Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Belitung Propinsi Kepulauan Bangka Belitung

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN
BELITUNG PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

SKRIPSI
BIGAR ERBOWO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Bigar Erbowo. D14096002. 2012. Potensi Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Belitung Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi. Program
Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M. Si
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto
Kabupaten Belitung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang
kehidupan perekonomian masyarakatnya mengandalkan sektor pertambangan
(khususnya timah) karena memberikan kontribusi yang cukup besar dalam

pembangunan nasional. Kabupaten Belitung memiliki potensi yang cukup memadai
untuk pengembangan peternakan guna mengurangi ketergantungan daging luar
daerah. Hal ini terbukti jumlah pemotongan ternak sapi potong meningkat setiap
tahun yaitu pada tahun 2008 sebanyak 1.234 ekor dan tahun 2010 sebanyak 1.514
ekor. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi pengembangan sapi potong di
Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan melihat potensi
sumber daya yang ada. Penelitian dilakukan pada tiga kecamatan di Kabupaten
Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu Kecamatan Tanjungpandan,
badau, dan Membalong pada bulan Agustus sampai September 2011 melalui metode
survey terhadap 30 orang peternak. Data yang didapatkan dianalisis secara deskriptif
menggunakan analisis SWOT.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak pada umumnya sistem
pemeliharaan menggunakan sistem intensif. Kebutuhan pakan ternak seluruhnya
tergantung pada hijauan yang dikonsumsi oleh ternak. Data karakteristik peternak
menunjukkan bahwa umur peternak berkisar antara 24-57 tahun dengan tingkat
pendidikan didominasi oleh tingkat SD (56,67%). Pekerjaan pokok peternak adalah
petani dan usaha budidaya sapi potong sebagai usaha sambilan. Tingkat pengetahuan
dan keterampilan serta penguasaan teknologi peternak di Kabupaten Belitung masih
rendah dalam upaya pengembangan kawasan sapi potong. Komponen teknologi yang
telah dikembangkan untuk meningikatkan produktivitas ternak adalah inseminasi

buatan (IB) walaupun belum terlaksana dengan baik dan masih memiliki kendala
dalam pelaksanaannya. Karakteristik sistem produksi sapi potong di Kabupaten
Belitung masih rendah karena hanya tergantung pada ketersediaan rumput alam di
lokasi dan tingkat pemanfaatan teknologi yang rendah. Berdasarkan nilai
KPPTR(SL) sebesar 51.222,458 ST dan KPPTR(KK) sebesar 4.187,92 ST
Kabupaten Belitung memiliki potensi yang tinggi serta menjadi faktor kekuatan
dalam pengembangan sapi potong. Peran serta pemerintah sangat dibutuhkan dalam
upaya meningkatkan ketrampilan budidaya peternak, pengadopsian serta penguasaan
teknologi peternakan supaya proses pengembangan kawasan usaha sapi potong dapat
lebih terarah.
Kata-kata kunci : sapi potong, potensi pengembangan kawasan, Kabupaten Belitung

i

ABSTRACT
Potential Development of Beef Cattle at Belitung District in Bangka Belitung
Island Province.
Erbowo, B., L. Cyrilla and R. Priyanto
Belitung District is one of the regions in Indonesia that the life of the community's
economy relies on the mining sector (especially lead) because it provides a

substantial contribution to national development. Belitung District has sufficient
potential for livestock development to reduce dependence on meat from outside the
region. This study aimed to assess the potential development of beef cattle in
Belitung District, Bangka Belitung Islands Province to see the potential of existing
resources. The study was conducted in three districts from August to September 2011
through a survey method to 30 people. The data were analyzed descriptively with
SWOT analysis. Based on the results of interviews with farmers in general
maintenance of the system using an intensive system. Fodder needs of all depend on
the forage consumed by livestock. The results showed that the age of farmer ranged
from 24-57 years with educational level was dominated by the primary level
(56,67%). Artificial insemination (IB) had been introduced but the farmers response
was still low. In general Belitung District was an area of the mine which has
potential as a new area for development of beef cattle. The role of government as
well as much needed in an effort to improve the skills of livestock farming, animal
husbandry technology adoption and mastery of the development process so that the
area of beef cattle business can be more focused.
Keywords: Beef cattle, potential of development area, Kabupaten Belitung

ii


POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN
BELITUNG PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BIGAR ERBOWO
D14096002

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii

Judul

: Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Belitung Propinsi

Kepulauan Bangka Belitung

Nama

: Bigar Erbowo

NIM

: D14096002

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,

Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M. Si
NIP: 19630705 198803 2 001

Dr. Ir. Rudy Priyanto

NIP: 19600503 198503 1 003

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc
NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 16 April 2012

Tanggal Lulus:
iv

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung pada tanggal 15
Mei 1990. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Edi
Siswanto dan Ibu Ratnawati.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1994 di SD Negeri 43
Tanjungpandan dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis melanjutkan

pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjungpandan dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya
pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA PGRI Tanjungpandan dan lulus
pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Direktorat Program
Diploma Institut Pertanian Bogor pada Program Keahlian Teknologi dan Manajemen
Ternak melalui jalur regular dan lulus tahun 2009. Selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikan Sarjana di IPB pada Program Alih Jenis Peternakan jurusan Ilmu
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Selama menjalani pendidikan penulis aktif
dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Keluarga Pelajar Belitung
(IKPB) cabang Bogor.

v

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
ridho-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi
Pengembangan Sapi Potong di kabupaten Belitung Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji potensi pengembangan sapi potong di Kabupaten Belitung, Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Hal itu dilakukan dengan melihat potensi sumberdaya

yang ada.
Kabupaten Belitung merupakan kawasan tambang yang memiliki potensi
dalam pengembangan usaha sapi potong, namun saat ini pengembangannya masih
dilakukan secara tradisional dengan skala kecil. Oleh sebab itu, diperlukan strategi
pengembangan usaha yang tepat agar peternakan dapat bertahan dan pengembangan
sapi potong dapat terus ditingkatkan. Skripsi ini diharapkan dapat membantu
pelaksanaan pengembangan sapi potong di Kabupaten Belitung dan dapat menjadi
acuan bagi peneliti selanjutnya tentang sapi potong. Penulis menyadari bahwa skripsi
ini belum sempurna, masih banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun isinya.
Penulis mengharapkan masukan yang membangun dari pembaca untuk perbaikan
lebih lanjut, semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis dan semua pihak
yang membutuhkan.
Akhir kata, penulis berharap karya kecil ini menjadi salah satu karya terbaik
untuk dipersembahkan kepada keluarga tercinta. Amin Ya Robbal Alamin.

Bogor, Mei 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ..................................................................................................

i

ABSTRACT.....................................................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP .........................................................................................

v


KATA PENGANTAR .....................................................................................

vi

DAFTAR ISI....................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL............................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

xi


PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan ..................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................

3

Peternakan Sapi Potong di Indonesia...................................................
Kawasan Peternakan ............................................................................
Produktivitas Ternak ............................................................................
Produksi Sapi Potong ...............................................................
Reproduksi Sapi Potong...........................................................

3
5
7
7
8

MATERI DAN METODE...............................................................................

10

Lokasi dan Waktu ................................................................................
Materi ...................................................................................................
Prosedur ...............................................................................................
Rancangan dan Analisis Data ..............................................................

10
10
10
11

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................

16

Kondisi Umum Kabupaten Belitung....................................................
Karakteristik Peternak..........................................................................
Pemeliharaan Sapi Potong ...................................................................
Komponen Kawasan Peternakan .........................................................
Analisis Strenght-Weaknesses-Opportunities-Treats (SWOT) ...........
Identifikasi Faktor Internal-Eksternal ......................................
Analisis Faktor Internal-Eksternal ...........................................
Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Belitung

16
22
24
26
36
36
38
41

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

45

Kesimpulan ..........................................................................................
Saran.....................................................................................................

45
45

viii

UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................

46

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

47

LAMPIRAN.....................................................................................................

50

viii

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Pembobotan Matriks Evaluasi Faktor Internal .....................................

13

2. Matriks Evaluasi Faktor Internal ..........................................................

15

3. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal........................................................

15

4. Data Fluktuasi Iklim di Kabupaten Belitung Tahun 2008 ...................

18

5. Potensi Kabupaten Belitung Tahun 2008 .............................................

20

6. Populasi Ternak Kabupaten Belitung Tahun 2010 ...............................

21

7. Produksi Daging Kabupaten Belitung Tahun 2010 ..............................

21

8. Karakteristik Peternak Sapi Potong di Kabupaten Belitung ................

23

9. Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Belitung Tahun 2010.......

29

10. Koefisien Teknis Sapi Potong di Kabupaten Belitung .........................

29

11. Pembagian Kelas Kelompok Tani Kabupaten Belitung .......................

34

12. Matriks Evaluasi Faktor Internal Potensi Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Belitung......................................................

39

13. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Potensi Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Belitung......................................................

40

viii

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Belitung ..................................

16

2. Pembagian Luas Wilayah Daratan Kecamatan di Kabupaten Belitung

17

3. Kegiatan Penggalian Bahan Tambang ..................................................

19

4. Pakan Hijauan yang Diberikan pada Sapi............................................

25

5. Tempat Air Minum yang Digunakan oleh Peternak .............................

26

6. Lahan Kebun Rumput yang Tersedia di Kabupaten Belitung ..............

27

7. Teknologi Peternakan yang Dikembangkan (Instalasi Biogas) ............

31

8. Rumah Potong Hewan (RPH) Kabupaten Belitung..............................

33

9. Matriks Internal Eksternal Peternakan Kabupaten ...............................

41

10. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong...........

44

viii

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Kuisioner Penelitian............................................................................

51

2. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belitung................................

59

3. Pembobotan Matriks Evaluasi Faktor Internal-Eksternal

60

4. Kondisi dan Bangsa Sapi yang Dikembangkan di Kabupaten Belitung
(a) Sapi Madura (b) Sapi PO (c) Sapi Bali ........................................
62
5. Foto-foto Hasil Penelitian di Kabupaten Belitung (a) Salah Satu
Kelembagaan Peternak di Kabupaten Belitung (b) Kandang Kolektif
Bantuan Pemerintah (c) Fasilitas Pendukung berupa Kandang Jepit
(d) Fasilitas Pendukung berupa RPH Sapi (e) Fasilitas Pendukung
berupa RPH Babi ...............................................................................

63

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tingginya permintaan daging terutama asal ternak ruminansia besar belum
terpenuhi secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh populasi ternak yang sedikit
sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah, pakan dan pengembangan
ternak yang masih menggunakan sistem pemeliharaan tradisional berskala usaha
rumah tangga. Salah satu cara meningkatkan produktivitas ternak yaitu setiap
daerah harus berusaha merancang wilayah pengembangan peternakan yang
berdasarkan perkembangan kebijakan pemerintah dengan memperhitungkan
kesejahteraan pangan, khususnya pangan hewani asal ternak yang berupa daging.
Pengembangan peternakan memiliki sasaran utama yaitu mengurangi
kemiskinan, meningkatkan produktivitas ternak untuk mengurangi jumlah impor
ternak, dan meningkatkan kesejahteraan peternak. Sektor peternakan selama ini
kurang mendapat perhatian dari pemerintah sedangkan populasi ternak semakin
berkurang setiap tahun. Pengurangan populasi dapat mempengaruhi kelangsungan
produksi ternak dalam negeri. Keadaan ini merupakan tantangan sekaligus
peluang yang perlu diantisipasi dalam usaha dan pengembangan sapi potong di
Indonesia.

Program

pengembangan

sapi

potong

dapat

dicapai

dengan

memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan tepat guna yang disesuaikan
dengan keadaan alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, dan faktorfaktor lain baik bersifat sarana-sarana, teknologi peternakan yang berkembang,
kelembagaan, serta kebijakan yang harus mendukung secara baik dan konsisten.
Kabupaten Belitung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang
kehidupan perekonomian masyarakatnya mengandalkan sektor pertambangan
(khususnya timah) karena memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
pembangunan nasional. Kabupaten Belitung memiliki potensi yang cukup
memadai untuk pengembangan peternakan guna mengurangi ketergantungan
daging luar daerah. Hal ini terbukti jumlah pemotongan ternak sapi potong
meningkat setiap tahun yaitu pada tahun 2008 sebanyak 1.234 ekor dan tahun
2010 sebanyak 1.870 ekor (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2010). Persediaan
daging untuk konsumsi masih kurang sehingga untuk menutupi kekurangan
tersebut, sapi masih didatangkan dari luar daerah seperti Madura, Lombok, dan

1

Lampung. Namun pada kenyataannya peranan sektor peternakan relatif kecil
dibandingkan sektor pertambangan. Dengan demikian pengkajian tentang potensi
Kabupaten Belitung perlu dilakukan untuk pengembangan usaha peternakan sapi
potong.
Tujuan
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji potensi pengembangan
sapi potong di Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan
melihat potensi sumber daya yang ada.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi
lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu
memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang baik.
Potensi dan kelebihan sapi lokal bisa dimanfaatkan secara optimal apabila
manajemen pemeliharaan dan perawatan dilakukan dengan baik.
Anggraini (2003) menyatakan usaha peternakan dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak,
yaitu: 1) peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas
pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya digunakan sebagai
usaha sambilan dengan skala usaha rakyat untuk mencukupi kebutuhan keluarga
dengan tingkat pandapatan dari ternak kurang dari 30%; 2) peternakan sebagai
cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan
tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70%; 3) peternakan sebagai usaha
pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat
pendapatan mencapai 70-100%; 4) peternakan sebagai skala industri dengan tingkat
pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%.
Struktur industri peternakan di Indonesia sebagian besar tetap bertahan pada
skala usaha rakyat. Ciri-ciri usaha rakyat yaitu tingkat pendidikan peternak rendah,
pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak
menyebar, ukuran usaha relatif sangat kecil, dan pengadaan input utama yaitu HMT
bergantung pada musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan HMT
terbatas, produksi butiran terbatas dan sebagian besar bergantung pada impor
(Yusdja, 2005; Swastika et al., 2000).
Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan
lambannya perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama produksi
sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi daging sapi
nasional. Produksi tersebut sulit dicapai karena dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan,
ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian, teknologi budi daya
rendah, tujuan pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan

3

(reproduksi) dan penggemukan (Roessali et al. 2005), dan budi daya sapi potong
dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah.
Faktor kedua terletak pada sentra produksi sapi di kawasan timur Indonesia.
Produksi sapi pada kawasan ini sebanyak 16% dari populasi nasional, serta memiliki
padang penggembalaan yang luas. Kendala produksi kawasan timur Indonesia
adalah tingkat mortalitas tinggi, pada musim kemarau panjang sapi menjadi kurus,
dan angka kelahiran rendah. Kendala lainnya adalah berkurangnya areal
penggembalaan, kualitas sumber daya rendah, akses ke lembaga permodalan sulit,
dan penggunaan teknologi rendah (Syamsu et al. 2003; Isbandi 2004; Ayuni 2005;
Rosida 2006).
Ilham (1995) juga menegaskan bahwa faktor lain yang menjadi permasalahan
adalah sistem pemeliharaan ternak di Indonesia. Sebagian besar ternak sapi
dipelihara secara tradisional dalam usaha rakyat. Ada tiga sistem pemeliharaan yang
umum digunakan oleh peternak rakyat, yaitu 1) sistem ekstensif yaitu sistem
pengembalaan atau grazing (NTT, NTB, Bali, Kalsel, sebagian Sumatera, dan
sebagian Kalimantan), pemeliharaan dengan sistem ini hanya untuk status sosial
peternak dan tabungan, 2) sistem intensif yaitu sapi tidak digembalakan dengan
sistem cut and carry (Jatim dan Jateng, sebagian Sulawesi), pengembangan
peternakan dengan sistem ini sangat bergantung pada ketersediaan tenaga kerja
keluarga yang bertugas mencari pakan hijauan. Pengembangan ternak dengan
menyediakan pakan hijauan akan mengurangi tenaga kerja keluarga dan skala usaha
bisa meningkat. Tujuan produksi sistem ini adalah tenaga kerja tanpa memperdulikan
pasar dan produksi, 3) sistem kombinasi, ternak digembalakan pada lahan yang
terbatas dan kekurangan pakan hijauan dalam kandang. Sistem pemeliharaan
kombinasi bertujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sapi bakalan. Pada
pemeliharaan intensif, sapi dikandangkan terus-menerus atau dikandangkan pada
malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sistem pemeliharaan secara intensif
banyak dilakukan oleh petani di Jawa, Madura, dan Bali. Sistem pemeliharaan
ekstensif banyak dilakukan oleh peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan
Sulawesi. Ternak pada sistem ini umumnya dipelihara di padang pengembalaan
dengan pola pengembalaan pertanian menetap atau di pelihara di hutan (Sugeng,
2006).

4

Kebijakan pengembangan ternak sapi harus melihat ketiga aspek tersebut
karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi sehingga penanganannya akan
berbeda, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan pakan (Ilham, 1995).
Selain itu sistem pemasaran yang ada tidak memberikan intensif yang layak kepada
peternak. Para peternak tidak mempunyai daya tawar sehingga peran pedagang
menjadi dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain perdagangan ternak hidup
antar pulau dan wilayah menimbulkan biaya angkutan dan resiko ekonomi yang
besar, sementara perdagangan karkas belum layak dilakukan karena infrastruktur
yang tersedia belum memadai. Usaha peternakan tradisional memiliki karakteristik
sebagai berikut : 1) sebagian besar usaha masih berskala kecil sebagai usaha
keluarga; 2) tingkat keterampilan peternak rendah dan modal usaha yang kecil; 3)
belum memanfaatkan bibit unggul dan jumlah ternak produktif yang sedikit; 4)
penggunaan ransum tidak efisien dan bellum disediakan secara khusus; 5) kurang
memperhatikan pencegahan penyakit, dan 6) usaha belum bersifat komersil.
Kawasan Peternakan
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004) menyatakan konsep
kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keragaman fisik dan ekonomi tetapi
memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi
mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan atau wilayah yang
diperuntukkan secara khusus untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai
komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau
perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan
lindung, suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah wilayah
peternakan yang memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berorientasi pada
industri dari hulu sampai hilir (Departemen Pertanian, 2002).
Ciri-ciri kawasan agribisnis peternakan meliputi lokasi yang sesuai dengan
agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dikembangkan oleh masyarakat atau
kelompok dalam kawasan tersebut secara biofisik dan sosial ekonomi, komoditas
terdiri atas ternak unggul, pengembangan kelompok tani menjadi kelompok usaha,
sebagian besar pendapatan masyarakat berasal dari usaha peternakan, prospek pasar
jelas, ketersediaan teknologi yang memadai, peluang pengembangan produk yang
5

tinggi, dan memiliki kekuatan kelembagaan atau jaringan kelembagaan yang
memiliki akses usaha hulu sampai hilir (Departemen Pertanian, 2002). Saragih
(2000) menjelaskan subsistem agribisnis berbasis peternakan mencakup empat
subsistem yaitu: 1) subsistem agribisnis hulu peternakan, subsistem ini meruapakn
kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi peternakan (sapronak), 2)
subsistem agribisnis budidaya peternakan, kegiatan ekonomi yang menggunakan
sapronak untuk menghasilkan komoditi peternakan primer, 3) subsistem agribisnis
hilir peternakan, kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi peternakan primer
menjadi produk olahan, 4) subsistem agribisnis jasa peternakan, kegiatan ekonomi
yang menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh subsistemlain seperti transportasi,
penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan
pemerintah.
Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004), kawasan
peternakan dilihat dari segi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kawasan peternakan baru, kawasan peternakan
binaan, dan kawasan peternakan mandiri. Kawasan peternakan baru merupakan
kawasan yang dikembangkan di suatu daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang
ternak, tetapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan
peternakan. Ciri-ciri kawasan peternakan baru yaitu petani telah memiliki usaha tani
lain atau belum memiliki usaha tani di sektor agribisnis, belum terbentuk kelompok
tani, dan memiliki lahan yang cukup luas dan potensial untuk digunakan sebagai
salah satu sumber pakan ternak. Kawasan binaan merupakan kawasan lanjut dari
kawasan peternakan baru, yaitu daerah yang telah berkembang sesuai dengan
perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok tani pemula menjadi
kelompok tani madya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan menjadi
kawasan binaan. Kelompok tani pada kawasan binaan telah memiliki populasi
minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok mulai
dirintis dengan membentuk Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Kawasan
peternakan mandiri adalah pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan yang
telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang luas. Kemampuan kelompok
tani telah meningkat menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama dengan
kelompok tani lain dalam wadah KUBA. Kelompok tani pada kawasan ini telah

6

memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala
keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA dengan perkembangan populasi minimal
untuk satu kawasan (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2004).
Komponen-komponen yang menjadi indikator pembentuk suatu kawasan
peternakan sapi potong adalah lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak
dan pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Departemen
Pertanian, 2002).
Produktivitas Ternak
Produktivitas ternak dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dinamika populasi,
produksi, dan aspek konsumen. Ditinjau dari dinamika populasi dapat diartikan
sebagai perkembangan populasi ternak dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan
dalam persentase (%). Selain itu produktivitas dipengaruhi oleh struktur populasi
ternak, angka pertambahan alami, calf crop, angka mortalitas ternak, dan reproduksi
ternak (Basuki, 1998).
Menurut Taylor (1984), produktivitas ternak ditinjau dari aspek produksi dan
suplai daging dapat diukur dari produksi daging rata-rata pada setiap ekor ternak.
Produksi daging setiap ekor dipengaruhi oleh bobot potong, bobot tubuh kosong,
persentase bobot karkas, persentase bobot non karkas, dan rasio daging-tulang.
Ditinjau dari segi konsumen produktivitas ternak berpengaruh pada kualitas fisik dan
kimia daging saat dijual. Kualitas fisik dan kimia tersebut akan mempengaruhi
tingkat keuntungan yang akan diterima oleh produsen (peternak).
Bestari et al. (1998) menyebutkan faktor yang memperngaruhi produktivitas
ternak adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor yang paling dominan adalah
faktor ekstrinsik yaitu lingkungan yang mencakup sistem pemeliharaan dan
kesehatan ternak. Selain itu faktor induk juga mempengaruhi produktivitas karena
kemampuan induk membesarkan anak (mothering ability) pada setiap induk tidak
sama.
Produksi Sapi Potong
Hardjosubroto (1994) menyatakan, produktivitas ternak ditentukan oleh dua
aspek yaitu penampilan produksi dan penampilan reproduksi. Produktivitas biasanya
dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Menurut Prescot

7

(1979), secara umum produktivitas seekor ternak ditentukan oleh tiga faktor yaitu
genetik, lingkungan, dan umur. Faktor keturunan akan mempengaruhi performa
seekor ternak dan faktor lingkungan merupakan pengaruh kumulatif yang dialami
oleh ternak sejak terjadinya pembuahan hingga dewasa. Produksi sapi yang baik
akan dihasilkan apabila seekor ternak selain mempunyai genetik yang tinggi, ternak
juga memiliki daya adaptasi lingkungan serta tatalaksana yang baik.
Produksi ternak sapi potong berhubungan erat dengan performansnya.
Performans ternak dapat dilihat dari bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh,
dan kondisi tubuh. Bobot badan ternak dapat diketahui dengan melakukan
penimbangan atau menggunakan alat penduga bobot hidup untuk menggambarkan
penampilan produksi seekor ternak. Beberapa ukuran tubuh dapat dijadikan sebagai
indikator bobot hidup seperti lingkar dada panjang badan, dan tinggi gumba
(Hardjosubroto, 1994). Ukuran tubuh bukan hanya menentukan keadaan performans
ternak itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi performans ternak keturunannya
(Siregar et al., 1984).
Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai pertambahan bobot badan per
satuan waktu, meliputi perubahan ukuran urat daging, tulang, dan organ-organ
internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bangsa
ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologi lingkungan ternak
(Soeparno, 1998). Laju pertumbuhan yang berbeda diantara bangsa dan individu
ternak dalam suatu bangsa disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa
ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat, dan bobot tubuh lebih
berat pada saat mencapai pubertas daripada bangsa ternak yang kecil. Kecepatan
pertumbuhan sapi sangat cepat pada tahun pertama setelah sapi mencapai pubertas
dan kemudian menurun kembali setelah mencapai dewasa kelamin (Tulloh, 1978).
Reproduksi Sapi Potong
Menurut Toelihere (1993), reproduksi merupakan suatu fungsi tubuh yang
secara fisiologis tidak vital pengaruhnya terhadap kehidupan individu ternak tapi
sangat berpengaruh pada kelangsungan suatu jenis hewan. Reproduksi menjadi dasar
utama untuk menentukan tingkat

produksi

ternak di

dalam

peternakan.

Reproduktivitas sapi potong yang tinggi merupakan kunci keberhasilan tingginya
produksi ternak, terutama berhubungan dengan jumlah anak yang dilahirkan. Ternak
8

sapi potong memiliki empat permasalahan reproduksi yang sering terjadi yaitu lama
kebuntingan yang panjang, interval dari lahir hingga estrus pertama yang panjang,
tingkat konsepsi yang rendah, dan tingkat kematian anak dari lahir hingga disapih
tinggi dan bervariasi. Perbedaan penampilan reproduksi suatu bangsa ternak
dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik,
ketersediaan nutrisi dan tatalaksana reproduksi.

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada tiga kecamatan di Kabupaten Belitung, Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung yaitu Kecamatran Tanjungpandan, Badau, dan
Membalong pada bulan Agustus sampai September 2011.
Materi
Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi peralatan pengukuran
(pita ukur), borang kuisioner, dan kamera digital. Objek penelitian yang digunakan
adalah sapi potong dan peternak. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung
terhadap peternak dengan bantuan kuisioner. Data sekunder diperloeh dari instansi
terkait seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung, Badan Pusat
Statistik, dan instansi terkait lainnya.
Prosedur
Penentuan Responden
Responden adalah peternak yang memelihara sapi potong pada lokasi
penelitian. Responden dipilih secara purposive (sengaja) berdasarkan kesediaan
untuk diwawancarai dengan melibatkan 30 orang peternak.
Data yang dikumpulkan meliputi:
1. Informasi mengenai daerah penelitian, meliputi letak geografis dan keadaan
alam, iklim, luas wilayah, penggunaan lahan, kondisi umum pertanian,
jumlah produksi daging, jumlah pemasukan dan pengeluaran ternak, jumlah
pemotongan ternak, harga produsen ternak menurut jenis ternak, populasi
ternak, populasi penduduk dan angkatan kerja serta pertumbuhan ekonomi.
Data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung.
2. Informasi mengenai peternak responden meliputi umur, tingkat pendidikan,
pengalaman beternak, kepemilikan ternak dan mata pencaharian.
3. Manajemen beternak yang meliputi sistem pembibitan, integrasi dengan
pertanian, produktivitas terdiri dari produksi dan reproduksi, pakan dan cara
pemberian pakan, perkandangan, kesehatan, dan sistem pemasaran ternak.

10

4. Komponen kawasan usaha agribisnis peternakan sapi potong yang meliputi
komponen lahan, pakan, ternak, teknologi, skala usaha, fasilitas pendukung,
peternak, pendamping peternak, kelembagaan, dan manajemen usaha.
Rancangan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengamatan langsung
terhadap kondisi peternakan. Metode survei adalah metode penelitian yang dilakukan
pada populasi besar maupun kecil, data yang diambil berupa sampel dari populasi.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif,
potensi pengembangan ternak efektif (PPE), dan analisis Strenght-WeaknessOpportunity-Threat (SWOT) yang mengacu pada tahapan teknik perumusan strategi
menurut David (2004).
Analisis Deskriptif
Data mengenai keadaan lokasi, karakteristik peternak dan usaha ternak
disajikan dan dianalisis secara deskriptif.
Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE)
Potensi pengembangan peternakan suatu wilayah dihitung berdasarkan Potenai
Pengembangan Ternak Efektif (PPE) yaitu Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak
Ruminansia berdasarkan Sumberdaya Lahan (KPPTRSL) atau Kepala Keluarga
(KPPTRKK). Metode PPE yang digunakan yaitu:
a. PMSL

= a LG + b PR + c LH

Keterangan:
PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan (ST).
a

= Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (PMSL).

LG

= Luas lahan garapan (ha).

b

= Daya tampung ternak di padang

rumput, alang-alang, dan kebun

rumput.
PR

= Luas padang rumput (ha).

c

= Daya tampung ternak pada lahan hutan dan rawa.

LH

= Luas lahan hutan dan rawa (ha).

b. PMKK = a x KK

11

Keterangan:
PMKK = Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga (KK)
a

= Kemampuan rumah tangga petani ternak untuk budidaya sapi potong
tanpa tenaga kerja dari luar, a = 15 ST/KK

KK

= Jumlah kepala keluarga petani ternak (KK)

c. KPPTR(SL) = PMSL - Pt
KPPTR(KK) = PMKK - Pt
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) diperoleh
berdasarkan selisih antara potensi maksimum sumberdaya lahan dengan populasi
riil ternak ruminansia.
Keterangan:
KPPTR (SL) = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan
sumberdaya lahan
KPPTR (KK) = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan
kepala keluarga
Pt

= Populasi rill ternak ruminansia (ST) di lokasi penelitian pada
tahun tertentu

Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan analisis yang melakukan auditing agribisnis
dengan melihat dua faktor penilaian yaitu internal dan eksternal. Faktor internal
terdiri atas kekuatan atau Strengths (S) dan kelemahan atau Weaknesses (W). Faktor
eksternal terdiri atas peluang atau Opportunities (O) dan ancaman atau Threats (T).
Analisis potensi peternakan yang akan diolah menggunakan SWOT yaitu analisis
komponen kawasan agribisnis peternakan sapi potong, tingkat kemajuan kawasan,
komponen kawasan yang masih lemah, dan komponen kawasan yang sudah baik
dengan menyusun strategi pengembangan yang baik supaya pengembangan usaha
peternakan sapi potong di Kabupaten Belitung bisa dijalankan dengan baik. Metode
yang digunakan dalam perumusan potensi pengembangan sapi potong di Kabupaten
Belitung adalah analisis SWOT yang mengacu pada tahapan teknik perumusan
strategi menurut David (2004), meliputi:

12

a. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Faktor-faktor strategis yaitu faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
eksternal (peluang dan ancaman) diidentifikasi berdasarkan hasil analisis
sebelumnya.
b. Penentuan Bobot
Faktor internal dan eksternal diberikan bobot dan peringkat (rating). Skala
pembobotan mulai dari 1,000 (paling penting) sampai 0,000 (tidak penting).
Jumlah seluruh bobot yang diberikan pada faktor-faktor tersebut harus sama
dengan 1,000. Pemberian bobot setiap variabel yang telah disusun dilakukan
dengan melakukan identifikasi faktor internal dan eksternal kepada pihak
peternakan menggunakan metode Paired Comparison. Pemberian bobot
setiap variabel menggunakan skala 1, 2, dan 3. Kriteria skala tersebut
meliputi 1) jika variabel horizontal kurang penting dibandingkan variabel
vertikal, 2) jika variabel horizontal sama penting dengan variabel vertikal,
dan 3) jika variabel horizontal lebih penting dibandingkan variabel vertikal.
Variabel horizontal merupakan variabel faktor internal dan eksternal pada
lajur horizontal, sedangkan variabel vertikal merupakan variabel faktor
internal dan eksternal pada lajur vertikal.
Tabel 1. Pembobotan Matriks Evaluasi Faktor Internal
Faktor Penentu

A

B

C

D

E

Total

A
B
C
D
E

Total

1,000

Bobot setiap variabel akan diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel
terhadap jumlah nilai keseluruhan menggunakan rumus:

13

Keterangan:
i = Bobot variabel faktor internal/eksternal ke-i
Xi = Nilai variabel faktor internal/eksternal ke-i
i = 1, 2, 3,

n

n = Jumlah variabel
c. Penentuan Peringkat
Peringkat pada kolom ketiga diberikan untuk faktor internal dan faktor
eksternal. Skala yang diberikan mulai dari 4,000 (paling tinggi) sampai 1,000
(paling rendah). Pemberian nilai dilakukan berdasarkan pengaruh faktor
internal dan eksternal terhadap peternakan di lokasi penelitian.
Skala matriks evaluasi faktor internal yang digunakan meliputi:
1= kelemahan utama

3= kekuatan kecil

2= kelemahan kecil

4= kekuatan utama

Skala matriks evaluasi faktor eksternal yang digunakan meliputi:
1= respon jelek

3= respon di atas

2= respon rata-rata

4= respon luar biasa

d. Mengalikan bobot dan peringkat
Bobot pada kolom 2 dikalikan dengan peringkat pada kolom 3 untuk
memperoleh skor pembobotan pada kolom 4.
e. Penjumlahan skor pembobotan
Skor

pembobotan

pada

masing-masing

faktor

dijumlahkan

untuk

memperoleh total skor pembobotan bagi peternakan yang ada di lokasi
penelitian. Nilai total skor pembobotan ini akan menunjukkan bagaimana
peternakan bereaksi terhadap faktor-faktor strategi internal dan strategi
eksternalnya.
f. Total skor pembobotan matriks evaluasi faktor internal
Kisaran nilai total skor pembobotan untuk matriks evaluasi faktor internal
akan berada antara 1,000 (rendah) sampai 4,000 (tinggi) dengan rata-rata
2,500.
a) Total skor pembobotan yang jauh di bawah nilai 2,500 menunjukkan
bahwa suatu peternakan masih lemah secara internal.

14

b) Total skor pembobotan yang jauh di atas nilai 2,500 menunjukkan bahwa
posisi internal suatu peternakan sudah kuat.
g. Total skor pembobotan matriks evaluasi faktor eksternal
a) Total skor pembobotan 1,000 menunjukkan bahwa suatu peternakan tidak
memanfaatkan peluang yang ada dan tidak menghindari ancamanancaman yang ada.
b) Total skor pembobotan 4,000 menunjukkan bahwa suatu peternakan
sudah memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman-ancaman yang
ada.
Tabel 2. Matriks Evaluasi Faktor Internal
Faktor-Faktor Internal

Bobot
(A)

Rating
(B)

Skor
(AxB)

Bobot
(A)

Rating
(B)

Skor
(AxB)

Kekuatan
Kelemahan
Jumlah
Tabel 3. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
Faktor-Faktor Eksternal
Peluang
Ancaman
Jumlah
Sumber: Rangkuti (2006)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kabupaten Belitung
Kondisi Geografis dan Agrofisik Wilayah
Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara 107o08 BT sampai
107o58 BT dan 02o03 LS sampai 03o15 LS dengan luas seluruhnya 229.369 ha
atau kurang lebih 2.293,69 km2. Batas wilayahnya meliputi sebelah Utara berbatasan
dengan Laut Cina Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung
Timur, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Selat Gaspar (Gambar 1). Kabupaten Belitung merupakan bagian dari
wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang juga merupakan pulau terbesar
kedua setelah Pulau Bangka yang dikelilingi oleh laut perairan dalam antara Pulau
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Belitung
Wilayah Kabupaten Belitung secara administratif terdiri atas lima kecamatan
yang terdiri atas 2 kelurahan dan 40 desa. Menurut kriteria Badan Pusat Statistik
(BPS), 12 desa atau kelurahan dikelompokkan sebagai kawasan perkotaan dan 30

16

desa sebagai kawasan pedesaan. Kriteria lain menurut BPS, 18 desa atau kelurahan
dikelompokkan sebagai daerah pesisir dan 14 desa sebagai desa daratan. Pembagian
luas wilayah daratan di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pembagian Luas Wilayah Daratan Kecamatan di Kabupaten Belitung
Pulau-pulau kecil yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Belitung
berjumlah 98 buah dengan luas total 22.023,02 ha. Keseluruhan pulau menyebar
pada lima kecamatan, yaitu Kecamatan Membalong sebanyak 24 pulau,
Tanjungpandan sebanyak 6 pulau, Sijuk sebanyak 32 pulau, Badau sebanyak 11
pulau, dan Selat Nasik sebanyak 25 pulau.
Kondisi topografi Pulau Belitung pada umumnya bergelombang dan berbukit
yang telah membentuk pola aliran sungai menjadi pola sentrifungal. Sungai tersebut
berhulu di daerah pegunungan dan bermuara di pantai. Daerah aliran sungai
mempunyai pola aliran berbentuk seperti pohon. Wilayah pantai merupakan kawasan
yang memiliki tingkat kemiringan lereng rendah antara 5-10%. Dataran yang
menutupi lahan wilayah pantai meliputi hutan, perkebunan, rawa, pemukiman, dan
pantai berpasir. Tipe perairan di Kabupaten Belitung terdiri atas laut, pantai, dan
perairan umum (kolong, rawa-rawa, dan sungai). Kolong adalah istilah untuk
menyebut kawasan perairan pada lingkungan bekas tambang.
Kabupaten Belitung mempunyai iklim tropis dan basah dengan variasi curah
hujan bulanan pada tahun 2008 antara 85,1 mm sampai 443,3 mm dengan jumlah
hari hujan antara 10 hari sampai 28 hari setiap bulan. Curah hujan tertinggi pada
tahun 2008 terjadi pada bulan Desember yang mencapai 443,3 mm. rata-rata
temperatur udara pada tahun 2008 bervariasi antara 25,4oC sampai 27,4oC,
kelembaban udara juga bervariasi antara 85-93% dengan tekanan udara antara

17

1008,2-1010,6 mb (Badan Pusat Statistik, 2009). Data iklim dapat ditunjukkan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Data Fluktuasi Iklim di Kabupaten Belitung Tahun 2008
Suhu Udara (oC)
Bulan

Maks.

Min.

Hujan

Rata-rata

Curah

Hari

Hujan

Hujan

(mm)

(hari)

Penyinaran
Matahari
(%)

Januari

30,0

23,4

26

157,6

21

40,9

Februari

29,6

23,8

26,3

109,6

10

33,3

Maret

30,0

22,9

25,4

342,1

25

43,7

April

30,8

22,8

25,6

417,3

22

43,7

Mei

31,5

22,7

26,2

215,6

16

54,6

Juni

30,2

23,0

26,1

108,2

16

54,6

Juli

31,2

22,7

26,2

85,1

12

76,5

Agustus

31,0

22,6

26,0

324,7

17

66,8

September

32,9

23,2

27,4

153,5

14

69,3

Oktober

31,0

23,0

25,9

398,6

27

38,7

November

30,6

23,4

26,2

225,0

26

39,8

Desember

29,1

23,3

25,5

443,3

28

7,3

Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)

Iklim dan curah hujan merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi
cepat lambatnya pengembangan sapi potong di suatu wilayah. Berdasarkan data
Tabel 5 curah hujan di Kabupaten Belitung masih tergolong rendah karena hanya
terdapat tujuh bulan curah hujan di atas 200 mm per bulan. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap potensi penyediaan hijauan makanan ternak. Kesediaan
hijauan pada musim hujan cukup berlimpah dibandingkan musim hujan sehingga
kondisi sapi pada musim hujan lebih baik.
Perbedaan suhu lingkungan dan kelembaban akan berpengaruh terhadap
aktifitas reproduksi. Perbedaan siklus birahi dan lama birahi umumnya dihubungkan
dengan faktor genetik dan lingkungan terutama pakan (Hafez, 1992). Suhu
lingkungan yang tinggi terutama musim kemarau akan mempengaruhi lama periode
birahi dan dapat mengganggu fertilitas sapi apabila sapi tidak mendapatkan energi

18

yang cukup, sehingga kondisinya menjadi buruk. Hal ini diperkuat oleh Kiddy
(1979) menyatakan, stres panas menyebabkan siklus birahi menjadi panjang, apabila
diperpendek akan menyebabkan penurunan fertilitas.
Potensi Kabupaten Belitung
Sumber daya alam yang berpotensi paling dominan peranannya bagi
perekonomian Kabupaten Balitung saat ini adalah bahan tambang berupa bahan
galian golongan C. Bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui sehingga perlu adanya alternatif sumber pendapatan lain untuk
mengantisipasi berkurangnya kontribusi sektor pertambangan dalam pertumbuhan
perekonomian di masa yang akan datang. Selain itu kegiatan penggalian bahan
tambang (Gambar 3) cenderung merusak lingkungan sehingga harus selalu
memperhatikan kelestarian lingkungan dengan cara penutupan kembali, rehabilitasi
lahan, dan revegetasi (penghijauan) agar dapat meminimalkan pencemaran dan
perusakan terhadap lingkungan.

Gambar 3. Kegiatan Penggalian Bahan Tambang
Selain sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian dan perkebunan
merupakan salah satu sektor yang dominan berperan dalam perekonomian. Komoditi
pertanian dan perkebunan yang diusahakan di lokasi penelitian berupa padi sawah,
padi lading, palawija, sayuran, cengkeh, kelapa, karet, lada, jambu mete, aren, dan
kelapa sawit. Pembangunan perekonomian rakyat berbasis pertanian harus terus

19

dikembangkan agar dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Komoditi yang
menjamin tersedianya pakan hijauan dan konsentrat meliputi dedak, batang jagung,
limbah singkong, ubi jalar, bungkil kacang tanah, bungkil kedelai, bungkil kelapa,
Crude palm Oil (CPO), dan inti sawit. Kondisi seperti ini memungkinkan
pengembangan sapi potong diintegrasikan dengan tanaman pangan, palawija,
perkebunan, dan hutan produksi. Kondisi wilayah yang relatif masih luas dengan
tingkat kepadatan penduduk yang relatif masih sedang (72,3 jiwa/km2) berpotensi
dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Belitung (Badan Pusat Statistik,
2009). Potensi Kabupaten Belitung tahun 2008 dalam pengembangan sapi potong
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Potensi Kabupaten Belitung Tahun 2008
No
1
2
3
4
5
6

8
9

10
11

12

13

Uraian
Luas Wilayah (km2)
Jumlah Desa/Kelurahan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Kepala Keluarga
(KK)
Jumlah Generasi Muda
Umur 15-30 Tahun (Jiwa)
Kepadatan Penduduk
(Jiwa/km2)
Jumlah Rumah Tangga
Petani Ternak (KK) *
Luas Lahan Pangan (Ha)
Luas Penggunaan Lahan (Ha)
a. Sawah
b. Perkebunan
c. Hutan
d. Lahan Terlantar
e. Lahan Tambang
f. Lahan kritis
Populasi Ternak Sapi Potong
(Ekor) *
Pola Dasar Pembangunan

Pola Pertanian

Tanjungpandan
378,448
12
91.211

Lokasi Penelitian
Badau
458,200
6
12.142

Membalong
909,550
12
22.829

16.071

2.399

5.043

30.249

4.417

8.622

241,013

26,499

25,099

121

135

139

278

211

488

53
767,85
3.793
297,55
15,03
1,31

43
1.284,46
12.575
986,40
45,68
4,34

288
7.636,88
36.976
2.901,04
34,49
12,75

579

623

668

Pertanian,
perikanan,
perkebunan, dan
perdagangan

Pertanian,
perkebunan, dan
pertambangan

Pertanian,
perkebunan,
pertambangan,
dan kawasan
hutan lindung

Palawija,
perkebunan,
peternakan

Padi
ladang/palawija,
perkebunan,
peternakan

Padi/palawija,
perkebunan,
peternakan

Intensif

Intensif dan semiintensif

Pola Pemeliharaan Ternak
Intensif
Sapi
Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)
* Dinas Pertanian dan Kehutanan (2010)

20

Kabupaten Belitung memiliki peluang dalam pengembangan peternakan baik
ternak unggas maupun ruminansia dan non ruminansia. Beberapa komoditas
peternakan yang memiliki kontribusi dalam produksi adalah sapi, kerbau, kambing,
babi, ayam ras pedaging dan petelur, ayam buras, itik, dan itik manila. Jumlah
populasi sapi dan produksi daging mengalami peningkatan pada tahun 2010, secara
berturut-turut pada populasi sapi tahun 2010 sebanyak 1870 ekor meningkat sebesar
15,78% yaitu 295 ekor dari tahun 2008 sebanyak 1575 ekor. Produksi daging sapi
potong berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan tahun 2010 sebanyak
340,728 ton meningkat sebesar 51,40% dari tahun 2008 sebesar 165,579 ton (Badan
Pusat Statistik, 2009). Total populasi sapi dan produksi daging Kabupaten Belitung
tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Populasi Ternak Kabupaten Belitung Tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jenis Ternak
Sapi
Kerbau
Kambing
Babi
Ayam buras
Ayam ras pedaging
Ayam ras petelur
Itik
Itik Manila

Populasi Ternak (ekor)
2008
2010
1.575
1.870
252
272
286
313
1.243
1.308
115.238
89.066
3.260.434
207.500
35.933
3.900
5.517
772

Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) dan Dinas Pertanian dan Kehutanan (2010)

Tabel 7. Produksi Daging Kabupaten Belitung Tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jenis Ternak
Sapi
Kerbau
Kambing
Babi
Ayam buras
Ayam ras pedaging
Ayam ras petelur
Itik
Itik Manila