan.
Pemberian 135 mg 6-methyl-17alpha-acetoxyprogesterone
(MAP) perhari selama 12 hari pada sapi-sapi dar a atau induk
akan menghambat berahi secara efektif (Hansel et al., 1961,
Anderson et al., 1962).

Pada umumnya berahi kembali mun-

cul 2 sampai 5 hari setelah pemberian dihentikan.
Sedangkan menurut Van Blacke et al., (1963) pemberian

21
6-chloro-6-dehYdro-17-acetoxyprogesterone (CAP) yang diberikan secara peroral juga efektif menghambat berahi dan
ovulasi pada sapi-sapi perah dara dan induk dengan dosis
yang cukup rendah.

Berahi terjadi 4 sampai 8 hari setelah

akhir pemberian CAP tetapi angka konsepsi masih rendah.
Wilson et al.,

(1969) menggunakan melengestrol acetat

(MGA) untuk penyerentalmn berahi pada sapi daging.

Pemoe-

rian 0,5 mg MGA perekol" setiap harinya selama 14 hari, diikuti pember ian MGA dalam makanan selama 10 hari setelah
12 hari periode perkawinan pada sebagian sapi-sapi yang setelah menerima pemberian pertama menghasilkan penyerentakan berahi 77,1% pada sapi-sapi yang menerima MGA pertama
dalam makanan dan 82,9% yang menerima MGA kedua kalinya.
Dan angka konsepsinya rata-rata 73,5 % yang menerima MGA
satu kali dan 62,9 % yang menerima pemberian ulangan.

Se-

dangkan pember ian 1 mg MGA per-ekor setiap harinya selama
14 hari menghasilkan penyerentakan berhai 90,7 % dengan angka konsepsi rata-rata 76,7 %.
Dewasa ini progesteron dipergunakan yang ditanamkan
da1am vagina (PRIDs) untuk pengendalian dan penyerentakan
berahi CSreenan, 1975).

Dan cara ini menguntungkan disam-

ping penggunaan dosis yang lebih rendah juga
ュ・ョァセ。ウゥャォ@

angka sinchronisasi estrus rata-rata yang tinggi.

Tetapi

pemberian progesteron sendiri yang ditanamkan dalam vagina menyebabkan siklus berhai yang lebih panjang dari pada
siklus yang normal (Cuming et al., 1982).

Dan penyisipan

PRIDs pada hari ke 13 dan 14 akan lebih baik dibandingkan
dengan penyisipan pada hari ke 2 dan 3 dari siklus berahi
dimana ovulasi terjadi antara 72 sampai 100 jam

setelah

22
pencabutan PRIDs yang disisipkan pada hari l,e 13 dan 14
siklus berahi sedangkan penyisipan pada hari ke 2 dan 3
ovulasi terjadi lebih dari 100 jam

setelah

pencabutan

siklus berahi maka

penggunaan

PRIDs (Cuming et al., 1982).
Untuk memperpendek

progesteron dikombinasikan

dengan

hormon

yang

dapat

mempengaruhi corpus luteum, yaitu dengan estradiol benzoat (Sreenan, 1975; Smith and Mac Millan, 1978;

Smith

et al., 1980 dan Folman et al., 1983) maupun dengan prostaglandin dan sintetiknya (Cuming et al., 1982; MacPheeet al., 1983; Folman et al., 1983).
Pengendalian dan penyerentakan berahi dengan menyisipkan PRIDs selama 10 hari yang dikombinasikan

dengan

oestradiol benzoat 10 mg lebih baik dibandingkan

dengan

penyisipan selama 14 hari dimana rata-rata berahi
47% untuk penyisipan selama 14 hari dan 55%
selama 10 hari (Smith et al., 1980).

penyisipan

Sedangkan

sipan selama 12 hari yang dikombinasikan

hanya

dengan

penyi10

mg

Oestradiol benzoat menghasilkan 65% hewan yang diberikan,
mengalami berahi dengan angka konsepsi yang tinggi (Folman et al., 1983).
Folman et al., (1983)

melakukan

percobaan

dengan

membandingkan penggunaan kombinasi PRIDs dengan PGF 2 alpha yang disuntikkan 1 hari sebelum dan sesudah

penca-

butan PRIDs sebelum 12 dan 14 hari, juga memperbandingkan penggunaan PRIDs yang dikombinasikan dengan PGF
pha dan Oestradiol benzoat.

2

al-

Dari hasil percobaan ini di

dapatkan bahwa kombinasi antara PRIDs dengan cloprostenol
(analog PGF 2 ) yang diberikan satu hari sebelum PRIDs dicabut le-

bih baik dibandingkan dengan penyuntikan yang dilakukan satu hari setelah pencabutan PRIDs dimana angka konsepsi untuk kombinasi PRIDs dengan PGF

2

alpha yang diberikan satu

sebelum pencabutan adalah 83% dibandingkan 75% untuk
berian PGF 2 alpha sehari sete1ah pencabutan.
PRIDs dengan PGF

2

pem-

Dan Immbinasi

alpha lebih baik dibandingkan kombinasi

antara PRIDs dengan oestradiol benzoat yaitu 83% berbanding
70% untuk angka konsepsinya.

Juga jarak antara waktu pen-

cabutan PRrDs dengan mulai berahi lebih pendek dengan menggunakan kombinasi PRrDs dengan PGF 2 alpha yai tu 57.8
jam dibandingkan 81.7

2: 3.8

2: 7.2 jam jika menggunakan kombinasi

PRrDs dengan oestradiol benzoat (tabe13)
Ta be 1 3.

Perlakuan

PRrDs 12 hari +
PGF2
1 hari se
tel1ih dicabut

Waktu berahi setelah pencabutan PRIDs, angka konsepsi
pada sapi yang diberikan PGF2 alpha dan oestradiol
benzoat

yang diberikan

yang berahi (%)

Jarak antara
pencabutan dg
mu1ai berahi

Angka
konsepsi

40

34

(87)

54.1 + 4.6

75%

40

25

(65)

81.7 + 7.2

7(f/o

PRrDs 12 hari +
PGF 2
1 hari se
belum dicabut

42

36

(85)

57.8 + 3.8

83%

PRrDs 14 hari +
1 hari se
belum dicabut

38

34

(89)

59.2 + 4.9

82%

PRIDs 12 hari +
10 rrg ODB

PGF2

Sumber : Folman et al.
Kemudian MacPhee, et al.

(1983)

(1983), melalmkan percobaan

dengan menyisipkan PRIDs selama 9 hari dan dikombinasikan
dengan penyuntikan 0,5 mg cloprostenol (analog PGF
sehari sebelum PRrDs

dicabut, setelah itu PRrDs

、ゥー・イZセ@

2

alpha)

gunakan kembali untuk kedua kalinya setelah disterilkan
dengan autoclave dan ethylene oxyde dan begitu juga untuk
yang ketiga kalinya.

Pada sapi yang menerima PRIDs untuk

pertama kalinya, 85% berahi antara 30 sampai 60 jam setelah PRIDs dicabut, ketika PRIDs digunakan untuk kedua kalinya maka 100% sapi-sapi menunjukkan berahi antara

60 jam.

30-

Sedangkan pemakaian untuk ketiga kalinya jarak

antara pencabutan PRIDs dengan timbulnya berahi mempunyai
variasi yang besar, 29% sapi menunjukkan berahi dalam
sampai 60 jam dan 59% berahi antara 12 sampai 42 jam

30
se-

telah PRIDs dicabut (tabel 4).
Tabel

4.

Hasil pengamatan pemakaian PRIDs yang berulang-ulang selama 9 hari dan dikombinasikan dengan 0.5 mg PGF 2 alpha sebelum PRIDs
dicabut.

=========================================================

Perlakuan

Munculnya berahi setelah
PRIDs dicabut
(jam)

Pemakaian I
n = 41
Pemakaian II
n = 20

43.97 +
- 8.38
n

=

Jarak ovulasi
setelah muncuI berahi
(jam)

33.03 +
-

37

n

40.95 +
- 7.30
n = 20

Pemakaian III 36.67 +
- 23.91
n = 17
n = 15

=

4.65

Jarak ovulasi
setelah PRIDs
dicabut.
(jam)

77.34 +
- 10.06

36

n

=

36

34.76 +
- 10.48
n = 17

76.24 +
- 12.38

32.30 +
-

71.97 +
- 24.38

n

=

3.12

n

15

n

=

=

17

15

Sumber : MacPhee et al. (1983)
Efek sampingan dari pemakaian progesteron

menurut

Sreenan dan Diskin (1983) akan menambah angka ratakebuntingan, selain itu juga merupakan pengobatan

rata
untuk

hewan yang kurang subur (subfertil) dan kawin berulang atau repeat breeder pada sapi.

25
PENGGUNAAN PROSTAGLANDIN
Sumber prostaglandin.

Prostaglandin merupakan hor-

mon yang dihasilkan oleh uterus dan ·saluran reprodull:si
lainnya seperti dalam cairan seminal, ovarium, plasenta,
cairan amnion dan cairan menstruasi.

Semen manusia

me-

ngandung kadar prostaglandin tertinggi yaitu 300 ug/ml
(Katz dan Katz, 1974).

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan

sekarang prostaglandin telah dapat diekstrasi dari

tum-

buhan laut.
Pada tahun 1935 Ulf S. von Euler, seorang ahli ilmu
faal telah menemukan suatu zat di dalam semen

manusia

yang dapat menyebabkan otot licin berkontraksi dan menyebabkan penurunan tekanan darah hewan yang disuntikan.
Karena menduga zat tersebut hanya berasal dari kelenjar
prostat maka beliau menamakan zat tersebut prostaglandin
(Ross, 1975).
Prostaglandin termasuk golongan zat dari lemak aktif
dan merupakan asam hydroxYl yang tidak jenuh, yang

ter-

diri dari 20 atom C dan mempunyai daya kerja terhadap urat daging licin dan tekanan darah.
Berdasarkan strukturnya prostaglandin dibedakan atas
lima ll:elompok yaitu PGA, PGB, PGC, PGE dan PGF (Cohen et
al., 1977).

Perbedaannya hanya terletak pada gugus fung-

sional yang terletak pada cincin segi lima (gambar 2).
Daya kerja yang terkuat dipunyai oleh kelompok prostaglandin F, terutama golongan prostaglandin F2 alpha.
Menurut Inskeep (1973), prostaglandin F2 alpha yang

di-

dapat dalam uterus mempunyai dua ikatan rangkap pada atom

26
C nomor 5 dan 6 serta 13 dan 14 juga tiga gugus hidroksil
pada atom karbon nomor 9, 11 dan 15 (gambar 3).
Fungsi prostaglandin. . Prostaglandin merupalmn sua tu
zat yang paling sering diteliti pengaruhnya terhadap proses-proses reproduksi.

Bermacam-macam l,egunaannya antara

lain untuk menginduksi proses partus, sinkhronisasi berahi dan meniadakan corpus luteum persisten (Inskeep, 1973).
Menurut Lauderdale (1972), prostaglandin dapat

di-

gunakan untuk mengakhiri kebuntingan yang tidak diingin kan (abortus provocatus), menstimulir sekresi progesteron
(Watson and Walker, 1977), dan meningkatkan efisiensi pengangkutan sel telur dan sperma ke tuba fallopii, tetapi
bila kadar prostaglandin terlalu tinggi dari keadaan normal maka motilitas sperma dapat menurun (Cohen et al.,
1977) .

lni disebabkan karena efek langsung prostaglandin

terhadap sperma dimana dalam jumlah yang banyak akan mempengaruhi pergerakan sperma.
Prostaglandin dilepas dari uterus ke ovarium melalui
mekanisme "Counter current" dan secara periodik meregresi
kan corpus luteum (Mc Cracken, et al., 1972).

Prostaglan-

din endogen secara alam tidak disirkulasikan melalui paru
paru tetapi dialirkan dari uterus ke ovarium.

Prinsip pe-

mindahan prostaglandin dari vena ke arteri yaitu berdasar
kan keseimbangan kosentrasi di dalam membran, jadi kosentrasi yang terdapat dalam pembuluh vena lebih tinggi
bandingkan dalam pembuluh arteri.

di-

Selanjutnya disebutkan

juga oleh Green dan Samuelson dalam Mc Cracken (1972) yang
menyatakan bahwa kadar prostaglandin F2 alpha tinggi dalam
darah vena uterina pada waktu luteolisis.

27

o

o

"

Gambar 2.

"

OH
F

c

B

A

o

o

"

Gugus fungsional prostaglandin

COOH
6

5

11

OH

OH

Gambar 3.

Rumus molekul prostaglandin F2 alpha.

28
Mekanisme kerja prostaglandin.

Pada prinsipnya pemapenyerentakan

kaian prostaglandin dalam pengendalian dan

berahi karena bersifat luteolisis maka akan meregresikan
corpus luteum.
Sedangkan mekanisme terjadinya luteolisis akibat
ngaruh pemberian prostaglandin terutama PGF
kini masih kurang j elas.

2

alpha

Menurut Pharis, et al.

lima (5) kemungkinan mekanisme PGF

2

pe-

hingga

(1972) ada

alpha pada proses

lu-

teolisis (gambar 4), antara lain adalah (1) " Feed back "
(umpan balik negatif) secara langsung terhadap

Hyphopysa

anterior karena aktifitas corpus luteum sangat dipengaruhi
oleh hipofisa;

(2) Efek antigonadotropik, baik dalam alir-

an darah maupun pada receptor corpus luteum;

(3) Stimulasi

pada uterus untuk sintesa luteolisin; (4) Daya kerja toksi
sitas secara langsung terhadap corpus luteum dan (5) Kontraksi vena utero ovarika.
Car a pemberian, dosis,

dan efek prostaglandin.

Pada

saat sekarang sudah banyak dilakukan penelitian pengendali
an dan penyerentakan berahi dengan menggunakan prostaglandin terutama PGF
dan analognya

2

alpha pada sapi.

Pemakaian PGF

luteolitik telah
ケ。ョァセ・イウゥヲエ@

2

alpha

memberikan

hasil yang memuaskan pada ternak (Smith, 1974).
Cara pemberian PGF

2

alpha dapat dilakukanmelalui pe-

nyuntikan secara intramuskuler, subcutan ataupun intra uterin.

Dan pada umumnya cara yang paling sering dilakukan

yaitu dengan penyuntikan secara intra muskuler.
Lauderdale et al.

(1974), telah menyuntilmn 30 mg PGF
2

alpha tham salt pada sapi-sapi,

dan distribusi berahi yang

29

lenjar hipofisa

Gonadotropin

Vena
utero-ovarika

(LH)

\

\

Luteolisin

Gambar 4.

"-'MセL@

Kemungkinan Mekanisme PGF alpha pada proses
2
luteolisis.
1. Feed back secara langsung terhadap hipofisa.
2. Efek antigonadotropik.
3. Stimulasi pada uterus untuk sintesa luteolisin.
4. Daya kerja toksisitas secara langsung pada
corpus luteum.
5. Kontraksi vena utero ovarika.
Sumber : Phariss et al. (1972).

30
ditimbulkan setelah penyuntikan PGF 2 alpha menunjukkan
bahwa 88% berahi muncul pada hari ke 2 sampai 4 setelah
penyuntikan.

Dan angka konsepsinya yaitu 55.8%.

Inskeep (1973) dan Donaldson (1977)

telah melaku-

kan percobaan dengan memperbandingkan dosis yang dipergunakan, yaitu penyuntikan dengan dosis 15, 20, 25

30 mg PGF

2

dan

alpha, rata-rata 25 mg memperlihatkan bahwa

sapi-sapi berahi dalam waktu 2 sampai 5 hari

setelah pe-

nyuntikan.
Sapi-sapi yang tidak memperlihatkan berahi pada penyuntikan pertama maka 11 hari kemudian dapat disuntikan kembali untuk yang kedua kalinya, dan sapi-sapi akan
memperlihatkan berahi 48 sampai 72 jam setelah

penyun-

tikan kedua (Lauderdale, et al., 1974; Donaldson, 1977;
Burfening, et al., 1978).

Dan Greyling dan Van der Wes-

thuysen (1980) telah melakukan penelitian mengenai jarak
antara penyuntikan pertama PGF

2

alpha dengan yang kedua.

Dan terlihat bahwa jarak penyuntikan pertama 10 dan

11

hari lebih baik dibandingkan dengan jarak 9 hari antara
penyuntikanpertama dengan kedua (tabeI5).
Tabel :).

Walrtu berahi yang ditinibulkan oleh penyuntikan
PGF alpha 2 kali yang diberikan dengan perbeda2
an ;i arak pemberian.

========================================================

Jarak antara pemberian

Banyaknya sapi
Yang berahi
Jarak berahi dengan
akhir penyuntikan.

ャセ・@

I dan II

9 hari

10 hari

10

10

10

9

10

10

58.67 + 9.38 -55:2 +
- 10.2

11 hari

52.8+6.2

..... ,..,. ...... ,...,

31

.Dosis pemakaian PGF

2

alpha secara intra uterin telah

dicoba oleh Inskeep (1973) dengan memberilmn sapi-sapi 1.5
sampai 2 mg PGF 2 alpha, dan menghasilkan 60% dari sapi-sapi yang diberikan muncul berahi 60 sampai 72 jam

setelah

pemberian PGF 2 alpha.
Donaldson (1977) telah memberikan sapi-sapi dengan PGF
2 alpha secara subcutan dan intra uterin.
jukkan bahwa pemberian 5 dan 6 mg PGF

2

Hasilnya menun-

alpha secara

intra

uterin menghasilkan penyerentakan berahi 70%, dan 74% dari sapi-sapi yang diberikan sedangkan pemberian dengan dosis 8, 10, 15 dan 20 mg secara subcutan tidak memperlihat
kan hasil yang berbeda jauh (tabel 6).
Tabel 6.

Efek dosis PGF alpha secara intra uterin dan sub2
cutan pada pengendalian dan penyerentakan berahi.
Jumlah sapi

no

1.

2.

3.

Tipe sapi

Campuran umur

Dosis

Perlakuan

sinkron

Sinkronisasi
(%)

333

232

70

222

164

74

Aplikasi

intrauterin
6mg intrauterin

5mg

Sapi dara berat 270 - 300
Kg.

10 mg Subcutan

40

26

65

Sapi induk

10 mg Subcutan

58

38

66

15 mg Subcutan

58

39

67

20 mg Subcutan

58

40

69

8mg Subcutan

10

7

70

10 mg Subcutan

10

7

70

Sapi dara berat 270 - 300
Kg.

Sumber

Donaldson (1977) .

32
Dari sini dapat dilihat bahwa pemberian secara subcutan pada sapi dara dengan dosis 8 mg lebih efektif

diban-

dingkan dengan pemberian 10 mg.
Dari uraian diatas maka pemberian PGF
intra muskuler

kurang efektif dibanding

secara intra uterin

2

alpha

secara

dengan pemakaian

dimana dosis yang dipergunakan dengan

penyuntikan secara intra muskuler cukup tinggi

yaitu 25 -

30 rng dibandingkan 1 - 5 mg secara intra uterin, sedangkan
harga prostaglandin sangat mahal.
gunakan

dengan penyuntikan secara

Dosis yang tinggi diperintra muskuler

karena

prostaglandin ini sebagian besar (80%) akan dihancurkan dalam paru-paru sedangkan sebagian kecil dipecah dalam hati,
ginjal dan limpa.
Pemberian PGF

2

alpha untuk pengendalian dan penyeren-

takan berahi pada sapi tidak memberikan efek apa-apa

pada

hewan yang diberikan, dan hewan mempunyai siklus berabi yang
sarna seperti hewan yang normal (Louis, et al., 1973; Britt
dan Roche, 1980).

Sedangkan penyuntikan prostaglandin se-

cara berulang-ulang dengan dosis tinggi pada dornba

menye-

babkan tidak semua dornba yang diberikan akan berahi, hal
ini mungkin disebabkan karena
(1).

prostaglandin telah berkurang.
s・ョウゥエセヲ。@

(2). Timbulnya anti terhadap prostaglandin, karen a prost aglandin yang disuntikkan merupakan zat asing bagi tubuh, sehingga akan menggertak sel B dalam tubuh untuk
membentuk anti bodi * .
(3). Adanya respon pengaturan anti bodi.

*Arjatmo

Tjokronegoro. 1978 (I). Imunologi dasar dan Tehnik Imunofluoresensi. Perhimpunan Alergi· dan ·:Irnunologi Indonesia (Perslmuni).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

KESIMPULAN

Pengendalian dan penyerentakan berahi merupakan suatu cara untuk memudahkan

pengamatan berahi dan memper-

pendek waktu siklus berahi dari pada yang normal. Dan ini
dapat dilakukan dengan memberikan hormon estrogen, prostaglandin, progesteron dan derivatnya atau dengan kombinasi diantaranya.
Penggunaan estrogen dalam pengendalian dan penyerentakan berahi yaitu dengan jalan meregresikan corpus
teum.

lu-

Dosis yang digunakan yaitu 5 mg oestradiol atau 25

sampai 100 mg est ron yang akan